Anda di halaman 1dari 3

Teologi Antroposentris Hassan Hanafi

Oleh : Octaviani Erman Nanda

Hassan Hanafi (l.1935) merupakan salah satu nama dari begitu banyak nama intelekutual

Muslim yang berjuang membangkitkan peradaban Islam. Ia adalah seorang intelektual Muslim

yang menaruh perhatian atas pembaruan atau lebih tepatnya sering disebut rekonstruksi ilmu-

ilmu ke Islaman (klasik) seperti ilmu Ushuluddin dan Fiqih yang disesuaikan dengan realitas

objektif. Ia juga disebut sebagai sosok intelektual Muslim yang unik, karena pemikirannya, ia

tidak dapat dikategorikan intelektual yang tradisionalis atau intelekutual modernis, karena ia

memberikan kritik terhadap dua golongan tersebut. Oleh Hanafi, tradisi dan modernisasi

diletakkan dalam tiga agenda utama, yaitu sikap kita terhadap tradisi, sikap kita terhadap Barat,

dan sikap kita terhadap realitas. Dalam pandangan Hassan Hanafi, agama tidak hanya sebagai

ritual-ritual agama dan aspek ke Tuhanan saja. Menurutnya, Islam adalah etika, kemanusiaan,

serta ilmu sosial. Islam benar-benar merupakan deskripi seorang manusia dalam masyarakat,

kebutuhan primernya, komitmen moralnya dan aksi sosialnya. Kehadiran Islam dalam kehidupan

manusia, mendorong lahirnya inisiatif serta kreatifitas manusia untuk dapat menjaga komitmen

dan tuntutan social.

Salah satu latar belakang munculnya gagasan teologi antoposentris Hassan Hanafi adalah

sikap Islam terhadap tradisi, yang mana kala itu kelompok tradisionalis klasik menyikapi tradisi

Islam dengan solusi dan sikap-sikap yang bersifat otoritatif. Kelompok-kelompok yang lebih

memilih jalan aman dalam menyikapi persoalan kalam menjadi pemenang atas kelompok

oposisi, hal ini yang menyebabkan terjadinya pertarungan antara kekuatan penguasa dan oposisi,

dan menyempitkan wilayah gerak manusia dalam berfikir. Pengembangan manusia sebagai
realitas aktual tidak mempunyai kapabilitas untuk bertindak, sedangkan relasionalisasi

(penggantungan) nasib manusia kepada kehendak “yang lain” hanya untuk meniadakan

kapabilitas dan kebebasan manusia serta menjadikannya secara terus-menerus sebagai pengikut

“yang lain” dan berpegang teguh kepadanya.

Hassan Hanafi menghadirkan kritik terhadap teologi Islam yang telah ada. Dalam

persoalan tersebut, Hanafi menawarkan metode Schleimacher, yang menjadikan psikologi

sebagai upaya interpretasi dan menangkap kemauan seseorang. Konsep tersebut dapat digunakan

sebagai penggambaran akan potret kehendak masyarakat, sehingga orientasi teologi yang

diharapkan dapat diguanakan sebagai terapan dalam aktivitas kehidupan umat. Di dalam karya

monumental Hassan Hanafi yang berjudul Min al-‘Aqidah ila ats-Tsawrah, tertuang agenda

pertamanya (sikap kita terhadap tradisi lama). Dalam karya tersebut Hanafi berhasil

memperlithatkan pentingnya kesadaran wa ‘yu tentang manusia dan sejarah yang sebenarnya

sangat kuat dalam teologi-teologi Islam klasik, namun sering kali tersembunyi, atau sengaja

disembunyikan, dibalik kuatnya pencitraan tentang Tuhan.

Konsep teologi yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi, adalah teologi yang berpusat pada

manusia, karena menurutnya manusia adalah pusat segala kehidupan. Konsep teologi humanis

atau antroposentris ini, dijelaskannya melalui tiga premis teori: (1) tentang ilmu sebagai jawaban

atas pertanyaan bagaimana aku mengetahui, (2) tentang eksistensi sebagai jawaban atas

pertanyaan apa yang aku ketahui, dan (3) tentang aksiologi (teori nilai), sebagai jawaban atas

pertanyaan apa yang aku pikirkan. Dengan memperhatikan penjelasan ketiga premis di atas,

tampak bahwa bangunan konsep teologi Humanis Hassan Hanafi berangkat dari dan untuk

manusia. Konsep teologi yang ia tawarkan, bukanlah murni dari hasil pemikiran tunggalnya,

namun ia mengadopsi pemikiran Rene Descartes (1596-1650).


Keimanan seorang Muslim terkandung dalam ikrar dua syahadat, kesaksian terhadap

keEsaan Allah dan Nabi Muhammad merupakan utusan Allah. Konsep tauhid yang terkandung

dalam pandangan Hassan Hanafi tidak terlepas dari ikrar keEsaan Allah. Tauhid mempunyai

fungsi praktis untuk menghasilkan perilaku dan iman yang diarahkan pada perubahan kehidupan

masyarakat dan sistem sosialnya. Para nabi muncul dan melakukan revolusi untuk membuat

reformasi ke arah kondisi-kondisi yang lebih baik. Para nabi adalah pendidik kemanusiaan untuk

mencapai kemajuan dan kesempurnaan. Akhir kenabian adalah bahwa kemanusiaan menjadi

kemerdekaan akal, dan ia mulai bergerak sendiri ke arah kemajuan.

Dalam pandangan Hassan Hanafi gerakan reformasi religius yang digagaskan oleh

cendikiawan Muslim, masih bersifat persial-periferal, lebih berhubungan dengan formalitas

peribadatan tidak menghasilkan teoritis yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Reformasi

religius tetap melakukan diskursus tentang dunia internal untuk mengobarkan kesadaran dan

konstruksi individu, bahkan melakukan diskursus tentang dunia eksternal dan perubahan sistem

sosial, dalam arti tetap sebagai reformasi tentang (dunia) mental, bukan perubahan (dunia) nyata.

Peradaban Islam yang terdahulu, para Ulama menjaga peradaban menggunakan senjata

ilmu, hal tersebut berhasil menaklukan beberapa negara kala itu, seperi Persia dan Romawi,

maka Hassan Hanafi menggaskan bahwa peradaban saat ini, membutuhkan aksi praksis bukan

hanya teori dalam ilmu semata. Peradaban saat ini membutuhkan al-ta’shil al- ‘aqli dan juga al-

ta’shil al-waqi ‘I dalam pandangan para cendikiawan Muslim saat ini, hal ini mewujudkan

adanya keterikatan antara konsep tauhid dan perbuatan, antara Allah dan dunia, antara Dzat

Allah dan Dzat manusia, serta sifat Ilahiah dan sifat manusia, antara keinginan Allah dan

kebebasan manusia, dan kehendak Allah dengan peradaban.

Anda mungkin juga menyukai