Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami dan istri. Suami dan istri yang telah
mengambil keputusan untuk menghubungkan diri dalam ikatan perkawinan , bahwa hidup
mereka mulai dari nikah mereka diteguhkan dan diberkati oleh gereja merupakan suatu
“persekutuan hidup”. Perkawinan sebagai suatu persekutuan hidup tidak otomatis terjadi. Ia
harus diperjuangkan. Ia harus dibentuk, dipelihara dan dibina: dibentuk, dipelihara dan dibina
bersama-sama oleh suami dan isteri. Salah satu syarat yang paling penting untuk itu ialah :
keterbukaan. Suami dan isteri yang taat pada kehendak Allah dan yang karena itu berusaha
untuk membuat perkawinan mereka menjadi suatu persekutuan-hidup yang lestari, harus
bersifat terbuka seorang terhadap yang lain. (2003:61-62)
Pernyataan diatas menegaskan bahwa keterbukaan dalam hubungan suami dan isteri adalah
hal yang utama dalam pernikahan. Keterbukaan diantara suami dan isteri dapat menolong
untuk terhindar dari perselingkuhan. Alkitab dengan tegas menyatakan perselingkuhan adalah
perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan rancanganNya dalam pernikahan.
Sebab pernikahan hanya terjadi dan terdiri dari satu laki-laki (suami) dan satu perempuan
(isteri) dan pernikahan tidak mengenal oknum ketiga (bd. Kej.2:24).
Rasul Paulus dalam beberapa suratnya menulis tentang pentingnya memelihara keutuhan
pernikahan Kristen melalui menjaga hubungan suami dan isteri agar tetap harmonis dan ia
menentang perzinahan dan percabulan yang dapat merusak keutuhan pernikahan dan
hubungan suami-isteri. Pertama, surat Paulus kepada Jemaat di Efesus. Mengawali tulisannya
tentang hubungan suami dan isteri, Paulus membuat suatu pernyataan yang menjadi faktor
penting dalam pernikahan yaitu :”… rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam
takut akan Kristus” (Ef.5:21). Saling merendahkan diri di dalam Kristus merupakan suatu
prinsip rohani yang umum untuk semua hubungan manusia dan yang pertama-tama
diterapkan adalah dalam pernikahan Kristen atau hubungan suami dan isteri. Selanjutnya
Paulus menguraikan tanggung jawab suami dan isteri dalam pernikahan (bd.Ef.5: 22-29).
Hubungan nikah yang baik dapat terjadi dan dipelihara dengan baik hanya oleh suami dan
isteri yang juga berada dalam suatu hubungan yang benar dengan Kristus. (Theodore H.Epp
;tt:13).
Kedua, surat Paulus kepada Jemaat Korintus. Paulus dalam suratnya yang pertama kepada
jemaat Korintus menegaskan bahwa: “Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi
suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubunya sendiri, tetapi isterinya” (I
Kor.7:4). Artinya tubuh seorang suami menjadi milik istrinya dan tubuh seorang isteri
menjadi milik suaminya, untuk dipakai sesuai kehendak pasangannya., yang dimaksud
dengan tubuh di sini terutama adalah alat-alat seksual (Jonathan A.Trisna; 2000:115). Di
dalam ikatan pernikahan, setiap suami dan isteri telah melepaskan hak khusus atas tubuhnya
sendiri dan memberikan hak itu kepada pasangannya. Tidak seorangpun dalam ikatan
pernikahan melalaikan untuk memenuhi hasrat seksual yang normal dari pasangannya,
melalaikan atau menolak kewajiban tersebut maka suami dan istri telah membuka peluang
untuk hidup dalam perzinahan atau perselingkuhan. Kecuali atas persetujuan bersama untuk
sementara waktu suami dan isteri menjauhkan diri, Paulus menegaskan supaya hal itu
dilakukan untuk menjadi kesempatan suami dan isteri berdoa (I Kor.7:5).
Pada bagian lain Paulus menyebut dua istilah yaitu cabul dan zinah (I Kor.6:9). Kedua istilah
ini menunjuk pada pelanggaran seksual, tetapi waktu terjdinya dan tingkat hukuman yang
harus diberikan kepada kedua perbuatan tersebut berbeda satu sama lain. Kata cabul
(fornificaton) menunjukkan perbuatan asusila sebelum pernikahan dan kata zinah (adultery)
menunjukkan perbuatan asusila yang dilakukan sesudah menikah (Theodore.H.Epp.;tt:51-
52).
Alkitab memakai istilah zinah atau perzinah, sedangkan pada masa kini istilah yang lebih
popular dipakai kata selingkuh atau perselingkuhan, untuk menunjukkan ketidak setiaan
diantara suami dan isteri dan dengan sembunyi seorang suami atau isteri mencari permuasan
seksual di luar pasangannya.
Ketiga, surat kepada orang Ibrani. Penulis surat kepada orang Ibrani ini, menutup suratnya
dengan memberi nasehat terakhir, diantaranya : “Hendaklah kamu semua penuh hormat
terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang
sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” (Ibr.13:4). Allah memerintahkan agar suami dan
isteri menghormati pernikahn dan tidak mencemarkan tempat tidur karena pernikahan adalah
lembaga terhormat yang dirancang oleh Allah bagi manusia selain lembaga gereja. Allah
memiliki norma-norma yang tinggi bagi suami dan isteri dalam pernikahan dan seksualitas,
sehingga kesenangan seksualitas yang dihasilkan dalam hubungan pernikahan yang setia
telah ditetapkan oleh Allah dan dihormatiNya.
Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami dan istri. Suami dan istri yang telah
mengambil keputusan untuk menghubungkan diri dalam ikatan perkawinan , bahwa hidup
mereka mulai dari nikah mereka diteguhkan dan diberkati oleh gereja merupakan suatu
“persekutuan hidup”. Perkawinan sebagai suatu persekutuan hidup tidak otomatis terjadi. Ia
harus diperjuangkan. Ia harus dibentuk, dipelihara dan dibina: dibentuk, dipelihara dan dibina
bersama-sama oleh suami dan isteri. Salah satu syarat yang paling penting untuk itu ialah :
keterbukaan. Suami dan isteri yang taat pada kehendak Allah dan yang karena itu berusaha
untuk membuat perkawinan mereka menjadi suatu persekutuan-hidup yang lestari, harus
bersifat terbuka seorang terhadap yang lain. (2003:61-62)
Pernyataan diatas menegaskan bahwa keterbukaan dalam hubungan suami dan isteri adalah
hal yang utama dalam pernikahan. Keterbukaan diantara suami dan isteri dapat menolong
untuk terhindar dari perselingkuhan. Alkitab dengan tegas menyatakan perselingkuhan adalah
perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan rancanganNya dalam pernikahan.
Sebab pernikahan hanya terjadi dan terdiri dari satu laki-laki (suami) dan satu perempuan
(isteri) dan pernikahan tidak mengenal oknum ketiga (bd. Kej.2:24).
Rasul Paulus dalam beberapa suratnya menulis tentang pentingnya memelihara keutuhan
pernikahan Kristen melalui menjaga hubungan suami dan isteri agar tetap harmonis dan ia
menentang perzinahan dan percabulan yang dapat merusak keutuhan pernikahan dan
hubungan suami-isteri. Pertama, surat Paulus kepada Jemaat di Efesus. Mengawali tulisannya
tentang hubungan suami dan isteri, Paulus membuat suatu pernyataan yang menjadi faktor
penting dalam pernikahan yaitu :”… rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam
takut akan Kristus” (Ef.5:21). Saling merendahkan diri di dalam Kristus merupakan suatu
prinsip rohani yang umum untuk semua hubungan manusia dan yang pertama-tama
diterapkan adalah dalam pernikahan Kristen atau hubungan suami dan isteri. Selanjutnya
Paulus menguraikan tanggung jawab suami dan isteri dalam pernikahan (bd.Ef.5: 22-29).
Hubungan nikah yang baik dapat terjadi dan dipelihara dengan baik hanya oleh suami dan
isteri yang juga berada dalam suatu hubungan yang benar dengan Kristus. (Theodore H.Epp
;tt:13).
Kedua, surat Paulus kepada Jemaat Korintus. Paulus dalam suratnya yang pertama kepada
jemaat Korintus menegaskan bahwa: “Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi
suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubunya sendiri, tetapi isterinya” (I
Kor.7:4). Artinya tubuh seorang suami menjadi milik istrinya dan tubuh seorang isteri
menjadi milik suaminya, untuk dipakai sesuai kehendak pasangannya., yang dimaksud
dengan tubuh di sini terutama adalah alat-alat seksual (Jonathan A.Trisna; 2000:115). Di
dalam ikatan pernikahan, setiap suami dan isteri telah melepaskan hak khusus atas tubuhnya
sendiri dan memberikan hak itu kepada pasangannya. Tidak seorangpun dalam ikatan
pernikahan melalaikan untuk memenuhi hasrat seksual yang normal dari pasangannya,
melalaikan atau menolak kewajiban tersebut maka suami dan istri telah membuka peluang
untuk hidup dalam perzinahan atau perselingkuhan. Kecuali atas persetujuan bersama untuk
sementara waktu suami dan isteri menjauhkan diri, Paulus menegaskan supaya hal itu
dilakukan untuk menjadi kesempatan suami dan isteri berdoa (I Kor.7:5).
Pada bagian lain Paulus menyebut dua istilah yaitu cabul dan zinah (I Kor.6:9). Kedua istilah
ini menunjuk pada pelanggaran seksual, tetapi waktu terjdinya dan tingkat hukuman yang
harus diberikan kepada kedua perbuatan tersebut berbeda satu sama lain. Kata cabul
(fornificaton) menunjukkan perbuatan asusila sebelum pernikahan dan kata zinah (adultery)
menunjukkan perbuatan asusila yang dilakukan sesudah menikah (Theodore.H.Epp.;tt:51-
52).
Alkitab memakai istilah zinah atau perzinah, sedangkan pada masa kini istilah yang lebih
popular dipakai kata selingkuh atau perselingkuhan, untuk menunjukkan ketidak setiaan
diantara suami dan isteri dan dengan sembunyi seorang suami atau isteri mencari permuasan
seksual di luar pasangannya.
Ketiga, surat kepada orang Ibrani. Penulis surat kepada orang Ibrani ini, menutup suratnya
dengan memberi nasehat terakhir, diantaranya : “Hendaklah kamu semua penuh hormat
terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang
sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” (Ibr.13:4). Allah memerintahkan agar suami dan
isteri menghormati pernikahn dan tidak mencemarkan tempat tidur karena pernikahan adalah
lembaga terhormat yang dirancang oleh Allah bagi manusia selain lembaga gereja. Allah
memiliki norma-norma yang tinggi bagi suami dan isteri dalam pernikahan dan seksualitas,
sehingga kesenangan seksualitas yang dihasilkan dalam hubungan pernikahan yang setia
telah ditetapkan oleh Allah dan dihormatiNya.
Mungkin hukuman paling berat selagi Anda masih hidup adalah sangsi sosial dari
masayarakat. Bayangkan, betapa malunya jika masyarakat mengetahui perbuatan
Anda dan kemudian menerapkan sangsi adat dengan cara mengarak Anda berdua.
Tidak hanya itu, seluruh anggota keluarga Anda tentunya juga akan terkena imbasnya,
harga diri pasangan akan runtuh dan nama baik keluarga tercoreng.
Perselingkuhan apa pun alasannya adalah sebuah perbuatan yang tidak terpuji. Anda
mungkin bisa memperoleh kepuasan dengan berselingkuh, tapi apakah itu semua
sepadan dengan risikonya? Jadilah pribadi yang setia, hiduplah dengan bahagia
bersama pasangan. Jika ada masalah hendaknya bisa diselesaikan dengan baik-baik
dan janganlah mencoba lari dari kenyataan, tetapi hadapilah setiap persoalan dengan
penuh ketabahan.
Di sisi lain banyak anggapan bahwa pihak suamilah yang kerap melakukan
perselingkuhan. Anggapan tersebut didasarkan pada banyaknya aktivitas suami di
tempa kerja, relasi yang harus ditemui dan kurangnya waktu berkumpul bersama
sebagai keluarga. Namun, tentu saja anggapan tersebut tidak selamanya benar, sebab
perselingkuhan dapat terjadi dan dilakukan oleh siapa saja baik itu oleh pihak suami
ataupun istri.
Akan tetapi, hal paling penting untuk diingat adalah apakah dampak dari
perselingkuhan yang dilakukan telah sepadan dengan manfaat yang akan diperoleh
oleh anggota keluarga yang lain, dalam hal ini anak-anak khususnya? Sebelum Anda
betul-betul memutuskan untuk berselingkuh, ada baiknya jika Anda
mempertimbangkan hal-hal berikut ini.