Anda di halaman 1dari 14

MAKNA KHALIFAH DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF HERMENEUTIKA

HASSAN HANAFI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Hermeneutika Al-Qur’an

Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Zainal Arifin, M.A

Disusun oleh:

Anas Anwar
NIM : 1880503220009

PASCASARJANA
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS ISLAM SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
2023
PENDAHULUAN

Zaman sekarang umat muslim dihadapkan pada dua kenyataan sulit; Dalam satu
sisi umat Islam dituntut untuk berpegang pada al-Qur’an yang turun pada empat belas
abad yang lalu. Dalam sisi yang lain umat Islam dihadapkan pada dinamka sejarah yang
menuntut perubahan. Dalam hal ini, umat Islam sebenarnya dihadapkan pada paradoks,
al-Qur’an yang statis harus menghadapi zaman yang dinamis. Mampukah al-Qur’an yang
turun pada 1400 tahun yang lalu menjawab berbagai problematika kehidupan modern
yang cukup kompleks. Dari pertentangan ini, muncullah beberapa tokoh kontemporer
yang mengelaborasi paradoks tersebut, salah satunya adalah Hassan Hanafi.

Hassan Hanafi berpandangan bahwa paradoks tersebut dapat diselesaikan


dengan pendekatan hermeneutik terhadap al-Qur’an.Dikatakan pendekatan hermeneutik
karena, di satu sisi, kita tidak bisa bertolak dari teks saja; di sisi lain, kita tidak bisa
bertolak dari realitas saja. Oleh karenanya, harus ada gerak dialektis antara teks dan
konteks kita sekarang. Gerak dialektis antara teks dan konteks dalam penafsiran inilah
yang kemudian disebut sebagai pembacaan hermeneutis.

Dari banyak penelitian terhadap pemikiran hermeneutika Hassan Hanafi,


menurut penulis, penelitian-penelitian tersebut lebih terfokuskan pada pemikiran
hermeneutiknya, tidak fokus pada pengaplikasian metode hermeneutika Hassan Hanfi
dalam menafsirkan tema tertentu dalam al-Qur’an. Ketika menjelaskan aplikasi dari
hermeneutika Hassan Hanafi, contoh yang di tampilkan adalah tafsir kata al-mal dan al-
ard yang tak lain merupakan penafsiran yang dilakukan dan dicontohkan oleh Hassan
Hanafi sendiri. Pada akhirnya, penulis katakan bahwa, signifikansi tulisan ini adalah
untuk mengaplikasikan teori hermeneutika Hanafi dalam menafsirkan kata khalifah
dalam al-Qur’an yang belum pernah di singgung oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Urgensi dari penelitian ini adalah untuk lebih mengembangkan pemikiran hermeneutika
Hanafi secara khusus dan pemikiran hermeneutika pada umumnya.
PEMBAHASAN

A. Biografi Hassan Hanafi


Hassan Hanafi Hasssanaein, Lahir di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935.
Karir pendidikannya dimulai dari sekolah menengah “ Khalil Agha “ pada tahun
1952 dan berhasil meraih gelar sarjana muda filsafat di Universitas Kairo tahun
1956. Hassan Hanafi mengambil program magiser dan doktornya di Universitas
Sorbonne Prancis, dan lulus pada tahun 1966. Saat di perancis inilah masa yang
sangat berarti bagi perkembangan pemikiran Hassan Hanafi, karena ia mulai
berlatih berfikir secara metodologis melalui karya para orientalis dan
pembelajaran di bangku kuliah. Karya tesis yang ia tulis berjudul; Les Methodes
d’Exegese, essai sur La science des fondamen de la Comprehension, ilm Ushul
Fiqh ( Metodologi Penafsiran: Sebuah upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh ),
sedangkan karya disertasinya berjudul; L’ Exegese de la Phenomenologie, L’etat
actual de la metode phenomenologique et son aplicationau la phenomene religiux
( Tafsir Fenomenologis: Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya
dalam fenomena keagamaan ). 1
Karirnya dimulai Pada tahun 1967 dimana Hassan Hanafi diangkat
menjadi rektor. Pada tahun 1973 menjadi rektor kepala dan menjadi professor
Filsafat pada tahun 1980 pada jurusan Filsafat di Universitas Kairo. Selain itu, ia
juga aktif mengisi kuliah di berbagai negara seperti di Perancis pada tahun 1969,
Universitas Kuwait pada 1979, Belgia pada tahun 1970, Temple University
Philadelpia AS tahun 1971-1975 dan lan sebagainya. Hassan Hanafi merupakan
seorang Reformis yang memiliki banyak karya. Secara umum karyanya terbagi
menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu karya yang ia tulis saat tahun 60 an
berupa tesis dan disetasi yang bermaksud untuk mengintegrasikan warisan masa
lalu dengan kenyataan masa sekarang. Periode kedua, karyanya pada tahun 1976
yang berjudul Qadaya Mu’asirah fi Fikrina al-Ma’asir dan tahun 1977 yang
berjudul Qadaya Mu’asirah fi Fikrina al-Gharbi. Dalam karya tersebut Hassan
Hanafi memperkenalkan beberapa tokoh barat seperti Max Weber, Herbet
Marcuse, Hegel, Kant dan Spinoza agar para pembaca dapat meneladani para

1
Mubaidi Sulaeman, “ Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi dalam Studi Al-Qur’an di
Indonesia “, Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam, Vol. 1, No. 2 ( Juni 2020 ), hal. 7
tokoh tersebut di dalam memahami persoalan masyarakat dan cara mereka dalam
melakukan reformasi.
Adapun periode ketiga dari karya-karya Hassan Hanafi yaitu; 1). As-Din
wa al-Tsaurah fi Mishri ( 1989 ) yang berbicara mengenai gerakan keagamaan
kontemporer dan integritas umat, termasuk tarik menarik antara ideologi Islam
dengan Barat sebagai dikotomi keilmuan; 2). Dirasat Islamiyah ( 1982 ). Karya
ini berisi tentang metode dalam studi keislaman melalui filsafat, Ushuluddin dan
Ushul Fiqh serta cara pembaharuannya; 3). Al-Turats Wa al-Tajdid ( 1983 ) yang
memuat tentang tradisi dan pembaharuan, sebagai sikap yang dibutuhkan umat
Islam terhadap tradisi dan khazanah Barat agar tidak teralienasi; 4). Min al-Aqidah
Ila al-Tsaurah (1988), yang memuat cara merekonstruksi ilmu kalam berikut
perkembangannya sampai abad 20; 5) Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istiqhrab (1992),
Buku ini berisi tentang sikap Hanafi terhadap tradisi peradaban Barat;. 6) Islam in
the Modern World (2000), yang terdiri dua bagian, pertama: religion, ideology
and development; kedua: tradition, revolution and culture. Buku ini
mengidiologikan agama dan meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam
pembangunan di negara dunia ketiga.2

B. Hermeneutika Hassan Hanfi


Hermenutika dalam pandangan Hassan Hanafi tidak hanya diartikan
sebagai teori pemahaman atau interpretasi, namun juga tentang penjelasan proses
turunnya wahyu mulai dari tingkat perkataan sampai mendunia.
Ada yang mengatakan bahwa tokoh pemikir tafsir kontemporer ini lebih
pantas disebut dengan tokoh filsuf muslim ketimbang tokoh hermeneutika. Hal
ini dikarenakan proyek besarnya yang banyak terfokuskan pada suatu perubahan
dalam masyarakat. Sedangkan, al-Qur’an hanya sebagai pokok pembahasan
dalam skala besarnya.3
Pemikiran hermenutika Hassan Hanafi dimulai saat ia menulis tesis dan
disertasinya yang dipulikasikan dalam “Dialog dan Revolusi.” Pada bagian

2
Muhammad Aji Nugroho, “ Hermeneutika al-Qur’an Hasan Hanafi; Merefleksikan Teks pada Realitas
Sosial dalam Konteks Kekinian “, Millati, Vol. 1, No. 2 ( Desember 2016 ), hal. 194-195
3
Fadhli Lukman, “Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi dan Relevansinya Terhadap Indonesia”,
dalam Jurnal Al-Aqidah, Vol. 6, Edisi 2 (Desember 2014), 6-7
pertama Hanafi membahas tentang kasus Islam yang berkaitan dengan metodologi
penafsiran serta aplikasi penafsirannya. Bagian kedua dibagi menjadi dua
pembahsan, yang pertama tentang al-Qur’an sebagai perlawanan zionisme dan
teologi tentang tanah, dan di bagian kedua ini Hanafi membahas tentang agama
dan revolusi.
Hermeneutika al-Qur’an yang dibangun oleh Hanafi dibangun atas dua
agenda; Pertama, tentang teori penafsian (persoalan metodis) dan kedua, adalah
matateori penafsiran (persoalan filosofis). Agenda secara metodis Hanafi
memberikan beberapa langkah baru dalam memahami al-Qur’an yang lebih fokus
pada emansipatoris al-Qur’an dan liberasi. Sedangkan, untuk persoalan filosofis,
Hanafi telah banyak berperan di antaranya sebagai kritikus, komentator, bahkan
dekontruksi terhadap teori penafsiran lama yang sudah dianggap dalam
menafsirkan.
Hanafi tidak hanya memberikan sebuah kritik tentang penafsiran klasik,
melainkan juga mencoba memberikan sebuah penawaran tentang sebuah metode
penafsiran yang menurutnya pantas untuk diterapkan pada era ini, agar makna
teks al-Qur’an bisa sejalan dengan kehidupan manusia khususnya umat Islam.
Metode yang beliau tawarkan yaitu untuk sekarang dilebeli dengan istilah
hemeneutika pembebasan, serta melakukan telaah dari segi askiologi etis dalam
ranah produk pemikiran dan epistemik. 4
Penafsiran terhadap al-Qur’an dengan menggunakan hermeneutika
Hassan Hanfi memiliki beberapa ciri seperti; Pertama, Seorang mufassir dituntut
untuk mampu menyajikan penafsiran yang spesifik. Artinya, seorang mufassir
tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an melainkan hanya ayat-ayat yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti, yang dibutuhkan oeh masyarakat adalah
terbebas dari kolonialisme, maka yang perlu ditafsirkan oleh seorang mufassir
adalah ayat-ayat tentang jihad dan qital. Kedua, penafsirannya termasuk dalam
katerori tematik karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu dalam al-Qur’an.
Ketiga, bersifat temporal. Hermeneutik tidak hanya dimaksudkan untuk mengali
makna universal. Akan tetapi, diarahkan agar dapat memberikan gambaran al-

4
Amril Mansur, “Hermeneutika Al-Quran Hasan Hanafi dan Relefansinya dalam Aksiologis Etis,”
dalam Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 4, No. 1 (Januari-Juni 2005), 13-14.
Qur’an bagi generasi tertentu. Keempat, bersifat realistis yaitu seorang mufassir
memulai tafsirnya dengan melihat realitas kaum muslimin serta problematika dan
kesengsaraan yang sedang dihadapi. Bukan penafsiran yang tidak dapat
membuahkan solusi bagi masyarakat. Kelima, penafsirannya terfokuskan pada
makna tertentu bukan memperbincangkan kata dan huruf. Hal itu karena pada
dasarnya al-Qur’an diturunkan dengan membawa orientasi, tujuan dan
kepentingan tertentu, yakni sebuah kepentingan yang ada di tengah masyarakat
serta segala sesuatu yang menurut akal bersifat manusiawi, natural dan rasional.
Keenam, penafsirannya selaras dengan pengalaman dan latar belakang kehidupan
sang mufassir karena menurut Hassan Hanafi penafsiran tidak akan lahir tanpa
adanya pengalaman dari latar belakang seorang mufassir yang sifatnya
eksistensial. Ketujuh, mempunyai keperdulian terhadap permasalahan
kontemporer yang terjadi karena seorang mufassir merupakan bagian dari struktur
sosial. 5
Sedangkan cara atau langkah-langkah yang dilakukan seorang mufassir
dalam menafsirkan al-Qur’an menurut Hassan Hanafi yaitu :
1. Seorang mufassir harus mempunyai komitmen terhadap problem sosial politik
tertentu. Dengan kata lain, seorang mufassir yang muncul harus dilandasi oleh
keprihatinan terhadap situasi kontemporer yang ada.
2. Sebelum menafsirkan seorang mufassir diharuskan memiliki “ bekal “ sebab
menurut Hassan Hanafi seseorang tidak mungkin mampu melakukan proses
penafsiran dengan tangan kosong. Artinya, seorang mufassir perlu bercermin
pada proses lahirnya teks al-Qur’an yang didahului oleh realitas, selain itu ia
juga harus merumuskan apa yang menjadi tujuannya. Sebab seorang mufassir
tidak mungkin melakukan proses penafsiran tanpa adanya kesadaran terhadap
apa yang ingin dicapainya. Hal ini berbeda dengan Fazlur Rahman yang
berupaya mencari objektifitas penafsiran dan meminimalisisr subjektifitas
seorang mufassir. Menurut Rahman, untuk melahirkan penafsiran yang
objektif seorang mufassir harus melepas prakonsepsi yang dimilikinya.
Meskipin keduanya sama-sama menawarkan metode tematik, akan tetapi

5
Hermanto Halil, “ Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Memadukan Teks Pada Realita Sosial
Dalam Konteks Kekinian “, al-Tahiqah, Vol. 1, No. 1 ( Oktober 2018 ), hal. 67
Hassan Hanafi cenderung pada aliran subjektivisme, sementara Rahman
cenderung pada aliran objektivisme. 6
3. Dari rumusan komitmen dan tujuannya, kemudian mufassir menginventarisasi
ayat-ayat terkait dengan tema yang menjadi komitmennya
4. Melakukan klasifikasi bentuk-bentuk bahasa. Dari ayat yang telah
terinventarisasi kemudian diklasifikasikan sesuai bentuk-bentuk linguistik
sebagai batu loncatan menuju langkah selanjutnya.
5. Membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju, sehingga
makna dan objek yang dituju menjadi satu kesatuan
6. Melakukan analisis terhadap problem faktual yang dihadapi oleh seorang
penafsir seperti pelanggaran hak asasi manusia, kemiskinan, dan sebagainya.
7. Membandingkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problem
faktual yang diinduksikan dari realitas empirik melalui perhitungan statistik
dan ilmu sosial.
8. Menyusun rumusan praktis sebagai langkah akhir dari proses penafsiran yang
transformatif. Inilah yang dimaksud dengan realitas menuju teks dan teks
menuju realitas dalam hermeneutika Hassan Hanafi. Ini pula yang dimaksud
Hassan Hanafi bahwa penafsiran merupakan wujud posisi sosial penafsir
dalam struktur soaial . Dengan kata lain, tafsir menupakan sebuah jawaban
teoritis yang dirumuskan al-Qur’an atas berbagai problem kehidupan yang
mestinya dapat diaplikasikan dalam dataran praktis tidak berhenti pada level
teoritis.

c. Makna Khalifah dalam al-Qur’an

1. Analisis Bentuk Kata ( Tahlil al-Surah )


Kata dasar yang terdiri dari tiga huruf ‫ خ – ل – ف‬disebutkan sebanyak 127
kali di dalam al-Qur’an dengan bentuk yang cukup beragam. 7
Jumlah Makna Kata

2 kali Mengganti ‫خلف‬

6
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an Dan Tafsir ( Yogyakarta : CV Idea Sejahtera, 2014 ),
hal. 64
7
Abd. Rahim, “ Khalifah dan Khilafah menurut al-Qur’an “, Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. 9, No. 1
( Juni 2012 ), hal. 22-24
22 kali
Generasi, Belakang, Yanag akan
datang
‫خلف‬
1 kali Sesudah kepergianku ‫خلفتموين‬
1 kali Turun temurun ‫خيلفون‬
1 kali Gantikan aku ‫اخلفىن‬
1 kali Ditangguhkan ‫خلفوا‬
1 kali Menyalahi ‫أخالفكم‬
1 kali Menyalahi ‫خيالفون‬
14 kali Menyalahi/ melanggar ‫اخلف – خيلف‬
1 kali Turut menyertai ‫يتخلفون‬
34 kali Berselisih ‫ خيتلف‬- ‫اختلف‬
Menjadikan berkuasa,
5 kali Mengganti, Menjadikan ‫ يستخلف‬-‫استخلف‬
Khalifah
1 kali Orang yang tidak ikut berperang ‫اخلالفني‬
6 kali Timbal balik, belakang ‫خالف‬
1 kali Silih berganti ‫خلفة‬
2 kali Pemimpin/khalifah ‫خليفة‬
4 kali Pemimpin/khalifah ‫خالئف‬
3 kali Pemimpin/khalifah ‫خلفاء‬
4 kali Orang yang ditinggal ‫خملفون‬
1 kali Menyalahi ‫خملف‬
7 kali
Pergantian, perbedaan,
pertentangan
‫إختالف‬
10 kali Bermacam-macam, berselisih ‫خمتلف‬
1 kali Menguasai ‫مستخلفني‬

Dari berbagai derivasi ayat yang ada, setidaknya terdapat 13 ayat


yang sesuai dengan tema kepemimpinan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
Pertama, terdapat sembilan kalimat isim yang terbagi menjadi dua
macam yakni kata “ khalifah “ dalam bentuk mufrad sebanyak dua kali,
dalam QS. Al-Baqarah: 30 dan Shad: 26; dalam bentuk jamak ( dari kata
“ khalifah “ disebutkan sebanyak tujuh kali, yaitu kata “ khalaif “
sebanyak empat kali ( QS. Al-An’am: 165, QS. Yunus: 14, 73, QS. Fathir:
39 ) dan kata “ khulafa’ “ sebanyak tiga kali ( QS. Al-A’raf: 69, 74. QS.
Al-Naml: 62 ). Semua kata tersebut, baik “ khalifah “, “ khalaif “ dan “
khulafa’ “ disebutkan dengan i’rab nashab sebagai objek dari kata kerja
ja’ala . Misalnya :
َ ُ َ َ َ ُ َۡ َ َٰٓ َ َ ُ َٰ َ ۡ َ َ َّ ُ
‫ۡرض ِم ۢن َب ۡع ِده ِۡم ِلِ َنظ َر ك ۡيف ت ۡع َملون‬
ِ ‫ك ۡم خلئِف ِِف ٱۡل‬ ‫ثم جعلن‬

“ Kemudian kami jadikan kamu sebagai pengganti-pengganti mereka di


bumi setelah mereka, untuk kami lihat bagaimana kamu berbuat “ ( QS.
Yunus: 14 )

َ َۡ ٞ ِ َ َٰٓ َ ۡ َ َ َ ۡ
ٗۖ ‫ۡرض َخل ِيفة‬
ِ ‫ِإَوذ قال َر ُّبك ل ِل َملئِك ِة إ ِ ِّن َجاعِل ِِف ٱۡل‬

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “ Aku


hendak menjadikan khalifah di bumi “. ( QS. Al-Baqarah: 30 )

Hal tersebut menunjukan bahwa manusia dijadikan khalifah di


bumi merupakan sebuah amanah dari tuhan dengan misi memakmurkan
serta mengatur kehidupan di bumi. Seorang khalifah bukanlah penguasa
yang boleh untuk berbuat sewenang-wenang sesuai keinginannya. Ketika
seseorang mendapat kepercayaan untuk menjadi pemimpin, maka ia
harus berupaya untuk memakmurkan rakyat yang dipimpinnya, bukan
malah memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Segala kebijakan yang
diambil haruslah berlandaskan kepada kemaslahatan umum.Karena
kepemimpinan merupakan amanah yang harus dijalankan dengan baik,
maka tidak heran jika dalam ayat-ayat khilafah selalu dibarengi dengan
ancaman dan peringatan. Hal tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak
berlaku sewenang-wenang dalam memimpin. Misalnya Allah Swt
berfirman :
ٓ َ ۡ ُ َ ُ ۡ َ ِ َٰ َ َ َ
‫ت ِّلبلوكم ِِف ما‬ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ َ َ ِ َ‫ك ۡم َخلََٰٓئ َف ۡٱۡل‬
ُ ََ َ َّ َ ُ َ
ٖ ‫ۡرض ورفع بعضكم فوق بع ٖض درج‬ ِ ‫ل‬‫ع‬ ‫ج‬ ‫ِي‬
‫ٱَّل‬ ‫وهو‬

ُ ‫ َّرح‬ٞ‫يع ۡٱلعِ َقاب ِإَونَّ ُهۥ لَ َغ ُفور‬


ۢ ‫ِيم‬ َ َّ َ َّ ۡ ُ َٰ َ َ
ُ ‫ك ََس‬ ‫ءاتىكمۗۡ إِن رب‬
ِ ِ

Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi


dan Dia mengangkat ( derajat ) sebagian kamu di atas yang lain, untuk
mengujimu atas ( karunia ) yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh,
Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. ( QS. Al-An’am: 165 )

َ ُ َّ َ َۡ ُ َ َّ َ َ َ ۡ َ ۢ ِ َ ٓ َ َ ُ ۡ ُ َ َ َ ۡ ْ ٓ ُ ُ ۡ َ
‫خذون مِن ُس ُهول َِها‬ ِ ‫ك ۡم ِِف ٱۡل‬
ِ ‫ۡرض تت‬ ‫وٱذكروا إِذ جعلكم خلفاء من بع ِد َعدٖ وبوأ‬

ۡ َ ۡ ْ َ َ َ َّ ٓ َ ْ ُ ۡ َ َ ۡ َ ُ ََۡ ُ ُ
َ ‫سد‬
‫ِين‬ ِ ‫ٱۡل َبال ُب ُيوتاۖٗ فٱذك ُر ٓوا َءاَل َء ٱَّلل ِ َوَل ت ۡعث ۡوا ِِف ٱۡل‬
ِ ‫ۡرض ُمف‬ ِ ‫حتون‬
ِ ‫قصورا وتن‬

“ Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah


kaum ‘Ad dan menempatkan kamu dibumi. Di tempat yang datar kamu
dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-
rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu
membuat kerusakan di bumi. ( QS. Al-A’raf: 74 )
َ ۡ ‫اس ب‬
َٰ ‫ٱۡل ِق َو ََل تَ َّتبِعِ ٱل ۡ َه َو‬ ُ ۡ َ ِ َۡ
َ ۡ َ ‫كم ب‬ َ َ َ ۡ َّ ُ َ
‫ى‬ ِ ِ ِ َّ‫ۡي ٱِل‬ ‫ي َٰ َد ُاوۥد إِنا َج َعل َنَٰك خل ِيفة ِِف ٱۡلۡرض فٱح‬
َّ َ ‫ك َعن‬ َ َّ ُ َ
ِِۚ‫يل ٱَّلل‬
ِ ِ ‫ب‬ ‫س‬ ‫ضل‬ِ ‫في‬

Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah (penguasa


) di bumi, maka berilah keputusan ( perkara ) diantara manusia dengan
adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah. ( Shad: 26 )
Kedua, terdapat lima kata kerja yang mengikuti wazan istaf’ala
dengan pembagian; satu kali disebutkan dalam bentuk fi’il madhi yakni
dalam QS. Al-Nur: 55, dan empat kali dalam bentuk fi’il mudhari’ ( yakni
dalam QS. Al-An’am: 133, QS. Al-A’raf: 129, QS. Hud: 57, dan QS. Al-
Nur: 55 ). Dari dua bentuk kata terja tersebut menunjukan bahwa tidak
ada kekuasaan yang sifatnya abadi. Generasi sekarang menggantikan
kepemimpinan generasi sebelumnya dan akan digantikan oleh generasi
yang akan datang. Kekuasaan yang Abadi hananya milik Allah Swt.
Maka, ketika seseorang menjadi pemimpin tidak ada yang perlu di
sombongkan karena itu hanya amanah yang sifatnya sementara.
2. Analisis Substansi ( Tahlil al-Madmun )
Dari ayat-ayat yang menjelaskan tentang khilafah, terdapat beberapa
orientasi makna yang dapat diambil, yakni :
a. Khalifah dalam al-Qur’an memiliki makna pemimpin atau penguasa
yang mengelola suatu wilayah atau dengan kata lain adalah kekuasaan
politik. Ia juga bermakna orang yang menggantikan generasi
sebelumnya dalam tugas memakmurkan bumi.
b. Kata khalifah dalam al-Qur’an hanya menunjukan adanya
kepemimpinan secara umum, tidak menunjukkan adanya satu sistem
pemerintahan yang baku. Hal ini dapat dipahami dari penyebutan
Nabi Dawud sebagai seorang khalifah dan juga seorang raja.
َۡ َ َ َ ۡ َّ ُ ُ َ َٰ َ
ِ ‫ۥد إِنا َج َعل َنَٰك خل ِيفة ِِف ٱۡل‬
‫ۡرض‬ ‫يداو‬

Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah (


penguasa ) di bumi. ( QS. Shad: 26 )

َ ۡ ۡ ُ َّ ُ َٰ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َ َ َ َ َ َّ ۡ ُ َ
‫ٱَّلل ٱل ُملك‬ ‫ف َه َز ُموهم ب ِإِذ ِن ٱَّللِ وقتل داوۥد جالوت وءاتىه‬

Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Dawud


membunuh Jalut. Kemudian Allah memberinya kerajaan.

Sebagaimana penyebutan Nabi Dawud sebagai khalifah dan


raja, dalam QS. Al-Baqarah: 124 Allah Swt menyebut Nabi Ibrahim
sebagai seorang imam. Allah Swt juga berjanji akan menjadikan
keturunan Nabi Ibrahim sebagai imam . Akan tetapi, dalam QS. An-
Nisa ayat 54 Allah Swt menyebutkan anak keturunan Nabi Ibrahim
sebagai seorang raja. Hal ini menunjukan bahwa kata khalifah,
sebagaimana juga kata imam dan mulk menunjukan makna yang
sama yakni seorang yang menduduki kepemimpinan tertinggi.
Khalifah dalam al-Qur’an tidak menunjukan adanya sistem
pemerintahan yang baku dalam Islam.
Maka dari itu, tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh
sekelompok orang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ) telah menganut sistem kafir dan mereka berusaha untuk
merubah bentuk negara dengan sistem khilafah dengan membawa
bawa ayat al-Qur’an adalah kebohongan besar karena al-Qur’an
tidak menentukan sistem pemerintahan tertentu bagi sebuah negara.
Karenanya NKRI merupakan negara yang sah menurut Islam dan
harus dipertahankan karena mempertahankan NKRI adalah
manifestasi dari siyasah syar’iyyah yang paling efektif untuk
mengakomodir kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara di
bumi Indonesia dengan segala keberagamannya.
c. Seorang yang diangkat menjadi seorang pemimpin haruslah orang
yang memiliki kecakapan dan keahlian. Hal tersebut tergambar dalam
QS. Al-Baqarah: 30 dan ayat-ayat lain dimana Allah Swt menjadikan
manusia sebagai khalifah di bumi yang mengemban tugas merawat
dan memakmurkan bumi menggantikan generasi sebelumnya yang
banyak membuat kerusakan, peperangan dan pertumpahan darah.
Meskipun malaikat meragukan kemampuan yang dimiliki
oleh manusia untuk menggantikan bangsa jin sebagai penggerak roda
kehidupan dan tatanan peradaban di muka bumi, namun Allah Swt
lebih mengetahui hikmah dibalik hal tersebut karena Allah Swt
mengetahui potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh manusia.
Manusia dibekali akal oleh Allah Swt dan diciptakan dalam bentuk
fisik yang paling sempurna dibanding makhluk-makhluk yang lain.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai warga
negara seyogyanya memilih seorang pemimpin dengan didasarkan
pada kompetensi dan kapabilitas yang dimilikinya. Bukan karena
politik uang dan semacamnya. Calon pemimpin hendaknya dilihat
bagaimana rekam jejaknya di masa lalu, sehingga orang yang terpilih
pada nantinya adalah orang yang memiliki kecapakan dan keahlian
yang mampu memakmurkan dan mensejahterakan rakatnya.
d. Dalam menjalankan kepemimpinan seseorang dituntut untuk amanah,
berlaku adil, menghindari nepotisme dan diskriminasi hukum serta
memperhatikan kemaslahatan umum dalam setiap kebijakan yang
diambilnya.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Terdapat 13 kata dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang khalifah


dalam arti kepemimpinan. Dari ayat-ayat yang menjelaskan tentang khilafah,
terdapat beberapa orientasi makna yang dapat diambil yaitu; ( 1) Khalifah dalam
al-Qur’an memiliki makna pemimpin atau penguasa yang mengelola suatu
wilayah atau dengan kata lain adalah kekuasaan politik. Ia juga bermakna orang
yang menggantikan generasi sebelumnya dalam tugas memakmurkan bumi. (2)
Kata khalifah dalam al-Qur’an hanya menunjukan adanya kepemimpinan secara
umum, tidak menunjukkan adanya satu sistem pemerintahan yang baku, (3)
Seorang yang diangkat menjadi seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki
kecakapan dan keahlian, ( 4 ) Dalam menjalankan kepemimpinan seseorang
dituntut untuk amanah, berlaku adil, menghindari nepotisme dan diskriminasi
hukum serta memperhatikan kemaslahatan umum dalam setiap kebijakan yang
diambilnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahim, “ Khalifah dan Khilafah menurut al-Qur’an “, Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol.
9, No. 1 ( Juni 2012 ),

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an Dan Tafsir ( Yogyakarta : CV Idea Sejahtera,
2014

Hermanto Halil, “ Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Memadukan Teks Pada Realita Sosial
Dalam Konteks Kekinian “, al-Tahiqah, Vol. 1, No. 1 ( Oktober 2018 )

Amril Mansur, “Hermeneutika Al-Quran Hasan Hanafi dan Relefansinya dalam


Aksiologis Etis,” dalam Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 4, No. 1 (Januari-Juni 2005

Muhammad Aji Nugroho, “ Hermeneutika al-Qur’an Hasan Hanafi; Merefleksikan Teks pada
Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian “, Millati, Vol. 1, No. 2 ( Desember 2016 )

Fadhli Lukman, “Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi dan Relevansinya Terhadap


Indonesia”, dalam Jurnal Al-Aqidah, Vol. 6, Edisi 2 (Desember 2014)

Mubaidi Sulaeman, “ Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi dalam Studi Al-Qur’an
di Indonesia “, Salimiya: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam, Vol. 1, No. 2 ( Juni 2020 )

Anda mungkin juga menyukai