Anda di halaman 1dari 11

HASSAN HANAFÎ

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu
Pada Mata Kuliah Pemikiran Modern dalam Islam

Oleh:
Citra Eka Pratiwi
NIM. 11160331000004

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
HASSAN HANAFÎ
(PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR)
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2018

A. Pengantar
Hassan Hanafî termasuk pemikir Islam kontemporer yang berbobot intelektualnya
merambah dunia baru Islam pasca-modernisme. Selaku filosof dan pemikir Islam Hassan
Hanafî menanamkan model baru dalam usaha memahami khazanah Islam Klasik.
Pemikirannya tergolong multi-lintas, dan ini merupakan ciri khas gagasannya. Begitu
juga dari aspek pembelaan atas pemikiran Islam yang dianggapnya terpinggirkan. Corak
pemikiran Hassan Hanafî dianggap baru dalam wacana kontemporer. Hassan Hanafî
sudah menggagasnya sudah cukup lama dalam karyanya yang berjudul Islam Kiri atau
Kiri Islam dalam terjemahan Indonesia yang diterbitkan pertama kali melalui jurnal Islam
pada tahun 1981.1

B. Biografi Hassan Hanafî


Hassan Hanafî berasal dari keturunan Berber dan Badui di Mesir. Ia lahir pada
tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir.2 Pada usia 5 tahun, beliau belajar al-Qur’an
dengan seorang ulama bernama Syaikh Sayyid. Pendidikan dasarnya di Madrasah
Sulaiman Gawiys. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru yang bernama
al-Mu’alimin. Ketika menginjak kelas 5, Ia pindah ke Madrasah al-Silahdar. Kemudian
beliau melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha. Pada masa
tsamawiyah Ia aktif mengikuti diskusi-diskusi Ikhwan al-Muslimin, sehingga beliau
paham dan mengetahui pemikiran-pemikiran Ikhwan al-Muslimin.
Pada usianya yang ke-13 Ia sudah memberanikan diri untuk menjadi volunteer
perang namun tidak diperkenankan dengan alasan usia beliau yang terlalu dini untuk
menjadi volunteer perang. Pada masa itu adalah masa perang dunia ke-2 yaitu ketika
dunia barat menjajah dunia timur dan pada saat itu Mesir dijajah oleh Inggris.3
Pada masa SMU Ia mengikuti orientasi pembekalan Ikhwan al-Muslimin dimana
disampaikan langsung oleh tokoh fenomenal Ikhwan al-Muslimin yaitu Hassan al-Banna

1
Drs. Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1998), h. 269.
2
Ibid, h. 268.
3
E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi (Jakarta: Logos,
1999), h. 49.

2
yang juga diidolakannya.4 Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Kairo
pada jurusan Filsafat. Pada saat itu lah Ia resmi menjadi anggota Ikhwan al-Muslimin dan
aktif di dalamnya.
Hassan Hanafî menyelesaikan pendidikan master dan doktornya di Universitas
Sorbono, Prancis pada usia 31 tahun. Pertama kali di Prancis Ia mendalami dua bidang
yang pertama filsafat dan kedua musik, namun karena kelelahan beliau memutuskan
fokus menekuni bidang filsafat. Di Prancis lah Ia mendalami filsafat dan
mengembangkan intelektualitasnya.

C. 5 Perjalanan Hidup Hassan Hanafî: Latar Belakang Pemikiran Hassan Hanafi


Hassan Hanafî sejak masa kecil telah terbiasa hidup di tengah gejolak konflik dan
peperangan. Pada masa kecil, Hassan Hanafî sempat kagum pada pilot-pilot Jerman yang
dengan gagah berani melakukan peperangan dengan Inggris. Ia pun sempat terpukul saat
Jerman waktu itu kalah pada sekutu. Sementara dia sangat mengakumi kekuatan tentara
Jerman.18 Sebagai anak kecil yang hidup di tengah gejolak perang, tentu hal ini sangat
berpengaruh terhadap kecintaannya pada tanah air. Awal mula kesadaran itu muncul
ketika terjadi Perang Palestina pada tahun 1948. Dalam tulisan sebelumnya, disebutkan
bahwa Hassan Hanafî sempat hendak bergabung dengan Asosiasi Pemuda Muslim untuk
menjadi sukarelawan perang. Tetapi ia tidak diterima dan malah disuruh mendaftar ke
Batalion Ahmad Husein.

1. Kesadaran Nasionalis
Peristiwa ini membuka kesadaran Hassan Hanafî tentang ketidakberastuan umat
Islam. Karena dalam pandangannya, masalah yang dihadapi sama yakni berjuang untuk
Palestina. Sampai ia mempertanyakan apakah sebenarnya jihad tersebut hanya untuk
kepentingan pihak tertentu. Hassan Hanafî muda juga sangat gemar menonton film-film
dokumenter tentang tentara-tentara Mesir yang berperang di Palestina, juga tentang
sinema-sinema heroisme kesyahidan. Lantunan lagu-lagu pembebasan Palestina begitu
menggugah kesadaran jiwa Hassan Hanafî. Kepeduliannya kepada kemanusiaan dan
kemerdekaan telah mengemuka sejak kecil.5
Kesadaran nasionalisme Hassan Hanafî bertambah besar saat berkecamuk
pertempuran Sukarelawan di Terusan Suez. Ia ikut bergabung dengan kelompok
ekspedisi. Para sukarelawan, baik dari Wafdian ataupun Ikwan al-Muslimin berlatih
menggunakan senjata diakademi Teknik Kemeliteran di Abbasea. Dengan bangga dan
penuh keberanian, Hassan Hanafî mengenakan baju militer siap bertempur. Usianya
waktu itu baru 16 tahun, namun semangat juangnya tak perlu diragukan. Pengalaman-
pengalaman ini memberi makna tesendiri bagi Hassan Hanafî. Apalagi saat itu ia

4
Hassan Hanafi, Aku bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha
Wijayati (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 2.
5
Ibid, h. 9.

3
menyaksikan secara langsung peti-peti mati pahlawan Mesir dihadapannya. Kesaksian ini
semakin menggelorakan semangat Hassan Hanafî dalam melakukan upaya perjuangan.
Yang pada masa tuanya memberikan inspirasi besar dalam melakukan rekonstruksi
teologi untuk mengarahkan keyakinan pada Tuhan terhadap upaya kebaikan hidup
bersama kemanusiaan.6

2. Kesadaran Keberagamaan
Awal kesadaran keislaman filosofis bermula saat Hassan Hanafî berada di bangku
kuliah. Hassan Hanafî terus mengalami pergolakan pemikiran filsafat Islam. Mulanya ia
tidak suka dengan filsafat Islam dan ilmu kalam, karena baginya dianggap terlalu teoritis
dan tidak menyentuh persoalan umat.7 Tetapi perjumpaannya dengan pemikiran
Muhammad Iqbal pada saat berada ditingkat tiga, membuat Hassan Hanafî tertarik
mendalami pemikirannya. Karena Iqbal bagi Hassan Hanafî dianggap mampu
mendialogkan antara masa lalu dan masa sekarang. Pemikiran Iqbal tentang kehidupan,
penciptaan, kreasi, kekuatan, jihad, identitas diri, ketersesatan, dan umat menjadi sensasi
luar biasa. Konsep Iqbal tentang umat Islam berbeda dengan teori Akal Sepuluh, zat
(esensi), sifat (atribut), serta maqam dan hal (tingkatan dan laku tertentu dalam laku
kesufiannya) dalam filsafat Ibu Sina.8
Pergolakan besar pemikiran Hassan Hanafî terjadi saat berada pada tingkat empat.
Makalah dan jawab-jawaban ujian Hassan Hanafî dipenuhi dengan pendapat pribadinya.
Ia juga sudah mulai membandingkan pemikiran Muhammad Iqbal denganKierkegaard,
Sartre, Gabriel Marcel, dan filsuf eksitensialis lainnya.9 Kegemarannya dalam dunia
filsafat, semakin membuat dirinya punya osbesi besar tentang kecerahan umat Islam.
Hassan Hanafî mengimpikan kebangkitan umat Islam, menjadi umat yang kuat, punya
identitas diri, dan bermartabat.

3. Kesadaran Filosofis
Kesadaran filosofis Hassan Hanafî bermula saat ia mengenal filsafat Idealisme
Jerman, secara khusus filsuf Fichte, filsafat perlawanan, gagasan ego yang meletakkan
subyektivitasnya melawan non-ego, serta pemikiran ketercerahan Edmund Husserl.
Kesadaraan filosofisnya tertuang dalam karyanya yaitu proposal disertasinya bertajuk,
“Metodologi Islam Komprehensif”, sebuah gagasan untuk mentransformasikan ajaran
Islam sebagai sebuah metode universal dan komprehensif dalam kehidupan individu dan
masyarakat. Hanya saja Hassan Hanafî mengalami kendala, karena disertasi tesebut
dinilai terlalu umum oleh promor doktoralnya. Tidak berhenti sampai di sana, Hassan
Hanafî terus melakukan upaya, hingga akhirnya menemukan kesepahaman dengan
promotornya. Lahirlah disertasi, “L Exegeses de la Phenomenologie Letat Actuael de la
6
Ibid, h. 12.
7
Ibid, h. 23.
8
Ibid, h. 24.
9
Ibid, h 25.

4
Methode Phenomenologie et Son Application an Phenomena Religuex”.10 Secara khusus
Hassan Hanafî menghadapkan ilmu Ushul Fiqh pada madzhab fenomenologi Edmund
Husserl, sebagai upaya pembacaan umat Islam secara riil terhadap realitas kehidupan
terkini.
Selama proses belajar di Prancis, Jean Guitton, seorang Guru Besar Filsafat dan
pembaharu tradisi Katolik, punya andil besar dalam proses Hassan Hanafî belajar filsafat.
Proses belajar filsafat pada Jean Guitton memberi pengaruh yang besar terhadap
perubahan pemikiran Hassan Hanafî. Hassan Hanafî mengembangkan ajaran-ajarannya
dari tataran idea transenden ke dalam tataran realitas, dari spirit ruh ke alam, dari
kesadaran personal menjadi kesadaran sosial, dari Kanan ke Kiri, dari agama ke filsafat,
dari Barat ke Timur, dari Kristen ke Islam. Hassan Hanafî menggunakan kritik pasif,
sedangkan Jean Guitton lebih menginginkan konservasi kaidah-kaidah keimanan. Hassan
Hanafî menjalankan teologi revolusi, sedangkan dia agak takut terjebak ke dalam
Marxisme, anarkisme, dan mengimani sesuatu yang tak pantas diamani.11

4. Kesadaran Politik
Kesadaran politik Hassan Hanafî timbul ketika ia menyaksikan realitas
ketimpangan yang terjadi di Mesir. Hassan Hanafî tidak terjun ke politik praktis, ia hanya
menyusun strategi revolusi melalui pemikirannya.12 Hanafi memang sangat berani dalam
menyuarakan revolusi. Pengetahuan agama dan filsafat yang ia tekuni, membuat dirinya
semakin realistis menjalani hidup. Pada konteks kebangsaan, Hassan Hanafî
menghendaki umat yang mandiri dan berkeadaban. Hassan Hanafî untuk menyuarakan
gagasan dan pemikirannya, sempat aktif di majalah al-Fikr al-Mu’asir dan al-Katib.
Secara serial Hassan Hanafî menuliskan buah pemikiriannya tentang banyak hal, seperti
risalah pemikiran, peran pemikir di negara berkembang, sikap budaya kita, orisinilitas
dan kontemporer, autentisitas dan taklid, puritanisme, isu pembarharuan dalam agama,
teori penafsiran, ideologi dan agama, keacuhan, kemuakan, pesan untuk universitas,
metodologi pengajaran, mahasiswa dan aksi nasional, nasionalisme, rakyat dan institusi-
institusinya, dan lain sebagainya. Hassan Hanafî menyebut kesadaran politiknya pada
waktu itu sebagai bentuk kesadaran politik filosofis, bukan politik praktis.

5. Fundamentasi Keilmuan
Hassan Hanafî memulai fundamentasi keilmuannya, dengan secara serius
menggarap proyek besarnya tentang al-Turath wa at-Tajdid. Agar mudah dalam
mengerjakan proyeknya, Hassan Hanafî mengadakan pelatihan untuk membentuk
peneliti-peneliti muda yang kompeten. Hanafi juga beraharap, bahwa garapan proyeknya
tersebut lebih merupakan proyek kelompok ketimbang proyek pribadi. Prioritas lain yang

10
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2015), h. xix.
11
Hassan Hanafi, Aku bagian dari Fundamentalisme Islam, Op.cit., 2003, h. 9.
12
Ibid., h. 56.

5
hendak digarap waktu itu adalah mendirikan Lembaga Filsafat Mesir dan membangun
Pusat Studi Filsafat.13
Hassan Hanafî tak lain adalah seorang anak Fundamentalisme Islam.14
Fundamentalisme versi Hassan Hanafî tak lain merupakan ikhtiarnya mewujudkan umat
Islam yang progresif, yang mampu berdialog dengan zamannya, serta mampu
meralisasikan nilai-nilai kemanusiaan yang termaktub dalam al-Quran sebagai pijakan
hidup bersama, tanpa memandang perbedaan yang ada antara umat manusia.

D. Genealogi Pemikiran Hassan Hanafi


Perjalanan intelektual seorang pemikir, tentu tak lahir secara tiba-tiba. Ada banyak
proses panjang yang melatarinya. Begitupun dengan yang terjadi pada Hassan Hanafî,
ketertarikannya pada dunia Islam dan filsafat membuat dirinya banyak membaca karya-
karya ulama dan filsuf sebelumnya. Sehingga dalam proses itulah, terjadi transfer
pengetahuan yang kemudian memiliki pengaruh terhadap para pembacanya. Apalagi
Hassan Hanafî merupakan tokoh yang giat belajar. Tak heran wawasannya begitu luas,
sebab dirinya memang rajin membaca.
Sebagai orang yang aktif di Ikhwan al-Muslimin, Hassan Hanafî sangat terkesima
terhadap pemikiran Sayyid Qutb. Ia mengakuinya, Sayyid Qutb punya pengaruh yang
kuat dalam dirinya. Melalui pengaruh dari Sayyid Qutb kita bisa melihat bagaimana
gerakan pemikiran Hassan Hanafî yang begitu mencitai kelahiran Islam yang progresif.
Artinya, meski selama ini Sayyid Qutb dikenal sebagai pemikir yang radikal, dalam
bayangan Hassan Hanafî itu terjadi karena tekanan dari pemerintah. Hassan Hanafî
mengandaikan itu tidak mungkin terjadi bila pemerintah tidak melakukan tindakan
represif juga. Maka yang mengalir dalam pemikiran Hassan Hanafî tentu bukan
pemikiran radikalismenya, melainkan gaya pemikiran Sayyid Qutb yang punya impian
besar tentang kejayaan Islam melalui pemikiran progresifnya.15.
Perjumpaan Hassan Hanafî dengan pemikiran Muhammad Iqbal pada saat berada
ditingkat tiga Universitas Kairo Mesir, membuat Hassan Hanafî tertarik mendalami
pemikirannya. Karena Iqbal bagi Hassan Hanafî dianggap mampu mendialogkan antara
masa lalu dan masa sekarang. Pemikiran Iqbal tentang kehidupan, penciptaan, kreasi,
kekuatan, jihad, identitas diri, ketersesatan, dan umat menjadi sensasi luar biasa. Konsep
Iqbal tentang umat Islam berbeda dengan teori Akal Sepuluh, zat (esensi), sifat (atribut),
serta maqam dan hal (tingkatan dan laku tertentu dalam laku kesufiannya dalam filsafat
Ibn Sina.16 Kemampuan Iqbal mendialogkan ajaran agama dengan realitas umat terkni,
tentu bisa kita lihat dari pemikiran Hassan Hanafî. Obsesi besarnya Hassan Hanafî
melalui teologi antroposentrisnya, menandai betapa Iqbal dalam hal ini punya pengaruh.

13
Ibid., h. 102.
14
Ibid., h. 103.
15
Ibid., h. 29.
16
Ibid., h. 24.

6
Kekirian Hassan Hanafî yang secara praksis hendak membumikan ajaran Islam
dalam realitas, sama juga dengan upaya Karl Marx dalam merealisasikan gagasan Hegel
(1770-1831). Bagi Hassan Hanafî teologi Islam selama ini terlalu melangit, sehingga sulit
dijangkau oleh manusia. Pada praksisnya, teologi akhirnya tak memberi makna apapun
kecuali sebatas angan-angan. Karenanya, Hassan Hanafî melalui metode diealektikanya,
sebagaima juga dilakukan oleh Karl Marx terhadap Hegel yang menganggap bahwa
pemikirannya hanya berjalan di atas kepalanya, sehingga perlu diubah agar bisa menjadi
realitas.17
Pengaruh Husserl pada Hassan Hanafî, sebagai seorang muslim yang mendalami
filsafat, bahkan kuliah master dan doktoral di Prancis, interaksi dengan dunia filsafat
Barat memberinya banyak inspirasi. Sehingga karya fenomelalnya, berupa Disertasi 900
halaman dengan judul, “L Exegeses de la Phenomenologie Letat Actuael de la Methode
Phenomenologie et Son Application an Phenomena Religuex”, lahir dari buah pikirannya.
Karya tersebut merupakan upaya Hassan Hanafî dalam menghadapkan ilmu Ushulu Fiqh
terhadap filsafat Fenomelogi Husserl.18

E. Teologi Pembebasan Hassan Hanafî


Memahami pemikiran Hassan Hanafî perlu mengetahui arti istilah dari Turats
(warats-yuarits) yang artinya “Warisan” dan merupakan proyeknya Hassan Hanafî yaitu
At-Turâts wa At-Tajdîd, berikut penjelasan mengenai Turats:
1. Turats merupakan elemen budaya, kesadaran berfikir dan potensi yang hidup, dan
memendam tanggung-jawab generasi berikutnya.
2. Turats merupakan dasar argumentative yang membentuk world-view serta
membimbing perilaku generasi berikutnya.
3. Setiap masa memiliki Turats..
4. Turats saat ini tercemari dan terhegemoni oleh feodalisme tangan-tangan
penguasa sementara mayoritas awam dalam kondisi lemah dan tertindas, sehingga
praksis keagamaan menjadi semata ritus, maka perlu melakukan reorientasi turas
agar tidak sekedar dikutip dan disyarah, namun juga menjadi basis dan titik tolak
kekuatan pembebasan yang bersifat revolusioner.19
Dalam teologi pembebasan Hassan Hanafî. Hassan Hanafî mengambil langkah
dengan cara menjaga yang lama dan mengambil yang baru atau Min al-Aqidah ila ats-
Tsaurah yang terdiri atas lima jilid sebagai karya tulisnya, Dalam karya ini lah muncul
istilah Islam Kiri atau Kiri Islam. Secara garis besar, “Kiri Islam” bertopang pada tiga
pilar utama untuk mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat
(Islam). Pertama, revitalisasi khazanah Islam klasik. Dalam hal ini, Hassan Hanafî

17
M. Masduri, Bab II Biografi dan Pemikiran Hassan Hanafi, diakses dari
http://digilib.uinsby.C.ID/2011/4/Bab%202.pdf, pada tanggal 17 September 2018, pukul 09.00 WIB
18
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2015), h. xvii.
19
Ust. Dr. Fahruddin Faiz, Ngaji Filsafat “Kiri Islam” Hassan Hanafi 1, diakses dari
http://m.youtobe.com/watch?v=tkF4P7SxB2w, pada tanggal 17 September 2018, pukul 10.00 WIB.

7
dengan tegas menekankan perlunya rasionalisme. Rasionalisme itu merupakan
keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan untuk memecahkan situasi kekinian dalam
dunia Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Dalam konteks ini, Hassan
Hanafî memperingatkan akan bahaya imperialisme kultur Barat yang cenderung
membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang kaya secara historis.
Selanjutnya, pilar ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Hassan Hanafî
mengkritik metode penafsiran tradisional yang bertumpu pada teks (nash). Karena itu, ia
mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya
sendiri. Analisis terhadap realitas dunia Islam ini merupakan bagian dari metode yang
dibangun Hanafî dalam mewujudkan cita-cita Kiri Islam. Pergerakan dan peradaban yang
dibangunnya itu disebabkan oleh ketajaman analisis Hanafî dalam melihat realitas dunia
Islam. Baginya, makna realitas adalah sebangun dan searti dengan realitas masyarakat,
realitas politik dan ekonomi, realitas khazanah Islam, dan (realitas) tantangan Barat.
Keberhasilan mencapai cita-cita revolusi Islam tergantung pada kecermatan menganalisis
realitas-realitas itu. Untuk menganalisis realitas itu, Hanafî menggunakan metode
fenomenologi dengan harapan dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri.
Sementara itu, dalam memahami nash, Hanafî menggunakan pendekatan
hermeneutika yang telah menjadi bagian dari tema penting dalam pemikirannya, bahkan
ia menjadi bagian integral dari wacana pemikirannya dalam filsafat atau teologi dalam
rangka memahami nash tadi. Baginya, hermeneutika bukan sekedar “ilmu interpretasi”
terhadap al-Qur‟an semata, tapi juga ilmu yang menjelaskan wahyu sejak diturunkannya,
mulai dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia, ilmu tentang proses penerimaan
wahyu dari huruf sampai tingkat kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga
transformasi wahyu dari pikiran Tuhan ke kehidupan manusia.20

F. Teologi Tanah Menurut Hassan Hanafî


Tanah merupakan tempat tinggal manusia dimana tanah sangat berkaitan erat
dengan emosional masyarakat, sebab tanah merupakan tempat awal dilahirkan dan
meninggalnya manusia di dunia. Tanah sebagai identitas diri dimana manusia dilahirkan
maka dari situlah muncul istilah tanah kelahiran, tanah airku, tanah tumpah darahku,
dan lain sebagainya. Dalam ajaran Islam pun mengajarkan bahwa manusia (Nabi Adam
as. tercipta dengan tanah). Nah, yang menjadi persoalan tanah adalah sebagai bertikut:
1. Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan
2. Tiada kebijaksanaan dalam pengurusan tanah yang mengutamakan kepentingan
awam
3. Penyalahgunaan kuasa dalam pencabutan hak tanah
Tanah masyarakat yang mempunyai fungsi sosial dikorbankan demi pembangunan
dan perancangan kerajaan Warga miskin yang hidupnya bergantung kepada hasil bumi

20
Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2015), h. 4.

8
tiba-tiba kehilangan puncak pendapatannya gara-gara ideologi modernisasi yang
mempengaruhi kerajaan.
Memperdayakan kegiatan-kegiatan sumber agraria benar-benar merupakan suatu
yang menguntungkan masyarakat andai hasil yang dipulangkan kepada masyarakat cukup
dan memuaskan. Industri kayu, minyak, gas, dan sumber mineral lainnya yang dijaga
dengan cukup teratur dan amanah akan membuahkan hasil yang baik untuk
kesejahtaraan manusia sejagat dan negara bersama. Prinsip egalitarian menjadi tunjang
utama dalam aplikasi teologi tanah ini.
Namun, apabila pecah amanah dan kronisme menyusup masuk dalam pengurusan,
ia bakal bertukar wajah menjadi semacam industri yang dieksplotasi oleh pihak-pihak
tertentu untuk kepentingan pribadi, sekaligus mengabaikan maslahat awam. Kekayaan
bumi seharusnya menjadi hak setiap anak bumi pertiwi. Fungsi sosial tanah tenggelam
dengan meningkatnya nilai ekonomi tanah seiring meningkatnya keperluan untuk projek-
projek pembangunan dan pemodenan. Fungsi tanah sosial tanah telah digantikan dengan
fungsi komersial sebagai bisnis yang menjanjikan keuntungan.
Melihat sejumlah penyelewengan atas kepemilikan dan penguasaan ke atas tanah
oleh manusia inilah menyebabkan Hassan Hanafî ingin mengembalikan kepemilikan
tanah kepada makna asalnya yang asli. Antara tafsiran Hassan Hanafi yang beraroma
revolusioner adalah seperti yang dilakukannya terhadap ayat “Rabb al-Samâwât wa al-
‘Ard”, bahwasannya Tuhan dalam Islam bukan sekedar Tuhan langit, seperti Tuhan
Anshar yang diimani oleh kaum Mesopotamia, atau Zeus yang diitikad oleh bangsa
Greek, akan tetapi Allah itu juga merupakan Tuhan Bumi dan segala objek yang wujud.
Dengan tafsiran ini, Hassan Hanafi bermaksud ingin mengembalikan kefahaman betapa
sebenarnya tanah tersebut diciptakan dan diperuntukan bagi manusia umumnya.21
Hassan Hanafî memandang kepemilikan tanah adalah hak milik mutlak Allah
Ta’ala, karena ianya merupakan ciptaan-Nya. Sementara kepemilikan manusia terhadap
tanah hanyalah bersifat majazi yang diberikan oleh Allah kepada manusia.22 Manusia
hanya berhak memanfaatkan dan menggunakan tanah dengan syarat ia digunakan dengan
sebaik-baiknya. Dengan aplikasi teologi Rabb al-‘Ard yang dibumikan ini, maka
terwujudlah keadilan sosial dalam pemilikan tanah dan pemanfaatannya. Secara
ringkasnya, kita gelarkannya teologi tanah.
Oleh karena itu, amalan-amalan yang berkaitan dengan maslahat awam tidak boleh
dieksploitasi secara pribadi karena tanah adalah milik Allah yang mesti digunakan ke
arah kebaikan manusia seluruhnya. Kegiatan-kegiatan agrikultur seperti pertanian, dan
industri yang dikembangkan yang bersumberkan hasil dari perut bumi dan atasnya
merupakan bahan-bahan mentah yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Maka, berjuang

21
Asmuni Thaher, Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi (Yogyakarta: Jurnal Fenomena
Universitas islam Indonesia, 2013).
22
Hassan Hanafi, Al-Dîn wa al-Thawrah fî Misr (Kaherah: Maktabah Madbuli, 1991).

9
membela dan mempertahankan kekuasaan tanah kaum Muslimin juga adalah ibarat
membela dan mempertahankan kekuasaan Tuhan.

G. Alasan Reorientasi/Rekonstruksi Menurut Hassan Hanafi


Fenomena baru selalu muncul, seperti halal dan haram, sedangkan al-Waqi’ selalu
berubah terus. Menurut Hassan Hanafî soal Ketuhanan sudah selesai. Berikut adalah
alasan reorientasi menurut Hassan Hanafî:
1. Para teolog muslim klasik dahulu menjadikan teologi sebagai basis epistimologi
dalam membela dan meneguhkan keberadaan Tuhankarena para ulama dahulu,
terutama para mutakallimin, merasa bahwa keimanan terhadap Tuhan rawan
pendistorsian dan pendangkalan dari kelompok non-muslim, karena itu keimanan
itu harus dibela dan dipertahankan dengan argumentasi rasional, Keberadaan
Tuhan harus dibela melaluui serangkaian rumusan-rumusan logis sebagai tema
sentral dari ilmu teologi.
2. Namun untuk sekarang, yang menjadi tantangan serius dan sekaligus adalah
penjajahan dan penindasan di berbagai sektor sosial dan kemanusiaan, seperti
ketidakadilan ekonomi, pelanggaran HAM, penindasan buruh, penindasan petani,
perampasan hak-hak rakyat, dan seterusnya.23

H. Cara Rekonstruksi menurut Hassan Hanafî


1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan
global antara berbagai ideolog yaitu butuh adanya teologi praksis jadi tidak hanya
menjelaskan teori metafisik melainkan aktifitasnya.
2. Pentingnya ideologi baru yang nyata dan realistis dalam bentuk ideologi sebagai
gerakan dalam sejarah, untuk memecahkan kemiskinan, dan keterbelakangan di
negara-negara muslim.
3. Kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam
realitas melalui realissasi tauhid dalam dunia Islam.24

I. Kesimpulan
Pemikiran Hassan Hanafî semata-mata bukan teori saja melainkan Ia ingin
menunjukkan solusi atas permasalan umat Islam pada era ini seperti melalui proyeknya
yaitu At-Turâts wa At-Tajdîd atau revitalisasi Turath (Tradisi dan Modernitas) dan
Oksidentalisme sebagai lawan dari Orientalis. Ia menginginkan agar masyarakat Islam
tidak terpaku dalam kebenaran menurut penguasa yang pada dasarnya tidak ada
kebenarannya baik dalam kekuasaan politik maupun agama. Sehingga masyarakat Islam
tidak mengalami penindasan baik sosial, ekonomi, dan politik. Ia juga menggagaskan

23
Ust. Dr. Fahruddin Faiz, Ngaji Filsafat “Kiri Islam” Hassan Hanafi 2, diakses dari
http://m.youtobe.com/watch?v=06rqbX61mWY, pada tanggal 17 September 2018, pukul 10.30 WIB.
24
Ibid., 2.

10
konsep baru dalam jargonnya yang berbunyi Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, jadi
masyarakat tetap berpegang teguh akidahnya sebagai identitas muslim namun bisa
menginguti atau mengambil hal yang baru di zaman sekarang.
Hassan Hanafî memandang kepemilikan tanah adalah hak milik mutlak Allah
Ta’ala, karena ianya merupakan ciptaan-Nya. Sementara kepemilikan manusia terhadap
tanah hanyalah bersifat majazi yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Manusia
hanya berhak memanfaatkan dan menggunakan tanah dengan syarat ia digunakan dengan
sebaik-baiknya. Dengan aplikasi teologi Rabb al-‘Ard yang dibumikan ini, maka
terwujudlah keadilan sosial dalam pemilikan tanah dan pemanfaatannya. Secara
ringkasnya, kita gelarkannya teologi tanah.

J. Daftar Pustaka
Hanafi, Hassan, Aku bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad Irsyady
dan Mufliha Wijayati. Yogyakarta: Islamika, 2003.

Hanafi, Hassan, Studi Filsafat 1, terj. Miftah Faqih. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2015.

Kusnadiningrat, E., Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi.
Jakarta: Logos, 1999.

Sani, Drs. Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran: Perkembangan Modern dalam Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.

Thaher, Asmuni, Pemikiran Akidah Humanitarian Hassan Hanafi. Yogyakarta: Jurnal


Fenomena Universitas islam Indonesia, 2013.

11

Anda mungkin juga menyukai