Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMIKIRAN ISLAM POST MODERN


HASAN HANAFI SAMPAI ABID AL JABIRI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen Pengampu:
Muhammad Junaidi, S. Pd. I, M. Pd. I

Disusun Oleh:
Kelompok 14
1. Afifin Dwi Amaliya (T20194079)
2. Urwatul Wusqo (T20194084)
3. Fidausi Qomariyatun Fitri (T20194087)
Kelas: D3

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
APRIL 2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pemikiran Islam Post Modern Hasan Hanafi sampai Abid Al
Jabiri” ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang telah membimbing kami dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang yakni agama Islam.
Makalah ini memuat pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar
pustaka. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Umum pada semester II Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah IAIN
Jember.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa
pihak yang berperan dalam penyusunan makalah ini. Dengan menggunakan
makalah ini semoga kegiatan belajar dalam memahami materi ini dapat lebih
menambah sumber-sumber pengetahuan. Kami sadar dalam penyusunan makalah
ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, untuk itu kritik dan
saran tentu kami butuhkan. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak atau kutipan-
kutipan yang kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amiiiin.

Jember, 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER .................................... ................................................................... 1


KATA PENGANTAR............... ................................................................... 2
DAFTAR ISI ............................ ................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .......... ................................................................... 4

A. Latar Belakang .............. ................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ......... ................................................................... 4
C. Tujuan ............................ ................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ......... ................................................................... 5

A. Biografi Hasan Hanafi .......... ................................................................... 5


B. Karya-karya Hasan Hanafi ... ................................................................... 6
C. Pemikiran Hasan Hanafi ....... ................................................................... 8
D. Biografi Abid Al Jabiri ......... ................................................................. 11
E. Karya-karya Abid Al Jabiri .. ................................................................. 11
F. Epistemologi Abid Al Jabiri . ................................................................. 13

BAB III PENUTUP ................. ................................................................. 16

A. Kesimpulan .................... ................................................................. 16


B. Saran .............................. ................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................ ................................................................. 18

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya Islam banyak sekali mengalami perubahan-
perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi. Karena adanya ketidak
relevannya antara masa klasik dan masa berikutnya. Sehingga terjadi suatu
pembaharuan pemikiran yang terjadi, seperti tokoh pembaharuan dalam Islam
yaitu Hasan Hanafi dan Abid Al Jabiri.
Berkaitan dengan hal tersebut yang perlu dikaji bila membicarakan
mengenai pembaharuan pemikiran seorang tokoh maka yang perlu di
perhatikan adalah kondisi lingkungan dimana dia dibesarkan. Karena kondisi
lingkungan itulah yang pada umumnya melatarbelakangi munculnya gagasan-
gagasannya itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Hasan Hanafi?
2. Apa saja karya-karya Hasan Hanafi?
3. Bagaimana pemikiran Hasan Hanafi?
4. Bagaimana biografi Abid Al Jabari?
5. Apa saja karya-karya Abid Al Jabari?
6. Bagaimana epistemologi Abid Al Jabari?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi Hasan Hanafi.
2. Untuk mengetahui karya-karya Hasan Hanafi.
3. Untuk mengetahui pemikiran Hasan Hanafi.
4. Untuk mengetahui biografi Abid Al Jabari.
5. Untuk mengetahui karya-karya Abid Al Jabari.
6. Untuk mengetahui epistemologi Abid Al Jabari.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Hasan Hanafi
Hasan hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Ia dilahirkan dari keluarga
musisi.1
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di
bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran
meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi
sukarelawan perang melawan Israel. Namun ia ditolak oleh Pemuda Muslimin
karena dianggap usianya masih terlalu muda. Namun hal tersebut tidak
menyurutkan semangatnya, sehingga pada umur 16 tahun ia ikut perang gerilya
melawan Inggris di terusan Suez. Di samping itu ia juga dianggap bukan
berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari
bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.2
Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan
Pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studi di Madrasah
Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo. Sejak sekolah disinilah, Hanafi mulai
tertarik dengan kegiatan-kegiatan intelektual dengan mempelajari pemikiran
sayyid Qutb tentang keadilan dan Islam, dan dengan teman-temannya ia
mengikuti diskusi Ikhwan Al-Muslimin. Dengan kegiatan tersebut ia terdorong
untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial, filsafat
teori-teori sosial. Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di
Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia
merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya,

1
Rozak, A., & Anwar, R, , Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, (M. Drs. Mamann Abd. Djaliel, Ed.)
Bandung, 2014, h.274
2
Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009, h.204-
205

5
terjadi pertentangan keras antara kelompok diskusinya ikhwanul muslimin
dengan gerakan revolusi.3
Kemudian ia melanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan
konsentrasi kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern pada tahun 1956
sampai 1966. Selama di Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia
juga mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari pemikiran fenomenologi
Husserl (1859-1938) yang mengakui kebenaran empiris, kebenaran teoritis
(akal) dan kebenaran nilai. Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan
dan sejarah filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran Paul
Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis Massignon (1883-1962) dalam bidang
pembaruan. Perjalanan Ilmiah Hanafi selama di Perancis berlangsung selama
kurang lebih 10 tahun yang membuatnya memiliki kesan abadi pada
perkembangan intelektualnya yang membuatnya berucap “ituah barat yang aku
pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci. Namun, walaupun
dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak barat, tetapi tidak bisa
dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme barat, demokratisasi, rasionalisme, dan
pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran hanafi.4
B. Karya-karya Hasan Hanafi
Karya-karya hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu:
Periode pertama berlangsung pada tahun 60-an; periode kedua pada tahun 70-
an, dan periode ketiga dari tahun 80-an sampai dengan 90-an.
Pada awal 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham
dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik
yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional
yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan
Israel pada tahun 1967. Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran
Islam adalah ketika ia berada di Prancis ia mengadakan penelitian tentang,

3
Mubasyaroh, Model Penafsiran Hasan Hanafi. Dalam ADDIN, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011,
h. 275
4
M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga Oksidentalisme”
dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung:
Mizan, 2001), hlm. 218

6
metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang
fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas
kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar
doktor di Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang
Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di
Mesir pada tahun 1961.
Pada awal 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk
mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun
1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode
1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib,
Al-Adab, Al-Fikr Al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Kemudian pada tahun
1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan
judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Kemudian, pada tahun 1977,
ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini
mendiskusikan pemikiran para sarjana barat untuk melihat bagaimana mereka
memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.
Sementara itu ada juga bukunya yang berjudul Dirasat Islamiyyah, yang ditulis
sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981. Buku tersebut memuat deskripsi dan
analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih,
ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk
melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas
ilmu- ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.5
Periode selanjutnya, yaitu awal 1980-an sampai dengan awal 1990-an,
dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-
masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-
Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan
teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.
Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang
lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis. Kemudian

5
E. Kusnadiningrat, “Hasan Hanafi”, Islam Lib, diakses dari http://islamlib.com/tokoh/hassan-
hanafi/,pada tanggal 22 April 2020 pukul 15:18

7
ada juga buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), ia tulis selama hampir
sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian
terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat
dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika
buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.6
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak
artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara,
seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk
Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang
berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993.
Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in
the Modern World (2 jilid).

C. Pemikiran Hasan Hanafi


1. Kiri islam
Makna kata “kiri” disini adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu
politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak anatara
realitas dan idealitas.
Isi pemikiran kiri islam yaitu:
1) Revitalisasi khazanah islam klasik. Hasan hanafi menekankan bahwa
perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah islam. Rasionalisme
adalah keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta
untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia islam.
2) Perlunya menantang peradaban Barat. Ia mengingatkan tentang
bahayanya imperalisme kultural barat yang cenderung membasmi
kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya.
3) Analisis terhadap realitas dunia Islam. Ia mengkritik metode tradisional
yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu
agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada dirinya sendiri.
2. Rekonstruksi teologi

6
Esposito, John L. (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001,
h. 148

8
Menurut Hassan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu
cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan
sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu
perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara
eksistensia, kognitif, maupun kesejahteraan.
Dalam karya besarnya Al-turath wa Al-tajdid, ia ingin membangun
“sikap kita terhadap tradisi lama”, ia merekonstruksi bangunan teologis
dalam tradisi klasik sebagai alat untuk transformasi sosial. Hassan Hanafi
menegaskan, rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi terhadap
hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk
mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan
menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah.
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi
sekurang kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:

1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah


pertentangan global antara berbagai ideologi.
2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya,
melainkan terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata
mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu
kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan
kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara Muslim.
3) Kepentingan teologi yang bersifat praktis, yaitu secara nyata diwujudkan
dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. 7
3. Oksidentalisme

Menurut Nurcholis Madjid oksidentalisme adalah “pengetahuan


akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat Secara
umumnya oksidentalis adalah pengkajian orang-orang timur tentang orang-
orang barat dari bahasa, kebudayaan dll yang berhubungan dengan Barat.
7
Syarifuddin. (2012). Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, vol 14.

9
Beberapa pemikiran hasan hanafi tentang Oksidentalisme. Hasan
hanafi menginginkan seorang oksidentalisme mempunyai tugas untuk
merumuskan tugas-tugas sebagi pengkaji tradisi barat, seperti berikut:

1) Melenyapkan superrioritas Barat dengan menjadikannya sebagai obyek


kajian dan menumbangkan kaum minoritas dengan menjadikannya
sebagai subyek pengkaji. Hal ini bisa di tandai dengan hilangnya
dikotomi antara tuan dengan hamba.
2) Menghapus mitos kebudayaan Barat atau Kosmopolit sebagai
kebudayaan yang harus di adopsi oleh seluruh bangsa. Selama ini
kebanyakan orang menganggap bahwa kebudayaan terbaik adalah
kebudayaan barat. Untuk menghapus mitos ini hanafi menawarkan solusi
yaitu dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan akan mengembalikan
Barat pada batas-batas alamiyahnya.
3) Mengakhiri kontrol eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak
baru bagi sejarah manusia. Hal ini dimulai dengan masa pembebasan
yang bertepatan dengan krisis abad 20 di Eropa. Penariakn mundur Eropa
ke batas geografisnya. Melemahnya kebudayaan Barat dan pengaruhnya
terhadap bangsa lain.
4) Meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme sejarah Eropa
untuk kemudian dilakukan penulisan ulang sejarah Dunia dengan
kacamata yang lebih obyektif dan netral serta lebih bersifat adil terhadap
andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
4. Hermeneutika

Metodologi Penulisan Hermeneutika Hasan Hanafi, yaitu:

1) Wahyu di letakkan dalam tanda kurung ”epoche” tidak afirmasi.


2) Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya
sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya.

10
3) Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah.
Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan
oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.
4) Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran
yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir.
5) Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik
teoritis
D. Biografi Abid Al Jabiri

Abid Al Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas


Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Dilahirkan di Figuig,
Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau pertama kali masuk sekolah agama,
kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan
oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah
lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan Casablanca. Seiring
dengan kemerdekaan Maroko, beliau melanjutkan pendidikan sekolah
tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu
Pengetahuan (science section). Pada tahun 1959 Al-Jabiri memulai studi
filsafat di Universitas Damaskus, Syria, tetapi satu tahun kemudian beliau
masuk di Universitas Rabat yang baru didirikan. Pada tahun 1967 beliau
menyelesaikan ujian Negara dengan tesisnya yang berjudul, “The Philosophy
of History of Ibn Khaldun” , (filsafat al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah
bimbingan M. Aziz Lahbabi). Dan menyelesaikan program doktornya pada
almamater yang sama pada tahun 1970, dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn
Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi at-
Tarikh al-Islami”.8

E. Karya-karya Abid Al Jabiri

Proyek al-Jabiri yang sangat monumental adalah Naqd al-‘Aql al-


‘Arabi (kritik nalar arab). Mungkin menjadi pertanyaan dalam bentuk kaum

8
Muhammad ‘Abid Al -Jabiri, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa,
Burhan, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), dalam pengantar, hlm. vi -viii.

11
muslimin mengapa buku tersebut “Nalar Arab” bukan “Nalar Islam”. Al-Jabiri
tidak menjelaskan posisinya mengapa memakai sebutan “Nalar Arab”, bukan
“Nalar Islam”, selain alasan-alasan bahwa literature-literatur yang digelutinya
adalah literatur klasik berbahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis,
cultural, dan social-politik masyarakat Arab.9
Dalam buku tersebut al-Jabiri menjelaskan, bahwa apa yang dikatakan
oleh teks dan apa yang tidak dikatakan (not-said), dalam pandangannya,
merefleksikan ketegangan antara beberapa jenis nalar yang muncul saat itu.
Dan ini penting bagi al-Jabiri yang ingin menjadikan teks tersebut sebagai titik
tolak bagi kemunculan apa yang disebutnya sebagai nalar bayani, irfani dan
burhani. Kritik nalar Arab ini terbagi atas dua seri, seri pertama yang berjudul
“Takwin al-‘Aql al-‘Arabi”, Abid al-Jabiri mengkonsentrasikan analisisnya
pada proses-proses histories, baik epistemologis, maupun ideologis, yang
memungkinkan terbentuknya nalar-nalar bayani, ‘irfani, dan burhani, termasuk
interaksi diantara ketiga nalar tersebut beserta kritis-kritis yang menyertainya.
Sementara pada “Bunyah al-‘Alq al-Arabi”, seri yang kedua, ia berupaya
menyingkap struktur internal masing-masing ketiga nalar ini, lengkap dengan
segenap basis epistemologinya. Kelebihan seri kedua ini terletak pada konklusi
yang diberikan al-Jabiri pada bagian akhir, yang diantaranya menyatakan
bahwa nalar (dalam pengertian yang dikemukakan diatas) yang kita terima saat
ini yang kita pakai untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi pengetahuan,
adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari masa
tadwin, sehingga dari sini ia menegaskan perlunya membangun satu babak
tadwin baru agar kita bias melampaui konservatisme jenis nalar tersebut yang
tidak berubah sejak dua belas abad lalu hingga kini. Tentu banyak argument
yang dikerahkan oleh al-Jabiri untuk menunjukkan asal-usul dan faktor-faktor
apa saja yang mendorong konservatisme tersebut. Namun demikian dalam
tulisan ini tidak mengupas secara mendetail paparan Abid Al-Jabiri tentang
seluk-beluk ketiga epistemologi tersebut.

9
Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradis ionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,
2000), kata pengantar, hlm. xxviii .

12
F. Epistemologi Abid Al Jabiri
1. Epistemologi Bayani
1) Pengertian Bayani

Secara etimologi, Bayani berarti penjelasan (eksplanasi). Al-


Jabiri mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan
terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al
idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.
Sementara itu, secara terminology bayani mempunyai dua arti
yang pertama sebagai aturan penafsiran wacana, dan yang kedua sebagai
syarat-syarat memproduksi wacana.10

2) Metode Bayani

Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani


menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan
metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.

2. Epistemologi Irfani
1) Pengertian Irfani

Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan


makrifat berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung
lewat pengalaman sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas (aql). Karena itu,
secara terminologis, irfani bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada
hambanya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.11

10
Muhammad Abid al -Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,
2000), hlm. 60
11
Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali,
1987), hlm. 68

13
2) Metode Irfani

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani,


tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan.
Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan
Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk
dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh
melalui tiga tahapan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani,
mulai dari bawah menuju puncak (1) Taubat, (2) Wara’, menjauhkan
diri dari segala sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak
mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir, mengosongkan seluruh
fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali
Tuhan swt, (5) Sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan
rela. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukannya. (7)
Ridha, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa
hanya gembira dan sukacita.
Tahap Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat
tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas
dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun,
realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan
sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga
objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu

14
sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi
disebut “ilmu huduri”.
Tahap Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan
konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga
tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa
diungkapkan.
3. Epistemologi Burhani
1) Pengertian Burhani

Dalam bahasa Arab al-burhan berarti argumen yang jelas. Bahasa


latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-
washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkam). Secara
umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.

2) Metode Burhani

Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan


aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan
silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar
belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara
alasan dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti
dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau
kepastian lain.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hasan hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Ia dilahirkan dari keluarga
musisi. Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di
bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran
meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi
sukarelawan perang melawan Israel.
2. Karya-karya hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu:
Periode pertama berlangsung pada tahun 60-an; periode kedua pada tahun
70-an, dan periode ketiga dari tahun 80-an sampai dengan 90-an. Pada awal
1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang
berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga
dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme. Pada awal 1970-an, Hanafi juga
memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat
Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-
tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak
menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr
Al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Periode selanjutnya, yaitu awal 1980-an
sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang
relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini,
Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun
1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide
pembaharuan dan langkah- langkahnya.
3. Pemikiran Hasan Hanafi ada 4 yaitu:
1) Kiri islam
2) Rekonstruksi teologi
3) Oksidentalisme
4) Hermeneutika

16
4. Abid Al Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra,
Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Dilahirkan di Figuig, Maroko
Tenggara, tahun 1936. Beliau pertama kali masuk sekolah agama, kemudian
sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan oleh
gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah
lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan Casablanca. Seiring
dengan kemerdekaan Maroko, beliau melanjutkan pendidikan sekolah
tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu
Pengetahuan (science section).
5. Proyek al-Jabiri yang sangat monumental adalah Naqd al-‘Aql al-
‘Arabi (kritik nalar arab). Mungkin menjadi pertanyaan dalam bentuk kaum
muslimin mengapa buku tersebut “Nalar Arab” bukan “Nalar Islam”. Al-
Jabiri tidak menjelaskan posisinya mengapa memakai sebutan “Nalar Arab”,
bukan “Nalar Islam”, selain alasan-alasan bahwa literature-literatur yang
digelutinya adalah literatur klasik berbahasa Arab dan lahir dalam
lingkungan geografis, cultural, dan social-politik masyarakat Arab.
6. Epistemologi Abid Al Jabiri ada 3 yaitu:
1) Epistemologi Bayani
2) Epistemologi Irfani
3) Epistemologi Burhani
B. Saran
Setelah menerima dan memahami materi yang telah disajikan,
diharapkan para pembaca dapat mengkaji lebih dalam dengan mencari sumber
dan referensi yang lebih banyak untuk mendapatkan kebenaran yang valid.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rozak, A., & Anwar, R, , Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, (M. Drs.
Mamann Abd. Djaliel, Ed.) Bandung, 2014, h.274

Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam At-Tahrir, Vol. 9,


No. 2 Juli 2009, h.204-205
Mubasyaroh, Model Penafsiran Hasan Hanafi. Dalam ADDIN, Vol. 3,
No. 2, Juli-Desember 2011, h. 275
M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats
hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik
Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 218
E. Kusnadiningrat, “Hasan Hanafi”, Islam Lib, diakses
dari http://islamlib.com/tokoh/hassan-hanafi/,pada tanggal 22 April 2020 pukul
15:18
Esposito, John L. (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam
Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 148

Syarifuddin. (2012). Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, vol


14.
Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat
Islam, alih bahasa, Burhan, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), dalam
pengantar, hlm. vi-viii.

Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad


Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), kata pengantar, hlm. xxviii.
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 60
Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir
Budiman (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 68

18

Anda mungkin juga menyukai