Anda di halaman 1dari 8

Tauhid dan Aqidah, definisi dan cakupan bahasannya

Tauhid dan Akidah merupakan istilah syari yang sering kita jumpai baik dalam buku-buku maupun ceramah Islam. Apa perbedaan istilah tersebut dan cakupan bahasannya? Berikut ulasan ringkasnya.

Pembahasan Islam dilihat dari topik bahasannya mencakup 2 bagian:


Aqidah Amaliyah

Pembahasan aqidah berkenanan dengan keyakinan, adapun amaliyah berkenanan amaliah seorang muslim. Pembahasan tentang Thoharoh, Shalat, Puasa, Dzikir dan seterusnya merupakan amaliah, adapun iman kepada Allah, kepada Malaikat, dan seterusnya merupakan pembahasan Aqidah.

Lalu, apa bedanya antara tauhid dan aqidah?


A.

DEFINISI TAUHID DAN AKIDAH

1. Tauhid Secara bahasa: Tauhid merupakan masdar/kata benda dari kata wahhada yuwahhidu, yang artinya menunggalkan sesuatu. Secara istilah syari: Mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah,

uluhiyah dan asma wa shifat

2. Aqidah Secara bahasa: Diambil dari kata dasar al-aqdu yaitu ikatan Secara istilah syari: Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

B. CAKUPAN BAHASAN TAUHID DAN AQIDAH Para ulama telah menulis kitab-kitab Aqidah, ada yang menuangkannya secara rinci, ada pula yang secara pokok-pokoknya saja. Keyakinan para ulama terdahulu adalah sama. Diantara kitab-kitab tentang Aqidah yang ditulis oleh para ulama antara lain:

Ushul Sunnah wa Itiqad Dien, Abu Zurah Ar-Razi (Wafat 264 H) + Abu Hatim (Wafat 277) Ushul As-Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) Aqidah Thahawiyah, Imam Abu Jafar Ath-Thohawi (239-321 H) Aqidah Salaf Ashabul Hadits, Syaikhul Islam Abu Ismail Ash-Shabuni (373H 449 H) Min Ushul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syaikh DR. Sholeh Fauzan Dan lain-lain.

CAKUPAN BAHASAN AQIDAH Syaikh DR. Sholeh Fauzan dalam kitabnya Min Ushul Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah memaparkan 9 prinsip pokok dalam Aqidah. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Rukun Iman - Iman kepada Allah - Iman kepada para malaikat-Nya - Iman kepada Kitab-kitab-Nya - Iman kepada para Rasul-Nya - Iman kepada Hari akhir - Iman kepada Taqdir yang baik dan buruk 2. Iman mencakup perkataan, perbuatan dan keyakinan, iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan. 3. Perbuatan dosa selain syirik dan kekufuran tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. 4. Wajibnya taat kepada pemerintah Muslim dalam hal yang bukan maksiat. 5. Larangan memberontak kepada pemerintah selama pemerintah masih muslim. 6. Larangan mencela para sahabat Nabi saw 7. Mencintai Ahli Bait Nabi saw 8. Membenarkan adanya karomah para wali 9. Berdalil dengan Al-Quran dan As-Sunnah dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat Nabi saw Kesembilan pokok aqidah tersebut didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan Al-Hadits sesuai dengan yang dipahami oleh generasi awal umat ini. Aqidah shahihah/yang benar tersebut dikenal dengan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, adapun aqidah/keyakinan yang menyelisihi aqidah tersebut disebut dengan Aqidahnya Ahlu Bidah.

CAKUPAN BAHASAN TAUHID Adapun bahasan Tauhid merupakan bagian dari pembahasan aqidah, yakni bahasan aqidah khusus yang berkenaan dengan Rukun Iman Iman kepada Allah. Cakupan bahasan Tauhid meliputi: 1. Tauhid Rububiyah 2. Tauhid Uluhiyah 3. Tauhid Asma wa Sifaat C. PENTINGNYA AKIDAH DAN TAUHID Akidah, terlebih permasalahan tauhid merupakan hal yang sangat penting dan mendasar, dakwah Nabi di mekah 10 tahun hanya terfokus pada penanaman aqidah, baru pada tahun ke 10 kenabian ada perintah Shalat, hal ini menunjukkan bahwa permasalahan aqidah adalah sangat penting dan mendasar. Barangsiapa yang tauhidnya benar, maka baik pula Islamnya, dan barangsiapa tauhidnya rusak, maka sia-sialah amalnya. D. CONTOH KASUS Berikut contoh-contoh untuk membantu memetakan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan pembahasan aqidah

Seseorang datang ke kubur, kemudian berdoa dan meminta kepada penghuni kubur, maka hal ini merupakan pelanggaran tauhid, yakni tauhid uluhiyah. Seseorang meyakini bahwa adanya penguasa laut selatan selain Allah, maka hal ini merupakan pelanggaran tauhid, yakni tauhid rububiyah Seseorang yang meyakini bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad saw, maka telah melakukan pelanggaran aqidah, bahkan Rukun Imannya rusak, yakni Iman kepada para Rasul, dimana salah satu point dalam iman kepada para Rasul adalah meyakini bahwa Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir Seseorang melakukan zina, apakah pelakunya kafir? Perbuatan Zina merupakan dosa besar, akan tetapi tidak menyebabkan pelakunya kafir. Pelakunya juga tidak menyebabkan menjadi ahlu bidah karena perbuatan zina adalah perbuatan maksiat, tidak berkaitan dengan aqidah/keyakinan, yakni selama pelakunya masih meyakini bahwa perbuatan zina adalah haram. Pemahaman khowarij, dimana mereka memberontak kepada Ali bin Abi Thalib ra, maka telah melakukan pelanggaran prinsip-prinsip Aqidah Islam, yakni haramnya memberontak kepada pemerintah selama pemerintah masih muslim Pemahaman Qodariyah, dimana mereka tidak beriman dengan adanya takdir, maka telah melakukan pelanggaran aqidah, bahkan rukum imannya rusak, yakni berkenanan dengan Rukun Iman Iman kepada Taqdir. Latar Belakang Masalah Setidaknya masa akhir masa al-Khulafa al-Rasyidin,usaha dan semangat pembebasan masyarakat dari ketertindasan, diskriminasi dan ketidak adilan sosial, tampak mulai memudar dari ritme kehidupan umat Islam. Hal ini terjadi karena selama

pemerintahan empat khalifah tersebut, umat Islam disibukkan oleh perjuangan untuk menegakkan Islam dan menyebarluaskannya.Akhirnya pun, pemikiran Islam karena persentuhannya dengan pemikiran Yunani, melahirkan aliran-aliran teologi disamping yang lebih disebabkan oleh faktor-faktor politik, juga lebih mengemukakan tematema filosofis,sehingga pemikiran dan perdebatan teologi yang muncul dan berkembang waktu itu, bersifat defensif apologetik. Struktur logika teologi lebih berbentuk dialektika Hegelian, bukan dialektika Marxian, yang mempunyai orientasi menentang ketidak adilan dan penindasan serta pemihakan kepada rakyat miskin. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurnianya, bukan dialektika konsep tetang watak sosial dan sejarah, disamping juga bahwa Ilmu kalam sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian sehingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia, disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo dari pada sebagai pembebas dan penggerak manusia ke arah kemandirian dan kesadaran.Berkenaan dengan hal ini, melihat konstruksi logika teologi yang seperti itu, Hassan Hanafi berpendapat sebagai langkah awal, bahwa teologi yang notabene sebagai konsepsi inti dalam pandangan Islam, mutlak harus dibenahi. Sesuai perkembangan zaman, dunia Islam membutuhkan teologi Islam yang bersifat tajriby (empirik), sebagai teologi yang lebih membumi dari pada melangit seperti selama ini. Dialektika-teologis terus berlanjut sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Bagaimanapun, teologi tidak berarti hanya berbicara mengenai iman an-sich. Jika iman masih bersifat pure matter atau substantive, maka teologi lebih bersifat metodologik. Fungsi kritis, fungsi profetik, dan fungsi liberalisme agama perlu semakin ditegaskan untuk dapat memberi kesaksian (syahadah) atas kemanusiaan, atas sejarah dan atas keadilan.Dari spirit itulah Hanafi berpandangan, bahwa teologi adalah antropologi yang berarti ilmu-ilmu kemanusiaan sebagai tujuan perkataan dan anlisa percakapan. Teologi bukan Ilmu ketuhanan,seperti halnya dalam pengertian literal kata teologi, tetapi dia adalah Ilmu tentang ajaran (kalam). Jadi, Obyek Ilmu ini mestinya bukan Tuhan.Sebagai hermeunetik, teologi bukan Ilmu suci sebagaimana yang banyak dipahami orang, melainkan Ilmu sosial yang tersusun secara kemanusiaan dan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Bahwa setiap kelompok sosial yang berkepercayaan membaca kepentingannya sendiri dan mempertahankan dalam sistem kepercayaannya.Atas dasar pengertian inilah, maka Hassan Hanafi mengkritik teologi (kalam) klasik yang prosedur berfikirnya bertolak dari Tuhan, tanpa perduli kondisi riil yang dialami manusia. Baginya sistem berfikir semacam ini memiliki kesenjangan yang jauh dengan penderitaan dunia Islam yang nyata.Teologi Islam (Ilm Kalam Asyari) secara teoritis , menurut Hassan Hanafi tidak bisa dibuktikan secara Ilmiah maupun filosofis,dan tidak membumi Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam, tujuannya untuk menjadikan teologi klasik tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia, karena itu gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentransformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual menuju kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari taqdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini minimal didasarkan atas dua alasan: pertama, kebutuhan akan adanya ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik, tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.

Pengkajian teologi Islam tidaklah semata-mata tekstual an-sich, karena bagaimanapun istilah teologi berarti tentang teo atau Tuhan yang sudah barang tentu ada campur tangan pemikiran atau rasio manusia di dalamnya, serta intervensi atau pengaruh histeris (konteks ruang dan waktu) yang melingkupinya. Maka kajian teologi Islam sudah saatnya diiringi dengan pengkajian filsafat bahasa maupun kajian historieskontekstual agar dapat lebih memahami segi-segi terdalam bagi materi teologi Islam Teologi yang secara etimologi berasal dari kata logos dan theos, adalah ilmu perkataan (ilmu Kalam). sebab person tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan tercemin dalam perkataan logology. Ilmu perkataan (ilmu kalam) adalah Ilmu tentang analisis percakapan, bukan hanya sebagai bentuk-bentuk yang murni ucapan, melainkan juga sebagai konteks perkataan yakni yang mengacu kepada iman. Wahyu adalah kehendak Tuhan, yaitu perkataan yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia dengan wahyu.Sistem kepercayaan merupakan suatu ensambel konsep-konsep yang menetukan persepsi-persepsi manusia tentang dunia dan memberikan motivasimotivasi kepada manusia untuk bertindak. Ia merupakan visi sederhana tentang dunia dan komitmen dengannya. Jadi sistem kepercayaan bukan suatu misteri yang melampaui akal atau keputusan yang buta dan berubah-ubah tentang kehendak yang menggantikan kepastian manusia. Bagi Hanafi teologi bukan Ilmu suci yang fixed, tidak dapat dipersoalkan, dan mesti diterima begitu saja (taken for granted). Teologi adalah menyejarah, karena itu teologi mesti diperbaharui dan terus diperbaharui. Dalam konteks modern era global kebenaran teologi tradisional sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Ia sudah tidak dapat lagi menjadi pegangan dan pandangan yang hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkrit. Dalam bukunya Min al-Aqidah Ila al-Tsawrah, Hanafi menyatakan, bahwa teologi tradisional telah gagal menjadi ideologi yang fungsional bagi kehidupan nyata di dunia ini. Kegagalan para teolog tradisional terjadi karena ketika mereka menyusun teologi tidak menyangkutkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai dari perbuatan manusia. Hal ini berakibat munculnya kutub pertentangan antar keimanan teoritik (al-Tauhid al-Nazhari) dan keimanan praktis (al-Suluk al-Amali) di sementara umat, baik secara individual maupun secara sosial, sehingga menyebabkan umat dilanda keterceraian, keterpecahan dan terkoyakkoyak.Cita-cita Hassan Hanafi adalah membangun kembali Ilmu Ushuluddin (teologi) dimana aqidah menjadi sebuah kekuatan revolusioner, membangunkanya dari kebisuan dan mengubahnya menjadi tenaga aktif di bumi dan pendobrak sejarah.adi bagi Hanafi kritik teologis bukan hal yang tabu. Sebagai suatu karya pemikiran manusia, teologi sah dan terbuka untuk dikritik.sama dengan ilmu-ilmu yang lain, kebenaran teologi mestinya bukan melulu di tangkap konsepsional-teoritis, tetapi juga dalam pengujian di tingkat sosial-praktis dan fungsional. Dan secara umum, memang tidak ada suatu kebenaran yang unggal yang tersedia bagi manusia atau yang dipetik begitu saja. Manusia tiada hentinya (harus) mencari dan mewujudkan kebenarannya yang ditandai ruang dan waktu, secara konkrit dalam masyarakat dan sejarah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, berbagai permasalahan yang muncul segera dirumuskan menjadi poin-poin pokok masalah. kajian ini akan menginvestigasi jawaban atas tiga pertanyaan pokok sebagai berikut; pertama, Bagaimana pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi antroposentris? kedua, Mengapa Hasan Hanafi merepresentasikan Rasionalisme Mutazilah? ketiga, Bagaimana Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Kalam klasik? Selanjutnya tujuan dan kegunaan dijadikan sebagai petunjuk arah. Dalam hal ini, sesuai dengan permasalahan pokok dalam penelitian ini, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Teologi Antroposentris, serta mempertimbangkan

kembali faham Mutazilah yang selama ini tenggelam, dan semangat rasionalnya tampak dipandang sebelah mata atau bahkan banyak kritikan terhadap faham tersebut yang dianggapnya keluar dari semangat Al-Quran. Untuk itulah dalam penelitian ini secara jelas akan mengetahui; pertama, pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi antoposentris, kedua, alasan Hassan Hanafi merepresentasikan Rasionalisme Mutazilah, ketiga, pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi (kalam) klasik. Prior Research Hal ini dilakukan untuk menentukan posisi tema atas penelitisn ini. Banyak tulisan tentang pemikiran Hassan Hanafi baik buku maupun artikel, beberapa diantara tulisan tersebut adalah karya Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Post modernity the Islamic left and Dr. Hassan Hanafis Thought A Critical Reading (1988), atau dalam Versi bahasa Indonesia, Kiri Islam antara Modernisme dan Post Modernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, E.Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi, (1999), Muhsin Mili, Zahirah alYassar al-Islam (Kairo 1981). A. Luthfi al-Syaukani, Oksidentalisme (Jakarta 1994), Ahmad Hassan Ridwan, dalam tesisnya, Pemikiran Hassan Hanafi, Studi Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, (1997). Moch Nur Ichwan memaparkan tokoh ini dalam satu sub bab III dari skripsinya berjudul Hermeneutika Sosial al-Quran Hassan Hanafi (Yogyakarta 1995). Abdurrahman Wahid menjelaskan dalam artikelnya berjudul Agama, Ideologi dan pembangunan, Posisi Hassan Hanafi (Jakarta 1993), Thaha Machasin, Rekonstruksi Teologi Islam Tradisional Kajian terhadap Pemikiran Hassan Hanafi (Yogyakarta, 1994) M, Van Den Boom, From Dogma to Revolution (1989) Tulisan-tulisan di atas secara umum menyoroti pemikiran kontemporer Hassan Hanafi baik tentang gagasan Kiri Islam, hermeneutik, maupun oksidentalisme. Sedangkan dalam penelitian ini akan dicoba mengeksplorasi pandangan Hassan Hanafi tentang teologi antroposentris secara komprehensif serta khusus. Dan inilah tampaknya yang membedakan tulisan ini sejauh prior research penulis dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Metode Dan Pendekatan Penelitian ini dibangun di atas sebuah metode sebagai tahapan-tahapan konkrit yang harus dilalui. Dalam penelitian data, metode yang digunakan adalah metode perpustakaan (Library Research) dengan langkah kongkrit membaca dan menelaah secara mendalam buku karya Hanafi, khususnya yang menyangkut pandangan Hanafi tentang teologi antoposentris serta pandanganya tentang rasionalisme Mutazilah, kemudian disertakan sumber-sumber sekunder, yaitu komentar-komentar para penulis yang mengkaji tentang pemikiran Hanafi. Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif dan analitis yakni analitis dalam pemikiran historis. Data tentang pemikiran Hanafi akan ditelusuri dalam karya-karya intelektual. Sementara data yang berkaitan dengan sisi analitis dari tema ini akan ditelusuri dalam sumbersumber primer dan hasil-hasil penelitian yang relevan. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan secara analitis, secara induktif komparatif. Metode induktif dipakai dalam rangka memperoleh gambaran untuk pemikiran Hanafi mengenai pandangannya tentang teologi antroposentris dan tentang rasionalisme mutazilah, kemudian Metode komparatif digunakan untuk membandingkan pemikiran Hanafi dengan pemikir-pemikir yang lainnya, guna mengungkap karakteristik pemikiran Hanafi. Penelitian ini, menerapkan pendekatan sistematis Filosofis sebagai sebuah pendekatan (sistematic Approach),system tersebut diartikan sebagai suatu sistem berpikir (semisal sistem Logika dan sistem klasifikasi). Dalam penelitian ini

pemikiran Hassan Hanafi tentang Teologi dikonstruk secara sistematis dan logis dalam sistem berpikir epistemologi. Ketika mengelaborasi pemikiran Hassan Hanafi tentang Teologi, akan dikomparasikan dan dikontraskan setiap bagian pemikirannya tersebut dengan pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang berbicara juga tentang itu. Dalam pengeretian demikian pengertian ini menerapkan pendekatan Komparatif kontrastif dalam tataran konsep-konsep tertentu, bukan konsep secara utuh dari satu tokoh. Hal ini terutama untuk memperjelas pemikiran Hassan Hanafi tentang teologi antroposentris. Konstruksi Teoritik Mindset Hassan Hanafi memposisikan Tuhan, manusia, bumi, adalah sinergi, satu kesatuan.tidak bisa kalau teologi dalam orientasinya hanya pada Tuhan. Manusiapun mestinya harus menjadi orientasi, begitu juga bumi.Dalam Islam Tuhan dan Bumi merupakan satu kesatuan yang disebutkan lebih dari seratus kali di dalam Al-Quran. Ia adalah Tuhan bagi langit dan bumi. Tauhid tidak membuahkan pemisahan sama sekali antara materi dan jiwa. Dalam pandangan ini, segala sesuatu dipersatukan dalam dzat yang transedental Tuhan. dihadapaNya segala sesuatu sama kedudukan. Pandangan dunia Tauhid juga sebuah pandangan relasional. Dengan pandangan relasional ini, Ulama menjadi penjaga agar Syariah selalu mengatur seluruh aspek kehidupan Muslim.Oleh karena itu agama harus mengekspresikan perjalanan perasaan, pemahaman, nalar pengetahuan, sentuhan, persepsi, imajinasi, nama dan banyak hal lainnya tentang peradaban manusia. Ia harus dapat di pahami bahkan di namai. Agama harus mulai merubah cara berpikir lama yang terlalu teosentris (gagasan Tuhan adalah segalanya) ke arah antroposentris (dunia juga penting) bahkan menajam menjadi ekoantroteosentris (alam raya, manusia, dan Tuhan dalam derajat yang sama) Untuk membangun mindset Hassan Hanafi tersebut, Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme.Oleh karenanya, Hanafi menyeru manusia untuk menelusuri asal muasal aqidah dan menggunakan rasio. Hingga Tauhid mempunyai ikatan dengan amal nyata. Allah dengan bumi, dzat ilahiyah dengan dzat insaniyah, sifat ketuhanan dengan nilai-nilai Humanisme, dan kehendak Allah dengan perjalanan sejarah. Perubahan orientasi dan paradigma teologi tersebut sebenarnya mempunyai landasan yang cukup kokoh dalam Islam. Secara normatif kita menegenal ajaran sufistik menjadi rujukan pendefinisian diri manusia, yaitu: (orang yang tahu dirinya, akan tahu Tuhan-nya).Ajaran ini memposisikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai obyek dalam memahami diri dan Tuhan. Sebagai subjek manusia dituntut arif untuk memahami dirinya dalam kapasitasnya sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan tanpa melibatkan atribut apaun diluar diri. Ajaran tersebut menunjukkan betapa manusia yang fisis lebih menyatu dengan Tuhan yang non fisis, atau paling tidak ada unsur-unsur Tuhan (sifat nasut Tuhan) yang menyatu dalam diri manusia (sifat lahut manusia). Karenanya, ketika manusia berfikir tentang dirinya maka pada dasarnya ia telah berfikir tentang Tuhan; manusia yang melakukan pembelaan terhadap hak dan nilai-nilai kemanusiaan pada dasarnya ia telah berfikir tentang Tuhan; manusia yang melakukan pembelaan terhadap hak dan nilai-nilai kemanusiaan pada dasarnya ia telah melakukan pembelaan terhadap hak-hak dan nilai-nilai ke-tuhan-an. Mengikuti pemikiran Thomas Khun, ilmu yang sudah matang dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmu dan masa ilmu normal (normal science), di mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan

hal-hal mendasar. Dalam tahap ini seorang ilmuwan tidak bersikap terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Selama menjalani riset itu, ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Itulah yang disebut anomali. Jika anomali kian menumpuk dan kualitasnya kian tinggi, maka bisa timbul krisis, sang ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu, atau mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika ini terjadi, itulah revolusi ilmiah. Dalam revolusi ini terjadilah proses peralihan komunitas dari paradigma lama ke paradigma baru (shifting paradigm). Hal ini, mengaplikasikan bahwa ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner, akan tetapi revolusioner. Oleh karena itu teologi Islam klasik, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, sudah saatnya harus beralih pada paradigma baru, sesuai dengan mainstream masyarakat saat ini. Masyarakat atau generasi adalah anak zamannya, karena itu selalu punya keperluan-keperluan khusus sesuai dengan tuntutan zamannya.Mengikuti pemikirannya Foucault, manusia menangkap (memandang dan memahami) realitas dengan cara-cara tertentu, dan juga mengekspresikannya pun dengan cara tertentu pula. Ruang Lingkup Kajian

Anda mungkin juga menyukai