Anda di halaman 1dari 16

HASSAN HANAFI

MAKALAH

Disusun sebagai Tugas kelompok


Mata Kuliah Filsafat Islam

Dosen pengampu :
Dr. H. Supriyanto, Lc., M. S. I.

Oleh:
1. Ullya Romantika (1817501042)
2. Umi R Walinda Asmara (1817501043)
3. Ummu Rofiah (1817501044)
4. Wigati Junia Heni (1817501045)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


JURUSAN QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935, ia merupakan tokoh
Filsafat yang berasal dari Kairo yaitu daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun
dalam lingkungannya bisa dikatakan tidak terlalu mendukung namun tradisi keilmuan
berkembang pesat disana sejak lama. Dengan demikianlah terdapat pemikiran-
pemikirannya seperti kiri islam dan teologi antroposentris. Untuk lebih jelasnya, akan
dibahas dan dijelaskan mengenai siapa Hasan Hanafi dan bagaimana pemikirannya
dalam makalah ini.
Analisa tentang pemikiran Hasan Hanafi sangat di dasarkan perkembangan per
periode dari karya karya beliau. Karya-karya Hasan Hanafi dibagi menjadi tiga
periode, yang berlangsung dari tahun 60-an hingga tahun 90-an. Masing-masing
periode terdapat perkembangan pemikiran Hasan Hanafi dan dinamika politik di
Mesir mempunyai pengaruh besar terhadap pemikirannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Hasan Hanafi?
2. Apa saja karya-karya Hasan Hanafi?
3. Bagaimana pemikiran Hasan Hanafi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Hasan Hanafi
Hasan al-hanafi dilahirkan pada tanggal 13 februari 1935 di Kairo ,Mesir di
dekat Benteng Salahuddin, daerah Perkampungan Al-Azhar. Ia berasal dari keluarga
musisi. (Rozak, A., & Anwar, R. (2014). Ilmu Kalam). Pendidikannya diawali pada
tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar dan melanjutkan studinya di
Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha,Kairo yang diselesaikan selama empat tahun.
Selama di stanawiyah ia aktif mengikuti diskusi kelompok Ikwan Al-Muslimin.
Dengan kegiatan tersebut ia terdorong untuk mendalami pemikiran agama, revolusi
dan perubahan sosial, filsafat teori-teori social. Dari kegiatannya ini pemikirannya
mulai berkembang. Setelah Tsanawiyah Ia melanjutkan studi di Departemen Filsafat
Universitas kairo selesai pada tahun 1956 sebagai Sarjana muda. Setelah itu Hanafi
melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis dengan mengambil konsentrasi
pada kajian pemikiran Barat pra-Modern dan Modern. (Anwar,Rosihon,ilmu kalam,
2003). Selama di Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia juga
mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari pemikiran fenomenologi Husserl
(1859-1938) yang mengakui kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan
kebenaran nilai. Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah
filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran Paul Ricouer (1913-
2005), pemikiran Louis Massignon (1883-1962) dalam bidang pembaruan. Kemudian,
Hasan Hanafi menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966. Hasan
Hanafi kecil hidup di lingkungan yang di jajah oleh bangsa asing. Kenyataan ini
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya. Kejadian yang diaalami olehnya
pada masa itu, terutama di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang yang
pemikir, pembaharu, dan reformis. Ia merasa prihatin dengan keadaan umat islam
yang tertinggal dan permasalahan internal yang berkepanjangan yang tak usai-usai.
Ketika dia sekolah di Prancis, ia mendapat tempat yang kondusif untuk belajar ia
mulai mencari-cari jawaban atas permasalahn yang dihadapi oleh negerinya, beserta
rumusan-rumusan jawaban untuk mengatasi dan menanggulangi permasalahan.
Disana ia juga mulai berfikir secara metodologi lewat buku-buku karya orientalis dan
perkuliahan yang ia ikuti.Ia juga sempat belajar pada seorang reformis katolik,Jean
Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar
fenomenologi dar Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan
penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Prof. Masnion. Setelah kembalinya
ia dari kuliah di Sarbonne Prancis pada tahun 1966, timbulah keinggin beliau untuk
mengembangkan tulisan-tulisannya. Tetapi niat ini terurung ketika tahun 1967 Mesir
diserang oleh Israel. Keadaan ini menimbulkan semangat nasionalismenya muncul. Ia
kemudian bersatu bersama rakyat.Hasan Hanafi juga mengajar di Universitas Cairo
disela-sela waktu luangnya. Ia juga mulai giat menulis artikel-artikel untuk
menanggapi permasalahan aktual yang sedang dihadapi oleh bangsanya. Ia
memanfaatkan media massa dalam menyampaikan hasil pemikirannya.Ia  juga
mengajar di beberapa Universitas di Luar Negeri, ia juga pernah menjadi Profesor
tamu di beberapa negara seperti Perancis (1969), Prancis, Belgia, Amerika Serikat,
Kuwait, Maroko dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar
tamu di Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di
Jepang pada tahun 1985-1987.
B. Karya-Karya Hasan Hanafi
Karya-karya Hasan Hanafi dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode.
Periode pertama berlangsung pada tahun 1960-an. Periode kedua berlangsung pada
tahun 1970-an, dan periode ketiga berlangsung dari tahun 1980-an sampai dengan
1990-an.
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh isme-
isme dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik populistik
yang dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, (Abdurrahman Wahid, Hasan
Hanafi dan Eksperimentasinya, 1993.) dan oleh situasi nasional yang kurang
menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun
1967 M. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1960 M), sebagaimana telah di
kemukakan, Hasan Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Prancis. Selama
berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interprestasi sebagai
upaya pembaharuan dalam bidang ushul fiqih (teori hokum Islam, Islamic legal
theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam
konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk
memperoleh gelar Doktor pada Universitas Sorbon (Perancis), dan ia berhasil menulis
desertasi yang berjudul Essai sur la method d`Exegese (esai tentang metode
penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya
ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961 M. Dalam karyanya itu jelas Hasan Hanafi
berupaya menghadapkan ilmu ushul fiqih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund
Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hasan Hanafi masih bersifat
ilmiah murni. Setelah akhir dasawarsa itu, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam
untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi
pembebasan (taharrur, liberatioan). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika
memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan
dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang
populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran
sebagai resep utamanya. Hasan Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam
sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hasan
Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan
umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967 M. Oleh karena itu,
tulisantulisannya bersifat populis. Awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di
berbagai media massa, seperti al-Katib, al-Adab, al- Fakr, al-Muasyir dan al- Islam.
Pada tahun 1976 M, tulisan-tulisan tersebut di terbitkan dalam sebuah buku
yang berjudul Qodhaya Mu’asyirat fi Fikrina al-Mu’asyir. Buku ini mendiskripsikan
tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam
menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemikiran Islam
untuk menghidupkan kembali khasanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun
1977 M, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu`asyirst fi al Fikr al-Gharib. Buku
kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana
mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.
Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant,
Hegel, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl dan Herbert Marcuse.
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis
yang berkaitan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat Islam yang
lemah dam memahami posisi Barat yang superior. Pertama penekanan diberikan pada
upaya pemerdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan yang kedua ia
berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala
aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok
pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu al-Turats wa al-Tajdid
(Tradisi dan Pembaharuan) dan al-Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1972-1975 M, Hasan Hanafi juga
menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di
Mesir, Terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat yang
sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan berbagai
peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro- Barat dan
memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada oktober 1981 M.
Keadaan ini membawa Hasan Hanafi pada pemikiran bahwa seorang Ilmuwan juga
harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap bangsanya. Untuk itulah kemudian
ia menulis al-Din wa al-Tsaura fi Mishr (1952-1982 M). Karya ini terdiri dari 8 jilid
yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 M sampai
1981 M dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987 M. Karya ini berisi
pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungan dengan agama,
hubungan antara agama dengan perkembangan nasionalisme, tentang gagasan
mengenai gerakan kiri keagaman yang membahas gerakan-gerakan keagamaan
kontemporer, fundamentalisme Islam serta Kiri Islam dan Integritas Nasional. Hasan
Hanafi dalam analisisnya menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik
berkepanjangan di Mesir adalah tarik menarik antara ideologi Islam dan Barat serta
ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab munculnya berbagai
tragedi politik dan terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and
Revolution dan dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang
ditulisnya antara tahun 1972-1976 M ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit
pertama kali pada tahun 1977 M. Pada bagian pertama buku ini ia merekontruksi
metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen dan Yahudi.
Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama
dengan revolusi dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk
menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam. (Hasan Hanafi, Dialog Agama dan
Revolusi, 1994.)
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 M dan terbit
pertama kali tahun 1981 M, memuat deskripsi dan analisis pembaharuan terhadap
ilmi-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin dan filsafat.
Diskripsi dan analisis tersebut dimulai dengan pendekatan histories untuk melihat
perkembangannya, Hasan Hanafi berbicara tentang upaya rekontruksi atas ilmu-ilmu
tersebut untuk disesuaikan dengan realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai awal 1990-an,
dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masamasa
sebelumnya. Hasan Hanafi dalam periode ini, mulai menulis al-Turats wa al-Tajdid
yang terbit pertama kali tahun 1980 M. Buku ini merupakan landasan teoritis yang
memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis
al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah
“manifesto politik” yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara
singkat di atas. Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum
memberikan rincian dari program pembaharuannya, buku Min al-Aqidah ila al-
Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama sepuluh tahun dan terbit pertama kali pada
tahun 1988 M. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaharuan
yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena
itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hasan Hanafi yang
paling monumental. Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini
adalah gagasan rekontrusi ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan
metedologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat
kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas.
Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoritis,
elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekontruksi sebuah teologi atau ilmu kalam
yang antroprosentris, populis dan transformatif.
Pada tahun 1985-1987 M, Hasan Hanafi menulis banyak artikel yang ia
presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat,
Perancis, Belanda, Timur tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu
kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul religion, Ideology and
development yang terbit pada tahun 1993 M. Beberapa artikel lainnya juga tersusun
menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern Word (2 jilid). Selain berisi
kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran
Hasan Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial seperti ekonomi dan teknologi.
Pemikiran Hasan Hanafi pada karya-karyanya terakhir ini lebih tertuju pada upaya
untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara
dunia ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hasan Hanafi tidak lagi berbicara tentang
ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam
sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum Muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri
Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalismepragmatik Anwar
Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa
1970-an hingga sekarang.
C. Pemikiran Hasan Hanafi
1. Kiri Islam
Pada tahun 1981 di Mesir, Hassan Hanafi meluncurkan sebuah jurnal
berkata all Yasar al Islami: Kitab al Nahdhah al Islamiyah (Kiri Islam:
Beberapa Esai tentang kebangkitan Islam). Jurnal tersebut merupakan
kelanjutan dari al- Urwah al Wutsqa dan al Manar, dilihat dari keterkaitannya
dengan agenda Islam al Afghani, yaitu melawan kolonialisme dan
keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, penyantunan
kaum muslim dalam blok geografis manapun. Istilah kiri secara ilmiah
digunakan dalam ilmu politik yang berarti perlawanan dan kritisme,
menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Nama kiri islam dimunculkan
oleh Hasan Hanafi ketika melihat realitas umat Islam dalam kehidupan yang
terpilih antara penguasa dan yang dikuasai, pemimpin dan rakyat, dan antara
yang kaya dengan yang miskin. Sebenarnya kiri dan kanan itu tidak ada dalam
Islam sendiri, namun ada pada tatanan sosial, politik, ekonomi dan sejarah.
Hasan Hanafi dengan kiri Islam ingin mensucikan persepsi tentang kiri
bagi kalangan status-quo(baik politik, ekonomi, dan status sosial) adalah
sebuah kata yang memecah belah umat. Kiri adalah penghianatan,
pembangkanagan, penghasutan dan tidak senang pada kebaikan manusia.
Tuduhan-tuduhan tersebut menurut hasan hanafi adalah sisa-sisa penjajahan
kultur di negeri-negeri Islam ketika mereka mengacaukan istilah bahasa dan
pola pemikiran secara sengaja sehingga rakyat tidak akrab dengan kosa kata
demokrasi, kebebasan, perjuangan dan seterusnya. Dengan begitu penjajah
merasa aman dari segala macam gerakan kerakyatan yang menyeru kebebasan.
Beliau mengemukakan beberapa hal penting terkait kemunculan kiri Islam
yaitu pertama, Berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan
menjadikan Islam hanya sekedar ritus dan kepercayaan ukhrowi. Mereka
disibukkan oleh perspektif ketuhanan dan pencitraan yang statis terhadap
realitas, sedangan perspektif kemanusiaan dan pencitraan tentang sejarah
dilupakan. Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa
revolusi yang terakhir, ternyata didekte oleh kebudayaan barat, berprilaku
seperti peguasa kolonial dan hanya melayani kelas—kelas elit sementara
mayoritas rakyat ditempatkan di luar lapangan permainan dan hanya tampak
dalam kerja-kerja revolusi. Ketiga, Marxisme yang berpretensi mewujdukan
keadilan sosial dan menentang kolonialisme ternyata tidak dibarengi dengan
pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka.
Fokus kerangka berfikir Hasan Hanafi dalam menegakkan kiri Islam
adalah menentang 3 ancaman besar bagi Islam, yakni imperialisme, zionisme,
dan keterbelakangan umat. Yang dimaksud imperialisme disini adalah cara
petualangan ekonomi multikultural dan weternisasi kebudayaan. Dalam hal
budaya, imperialisme mematikan semaangat kreativitas bangsa-bangsa dan
pada saat ebrsamaan mencabunya dari akar sejarah mereka. Barat
menginginkan agar warisan bangsa-bangsa menjadi entitas historis belaka,
kemampuan kreativitasnya dibelengggu. Untuk itu, tugas kiri Islam adalah
terus menerus mengingatkan akan model kolonialisme baru, adanya rasisme
Barat yang tersembunyi, dan perang salib historis. Sementara zionisme yang
menjadi anacaman bukan hanya memiliki sasaran tanah tapi juga
menyebarkan pemikiran ke kalangan intelektual Islam-Arab seraya
menegetahui pemikiran mereka untuk tundak lalu menghancurkannya. Dan
termasuk hal yang bahaya adalah konsep-konsep yang datang dari luar seperti
kapitalisme yang dibangun atas perekonomian yang bebas, laba dan riba.
Kapitalisme ini disamping akan mendatangkan dampak penindasan juga dapat
dapat menumbuhkan nilai-nilai destruktif dan hedonisme utilitarian yang akan
berujung pada memusatkan otoritas pada tangan pemilik modal, yang
mengakibatkan yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Selanjutnya tugas kiri Islam adalah melakukan redistribusi kekayaan anatara
kaum muslimin dengan seadil-adilnya. Hasan hanafi menegaskan bahwa
keterbelakangan Islam merupakan hal yang tidak terjadi pada pembangunan
saj namun terjadi secara menyeluruh baik menyangkut struktur sosial atau
dalam pandangan dunia secara umum. Dari itu, tugas kiri Islam adalah
menguak misi kesejahteraan Islam dan menstransformasikan mayoritas
rakyatnya dari belenggu kuantitas menuju kualitas. (Jurnal Ulumuna,
Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme, 2005)
Tema sentral pemikiran pembaharuan Hasan Hanafi dapa
diklarifikasikan menjadi 3 hal yakni: Pertama, Revitalisasi khazanah Islam
klasik, dalam hal ini Hnafi membagi bagi khazanah Islam klasik menjadi
beberapa ilmu pengetahuan yaitu ilmu-ilmu rasional-tradisional(seperti: ilmu
usul fiqh, filsafat, sufisme), ilmu-ilmu rasional (seperti: matematika, fisika,
kedoketaran) dan ilmu-ilmu tradisional (seperti ilmu hadits, dan sirah nabi
Muhammad SAW). Dalam hal ini yang dimaksud revitalisasi khazanah Islam
klasik adalah unsur rasionalistik yang dapat mendorong paham kebebasan
manusia. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat, kiri Islam memiliki
keterkaitan dengan agenda al-Afghani yaitu melawan kolonialisme dan
keterbelakangan, yang menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, serta
berkeinginan mempersatukan umat muslim yang telah terpecah-pecah dalam
banyak blok. Tugas kiri Islam inilah mengembalikan kebudayaan Barat ke
batas ilmiah dan mengakhiri mitosnya yang telah mendunia. Berkiatan dengan
ini, hasan Hanafi mengusulkan “Oksidentalisme” sebuah kajian tentang
orientalisme, yakni penyadaran dan penengasan bahwa Barat termasuk sejarah
dan peradabannya. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat dari dua arah yakni
aspek perkembangan dan strukturnya. Sebab, biasanya perkembangan
melahirkan struktur tetapi Barat brkembang sebelum adanya struktur, sehingga
struktur dilahirkan oleh perkembangannya. Ketiga, Realitas dunia Islam,
pemikiran keagamaan selama ini hanya bertumpu pada model “pengalihan”
yang hanya memindahkan bunyi teks pada realitas, padahal metode teks
seperti itu membutuhkan pembuktian. Hasan Hanafi mengkritik metode
penafsiran tradisional yang bertumpu pada teks (nash). Karena itu, Ia
mengusulkan suatu metode tertentu agar realita Islam dapat berbicara pada
dirinya sendiri. Untuk menganalisis realitas tersebut, Hanafi menggunakan
metode fenomenologi dengan menggunakan pendekatan hermeneutika yang
telah menjadi bagaian penting dalam pemikirannya. (Jurnal Ulumuna,
Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme, 2005)
Hasan hanafi dengan kiri Islamnya ingin membuat formulasi dengan
tujuan revolusi (pembebasan) dari belenggu eksternal:kolonialisme,
imperialisme, dan kapitalisme. Dan juga belenggu internal: ketertindasan,
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Agama menjadi ilmu, aksi,
tauhid dan kesyahidan. Ia ingin membangun paradigma agama yang dekat
dengan bumi, sehingga dapat diaplikasikan dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
2. Turas dan Tajdid Dalam Pemikira Hasan Hanafi
Meskipun dinegaranya (Mesir) pemikiran kurang bisa diterima, bahkan
cenderung dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis.
Sebagaimana yang dihadapii oleh para intelektual Muslim yang senada dengan
Hasan Hanafi. Teta[i dengan keadaan yang seperti itu Hasan Hanafi Tetap
tegar menjalankan dan menuangkangagasan-gagasannya dalam buku. Hasan
Hanafi sangat sistematis dalam membahas dan mendiskusikan proyek besar
yang dibinanya. Dengan tidak ragu-ragu dia mengklaim proyek yang
dijalankan sen=bagai proyek peradaban (Masyru’ Nahdhawi) umat Islam.
Seperti pernah di elaborasikan dalam sebuah tulisannya, Maufiquna Al-
Hadlori ia membagi tiga sikap seorang (Arab Islam) modern :
1. Sikap terhadap masa lalu (Turats Qadim ), yaitu kepedulian diri
terhadap tradisi dan warisan lama.
2. Sikap terhadap tradisi Barat ( Turats Gharbi ),
3. Sikap terhadap realitas dan kondisi Muslim Kontemporer (Al-Waqi’).
Ketiga sikap tersebut dirancang oleh Hasan Hanafi dalam Mega proyek yang
Ia sebut dengan istilah Al-Turats wa At-tajdid. Proyek yang cukup ambisius
ini, terdiri dari tiga agenda besar, yang masing-masiing memiliki agenda
turunan yang bersifat eleboratif dan deviratif. Agenda besar adalah “sikap kita
terhadap tradisi lama”. Dalam agenda pertama ini, dibahas persoalan-
persoalan rekonstruksi teologis untuk transformasi sosial. Untuk penjelasan
agenda ini, Hasan Hanafi menulis Min al-Qaid Ila al-tsurab (sikap kita
terhadap warisan), yang akan disusul kemudian dengan 6 jilid lainnya yang
berisi penjelasan terhadap agenda pertama. Tanpa menunggu diselesaikannya
penjelasan teoritis dari agenda pertama, Hasan Hanafi memutuskan untuk
menulis penjelasan awal mengenai agenda ke dua, “sikap kita terhadap tradisi
Barat”. Untuk keperluan itu Hasan Hanafi menulis muqaddimah fi ‘ilm al-
istighrab, yang kemudian disempurnakan dengan kitab Madza Ya’ni ‘ilm al-
Istighrab. Setelah menyelesaikan agenda pertama dan agenda kedua, ia
melanjutkan menjelaskan secara teoritis penjelasan agenda ke tiga yaitu,”sikap
kita terhadap realitas”. Agenda ini Hasan Hanafi mengembangkan teori dan
paradigma interpretasi.
Hasan Hanafi meletakkan landasan teoritis pada lingkungan peradaban, bahwa
manusia tidak lepas dari tiga akar pijakan berfikir kemarin (al-madli) yang
dipersonifikasikan dengan Turats Qadim (hasanah klasik), esok (mustaqbal)
yang dipersonifikasikan dengan Turats Gharbi (hasanah Barat) dan sekarang
(al-Hali) yang dipersonifikasikan dengan al-waqi’ (realitas kontemporer). Tiga
akar pijakan ini oleh Hasan Hanafi dijadikan sebagai Tri Frontasi proyek al-
Turats at-Tajdid , dan kita menurut Hasan Hanafi berada di tengah lingkaran
piramida peradaban.
Dalam turats qadim, kita meletakkan khasanah klasik sebagai pijakan
berfikir yang mempunyai bentengan sejarah, peradaban yang sangat luas dan
dalam, serta telah mengakar jauh ke bawah. Dalam turats gharbi kita
meletakkan khasanah Barat sebagai tamu peradaban yang mempunyai
bentengan sejarah selama sekitar dua abad (masa saat Islam mulai mengakui
adanya signifikasi budaya Barat, sehingga ia harus datang dengan berpakaian
sebagai seorang murid). Sedangkan dalam turats al-waqi` kita meletakkan
realitas kontemporer sebagai ladang untuk bertanam, bercangkok dan
berinteraksi antara khasanah klasik dengan khasanah Barat. Korelasi
ketiganya (khasanah klasik, khasanah Barat dan realitas kontemporer), lanjut
Hasan Hanafi sangat kuat sehingga antara yang satu dengan yang lainnya sulit
untuk bisa diceraikan. Disinilah proses terjadinya akulturasi (al-Tatsaqufa
Itahadlur) tidak mungkin terelakkan. Dua agenda pertama berdominasi
peradaban, sedangkan agenda terakhir adalah realitas. Sehingga ketiganya
dapat digambarkan sebagai sisi-sisi segitiga yang mengurung Ego di tengah.
Sisi pertama dalam tradisi lama (khasanah klasik, masa lalu), sisi kedua adalah
tradisi Barat (masa depan), dan sisi ketiga adalah realitas kekinian (masa kini).
Sebagaimana dijelaskan Ridwan Hambali, turats (tradisi) menurut Hasan
Hanafi bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-
orang terdahulu di perpustakaan atau musium, baik dalam agama, sastra, seni,
budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup dan masih terpendam
dalam tanggung jawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai dasar
argumentative dan sebagai bentuk The world view (pandangan dunia) serta
sebagai pembimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang. Karena itu,
setiap masa mempunyai turats. Semestinya seperti itulah turats di
interpretasikan. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Turats kita telah banyak
dicapai oleh hegemoni feodalisme yang mencekam, akibat ulah tangan-tangan
penguasa (kanan) yang menindas. Sementara “kalangan awam” (kiri), dan
masyarakat selalu menjadi kaum lemah yang tertindas. Hasan Hanafi
menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kelompok
minoritas kekuasaan dan praktek keagamaan seperti itu hanyalah “kedok”
yang menyembunyikan sikap feodalisme dan kapitalisme kekuasaan.
Berangkat dari realitas di atas, Hasan Hanafi memandang perlunya
langkah-langkah eksploratif terhadap turats yang berorientasi pada
kepentingan umat Islam yang tertindas. Turats harus direvitalisasi dan bukan
hanya sekedar dipajang, dikutip. Turats hendaknya mampu menjadi basis dan
titik tolak bagi kekuatan revolusioner umat Islam. Rekonstruksi atas tradisi
lama merupakan gerbang umat memasuki tantangan zaman, sekaligus dapat
menghentikan westernisasi yang menjerat golongan elit. Mereka tidak
mengenal tradisi lama kecuali yang bertentangan dengan kepentingan umat
dan telah dikondisikan oleh kelompok penguasa, karena mereka tidak
menemukan penyelesaian kecuali dalam tradisi Barat. Penyikapan Barat dapat
mambantu para westernis bersikap kritis pendahulu-pendahulu Yunani hingga
orang-orang Barat sekarang, selama ini tidak pernah terjadi keterputusasaan
antara kita dengan the other, kecuali pada gerakan salaf. Sampai sekarang pun
belum pernah ada gerakan kritis terhadap Barat kecuali dalam batasbatas yang
sempit. Itupun dilakukan dengan metode retorik atau dialektik, bukan metode
kritik dan logika pembuktian. Karena pengkonsentrasian pada sumber Barat
inilah yang kemudian memunculkan kebudayaan sekuler, gerakan reformasi
dan modernisasi, pendidikan dan sistem modern kita, demi membela
kepentingan atau keyakinan penguasa.
Telah disebutkan di atas, untuk penjelasan agenda kedua (sikap kita
terhadap tradisi Barat), Hasan Hanafi menulis Madza ya`ni`ilmal-Istighrab,
dalam tulisan ini mengandung penjelasan teoritis yang terdiri atas empat tema
dalam empat bab. Bab pertama, adalah tentang pengertian oksidentalisme
yang membicarakan tiga agenda proyek “tradisi dan pembaharuan”.
Penjelasan agenda kedua, pendefinisian oksidentalisme yang berhadapan
dengan orientalisme, reaksi atas erosentrisme dan perlunya melakukan
perubahan dari tranferensi ke inovasi, hasil yang diharapkan dari
oksidentalisme, pembahasan akar sejarah dan penggambaran status quo gejala
oksidentalisme baik menurut orang yang semasa dengan Hasan Hanafi atau
dalam karya-karyanya terdahulu.
Bab kedua adalah tentang pembentukan kesadaran Eropa. Bab ketiga
tentang stuktur kesadaran Eropa dan keempat tentang nasib kasadaran Eropa.
Proyek “tradisi dan pembaharuan” pada saatnya peralihan abad. Jika
penjelasan toritis pertama bagi agenda pertama “sikap kita terhadap tradisi
lama” diterbitkan pada akhir Abad 14 H dan awal abad 15 H, maka penjelasan
kedua untuk agenda kedua, yaitu “sikap kita terhadap tradisi Barat”,
diterbitkan pada akhir abad ke-20 atau menjelang munculnya abad baru yaitu
abad ke-21 Masehi, yang banyak diperbincangkan terutama di Jepang yang
menjadi perpanjangantangan Barat di Timur sekaligus pembendung Timur di
Barat. Jika penjelasan teoritis pertama merupakan pernyataan bagi
kebangkitan baru kaitannya dengan Ego, maka penjelasan teoritis kedua
adalah pernyataan berakhirnya kebangkitan lama bagi the other yang lahir
berkembang lalu mencapai kematangannya dan kini mulai meredup.
Agenda terakhir dalam proyek”tradisi dan pembaharuan” adalah “sikap kita
terhadap realitas”. Agenda yang juga disebut dengan teori interprestasi ini
meletakkan Ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi langsung
terhadap realitas yang lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari elemen
realitas tersebut, Baik teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut, baik
teks agama yang dikondisikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral
tradisional yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah.
BAB III
PENUTUP
Hasan al-hanafi dilahirkan pada tanggal 13 februari 1935 di Kairo ,Mesir di
dekat Benteng Salahuddin, daerah Perkampungan Al-Azhar. Hassan Hanafi
merupakan intelektual muslim dengan tema-tema sekitar kebangkitan Islam. Dari
sekian banyak tema-tema yang beliau tulis diantaranya adalah al-Yasar al-Islam
(Kiri Islam), gagasan yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi ini dianggap sebagai
revolusi berfikir. Hasan hanafi dengan kiri Islamnya ingin membuat formulasi
dengan tujuan revolusi (pembebasan) dari belenggu eksternal:kolonialisme,
imperialisme, dan kapitalisme. Dan juga belenggu internal: ketertindasan,
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Agama menjadi ilmu, aksi, tauhid
dan kesyahidan. Ia ingin membangun paradigma agama yang dekat dengan bumi,
sehingga dapat diaplikasikan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kemudian hasan Hanafi berbicara tentang Turas dan Tajdid, Hasan Hanafi sangat
sistematis dalam membahas dan mendiskusikan proyek besar yang dibinanya.
Dengan tidak ragu-ragu dia mengklaim proyek yang dijalankan sebagai proyek
peradaban (Masyru’ Nahdhawi) umat Islam. Seperti pernah di elaborasikan dalam
sebuah tulisannya, Maufiquna Al-Hadlori ia membagi tiga sikap seorang (Arab
Islam) modern yakni Sikap terhadap masa lalu (Turats Qadim ), yaitu kepedulian
diri terhadap tradisi dan warisan lama, Sikap terhadap tradisi Barat ( Turats
Gharbi ), dan Sikap terhadap realitas dan kondisi Muslim Kontemporer (Al-
Waqi’).
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, 1993. Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya, LKIS:
Yogyakarta
Anwar, Rosihon. 2003. Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pusaka Setia
Hasan Hanafi, 1994. Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Penterjemah
Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus: Jakarta
Rozak, A., & Anwar, R. 2014. Ilmu Kalam. (M. Drs. Mamann Abd. Djaliel,
Ed.). CV Pustaka Setia: Bandung
Suharti, 2005. Menjinakkan Barat dengan Oksidentalisme: Gagasan Kiri Islam
Hasan Hanafi, Jurnal Ulumuna vol.IX edisi 16 no.2 Juli Desember diakses di
https://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/dpwnload/79/68/
http://digilip.uinsby.ac.id/10951/6/bab3.pdf

Anda mungkin juga menyukai