Anda di halaman 1dari 2

NAMA: M.

RIZKY RAMADHAN

NPM. : 2021020112

TUGAS RESUME

Pemikiran Kalam Hasan Hanafi Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi
menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir
dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini
berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga
perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik
menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.[17]

Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan,
melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang
sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai
dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu
tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang
berupa wahyu.[18]

Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu.
Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam adalah tafsir yaitu ilmu
hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-
bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada
dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia
mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.[19]

Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu
ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for
Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik
secara historis maupun eiditis.[20]

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar
hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh
sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai
perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal
praktiknya di kalangan umat.

Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat
dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat teoritis, kedua,
pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.[21]

Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi


Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for
Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:

a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama

Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam
setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim
dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung.[3] Esensi
pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini
tidaklah sia-sia.[4]

b. Tauhid sebagai pandangan dunia

Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah
manusia, dan takdir.

c. Tauhid sebagai intisari Islam

Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat
dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang
patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.[5]

d. Tauhid sebagai prinsip sejarah

Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan
manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran
ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-
Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti
halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di
atas bumi[6]

Anda mungkin juga menyukai