CERMAT BER-IMAN:
TEOLOGI DASAR
PENDAHULUAN
Mengingat situasi dan kondisi masyarakat, kita diajak untuk cermat
dalam beriman. Sebab, ada banyak perkembangan pemikiran, tidak
sedikit perbedaan faham tentang liturgi dan ajaran Gereja, ada pula
perselisihan lintas iman, yang kerap kali menyangkut pemahaman
iman kita sendiri, maupun orang lain. Kecermatan itu tidak hanya
diperlukan karena dalam beriman kita mencoba menghayati cinta
Allah, yang kasihNya kepada kita tanpa batas; tetapi juga karena di
dalamnya tersangkut pula perasaan, yang membutuhkan kepekaan
hati kita sendiri; apalagi kalau kita beriman itu mau melaksanakan
iman dalam tindakan seluruh hidup, yang rumit untuk kita runut.
Kecermatan beriman itu masih diperlukan lagi, ketika kita mengakui,
bahwa kita merupakan bagian dari Paguyuban Umat Beriman, dengan
latar belakang dan pola hidup yang beraneka warna. Kecermatan itu
semakin diperlukan, mengingat bahwa Paguyuban Umat Beriman kita
sudah berumur berabad-abad dan melintasi sekian banyak
kebudayaan, yang mempengaruhi cara beriman, pengertiannya dan
perasaannya.
Namun karena kita percaya bahwa Roh Allah sudah dicurahkan kepada
kita (Yoh 20:22) untuk memahami jalan-jalan Tuhan, oleh sebab itu,
kita perlu berusaha melaksanakan dengan sebaik mungkin. Sementara
itu, kita mempunyai banyak teman, yang juga sudah pernah
mencermati iman: dari masa kini maupun masa silam; dari lingkungan
dekat kita maupun dari lingkup iman yang lebih luas lagi. Mereka
semua dapat kita sapa, untuk membantu kita mencermati hidup
2
BAHAN BACAAN
Pada awal dapatlah kita katakan bahwa berteologi itu mirip dengan
menikmati alam. Seorang ahli geologi memandang alam dari sudut
pembentukan lembah dan bukit sampai ke terwujudnya gunung berapi
berikut kemungkinan meletusnya. Seorang ahli pertanian
membayangkan buah letusan gunung berapi sebagai potensi penyubur
lahan persawahan. Seorang pelukis menyusun sketsa pemandangan
alam yang akan diberi warna-warni yang dituangkan di kanvas indah.
Seorang penyair mulai mencipta syair
1
Penulis Mazmur dan penggubah lagi kanak-kanak ‘Pelangi’ dapat menjadi contoh dalam hal itu.
4
2
Seperti disiratkan oleh Stefan Leks, dalam Teologi Dasar. KPKS, Jakarta, 1999, hal.2.
5
KERANGKA DASAR
(logos). Jadi istilah itu berarti: ‘wacana tentang Allah’, dan dalam
perkembangannya menjadi “kata-kata yang tersusun baik dari sudut
cara berpikirnya dan sistematis mengenai Allah”, alias “refleksi
secara metodis dan sistematis mengenai Allah”. Akan tetapi,
Allah ‘pada diriNya’ sendiri tidaklah tergapai oleh manusia. Orang
kebanyakan hanya dapat membayangkan, memikirkan dan
merumuskan fahamnya tentang Yang Mahakuasa. Pemikiran itu dapat
diusahakan secara teratur. Maka akhirnya refleksi itu menjadi “ilmu
berkenaan dengan refleksi metodis dan sistematis mengenai
relasi manusia dengan Allah”. Teologi dalam pengertian itu
termasuk kegiatan intelektual manusia yakni berkisar pada “tahu”,
“mengetahui”, “pengetahuan” yang disusun secara metodis,
sistematis dan bersambungan satu sama lain.
Kita cermati sebentar pengertian dasar: bahwa teologi berkaitan
dengan, tetapi, juga melampaui PENGETAHUAN HARIAN
TENTANG ALAM, MANUSIA DAN TUHAN yang berkisar pada:
1. Kenyataan-kenyataan di bidang alam dan kebudayaan luas, seperti
tentang sesama manusia, kesenian, alam sekitar maupun sikap kita
padanya (psikhologi, dsb);
2. tali temali, sebab-musabab dan keterangannya, dari yang populer
dan fisikal sampai yang terdalam; mengapa hal itu demikian?
Pencermatan itu mengandung sejumlah ciri, seperti:
1. Berkaitan dengan hal-hal yang terbatas;
2. Merujuk pada ‘dunia sini’;
3. Tidak mencakup keseluruhan hidup.
4. Tidak mencukupkan diri dengan hal-hal yang terbatas itu sendiri.
TEOLOGI adalah
“keseluruhan pengetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang
disusun secara metodis, sistematis dan koheren; pengetahuan ini
menyangkut hal-hal yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan
dengan wahyu itu”.5
5
Bdk. Dister, Nico Syukur, Teologi Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hal. 33.
6
Hal itu sering disebut ‘koheren’
10
Teologi Kristiani
Dalam pada itu, dari tradisi kita tahu bahwa iman kita terima dalam
sejarah keselamatan, dalam beberapa kurun waktu:
7
objektif
8
obiectum materiale.
9
obiectum formale.
11
Kalau kita mencermati sesuatu, ada sasaran tertentu yang kita beri
perhatian khusus; berbeda-beda menurut maksud pencermatan kita.
Kita sudah melihat, bahwa seorang geolog mempunyai sasaran yang
berbeda dengan seorang ahli pertanian atau seorang penyair, ketika
mencermati pemandangan alam dengan gunung dan lembahya. Bagi
teologi, sasaran langsung yang kita cermati adalah Tuhan atau
kaitan antara keindahan alam dengan Tuhan. Jadi setiap kali kita
mendengar desiran alam, melihat kilat alam, merasakan sentuhan
alam dan mencecap enaknya alam, sudut pandangan kita dalam
mencermati itu semua adalah Tuhan tempat Tuhan dalam semua
pencermatan itu. Kita mengandaikan bahwa Tuhan ada; dan ada
dalam semuanya itu.
11
Konstitusi Dogmatis dari Konsili Vatikan I mengenai iman.
17
12
Argumen ‘autoritas’ adalah argumen berpikir karena mengikuti pikiran orang yang kita hormati dan taati.
18
Di sudut hakikat Yang Ilahi dan Yang Insani maupun relasinya satu
sama lain, benar juga pendapat yang mengatakan, bahwa iman dan
teologi tidak dapat dsempitkan hanya pada pengalaman. Iman
memang terkait dengan pengalaman namun toh sekaligus
melampauinya, yaitu sampai kepada Allah sendiri.13
13
Bdk. juga Paulus VI, Mysterium Fidei, no. 24; Dei Verbum a. 14; Gaudium et Spes a. 10 dan Yohannes
Paulus II, Catechesi Tradendae no. 22 serta Redemptor Hominis, no. 10 (Fungsi dasar Gereja adalah untuk
mengarahkan mata hati manusia setiap masa dan pengalaman dasar mereka pada misteri Allah.
14
Dalam "Systematic Theology", Vol. I, 1951, 40.
15
Naming the Whirlwind: New York, 1969, 465.
16
Bdk. J.E. Smith: Experience and God (New York: Exford University Press, 1968, 3-45.
19
CATATAN:
PENGANTAR
artinya: sudah selalu mau melampaui diri sendiri, mau keluar dari dirri
sendiri. Kalau itu berlaku bagi semua orang, maka rupanya hidup
manusia memang secara dasariah terkait dengan 'yang lain' serta
malah merupakan ppemberian, anugerah, karunia dari 'yang lain'
serta malah merrupakan pemberian, anugerah, karunia dari 'yang lain'
ittu. Pemberi hidup itu meruppakan asal hidupp manusia dan sekaligus
arah gerak hidup manusia. Sebutan yang dipakai: Dialah Allah. 2 Bahan
pembicaraan kita ini justru berkenan dengan hubungan antara
Manusia dengan Allah, serta segala sesuatu, yang berkaitan dengan
ittu. Oleh karena itu pembicaraan ini disebut 'Manusia dengan yang
Ilahi'. Dan hal ini merupakaan latar belakang, yang akhirnya
mendasari serta menjadi arah dari segala renungan tentang Panggilan
Hidup Manusia. Sekaligus bagian ini merupakan pengantar dan
jembatan menuju ke bagian besar berikut: Bagaimana Tuhan secara
nyata memanggil manusia dalam seluruh Sejarah
Penyelamatan.3.usaha ini tidak selalu berhsil. Tidak mudah manangkap
Kehendak Allah maupun SabdaNya. Tidak gampang mengenali Allah.
Sebab Allah adalah Tuhan, justru karena serba tidak manusiawi4
ternyta, bahwa hidup dan segala aspeknya itu diterima oleh manusia.
Kalau ditarik sampai konsekwensi terdalam, maka hidup manusia
semua adalah pemberian dari 'Yang lain'. Allah, itulah 'Yang Lain' sama
sekali. Dialah pemberi hidup manusia dan segalanya. Dialah pokok
dari segala sesuatu yang ada. Dialah yang mengadakan segalanya
sejak belum ada apa-apa. Jadi Dialah yang memberi ada kepada
segala tanpa ada bahan apapun. Dialah yang menciptakan manusia.
Dia, yang serba lain dari bahan manusia apapun,- Dia-lah Pencipta
Manusia. Kita menangkap hal itu dengan cara lain lagi. Manusia tidak
hanya menerima dan tertarik untuk menuju ke arah tertentu. Kita
sudah melihat, betapa hidup manusia yang hanya satu ini, ternyata
bergerak - berkembang terus. Padahal kita juga sudah melhat, bahwa
hidup manusia secara keseluruhan dan pada dasarnya mempunyai
makna. Maka gerak itu pasti juga bermakna danmanusia berkembang
menuju ke arah yang semakin berarti. Manusia ditarik ke arah
cakrawala-horison makna yang terluas: yalah Tuhan sendiri, Sang Arti
Sejati. Dalam pengertian itu kita alami Tuhan sebagai horison makna
terluas dan sumber-arti manusia. Lalu arti sesuatu tindakan manusia
diukur menurut kadar, sejauh mana tindakan itu semakin ataukah
kurnag mendekatkan manusia pada Sanga Makna Utama, Tuhan
sendiri. Dialah ukuran dan norma terakhir dari segala kegiatan
manusia. Dialah tujuan hidup manusia. Maka juga Dialah yang
menyampaikan panggilan paling dasariah pada kita. Tuhanlah Dasar
dan Tujuan dari Panggilan Hidup Manusia.
MANUSIA BERAGAMA
betapa kontak dengan? Tuhan yang Mahabesar dan Akbar itu benar-
benar sebegitu kaya, sehingga tidak mungkin terkuras habis oleh satu
orang atau satu kelompok, walaupun hanya ada satu Tuhan Yang
Mahaesa.8 Setiap orang memang mempunyai keyakinan, bahwa
memang benarlah kontak yan gdia jalankan dengan Tuhan melalui
agamanya dan karena itu akan melaksanakan danmewartakannya
dengan sepenuh hati. Namun hal itu terjadi tapa 'menghojat Tuhan'
dengan memproklamirkan diri sebagai satu-satunya 'orang
kepercayaan Allah' (seakan-akan Tuhan sudahsepenuhnya dia kuasai
denan otak, lidah atau seninya). Sekali lagi kesulitannya: seringkali
hubungan dengan Allah disamaratakan (di-identik-kan) saja dengan
tindakan tertentu (ke Gereja, ke Pura, ke Mesjid atau ke Candi).
Dengan begitu orang ditarik untuk terlalu memperhatiakn perbedaan-
perbedaan lahiriah. Dalam rangka inilah kita melihat pekanya
pembicaraan tentang kerukunan beragama, bila orang terlalu
memusatkan perhatian pada ungkapan (seperti praktek-praktek
moral, rumusan ajaran/dogma tertentu, bentuk ibadat dan
sebagainya) dan kurang memperhatikan (memasukkan ke dalam 'hati'
penuh-penuh) bahwa Tuhan kita sungguh esa, Dia pemberi hidup kita
semua. Dia sama-sama Bapa kita. Kecuali itu kebiasaan
mengindentikkan iman denan tindak lahiriah itu dapat menggoda
banyak orang untuk menyalah gunakan agama demi
kepentigansendiri. Sebab kalau, misalnya, seseorang terlalu
menekankan ajaran tertentu, lalu orang tergoda untuk mengelompok
menurut ajaran-ajaran tertentu dan segan melepaskannya,- apalagi
kalau sedang menjadi tokoh dalam ajaran tersebut. Lalu dibalikkan:
demi kedudukannya orang dapat saja memaksakan kehendaknya pada
sesama, seakan-akan rumusan ajarannya, itulah yang paling benar,
kini dan sepanjang masa. Tetapi semakin berbahaya kalau langsung
34
1CATATAN-CATATAN
KESIMPULAN
Pemberi nora untuk segi rohani, yang mengatasi segi biologis, segi
psykhis dan segi etis. Lalu alam kebersamaan hidup sebgai manusia
menujuk arah kepada 'Sang Sesama Mutlak' di balik sesama manusia
lain. apalagi dinamika hidup manusia jelas membawa kita berpikir
kepada Sang Masa Depan Baka, Tujuan Gerak Dinamika hidup kita.
Dengan kata lain, senantiasalah kita tersentuhkan pada gagasan
tentang Pemanggil Utama = Tuhan. Maka dari pengamatan mengenai
adanya gejala dalam segala bangsa untuk berbakti kepada Tuhan, kita
mencoba lebih menyadari siapa sebetulnya Tuhan dan ap ahubungan
antara Tuhan dengan makna hidup manusia. Sengan begitu kita
mencoba menangkap arti ungkapan 'manusia ber-Tuhan'. Ini
membasa kita pada renungan tentang kehidupan beragama dalam
dirinya sendiri maupun dalam rangka masyarakat majemuk. Ternyata
pula, bahwa kehidupan beragama amat erat dengan kebudayaan
seseorang danmasyarakatnya. Akhirnya kita secara singkat menelusuri
tempat Yesus Kristus dalam seluruh renungan tentang Panggilan Hidup
Manusia.
40
DAFTAR PUSTAKA
“MENCARI TUHAN”
Ada orang yang puas dengan ‘hidup apa adanya’. Ada orang yang mau
‘lebih’ dengan bertanya-tanya: ‘hanya untuk begini-kah hidup ini?’
Orang mencari arti hidup dan tidak puas ‘hidup asal-asalan’. Pencarian
itu sering kali bermuara pada gerak ‘mencari Tuhan’.
PENGANTAR
Kerap kali kita dipaksa untuk bertanya-tanya: Apa arti semuanya itu?
Uang kita? Kepandaian kita? Ketrampilan kita? Kesehatan kita?
Kegagahan atau kecantikan kita? Keanggunan atau keluwesan kita?
Apa artinya kedudukan kita? Apa arti sukses kita" Apa arti nama baik
kita? Apa makna semua itu kalau ternyata dalamwaktu sekejap dapat
lenyap? Kalau dalam saat singkat musuh - menyamar - berbaju teman
dapt menghancurkan kita? Kalau bahkan pemerintah atau pembesar
kita tidak mampu dan tidak berdaya menyelamatkan kita? Apa arti
semua itu? Apa makna hidup semacam ini? Siapakah si saya ini?
Dapatkah pertanyaan semacam itu dijawan oleh hara saya, oelh ijsah
saya, oleh tibuh saya, oleh sukses saya, yang begitu gampang terbang
ditiup angin? Dan muncul lagi pertanyaan dasariah: untuk apa saya
ini? Unuk apa hidu ini?
PILIHAN MAKNA
biasanya hal itu berarti: yang murah, itu yang dipilih. Akan tetapi lalu
dapat ditambah segi lain: arti tehnis. Misalnya, walaupun sesuatu
sepeda lebih mahal, tetapi karena mutu tehnisnya lebih tinggi, maka
toh dipilih daripada sepeda lain yang murah, namun dalamwaktu
singkat rusak. Atau soal lain: sesuatu buga anggrek memang lebih
mahal dariada bunga matahari,- namun toh dipilih karena secara
estetis lebih bagus dipasang di meja yang mungil. Jadi nilai estetis
didahulukan daripada nilai ekonomis. Dalam kesadaran - nilai yang
lebih maju lagi, kita dipanggil untuk mempertimbangkan nilai-nilai
ekonomis, tehnis, estetis dan pelbagai arti lain dihadapan nilai etis.
Kalau sesuatu hal mempunyai arti biologis atau nilai psykihis atau
memiliki makna ekonomis, tehnis danestetis, belum tentu harus kita
pilih, apabila ternyata mempunyai nilai etis rendah. Misalnya saja
petasan,. Andaikanlah adik kita yang sangat menderita di suatu
bangsal rumah sakit khusus jantung perlu untuk tidak dikecewakan,
agar sakit jantungnya tidak makin parah. Kebetulan menjelag lebaran
sudah mulai terdengar petasan, yang amat digemari adik. Di depan
rumah sakit penjual menjajakan antara lain petasan murah, cukup
aman buatannya danbagus sekali bentuknya. Adik minta itu untuk
dibunyikan di situ juga. Maka segala nilai biologis, psyikhis, ekonomis,
tehnis danestetis terpenuhi cukup tingal dalam petasan itu. Hanya
saja, kalau diminta untuk dinyalakan di situ,- ini membahayakan
penderia lain. Petasan dalam keadan itu sangat rendah nilai etisnya,
yaitu nilainya dalam rangka tujuan hidup manusia secara
menyeluruh,-juga dalam hubungannya denan orang lan. Mirip dengan
itu: menjual ganja.Diliat dari sudut ekonomis perdagangan ganja
mempunyai arti besar. Namun ganja merusak mereka yang
menikmatinya sampai kecanduan. Jadi arti etisnya rendah.
Masalahnya menjadi lebih berat, kalau tarurahannya 'hidup beriman'.
48
Jatuh cinta kepada seorang gadis itu amat baik. apalagi kalau tidak
bertepuk tangan. Mungkin orang tua kitapun ingin cucu.Hati juga
sudah merasa cocok. Apalagi cantik dan kaya, mempunyai banyak
ketrampilan dan pandai mengatur ruang.Padahal diapun dikenal
sebagai seorang wanita yang baik hati, sosialwati, ramah, belum
berpasangan. Pokoknya segala niai di atas terpenuhi. Sayang sekali
bahwa dia adalah anak seorang toko komunis dan mengaku bahwa dia
juga ateis sendiri serta tidak mau bertobat. Lalu perlulah segala nilai di
atas (biologis, psykhis, ekonomis, tehnis, estetis, etis) ditimbanga
dibandingkan dengan 'nilai religius' berupa pertanyaan: maukah kita
mengurbankan iman kita dengan ganti nilai-nilai lain tersebut.
Tuntutan umum berbunyi nilai iman mengatasi segala nilai lain.
Singkat kata: dalam pelbagai situasi hidup itu kita bertemu aneka nilai
hidup yang tidak senantiasa terpadu sama. Seringkali beberapa niai
saling menguatkan. Tetapi tidak jarang pula ada konflik nilai.Dalam
keadaan itu kita harus memilih 'arti hidup' mana,yang mau kita
menangkan. Dalam hal itu pelu dimaklumi, bahwa dilihat dari sudut
jauh dekatnya dari tujuan hidup manusia secara menyeluruh, tidak
semua arti sama beratnya.Semakin jauh dari tujuan akhir hidup
menyeluruh manusia, nilainya semakin rendah. Maka artinya bagi
hidupkeseluruhan juga turun. Dari contoh-contoh di atas diharap
tampak, bahwa berturut-turut semakin menanjaklah harga nilai-nilai
itu dari yang segi biologis, psykhis, intelektual, etis sampai pada yang
religius. Kita sebagai manusia dipanggil untuk memilih arti yang paling
menunjukkan mutu kemanusian kita.
KESIMPULAN
PERTANYAAN
I. Memahami masalahnya:
Hakikat Wahyu
17
Magisterium berasal dari kata ‚magister’ yang berarti ‚guru’. Dalam hal ini ’guru dalam beriman’. Nanti
kita akan mendalami, siapa sajakah yang secara sah disebut ’guru dalam beriman’.
18
Beberapa kelompok Aliran Kepercayaan mengakui cara pandang tersebut.
55
yang bilang bahwa wahyu itu suara dari Allah untuk menunjukkan ke
mana kita harus melangkah. Lainnya lagi mengatakan bahwa wahyu
itu catatan tertulis dari Allah.
Dalam Konsili Vatikan II, dua ribu lebih Uskup dari seluruh dunia
berkumpul: mereka itu membawa penasehat-penasehat yang
mempelajari banyak hal sekitar iman. Oleh sebab itu wajarlah kalau
kita memandang Konsili sebagai mewakili suara Gereja: dalam jajaran
itu kita temukan para ‘guru iman’. Apalagi ungkapan-ungkapan
Konsili itu mendasarkan diri pada rangkaian ajaran dari sejarah Gereja
sampai teks-teks Kitab Suci yang mencerminkan Tradisi Gereja dari
abad ke abad. Salah satu yang penting adalah bahwa dipelajari juga
keputusan-keputusan Konsili dari masa lampau maupun ajaran para
Bapa Gereja yang dari abad ke abad senantiasa mengkonkretkan
komunikasi antara manusia dengan Allah.
19
Lih. Ef 1:9
20
Lih. Ef 2:18; 2Ptr1:4.
56
Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan 21 dari kelimpahan
cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya 22, dan
bergaul dengan mereka23, untuk mengundang mereka ke dalam
persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya
[DV art.2].
D. Objek wahyu
E. Puncak wahyu
24
Kol 2:9; bdk. Kol 1:19.
58
A. Maksudnya
Dalam Gereja Katolik diakui juga iman akan ‘Wahyu khusus’, yaitu
pewahyuan Diri Allah melalui karya-Nya menyelamatkan dan
menebus manusia dari duka nestapa dunia yang disebabkan
oleh dosa manusia. Wahyu ini disampaikan Allah secara khusus,
yaitu melalui perjanjian dengan umat pilihan-Nya. Wahyu ini disebut
wahyu adikodrati karena tidak dapat ditangkap dengan “kemampuan
kodrat akal budi”, melainkan dengan akalbudi yang diterangi iman.
Penerangan itu dilakukan oleh Allah Roh Kudus, yang diakui
dikaruniakan kepada umat beriman berkat Wafat dan Kebangkitan
Allah Putera justru dalam proses penebusan yang menyelamatkan itu.
25
Lih. Ensiklik ’Deus Caritas Est’ Bab 1 dari Paus Benediktus XVI.
60
26
Bdk. Rm 2:14-15.
61
A. Penciptaan
B. Penyelamatan
27
bdk. Kej 1:1 – 2:4.
62
Sifat Perjanjian itu interaktif. Oleh sebab itu walau pun terjadi dalam
‘Sejarah Keselamatan’ namun sungguh sangat manusiawi: terus
menerus membutuhkan ‘discernment. Memang Perjanjian tidak dapat
dibatalkan, alasannya keputusan bebas Allah memilih Israel. Cinta
Allah yang mahakuasa tidak mengenal batas dan cinta itu menjadi
warna dasar seluruh teologi Perjanjian. Allah tetap setia kendati umat-
Nya tidak setia. Bahkan Ia memperbaharui perjanjian itu (lih. Yer
31:31; Yeh 36:25-28). Namun partner Perjanjian yang adalah
manusia mempunyai banyak keterbatasan, yang penuh pasang surut.
Seluruh Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan
kedua sifat interaktif itu.
65
Kerap kali kita disebut sebagai ‘orang beriman’. Kerap kali kita
mengira bahwa segalanya jelas. Maka sering kali di masyarakat kita
mendengar orang berbicara “sebagai orang beriman, kita harus
bertindak begini atau begitu serta tidak boleh melakukan itu”. Padahal
tidak semua orang memahami iman secara sama. Misalnya saja,
ada orang yang mengaitkan iman dengan ‘percaya kepada Tuhan’
(sudah, begitu saja; dan tidak boleh mempertanyakan sama sekali,
apa yang didengarnya dari seorang ‘guru-iman’). Orang lain
menyatakan bahwa yang disebut beriman adalah orang yang percaya
pada Alkitab yang diwahyukan: jadi para ‘ahli kitab’ itu sama dengan
orang beriman. Yang lain lagi malah menyebutkan pelbagai hal yang
disebut ‘rukun iman’. Dengan demikian kita tidak mau melecehkan
atau memandang rendah orang yang mempunyai cara memahami
iman tidak seperti kita. Yang mau ditunjukkan adalah hanya “bahwa
ada lebih dari satu cara memahami iman, apalagi menghayatinya”.
Teologi Dasar mau menolong kita mencoba mendalami
pertanyaan berikut: Bagi kita orang Katolik, iman artinya apa
dan apa tanda-tandanya bahwa kita beriman; wahyu itu bagi
kita apa?
Banyak bukti atau tanda-tanda yang dikemukakan untuk
menunjukkan bahwa kita orang beriman berasal dari cara kita
berdoa dan perkumpulan doa kita atau rumusan doa kita. Dapatlah
kita memperdalam lebih lanjut: itu sajakah pengertian iman kita?
Dengan demikian tidak mau dikatakan seakan-akan cara berdoa,
rumusan doa atau persekutuan doa itu tidak penting atau tidak
menjadi tanda iman kita; yang mau diperdalam adalah “hanya itukah
67
dengan kalau ucapan yang sama itu dikatakan oleh salah satu teman
kita? Manakah analogi yang perlu kita cermati ketika kita menemukan
sesuatu ucapan yang disebut sebagai ‘wahyu dari Allah’?
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kalau teologi mendasarkan
diri pada kaitan antara hidup kita dengan iman, sementara
iman erat berhubungan dengan wahyu, maka dalam
pembicaraan mengenai dasar teologi, kita harus berbicara
mengenai ‘wahyu’.
Pengantar
Teologi suci bertumpu pada sabda Allah yang tertulis, bersama dengan
Tradisi suci, sebagai landasannya yang tetap. (...) Adapun Kitab suci
mengemban sabda Allah, dan karena diilhami memang sungguh-
69
sungguh sabda Allah. Maka dari itu pelajaran Kitab suci hendaklah
bagaikan jiwa Teologi suci. (DV art.24)
Perjanjian Lama
70
Perjanjian Baru
1. Injil Sinoptik:
71
2. Injil Yohanes:
3. Paulus:
Dalam Perjanjian Baru dapat kita ikuti kesaksian iman banyak anggota
umat, yang telah berkenalan dengan Yesus Kristus. Ada yang murid
dari Rasul-rasul yang mengenal Yesus Kristus secara langsung; ada
pula yang tumbuh dari persekutuan para Murid yang tidak langsung
mengenal Yesus secara fisik. Dari mereka itu, yang paling utama
adalah Santo Paulus. Paulus menekankan iman sebagai jawaban
yang diharapkan dari manusia sebagai reaksi terhadap Sabda
Injil. Melalui iman, orang mendekati Misteri, Injil dan Sabda, sehingga
mengenal rencana penyelamatan Allah dalam wafat dan kebangkitan
Kristus (lih. 1Kor 1:17-30; 2:1-4). Mengenal berarti bergaul dari hati
ke hati. “Pengenalan akan Kristus” (Flp 3:8) disebut juga “ketaatan
iman” (Rm 16:26).
28
J.L. Ch. Abineno, Aku percaya kepada Allah, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1983, hlm. 7-16.
75
satunya Allah, sehingga terjalinlah relasi utuh dengan Allah. Ini yang
dimaksud dengan istilah “percaya” oleh Syahadat.
III. Karena hidup itu ziarah, yang penuh cobaan, maka orang yang
beriman berpegang teguh kepada Allah
Iman adalah relasi dengan Allah dalam Sang Kebenaran karena Roh
Mahakudus. Iman bukan hanya soal hati saja tetapi juga akal-budi
(lih. Mat 22:37. dst: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati,
jiwa, dan akalbudi). Maka, orang yang percaya adalah orang yang
mencari kebenaran dan bersikap kritis baik terhadap pewartaan
maupun terhadap diri sendiri. Kata ‘kritis’ tidak dimaknai sebagai
‘serba melawan’ melainkan terus menerus mencari kebenaran. Contoh
suatu percaya yang ‘tidak buta’, misalnya dalam Yoh 6:67-69.
Ringkasnya:
Sebagai sambutan manusia atas pemberian Diri Allah, iman Kristiani
mengandung beberapa sifat::
a. Aspek “lingkup ilahi”, yaitu menyambut Allah yang
transenden.
b. Aspek historis, yaitu peristiwa dalam sejarah.
c. Aspek pengetahuan, yaitu pewartaan dan ajaran tentang
Sang Kebenaran.
d. Aspek personal, yaitu penerimaan pribadi manusia kepada
Allah.
e. Aspek perasaan, yakni cintakasih membara sehingga
‘committed’.
Aspek aksi, yalah jawab terhadap kasih Allah dalam dunia karya
sehingga memiliki warna khas.
78
PEDOMAN IMAN
b. Pewartaan tertulis
A. Peran Tradisi:
* Tradisi lisan sudah kita lihat sebagai pedoman penting bagi hidup
beriman Gereja perdana. Dalam konteks itulah Kitab Suci
mengambil tempat sebagai sarana wahyu. Dalam proses itu,
pengalaman hidup para Rasul dengan Kristus mengatasi dan
melebihi tulisan-tulisan yang memberi kesaksian tentang-
Nya. Sebab hidup bersama Kristus melampaui kata-kata. Kitab Suci
sendiri berasal dari pewartaan rasuli yang hidup. Jadi para rasul
mewariskan bukan saja Kitab-kitab, tetapi pewartaan hidup iman.
b) Hakikat Tradisi
Jadi Tradisi adalah apa yang juga merupakan inti sari
kehidupan para Murid ketika bersama Yesus Kristus.
Tradisi mengandung perbuatan (karya) dan perkataan (sabda)
yang secara intrinsik terjalin satu sama lain. Oleh sebab itu
Tradisi dan Kitab Suci bukanlah saingan satu sama lain,
melainkan saling melengkapi secara mutlak. Kesaksian Kitab
Suci menuntut untuk dituangkan ke dalam kehidupan Gereja.
Tradisi mewujudkan tuntutan itu secara keseluruhan.
C. Perkembangan Tradisi:
a) Ziarah Gereja sudah ditentukan untuk berkembang lebih
lanjut ketika Yesus mengutus para Murid agar menjadi
saksinya sampai ke ujung dunia. Oleh sebab itu Tradisi tetap
terbuka untuk perkembangan.
Keterbukaan pada perkembangan disebabkan oleh isi dan
hakikat Tradisi sendiri. Demi hakikatnya Tradisi meneruskan
hidup beriman umat dalam pelayanan para Rasul dan murid-
murid mereka. Tradisi merupakan sesuatu yang hidup. Baik
Tradisi maupun Gereja merupakan kenyataan yang hidup. Setiap
hal yang hidup itu bersifat menjaga diri dengan
mengembangkan diri.
D. Saksi-saksi Tradisi
85
MAGISTERIUM GEREJAWI
31
Lih. 1 Yoh 2:20.27.
32
33
Lih. 2 Tim2:2
89
II. Kerangka iman itu menurut Yoh 21 dan Mat 16: 18 merupakan
rujukan tanggungjawab Petrus/Paus dan Dewan para Rasul
(Dewan para Uskup). Ketua dewan para uskup, yang memangku
“jabatan Petrus” yang diberikan Tuhan kepada Gereja-Nya untuk
memperteguh kesatuannya (bdk. Yoh 1:42; Mat 16:16; Luk
22:32; Yoh 21:15).34 Keterbatasan manusia membutuhkan
prasarana agar pelbagai tugas ilahi dapat dilaksanakan secara
taat azas. Maka pelaksanaan jabatan Petrus tersebut dapat
dipergunakan dengan syarat-syarat: 1) Paus harus menegaskan
maksudnya untuk berbicara “ex cathedra”, artinya: dari kursi
pengajaran Santo Petrus; 2) Sri Paus harus menegaskan
maksudnya untuk mengungkapkan iman seluruh Gereja; 3) bahan
pernyataannya harus menyangkut hal-hal iman, atau moral. 4).
Sungguh mengungkapkan keyakinan iman seluruh Gereja.
34
Pada kenyataannya baru 2 kali Paus mempergunakan “karunia kebenaran dan kebal-salah” itu, dan selalu
setelah mendengar pendapat dan memperoleh persetujuan dari seluruh Gereja. Pertama, ketika
mengumumkan dogma tentang “Maria yang dikandung tanpa dosa” (Pius IX, 1854). Kedua, ketika
mengumumkan dogma tentang “Maria diangkat ke surga” (Pius XII, 1950).
90