Anda di halaman 1dari 12

TAFSIR FENOMENOLOGI

HASSAN HANAFI
(Mata Kuliah : Kajian Literatur tentang Al-Qur’an | Dosen : Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm)

Ya’ Hidayat (202510054)


Biografi Hassan Hanafi

• Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat


benteng Shalahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Para mahasiswa
Muslim seluruh dunia berdatangan ke kota ini untuk menimba ilmu,
terutama di Universitas Al-Azhar.
• Masa kecil Hassan Hanafi merasakan masa perang dunia ke 2. Masa negara-
negara Timur di jajah oleh negara Barat. Saat itu negara Inggris sedang
bertarung melawan Jerman. Pengaruh negara Jerman cukup terasa pada
dirinya. Mesir di jajah oleh Inggris, berhadapan dengan kenyataan-
kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa
asing. Dengan adanya kenyataan itu, sikap patriotik dan nasionalismenya
bangkit, sehingga di usia 13 tahun ia mendaftarkan dirinya untuk menjadi
sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948.
Beliau menamatkan pendidikan dasar pada tahun 1948. Kemudian ia melanjutkan
studinya ke Madrasah Khalil Agha, Kairo sampai pada tahun 1952.
Di sekolah inilah ia mulai berkenalan dengan pemikiran dan gerakan Ikhwanul
Muslimin, dan ia semakin aktif dalam gerakan ini sewaktu kuliah di Universitas Kairo
sampai gerakan tersebut dibubarkan. Pada saat kuliah makalah pertamanya adalah
Study banding antara Jerman dan Arab. Ini adalah bias masa kecil beliau. Setelah
mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang filsafat dari Universitas Kairo tahun
1956, ia melanjutkan studinya di Doktorat d’etat, La Sorbonne Perancis dan
memperoleh gelar doktor pada tahun 1966. Disertasinya yang berjudul Essai Sur La
Mehode d’exegese (Esai tantang Metode Penafsiran) setebal 900 halaman.
Memperoleh hadiah sebagai karya tulis terbaik di Mesir pada tahun 1971. Kecintaannya
pada filsafat dan musik cukup mempengaruhi masa depannya, ternyata dalam filsafat
terdapat keindahan-keindahan dan estetika-estetika.

Proyek besarnya dan pemikiran Hassan Hanafi tidak terlepas dari tema besar perjuangan
pembaruan ilmu-ilmu Islam yang ia canangkan. Tema besar pembaruan tersebut populer
dengan sebutan proyek al-Turath wa al-Tajdid (tradisi dan pembaruan). Menjaga yang
lama dan mengambil yang baru. Teori yang sederhana tapi sangat sulit dalam
menjalankannya. Turath ini adalah jalan berpikir yang diwariskan oleh generasi lama.
Biasa generasi baru akan menerima tapi dengan melakukan adaptasi-adaptasi.
Hal-hal yang dimaksudnya tersebut adalah :

• Mencari metodologi dari kajian turāth (tradisi,budaya) Islam klasik


• Turāth merupakan dasar argumentative yang membentuk ‘world-view’ serta membimbing
prilaku generasi mendatang
• Setiap masa memiliki Turāth
• Memerankan turath secara optimal untuk membangun peradaban kehidupan yang gemilang
di masa depan. Al-Turath wa al-Tajdid adalah slogan untuk al-Asalah (mempertahankan
otensitas) sekaligus (di saat bersamaan) juga menggapai al-Hadathah (kemodernan).
• Turath kita sudah banyak dicemari dan dihegemoni oleh feodalisme tangan-tangan
penguasa, sementara mayoritas awam dalam kondisi lemah dan ‘tertindas’. Maka perlu
reorientasi turath agar tidak sekedar dikutip dan disyarah namun juga menjadi basis dan
titik tolak kekuatan pembebasan (bersifat Revolusioner)
PROYEK TURATH WA TAJDID
• Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama / Turas Qadim
Ini cara kita mensikapi warisan nenek moyang kita, ini sangat penting untuk dibahas agar tidak
salah dalam mensikapinya

• Sikap Terhadap Barat / Turath Gharby


Diakui atau tidak kita hidup dizaman ketika orang barat jaya, kita dijajah habis-habisan,
mereka maju kita mundur, sikap kita tidak jelas terhadap barat. Harus di rumuskan ulang.

• Sikap Kita Terhadap Realitas / Al-Waqi


Kita sering pontangpanting menghadapi problem hari ini, sedangkan fenomena-fenomena baru
muncul terus menerus dan kita bingung hanya mencari hukumnya saja. Perubahan ini sangat
cepat dan membuat kita capek.
Menyikapi Turath Qadim

• ‘Masyarakat tradisional’ ; menganggap ‘tradisi’ tetap sebagai


sumber inspirasi yang kuat

• ‘Masyarakat modern’ ; menganggap tradisi tidak lagi merupakan


sumber nilai atau kekuasaan.

• Hassan Hanafi ; ‘tradisi adalah suatu basis yang memungkinkan


bagi suatu revolusi modern. Kalau hal lama kita buang semua maka
hidup kita, agama kita akan unhistoris, terputus sejarahnya.
• Turath lama dikelola untuk melahirkan turath baru, dengan cara
memaknai turath lama bukan dengan membuangnya semua.

• Dibuang sama sekali akan kehilangan identitas, kalau dipake


semua tidak peduli hal yang maka akan jadi beku, akan menjadi
a-sosial, tidak akan nyambung dengan kehidupan sosial hari ini,
yang satu jadi beku sekali dan yang satunya jadi cair sekali. Yang
harus dijadikan senjata untuk melakukan perubahan yang baru.
Menyikapi Khazanah Klasik
• Kaum konservatif ; Reafirmation – mencoba menarik kembali secara asli budaya terdahulu
untuk diterapkan secara literal dan bahkan brutal di era sekarang.
• Hassan Hanafi ; Reformation – justru sebaliknya, ia mencoba menggali warisan klasik itu
dan berusaha mengkostruk ulang dasar-dasar epistemologinya agar relevan dengan
kehidupan kontemporer.
• Dengan demikian tujuannya adalah rekonstruksi konsep aqidah bukan sebagai medium
memperdebatkan Tuhan, melainkan sebagai kekuatan dan inspirasi untuk membebaskan
manusia dari berbagai belenggu penindasan. Jadi singkatnya aqidah harus menjadi
motivator dan dasar pembangkit gerakan transformasi sosial
• Namun, untuk sekarang, yang menjadi tantangan serius dan sekaligus menjadi masalah
krusial bagi umat Islam adalah penjajahan dan penindasan di berbagai sektor sosial dan
kemanusian, seperti ketidakadilan ekonomi, pelanggaran HAM, penindasan dan
perampasan hak-hak rakyat dan lain-lain.
Konsep Tuhan

• Bagi Hanafi tuhan tidaklah membutuhkan pensucian dari manusia,


karena tanpa usaha sebagai begitu Tuhan tetaplah Tuhan yang maha
suci dari segala sifat kesempurnaan yang di milikinya.
Hanafi beranggapan tafsiran terkait deskripsi tentang Tuhan dari
sifat-sifat Tuhan yang ada didalam Al-Qur'an bahkan Sunnah lebih
menuju pada pembentukan manusia yang baik dan ideal hingga
membentuk insan Kamil dan bagi Hanafi Tafsiran terkait sifat Tuhan
seharusnya di miliki dan diaplikasikan oleh seorang muslim dalam
kehidupannya, maka demikian pemahaman ini bukan hanya sekedar
penjelasan tentang eksistensi Tuhan ataupun kemahakuasaanya.
Tafsir Fenomenologi

Seorang Mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna
dan meletakannya dalam struktur rasional dan realitas. Teori penafsiran seperti ini
bertentangan dengan konsep penafsiran yang telah mapan dan disepakati para Ulama
terdahulu. Yaitu, realita mendeduksi makna dari teks.

Lebih lanjut, Hanafi mengembangkan teori hermeneutikanya melalui pendekatan


fenomenologi yang ia adopsi dari teori fenomenologi Edmund Husserl. Menurutnya,
ada lima tahapan yang harus dilakukan seorang Mufasir dalam melakukan penafsiran
al-Qur’an.
Langkah Penafsiran

• Pertama, wahyu diletakkan dalam ‛tanda kurung‛ (epoche), tidak diafirmasi,


tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan
keaslian al-Qur’an
• Kedua, al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti
karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya.
• Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau
salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks.
• Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas
penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir.
• Kelima, konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio politik dan bukan
konflik teoritis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir.

Anda mungkin juga menyukai