Anda di halaman 1dari 3

Narasi-narasi Tritunggal sebagai model perspektif lintas iman

Oleh : Marcho. David. Pentury

Penulisan ini lebih merujuk pada aspek Trinitas yang bisa dipakai sebagai model

persekutuan antar sesama yang di dalamnya mencakup perbedan agama. Dibilang model karena

dalam teologi Kristen untuk saat ini, bukan sama dengan kekristenan pada zaman pra modern

yang modelnya hanya tunggal. Dimaksudkan tunggal bahwa apa yang ada di dalam teks kitab

suci itulah yang harus diwarisi dan dilakukan secara harafiah tanpa melihat aspek sosio-historis

dalam hal ini aspek, sosial, budaya, dan juga konteks, padahal dilain sisi semua aspek tersebut

turut mempengaruhi sampai munculnya rumusan-rumusan teks kitab suci. Dengan demikian

penulis memakai pendekatan sosio-histroris untuk menggali dimensi-dimensi praktis dari

Tritunggal, dengan tujuan untuk mendapatkan teropong baru dalam melihat makna dari

Tritunggal yang menjangkau orang yang diluar dari keyaknian orang Kristen, sehingga dalam

wacana-wacana lintas iman, konsep mengenai Tritunggal tidak hanya bersifat kaku tetapi bisa

dipakai juga sebagai benang merah dalam merajut kepalbagaian sosial dalam konteks yang

majemuk.

Secara etimologi kata Trinitas berasal dari bahasa latin yakni dari kata sifat Trinus

yang berarti rangkap tiga, atau menyatakan bahwa Allah adalah tiga pribadi atau hipostasis

yang sehakikat (konsubstansial : Bapa, Putra dan Roh Kudus).1 Di sebut kata sifat karena Allah

adalah unsur yang transenden, yang abstrak, yang penuh dengan segala misteri, dan kadang

1
See discuccion in Herbermann, Charles, Ed. (1913). “Person Catholic Encyclopedia.
New York : Robert Appleton Company.
akal manusia tidak mampu mendefenisikannya. Dengan demikian karena Allah itu abstrak dan

misteri maka Allah itu bisa muncul dalam segala rupa dan bentuk apapun.

Ada analisis menarik dari Choan Seng Song untuk melihat bagaimana konsep

Allah dalam bentuk konteks Asia. Choan Seng Song memberikan analitis menarik terkait

dengan menemukan wajah Allah dalam konteks Asia. Istilah yang Choan Seng Song gunakan

disini yakni Transposisi. Transposisi adalah suatu perpindahan atau suatu komunikasi yang

berada pada pusat kegiatan manusia yang berusaha menyampaikan ide, keyakinan, dan makna

dalam cara-cara yang komunikatif. Perhatiannya tertuju di konteks India yakni orang

menggelengkan kepalanya untuk mengatakan ‘’ya’’. Sebaliknya di kebanyakan bagian dunia

menggelengkan kepala berarti ‘’tidak’’ atau menolak. Inilah salah satu fakta dasar yang harus

dipelajari bila kebetulan berada di India, maka harus menyadari bahwa sudah ditransposisikan

ke sebuah kebudayaan di mana ya dan tidak, diungkapkan dalam cara yang berbeda.

Maksud dari Choan Seng Song menaruh perhatian pada trasposisi untuk melihat

apakah Allah itu hanya statis dan tidak berubah ? Padahal Alkitab membantu saya untuk

melihat bagaiamna Allah bertransposisi baik dari Perjanjian lama bahkan juga sampai

perjanjian baru, wujud Allah bukan hanya dominan satu tetapi bisa dari Roh ke daging dan

sebaliknya (Kebhinekaan Allah). Contoh konkrit sebagaimana Allah itu ada dalam kesaksian

injil, pertanyaan paling sederhana apakah injil tidak mengalami perubahan ataukah injil hanya

dalam bentuk aslinya ? Jika injil hanya dipertahankan dalam bentuk asli maka injil hanya cocok

dengan satu situasi, contoh jika injil itu berbentuk segi empat maka ia tidak bisa ditempatkan

dalam bentuk lingkaran, atau mungkin jika ia berwajah putih ia tidak bisa jadi wajah hitam atau

coklat.2

2
Choan Seng Song, Allah yang Turut Menderita, Usaha Berteologi Transpossional, terj. Stephen Soleeman
( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995), 11.
Maksud dari penulis memaparkan pemikiran Chon Seng Song untuk

memperlihatkan bahwa Injil itu dapat muncul dalam bentuk, warna dan bahasa apapun. Lebih

lanjut dalam teologi Kristen jangan mengurung Allah hanya di dalam Alkitab dan melihat di

luar dari Alkitab tidak ada Allah, tetapi sebaliknya melihat Intisari dari injil itu ialah Allah yang

bertransposisi menjadi daging dalam diri manusia kemudian menjadi Roh Kudus, dengan

demikian jika Allah bisa bertransposisi ke dalam wujud daging maka Allah juga bisa muncul

dalam suatu konteks yang di dalamnya ada berbagai macam corak kegamamaan. Oleh sebab itu

konsep Trinitas harus dipahami sebagai konsep pengahayatan akan karya Allah yang

melampaui batas-batas iman, batas-batas keagamaan yang bermuara pada nilai-nilai untuk

memanusiakan manusia lain dan hal tersebut harus dihidupkan dan dirayakan dalam bentuk

tindakan untuk menampilkan wajah Allah di dalam segala perbedaan.

Anda mungkin juga menyukai