Anda di halaman 1dari 90

1

CERMAT BER-IMAN:
TEOLOGI DASAR

PENDAHULUAN
Mengingat situasi dan kondisi masyarakat, kita diajak untuk cermat
dalam beriman. Sebab, ada banyak perkembangan pemikiran, tidak
sedikit perbedaan faham tentang liturgi dan ajaran Gereja, ada pula
perselisihan lintas iman, yang kerap kali menyangkut pemahaman
iman kita sendiri, maupun orang lain. Kecermatan itu tidak hanya
diperlukan karena dalam beriman kita mencoba menghayati cinta
Allah, yang kasihNya kepada kita tanpa batas; tetapi juga karena di
dalamnya tersangkut pula perasaan, yang membutuhkan kepekaan
hati kita sendiri; apalagi kalau kita beriman itu mau melaksanakan
iman dalam tindakan seluruh hidup, yang rumit untuk kita runut.
Kecermatan beriman itu masih diperlukan lagi, ketika kita mengakui,
bahwa kita merupakan bagian dari Paguyuban Umat Beriman, dengan
latar belakang dan pola hidup yang beraneka warna. Kecermatan itu
semakin diperlukan, mengingat bahwa Paguyuban Umat Beriman kita
sudah berumur berabad-abad dan melintasi sekian banyak
kebudayaan, yang mempengaruhi cara beriman, pengertiannya dan
perasaannya.
Namun karena kita percaya bahwa Roh Allah sudah dicurahkan kepada
kita (Yoh 20:22) untuk memahami jalan-jalan Tuhan, oleh sebab itu,
kita perlu berusaha melaksanakan dengan sebaik mungkin. Sementara
itu, kita mempunyai banyak teman, yang juga sudah pernah
mencermati iman: dari masa kini maupun masa silam; dari lingkungan
dekat kita maupun dari lingkup iman yang lebih luas lagi. Mereka
semua dapat kita sapa, untuk membantu kita mencermati hidup
2

beriman, gagasan beriman, perasaan beriman dan cara Tuhan


mengijinkan kita memahami cintaNya.

BAHAN BACAAN

Bercken, Martinus v.d., Diktat Pengantar Teologi. Yogyakarta, 1970.


Dister, Nico Syukur, OFM., Pengantar Teologi. Kanisius, Yogyakarta,
1991, 206 halaman.
Leks, Stefan, Teologi Dasar.KPKS, Jakarta, 1999.

Pada awal dapatlah kita katakan bahwa berteologi itu mirip dengan
menikmati alam. Seorang ahli geologi memandang alam dari sudut
pembentukan lembah dan bukit sampai ke terwujudnya gunung berapi
berikut kemungkinan meletusnya. Seorang ahli pertanian
membayangkan buah letusan gunung berapi sebagai potensi penyubur
lahan persawahan. Seorang pelukis menyusun sketsa pemandangan
alam yang akan diberi warna-warni yang dituangkan di kanvas indah.
Seorang penyair mulai mencipta syair

Berteologi mirip dengan


Menikmati alam

yang dapat mengangkat hati pembacanya melampaui apa yang dilihat


mata dan dirasakan kulit. Seorang teolog melihat Allah yang
menciptakan serta menyerahkannya kepada manusia untuk
dinikmati dan dipelihara demi kesejahteraan bersama serta
kemuliaan Allah.
Jadi, bagi teolog, dasar berteologi tersembul tatkala memandang
keindahan alam dan hati orang dapat terangkat mencari Pencipta yang
agung: sebab bagi teolog, pemandangan itu melampaui pebukitan dan
lava, menembus hutan belantara dan letusan dahsyat suatu gunung,
3

sampai pada Sang Pribadi yang menciptakannya. 1 Karena fakta


dasarnya bagi teolog adalah kenyataan bahwa manusia haus akan
Yang Mahagung sehingga, ketika gunung berapi meletus, banyak
orang kembali berdoa. Saat ada gempa bumi berkepanjangan, doa
menjadi pelarian orang. Setiap kali menjumpai orang yang serba
makmur berdampingan dengan orang yang serba susah, timbullah
pertanyaan: siapa Tuhan itu? Gejala itu menunjukkan bahwa
dalam saat-saat tertentu orang mencari Tuhan.
Setiap kali ada huru hara berkepanjangan dan konflik meletup
dimana-mana, banyak diskusi dan harapan diletakkan pada agama: di
balik permasalahan dalam masyarakat orang mencari Tuhan=Theos,
dan mencari kata (=logos) untuk mengungkapkannya. Orang
berpaling pada agama saat ada tawuran antar-pelajar, dengan
harapan bahwa pelajaran agama yang lebih baik akan membuat
tawuran batal. Saat masyarakat kehilangan harapan pada uang,
kekuasaan dan penegakan hukum serta

Iman tak identik


dengan agama

moralitas pergaulan, sejarah menunjukkan kelaparan manusia akan


Theos (dengan segala perumusannya).
Di balik harapan itu tersembunyi pendapat, seakan-akan tingkah-laku
manusia senantiasa didasarkan pada pendirian dan sikap beragama;
dan sikap itu diduga selalu bertumpu pada pengetahuan tentang
agama tertentu. Dalam pendapat itu tersimpan suatu gagasan,
seakan-akan iman itu sama dan sebangun (alias ‘identik’) dengan
agama dan agama identik dengan pengetahuan; lalu agama pasti
membawa perilaku pribadi yang baik; perilaku individual mutlak
meluap pada tindakan komunal yang padu; selanjutnya perilaku

1
Penulis Mazmur dan penggubah lagi kanak-kanak ‘Pelangi’ dapat menjadi contoh dalam hal itu.
4

individual pasti terjabar dalam langkah publik yang serasi. Teologi


Praksis semacam itu mengandung banyak diskusi hangat. Ada yang
mendapati, bahwa urut-urutan pendirian di atas tidaklah
senantiasa lurus: perilaku individual belum tentu terungkap dalam
langkah publik yang senada, seperti kejujuran individual tidaklah
selalu memustahilkan ketidakjujuran ujian. Keyakinan teguh akan
ajaran agama, belum tentu mencegah orang menghancurkan milik
orang lain atau membunuh, seakan-akan agama tidak melarang kedua
kejahatan itu dst. Berdoa khusuk tidak selalu menyebabkan orang
tidak mencuri atau korupsi.
Pengetahuan mengenai Allah, iman, agama dan moral, belum tentu
dilaksanakan dalam hidup harian dan relasi sosial. Oleh sebab itu
perlulah kita mempelajari dasar-dasar ‘logos’ tentang ‘theos’, secara
tepat: supaya tidak terjerumus pada ‘bungkus-
Logos dan Theos

bungkus gagasan yang secara popular kerap dipakai’; diperlukan


‘tinjauan yang realistis, kritis dan membangkitkan harapan’ supaya
‘cakap kita mengenai Tuhan dapat dipertanggungjawabkan, karena
sambung satu sama lain, sepadan satu sama lain dan tertata-rapi
urut-urutan gagasannya, untuk memilih pendirian dan tindakan yang
tepat.
Dengan kata lain mempelajari dasar-dasar pengetahuan iman
dapat menolong manusia mengerti pilihan-pilihan langkah yang
harus diambil sebagai orang baik, yang mau memuliakan Allah
dan membangun persaudaraan. Itulah maksud baik teologi secara
keseluruhan. Namun sekaligus perlu diingat, bahwa titik pangkal
berteologi, bukan sekedar dorongan orang untuk berpikir 2. Dasar yang
lebih dini lagi adalah hasrat manusia untuk menuju kepada Tuhan

2
Seperti disiratkan oleh Stefan Leks, dalam Teologi Dasar. KPKS, Jakarta, 1999, hal.2.
5

dan mengarahkan hati (bukan pikiran) kepada Tuhan. Itulah


sebabnya, mengapa Katekismus Gereja Katolik dari segala edisi, sejak
zaman para Bapa Gereja (Tertullianus, Cyrillus, Augustinus) sampai
teolog besar Thomas Aquino, Karl Rahner serta Joseph Ratzinger,
mempelajar Teologi Dasar mulai dengan kerinduan manusia ke arah
Tuhan.
Baru pada langkah berikut dapat dibicarakan mengenai keinginan
manusia untuk mengetahui hakikat dan isi kerinduan dan hasrat
tersebut. Begitulah secara sangat mendasar dan umum, teologi
berdasar pada sesuatu dalam kodrat manusia, yang lapar dan
haus akan Allah3.

Mengikuti runutan pemikiran di atas, rangkaian pendalaman berikut


disebut Teologi Dasar. Sebab teologi ‘yang umum’, secara
keseluruhan mau mengungkapkan hasrat ‘mempelajari Allah dan
pemikiran selanjutnya kalau kita beriman kepada Allah’: perihal
hakikat Allah, penciptaan, penebusan, rahmat, sakramen-sakramen
dan moral serta hidup kekal. Untuk memulainya diperlukan suatu
‘teologi DASAR’, yaitu yang diharap dapat merupakan dasar bagi
pelbagai teologi yang lain, seperti misalnya ‘teologi tentang hidup
bersama’, ‘teologi mengenai ibadat’, ‘teologi mengenai perilaku moral’,
‘teologi mengenai kepemimpinan agama’ dst.
Maksudnya, supaya kita dapat memahami teologi mengenai sakramen,
perlulah kita dapat membedakan antara pelbagai pengalaman tentang
symbol, teori ritus dengan ‘kekhasan yang mau dilakukan kalau kita
mengatakan mau berteologi’.4 Jadi, guna teologi dasar adalah
untuk ‘Mencermati hal-hal yang khas dan dasar dalam
berteologi’. Pembedaan cermat itu diperlukan, agar kita tidak
3
Leks, Stefan, Teologi Dasar, Pendahuluan.
4
Bandingkan dengan perbedaan ilmu geologi, ilmu pertanian dan teologi dalam memandang pemandangan
alam pada awal tulisan ini.
6

tenggelam dalam lautan masalah dan hutan yang ditumbuhi pendirian-


pendirian iman serta aneka pola beragama: maklum, ‘hutan
pandangan iman’ itu telah terbangun berabad-abad karena aneka
maksud baik maupun maksud buruk, atau tanpa maksud baik/buruk
(sekedar keinginan mengemukakan pendapat, sebagai manusia atau
kelompok beriman tertentu).
Dari satu sisi upaya ini akan langsung menyadarkan orang, bahwa ada
banyak pendirian dan cabang teologi (sehingga pada awal pun sudah
tampak rimbunnya hutan); dari lain sisi upaya ini akan mencoba untuk
menemukan gugus-gugus pemikiran dan cara berpikir, yang dapat
tersembul dari lautan cara dan buah berteologi. Kata ‘dasar’ dalam
‘Teologi Dasar’ ingin menggarisbawahi baik ‘isi’-nya yang mendasari
teologi-teologi selanjutnya maupun ‘cara-bekerja’-nya yang beda dari
mata-teologi lainnya.

KERANGKA DASAR

Kita akan mendalami suatu bagian dari Teologi ‘umum’, yang


lebih menekankan dasar-dasarnya: baik dasar dari sudut caranya
maupun dari sudut isinya. Kita perlu menyadari hal itu, agar nanti
dapat melihat, bahwa dari satu sisi, banyak cabang teologi, dari sisi
lain, dalam Teologi Dasar dapatlah ditemukan unsur-unsur, yang ada
dalam bagian lain dari teologi. Dari sisiu lain lagi, perlulah kesadaran
itu dimiliki, sehingga kita dapat mengenali sebabnya, mengapa dapat
pula didirikan program studi atau fakultas atau universitas, yang
mengandung pelbagai segi teologi. Untuk itu baiklah kita mencermati
makna dasar teologi.
Menurut asal-katanya “theologia” berasal dari kata theos (Yunani)
dan logos (Yunani) yang masing-masing berarti Allah (theos) dan kata
7

(logos). Jadi istilah itu berarti: ‘wacana tentang Allah’, dan dalam
perkembangannya menjadi “kata-kata yang tersusun baik dari sudut
cara berpikirnya dan sistematis mengenai Allah”, alias “refleksi
secara metodis dan sistematis mengenai Allah”. Akan tetapi,
Allah ‘pada diriNya’ sendiri tidaklah tergapai oleh manusia. Orang
kebanyakan hanya dapat membayangkan, memikirkan dan
merumuskan fahamnya tentang Yang Mahakuasa. Pemikiran itu dapat
diusahakan secara teratur. Maka akhirnya refleksi itu menjadi “ilmu
berkenaan dengan refleksi metodis dan sistematis mengenai
relasi manusia dengan Allah”. Teologi dalam pengertian itu
termasuk kegiatan intelektual manusia yakni berkisar pada “tahu”,
“mengetahui”, “pengetahuan” yang disusun secara metodis,
sistematis dan bersambungan satu sama lain.
Kita cermati sebentar pengertian dasar: bahwa teologi berkaitan
dengan, tetapi, juga melampaui PENGETAHUAN HARIAN
TENTANG ALAM, MANUSIA DAN TUHAN yang berkisar pada:
1. Kenyataan-kenyataan di bidang alam dan kebudayaan luas, seperti
tentang sesama manusia, kesenian, alam sekitar maupun sikap kita
padanya (psikhologi, dsb);
2. tali temali, sebab-musabab dan keterangannya, dari yang populer
dan fisikal sampai yang terdalam; mengapa hal itu demikian?
Pencermatan itu mengandung sejumlah ciri, seperti:
1. Berkaitan dengan hal-hal yang terbatas;
2. Merujuk pada ‘dunia sini’;
3. Tidak mencakup keseluruhan hidup.
4. Tidak mencukupkan diri dengan hal-hal yang terbatas itu sendiri.

Pencariannya dilakukan dan diperoleh dengan


1. Sepenuhnya pengalaman manusia sendiri;
8

2. Pemikiran yang seluruhnya manusiawi;


3. Kerap kali memakai percobaan manusia.

Dalam perkembangannya, teologi duduk berdampingan dengan aneka


pengetahuan lain. Untuk itu teologi memenuhi persyaratan untuk
menjadi pengetahuan. Sebab Pengetahuan menjadi Ilmu
Pengetahuan, tanpa kehilangan arti hariannya.

Ilmu pengetahuan terbentuk dengan adanya

1. Keinginan manusia untuk mencari kait mengait antara aneka


pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri;
2. Kebutuhan untuk mendapat kepastian pengetahuan satu sama lain;
3. Hasrat untuk pembentukan kebulatan pengetahuan demi
perencanaan hidup yang lebih lanjut;
4. Keyakinan bahwa kebulatan pengetahuan-pengetahuan harian itu
mungkin dicapai.

Untuk keperluan kita, dapat dirumuskan sebagai berikut:

ILMU PENGETAHUAN adalah keseluruhan pengetahuan, yang


disusun secara metodis dan sistematis, dan dimaksudkan sebagai
rangkaian keterangan yang umum berlaku untuk bidang atau segi
tertentu dari kenyataan.
Ada beberapa cara membagi Ilmu Pengetahuan: dapat dibagi menjadi
‘Ilmu Pengetahuan Dasar’ dan ‘Ilmu Pengetahuan Terapan’;
dapat pula dibagi menjadi ‘Ilmu Pengetahuan Historis’ dan ‘Ilmu
Pengetahuan Sistematis’;
9

dapat pula dibagi menjadi ‘Ilmu Pengetahuan Spekulatif’ dan ‘Ilmu


Pengetahuan Empirik’;
dapat pula dibagi menjadi ‘Ilmu Pengetahuan Alam’ dan ‘Ilmu
Pengetahuan Sosial’. Objek IPA ialah fakta alam dan bertujuan
mencari hukum yang umum dan pasti. Termasuk di dalam IPA: ilmu
alam, hayat, kimia, dan bintang. Objek IPS ialah hal-hal yang dalam
terjadinya sedikit banyak dipengaruhi oleh kehendak manusia.
Termasuk dalam IPS: ilmu pendidikan, ilmu sejarah, ilmu hukum, dan
ilmu bangsa-bangsa.

Dalam kaitan dengan pengertian tersebut, Teologi mengandung


sifat ilmiah spekulatif, dan kadang kala menggunakan metode
empiris, karena azas pengetahuan teologi tidak terbatas pada
pengalaman inderawi dan logika; namun tak juga lepas daripadanya.

TEOLOGI adalah
“keseluruhan pengetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang
disusun secara metodis, sistematis dan koheren; pengetahuan ini
menyangkut hal-hal yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan
dengan wahyu itu”.5

Teologi bersifat ilmiah. Sifat ilmiahnya nampak dari cara teologi


mengadakan penyelidikan. Ia memakai suatu metode tertentu untuk
menemukan kebenaran mana yang diwahyukan dan apa wahyu itu
sebenarnya. Pengetahuan iman itu pun disusunnya dalam suatu
sistem tertentu dan saling berhubungan6. Yang mengadakan
refleksi teologis ingin mengenal objeknya sebagaimana adanya dan

5
Bdk. Dister, Nico Syukur, Teologi Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hal. 33.
6
Hal itu sering disebut ‘koheren’
10

bukan seperti yang dibayangkan7. Ia pun harus bekerja secara kritis,


berdasarkan bukti-bukti yang terjadi melalui wahyu atau akal budi
yang diterangi oleh iman kepercayaan berkat wahyu Allah.

Kita mengenali cara kerja teologi dengan memperhatikan apa yang


dipelajari8 dan sudut pandangan dalam mempelajari itu 9, sehingga
cara (metode) mempelajari juga disesuaikan dengannya. Contoh:
kalau kita melakukan teologi sakramen, kita mencermati Perayaan
Ekaristi. Yang kita amati adalah jalannya upacara, nyanyiannya,
partisipasi umat, pelaku utama dst: itulah obiectum material.
Tetapi dalam berteologi, kita mengamati bukan dari sudut keindahan
hiasan, ketepatan kata, kelengkapan upacara; melainkan ‘sejauh
manakah semua itu bersama-sama mengungkapkan iman
bersama suatu umat’; itulah obiectum formale).
Caranya dapat beraneka: dapat dengan mencermati audio, dapat lebih
mengamati secara visual, dapat meneliti rumusannya, dapat
mendalami pengandaian2nya. Itulah metode.

Teologi Kristiani

Sebagai umat Kristiani kita merefleksikan iman kepada Allah


dalam Yesus Kristus berkat Roh Kudus. Di situ terlaksana Teologi
Kristiani. Yang membuatnya bersifat kristiani adalah ‘peran iman
kepada Kristus dalam seluruh pencermatan itu’.

Dalam pada itu, dari tradisi kita tahu bahwa iman kita terima dalam
sejarah keselamatan, dalam beberapa kurun waktu:

7
objektif
8
obiectum materiale.
9
obiectum formale.
11

1. Pada masa umat Israel menantikan kedatangan Mesias,


2. Pada masa para Rasul dibimbing langsung oleh Sang Putera yang
menjadi manusia,
3. Pada masa Gereja, yakni “Umat Baru” yang terbentuk berkat
pendampingan Roh Kudus dan diutus mewartakan bahwa Yesuslah,
Mesias yang dinantikan itu.10

Dalam perkembangannya Teologi Kristiani membentuk beberapa


kelompok ilmu:
1. Sejak dini para Nabi dan Yesus Kristus serta para Rasul berusaha
menafsirkan Sabda Allah dan Kehendak serta Rencana
PenyelamatanNya dalam Kitab Suci. Maka titik awal Teologi
Kristiani dapat ditemukan dalam bagian TAFSIR KS yang mau
menafsirkan secara ilmiah iman kita sejauh terungkap dalam
Alkitab. Tafsir mengembangkan: Teologi alkitabiah.
2. Bersamaan dengan Tafsir Kitab Suci sudah berkembang pertanyaan
besar: apa hubungannya iman kita dengan praktek hidup Kristiani.
Hal itu dipelajari dalam TEOLOGI PRAKSIS yang merefleksikan
praktek hidup beriman seperti Teologi moral, Teologi Spiritual,
Teologi Pastoral. Pasangannya adalah Teologi Spekulatif, yang
meneliti pengandaian2nya.
3. Semenjak awal sudah ditemukan bahwa dalam warisan iman para
Rasul itu ada hal-hal yang merupakan ajaran pokok, walau
perumusannya berkembang secara bertahap. Ajaran pokok itu
disebut dogma. Maka studi mengenai hal itu disebut TEOLOGI
DOGMA yang menguraikan ajaran-ajaran pokok dalam iman kita.
10
Penulis, seperti Nico Syukur Dister menempatkan ‘Alkitab’ sebagai akar dalam sistematika teologi;
sebab dia menempatkan perwahyuan sebagai akar berteologi. Orang seperti Congar, Karl Rahner, Ratzinger
dsb menyebutkan ‘Teologi Kodrati’ sebagai akar dalam sistematika teologi; sebab mereka menemukan akar
dinamika berteologi pada hasrat manusia untuk berpikir dan mencari asal hidupnya, seperti dilakukan oleh
Thomas Aquino.
12

(Kristologi, Pneumatologi, Sakramentologi, Mariologi, Eskatologi


dsb). Teologi Dogma bekerjasama erat dengan Teologi Sejarah
(Gereja).
4. Sementara itu tumbuhlah TEOLOGI DASAR yang membahas
dasar-dasar dan benang merah pengetahuan kita di bidang teologi.
Misalnya: teologi iman-wahyu. Salah satu penggunaan bagian ini
adalah untuk mempertanggungjawabkan iman kita. Maka bagian ini
mengandung hal-hal yang kerap disebut apologetika.
Kita akan mulai dengan mencermati “apa artinya kalau kita
mengatakan mengalami hiburan dalam doa”, atau “apa sesungguhnya
isinya kalau kita berkata ‘Tuhan Kasihanilah kami’. Jadi, dengan kata
lain,
13

“APA MAKNANYA MENGALAMI TUHAN?”.


1. Kelompok-kelompok Pangkal Wicara
Allah - Yang Ilahi teralami dalam relasi dengan kita. Masalahnya tidak
terutama dialami dalam pencarian "bukti adanya" seperti misalnya
disajikan oleh Thomas Aquino. Yang mau kita cermati adalah tempat
Tuhan dalam hidup kita. Pengalaman akan Allah dipengaruhi oleh
beberapa faktor:
a. lingkungan - Tuhan kita alami dalam kultur tertentu sehingga di
tengah masyarakat peternak lahirlah ungkapan ‘Tuhanlah Gembalaku’.
b. suasana psikhis - Pengalaman tentang Tuhan berkaitan dengan
‘mood’ kita atau perasaan dalam suatu lingkungan. Itulah sebabnya
mengapa Mazmur mengandung banyak perasaan manusia
pengarangnya.
c. perkembangan - Pengalaman kita tentang Tuhan berkembang
sejalan dengan sejarah hidup kita. Kita dapat melihat perkembangan
itu dalam pengalaman Petrus dari awal perjumpaannya dengan Yesus
sampai saat ia mau mati bagi Tuhannya.
d. pengetahuan - Pengalaman mengenai Tuhan kerap dipengaruhi
oleh tingkat kecanggihan kita berilmu. Kita dapat membedakan
dengan mudah cara berteologi Paulus dengan cara Yohannes.
e. refleksi - Tuhan kita alami seturut perkembangan kesadaran diri
kita, yang sering disusuri melalui studi masalah filsafat. Kita juga
dapat menyusuri refleksi Lukas dalam Injil dan dalam Kisah para
Rasul.
f. suara hati - Pengalaman tentang Tuhan sering memberi tuntutan
pertanggungjawaban moral dalam tingkah laku kita. Peristiwa Ananias
dan Safira dalam Kisah para Rasul menunjukkan, bagaimana iman dan
refleksinya meminta murid-murid Tuhan mempertanggungjawabkan
langkah-langkah moralnya.
14

g. tanggungjawab - Dalam teologi dogmatis dan tafsir Kitab Suci kita


mempertanggungjawabkan ungkapan-ungkapan teologis kita, seperti
‘mengapa kita berbakti kepada Bunda Maria’.

2. Sasaran yang kita cermati

Kalau kita mencermati sesuatu, ada sasaran tertentu yang kita beri
perhatian khusus; berbeda-beda menurut maksud pencermatan kita.
Kita sudah melihat, bahwa seorang geolog mempunyai sasaran yang
berbeda dengan seorang ahli pertanian atau seorang penyair, ketika
mencermati pemandangan alam dengan gunung dan lembahya. Bagi
teologi, sasaran langsung yang kita cermati adalah Tuhan atau
kaitan antara keindahan alam dengan Tuhan. Jadi setiap kali kita
mendengar desiran alam, melihat kilat alam, merasakan sentuhan
alam dan mencecap enaknya alam, sudut pandangan kita dalam
mencermati itu semua adalah Tuhan tempat Tuhan dalam semua
pencermatan itu. Kita mengandaikan bahwa Tuhan ada; dan ada
dalam semuanya itu.

Pada abad 20, masalah mengenai Tuhan, tidak dipusingkan dalam


kaitan dengan pembuktiannya, melainkan dengan relevansinya.
Artinya, kita tidak mau sekedar menemukan bukti-bukti bahwa Tuhan
memang ada, tetapi kita mau mendalami lebih lanjut “di mana peran
Tuhan dalam hidup kita, dalam keluarga kita dan dalam liku-liku hidup
di dunia. Kecuali itu kita tidak mau memperkecil Tuhan hanya sebagai
obyek studi. Kita tidak menjadikan Tuhan sebagai "yang serba asing"
bagi kita. Bagi kita Allah juga bukan sekedar "theorema": inti dari teori
kita mengenai alam semesta.
15

Sekarang manusia lebih mempermasalahkan peranan dan relevansi


Allah bagi hidup kita perorangan maupun hidup bersama kita.
Jadi kita mau berbicara tentang Allah yang mempunyai hubungan
dengan kita (1). Hubungan itu dalam kerangka hidup kita sebagai
orang kristiani (2) terangkum dalam iman. Kita mau mengolah
masalah Allah; sebagai yang kita alami, sebagai yang memperkaya
(memenuhi) diri kita, sebagai yang bisa mengatasi problim-problim
hidup perorangan kita, sebagai yang bisa memecahkan masalah-
masalah dunia. Semua segi itu berkaitan dengan pengalaman hidup
kita dan sesama. Hal itu mendasari teologi kita.

Namun ada yang secara khusus dicermati, yakni bahwa:


a. pengalaman kita beraneka: kita akan menemukan, betapa
banyak variasi-variasi dalam pengalaman hidup pribadi kita;
b. pengalaman akan Allah itu amat khas: kita sendiri saja
mempunyai beberapa pengalaman mengenai Allah yang berlain-
lainan; apalagi orang lain masih akan lebih berbeda lagi;
c. Wahyu dan Iman juga khusus dalam aneka pengalaman
akan Allah. Tampak jelas, bahwa pengertian wahyu dan iman dalam
aneka agama tidaklah sama; tanpa secara mencolok tampak dalam
hidup harian maupun dalam interaksi kita dengan orang beragama
lain.

3. Pengalaman dan Pemahaman:

Pengalaman sendiri merupakan basis dari pemahaman;


sedangkan pemahaman menjadi perangsang untuk lebih
mengalami atau mengalami lebih mendalam dan memahami
secara lebih bertanggungjawab.
16

Pengalaman perlu dan nyatanya sering diungkapkan dalam gugus


ekspresi, yang pada gilirannya memerlukan gugus ide dan konsep. Ini
membutuhkan wahana tertentu untuk ekspresinya.
Kini orang banyak berbicara mengenai pengalaman iman sebagai
landasan untuk mendalami iman. Pengalaman iman juga dikatakan
amat penting untuk teologi. Bahwa sekarang hal itu berkembang
memang menarik. Sebab, sikap itu dicurigai belum lama berselang.
Konstitusi "Dei Filius"11 sangat berhati-hati terhadap pretensi
"pengalaman" dalam proses memahami Tuhan. Hal itu berkaitan
dengan pengalaman sebelumnya, seakan-akan Tuhan hanya sekedar
masalah pengalaman saja, dan itu diartikan sebagai "perasaan" saja.
Pengalaman seseorang dipertentangkan dengan kenyataan obyektif.
Krisis "Modernisme" juga berkaitan dengan masalah itu: orang mau
menyempitkan pengalaman sebagai aspek subyektif dari interaksi
subyek-obyek. Apabila iman didekatkan dengan pengalaman, mudah
timbul bahaya, seakan-akan teologi hanyalah renungan saleh
subyektivistis mengenai suatu pengalaman yang tidak berdasarkan
kenyataan sama sekali. Itulah sebabnya, mengapa Pius X mengutuk
modernisme dengan ensikliknya "Pascendi Dominici Gregis" (1907).
Dengan kutukan itu, teologi dibebaskan dari bahaya subyektivisme
yang berlebih-lebihan. Tetapi ekornya juga sampai kepada penyekatan
teologi dan iman dari pengalaman, perkembangan iman dan
pertumbuhan kebudayaan serta konteks sosial dan lingkungan
historisnya. Teologi menjadi ilmu mengenai kebenaran-
kebenaran perihal Allah yang "tersimpan dalam pengalaman
iman". Rahmat menjadi materi yang dipelajari teolog serta diper-
tentangkan dengan kodrat. Bila berjumpa dengan ajaran-ajaran Tuhan

11
Konstitusi Dogmatis dari Konsili Vatikan I mengenai iman.
17

yang tidak mudah, orang gampang memakai "argumen autoritas"


saja12.
Padahal kita melihat, betapa Perjanjian Baru (dan sebenarnya juga
Perjanjian Lama) serta para Bapa Gereja (mis. Augustinus) sangat
menekankan pengakuan iman, bahwa dalam Yesus Kristus, Allah sudi
masuk dalam sejarah umat manusia. Ajaran Alkitab dan para Bapa
Gereja sangat berwarna "sejarah keselamatan".
Itulah antara lain sebabnya mengapa pada tahun 1938-1940 di
Innsbruck-Austria muncul Verkuendigungstheologie dan pada tahun
1950an di Perancis tampil La Nouvelle Theologie, yang pada dasarnya
memiliki keprihatinan yang sama, yaitu mengaitkan iman dan teologi
dengan pengalaman hidup harian alias dengan sejarah hidup manusia
yang melakukan teologi. Melalui teologi orang memang melibatkan diri
dalam pewarisan tafsir atas Sabda/Kitab Suci, tetapi juga
mencoba mengambil sikap nyata terhadap masukan Wahyu dan
sapaan-sapaan Tuhan dalam hidup harian.
Pada abad 20, David Tracy secara istimewa mengaitkan "data-data
dari sejarah pengalaman iman kristiani pada umumnya dengan
pengalaman hidup masa kini"; M. Schmaus berpendapat "teologi tidak
mungkin dijalankan tanpa menghubungkan pikiran dengan
pengalaman iman"; K. Rahner yakin bahwa "untuk
mempertanggungjawabkan iman harus ada kaitan antara iman dengan
pengalaman"; E. Schilebeeckx berpendapat, bahwa "pengalaman
manusia merupakan satu-satunya jalan menuju ke Wahyu Kristus"; B.
Lonergan menunjukkan, bahwa "dalam pengalaman yang terulang-
ulang, orang sampai kepada Tuhan" dan Lonergan juga yang
menempatkan ‘kaitan dengan pengalaman hidup beriman sebagai
bagian hakiki dari metode berteologi’.

12
Argumen ‘autoritas’ adalah argumen berpikir karena mengikuti pikiran orang yang kita hormati dan taati.
18

Di sudut hakikat Yang Ilahi dan Yang Insani maupun relasinya satu
sama lain, benar juga pendapat yang mengatakan, bahwa iman dan
teologi tidak dapat dsempitkan hanya pada pengalaman. Iman
memang terkait dengan pengalaman namun toh sekaligus
melampauinya, yaitu sampai kepada Allah sendiri.13

Di kalangan umat ‘Evangelis’ arah ini khususnya diperjuangkan oleh


Schleiermacher, William James dan Paul Tillich. P. Tillich 14 mengatakan
bahwa pengalaman ada di pusat pertanyaan teologis. Pengalaman
adalah medium yang memungkinkan sumber-sumber teologi
"berbicara" kepada kita. Menurut L. Gilkey "segala percakapan tentang
Tuhan itu tentang Yang Mutlak dalam pengalaman manusia" 15.
Sementara itu sangatlah jelas bahwa kata ‘pengalaman’ memang amat
elastik.16
Ada yang memahami pengalaman sebagai sejenis sentuhan
emosional; lalu menjadi rangsangan psikhologis yang bersifat
sementara belaka; namun ada pula yang memahami pengalaman
sebagai penerimaan pasif dari data inderawi; lalu pengalaman
disempitkan pada kontak langsung antara manusia dengan dunia
empirik; sementara itu ada yang menyempitkan pengalaman pada
"rumusan yang mungkin dipakai"; lalu semua itu menjadi sangat
bersifat verbal, yang merupakan bagian eksplisitasi kemanusiaan,
walaupun baru menjadi sebagiannya saja.

4. ANEKA SEGI PENGALAMAN:

13
Bdk. juga Paulus VI, Mysterium Fidei, no. 24; Dei Verbum a. 14; Gaudium et Spes a. 10 dan Yohannes
Paulus II, Catechesi Tradendae no. 22 serta Redemptor Hominis, no. 10 (Fungsi dasar Gereja adalah untuk
mengarahkan mata hati manusia setiap masa dan pengalaman dasar mereka pada misteri Allah.
14
Dalam "Systematic Theology", Vol. I, 1951, 40.
15
Naming the Whirlwind: New York, 1969, 465.
16
Bdk. J.E. Smith: Experience and God (New York: Exford University Press, 1968, 3-45.
19

Walaupun ada sekian banyak pengalaman, namun ada sejumlah hal


yang menunjukkan segi-segi pengalaman:
a. Pengalaman mengandung sekaligus si subyek manusia dan realitas
obyektif. Dalam suatu pengalaman ada justru perjumpaan antara si
individu (berikut indera, perasaan dan budinya) dengan lingkungan
hidupnya. Kalau dikatakan "ada perjumpaan", itu berarti, bahwa baik
si subyek maupun si obyek itu sebelumnya sudah ada sebelum kontak.
Dengan dan sesudah kontak kedua fihak tetap ada dan menciptakan
"sesuatu" yang baru dan akan berkembang terus. "Perjumpaan"
(encounter) itu awal dari "pengalaman".
Jadi pengalaman adalah suatu "proses". Ada yang mengatakan bahwa
pengalaman adalah hasil dari interaksi antara subyek dengan realitas.
Pada hemat saya, lebih baik dikatakan bahwa: Proses mengalami
adalah proses aktualisasi dari relasi antara subyek dengan realitas
secara sadar (walau dengan aneka tingkat "kesadaran"). Dengan
begitu pengalaman tiak pernah melulu subyektif, dan tidak pernah
juga obyektif belaka.
b. Pengalaman itu sekaligus "berbatas" dan toh "menuju ke
totalitas". Pengalaman tidak pernah "para umumnya". Pengalaman
senantiasa konkret dan kontekstual. Dalam pada itu, pengalaman
menyangkut "yang kemarin" terbenam dalam "yang kini" dan
sekaligus juga menuju "ke yang akan datang". Pengalaman tidak
pernah "abstrak" (walaupun tidak selalu dapat dikalimatkan atau
"dipegang dengan tangan materiil") tetapi juga tidak pernah "sekedar
bagian dari suatu konteks yang berbatas".
c. Pengalaman dialasi oleh horison pengalaman suatu
persekutuan dan toh senantiasa diaktualisasikan oleh
perorangan (atau perorangan-perorangan) secara "kritis. Setiap
pengalaman perorangan hanya menjadi pengalaman kalau bermakna
20

bagi seseorang; dan pengalaman hanya menjadi bermakna kalau


berlatarbelakang cakrawala pengalaman komunal suatu persekutuan.
Di lain fihak, pengalaman komunal itu terkonkretkan dalam individuasi
seorang pribadi yang secara semakin jelas dan tegas menemukan
"pemahaman" dari pengalaman komunal itu. Dengan "discernment" itu
perorangan menangkap pengalaman komunal dan komunalitas
menjadi nyata dalam warga persekutuan itu.
d. Pengalaman senantiasa menjadi bahan dasar dari segala
pemahaman dan pengertian manusia namun sekaligus juga
lebih luas dari yang bisa diartikulasikan oleh orang yang
mengalami. Hanya sesuatu yang dialami akan dapat difahami secara
tematis. Maka pengalaman adalah asumsi dari pemahaman
manusiawi. Atas dasar pengertian ini, pengalaman religius juga
menjadi pengandaian bagi pemahaman religius. Dari situ kita temukan
gagasan bahwa pengalaman iman merupakan pengandaian refleksi
iman untuk lebih memahami hubungan dengan Allah.

5. Pelbagai jenis Pengalaman

Ada pelbagai jenis pengalaman. Kepelbagaian itu juga berkaitan


dengan sudutpandangannya.

a. Ada pengalaman biasa dan pengalaman luar-biasa:


Dalam pengalaman biasa, terjadi perjumpaan antara subyek
dengan
obyek pada tingkat hidup sehari-hari. Yang primer di situ adalah
pengalaman indera dan kena pada matra lahiriah hidup manusia dalam
aktivitas harian. Pengalaman biasa mempunyai kekayaan dalam hal
bahwa orang tidak memilikinya sebagai ‘dibuat-buat’.
21

Pengalaman 'luar biasa' lebih jauh lagi. Di situ orang menukik


dari permukaan pengalaman dangkal untuk menemukan matra yang
lebih dalam dan tidak begitu saja eviden. Menurut P. Tillich, di situ
orang menemukan "matra dalam" dari hidup manusia. Di kedalaman
ini seseorang berjumpa dengan realitas model lain seperti kebenaran,
keadilan, keindahan dll. Pengalaman luar biasa ini ditemukan dengan
merenungkan pengalaman "biasa". Dari pencarian ini menjadi jelas,
bahwa pengalaman semacam itu merupakan "pengalaman tidak
langsung".

b. B. Lonergan membedakan "dunia pengalaman langsung"


dengan "dunia yang dimediasikan oleh makna". Dunia
pengalaman langsung adalah dunia yang ditemukan anak-anak
dengan latihan harian memakai indera penglihatan, pendengaran dst.
Dunia makna adalah dunia orang "dewasa" yang ditemukan sebagai
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan "mengapa", "dari mana" dst.
Dunia ini ditata oleh rasio, dilukiskan dengan bahasa dan diperkaya
oleh tradisi. Pergeseran dari dunia pengalaman langsung ke dunia
makna bisa mengubah "weltanschauung" (bdk. sinterklaas), kesadaran
(analisis sosial). Peralihan dari dunia pengalaman langsung ke dunia
makna bisa membuka "dunia baru" (bdk "Aha"). Dunia makna
memang tidak langsung dialami si individu, tetapi tidak berarti bahwa
kurang real. Keduanya membentuk satu realitas manusiawi: membuat
pemahaman atas dunia lebih real, lebih utuh dan lebih mendalam.
Pengalaman langsung sering juga disebut "pengalaman primer"
sedangkan pengalaman makna kadangkala juga disebut "pengalaman
sekunder".
Masih ada lagi yang membedakan "pengalaman lahiriah (yang
inderawi) dari pengalaman batiniah" (yang "dalam").
22

Pada lingkup dunia pengalaman makna, pengalaman sekunder,


pengalaman "dalam" kita menemukan pengalaman religius.
Pengalaman religius ditemukan pada saat seseorang menemukan
dirinya merasa ditarik oleh suatu relasi baru oleh "seseorang" yang
ada di balik "yang teralami langsung" (jadi yang mentransendir itu
semua): Dia Yang Transenden.
Dari strukturnya, pengalaman religius seperti pengalaman
sekunder/"dalam". Dengan medium pengalaman manusiawi, orang
menjumpai keterbukaan pada Nan Transenden. Peristiwa "jumpa-
terbuka" itu bisa diidentifikasikan (tak sama dengan "identik") sebagai
terdapat dalam pengalaman religius. Dengan kata lain, setiap
pengalaman religius selalu pengalaman "dalam" walkaupun tidak
segala pengalaman dalam adalah pengalaman religius. Setiap
pengalaman religius selalu merupakan pengalaman tentang sesuatu.
Dengan medium pengalaman akan sesuatu itu orang mengalami matra
transenden personal dri hidupnya,- ya yang religius itu.
Jadi: pengalaman religius selalu pengalaman dengan mediasi,
pengalaman religius selalu pengalaman bersimbol,
pengalaman religius selalu pengalaman sakramental.

CATATAN:

1. Dermont A. LANE, The Experience of God - An Invitation to do


theology (New York: Paulist Press, 1981)6.
2. Bdk. P. Tillich The Depth of Exixtence dalam The Shaking of the
Foundation (London: SCM, 1949) 59-70.
3. Method in Theology: London, DLT, 1972)28-31, 238-239, 263).
23

4. Bdk. K. RAHNER dlm. K. Rahner dan P. Imhof: Ignatius of


Loyola: London, Collins, 1979), 15-16.
5. Lih. J.E. SMITH, Experience and God, 52.
24

MANUSIA DENGAN "YANG ILAHI"

PENGANTAR

Kalau memperhatikan perkembangan hidup manusia, kita mendapati,


bahwa hidup manusia mempunyai makna: baik hidupnya dengan alam
maupun dengan sesama,- suatu hidup yang penuh dengan dinamika. 1
Dinamika perkembagan hidup manusia ini di satu pihak terasa mau
maju terus, dari lain pihak dialami sebagai berbatas. Keterbatasan
sudah kelihatan dari kenyataan manusia, yang berdarah daging
tertentu, sehingga terwujud dalam bentuk tertentu dan terikat pada
ruang gerak tertenttu. Manusia memang juga bebas, namun
kebebasannya toh hanya terlaksana dalamlingkungan tertentu. bahkan
budi, yang dalam kegiatannya berpikir kerapkali diketengahkan sebgai
lambanga kemerdekaan manusia, toh hanya bergerak dalam konteks
si manusia tertentu pulla dan sejauh ittu juga harus dinyatakan
terbatas. Dan yang paling jelas, manusia benar-benarr dibatasi
langkahnya oleh maut,- padahal hidupnya terang juga berawal:
diperolehnya dari 'yang lain'. Ya, manusia mengalami dirinya terbatas.
Akan tetapi sebaliknya, atau justru karena itu-, toh dalam hidup
manusia ada banyak pengalaman, yang menunjukkan kecenderugan
manusia untuk mengatasi diri. Kita tertuju bergaul dengan sesama
manusia. Kita tidak mau dan tak dapt berhenti pada diri kita sendiri
saja, melainkan mau terus menerus memperkembangkan diri dan
maju. Dengan pikiran, kita juga sedikit banyak dapt mengatasi
keterbatasan darah daging dan 'keluar' dari diri. Dengan fantasi kita
dapat mereka-reka hal-hal yang 'luar biasa'. padahal jelas pula, bahwa
ada kita yang berasal dari orang lain itu memperlihatkan bahwa hidup
kita sebaggai manusia ini langsung terkaitkan dengan 'yang lain',
25

artinya: sudah selalu mau melampaui diri sendiri, mau keluar dari dirri
sendiri. Kalau itu berlaku bagi semua orang, maka rupanya hidup
manusia memang secara dasariah terkait dengan 'yang lain' serta
malah merupakan ppemberian, anugerah, karunia dari 'yang lain'
serta malah merrupakan pemberian, anugerah, karunia dari 'yang lain'
ittu. Pemberi hidup itu meruppakan asal hidupp manusia dan sekaligus
arah gerak hidup manusia. Sebutan yang dipakai: Dialah Allah. 2 Bahan
pembicaraan kita ini justru berkenan dengan hubungan antara
Manusia dengan Allah, serta segala sesuatu, yang berkaitan dengan
ittu. Oleh karena itu pembicaraan ini disebut 'Manusia dengan yang
Ilahi'. Dan hal ini merupakaan latar belakang, yang akhirnya
mendasari serta menjadi arah dari segala renungan tentang Panggilan
Hidup Manusia. Sekaligus bagian ini merupakan pengantar dan
jembatan menuju ke bagian besar berikut: Bagaimana Tuhan secara
nyata memanggil manusia dalam seluruh Sejarah
Penyelamatan.3.usaha ini tidak selalu berhsil. Tidak mudah manangkap
Kehendak Allah maupun SabdaNya. Tidak gampang mengenali Allah.
Sebab Allah adalah Tuhan, justru karena serba tidak manusiawi4

TUHAN SUKAR DITEMUKAN

Hal-hal di atas menyebabkan atau orang beriman tunduk pada


keagungan, keakraban Allah dan menyambut Wahyu-sabdaNya, pada
saat Tuhan berkenan membuka serta memberikan diriNya,- atau
sebaliknya menolak adanya Tuhan (menjadi ateis) atau tidak
mengacuhkan masalah itu dengan alasan 'Tuhan toh tidak bisa aku
tangkap'.5 Kelompk terakhir ini merupakan kelompok yang lebih besar
dari kerapkali ddiduga orang. /SEbab, bahkan banyak orang yang
resminya mengaku dirinya ber-Tuhan atau beragama, padahal
26

sebetulnya diam-diam menyisihkan Tuhan dari kesibukannya sehari-


hari. Tuhan nyatanya tidak memainkan peranan penting dalam
penghayatan kemanusiaannya. Bagi dia, Tuhan praktis tidak ada. Bagi
orang ini, yang mempunyai arti hanyalah segala yang inderawi-teraba-
terasa. Sebab, katanya, kehadiran Allah tidak dapat dibuktikan dengan
percobaan kimiawi atau tehnik apapun, maka tidak usah dianggap
saja. Menurut anggapan mereka, segala hal yang dengan begitu tidak
terbukti adanya, yang tidaklah ada. Agaknya mereka ini lupa, bahwa
banyak hal dalam hidup manusia tidak dapat diperlihatkan secara
kimiawi. Misalnya saja: bagaimanakah mau membuktikan ada
tidaknya cintakasih atau persahabatan secara kimiawi? Percobaan
tehnis manakah yang dapat menunjukkkan besar-kecilnya sifat
patriot? Maka alasan tersebut di atas belum cukup kuat untuk
menyangkal adanya Tuhan. Ada pula orang, yang dibibir mengaku ber
Tuhan, akan tetapi segala-galanya dia lakukan sendiri. Tuhan tidak
usah campur tangan. Baru kalau nanti tenaganya habis atau
pikirannya tak sampai, berpalinglah dia kepada Allah. Padda saat
itulah Allah harus bertindak: dengan mahakuasaNya: dalam sekejap
sakitnya harus sembuh, modalnya harus kembali, ujiannya harus
lulus. Bagi orang ini, Tuhan adalah mesin, yang dipakai kalau perlu -
dan lalu kalau dipakai harus jalan. Tuhan semacam itu ya akhirnya
bukan Allah lagi. Tetapi alat permainan atau rem bahaya saja. Orang
semcam ini sama saja dengan ber-Tuhan. Kaum ateis masih lebih
tegas lagi. Mereka berkata, bahwa Tuhan tidak ada. Titik! Seorang
yang percaya kepada Tuhan adalah orang yang mengarahkan pusat
hati kepada Yang Mutlak, sesuatu yang ada di luar dirinya sendiri.
Sikap semacam itu menyebabkan dia meletakkan bagian pokok dari
Akunya di luar diri. Akibatnya: dia menjadi asing bagi diri sendiri.
Maka misalnya, Marx berkata bahwa agama meracuni rakyat
27

danmenyebabkan orang tidak mau mengusahakan sendiri


kesejahteraannya. Mengenai itu semua dapat dikatkan, bahwa kalau
hati manusia terarah kepada Allah, itu bukannya mau memecah belah
pribadi, melainkan karena ke-bhineka-an dorongan dan keinginan
serta gerakan dalam hati, manusia justru merasa tertarik, terpikat dan
dipanggil oleh Allah yang satu-esa. Maka penghayatan panggilan itu
dan agama malah menunjukkan kecenderungan manusia untuk
mewujudkan kehausan akan kesatuan-integrasi dalam pribadinya.
Kecuali itu iman akan Tuhan dalam agama yang benar, karena
merupakan ungkapan kehausan manusia akan pemenuhan hidup, juga
mau tampak dalam aneka usaha pemenuhan kebutuhan manusiawi.
Maka orang ber-Tuhan yang sejati juga mengusahakn
kesejahteraannnya. Jadi, agama tidak bertentangan, melainkan
mengisi dan memperpadat isi keinginan manusia akan kesejahteraan
dan kemammuran serta keadilan. Kesadaran tersebut berhubungan
erat dengan pemahaman benar tentang hubungan sejati antara
manusia dengan Allah.

MANUSIA DENGAN ALLAH

Berbicara tentang Allah tidaklah dapat seperti seorang anak berbicara


mengenai bonekanya atau seorang dewasa tentang sepedanya. 6
Pembicaraan semacam itu hanya menempatkan boneka ddan sepeda
serta Tuhan di antara sekian ratus benda lain. Tetapi Tuhan tidak
seperti benda-benda lain. Tuhan bukan benda. Dia tidak dapat
disejajarkan dengan milik-milik kita lainnya. Kodrat Tuhan lain. Dia itu
yang adda di balik, di dalam dan di atas semuanya. Dialah pemilik
segalanya. Dia yang memberikan segala sifat kepada semua. Dalam
renungan tentang kontak manusia dengan alam dan sesama, sudah
28

ternyta, bahwa hidup dan segala aspeknya itu diterima oleh manusia.
Kalau ditarik sampai konsekwensi terdalam, maka hidup manusia
semua adalah pemberian dari 'Yang lain'. Allah, itulah 'Yang Lain' sama
sekali. Dialah pemberi hidup manusia dan segalanya. Dialah pokok
dari segala sesuatu yang ada. Dialah yang mengadakan segalanya
sejak belum ada apa-apa. Jadi Dialah yang memberi ada kepada
segala tanpa ada bahan apapun. Dialah yang menciptakan manusia.
Dia, yang serba lain dari bahan manusia apapun,- Dia-lah Pencipta
Manusia. Kita menangkap hal itu dengan cara lain lagi. Manusia tidak
hanya menerima dan tertarik untuk menuju ke arah tertentu. Kita
sudah melihat, betapa hidup manusia yang hanya satu ini, ternyata
bergerak - berkembang terus. Padahal kita juga sudah melhat, bahwa
hidup manusia secara keseluruhan dan pada dasarnya mempunyai
makna. Maka gerak itu pasti juga bermakna danmanusia berkembang
menuju ke arah yang semakin berarti. Manusia ditarik ke arah
cakrawala-horison makna yang terluas: yalah Tuhan sendiri, Sang Arti
Sejati. Dalam pengertian itu kita alami Tuhan sebagai horison makna
terluas dan sumber-arti manusia. Lalu arti sesuatu tindakan manusia
diukur menurut kadar, sejauh mana tindakan itu semakin ataukah
kurnag mendekatkan manusia pada Sanga Makna Utama, Tuhan
sendiri. Dialah ukuran dan norma terakhir dari segala kegiatan
manusia. Dialah tujuan hidup manusia. Maka juga Dialah yang
menyampaikan panggilan paling dasariah pada kita. Tuhanlah Dasar
dan Tujuan dari Panggilan Hidup Manusia.

Panggilan Hidup dari Tuhan itu disampaikan kepada manusia


tidak hanya secara umum, akan tetapi kepada segenap perincian
hidupnya. Maka hidup alamiahnya, naluri inderawinya, gerak hati dan
kompleks pemikirnanya terangkum dalam hubungannya dengan
29

Tuhan. Padahal dalam gejolak alamiah manusia saja ada aneka


macamnya, yang tidak selalu searah,- misalnya saja kalau cuaca
mengakibatkan seseorang sakit, sehingga kacaulah keselarasan
reaksi-reaksi tubuhnya. Biasanya dalam situasi semacam itu,- tetapi
juga dalam banyak situasi sedih dan pahit yang lebih berat lagi,-
manusia menglami juga kekacauan naluri inderawi, banyak indera
tidak jalan atau tumpul. Dirangkum oeh pasang surut situasi lahiriah
semacam itu, hidup psikhis manusia juga terus menerus bergerak.
Bahkan hidup berpikirnyapun sangat beraneka ragam. Lekuk liku
hidup manusia,- apalagi semesta alam-, sebegitu berwarna warni,
sehingga jelas, bahwa di balik semua itu ada Yang Mengatur. Begitulah
jalannya manusia berpikir, sehigga sampai kepada Pengakuan, bahwa
Tuhanlah, Sang Mahabijaksana, yang mengatur segala sesuatu di
dunia dan dalam diri manusia, sehinga semua berjalan dengan selaras,
sesuai dengan KehendakNya. Manusai dipanggil untuk menjalinkan diri
dalam pelaksanaan Rencana Allah, yang maha bijak itu. Akan tetapi
hal itu tidak berarti, bahwa manusia seakan-akan hanya boleh, atau
malah harus, menjadi mesin dan boneka saja. Manusia ternyata dieri
kebebasan untuk menentukan langkah-langkahnya. Dia mempunyai
budi untuk menelaah situasi hidupnya dengan bantuan ingatan akan
peristiwa-peristiwa di masa lampau dan dengan mempergunakan
perasaan untuk meraba-raba kini serta kemungkinan selanjutnya di
masa depan. Tentu saja hal itu tidak hanyak untuk semua tindakannya
'ke luar dirinya',- eperti menabur benih, menanam ubi atau mencintai
orang lain,- melainkan danterutama sekali kepetusannya 'ke dalam
dirinya', seperti menerima atau menolak diri sebagaimana adanya.
Kebebasan bertujuan untuk memungkinkan dia menciptakan sendiri
hidup dan masa depannya. Dia leluasa memberi keputusan tentang
arah-nyata-aktual kepada dirinya. Namun dari renungan-renungan
30

sebelum ini sudah jelas, bahwa hidup manusia inipenuh arti


danmempunyai kecenderunan untuk menuju pada yang semakin
sempurna. Oleh sebab itu kemerdekaan manusia dipergunakan untuk
membawa dirinya ke arah semakin manusiawi sempurna. Itu
panggilannya. Karena kesempurnaan itu menarik kita namun jauh di
depan kita, maka kiranya harus ada Yang Memberikan Panggilan
kepada kita, yang memberi kita kemampuan-budi, yang tajam dan
jerih untuk keperluan itu. Manusia memerlukan kemampuan untuk
mendengarkan sampai ke lubuk hatinya yang terdalam: ke mana
langkah-langkah harus terayun. Manusia membutuhkan suara hati
yang dpat menangkap Panggilan Hidupnya menuju kesempurnaan.
Pemberi Suara hati itulah Tuhan: norma hidup manusia yang terakhir.
Dalam tahap ini kiranya sudah menjadi lebih jelas, bahwa Sang
Pemberi Hidup menatasi seluruh kemanusiaan dengan segala segi-
seginya. Dia melampaui segi alami, segi biologis, segi inderawi, segi
psikhilogis manusia maupun segi etis. Dia merupakan tokoh,- seorang
Pribadi, yang sangat agung bagi manusia: seorang Pribadi yang tinggi
tidak terjangkau. Dari lain pihak: seorang Pribadi yang tinggi tidak
terjangkau. Dari lain pihak, Tuhan juga sangat merasuki pribadi
manusia, sehingga mesra sekali hubungnannya. Dia mengisi diri
manusia sampai ke relung-relung hati yang terdalam. Oleh sebab itu
Pangilan Hidup yang terbit dari hubungan itu sekaligus mengokohkan
kemanusiaan dan juga memperkaya manusia.

MANUSIA BERAGAMA

Keintiman hubungan antara Allah dan manusia menciptakan suatu


wilayah yang amat pribadi dalam hidup manusia, yaitu merupakan
pengalaman yang sangat menyeluruh dan tak mudah diungkapkan. 7
31

Banyak peristiwa dalam perjumpaan antara Alah dengan manusia itu


yang sedemikian kaya dan tak tepermanai, sehingga sangat sulit sekai
untuk dirumuskan dengan kata-kata. Hanya orang-orang yang juga
mempunyai pengalaman serupa dapat meraba-raba artinya. Hal ini
menyebabkan, bahwa sering orang tergoda untuk beranggapan,
bahwa hubungandengan Allah merupakan hal yang melulu batiniah
belaka. Atau berpendapat, seakan-akan hal itu hanya diperuntukkan
bagi kelompok terpilih yang kecil. Anggapan itu berbahaya. Sebab,
memang pengalaman itu merupakan peristiwa manusiawi lengkap.
Oleh karena itu menyangkut juga segi lahiriah, segi inderawi. Maka
pengalaman rohani memerlukan penginderawian, pengungkapan pula.
Kecuali itu mengingat renungan kita mengenai sifat manusia, yang
membutuhkan sesama, juga perjumpaan manusia dengan Allah
merangkum kebersamaan, secara dasariah dan menyeluruh. Artinya,
pengalaman itu terbuka bagi semua orang secara prinsipiil: bukan
terbatas bagi lingkungan kecil. Apalagi dari renungan-renungan
sebelum ini toh juga menjadi jelas, bahwa bukan manusia, melainkan
Tuhanlah yan gakhirnya menentukan peristiwa menyeluruh itu.

Dari lain pihak, masalah di atas dapat membantu kita untuk


lebih memahami pelbaai segi dalam hidup manusia beragama. Segi
pertama, yang tersangkut adalah segi penghayatan spontan dalam
pengalaman, bahwa aneka panggilan hiudp manusia itu berasal dan
menuju kepada Tuhan. Segi ini terlaksana dalam perjalanan hidup
sehari-hari. Dalam tindak tanduk, pergaulan dan pengambilan
keputusannya, manusia merasa terangkum oleh Tuhan yang
menuntunnya ke arah kesempurnaan. Maka dia
mempertanggungjawabkan tata moralnya kepad aTuhan. Dan di situ
tersangkut segi kedua. Sebab pelaksanaan tata moral ber-Tuhan itu
32

terjadi dalamkontak dengan orang lain. Maka manusia harus


memahami maksud Tuhan dan merumuskan konsekwensinya dalam
hidup sehari-hari, dalam komunikasi dengan sesama. Segi ini adalah
segi pemahaman dan komunikasi dalam agama. Di dalamnya
tersangkut segala hal, yang berhubungan denga pelajaran agama,
khotbah, pewartaan, dhakwah, penyadaran iman, penyusunan naskah
nyanyian suci, naskah ibadat dan sebagainya. Lalu di sini masuk segi
ketiga, yang menembus semua segi tadi, yalah segi kesadaran, bahwa
semua itu dalam rangkuman Tuhan, - suatu hal yang kadangkala perlu
disadari lagi dan lagi. Kesadarn ini tak hany aberada dalam hati, tetapi
terungkap dalam kata-kata, tindkah, upacara. Inilah segi Ibadat, yang
dilaksanakn secara berbeda-beda oleh aneka orang, pelbagai agama
dan dalam setiap agamapun diwujudkan secara berlainan: apakah ole
kelompok pertapa ataukah prajurit, oleh bawahan ataukah atasan dst.
Di sini masih perlu sekali lagi ditandaskan, bahwa manusia
berhubungan denganTuhan. Segala upacara, hukum, ajaran, dogma
dan tata moral hanyalah merupakan alan ke arah dan perwujudan
hubungan manusia dengan Allah: bukan gantinya. Andaikan kita
hanya berhenti pada menuju upacara yang indah, hukum yan gkokoh,
dogma yang bagus atau moral yang jitu, maka Tuhan hilang; yang
tinggal: berhala-berhala baru: upacara,- hukum, dogma, moral.
Memang iman harus tampak dalam ibadat, ajaran dan moral. Itu
benar. Akan tetapi jangan sampai Allah terlupakan bila kita sibuk
berupacara, tekun belajar, giat bermoral.

BERAGAMA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

Pelbagai macam wujud pengungkapan hubungan dengan Alah itu


sanat tampak dalam masyarakat mejemuk. Sebab di situ kelihatan,
33

betapa kontak dengan? Tuhan yang Mahabesar dan Akbar itu benar-
benar sebegitu kaya, sehingga tidak mungkin terkuras habis oleh satu
orang atau satu kelompok, walaupun hanya ada satu Tuhan Yang
Mahaesa.8 Setiap orang memang mempunyai keyakinan, bahwa
memang benarlah kontak yan gdia jalankan dengan Tuhan melalui
agamanya dan karena itu akan melaksanakan danmewartakannya
dengan sepenuh hati. Namun hal itu terjadi tapa 'menghojat Tuhan'
dengan memproklamirkan diri sebagai satu-satunya 'orang
kepercayaan Allah' (seakan-akan Tuhan sudahsepenuhnya dia kuasai
denan otak, lidah atau seninya). Sekali lagi kesulitannya: seringkali
hubungan dengan Allah disamaratakan (di-identik-kan) saja dengan
tindakan tertentu (ke Gereja, ke Pura, ke Mesjid atau ke Candi).
Dengan begitu orang ditarik untuk terlalu memperhatiakn perbedaan-
perbedaan lahiriah. Dalam rangka inilah kita melihat pekanya
pembicaraan tentang kerukunan beragama, bila orang terlalu
memusatkan perhatian pada ungkapan (seperti praktek-praktek
moral, rumusan ajaran/dogma tertentu, bentuk ibadat dan
sebagainya) dan kurang memperhatikan (memasukkan ke dalam 'hati'
penuh-penuh) bahwa Tuhan kita sungguh esa, Dia pemberi hidup kita
semua. Dia sama-sama Bapa kita. Kecuali itu kebiasaan
mengindentikkan iman denan tindak lahiriah itu dapat menggoda
banyak orang untuk menyalah gunakan agama demi
kepentigansendiri. Sebab kalau, misalnya, seseorang terlalu
menekankan ajaran tertentu, lalu orang tergoda untuk mengelompok
menurut ajaran-ajaran tertentu dan segan melepaskannya,- apalagi
kalau sedang menjadi tokoh dalam ajaran tersebut. Lalu dibalikkan:
demi kedudukannya orang dapat saja memaksakan kehendaknya pada
sesama, seakan-akan rumusan ajarannya, itulah yang paling benar,
kini dan sepanjang masa. Tetapi semakin berbahaya kalau langsung
34

disemprotkan kepada pengikut agama lain. Dan masih tampah rumit


lagi, kalau ajaran itu berhubungandengna praktek hidup
kemasyarakatan dan kepemimpinan negara, seprti mempergunakan
hukum agama tertentu dalam negara yang majemuk dan sebagainya.
Gampang sekali orang tergoda untuk memperjuangkan ambisi poitik
dengan dalih agama. Kata-kata 'Tuhan', 'Allah', 'agama' menjadi
bukannya rumusan membakar emosi rakyat banyak. Tuhan menjadi
alat perkelahian politik. Bahaya itu dapat ditanggulangi baik dari segi
agama maupun dari segi negara. Kaum agamawan harus kembali
meenyadari, bahwa agama menggarap bidang hubungan dengan
Allah. Hal-hal yang berkaitan dengan hidup kemasyarakatan memang
tidak lepas dari perhatiannya (karena setiap manusia warganegara
mesti memperhatikannya), namun sebagai agamawan itu semua
dilihat dari sudut horison Panggilan Yang Ilahi. Dalam hal ini para
pemimpin agama perlu lebih sadar, bahwa lingkup tugasnya yang khas
sebagai agamawan adalah pertama-tama di bidang hubungan dengan
Tuhan; sedangkan sebagai warganegara dia boleh dan malah wajib
menggumuli soal-soal politik juga. Sedangkan kaum negarawan
pantas menginsyafi, bahwa lingkup perannannya yang khas di bidang
hidup ketatanegaraan. Mereka wajib (justru juga sebgai orang
beriman yang baik) menyelenggarakan hidup bermasyarakat
sedemikian sehingga seluruh rakyat dapat berkembang dalam segala
bidang,- baik secara pribadi maupun sebagai kesatuan. Kalau
peranan-peranan itu dicampuradukkan, maka kedua wilayah (agama
maupun negara) akan menderita: agama ditunggangi politik atau
negara diatur dengan dogmatisme relegius. Usaha untuk menyadari
dan menghayati hal itu jug amerupakan Pangilan Hidup.

AGAMA DAN KEBUDAYAAN


35

Karena hubungan antara manusia dan Alah merangkum lahir-batik


manusia, maka segala usaha manusia untuk mengembangkan diri,
memekarkan budi dan menyuburkan daya ciptanya (jadi: 'seluruh
kebudayaannya') juga terkait dalam penghayatan agama. Kebudayaan
diberi nafas oleh kontak manusia dengan Yang Ilahi, sedangkan
agama diberi wujud oleh kebudayaan. 9 tak ada kebudayaan yang tidak
diwarnai oleh sesuatu kepercayaan kepada Yang Mutlak, sebagaimana
juga tak ada agama, yang terlahirnya tidak dalam kebudayaan
terntentu. Dalam hal itu pantas diperhatikan lagi, bahwa kebudayaan
memang tampak dalam cara hidup, moral, cara berpikir, gaya bahasa,
lukisan, tarian atau nyanyiannya. Namun bentuk-bentuk itu selalu
berubah - berkembang. Perkembangan itu digarap oleh pribadi-pribadi
di situ, maka agama yang dihayati secara tulus oleh orang-orang

1CATATAN-CATATAN

1. Bdk. mis. Rahner hal. 14st.

2 Bdk. Rahner hal 59dst. 3. Ibid.


3

4 Bdk. Robert Nelson seluruh bab terakhirnya.

5 de Vries hal. 237.

6 Bdk. Rahner 31dst.

7 Rahner hal. 108dst.

8 Bdk. GBHN 1988 bagian Agama.

9 Bdk. de Vries hal 21 dan 31dst.


36

dalam kebudayaan tertentu, juga berkembang. Orang-orang yang


menghayati kebudayaan tertentu mendapat undangan untuk
menyambut Panggilan Tuhan dalam agamanya dengan sepenuh hati,
artinya: dengan seluruh budi dan daya ciptanya, dengan seluruh
kebudayaannya, dengan seluruh kulturnya. Dengan cara itu kontaknya
dengan Yang Ilahi masuk ke dalam lingkup-budayanya. Proses itu
disebut 'in-kultur-asi', yaitu yang terjadi baik dalam diri seseorang
maupun dalam kelompok agama tertentu, bahwa hubungan dengan
Yang Ilahi membudaya. Proses ini sebetulnya selalu terjadi setiap
orang berubah situasi hidup: dari bayi menjadi anak, lalu remaja
sampai dewasa atau berpindah dari lingkungan desa ke kota atau dari
lingkungan keluarga yang satu ke keluarga yang lain (misalnya kalau
menikah) atau dari lingkungan buruh beralih ke pedagang dan
seterusnya. Akan tetapi proses ini semakin menyolok apabila seorang
ber-Tuan berkomunksi dengan seorang ber-Tuhan dari lingkungan
kebudayaan lain. Sebab masing-masing menghayati kemanusiaan-
yang-sama dengan cara-yang-berbeda serta meresapi keber-Tuhan-
annya secara berbeda pula. Misalnya seorang kristen tinggal di tengah
masyarakat muslim atau sebaliknya. Apalagi kalau yang satu mau
berkomunikasi sedemikian, agar supaya pihak lain 'menangkap
sungguh-sungguh' atau malah sampai 'menerima iman'-nya sehingga
memeluk agamanya. Untuk itu diperlukan bahwa kedua belah pihak
benar-benar meresapi kebudayaan masing-masing partnernya. Tanpa
itu, komunikasi akan berselisih jalan dan bahkan mungkin sampai ke
pertentangan; atau kalau 'beruntung' terjadi 'saling membiarkan'
hidup sendiri-sendiri (tolerare); atau paling banter dapat ada
komunikasi dangkal, tentang hal-hal yang amat lahirian (misalnya
dalam suatu upacara kenegaraan atau kemasyarakatan, seperti
peresmian gedung, di-'rumuskan' doa bersama). Kalau kita ingin agar
37

komunikasi iman benar-benar mem-budaya (jadi ter-inkulturasikan'),


maka ada panggilansungguh-sungguh, agar orang menghayati
'keyainannya ber-Tuhan' dalam segenap segi kebudayaannya. Hanya
bila begitu maka iman meresapi kebudayaan dan terwujud di
dalamnya. Di situ semakin jelas, bahwa dalam beragama, keyakinan-
kepercayaan orang sangat penting. Keyakinan itu terwujud dalam
aneka bentuk kebudayaan,- tetapi kedua hal itu tidaklah sama
sebangun, tidak identik. Iman tidak identik dengan bentuk
kebudayaan tertentu. Kekristenan tidak identik dengan bentuk
kebudayaan manapun juga, walaupun kekristenan panti terwujud
dalam sesuatu bentuk kebudayaan tertentu. Setiap orang kristen
mendapat panggilan untuk membudayakan imannya dalam konteks
hidup budayanya. Tetapi di sini dapat muncul pertanyan gawat: siapa
yang 'mampu membada' Tuhan ke dalam kebudayaan manusiawi?
Jawabnya hanya dapat diperoleh dari Tuhan. Renungan berikut
aknamencoba lebih menjelaskan hal itu.

MENGALAMI YESUS KRISTUS

Teladan utama dari penghayatan keyakinan tentang hubungan Allah


dan manusia dapat kita lihat dalam diri Yesus Kristus. Dia adalah
seorang yang sangat menghayati persatuannya dengan alam, dengan
sesama dan terus menerus berkembang dalam hal itu semua, serta
dalamhubungan denganYang Ilahi. Bagi Dia, alah sungguh keuasa,
akan tetapi juga mesra sekali: maka dari itu disebutnya 'Bapa'. Murid-
murid Yesus Kristus menyaksikan, betapa kontak Yesus
denganBapaNya sebegitu meresap dalam kultur pribadinya, sampai
sepenuh hidup, bahkan sampai ke titik darah yang terkahir. Bahkan
mereka memberi kesaksian, bahwa allah,- BapaNya itu -, telah
38

membangkitkan seluruh diri Yesus Kristus dari mati. Yesus Kristus


mulia seterusnya dengan seluruh kultur pribadinya di sisi kanan
BapaNya. Dia bersaatu dengan Allah. Dia diimani sebaai Tuhan.
Karena itu Ia juga dilihat oleh pengikut-pengikutNya sebagai dasar, isi
dan tujuan hidup mereka seutuhnya: sampai mem-budaya, dalam
kekristenan. Dalam sorotan itu Yesus Kristus adalah Allah yang masuk
ke dalam kemanusiaan dengan seluruh budi dan daya ciptanya. Dialah
Allah, yang hadir dalam kebudayaan manusia. Dialah teladan
inkulturasi dan dasarnya yang terdalam yang mampu membawa
Tuhan ke dak kebudayaan manusiawi. Di situlah kita temukan:
bagaimana manusia bersatu dengan dasar dan tujuan akhir hidupnya,
yaitu alah sendiri, secara total. Maka sejauh itu Yesus Kristus adalah
teladan danri kita semua, yang mau memenuhi Panggilan Hidup
Manusia:

dalam hubungan dengan dunia,


dalam hubungan dengan sesama,
dalam jalinan dengansejarah,-jadi dalam
seluruh kebudayaan kita,
menuju ke pemenuhan,
yalah bersatu dengan Yang Ilahi.
Hanya dengan cara itulah manusia menjadi sempurna, mencapai
puncak makna hidupnya: memenuhi Panggilan Hidup denganutuh.

KESIMPULAN

Sejak awal renungan-renugan kita tentang 'nilai', sudah tersirat arah


perhatian ke 'nilai abadi' yaitu Sang Arti sejati, Allah sendiri. Dalam
membicarakan 'Dunia-manusia'-pun, kita sudah tertarik kepada
39

Pemberi nora untuk segi rohani, yang mengatasi segi biologis, segi
psykhis dan segi etis. Lalu alam kebersamaan hidup sebgai manusia
menujuk arah kepada 'Sang Sesama Mutlak' di balik sesama manusia
lain. apalagi dinamika hidup manusia jelas membawa kita berpikir
kepada Sang Masa Depan Baka, Tujuan Gerak Dinamika hidup kita.
Dengan kata lain, senantiasalah kita tersentuhkan pada gagasan
tentang Pemanggil Utama = Tuhan. Maka dari pengamatan mengenai
adanya gejala dalam segala bangsa untuk berbakti kepada Tuhan, kita
mencoba lebih menyadari siapa sebetulnya Tuhan dan ap ahubungan
antara Tuhan dengan makna hidup manusia. Sengan begitu kita
mencoba menangkap arti ungkapan 'manusia ber-Tuhan'. Ini
membasa kita pada renungan tentang kehidupan beragama dalam
dirinya sendiri maupun dalam rangka masyarakat majemuk. Ternyata
pula, bahwa kehidupan beragama amat erat dengan kebudayaan
seseorang danmasyarakatnya. Akhirnya kita secara singkat menelusuri
tempat Yesus Kristus dalam seluruh renungan tentang Panggilan Hidup
Manusia.
40

DAFTAR PUSTAKA

1. David CHIDESTER, Patterns of Action, Belmond, etc., Wadsworth


Publishing Company, 1987.

2. David E. DOBOS et.al., Family Portrait, Belmond etc., Wadsworth


Publishing Company, 1977.

3. J. ROBERT NELSON, Human Life, Philadelphia, Fortress Press, 1984.

4. A Rahner Reader, ed. by Gerald A. McCool, London, Darton etc.,


1975.

5. J. de VRIES UND J.B. Lotz, Philosophie im Grundrisz, Wuerzburg,


Echter, 1969.
41

“MENCARI TUHAN”

Ada orang yang puas dengan ‘hidup apa adanya’. Ada orang yang mau
‘lebih’ dengan bertanya-tanya: ‘hanya untuk begini-kah hidup ini?’
Orang mencari arti hidup dan tidak puas ‘hidup asal-asalan’. Pencarian
itu sering kali bermuara pada gerak ‘mencari Tuhan’.

I. MAKNA HIDUP MANUSIA DI DUNIA

PENGANTAR

Kita kenangkan saat-saat, waktu kita sungguh-sungguh


mempersoalkan hidup kita.Bukan dengan pertanyaan teoritis sangat
sulit seperti kalau kita duduk di bangku sekolah; tetapi dengan
menghadapi tantangan nyata dari ruwet-repot hidup sehari-hari.
Misalnya, ketika seorang ayah atau seorang ibu kehilangan anaknya
yang tunggal karena sakit paru-paru, sampai merasa seakan-akan
segala usaha hidupnya akan sia-sia saja. Apalagi dokter spesialis
terpandai tidak berdaya untuk mengobatinya dan
menyelamatkannnya, walaupun sebetulnya diperlukan. Lalu muncul
aneka pertanyaan sepanjang hari dan semalam suntuk dalam benak
mereka: Lalu untuk apa semua harta yang mereka kumpulkan
bertahun-tahun itu? Toh tak dapt diwariskan kepada siapapun.Untuk
apa seluruh jerih payah mereka sekian lama? Lagi pula, segala usaha
dan sekian banyak keahlian itu akhirnya akan kemana? Dalam
keadaan begitu, banyak orang lalu mendirikan atau membantu
Yayasan-yayasan bagi orang-orang yang terserang penyakit paru-paru
atau hal-hal lain. Milik dan perhatian serta waktu mereka tersedia
untuk orang-orang itu. Dengan menyediakan harta dan waktu bagi
42

penderita itu, mereka merasakn bahwa hidup mereka sekurang-


kurangnya menjadi lebih berarti. SEdikit banyak terasakanlah
masalah makna hidup mereka.
Atau ambillah misal kita menyaksikan dan barangkali malah
mengalami sendiri banjir besar atau gunung berapi meletus dahsyat
atau tsunami meluluhlantakkan segala. Kita juga dapat menempatkan
diri dalam kapal yang hampir tenggelam di tengah laut, yang
mahaluas dan penuh gelora gelombang bergunung-gunung. Kita
merasa begitu kecil.Tidak berdaya. Tanpa arti. Ditambah datangnya
taufan. Menyapu segala. Semua dilanda petaka. Tinggal kita sendiri.
Tercenung bertanya-tanya : Mau apa sekarang? Hal itu seperti juga
membayangkan kita kehilangan seluruh keluarga dan rumah serta
harta benda karena pertempuran, yang membakar seluruh kampung
dan kota-kota. Segala ijasah dan surat-surat bukti diri lenyap. Luka
parah. Sukar mencari makan,- apalagi mencari pekerjaan. Terpaksa
mengembara ke sana kemari. Keehataan semakin memburuk. Tubuh
dimakan sakit jantung. Dibalut oleh penyakit kulit. Dan toh masih
harus makan. Kita terpaksa mengais-ngais makanan di tempat
sampah. Kalau itupun langka, terpaksa mengambil milik orang lain.
Dijebloskan ke dalam tahanan. Dipukuli, dipaksa mengakuti juga
segala kejahatan lain. Habis tenaga.Dikurung dalam penjara. Dingin.
Sendiri. Sepi. Sakit. Dilupakan oleh semua orang. Malah lupa identitas
diri. Dalam diri sendiri hanya melihat yang buruk, yang kotor, yang
jahat. Dikerubungi pertanyaan: Mengapa jadi begini? Apa sebabnya?
Untuk apa semua ini? Lebih jauh, seseorang dlamsituasi semacam itu
tegoda untuk melarikan diri dari tempatnya, dari keluarganya, dari
pekerjaannya, dari dirinya sendiri. Orang sangsi akan arti dan harga
dirinya. dia dpat sekali tergida untuk justru menghancurkan diri
sampai ke membunuh diri. Karena sudah putusasa dan tidak tahu lagi
43

menjawab pertanyaan: Masih adalah gunanya untuk hidup terus? Pahit


rasanya mendengar nyanyian 'Buat apa susah? buat apa susah" susah
tu tak ada gunanya'. Orang dapat terdorong untuk mencibirkan bibir
kepada anak-anak muda, yang masih dapat menyanyikan lagu
tersebut, dengan 'tuduhan': "Ah, anak-anak manja. Terang saja
mereka dapat menyanyikan itu. Bukanlah segalanya toh tersedia bagi
mereka,- walau hanya 'sekedarnya'. Dan mereka juga mempunyai
banyak teman. Coba saja kalau segala yang manis terkikis habis?!"

Kerap kali kita dipaksa untuk bertanya-tanya: Apa arti semuanya itu?
Uang kita? Kepandaian kita? Ketrampilan kita? Kesehatan kita?
Kegagahan atau kecantikan kita? Keanggunan atau keluwesan kita?
Apa artinya kedudukan kita? Apa arti sukses kita" Apa arti nama baik
kita? Apa makna semua itu kalau ternyata dalamwaktu sekejap dapat
lenyap? Kalau dalam saat singkat musuh - menyamar - berbaju teman
dapt menghancurkan kita? Kalau bahkan pemerintah atau pembesar
kita tidak mampu dan tidak berdaya menyelamatkan kita? Apa arti
semua itu? Apa makna hidup semacam ini? Siapakah si saya ini?
Dapatkah pertanyaan semacam itu dijawan oleh hara saya, oelh ijsah
saya, oleh tibuh saya, oleh sukses saya, yang begitu gampang terbang
ditiup angin? Dan muncul lagi pertanyaan dasariah: untuk apa saya
ini? Unuk apa hidu ini?

PILIHAN MAKNA

Pada saat-saat gawat semacam itu manusia dihadapkan dengan jalan


simpang: di satu pihak sayang pada hidup, segan mati, tak mau
meninggalkan dunia ini, dari lain pihak mempertanyakan : di mana
letak arti hidup dengan segala isinya itu; rasanya hidup ini toh tidak
44

bermakna. Namun juga di situ muncul pertanyaan lain: di manakah


arti sejati dari isi hidup kita? Arti sejati dapat mengatasi sakit, dengan
derita danmaun sekalipun. Arti sejati, yang melampaui segala arti
sementara, sehingga orang akan memilih arti itu dan berani
mengurbankan uang, kedudukan, kebebasan dan sebagainya. Dalam
pengertian ini 'arti'dapat juga disebut 'nilai'. Bagaimana nilai hidup kita
alami? Pertanyaan itu memang muncul terutama dalam saat gawat.
Dan semakin gawat situasi kita, semakinlah pertanyaan itu
menggelitik. Tetapi sebetulnya pertanyaan itu harus memberi arah
kepada seluruh sikap kita pada hidup dan isinya. Semestinya
pertanyaan itu memberi warna kepada seluruh pemilihan langkah-
langkah kita: melaksanan atau tidak melaksanakan sesuatu tindakan.
dan nyatanya banyak sekali perbuatan dan lingkungan hidup manusia,
yang mengandung seluruh permasalahan tersebut. Marilah kita lihat
ke sekeliling: ada laut, ada daratan, ada lembah, ada dataran tinggi,
ada lurah , namun juga ada bukit. apakah semua itu ada di sana
secara sembarangan? Gunung menjulang memang karena deskandari
dalam bumi, agar lehar tak keburu menyebur segala yang
menghalang.l Dataran tinggi memanggil angin untuk membawa uap
airu ke atas mendekati titik cair, mencipkatan hujan yang
menyuburkan semesta alam. Maka, memang ketinggian gunung
mempunyai arti bagi alam. Lalu di lereng gunung tumbuh hutan lebat.
Ada pula artinya supaya akarnya menahan tanah dan tidak melongsori
lembah serta agar akar pepohonan menahan air, sehingga tidak
membanjiri lurah-lurah. Pengalaman manusia memperlihatkan, bahwa
setiap benda mempunyai arti. Sebetulnya hal itu harus dapat
memperingatkan kita untukmemperhitungkan, mau melangkah
kemana: akan merusak ataukah mengembangan arti alam. Misalnya
kita membutuhkan kayu untuk menanak nasi atau membangun rumah
45

maka menebang pohon.Nasi dan rumah mempunyai arti lagsung bagi


hidup manusia, sedangkan pohon hanya mempunyai arti tak langsung.
Sebaliknya, kalau kita membangun industri kayu untuk export dan
tanpa ukuran menebangi hutan berhektar-hektar,- maka pilihan
artinya terletak antara export demi uang perusahaan danhutan yang
menahan kelongsoran dibandingkan dengan kemungkinan banjir
sehingga dapat merugikan jutaan manusia. Pilihannya akan
menggambarkan, kita lebih mendahulukan kepentingan arti yang
egoistis ataukah yang memikirkan keselamatan banyak orang. Akan
tetapi serigkali arti kebendaan dapat dikalahkan secara syah oleh arti
sesuatu bagi hdup manusia. Misalnya saja penggunaan tumbuh-
tumbuhan dan hewan bagi manusia. Sebetulnya, susu sapi diperlukan
oleh anak sapi dan dihasilkan oleh si induk untuk keperluan itu.
Namun manusia mendapati, bahwa susu sapi juga menambah
kesehatan manusia. Maka susu sapi diperas untuk diminum demi
kesejahteran biologis manusia.
Dengan kata lain arti biologis bagi manusia ini didahulukannya
daripada kepentingan hewani. Kecuali itu dlam lingkup hidup manusia
sendiri dapat ditemukan beberapa pilihan arti. Kaki sanat berarti bagi
manusia, agar dia mempu berpindah dari tempat yang satu ke tempat
yang lain dengan mudah. akan tetapi mungkin sekai ada kanker tulang
berbahaya yang menyerang tungkai kita. Kalu tungkai tidak dipotong,
kanker dapat menjalar ke seluruh tubuh, membunuh si manuaia. Maka
demi arti biologis menyeluruh maka makna praktis si kaki (untuk
berjalan) harus kalah. dalam hal operasi kaki, pilihan arti sudah sulit,
dibandingkan dengan misalnya operasi usus buntu. akan tetai pilihan
dapat menjadi jauh lebih sulit kalau misalnya harus diambil keputusan
antara buta seumur hidup dengan operasti mata yang memerlukan
transpalantasi dari orang lain. /sebab, buta itu bukan sembarang
46

penyakit, meliankan suatu cacad yang menyangkut harga diri si


penderita. Padahal kalau mau sembuh, perlu pula menyebabkan orang
lain kehilangan mata. Jadi langkah yang manapun diambil, akan
menyebabkan arti biologis ditambahi denan beban psykhis yang tidak
ringan. Arti psykhis ini nyatanya sangat sering memainkan peranan
besar dalam pilihan langkah-langkah hidup. Padahal makna yang ini
amat kuat, dipengaruhi oleh pengalaman lingkungan. Bagi seseorang
yang sudah berkai-kali mengalami kecelakaan kendaraan, naik sepeda
motor di tengah jalan ramai memiliki arti psykhis yang amat terbatas
dibandingkan denganseorang pembalap. Bagi seseirang, yang dididk
untuk selalu patuh kepada orang tua, itu menoa calon suami/isteri
pemberian orang tua tidaklah semudah orang. yang dididik dalam
suasana bebas (artinya : ketaatan itu mempunyai psykhis yang sangat
tinggi bagi 'anak patuh'). Selanjutnya orang yang terdidik 'maju',-
misalnya saja mengenai calon suami/isteri pilihan orang tua tadi-
melihat arti hidup yang lain kepada 'patuh paa sesepuh'. dia dapat
saja mengajukan pemikiran: bahwa sebelum kenal orang itu, dia
belum mau menikahinya; atau bahwa dia seudah mempunyai pilihan
sendiri; atau dia belum/tidak berminat untukmenikah, atau dia
menyatakan tetap hormat dan sayang kepada orang tua, akan tetapi
pilihan jodoh mohon diserahkan kepadanya saja danseterusnya.
Dalam hal ini, orang mengatasi arti psykhis tentang patuh kepada
sesepuh dengan mengajukan pemikiran-pemikiran lain, yang masuk
akal. Jadi, arti psykhis dapat dikaji dengan arti intelektual. Manusia
dipanggil untuk mengkaji arti psykis denganbudinya danmenemukan
arti yang paling masuk akal. Namun, dalam hal itu perlulah kita sadar,
bahwa pengertian sesuatu sebagai 'masuk akal'-pun dapat
berlandasan pelbaai sudut pandangan,yang harus dipilih, mana yang
mau diberatkan. Orang dapat melihat arti ekonomis suatu tindakan:
47

biasanya hal itu berarti: yang murah, itu yang dipilih. Akan tetapi lalu
dapat ditambah segi lain: arti tehnis. Misalnya, walaupun sesuatu
sepeda lebih mahal, tetapi karena mutu tehnisnya lebih tinggi, maka
toh dipilih daripada sepeda lain yang murah, namun dalamwaktu
singkat rusak. Atau soal lain: sesuatu buga anggrek memang lebih
mahal dariada bunga matahari,- namun toh dipilih karena secara
estetis lebih bagus dipasang di meja yang mungil. Jadi nilai estetis
didahulukan daripada nilai ekonomis. Dalam kesadaran - nilai yang
lebih maju lagi, kita dipanggil untuk mempertimbangkan nilai-nilai
ekonomis, tehnis, estetis dan pelbagai arti lain dihadapan nilai etis.
Kalau sesuatu hal mempunyai arti biologis atau nilai psykihis atau
memiliki makna ekonomis, tehnis danestetis, belum tentu harus kita
pilih, apabila ternyata mempunyai nilai etis rendah. Misalnya saja
petasan,. Andaikanlah adik kita yang sangat menderita di suatu
bangsal rumah sakit khusus jantung perlu untuk tidak dikecewakan,
agar sakit jantungnya tidak makin parah. Kebetulan menjelag lebaran
sudah mulai terdengar petasan, yang amat digemari adik. Di depan
rumah sakit penjual menjajakan antara lain petasan murah, cukup
aman buatannya danbagus sekali bentuknya. Adik minta itu untuk
dibunyikan di situ juga. Maka segala nilai biologis, psyikhis, ekonomis,
tehnis danestetis terpenuhi cukup tingal dalam petasan itu. Hanya
saja, kalau diminta untuk dinyalakan di situ,- ini membahayakan
penderia lain. Petasan dalam keadan itu sangat rendah nilai etisnya,
yaitu nilainya dalam rangka tujuan hidup manusia secara
menyeluruh,-juga dalam hubungannya denan orang lan. Mirip dengan
itu: menjual ganja.Diliat dari sudut ekonomis perdagangan ganja
mempunyai arti besar. Namun ganja merusak mereka yang
menikmatinya sampai kecanduan. Jadi arti etisnya rendah.
Masalahnya menjadi lebih berat, kalau tarurahannya 'hidup beriman'.
48

Jatuh cinta kepada seorang gadis itu amat baik. apalagi kalau tidak
bertepuk tangan. Mungkin orang tua kitapun ingin cucu.Hati juga
sudah merasa cocok. Apalagi cantik dan kaya, mempunyai banyak
ketrampilan dan pandai mengatur ruang.Padahal diapun dikenal
sebagai seorang wanita yang baik hati, sosialwati, ramah, belum
berpasangan. Pokoknya segala niai di atas terpenuhi. Sayang sekali
bahwa dia adalah anak seorang toko komunis dan mengaku bahwa dia
juga ateis sendiri serta tidak mau bertobat. Lalu perlulah segala nilai di
atas (biologis, psykhis, ekonomis, tehnis, estetis, etis) ditimbanga
dibandingkan dengan 'nilai religius' berupa pertanyaan: maukah kita
mengurbankan iman kita dengan ganti nilai-nilai lain tersebut.
Tuntutan umum berbunyi nilai iman mengatasi segala nilai lain.
Singkat kata: dalam pelbagai situasi hidup itu kita bertemu aneka nilai
hidup yang tidak senantiasa terpadu sama. Seringkali beberapa niai
saling menguatkan. Tetapi tidak jarang pula ada konflik nilai.Dalam
keadaan itu kita harus memilih 'arti hidup' mana,yang mau kita
menangkan. Dalam hal itu pelu dimaklumi, bahwa dilihat dari sudut
jauh dekatnya dari tujuan hidup manusia secara menyeluruh, tidak
semua arti sama beratnya.Semakin jauh dari tujuan akhir hidup
menyeluruh manusia, nilainya semakin rendah. Maka artinya bagi
hidupkeseluruhan juga turun. Dari contoh-contoh di atas diharap
tampak, bahwa berturut-turut semakin menanjaklah harga nilai-nilai
itu dari yang segi biologis, psykhis, intelektual, etis sampai pada yang
religius. Kita sebagai manusia dipanggil untuk memilih arti yang paling
menunjukkan mutu kemanusian kita.

SIKAP TENTANG MAKNA HIDUP MANUSIA


49

Manusia hidup. Manusia menghayati hidupnya. Manusia mengalami,


bahwa hidup. Malah mencintai hidup ini. Hidup dialami sebaai sesuatu
yang bagus dan berarti. Kta segan menginggalkaan hidup ini. Kita
malah mau merangkum hal-hal lain ke dlam diri (makan). Kta mau
memperkaya, menghiasai dan melipatgandakan hidup ini, Kalau sakit
kita memulihkan diri, Kalau perlu bila diancam, kita mau membela dan
mempertahankan hidup ini.Mau hidup 'seribua tahun lagi', kata
penyair Chairil Anwar. Hidup manusia dialami sebaai bermakna. Akan
tetapi tidak mudah menjawab: di mana letak tepat makna hidup
manusia. Makna hidup manusia dihayati, tetapi sulit dirumuskan.
Seorang ahli filsafat manusia dari Perancis, Gabriel Marcel,
mengatakan, bahwa pertanyaan mengenai makna hidup manusia
adalah pertanyaan tentang suatu misteri, yang terus menerus ada,
tidak terkejar habis. Dari permasalahan yang sudah kita telaah di atas,
tampaklah bahwa hidu ini mempunyai makna dan sekaligus makna
hidu itu menantang kita untuk senantiasa kita tanggapi. Namun
ternyata juga bahwa panggilan hidup manusia itu tidak selalu mudah
ditangkap dan ditanggapi. dan toh setiap saat kita tertarik untuk
menyambut panggilan hidup manusia itu, dna dengan demikian
selangkah demi selangkah lebih mengerti makna hidup itu,- tidak
secara teorotis, melainan dalam praktek hidup sehari-hari: menjadi
'bijaksana'. Dalam menelah cara orang menyambut panggilan hidup
itu, seorang ahli ilmu ketuhanan yang terkenal, yaitu Pierre Teilhard
de Chardin menyebutkan tiga sikap, yang daapt diambil
orang,'membosankan', 'menikmati', dan 'menggairahkan'. Sikap
pertama adalah sikap orang memandang hiddup sebaai kegagalan,
kekeliruan, kekurangan, malapetaka. Hidup mempunyai makna negatif
bagi orang ini. Olehnya panorama idup selalu dilihat dengan memakai
kacamata hitam atau sekurang-kurangnya kelabu. Segala sesuatu
50

dirasakan membosankan. Semua dpandang dari sudut 'saya gagal,


engkau kecewa, dia fristasi, kita semua pernah. sekaran gsedang dan
akan terus gaal'. Dimana-mana dia melihat kekeliruan dan karena itu
kelompok ini juga meracuni lingkungannya, sehingga teman, atasa
dan bawahannya juga akan terpengaruh olehnya sera pandangan
hidupnya tertutup oleh kabut kegagalan belaka. Sikap ini
menyebabkan orang selalu dirundung pesimisme, kepasifan, kelesuan.
Maunya hanya untuk sesegera mungkin mengingalkan hidup
'semacam ini', pekerjaan 'seburuk ini', tugas 'seberat ini', rumah
'sesulit ini', lingkungan 'sebrengsek ini', - malah tidak jarang samai
pada keinginan 'bunuh diri'. Pertanyan yang kerapkali muncul dalam
sikap ini: 'ah untuk apa sih semuanya ini?' Sikap kedua menyebabkan
orang memandang panggilan hidup manusia dengan nafsu yang besar
sekali untuk menikmati segala dan untuk memanfaatkan apa-apa saja
sampai sepuas mungkin. Dengan latar belakang sikap ini orang mau
menyambut panggilah hidup dalam arah untuk mendapat kepuasan.
Tujuan hidup bagi kelompok ini adalah bersenang-senang. Segalanya
diukur hanya menurut sedikit-banyaknya sesuatu hal itu
mendatangkan kesenangan dan kenikmatan. Maka kalau kelompok
pertama tadi memandang hidup ini sebagai tidak bermakna, kelompok
ini meletakkan makna hidup pada masalah kenikmatan. Sikap yang
ketiga meungkinkan manusia melihat hidup ini secara realistis tanpa
membuang idealisme. Kelompok ini memang melihat aneka kekuranga
dan kegagalan dalam hidup. Tetapi mereka juga mendapatkan
sumber-sumber gairah danmenemukan kekuatan baru untuk medaki
ke puncak hidup yang baru lagi, sesudah harus mengarungi lembah
kenestapaan. Denga sikap menggairahkan ini orang tidak hanya sangsi
akan arti hidup,-hidupnya sekarang ini-, melainan malah dapt
membekai diri. Diapun berusaha untuk menemukan dan menggali
51

serta menciptakan masa depan yang bergairah itu: sendiri atau


bersama sesamanya. Bagi dia hdup ini senantias amengandung
makna,- dimanapun dan dalam keadaan apapun. Dia dipanggil untuk
secara terus menerus menemukan makna hidup ini dan memberi
makna kepada hidup ini. Dia merasa dipanggil untuk mmeberi arti
sejati pada hidup. Tidak hanya denga menikmati saja segalanya,-
seakan-akan manusia diciptakan untuk menjadi benalu yang
mengkonsumsi segalanya,- melainkan denga menciptakan penemuan-
penemuan baru, di mana ditemukan arti bari, yang lebih mendalam,
yang lebih mulia,- pokoknya 'yang serba lebih lagi' dalam hidup ini.
Sikap ini mendorong manusia untuk mempunyai dayacipta - kreatif -
dalam menyembut panggilan hidu di dunia.

Sebetulnya hanya sikap ketiga, yang pantas bagi manusia.


Sebab denga itu manusia mmapu untuk menghadapi panggilan Misteri
Hidup, yang tak pernah habis dan kerena itu harus selau dan terus
menerus digali secara kreatif. Sikap itu juga menempatkan manusia
sebagai Tuan nagi masa depannya, masa depan hidupnya sendiri. Bila
mempunyai sikap itu, manusia menghadap panggilan hidup dengan
penuh dinamika, harapan dan penuh kepercayaan.

KESIMPULAN

Walaupun kerapkali tertumpukkan banyak masalah dalam hdup kita,


sehingga terasa segalanya gelap, namun akhir-akhirnya toh hidup
manusia terbukti mempunyai arti. Makna hidu ini tidak begitu saja
dapat dirumskan. Makna hidu manusia itu terutama merupakan
pangalaman penghayatan pelbagai kenyataan hidup, yang menantang
52

manusia danmerupakan panggilan. Panggilan HIdup Manusia itu


menyeru kepad segenap umat manusia untuk ditanggapi. Aneka
tanggapn atas Panggilan Hdup Manusia itu ternyata menimbulkan
banyak pertanyan mengenai penghayatan arti dan makna hidup di
belakang tanggapan itu. Dan pada dasarnya hal itu berlatar belakang
pada sikap tertentu terhadap Hidup Manusiawi: apakah
'membosankan', ataukah 'mau menikmati segala keputusan belaka'
ataukah mau 'realistis-idealistis' bergairan menyongsong hari depan
yang cerah. Itulah arah utana dan dasaran apabila seseoran gmau
menanggapi Pangilan Hidup Mausia: dalam arti yang paling umum
sebaai manusia biasa, maupun secara khusus dlamrangkan hidup
kristiani, apalagi secara teristimewa dalam memenuhi pangilan hidup
khusus, misalnya membiara.Pada pokoknya kita diajak untuk
memenuhi panggilan, bahwa hidup manusia bermakna dan bahwa nilai
itu makna terus jauh menjangkau ke arah yang lebih tinggi lagi.

PERTANYAAN

I. Memahami masalahnya:

a. Sebutkan contoh kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan


orang bertanya tentang makna hidupnya.
b. Di manakah letak perbedaan antara "mencukupi kebutuhan" dan
"mengatasi kebutuhan".
c. Uraikan tiga macam sikap yang dapat diambil orang terhadap
makna hidup manusia.
d. Sebutkan dan jelaskanlah pelbagai nilai dalam hidup manusia.
e. Sikap manakah yang harus diambil jika orang mau menanggapi
panggilan hidup manusia? Juga panggilan Tuhan?
53

II. Mengembangkan Masalahnya:

a. Cobalah menemukan lagi contoh-contoh 'Pengalaman hidup' dari


hidup anda sendiri?
b. Ingat-ingatlah dalam hidup anda: apakah pernah atau malah
sering terjadi perjuangan antara pelbagai nilai hidup?
c. Anda terus menerus mencari Tuhan? Di mana? Bagaimana?
54

WAHYU: ALLAH MENYAPA MANUSIA

Hakikat Wahyu

Salah faham mengenai Gereja, iman, hidup bersama itu kerap


disebabkan karena kita mengira, seakan-akan segala kata kita
diartikan oleh semua orang secara sama. Yang paling mendasar
adalah pengertian mengenai wahyu. Tidak semua orang memahami
wahyu secara sama dan gambaran orang sekitar wahyu tidaklah sama.
Kita, umat Katolik, mengaitkan wahyu dengan iman kita dan
kita mempunyai sumber-sumber untuk menjelaskannya.
Sumber terpenting menyatukan kita dengan para guru Gereja kita:
sehingga dalam Gereja Katolik disebut “Magisterium”. 17 Namun banyak
orang lain mempunyai gambaran dan pemahaman yang tidak serupa,
walaupun menggunakan kata yang sama.

A. Banyaknya pandangan mengenai Wahyu

Dalam banyak lingkungan masyarakat, ditemukan sejumlah


pengalaman batin yang dekat dengan pemahaman kita mengenai
wahyu. Vedha, misalnya, disebut Kitab Suci karena disambut sebagai
Buku Kehidupan: yang merangkaikan hidup manusia dengan hidup
para Dewa. Padahal Dewa itu istilah Sanskerta yang dekat dengan
Deus dalam bahasa Latin, yakni Allah atau Tuhan dalam bahasa
Indonesia. Dalam masyarakat Jawa ada banyak cerita mengenai
wahyu: ada yang mengatakan bahwa wahyu itu sesuatu cahaya yang
kita terima dari Allah sehingga hidup kita menjadi jelas arahnya 18. Ada

17
Magisterium berasal dari kata ‚magister’ yang berarti ‚guru’. Dalam hal ini ’guru dalam beriman’. Nanti
kita akan mendalami, siapa sajakah yang secara sah disebut ’guru dalam beriman’.
18
Beberapa kelompok Aliran Kepercayaan mengakui cara pandang tersebut.
55

yang bilang bahwa wahyu itu suara dari Allah untuk menunjukkan ke
mana kita harus melangkah. Lainnya lagi mengatakan bahwa wahyu
itu catatan tertulis dari Allah.

B. Pandangan Konsili Vatikan II

Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan


diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya 19; berkat rahasia
itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang
menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi. 20
[DV art.2].

Dalam Konsili Vatikan II, dua ribu lebih Uskup dari seluruh dunia
berkumpul: mereka itu membawa penasehat-penasehat yang
mempelajari banyak hal sekitar iman. Oleh sebab itu wajarlah kalau
kita memandang Konsili sebagai mewakili suara Gereja: dalam jajaran
itu kita temukan para ‘guru iman’. Apalagi ungkapan-ungkapan
Konsili itu mendasarkan diri pada rangkaian ajaran dari sejarah Gereja
sampai teks-teks Kitab Suci yang mencerminkan Tradisi Gereja dari
abad ke abad. Salah satu yang penting adalah bahwa dipelajari juga
keputusan-keputusan Konsili dari masa lampau maupun ajaran para
Bapa Gereja yang dari abad ke abad senantiasa mengkonkretkan
komunikasi antara manusia dengan Allah.

C. Sifat-sifat yang mendasar

Ada enam aspek yang terdapat pada peristiwa wahyu sbg


penganugerahan-Diri Allah:

19
Lih. Ef 1:9
20
Lih. Ef 2:18; 2Ptr1:4.
56

a. Aspek “misteri ilahi”, yaitu dari Allah yang transenden.


b. Aspek historis, yaitu peristiwa dalam sejarah.
c. Aspek pengetahuan, yaitu pewartaan dan ajaran.
d. Aspek personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia.
e. Aspek perasaan, yakni cintakasih yang sedemikian membara hingga
‘committed’
f. Aspek aksi, yalah karya Allah dalam dunia nyata.

C. Asal-usul wahyu & maksud-tujuannya

Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan 21 dari kelimpahan
cinta kasih-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya 22, dan
bergaul dengan mereka23, untuk mengundang mereka ke dalam
persekutuan dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya
[DV art.2].

Menurut nas tersebut,


a) Asal-usul wahyu, yaitu inisiatif Allah yang bebas dan hanya karena
Allah mau memberikan cintaNya kepada manusia;
b) Maksud-tujuan wahyu, yaitu bahwa Allah mau mengikutsertakan
manusia dalam kehidupan Allah Tritunggal.
c) Kedua hal itu menyangkut pribadi-pribadi; bukan sekedar teori.

D. Objek wahyu

Wahyu bukanlah sekedar fantasi dan mimpi. Wahyu berkenaan dengan


peristiwa ‘obyektif’. Mengingat asal-usul wahyu, jelaslah yang menjadi
subyek wahyu (pelaku pewahyuan) adalah Allah sendiri. Apakah
21
Lih. Kol 1:15; 1 Tim 1:17.
22
Lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15.
23
Lih. Bar 3:38.
57

yang diwahyukan oleh Allah?(objek wahyu) Dei Verbum


menyebutkan bahwa obyek wahyu adalah “Diri Allah sendiri dan
rahasia kehendak-Nya”. Menurut nas tersebut, ‘Rahasia’ (‘nisteri’)
kehendak-Nya tidak lain adalah rencana Allah menyelamatkan
manusia.

E. Puncak wahyu

Seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menunjukkan bahwa


wahyu tidaklah terjadi seketika, melainkan dalam proses. Umat
manusia “berada dalam perjalanan” menuju keselamatan (persatuan
penuh dengan Allah, yang mengajak manusia berinteraksi tanpa henti
dengan segala cara). Dan Yesus dari Nazareth adalah “kepenuhan
wahyu” (DV art.2), sebab “dalam Dialah berdiam seluruh kepenuhan
ke-Allah-an”24. Dalam Kristus Yesus terjadi kepenuhan wahyu. Dialah
Putera Allah, Sabda Allah sendiri yang diutus kepada kita. Seluruh Diri
Kristus dan seluruh hidup-Nya merupakan pelaksanaan kehadiran
Allah di tengah-tengah manusia (lih. DV art.4). Istilah ‘puncak’ tentu
saja perlu diartikan secara simbolik.

24
Kol 2:9; bdk. Kol 1:19.
58

Wahyu Umum dan Wahyu Khusus

A. Maksudnya

Kata ‘umum’ dan ‘khusus’ dimaksudkan sebagai sepasang kata dalam


kaitan satu sama lain: keduanya mengenai ‘satu peristiwa yang
terpadu’. Yang disebut ‘Wahyu umum’ dalam Gereja Katolik adalah
pewahyuan Diri Allah melalui karya-Nya sebagai Pencipta. Menurut
iman kita, Wahyu ini disebut juga wahyu kodrati atau wahyu
alamiah, karena yang menjadi sarana pewahyuan adalah alam kodrat
yang terdapat di seluruh dunia. Artinya: kita dapat menemukan ‘diri
Allah dan KehendakNya melalui segala ciptaan dan dinamikanya.

Dalam Gereja Katolik diakui juga iman akan ‘Wahyu khusus’, yaitu
pewahyuan Diri Allah melalui karya-Nya menyelamatkan dan
menebus manusia dari duka nestapa dunia yang disebabkan
oleh dosa manusia. Wahyu ini disampaikan Allah secara khusus,
yaitu melalui perjanjian dengan umat pilihan-Nya. Wahyu ini disebut
wahyu adikodrati karena tidak dapat ditangkap dengan “kemampuan
kodrat akal budi”, melainkan dengan akalbudi yang diterangi iman.
Penerangan itu dilakukan oleh Allah Roh Kudus, yang diakui
dikaruniakan kepada umat beriman berkat Wafat dan Kebangkitan
Allah Putera justru dalam proses penebusan yang menyelamatkan itu.

B. Hubungan antara Wahyu Umum dan Wahyu Khusus

Sejak berabad-abad orang beriman berusaha menghayati interaksi


dengan Allah itu dan mencoba memahaminya. Maka dalam perspektif
59

itulah kalau dikatakan bahwa menurut Konstitusi Dogmatis Konsili


Vatikan II mengenai Wahyu yang diberi judul Dei Verbum, ‘kedua
Wahyu itu’ hanya dapat difahami apabila tidak dipisah-
pisahkan karena Allah yang sama, yang menjadikan langit dan
bumi, adalah Allah Penyelamat dan Penebus. Tidak hanya
kesamaan sumber, yakni asal-usul keduanya, tetapi wahyu umum
hanya dapat dilihat dengan tepat dalam perspektif wahyu khusus.
Dalam iman kita dikatakan bahwa “karya penciptaan dilingkupi oleh
rencana penyelamatan”. Dari sudut pandangan itu, dalam rangka
mencintai manusia, Allah menciptakan dunia “kodrati”. Dunia kodrati
yang dinodai oleh dosa manusia itu dipulihkan kembali melalui karya
penyelamatan Allah juga hanya atas dasar cinta Allah. 25 Konsili
mengadakan refleksinya atas wahyu Allah dengan bertitik tolak dari
wahyu khusus.

C. Isi wahyu umum

Sangat mungkin bahwa pembicaraan mengenai ‘proses perwahyuan’


dapat memberi kesan, seakan-akan dalam perwahyuan urusannya
melulu interaksi intersubyektif yang dapat tanpa isi. Maka perlu
didalami, apakah ‘isi wahyu’ itu: baik dalam Wahyu Umum maupun
Wahyu Khusus. Yang diwahyukan adalah 1) adanya Allah dan
beberapa sifat Allah, dan 2) Kehendak Allah.

1) Adanya Allah dan beberapa sifat Allah: Wahyu menegaskan


hadirnya Allah di dunia. Nas penting mengenai hal ini diberikan oleh
Paulus: “Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-
Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari

25
Lih. Ensiklik ’Deus Caritas Est’ Bab 1 dari Paus Benediktus XVI.
60

karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat


berdalih” (Rom 1:20).
2) Kehendak Allah: Seluruh Kitab Kejadian dimaksudkan untuk
menyampaikan kepada anak cucu Abraham: bahwa alam semesta
adalah tempat Allah mewahyukan KehendakNya. Dengan memandang
seluruh alam dan dinamika alam itulah mereka menemukan Allah,
yang menciptakan manusia hanya karena cintaNya.26
Selanjutnya kita melihat pentahapan perwahyuan.

D. Wahyu khusus dalam yang disebut ‘sejarah keselamatan’

Dalam wahyu khusus ini Gereja Katolik membedakan dua tahap


perwahyuan, yaitu: tahap pembentukan dan tahap pelanjutan atau
penerusan wahyu. Tahap pembentukan dimulai dalam bentuk “wahyu
asali” kepada manusia pertama. Kemudian dikembangkan dalam
bentuk perjanjian antara Allah dengan umat pilihan-Nya. Bagian ini
disebut Perjanjian Lama. Akhirnya wahyu khusus mencapai puncaknya
dalam Diri Yesus Kristus, Perjanjian Baru dan Kekal. Tahap
pembentukan selesai dengan berakhirnya zaman para Rasul. Lalu
tahap pelanjutan mulai.

Dalam tahap pelanjutannya, wahyu Kristus itu berlangsung terus


dalam Gereja berdasarkan pewartaan para Rasul, para “saksi
Kebangkitan Kristus”. Pewartaan ini sampai kepada kita melalui Kitab
Suci dan Tradisi.

26
Bdk. Rm 2:14-15.
61

Wahyu dalam Perjanjian Lama

Dari sudut iman Kristiani, Wahyu dalam Perjanjian Lama bersifat


menyiapkan kedatangan Kristus. Persiapannya dalam dua cara,
yaitu: wahyu umum (penciptaan) dan wahyu khusus (penyelamatan).

A. Penciptaan

Iman kita melanjutkan iman anak cucu Abraham dengan menyadari


bahwa seluruh Kisah Penciptaan merupakan ungkapan iman bahwa
Allah Pencipta menjadikan segala sesuatu hanya karena cintaNya dan
dengan SabdaNya.27 dan Kristuslah Firman Allah itu (Yoh 1:1-14; Ibr
1:1-4). Oleh karena itu, segala sesuatu diciptakan oleh Kristus (1Kor
8:6; Yoh 1:3), di dalam Dia dan untuk Dia (Kol 1:16).
Di sini sudah pantas dicatat lagi bahwa iman akan Penciptaan
senantiasa terintegrasikan dalam iman akan Penebusan oleh Yesus
Kristus. Secara mendasar dan teologis dapat dikatakan sebagai
berikut: Kristologi menyinari seluruh panorama iman kita pada wahyu
Allah.

B. Penyelamatan

a. Menjelang panggilan Abraham (Kej 1-11)

Bagian Kitab Suci ini mau mengungkapkan bahwa dalam sejarah


hidup suatu bangsa kita dapat membaca tidak hanya rangkaian
kisah antropologis melainkan juga pertumbuhan iman: iman pelaku

27
bdk. Kej 1:1 – 2:4.
62

sejarah maupun iman kita semua sebagai Keluarga Allah. Dalam


penyusuran itu kita memang dapat menemukan banyak jejak-jejak
paleontologi atau archaeologi atau biologi atau ilmu apa pun. Namun
dalam seluruh data itu tersedia juga kemungkinan untuk menelusuri
perkembangan iman: dalam hal ini oleh penulis Kitab Musa
diuraikan bahwa – kendati dosa manusia – rencana Allah, yang
mahacinta, tidak berubah. Allah tetap merencanakan kebahagiaan
manusia, karena Ia mengadakan manusia seturut citraNya hanyalah
untuk itu. Adam dan Hawa memang jatuh ke dalam dosa, namun
sejak awal mula pun sudah dijanjikan penebusan. Kain membunuh
Habel, tetapi diberi janji perlindungan (Kej 4:15). Nuh dan
keluarganya diselamatkan dari air bah dan Allah mengikat perjanjian
dengan seluruh dunia (Kej 9).
Dengan demikian, jelas bahwa sejarah keselamatan lebih luas
daripada sejarah suatu bangsa seperti keturunan Yakub, yakni
Israel. Sejarah umat Israel ditempatkan dalam keseluruhan sejarah
umat manusia. Dengan memilih umat Israel, Allah bermaksud
menjadikannya sarana guna mempersiapkan kedatangan Penyelamat
yang diperuntukkan bagi seluruh dunia (lih. DV art. 4). Seluruh
pewartaan para hakim, nabi dan penggubah Kitab-kitab dalam
Perjanjian Lama membentuk umat Allah yang berorientasi pada
Mesias.

b. Sejak Panggilan Abraham (Kej 12dst)

Perwahyuan terlaksana dalam Sejarah ketturunan Abraham, Isak dan


Yakub (yang juga disebut ‘Israel’, yang mulai dengan dan selalu
seputar panggilan atau pilihan Tuhan, tanpa jasa orang-orang yang
63

terpilih (bdk. Ul 7:6-7). Adapun tonggak sejarah keselamatan Umat


Allah itu dapat disingkat dalam:
 panggilan dan perjanjian Abraham dengan Allahnya;
 pengungsian keluar dari Mesir dipimpin Musa yang mencakup
perjanjian Sinai;
 hidup bersama di Tanah Terjanji, yang memuat iman Daud dan
Salomo;
 hidup dalam ketidakpastian karena tidak setia sehingga terjadi
kemerosotan nasional dan masuk ke dalam pembuangan;
 Sisa-sisa Israel kembali ke Tanah Suci (di pimpin Ezra dan
Nehemia);
 Masa Yudaisme di bawah pimpinan Makabe;
 Masa pertobatan melalui Yohanes Pembaptis – Maria Bunda Yesus.

Kata “Perjanjian” ingin dipergunakan untuk menunjukkan


bahwa manusia diperlakukan tidak sebagai obyek penciptaan
melainkan sebagai pribadi – partner. Perlakuan itu juga merumuskan
hubungan khusus antara Allah dan bangsa-Nya. Hubungan itu
diungkapkan dengan istilah ‘perjanjian’, yang di kalangan orang Timur
Tengah kuno sudah merupakan pola komunikasi antar budaya.

Dalam Perjanjian ada unsur-unsur:


 hubungan pribadi (lih. Kej 12:1-3; 17:7; Ul 7:6).
 keakraban (lih Kej 1-2)
 janji-janji. Awalnya duniawi, kemudian rohani (lih.Yeh 36:26-27)
 tuntutan (lih. Ul 30:16) Isinya: 10 perintah (lih. Ul 5:1-22), kasih
kepada Allah (lih. Ul 6:1-25) dan kepada sesama (Im 19:18.34)
 pengalaman pasang surut dan pengembaraan dalam ketidakpastian
dunia.
64

Sifat Perjanjian itu interaktif. Oleh sebab itu walau pun terjadi dalam
‘Sejarah Keselamatan’ namun sungguh sangat manusiawi: terus
menerus membutuhkan ‘discernment. Memang Perjanjian tidak dapat
dibatalkan, alasannya keputusan bebas Allah memilih Israel. Cinta
Allah yang mahakuasa tidak mengenal batas dan cinta itu menjadi
warna dasar seluruh teologi Perjanjian. Allah tetap setia kendati umat-
Nya tidak setia. Bahkan Ia memperbaharui perjanjian itu (lih. Yer
31:31; Yeh 36:25-28). Namun partner Perjanjian yang adalah
manusia mempunyai banyak keterbatasan, yang penuh pasang surut.
Seluruh Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memperlihatkan
kedua sifat interaktif itu.
65

Wahyu dalam Perjanjian Baru

Yesus adalah isi dan maksud-tujuan wahyu

Dalam Yesus Matius melihat kepenuhan nubuat perwahyuan. Di


situ ditemukan maksud-tujuan wahyu, yaitu ikut sertanya
manusia dalam kehidupan Allah yang menjadi Bapa semua yang
hidup, Sang Putera yang memulihkan seluruh ciptaan berkat Roh
Kudus yang menemani ziarah Gereja. Supaya maksud tujuan itu
terlaksana secara sepenuhnya, perlu bahwa wahyu diwujudkan dalam
kehadiran Pribadi Ilahi di tengah umat manusia yang akan ditebus.
Dengan kata lain, perlulah Allah dalam manusia. Inilah yang terjadi
dalam Yesus dari Nazaret. Diri Yesus adalah perjumpaan menyeluruh
Allah dan manusia dalam persekutuan pengetahuan dan cinta. Dalam
manusia Yesus Allah mewahyukan diri secara penuh (Lih. DV art. 4).
Maka Yesus adalah isi wahyu ‘par excellence’.
66

PENGERTIAN DAN MAKNA SERTA DASAR IMAN

Kerap kali kita disebut sebagai ‘orang beriman’. Kerap kali kita
mengira bahwa segalanya jelas. Maka sering kali di masyarakat kita
mendengar orang berbicara “sebagai orang beriman, kita harus
bertindak begini atau begitu serta tidak boleh melakukan itu”. Padahal
tidak semua orang memahami iman secara sama. Misalnya saja,
ada orang yang mengaitkan iman dengan ‘percaya kepada Tuhan’
(sudah, begitu saja; dan tidak boleh mempertanyakan sama sekali,
apa yang didengarnya dari seorang ‘guru-iman’). Orang lain
menyatakan bahwa yang disebut beriman adalah orang yang percaya
pada Alkitab yang diwahyukan: jadi para ‘ahli kitab’ itu sama dengan
orang beriman. Yang lain lagi malah menyebutkan pelbagai hal yang
disebut ‘rukun iman’. Dengan demikian kita tidak mau melecehkan
atau memandang rendah orang yang mempunyai cara memahami
iman tidak seperti kita. Yang mau ditunjukkan adalah hanya “bahwa
ada lebih dari satu cara memahami iman, apalagi menghayatinya”.
Teologi Dasar mau menolong kita mencoba mendalami
pertanyaan berikut: Bagi kita orang Katolik, iman artinya apa
dan apa tanda-tandanya bahwa kita beriman; wahyu itu bagi
kita apa?
Banyak bukti atau tanda-tanda yang dikemukakan untuk
menunjukkan bahwa kita orang beriman berasal dari cara kita
berdoa dan perkumpulan doa kita atau rumusan doa kita. Dapatlah
kita memperdalam lebih lanjut: itu sajakah pengertian iman kita?
Dengan demikian tidak mau dikatakan seakan-akan cara berdoa,
rumusan doa atau persekutuan doa itu tidak penting atau tidak
menjadi tanda iman kita; yang mau diperdalam adalah “hanya itukah
67

iman itu”? Itulah arti kata “memperdalam pemahaman dan


penghayatan kita mengenai iman”.
Sementara itu, tidak jarang kita tergoda untuk bersilat lidah dengan
mengutip ayat ini dan itu seturut cara berpikir kita sendiri-sendiri,
tanpa menemukan kata akhir: siapa yang benar dalam menjawab
pertanyaan “hanya itukah iman itu”? Ada pertanyaan yang lebih jauh
lagi, misalnya: “manakah sumber yang secara sah” dapat kita pakai
untuk mempertanggungjawabkan jawab atas pertanyaan-pertanyaan
tentang iman kita? Siapakah yang dapat kita ajukan sebagai pegangan
pendirian kita: bolehkah langsung merujuk pada kata-kata Yesus?
Dalam turutan itu lalu muncul pertanyaan: manakah bagian Kitab Suci
yang sungguh berasal dari Yesus sendiri? Manakah yang berasal dari
cara seorang penggubah (Matiuskah atau Pauluskah) menangkap
maksud Yesus? Tafsir kita sendirikah itu? Ataukah tafsir orang yang
bersama-sama kita kagumi (guru A atau dosen B atau pengkhotbah
C?): kita mengagumi dia dalam hal pengetahuannya ataukah dalam
hal kesalehannya ataukah dalam hal kekhusukan doanya ataukah
karena ia banyak diceriterakan menyembuhkan orang sakit? (Pastikah
bahwa orang saleh itu menafsirkan Alkitab secara tepat-makna?) Lalu
adakah cara-cara yang oleh Gereja Katolik dianggap wajar dan
bertanggungjawab untuk menegaskan kebenaran iman atau rumusan
iman atau sikap iman kita? Kalau demikian, ungkapan iman yang
mana sajakah yang diakui tepat dalam Gereja Katolik?
Kerap kali iman itu dirujukkan pada sabda Yang Mahatinggi kepada
manusia. Pertanyaan berikut yang dapat timbul adalah: Apa artinya
kalau kita mengatakan bahwa Yang Mahabesar ‘bersabda’ kepada
manusia? Kapankah Ia bersabda kepada kita? Dengan bahasa
manakah Ia bersabda kepada kita? Haruskah kita memahami
ungkapan itu sebagaimana kita menangkap kata itu sepenuhnya sama
68

dengan kalau ucapan yang sama itu dikatakan oleh salah satu teman
kita? Manakah analogi yang perlu kita cermati ketika kita menemukan
sesuatu ucapan yang disebut sebagai ‘wahyu dari Allah’?
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kalau teologi mendasarkan
diri pada kaitan antara hidup kita dengan iman, sementara
iman erat berhubungan dengan wahyu, maka dalam
pembicaraan mengenai dasar teologi, kita harus berbicara
mengenai ‘wahyu’.

IMAN: TINDAKAN MANUSIA MENJAWAB ALLAH

Pengantar

Dari bagian sebelum ini sudah ditegaskan bahwa peristiwa


perwahyuan dialami Umat Terpilih sebagai peristiwa interaktif. Oleh
sebab itu, perwahyuan bukanlah suatu peristiwa yang terjadi serta-
merta. Dan iman tidak identik dengan teks dan syahadat walau
membutuhkan teks dan syahadat. Iman bukan perasaan walau
mencakup perasaan. Iman tidak sama sebangun dengan perbuatan A
atau B, walau iman perlu perbuatan. Gereja Katolik tidak
memutlakkan iman; namun sungguh mengakui pentingnya iman: iman
yang disadari dan dipertanggungjawabkan. Di situ teologi
menemukan dasarnya yang terdalam. Maka di situ pulalah Teologi
Dasar berakar.

Teologi suci bertumpu pada sabda Allah yang tertulis, bersama dengan
Tradisi suci, sebagai landasannya yang tetap. (...) Adapun Kitab suci
mengemban sabda Allah, dan karena diilhami memang sungguh-
69

sungguh sabda Allah. Maka dari itu pelajaran Kitab suci hendaklah
bagaikan jiwa Teologi suci. (DV art.24)

Wahyu Allah ‘membutuhkan’ partner, yakni manusia yang menjawab.


Maka dari itu kita memahami iman selalu dalam kaitan dengan wahyu.
Jawaban positif atas wahyu disebut “iman kepercayaan”. Dalam iman-
kepercayan manusia menerima penyataan-Diri Allah, yang dijawabnya
dengan penyerahan diri kepada Allah pewahyu. Dengan kata lain, bagi
kita iman bukanlah terbatas pada sikap nonrasional ‘pokoknya percaya
saja’; selain itu, bagi kita iman bagi kita tidaklah bersasaran kata atau
naskah. Bagi Gereja Katolik iman adalah sebutan untuk
interaksi intersubyektif yang menyeluruh: melampaui segi
rasional, segi perasaan, segi tindakan sehingga mencakup
keseluruhan hidup manusia dalam komunikasinya dengan Allah
yang mewahyukan diri.
Kita dapat menyusuri pengalaman berabad-abad. Perjanjian Lama
memberikan gambaran iman yang konkret sekali; bahkan sampai pada
tindakan budaya dan politis. Perjanjian Baru menghadirkan Yesus yang
menjadi acuan iman yang nyata. Zaman pasca-Perjanjian-Baru sibuk
mencari wujud nyata iman pada Kristus dalam konteks baru: tanpa
kehadiran fisik Yesus. Masa kini memberi tantangan baru untuk
beriman. Ada kaitan antara tahap-tahap sejarah iman itu; namun ada
beda juga.

A. Iman menurut Alkitab

Perjanjian Lama
70

Sudah dikatakan bahwa berbeda dengan banyak bangsa di masanya,


anak cucu Abraham mengalami Allah mereka sebagai Pribadi
yang penuh cintakasih sejak awal mula. Allah itu mengajak
manusia bercangkrama. Oleh sebab itu dalam Sejarah Keselamatan
diperlihatkan ‘percakapan’ antara ‘kedua subyek’ itu. Karena Allah
dihayati sebagai “berbicara” kepada manusia dalam mewahyukan diri,
maka iman dalam pengalaman Musa dan saudara-saudaranya berarti
mendengarkan sabda Allah. (Mis. lih. 1 Sam 3:10). Dalam peristiwa
Sinai tampak bahwa tindakan mendengarkan Sabda Allah itu perlu
dilengkapi dengan aksi menyeluruh, yakni hidup yang selaras dengan
Kehendak Allah. Hidup secara keseluruhan itu merupakan wujud iman
yang berarti menaati perintah Allah. Di situ ‘ketaatan’ melampaui
‘ketaatan pada perintah’ melainkan ‘menyambut uluran tangan Allah
yang penuh Kasih’. Model iman yang cemerlang ditunjukkan oleh bapa
semua orang beriman, yaitu: Abraham (lih. Kej 12:1.4a), Musa, Daud
dan Yoanes Pembaptis. Selain itu Sejarah Keselamatan menunjukkan
pergulatan Yakub dalam diri anak cucuNya, yaitu: berjuang untuk
terus menerus setia melaksanakan kehendak Allah, yang terus
menerus membutuhkan discernment. Para Hakim dan Nabi terus
menerus mengingatkan proses discernment tanpa hentu menuju
pembaharuan kesetiaan kepada Allah itu secara tidak berkesudahan
(lih. Mi 6:8; Hos 6:6). Akhirnya, beriman berarti menaruh percaya
pada janji Allah (lih. Kej 15:6) sampai titik darah terakhir, yang
gambaran utamanya Mesias.

Perjanjian Baru

1. Injil Sinoptik:
71

Yoanes Pembaptis, Zakaria, Elisabeth dan terutama Maria menjadi


tokoh utama, yang merupakan alas kelahiran Sang Putera: Anak Allah
yang menjadi Wahyu paripurna serta Anak Manusia yang sempurna
imannya. Kedua sisi itu menjadi perpaduan.
Yesus Kristus memang Kabar Gembira itu sendiri (lih. Mrk 1:14-15).
Dalam DiriNya terwujud hidup utuh yang memanusiakan sekaligus
wahyu dan iman sehingga mengajak murid-muridNya percaya dan
berbalik secara total kepada Allah. Itulah bertobat; memang
membelakangi dosa, tetapi yang lebih penting ‘committed’ pada Allah
habis-habisan. Dengan hidupNya Yesus menegaskan: “Siapa
mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Mrk
4:9). Tetapi mendengar saja tidak cukup, orang juga harus
memahami: 1. menerima sabda Allah sambil percaya, dan 2. hidup
sesuai dengan sabda itu (lih. Luk 8:21; 11:28) lalu menjadi saksinya
sampai ke ujung bumi (akhir semua Injil Sinoptik). Ini pandangan
iman yang arahnya sama (sinoptik).

2. Injil Yohanes:

Para ahli menangkap bahwa di balik Injil Yohanes terdapat suatu


komunitas yang amat merasakan artinya cinta seorang murid
Yesus. Oleh sebab itu, di balik Injil ini terekam komunitas beriman. Di
situ iman berarti pilihan untuk membiarkan diri dicintai Yesus,
menerima sabda-Nya dan membentuk paguyuban cintakasih. Iman itu
menyebabkan mereka membentuk habitus untuk membangun
cintakasih: tidak melaksanakan itu berarti tidak jadi muridNya dan
itulah ‘menolak Yesus’. Kehidupan bersama mereka tidak lepas dari
kehadiran dan Sabda-Nya yang setiap kali menantang manusia
menerima atau menolak Dia (lih. Yoh 6:60-70; 7:25-36).
72

Murid Yang Dicintai Tuhan adalah guru komunitasnya, yang menyerap


semangat hidup Sang Guru karena kesetiaanNya sehingga
mempercayakan BundaNya serta murid-muridNya juga kepada
pewarisNya. Ini sumber penting untuk terbentuknya Gereja.

3. Paulus:

Dalam Perjanjian Baru dapat kita ikuti kesaksian iman banyak anggota
umat, yang telah berkenalan dengan Yesus Kristus. Ada yang murid
dari Rasul-rasul yang mengenal Yesus Kristus secara langsung; ada
pula yang tumbuh dari persekutuan para Murid yang tidak langsung
mengenal Yesus secara fisik. Dari mereka itu, yang paling utama
adalah Santo Paulus. Paulus menekankan iman sebagai jawaban
yang diharapkan dari manusia sebagai reaksi terhadap Sabda
Injil. Melalui iman, orang mendekati Misteri, Injil dan Sabda, sehingga
mengenal rencana penyelamatan Allah dalam wafat dan kebangkitan
Kristus (lih. 1Kor 1:17-30; 2:1-4). Mengenal berarti bergaul dari hati
ke hati. “Pengenalan akan Kristus” (Flp 3:8) disebut juga “ketaatan
iman” (Rm 16:26).

Sesungguhnya dari abad ke abad berkembanglah cara beraneka


untuk mengenal dan menghayati iman. Mulainya pada zaman
yang disebut Masa Pascarasuli, zaman para Bapa Gereja, zaman Abad
Pertengahan sampai dengan zaman modern. Kadang kala usaha itu
lebih diwujudkan pada tingkat lokal, kadang regional, kadang juga
seluruh dunia. Suatu perundingan yang dihadiri oleh pimpinan Gereja
seluruh dunia disebut Konsili. Konsili terakhir diselenggarakan pada
abad XX: Konsili Vatikan II.
73

B. Iman menurut Vatikan II

Setiap Konsili diselenggarakan dalam kesatuan Gereja, baik sewaktu


maupun lintas-waktu. Oleh sebab itu, sesungguhnya Konsili Vatikan II
menyampaikan pendirian iman yang juga dianut oleh Konsili-konsili
sebelumnya, walau mungkin memakai rumusan yang terkait dengan
budaya dan saatnya. Oleh sebab itu perlu dilihat baik kesamaan
maupun perkembangan cara menghayati,memahami dan merasakan
iman.

a) Penyerahan diri seluruhnya kepada Allah secara bebas

Kalau wahyu dimengerti sebagai pemberitahuan kebenaran adikodrati,


maka iman dilihat sebagai penerimaan kebenaran yang diwahyukan
oleh Allah. Itulah pandangan Vatikan I. Sementara Vatikan II
melihatnya secara lebih luas. Kalau wahyu dimengerti sebagai
penyataan-Diri Allah, komunikasi pribadi Allah kepada manusia, maka
iman tidak lain tindakan bebas manusia yang menyerahkan diri
kepada Allah itu. Penyerahan diri manusia kepada Allah itu dengan
tahu dan mau, dengan segenap jiwa raganya, segenap hati dan
kekuatannya.

b) Sasaran iman kepercayaan itu Allah sendiri

Yang dipercaya bukan pertama-tama naskah atau sejumlah rumusan


kebenaran, tetapi Pribadi Allah sendiri. Konsili mengatakan: Kepada
Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan
“ketaatan iman” (Rm 16:26; lih Rm 1:5; 2 Kor 10:5-6) [DV art. 5].
Artinya iman itu relasi intersubyektif. Dengan kata lain
74

intersubyektivitas merupakan bagian hakiki iman. Bahkan iman itu


sendiri membentuk intersubyektivitas secara baru.

c) Iman itu anugerah

Kalau Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memaparkan iman


yang tampak dalam sejarah hubungan Allah dengan Anakcucu
Abraham maupun para murid dengan Yesus Kristus, maka sekaligus
disadari juga bahwa untuk beriman atau mengembalikan iman
senantiasa diperlukan inisiatif Allah. Wahyu, yakni pemberian Diri Allah
itu hanya dapat terwujud karena Allah senantiasa memulai. Bahkan
sikap iman sendiri terbentuk karena Roh Allah memberikan. Konsili
mengatakan: Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan
rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan
batin Roh Kudus,.... [DV art. 5]. Iman sebagai perjumpaan personal
dengan Allah merupakan anugerah Allah kepada manusia.

C. Yang hakiki dalam Iman28

I. Mengatakan “Ya” kepada Allah

Iman secara hakiki merupakan ‘jawab manusia terhadap wahyu’. Hal


ini berarti mengatakan “Tidak” kepada ilah-ilah lain, entah itu berhala-
berhala yang dahulu disembah bangsa manusia, entah itu berhala-
berhala modern: uang, kuasa, gengsi, dst. Bahkan dari Yesus kita
ditantang untuk mengambil sikap “memilih Allah atau bapak-ibu atau
diri sendiri – memanggul salib sampai akhir”. Dengan mengatakan
“Ya” kita hanya mau menyembah dan melayani Allah sebagai satu-

28
J.L. Ch. Abineno, Aku percaya kepada Allah, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1983, hlm. 7-16.
75

satunya Allah, sehingga terjalinlah relasi utuh dengan Allah. Ini yang
dimaksud dengan istilah “percaya” oleh Syahadat.

II. Membuktikan kesetiaan kepada Allah dalam perbuatan yang nyata

Relasi dengan Allah bukan dalam angan-angan tetapi dalam tindakan


manusia yang berdarah dan berdaging. Sudah sejak awal mula ada
pegangan umat Kristiani: Percaya itu bukan sesuatu yang abstrak;
percaya itu nampak, menyatakan diri dalam perbuatan nyata (lih. Yak
2:17). Yakobus merujuk pada hidup Yesus. Dalam Diri Yesus itu, kata
dan perbuatan adalah satu. Yesus bersabda: Bukan setiap orang yang
berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di
sorga (Mat 7:21).

III. Karena hidup itu ziarah, yang penuh cobaan, maka orang yang
beriman berpegang teguh kepada Allah

Iman merupakan interaksi yang tidak pernah berhenti. Percaya itu


bukan milik yang dapat disimpan, setiap kali harus kita sambut dari
Allah. Karena manusia terbatas maka percaya menuntut pergumulan:
bergumul atau berjuang untuk percaya. Pergumulan dapat disebabkan
oleh cobaan atau ujian yang dilakukan Allah terhadap kepercayaan
untuk mematangkan dan mendewasaan. Mis. Abraham diminta
melepaskan Ishak anaknya (lih. Kej 22). Pergumulan juga mutlak
perlu karena godaan yang dihadapi setiap orang beriman, bahkan
Yesus sendiri digoda (lih. Mat 4:1-11). Keterbatasan manusia
menjangkau segala segi hidup manusia yang mewarnai seluruh iman
manusia.
76

IV. Memulai suatu hidup dengan warna khas

Manusia membedakan diri dari hewan karena memiliki kehendak


bebas, dan bukan hanya mengikuti naluri belaka. Kehendak bebas itu
memberi rasa harga diri dan menyebabkan setiap manusia memiliki
kedirian. Hal itu dapat menyebabkan kecenderungan memusatkan
hidup pada diri sendiri. Dengan percaya, manusia meninggalkan cara
hidup yang lama, yakni egosentrisme (‘berdosa’), lalu memberi warna
khas (hidup dalam Sang Kebenaran). Dalam hidup yang baru itu,
Kristus memerintah dan memimpin (lih. Gal 2:20), sehingga kita tidak
lagi dikuasai oleh kuasa kejahatan.

V. Hidup dalam kesatuan dengan Sang Kebenaran

Iman adalah relasi dengan Allah dalam Sang Kebenaran karena Roh
Mahakudus. Iman bukan hanya soal hati saja tetapi juga akal-budi
(lih. Mat 22:37. dst: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati,
jiwa, dan akalbudi). Maka, orang yang percaya adalah orang yang
mencari kebenaran dan bersikap kritis baik terhadap pewartaan
maupun terhadap diri sendiri. Kata ‘kritis’ tidak dimaknai sebagai
‘serba melawan’ melainkan terus menerus mencari kebenaran. Contoh
suatu percaya yang ‘tidak buta’, misalnya dalam Yoh 6:67-69.

Jadi, iman Kristiani itu merangkum seluruh manusia dengan segala


kekuatannya, termasuk akal budi. Iman itu mendorong manusia untuk
mengetahui apa yang kita percayai dan imani. Ada ungkapan terkenal
dari St. Anselmus dari Canterbury (abad XI): “fides quaerens
intellectum” (iman mencari pengertian), dan “Credo ut intelligam” (aku
77

percaya untuk mengetahui). Kita mempelajari teologi agar dapat


percaya dengan lebih baik. Cara ini pantas bagi manusia sebagai
makhluk berakal-budi.

Ringkasnya:
Sebagai sambutan manusia atas pemberian Diri Allah, iman Kristiani
mengandung beberapa sifat::
a. Aspek “lingkup ilahi”, yaitu menyambut Allah yang
transenden.
b. Aspek historis, yaitu peristiwa dalam sejarah.
c. Aspek pengetahuan, yaitu pewartaan dan ajaran tentang
Sang Kebenaran.
d. Aspek personal, yaitu penerimaan pribadi manusia kepada
Allah.
e. Aspek perasaan, yakni cintakasih membara sehingga
‘committed’.
Aspek aksi, yalah jawab terhadap kasih Allah dalam dunia karya
sehingga memiliki warna khas.
78

PEDOMAN IMAN

Karena manusia itu terbatas, maka kebersamaan orang beriman dapat


saling menguatkan. Di sana kita dapat saling belajar, bagaimana
memperdalam iman. Namun dengan kebersamaannya manusia juga
mendapat tambahan masalah, karena kemandirian setiap pribadi
membuka kemungkinan perbedaan pengalaman dan perwujudan iman.
Pertanyaannya: Apakah yang menjadi pegangan bagi kita,
supaya pada masa kini kita masih dapat mengenal Allah
sebagaimana Ia telah mewahyukan diri-Nya dalam Kristus?
Adakah patokannya untuk tahu bahwa iman kita sama dengan iman
para Rasul dahulu? Manakah Pedoman Iman? (lih. DV art.7-10).

PEWARTAAN PARA RASUL DAN PARA USKUP

Dari Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II mengenai Gereja, Lumen


Gentium, kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus menugasi para Rasul
untuk mendampingi umat memahami perwahyuan dalam Kristus dan
mengimaniNya. Para Rasul menunjuk pada penggantinya, yang
sampai masa kini dipanggul oleh para Uskup. Dewan Para Uskup
meneruskan pengutusan Dewan Keduabelasan (para Rasul). Mereka
itulah yang secara resmi ditahbiskan untuk menjadi imam, raja
dan nabi dalam Gereja masa kini.

A. Dasar penerusan tugas untuk memahami dan menyambut wahyu:

Dengan Yesus Kristus sebagai Puncak Wahyu, maka tugas para


Rasul adalah untuk mewartakan iman kepada Allah dalam Yesus
79

Kristus dengan pendampingan Roh Kudus. Iman itu merupakan


prasyarat agar manusia dapat meneruskan pengalaman dan
perwujudan imannya mengenai rencana Allah yang menghendaki
agar semua orang diselamatkan (lih. 1Tim2:4). Yesus sendiri
memberi perintah kepada para Rasul untuk mewartakan Injil itu
kepada semua orang (lih. Mat 28:19-20; Kis 1:8). Dengan
demikian manusia dapat menyambut wahyu itu.

B. Cara pewartaan para Rasul

a. Pewartaan tidak tertulis

 Pewartaan para Rasul yang paling dini terwujud dalam


kebersamaan mereka dan pelayanan mereka agar para murid
Yesus yang tercerai berai itu tetap dalam persekutuan iman. Jadi
prioritas waktu itu adalah pewartaan hidup dan pendampingan
umat yang tidak tertulis, baik dari sudut waktu maupun sudut
logika, juga dari sudut sarana penerusan seluruh Injil. Peran
pewartan tak tertulis adalah bahwa wahyu ini langsung dan
komprehensif.
 Pelayanan perdana tersebut dilaksanakan juga dengan
menyampaikan kepada para murid yang lebih luas: apa
yang dikehendaki Allah dalam Yesus Kristus. Dengan cara
itu terbentuklah tidak hanya tradisi lisan melainkan juga tradisi
tertulis. Dalam tradisi kita mengetahui bahwa di kalangan umat
perdana dikenal catatan yang sekarang disebut ‘Q’, yang
nantinya dipergunakan oleh para penulis Injil Sinoptik. Dengan
perlahan-lahan tetapi pasti dan di bawah bimbingan Roh Kudus,
80

para Rasul mengungkapkan ajaran Kristus. Dengan cara itu juga


mereka meneruskannya.
 Pewarisan (‘traditio’) tersebut sejak awal menjadi pedoman
iman Gereja Perdana bersamaan dengan Injil – Perjanjian Baru.
Konsili Vatikan II memberi tekanan baru, yaitu: objeknya - baik
kata-kata maupun kenyataan-kenyataan yang diteruskan di
bawah dorongan Roh Kudus; dan juga caranya>”tidak tertulis”,
artinya baik secara lisan, maupun teladan.

b. Pewartaan tertulis

 Seperti diungkapkan di atas, perlahan-lahan tersusunlah tulisan


Injil. Maksud-tujuan pembukuan amanat keselamatan, yaitu:
supaya dalam bentuk tertulis Injil menjadi pedoman iman
kita.
 Baik Tradisi Lisan maupun Tradisi Tertulis memiliki kesamaan
dan perbedaan. Ada semacam kesamaan asal-usul: kedua-
duanya (Tradisi dan Kitab Suci) berasal dari dasar ilahi yang
sama, yaitu: karya dan sabda Kristus serta inspirasi Roh Kudus.
Perbedaannya terdapat dalam hubungan masing-masing dengan
wahyu itu yaitu bahwa Injil dari Yesus sedang para Rasul
menjadi pangkal pembentukan Tradisi

C. Dilanjutkannya pewartaan para Rasul oleh para Uskup:

 Para Uskup diutus untuk menjadi penerus pengutusan


para Rasul. Maksud penerusan adalah bahwa pertama-tama
tritugas para Rasul tadi harus terlaksana, yakni menjadi imam,
nabi dan raja. Dalam penerusan itu, Kitab Suci yang diwartakan
81

para Rasul harus tetap aktual untuk segala zaman. Supaya


kesucian dan kekuatannya yang asli tetap utuh, perlu bahwa
Injil terus merupakan sabda yang diucapkan (aktualitas
pewartaan), dan yang dijelaskan artinya ketika ditulis (kharisma
penafsiran).
 Di situ para Uskup melanjutkan tugas pengajaran para
Rasul (‘magisterium’). Tugas magisterium itu dikembangkan
oleh uskup-uskup. “Magisterium (=kuasa mengajar) para uskup”
ialah pelayanan yang mereka berikan kepada umat berupa tiap-
tiap kegiatan penyelamatan yang meneruskan kegiatan rasuli
dalam segala bentuknya, yaitu: sebagai imam, nabi dan raja.
82

KITAB SUCI, TRADISI DAN MAGISTERIUM

Pada masa ‘Pasca-Apostolik’ (Pasca-rasuli) tradisi berkembang lebih


lanjut dengan pedoman masa sebelumnya. Perkembangan tradisi itu
memungkinkan murid-murid Yesus Kristus hidup dalam persaudaraan
iman selaras dengan situasi dan kondisi mereka setiap masa.

A. Peran Tradisi:
* Tradisi lisan sudah kita lihat sebagai pedoman penting bagi hidup
beriman Gereja perdana. Dalam konteks itulah Kitab Suci
mengambil tempat sebagai sarana wahyu. Dalam proses itu,
pengalaman hidup para Rasul dengan Kristus mengatasi dan
melebihi tulisan-tulisan yang memberi kesaksian tentang-
Nya. Sebab hidup bersama Kristus melampaui kata-kata. Kitab Suci
sendiri berasal dari pewartaan rasuli yang hidup. Jadi para rasul
mewariskan bukan saja Kitab-kitab, tetapi pewartaan hidup iman.

B. Isi dan hakikat Tradisi


a) Isi Tradisi
Pada dasarnya Tradisi berisi ‘hidup dalam iman pada Bapa
dalam Yesus Kristus berkat bimbingan Roh Kudus’. Titik
awalnya adalah hidup para Murid bersama Yesus Kristus. Dalam
arti itulah Tradisi merupakan bentuk khusus penerusan wahyu.
Isi wahyu tidak hanya terdiri dari kata-kata, tetapi seluruh
kenyataan hidup Kristiani: di sana terdapat apa yang terungkap
secara ringkas misalnya dalam Kisah para Rasul 2: 41-47. Di
dalamnya tercakup pengajaran, hidup-bersama dalam
kerukunan cintakasih, dan perayaan ibadat yang pusatnya
sakramen-sakramen.
83

b) Hakikat Tradisi
Jadi Tradisi adalah apa yang juga merupakan inti sari
kehidupan para Murid ketika bersama Yesus Kristus.
Tradisi mengandung perbuatan (karya) dan perkataan (sabda)
yang secara intrinsik terjalin satu sama lain. Oleh sebab itu
Tradisi dan Kitab Suci bukanlah saingan satu sama lain,
melainkan saling melengkapi secara mutlak. Kesaksian Kitab
Suci menuntut untuk dituangkan ke dalam kehidupan Gereja.
Tradisi mewujudkan tuntutan itu secara keseluruhan.

C. Perkembangan Tradisi:
a) Ziarah Gereja sudah ditentukan untuk berkembang lebih
lanjut ketika Yesus mengutus para Murid agar menjadi
saksinya sampai ke ujung dunia. Oleh sebab itu Tradisi tetap
terbuka untuk perkembangan.
Keterbukaan pada perkembangan disebabkan oleh isi dan
hakikat Tradisi sendiri. Demi hakikatnya Tradisi meneruskan
hidup beriman umat dalam pelayanan para Rasul dan murid-
murid mereka. Tradisi merupakan sesuatu yang hidup. Baik
Tradisi maupun Gereja merupakan kenyataan yang hidup. Setiap
hal yang hidup itu bersifat menjaga diri dengan
mengembangkan diri.

b) Hakikat perkembangan Tradisi


Tradisi Gereja mengandung dua unsur penting, yakni segala
sesuatu yang diwariskan oleh para Rasul maupun buah inspirasi
dan pendampingan Roh Kudus dalam kreativitas umat. Tradisi
gerejawi ini, sejauh terikat pada temporalitas Gereja, dapat
84

ditinggalkan bila tidak diperlukan lagi, tetapi Tradisi rasuli yang


menyangkut wahyu tidak boleh terkena perubahan. Maka,
perkembangan begitu rupa sehingga identitas asali
dipertahankan. Perkembangan semacam itu dapat dibandingkan
dengan perkembangan semua organisme, makhluk hidup.

c) Dalam perkembangan Tradisi itu dapat ditemukan sejumlah


faktor yang mempengaruhi dinamikanya (lih DV art. 8)
 Faktor utama dan pertama adalah hidup umat beriman dalam
bimbingan Roh Kudus.
 Hidup itu pertama-tama terjadi dalam tata iman dan tata susila
yang berada dalam interaksi kebiasaan setempat. Di situ
manusia secara nyata menyambut bisikan Roh Kudus melalui
discernment terus menerus.
 Hasil disecernment pribadi maupun disecernment bersama
dalam Gereja tertulis dalam sejumlah catatan; di antaranya
menjadi ajaran.
Seperti Maria merenungkan kata-kata dan peristiwa Putera-Nya
(lih. Luk 2:51) dan menyelidiki artinya untuk dapat memberi
kesaksian, begitu pula kaum beriman merenungkan dan
berusaha memahami lebih baik kenyataan-kenyataan Tradisi
yang tidak pernah habis sebagai objek pemikiran dan sekaligus
sebagai aturan hidup.
 Pewartaan para Uskup menjadi pedoman hidup umat beriman
karena tahbisan mereka. Dei Verbum menyebutnya “karisma
kebenaran yang pasti”, yaitu kharisma yang dimiliki para uskup
itu memberikan kepastian, yaitu jaminan kebenaran.

D. Saksi-saksi Tradisi
85

 Kisah-kisah mengenai hidup Gereja Perdana dalam


Martyrologium adalah rekaman hidup Gereja Perdana yang
berharga bagi kita.
 Liturgi Gereja: hubungan umat dengan Tuhan menjadi bagian
penting dalam suatu dunia yang mengenal pelbagai cara
beribadat. Sebagai umat yang percaya dan berdoa, Gereja
merayakan misteri keselamatan dalam bentuk doa. Cara hidup
yang berorientasi pada Tuhan dan terus mencoba
menghadirkannya dalam kaitan dengan Yesus Kristus berfokus
pada Perayaan Ekaristi.
 Ucapan para Bapa Gereja
Para Bapa Gereja adalah guru-guru iman pada masa tiga abad
pertama. Dei Verbum hanya menunjuk tokoh-tokoh, yang
hidupnya dekat dengan zaman para Rasul dan karya serta
ajarannya diakui sebagai hal yang benar untuk seluruh Gereja.
Mereka diakui sebagai saksi Tradisi secara istimewa, karena
hidup dan kewibawaan mereka sebagai pengajar.

E. Tradisi sebagai sumber iman:

Masa pascarasuli adalah masa kritis karena Gereja Perdana


ditantang untuk menegaskan iman mereka di tengah umat Israel,
orang Yunani, orang Romawi dengan tuntutan sosial, politis,
ekonomis dan religius mereka. Umat sangat membutuhkan
pedoman hidup yang mantap. Maka diperlukan

 Pengesahan Kanon29 Kitab Suci


 Beberapa abad terakhir ini berkembang pesat penelitian
mengenai pembentukan khasanah hidup umat beriman. Semakin
29
Kanon = daftar semua dan masing-masing buku yang harus diterima sebagai tulisan-tulisan ilahi.
86

lama semakin terlihat bahwa sejak abad-abad pertama sudah


terjadi kristalisasi warisan iman dalam bentuk tulisan. Dalam
Kitab Suci sendiri terdapat petunjuk mengenai naskah yang
termaktub dalam Alkitab, dan mengenai otoritas ilahi buku-buku
itu. Misalnya: Surat-surat Paulus kaya dengan rujukan pada
naskah lain. Injil dan Kisah para Rasul kerap menyebut.
Bagaimana Kristus dan para Rasul sering mengacu pada buku-
buku Perjanjian Lama.
 Kanon seluruhnya dikenal oleh Gereja berkat Tradisi rasuli.
Norma-norma untuk menetapkan daftar itu berasal dari
beberapa sumber, yaitu: 1) Asal-usul buku itu: berasal dari para
Rasul atau disahkan oleh mereka; 2) Penggunaan buku itu oleh
Gereja: selain dari para Rasul, buku itu harus juga dipakai oleh
Gereja Universal sebagai buku yang termasuk Kanon Alkitab.
 Karena itu, Gereja tidak menciptakan kanon melainkan
menerima dan mewartakannya, misalnya: Konsili Trente, 1546,
menyebutkan ke-45 buku Perjanjian Lama dan ke-27 buku
Perjanjian Baru yang harus diterima dengan rasa hormat yang
satu dan sama. Bukan Gereja melainkan penentuan ilahi yang
menyebabkan kitab-kitab itu menjadi suci dan berwenang
sebagai kitab-kitab yang bersama-sama membentuk Kanon.

 Penafsiran Kitab Suci secara awali:


 Sejak awal Gereja Perdana sudah sering mencoba menafsirkan
khasanahnya. Namun Kitab Suci ternyata berkaitan dengan
pewartaan yang hidup sebagai lingkungan yang wajar sehingga
penafsirannya membutuhkan kecermatan. Seperti air merupakan
lingkungan-hidup untuk ikan, begitu pula hidup Gereja
merupakan lingkungan-hidup bagi Kitab Suci.
87

 Oleh karena itu, Tradisi yang menjadi tempat kelahiran naskah-


naskah itu sungguh merupakan konteks tepat untuk memahami
dan menafsirkan kitab-kitab suci. Seandainya tidak ada Tradisi,
kata yang tertulis hanya menunjuk saja kepada tindakan Allah.
Tetapi berkat Tradisi kata tertulis dapat menghadirkan tindakan
Allah itu sebagai kenyataan yang aktual.

MAGISTERIUM GEREJAWI

Kita berbicara mengenai perwahyuan Allah yang disambut oleh iman


manusia. Dalam iman itu diyakini bahwa rencana penyelamatan Allah
melingkupi seluruh umat manusia. Penyelamatan itu mencakup
seluruh sejarah dan mempergunakan segala segi kehidupan manusia.
Oleh sebab itu diperlukan discernment terus menerus untuk
mengenali aktualisasi rencana penyelamatan Allah itu sekarang walau
puncaknya sudah terwujud dalam Yesus Kristus. Pencermatan
pelaksanaan rencana penyelamatan Allah itu telah berlangsung dari
abad ke abad dan menghasilkan antara lain khasanah iman.
Khazanah iman yang terdiri dari Kitab Suci dan Tradisi itu
dipercayakan kepada Gereja, sebagai paguyuban umat beriman.
Dalam paguyuban itu Dewan Para Rasul yang dilanjutkan
pelayanannya oleh Dewan Para Uskup ditugasi 30 untuk menjadi imam,
nabi dan raja. Sebagai nabi, pelayan utama Gereja, para Uskup itu
mempunyai peran untuk – dalam rangka mendampingi umat agar
dapat hidup selaras dengan Kehendak Allah – menafsirkan Tradisi
dan Kitab Suci secara otentik. Pengutusan untuk Mengajar
(=Magisterium) yang dijalankan oleh pimpinan Gereja (=Hirarki)
dimaksudkan untuk melayani seluruh umat Allah, dan dalam kerangka
itu bertugas melayani sabda Allah.
30
Lih. Rom 10:14; Ef 4:11; 1 Kor 12:28.
88

Dalam rangkaian itu Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium


merupakan sarana keselamatan dengan cara-nya sendiri-
sendiri, Ketiganya berhubungan secara harmonis supaya tujuannya
tercapai, yaitu komunikasi antara Allah dengan umat-Nya menuju
penyelamatan Keluarga Allah.

A. Magisterium dalam kerangka pelayanan Hirarki

Iman kita penuh kepercayaan bahwa Allah mencurahkan Roh


Penghibur, buah Kebangkitan sehingga tidak pelak, Gereja akan
menemukan keselamatan. Kepastian iman tersebut dalam tradisi
disebut “Infallibilitas in credendo” (tak dapat sesatnya iman). 31 Untuk
mencapai keselamatan umat yang utuh Tuhan mengutus Dewan para
Rasul yang dilanjutkan oleh Dewan para Uskup. Dewan para Uskup
mempersatukan umat dalam iman dengan pendampingan Roh Kudus.
Karena pengutusan diberikan oleh Yesus Kristus melalui tahbisan,
maka para Uskup dalam kesatuan dengan Paus membimbing umat
pasti ke keselamatan; tidak dapat luput. 32 Dalam peristilahan tradisi,
bahwa hirarki tidak dapat luput membimbing umat, 33 khususnya
melalui pengajaran atas pendampingan Roh Kudus, disebut
“Infallibilitas in docendo” (tidak dapat sesat dalam mengajar).

I. Dasar infallibilitas sebagaimana ditunjukkan oleh Konsili Vatikan I


adalah penugasan Dewan para Uskup untuk melanjutkan tugas
para Rasul mempersatukan umat dalam iman. Maka kerangkanya
adalah kerangka iman; bukan tata bahasa dsb.

31
Lih. 1 Yoh 2:20.27.
32
33
Lih. 2 Tim2:2
89

II. Kerangka iman itu menurut Yoh 21 dan Mat 16: 18 merupakan
rujukan tanggungjawab Petrus/Paus dan Dewan para Rasul
(Dewan para Uskup). Ketua dewan para uskup, yang memangku
“jabatan Petrus” yang diberikan Tuhan kepada Gereja-Nya untuk
memperteguh kesatuannya (bdk. Yoh 1:42; Mat 16:16; Luk
22:32; Yoh 21:15).34 Keterbatasan manusia membutuhkan
prasarana agar pelbagai tugas ilahi dapat dilaksanakan secara
taat azas. Maka pelaksanaan jabatan Petrus tersebut dapat
dipergunakan dengan syarat-syarat: 1) Paus harus menegaskan
maksudnya untuk berbicara “ex cathedra”, artinya: dari kursi
pengajaran Santo Petrus; 2) Sri Paus harus menegaskan
maksudnya untuk mengungkapkan iman seluruh Gereja; 3) bahan
pernyataannya harus menyangkut hal-hal iman, atau moral. 4).
Sungguh mengungkapkan keyakinan iman seluruh Gereja.

Magisterium sebagai pelayan sabda Allah


 Setiap pelayanan Gereja mengikuti pesan Yesus sebelum
menyerahkan Diri, yakni “semangat pengabdian kepada
Kehendak Allah”. Oleh sebab itu Magisterium menjalankan
fungsinya sebagai penafsir yang tepat, kalau menjadi murid
yang rendah hati, sambil berusaha terus-menerus
mendengarkan sabda Allah. Untuk itu, magisterium diberi
bantuan khusus oleh Roh Kudus.
 Magisterium menemukan sabda Allah di tempat magisterium
menjalankan tugasnya, yakni di dalam Gereja sebagai
keseluruhan. Oleh karena itu, sikap “mendengarkan dengan
khidmat” yang harus ada pada magisterium terhadap sabda

34
Pada kenyataannya baru 2 kali Paus mempergunakan “karunia kebenaran dan kebal-salah” itu, dan selalu
setelah mendengar pendapat dan memperoleh persetujuan dari seluruh Gereja. Pertama, ketika
mengumumkan dogma tentang “Maria yang dikandung tanpa dosa” (Pius IX, 1854). Kedua, ketika
mengumumkan dogma tentang “Maria diangkat ke surga” (Pius XII, 1950).
90

Allah, mengandaikan sikap yang sama terhadap umat beriman.


Biasanya relasi dengan semua umat diandaikan dalam pelayanan
magisterial.

B. Relasi antara Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium

 Kitab Suci dalam terang Roh Kudus, “adalah” sabda Allah,


sehingga memiliki prioritas, baik terhadap ungkapan Tradisi
maupun terhadap pengajaran magisterium.
 Tradisi, mempunyai peran mengungkapkan seluruh relasi
Perjanjian antara Allah dan manusia. Maka Tradisi bergantung
pada Kitab Suci dalam segalanya yang dinyatakan Kitab Suci
secara jelas. Akan tetapi sekaligus juga Tradisi “melengkapi”
Kitab Suci, bukan dalam hal isi melainkan sejauh
mengembangkan dan mengaktualisasikan apa yang ditunjuk
oleh Kitab Suci.
 Magisterium, sejauh menjadi buah penegasan Pimpinan Gereja
yang didasarkan atas Kitab Suci dan dinyatakan dalam Tradisi,
menyatakan pendiriannya tentang keduanya dengan wewenang.

Dalam Teologi Dasar kita mencoba menangkap jalan-jalan


terwujudnya iman akan Perjanjian Ilahi sebagaimana dipercaya
oleh Paguyuban Umat Beriman.

Anda mungkin juga menyukai