Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fitria Ulfa

Nim : 14771028

Prodi : Magister Pendidikan Agama Islam

Matkul: Pendekatan Study Islam

Tugas Tambahan :

Pemikiran Hermeneutika Hasan Hanafi.

Nama lengkap Hasan Hanafi ialah Hassan Hanafi Hassanaein, lahir di Kairotanggal 13
Februari 1935. Karir pendidikan dimulai dari Sekolah MenegahKhalil Agha dan
menyelesaikan di tahun 1952, kemudian Hasan Hanafimeraih gelar sarjana muda filsafat di
Universitas Kairo pada tahun 1956,kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih
tinggi (magister dandoktor) di Universitas Sorbonne Prancis. Di Prancis ini, Hanafi
merasakansangat berarti bagi perkembangan pemikirannya, karena ia dilatih untuk
berfikirsecara metodologis, baik melalui bangku kuliah ataupun karya-karya orientalis.

Pada tahun 1988 Hasan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat diUniversitas
Kairo. Selain itu Hanafi aktif memberikan kuliah di negara lainseperti Prancis (1969), Belgia
(1970), Temple University Philadelphia AmerikaSerikat (1971-1975), Universitas Kuwait
(1979), Universitas Fez Maroko (1982-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), kemudian
diangkat menjadi penasehatprogam pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987).

Hermeneutika sebagai suatu metode penafsiran teks di Indonesia mungkin terasa asing
terdengar. Akan tetapi jika dilihat secara historis hermeneutika sebenarnya sudah lama sejak
berabad-abad dan berkembang pesat di Eropa barat. Pada saat itu hermeneutika digunakan
untuk menginterpretasikan bible/ injil dalam upaya mengakomodasi dinamika perkembangan
jaman.
Di Indonesia hermeneutika dewasa ini sangat diagung-agungkan sebagai metode
pengganti tafsir al-quran. Para pengagum hermeneutika tidak memahami bahwa dengan
istilah hermeneutika Al-Quran berimplikasi menyamakan Al-Quran dengan kitab ardhi
lainnya. Lebih jauh hermeneutika juga mengganggap malaikat jibril dan nabi Muhammad
SAW sebagai pendusta wahyu Allah.
Dr. Hasan Hanafi memaparkan tentang hermeneutika al-quran versus tafsir al-quran
dengan mengkaji teori tafsir sebagai logika wahyu lalu mengatakan bahwa tafsir tidak
memiliki kesolidan, prinsip-prinsip tidak teruji dan terseleksi dengan alasan tafsir tidak
melampaui fase syarah (komentar), fase tafsil (detailisasi) dan fase tikrar (pengulangan).
Kondisi kontemporer mengungkapkan adanya dualisme antara teks keagamaan dan
dunia nyata yang berseberangan. Teks keagamaan tenggelam dalam komentar tradisional dan
dunia nyata dikendalikan oleh pemikiran manusia murni tanpa melihat penafsiran langsung
dari teks keagamaan.
Upaya yang dilakukan untuk menjembatani dualisme ini memiliki kelemahan
diantaranya tafsir dogmatis teologis selalu lebih merupakan teori tentang eksistensi Allah dari
pada eksistensi manusia. Sedangkan tafsir kontemporer selalu terkait dengan kondisi lokal
islam dari segi sosial dan ekonomi. Tafsir kontemporer tidak pernah memulai dengan
mengkritik, menyerukan perbaikan dan perubahan radikalitas kondisi yang bertentangan
dengan agama, padahal mufasir klasik memulai dengan mengkritik dengan menuntut
perbaikan dan perubahan kondisi yang ada.
Hermeneutika tidak hanya sebuah ilmu atau teori interpretasi memahami teks, tetapi
mengandung pengertian sebagai ilmu yang menerangkan wahyu dari huruf kerealitas atau
dari logos ke praktis. Tahapan hermeneutika meliputi kritik sejarah untuk menjamin otentitas
kitab suci menurut sejarah dan proses merealisasikan maknanya dalam kehidupan nyata.
Kesadaran dan objek hermeneutika memiliki tiga kesadaran yaitu kesadaran historis yang
memastikan teks dan tingkat keabsahannya, kesadaran eidetik yang menjelaskan makna teks
hingga menjadi rasional dan kesadaran praktis yang menjadikan teks sebagai dasar teori
dalam pengamalan dan mengarahkan wahyu tuhan kepada tujuannya yang akhir dalam
kehidupan nyata dan alam semesta sebagai tatanan ideal dimana dunia mencapai
kesempurnaan.
Hermeneutika kontemporer memberikan klaim bahwa bahasa bukan konstruksi arbitrer
kata-kata manusia untuk memberi bentuk pada peristiwa-peristiwa tertentu, namun untuk
mencerahkan dan menjaga realitas dari peristiwa apapun. Dengan memanfaatkan proses ini,
peristiwa sejarah dan realitasnya disimpan dalam bahasa. Senada dengan itu, ketika bahasa
autentik bekerja dengan benar, ia membeberkan kepada kesadaran manusia seluruh realitas
historis itu dan menyajikan kepadanya peristiwa-peristiwa masa lampau seakan-akan itu
terjadi di hadapan mereka saat ini. Dengan mengikuti garis pemikiran seperti itu, wahyu
dianggap dapat terjadi kapan saja, yakni ketika manusia bertemu dengan Tuhan melalui
bahasa. Bahasa dengan demikian bukanlah bahasa supranatural sekalipun itu Kalam Tuhan;
karena semua yang mengkomunikasikan Tuhan kepada manusia adalah Kalam Tuhan.
Hermeneutik kontemporer, dengan demikian, membawa kita kepada redefinisi wahyu sebagai
proses yang tiada henti, sesuatu yang tidak berhenti pada suatu periode tertentu.
Hasan Hanafi mengharapkan hermeneutika al-Quran dapat bersifat teoritik sekaligus
praktis. Penafsiran praktis berfungsi sebagai analisis filologi murni terhadap, teks yang tidak
akan memperbincangkan masalah-masalah prinsipil dalam penafsiran. Sementara dalam itu
hermeneutika filosofis, menurutnya sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
masalah yang terfokus pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam
perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat ekstrovert, maka hermeneutika
filososfis bersifat introvert.
Adapun penjelasan dari tiga fase analisis diatas, sebagai berikut;
1. Kritik Historis
2. Kritik Eidetis
3. Kritik Praktis
Sebagai langkah praktis dari ketiga metode di atas, dan juga sebagai implikasi dari ciri
khas tafsir beliau yang praksis, Hassan Hanafi telah merumuskan langkah-langkah
interpretasi sebagai berikut:
1) Komitmen politik sosial. Mufassir memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi
kontemporernya karena baginya, mufassir adalah revolusioner, reformis, dan aktor
sosial.
2) Mencari sesuatu. Mufassir memiliki keberpihakan berupa kesadaran untuk mencari
solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Di sinilah, Hanafi melihat asbab al-nuzul
lebih pada realitas social masyarakat saat al-Quran diturunkan.
3) Sinopsis ayat-ayat yang terkait pada satu tema. Semua ayat yang terkait pada tema
tertentu dikumpulkan secara seksama, dibaca, dipahami berkali-kali hingga orientasi
umum ayat menjadi nyata. Ia menegaskan bahwa penafsiran tidak berangkat dari ayat
sebagaimana tafsir tahlili, tapi dari kosa kata al-Quran.
4) Klasifikasi bentuk-bentuk linguistik, meliputi kata kerja dan kata benda, kata
kerjawaktu, kata sifat kepemilikan, dan lain-lain.
5) Membangun struktur makna yang tepat sesuai dengan sasaran yang dituju yang
berangkat dari makna menuju objek. Keduanya adalah satu kesatuan. Makna adalah
objek yang subjektif, sedang objek adalah subjek yang objektif.
6) Analisis situasi faktual. Setelah membangun tema sebagai struktur yang ideal, penafsir
beralih pada realitas faktual seperti kemiskinan, HAM, penindasan, dan lain-lain.
7) Membandingkan yang ideal dengan yang riil. Struktur ideal dideduksikan dengan
menggunakan analisis isi terhadap teks dengan situasi faktual yang diinduksikan
dengan menggunakan statistik dan ilmu-ilmu sosial. Di sini, penafsir berada di antara
teks dan realitas.
8) Deskripsi model-model aksi. Sekali ditemukan kesenjangan antara dunia ideal dengan
riil, maka aksi sosial menjadi langkah berikutnya. Transformasi dari teks ke tindakan,
teori ke praktik, dan pemahaman ke perubahan.

Anda mungkin juga menyukai