Anda di halaman 1dari 10

Tinjauan buku: Roh Kudus dan Kuasa:

Dasar-dasar Pengalaman Pentakosta


Oleh Victor Christianto, email: victorchristianto@gmail.com

William W. Menzies & Robert P. Menzies, Roh Kudus dan Kuasa: Dasar-dasar
Pengalaman Pentakostal. Alih bahasa: Magda L. Toruan (Batam Centre: Gospel Press,
2005).

Tentang Para Penulis

Dr. William W. Menzies adalah seorang pendidik dan konsultan misi pada Assemblies of

God. Dia mengajar pada tiga sekolah yang dimiliki Assemblies of God Church: Central Bible

College, Evangel College dan Assemblies of God Theological Seminary. Dia juga pernah

menjabat berbagai posisi di berbagai denominasi dan pernah menulis sejarah denominasi

Assemblies of God. Dia merupakan salah satu pengurus dari the Society for Pentecostal

Studies, dan juga berperan sebagai editor utama dari majalah Pneuma. Dia juga adalah

salah satu editor untuk Full Life Study Bible dan juga berperan sebagai editor konsultan

untuk majalah Christianity Today.

Dr. Robert P. Menzies pernah melayani bersama-sama dengan ayahnya, William, sebagai

seorang misionaris di Filipina dan di Asia Pacific Theological Seminary, dan sekarang

melayani di Cina. Dia memperoleh gelar doktornya dari Aberdeen University di bawah I.

Howard Marshall.

1
Tesis Sentral Buku ini

Buku ini membicarakan sejarah gerakan Pentakosta sejak kebangkitan rohani di Azusa

Street hingga apa yang disebut sebagai Gelombang Ketiga. Buku ini juga meliputi dialog

seputar hermeneutik Pentakostal yang dikontraskan dengan pascamodernisme, serta

dialog antara penulis dengan James Dunn dan Max Turner seputar apakah pneumatologi

Lukas berbeda secara signifikan dengan pneumatologi Paulus, khususnya dalam rangka

memahami Kisah Para Rasul. Selain itu buku ini juga membahas berbagai implikasi penting

dari dialog tersebut. Secara umum, buku ini memberikan sebuah pandangan yang sangat

tajam tentang teologi Pentakostal.

Perkembangan Tesis

Pada bab pertama, penulis memaparkan riwayat gerakan Pentakostal yang bermula dari

pengalaman Agnes Ozman pada 1 Januari 1901 di Topeka, Kansas di sekolah yang dipimpin

oleh Charles Parham. Selanjutnya gerakan ini berubah menjadi suatu kebangkitan yang

berwarna internasional yang berpusat di Azusa Street di California, di bawah pimpinan

Seymour. Sejarah selanjutnya mencatat bahwa gerakan Pentakostalisme terus meluas

sehingga mewujud menjadi beberapa denominasi baru di Amerika Serikat. Perkembangan

selanjutnya meliputi gerakan Kharismatik dan Gelombang Ketiga.

Tiga bab selanjutnya membahas mengenai hermeneutik Pentakosta dan bagaimana ia

berbeda dengan hermeneutik kaum Evangelikal pada umumnya, meskipun juga terdapat

persamaan-persamaan. Hermeneutik Pentakosta juga tidak begitu saja dapat dihubungkan

2
dengan pascamodernisme yang begitu populer dalam beberapa dekade terakhir. Meski

beberapa penulis menyarankan supaya para teolog Pentakosta mengadopsi metode

pascamodernisme, William dan Robert Menzies menentang arah tersebut. Selanjutnya

buku ini tampak mendaki klimaksnya pada dua bab yang membahas –atau lebih tepat

membantah- eksegesis James Dunn dan Max Turner. Pandangan penulis dikembangkan

lebih lanjut untuk menyoroti berbagai isyu dalam bagian dua dari buku ini.

Evaluasi

Buku ini sangat penting sebagai suatu pendahuluan terhadap berbagai pokok teologi

Pentakosta. Uraiannya mendalam namun dalam bahasa yang relatif mudah dimengerti dan

dengan sedikit jargon. Beberapa kontradiksi dan perdebatan di antara berbagai pandangan

teologis dipaparkan dengan gamblang dan lugas, sehingga mudah diikuti oleh pembaca.

Yang lebih penting, buku ini dengan jelas menguraikan di bagian mana saja para penulis

buku ini berbeda pendapat dengan penulis-penulis lain, misalnya James Dunn dan Max

Turner.

Buku ini nyaris tanpa kelemahan, selain bahasa terjemahannya juga sangat mudah

dimengerti.

Buku ini sangat menarik dan karenanya direkomendasikan untuk dibaca oleh setiap

mahasiswa teologi khususnya yang ingin mendalami teologi alkitabiah tentang Roh Kudus

atau pneumatologi Pentakosta, dan juga oleh setiap umat Kristen baik Pentakostal maupun

non-Pentakostal yang ingin memperoleh gambaran yang tepat mengenai karya dan kuasa

3
Roh Kudus khususnya dalam memberdayakan umat Kristen untuk misi pekabaran Injil. Hal

ini tampaknya merupakan salah satu kebutuhan utama di banyak gereja modern.

Respons Pembaca

Untuk memperjelas refleksi saya sebagai pembaca terhadap isi buku ini, akan dipaparkan

secara ringkas respons/komentar untuk beberapa pokok utama yang dibahas dalam 6 bab

pertama dari buku ini, dengan harapan diskusi ini akan mendorong pembaca untuk tertarik

membaca secara serius buku ini.

a. BAB 1: Sejarah

- Menzies & Menzies: Penting sekali bagi kita untuk memperhitungkan perubahan-

perubahan yang signifikan dalam teori penafsiran Evangelikal sejak tahun 1970,

perubahan-perubahan yang memungkinkan kaum Evangelikal dan kaum

Pentakostal zaman ini berbicara dalam bahasa yang serupa dengan lebih mudah.

- hal. 46

- Respons saya: Mengenai sejarah awal gerakan Pentakosta di Amerika, secara

umum bab 1 buku ini agak mirip dengan Vinson Synan: The Century of Holy

Spirit, 2001.

b. BAB 2: Hermeneutik

- Stott: "pengungkapan kehendak Allah dalam Alkitab harus dipelajari dalam

bagian-bagian didaktik, bukan bagian-bagian historisnya." - hal. 51

- Stuart & Fee: "Asumsi kami, bersama-sama dengan banyak orang lain, adalah

kalau Alkitab tidak secara eksplisit mengajarkan bahwa kita harus melakukan

4
sesuatu, apa yang diceritakan atau dijelaskan tidak akan pernah berfungsi dalam

cara yang normatif." – hal. 51

- Respons saya: Sebuah alternatif mungkin dapat diajukan oleh penulis terhadap

kalimat Stott di atas yaitu sbb: "Bahwa dengan mempertimbangkan bahwa

penulisan sejarah mengungkapkan latar belakang paradigma dari penulisnya,

maka dapat dikatakan bahwa penulisan sejarah dalam Alkitab tidak mungkin

terlepas dari persepsi teologis tertentu. Dengan kata lain, aspek teologis dari

suatu kisah historis dalam Alkitab juga dapat digunakan untuk tujuan didaktik.

Misalnya, suatu kisah tentang mukjizat yang dilakukan oleh Petrus di pelataran

Bait Suci seperti diceritakan dalam Kisah Para Rasul memiliki muatan teologis,

yaitu ajaran bahwa urapan Roh Kudus pada Hari Pentakosta memberikan kuasa

(dunamis) adikodrati yang luar biasa kepada Petrus seperti yang dijanjikan

Yesus sebelum Dia naik ke sorga, lihat Kis. 1:6-8. Dengan cara ini maka

pandangan Stuart & Fee dengan sendirinya dapat dibantah. Alternatif ini

mungkin lebih konsisten dengan 2 Tim. 3:16, yang menyatakan bahwa segala

tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar ... Perhatikan

frase "segala tulisan yang diilhamkan Allah". Jelas yang dimaksud di sini bukan

saja surat-surat Paulus, melainkan juga perumpamaan-perumpamaan Yesus dan

juga kisah-kisah dalam PL maupun Kisah Para Rasul. Meski demikian perlu

dibuat catatan tambahan, bahwa dalam menyusun dan memilih kisah-kisah yang

akan dicatat, baik para penulis Injil Sinoptik, Yohanes, maupun Lukas sebagai

penulis Kisah Para Rasul, mengandalkan baik ingatan mereka, maupun bahan-

bahan naratif yang dapat mereka kumpulkan dan pilah-pilah menurut

5
pandangan teologis mereka. Namun demikian, hal ini tentunya tidak mengurangi

nilai historis dari Injil Sinoptik, Injil Yohanes maupun Kisah Para Rasul.

- Pandangan alternatif yang diajukan penulis sebagaimana dipaparkan di atas

mungkin lebih konsisten dengan kalimat William Klein, Craig Blomberg, dan

Robert Hubbard: "Kami sudah menyatakan bahwa naratif sering kali mengajar

secara lebih tidak langsung daripada literatur didaktis, tanpa menjadi kurang

normatif. Dengan begitu, kami menolak pendapat Fee dan Stuart yang

menggarisbawahi bahwa: 'kalau Alkitab tidak secara eksplisit mengajarkan

bahwa kita harus melakukan sesuatu, apa yang diceritakan atau dijelaskan tidak

akan pernah berfungsi dalam cara yang normatif." - hal. 57-58.

c. BAB 3: Hermeneutik: Kontribusi Lukas yang penting

- Robert & William Menzies: "Gelombang ketiga kaum Evangelikal sekarang

menerima serta menghargai karunia-karunia Allah yang mencakup nubuat,

penyembuhan, dan bahasa roh, yang merupakan keyakinan Pentakosta." - hal. 63

- Respons saya: Saya cenderung sependapat dengan Menzies & Menzies dalam hal

ini.

- Lukas secara konsisten menggambarkan Roh Kudus sebagai sumber kuasa bagi

pelayanan. Dengan demikian, Stronstad menyimpulkan, bahwa Lukas memiliki

"teologi yang karismatik dan bukan teologi soteriologis tentang Roh Kudus." -

hal.70

d. BAB 4: Hermeneutik: Melompat keluar dari iring-iringan kereta Pascamodern

- Menzies & Menzies: pandangan ahistoris dan skeptisisme epistemologis dari

pascamodernism ini sangat ekstrem dan mengarah pada relativisme.

6
- Respons saya: dalam hal lain mungkin kita bisa agak sepakat dengan

subyektivitas yang begitu ditekankan oleh pascamodernisme, yaitu bahwa suatu

kisah mungkin akan menjadi cerita yang berbeda sudutpandangnya jika

diceritakan oleh narator yang lain. Dengan kata lain narator sebagai subyek

memberikan warna tersendiri dari suatu narasi. Misalnya: jika saja Rasul Paulus

dulu sempat membuat versinya sendiri tentang Kisah Para Rasul, mungkin

hasilnya akan sangat berbeda dengan versi Lukas yang kita warisi sekarang.

Demikian pula, saat ini kita mendapati ada empat Injil yang masing-masing

saling berbeda karena ditulis oleh empat orang penulis yang berbeda. Jadi tidak

saja ada subjektivitas pembaca (reader's response), tetapi juga ada subjektivitas

pengarang (author's response).

e. BAB 5: Eksegesis: Sebuah jawaban untuk James Dunn

- Menurut Menzies & Menzies: Lukas menjelaskan karunia Roh Kudus secara

eksklusif dalam istilah-istilah karismatik sebagai sumber kuasa bagi kesaksian

dan pelayanan yang efektif. - hal.98

- Menurut Dunn: Roh Kudus turun ke atas murid-murid pada hari Pentakosta,

bukan semata-mata untuk menguatkan mereka bagi misi mereka, tetapi lebih

penting lagi untuk mengantar mereka ke dalam zaman yang baru serta

mencurahkan berkat-berkatnya. - hal.99

- Dunn juga menyimpulkan bahwa "pneumatologi Lukas pada dasarnya adalah

satu dengan pneumatologi Paulus." - hal.100

- Menzies & Menzies: Lukas di tempat lain juga memisahkan pertobatan dari

penerimaan Roh Kudus (Lukas 11:13; Kisah Para Rasul 19:1-7).

7
- Menzies & Menzies juga menyatakan bahwa pertobatan dan baptisan air adalah

prasyarat yang normal bagi penerimaan Roh Kudus, yang dijanjikan kepada

setiap orang percaya. - hal.114

- Respons saya: perdebatan yang panjang lebar antara Menzies dan Dunn kiranya

dapat dirangkum dalam satu kalimat pertanyaan yaitu: Apakah dan sejauh mana

pneumatologi misiologis dari Lukas berbeda dengan pneumatologi soteriologis

dari Paulus? Kiranya cukup jelas dari diskusi dalam bab ini bahwa pneumatologi

misiologis dari Lukas cukup unik dan perlu dibedakan dari pneumatologi

soteriologis dari Paulus. Namun demikian dalam praktek sehari-hari di banyak

gereja, patut dicatat juga bahwa baptisan dan urapan Roh Kudus tidak dialami

oleh semua anggota jemaat gereja, dan bahkan di kalangan Pentakosta sendiri

mungkin hanya sekitar 10-20% dari keseluruhan anggota jemaat yang

mengalami baptisan Roh Kudus dan dapat berbahasa lidah (di luar yang dibuat-

buat). Jadi mungkin perbedaan ini tidak perlu terlalu dipertentangkan, meskipun

secara teologis memang sulit dibantah bahwa pneumatologi misiologis dari

Lukas sangat menentukan keberhasilan pekabaran Injil oleh Gereja Perdana. Hal

sedikitnya pengalaman baptisan Roh Kudus di gereja-gereja masa kini juga

merupakan keprihatinan Gordon Fee sebagaimana ditulisnya dalam prakata

bukunya: Paulus, Roh Kudus dan umat Allah (Malang: Yayasan Penerbit Gandum

Mas, 2004).

f. BAB 6: Eksegesis: Sebuah Jawaban untuk Max Turner

8
- Menzies & Menzies berpendapat bahwa anugerah Roh Kudus dalam Kisah Para

Rasul karya Lukas bersifat nonsoteriologis (atau karismatik), bersifat nubuat,

dan misiologis. - hal.125

- Menurut Menzies & Menzies: "Karena itu saya lebih suka mengkarakterisasikan

pneumatologi Lukas sebagai bersifat nubuat daripada karismatik." - hal.126

- Respons saya: kurang begitu jelas di sini, apa dasarnya sehingga Menzies &

Menzies lebih cenderung untuk menyebut pneumatologi Lukas sebagai bersifat

“nubuat” daripada “karismatik”. Kesannya di sini Menzies & Menzies sedikit agak

memaksakan presuposisinya sendiri ke dalam teks Kisah Para Rasul.

- Pandangan Turner: Roh Kudus menganugerahkan hikmat yang diperlukan agar

orang bisa masuk dan tinggal dalam komunitas keselamatan. – hal.128

- Menurut Menzies & Menzies: Turner mengutip tradisi mesianik yang berkaitan

dengan Yesaya 11:1-4, seperti misalnya Targum of Isaiah, yang berbicara

tentang Mesias yang dikatakan memiliki "roh hikmat dan pemahaman, roh

penasihat dan kuasa, roh pengetahuan dan takut akan Tuhan." - hal.129-130

- Respons saya: mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa teks mesianik yang

dikutip di atas merujuk pada tradisi Yahudi tentang Firman Allah atau Memra

yang mewakili hikmat Allah, sebagaimana antara lain terbaca pada Amsal 1:7.

Jadi menurut tradisi mesianik Yahudi, khususnya berdasarkan teks Yesaya yang

dikutip di atas, Mesias merupakan personalitas dari Memra atau Firman Allah

yang menjadi manusia. Itulah mungkin tepatnya yang dimaksudkan oleh

Yohanes dalam Yohanes 1:1-2.

9
- Menzies & Menzies: pendekatan Turner juga memiliki keterbatasan. Tesis

pokoknya bahwa semua tulisan dalam Alkitab Perjanjian Baru merefleksikan

sebuah pemahaman umum tentang Roh Kudus sebagai Roh nubuat; sumber

hikmat pemberi kehidupan, wahyu karismatik, khotbah-khotbah nubuat, dan

pujian - tidak cukup fleksibel untuk memberikan penghargaan yang selayaknya

terhadap sudut pandang Lukas yang berbeda, dan mungkin juga terlalu sempit

bagi Paulus maupun Yohanes. - hal.150

- Respons saya: tampaknya di sini pengamatan Menzies & Menzies bahwa

pandangan Turner cenderung menggeneralisasikan berbagai pneumatologi

dalam Perjanjian Baru adalah cukup bertanggungjawab.

Version 1.0: 20 Maret 2014

VC, email: victorchristianto@gmail.com

10

Anda mungkin juga menyukai