Anda di halaman 1dari 38

TAFSIR IMAM AS-SYAFI’I

Fakhri Iqomul Haq, Khoirul Anwar Ahmad


Institut PTIQ Jakarta
fakhriiqomulhaq@gmail.com
kanwarah@gmail.com

Abstrak
Perlu diketahui bahwa diskusi terkait dengan perkembangan tafsir pada zaman
kehidupan Imam Syafi’i sekaligus akan membicarakan sekilas tentang
perkembangan tafsir pada era tabi tabi’in yang merupakan zaman kehidupan
Imam Syafi’i sendiri. Bidang tafsir yang berkembang pesat pada zaman Imam
Syafi’i memiliki keistimewaan dan berhasil membuat ciri-ciri tafsirannya
tersendiri. Allah SWT mentakdirkan perjalanan hidup Imam Syafi’i (150-204 H.)
pada era keemasan dan puncak keilmuwan Islam yang tinggi.
Bahan-bahan tafsiran dalam karya Tafsir Imam Syafi’i didominasi dengan tafsiran
ayat hukum berbanding dengan bidang-bidang lain. Tafsiran ini mendominasi 200
ayat tafsiran ayat hukum-hukum fikih, 100 ayat tafsiran berkaitan bidang akidah,
80 ayat-ayat tafsiran berkaitan akhlak, 20 ayat-ayat sirah dan lain-lain merangkumi
ayat-ayat kauniyyat, ayat-ayat sosial dan kemasyarakatan, ayat hudud, ayat jihad
serta ayat-ayat yang menjelaskan metode pentafsiran itu sendiri.
Bidang tafsir Al-Qur’an yang berkembang hingga kini adalah merupakan
kesinambungan perkembangan tafsir pada zaman Imam Syafi’i. Era kemuncak
keilmuwan Islam, kemunculan ulama-ulama besar seperti Imam Malik dan Imam
Hanbali serta sokongan dan galakan pemerintah yang cintakan ilmu pengetahuan
adalah faktor penting berkembangnya bidang tafsir pada zaman Imam Syafi’i.
Rehlah ‘ilmiyyah mendalami berbagai bidang ilmu amat membantu Imam Syafi’i
memantapkan kefahaman terhadap pentafsiran Al-Qur’an khususnya pentafsiran
ayat hukum. Manakala keutamaan dan sumbangan tafsiran Imam Syafi’i Imam
Syafi’i dapat dilihat pada pentafsiran ia yang banyak mempengaruhi ulama-ulama
di berbagai lokasi seterusnya berkembang hingga ke hari ini.

1
Kata Kunci: Tafsir Imam Syafi’I, imam as-syafi’i, ahmad musthafa al-farran, tafsir
ayat ahkam

Pendahuluan
Keperluan kepada tafsir Al-Qur’an melintasi berbagai zaman adalah
bukti yang menunjukkan bahwa manusia tidak pernah berhenti untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber rujukan dalam kehidupan.
Perkembangan bidang tafsir pada suatu zaman memiliki kepentingan
tersendiri implikasi dari pada perubahan status kehidupan dan maslahat
masyarakat Islam pada zaman tersebut untuk memastikan kehidupan
mereka sentiasa dipandu dan terpimpin selaras dengan pesan Al-Qur’an Al-
Karim.1
Kesungguhan dan keunggulan dalam bidang tafsir ini turut dijalani
oleh mufassir Imam Syafi’i seorang tokoh yang berhasil membina dan
membuat sejarah bidang tafsir yang tersendiri pada zamannya. Peradaban
kerajaaan Bani Abbasiyah dan dukungan yang tidak penuh secara tidak
langsung mempengaruhi corak pentafsiran pada zaman Imam Syafi’i yang
membentuk berbagai macam metodologi pentafsiran. Perkembangan ini
berlaku sejajar dengan desakan dan menanggapi masyarakat Islam hasil
daripada munculnya berbagai permasalahan baru yang mengelilingi
kehidupan masyarakat ketika itu. Instrumen tafsiran pada zaman ini
membentuk elemen-elemen penting pentafsiran yang memiliki unsur-unsur
nilai tambah yang amat berguna dalam kehidupan umat Islam yang
bersungguh-sungguh untuk menyempurnakan keislaman dan keimanan
mereka.
Perlu diketahui bahwa diskusi terkait dengan perkembangan tafsir
pada zaman kehidupan Imam Syafi’i sekaligus akan membicarakan sekilas
tentang perkembangan tafsir pada era tabi tabi’in yang merupakan zaman

1
Muhammad Lutfi al-Sibbagh, Buhuth fi ‘Usul al-Tafsir, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1988,
hal. 15.

2
kehidupan Imam Syafi’i sendiri. Rujukan tafsir pada zaman ini penting
untuk dikaji karna merupakan periode yang dekat dengan zaman Rasulullah
Saw., zaman sahabat dan zaman para tabi’in. Perkembangan tafsir setelah
zaman tersebut banyak disisipi berbagai unsur luar seperti penyisipan
elemen-elemen palsu, israiliyyat dan sebagainya. 2

Profil Imam Syafi’i


Imam Syafi’i (150 H.-204 H.) memiliki seri pengembaraan hidup
seorang ulama yang mempunyai catatan tersendiri. Popularitas Imam Syafi’i
terbentuk dalam hirarki menarik lagi amat berkesan khususnya dalam
sudut pembentukan kriteria ilmiah yang dimilikinya. Imam Syafi’i
dilahirkan pada era pertama dinasti Bani Abbasiyah, khalifah yang
memerintah pada ketika itu ialah Abu Ja’far al-Mansur. 3 Ia dilahirkan di
Ghazzah, sebuah kota yang terletak di daerah Asqalan selatan Palestina.
Nama lengkap Imam Syafi’i ialah Abu Abdullah Muhammad bin Idris
bin al- ‘Abbas bin ‘Uthman bin Syaf’i bin al-Sai’b bin ‘Ubayd bin ‘Abd al-
Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Mutalib bin ‘Abd al-Manaf bin Qusai bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Abu ‘Abd Allah al-Quraysyi as-
Syafi’i al-Makkiy. Nasab Imam Syafi’i bertemu dengan nasab Rasullah Saw.
pada ‘Abd al-Manaf bin Qusai datuk Rasulullah Saw. yang ketiga. Imam
Nawawi berkata: “Imam Syafi’i adalah Quraysyi (berasal dari suku Quraisy)
dan Muttallibi (keturunan Mutalib)”.4 Ayahanda Imam Syafi’i keturunan
Quraisy bertemu dengan keturunan Rasulullah Saw. pada silsilah ‘Abd al-
Manaf. Walaupun berasal dari keturunan mulia, ayahanda ia hanyalah
seorang rakyat biasa dan tidak mempunyai kedudukan atau keistimewaan
dalam masyarakat. Ibunya adalah Fatimah binti ‘Abdullah bukan keturunan
Quraisy tetapi memiliki berbagai keistimewaan dalam mendidik dan
2
Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Hadith, 2005,
hal. 119.
3
Akram Yusuf, Mausu’ah al-Imam As-Syafi’i, Dar al-Nafais: Jordan, 2003, hal. 13-14.
4
Akram Yusuf, Mausu’ah al- Imam As-Syafi’i, hal. 324.

3
membesarkan Imam Syafi’i. Menurut riwayat Imam al-Hakim, keturunan
Imam Syafi’i dari sisi ibunya ialah Fatimah binti ‘Abdullah bin Husayn bin
al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Talib.5
Sumber-sumber sejarah tidak dapat menyatakan dengan tepat tujuan
pindahnya keluarga Imam Syafi’i ke Ghazzah, Palestina. Terdapat juga
riwayat yang menyebut kemungkinan ayahanda Imam Syafi’i mau memulai
kehidupan baru, Ibn Hajar al-‘Asqalani menyebut dalam karyanya Tawali
al-Ta’sis, telah terjadi sesuatu yang tidak disukainya hingga memaksa
ayahandanya keluar dan merantau ke ‘Asqalan. 6 Namun begitu, selang
beberapa bulan tiba di Ghazzah, ayahandanya telah jatuh sakit lalu
meninggal dunia lalu mulailah episode kehidupan Imam Syafi’i sebagai anak
yatim yang bijak dan cerdas. 7 Setelah kematian ayahandanya, Imam Syafi’i
telah dibawa ke Mekah oleh ibunya, di sana ia menjalani kehidupan dalam
keadaan yatim dan miskin. Apabila dibawa ke kuttab untuk belajar, ibunya
tidak mampu membayar iuran pengajian yang ditetapkan, namun karna
kecerdasan yang dimilikinya ia bebas dari membayar iuran tersebut. 8

Keilmuwan Dalam Bidang Al-Qur’an, Hadits Dan Fikih


Episode pengembaraan intelektual Imam Syafi’i sebagai anak yatim
tidak menghalangi ia muncul sebagai seorang tokoh ilmuwan yang terkenal
dengan julukan mufassir lagi mujtahid. Pendidikan non formal Imam Syafi’i
pertama kali ditangan ibunya, seterusnya ia diantar mempelajari Al-Qur’an
dan ilmu-ilmu Qira’at dengan seorang ulama besar Mekah bernama Imam

5
Muhammad bin Idris, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1995,
hal. 4.
6
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tawali al-Ta’sis bi Ma’ali Muhammad bin Idris, Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986, hal. 21.
7
Muhammad bin ‘Abd al-Wahab al-‘Aqil, Manhaj al-Imam Syafi’i fi Ithbat al-‘Aqidah,
Riyad: Adwa’ al-Salaf, 2004, hal. 21.
8
Abu Bakr Ahmad bin Husayn al-Baihaqi, Manaqib As-Syafi’i, Kairo: Maktabah Dar al-
Turath, 1970, hal.

4
Abu ‘Ali Isma’il bin Qastantin sehingga berhasil menjadi hafiz ketika
usianya baru memasuki 9 tahun.9
Interaksi pembelajaran yang berlaku di antara Imam Syafi’i dengan
gurunya Imam Abu Sufyan bin ‘Uyaynah menjadi tonggak utama ia dalam
memahami asas-asas ilmu hadits dan tafsir Al-Qur’an. Kesempatan berguru
dengan ulama yang pakar dalam bidang tafsir dan hadits di Mekah ini telah
digunakan semaksimal mungkin untuk menuntut dan mendalami ilmu
terkait. Ibn Abi Hatim pernah menceritakan: “aku belum pernah melihat
seorangpun yang ilmunya sama seperti keilmuwan Sufyan bin ‘Uyaynah.” 10
Seterusnya Imam Syafi’i gigih menimba ilmu pula dengan Imam
Muslim bin Khalid al-Zanji mufti Mekah pada ketika itu. Selain mendalami
ilmu Fiqih dengan guru ini, al-Zanji juga berperanan sebagai pendidik,
pembimbing dan membangunkan sifat keyakinan diri Imam Syafi’i tatkala
mendapat izin al-Zanji untuk memberi fatwa kepada orang sedangkan saat
itu umur ia baru masuk usia 15 tahun. Ia juga memiliki kepakaran dalam
bidang bahasa, syair, hadits dan fiqh, sangat mahir memanah, pandai
berpidato, ahl al-‘ibadah, wara’ dan tawadhu, mahir membaca Al-Qur’an,
sehingga bacaannya mampu menyentuh jiwa yang mendengar. 11

Ekspedisi Ilmiah
Memiliki akal yang genius, kemauan internal yang tinggi dan
kecintaan terhadap ilmu telah mendorong Imam Syafi’i memulai episode
pengembaraan ke luar kota Mekah. Kota Madinah adalah destinasi pertama
yang mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, guru beliau Imam
Muslim bin Khalid al-Zinji menulis surat kepada Imam Malik bertujuan
memudahkan perkenalan dengan Imam Malik, manakala gubernur Mekah

9
Tarikuddin, Episode Empat Imam Mazhab, Johor: Perniagaan Jahabersa, hal. 4.
10
Umar Hafiz, Jejak Para Imam: Ulama Terkemuka Dunia Islam, Selangor: Pustaka
Ilmuan, 2012, hal. 23.
11
Abu Bakr Ahmad bin Husayn al-Baihaqi, Manaqib As-Syafi’i, Kairo: Maktabah Dar al-
Turath, 1970, hal. 178-219.

5
juga turut membantu Imam Syafi’i dengan mengirimkan dua pucuk surat
informasi kepada Imam Malik dan gubernur Madinah. 12 Pertemuan ini
dimanfaatkan dengan sebaiknya untuk mempelajari dan memantapkan
pemahaman terhadap kitab al-Muwatta’.
Penguasaan dan hafalan Imam Syafi’i terhadap isi-isi kandungan al-
Muwatta’ bertambah mantap ketika ia ditugaskan sebagai juru baca al-
Muwatta’ saat sesi pengajian yang membuat ia menjadi populer di kalangan
masyarakat Madinah dan para hujjaj Mesir dan Iraq yang singgah ke
Madinah. Pada penghujung 172 H. ketika usianya masuk 22 tahun, ia
menuntut ilmu dengan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan
al-Syaibani. Imam Syafi’i mendalami semua karya-karya Imam Muhammad
serta mengambil kesempatan ini untuk merantau ke seluruh pelosok Iraq
untuk bertemu, berbincang, berdialog dan berhujjah dengan ulama-ulama
terkemuka di sana. Setelah itu, Imam Syafi’i merantau kembali ke Madinah
untuk bertemu dengan Imam Malik untuk kali kedua, ini berjalan agak
lama kira-kira lima tahun lamanya mulai 174 H. hingga 179 H.13
Setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i menerima tawaran
bekerja sebagai sekretaris pribadi gubernur Yaman Hammad al-Barbari
sebagai sumber penghidupannya. Karir ini telah membuktikan kecakapan
Imam Syafi’i bukan hanya dalam membahas hukum-hukum agama tetapi ia
juga adalah seorang administrator yang mumpuni. Gubernur Yaman ini
telah menjodohkan Imam Syafi’I dengan Siti Hamidah binti Nafi’, Hasil
perkawinan tersebut, mereka telah dikurniakan seorang anak lelaki
bernama Muhammad dan dua orang anak perempuan bernama Zainab dan
Fatimah.14

12
Tarikuddin bin Haji Hassan, Imam Asy-Syafie, Johor Baru: Perniagaan Jahabersa, 2011,
hal. 26.
13
Abdul Latip Talib, Imam Syafie Pejuang Kebenaran, Selangor: Litera Utama, 2010, hal.
117-118
14
Akram Yusuf, Mausu’ah al-Imam As-Syafi’i, hal. 35

6
Pada tahun 198 H., ketika usia 48 tahun, Imam Syafi’i meneruskan
pengembaraan ke bumi Mesir, Sikap pemerintahan Khalifah al-Ma’mun
yang cenderung kepada bangsa Persia dan mendukung Muktazilah adalah
faktor yang menyebabkan Imam Syafi’i memilih Mesir sebagai destinasi
akhir ia seterusnya mendalami ilmu dua orang tokoh fiqh terkemuka yaitu
Imam al-Awza’i dan Imam al-Laith bin Sa’ad. Kajian dan penerimaan
warisan ilmu dari dua tokoh ini, penemuan hadits-hadits baru, perubahan
lingkungan banyak mendorong Imam Syafi’i mengemukakan pendapat baru
yang dikenali sebagai qaul jadid.15

Wafatnya Imam Syafi’i


Sewaktu Imam Syafi’i berada di Mesir, ia gigih mencari dan
menyampaikan ilmu sedangkan kondisi kesehatannya ketika itu sangat
buruk. Al-Rab’i berkata: “As-Syafi’i tinggal di sini (Mesir) selama empat
tahun, ia meninggalkan 1500 helai kertas, menulis kitab al-Sunan, kitab al-
Umm sebanyak 2000 halaman dan kitab-kitab yang lain yang sangat banyak
dalam tempo tersebut, padahal ia sedang sakit, sehingga pernah ketika ia
menunggang kuda, darah menetes hingga memenuhi khufnya (sepatu) karna
penyakit bawasir”.16 Menurut riwayat Abu Zuhrah, Imam Syafi’i dengan
tenang menghembuskan nafas terakhir karna penyakit bawasir, tanggal
Jum’at 29 Rajab 204 H. bertepatan 4 Januari 820 M., jenazahnya
dikebumikan di Tanah Perkuburan Banu Zuhrah di Qarafah Sughra di kaki
Gunung al-Muqattam ketika berusia 54 tahun.17
Ibn Zulaq berpandangan kepergian Imam Syafi’i meninggalkan
sejumlah penulisan yang sulit dihitung karna banyak karyanya yang telah
hilang. Mekah, Baghdad dan Mesir adalah lokasi perantauan yang paling
banyak ia menulis. Ibn Zulaq menyatakan bahwa Imam Syafi’i telah menulis

15
Al-Baihaqi, Manaqib As-Syafi’i, 473.
16
Al-Baihaqi, Manaqib As-Syafi’i, hal. 473.
17
Umar Hafiz, Jejak Para Imam, hal. 28.

7
sebanyak 200 karya, manakala al-Qadi al-Imam Abu Muhammad al-
Marwazi pula menyatakan jumlah karya Imam Syafi’i adalah sebanyak 113
karya. Walaupun hidupnya agak singkat berakhir pada usia 54 tahun,
namun ia telah mampu menghasilkan berbagai corak penulisan penting
yang menjadi rujukan utama dalam dasar-dasar asas ilmu Islam.
Ekspedisi ilmiah yang bermula di Mekah, di Madinah, Iraq, Kufah,
Yaman dan Mesir telah membentuk personaliti dan pemikiran Imam Syafi’i
sebagai seorang tokoh ilmuwan yang sangat disegani dan oleh masyarakat
dunia. Perkembangan mazhab Syafie ke segenap pelosok alam adalah
indikator terbaik untuk menunjukkan pengenalan masyarakat Islam
sedunia terhadap keilmuwan Imam Syafi’i bukan hanya tersohor dengan
julukan ahli fikih, tetapi ia juga adalah merupakan seorang filosof yang
mahir dalam empat bidang yaitu ilmu bahasa, ilmu karakter manusia, ilmu
menterjemahkan makna-makna kosakata dan pakar dalam ilmu fikih.
Kemahiran dalam keempat bidang ini membantu sketsa kemasyhurannya
dalam dunia keilmuwan serta mendapat perhatian umat Islam seluruh
dunia.18

Tafsir Al-Qur’an Pada Zaman Imam Syafi’i


Bidang tafsir yang berkembang pesat pada zaman Imam Syafi’i
memiliki keistimewaan dan berhasil membuat ciri-ciri tafsirannya
tersendiri. Allah SWT mentakdirkan perjalanan hidup Imam Syafi’i (150-204
H.) pada era keemasan dan puncak keilmuwan Islam yang tinggi. Kepesatan
revolusi ilmu pengetahuan dan kemunculan ulama-ulama besar seperti
Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain pada zaman ini
digunakan sebaik mungkin untuk menuntut ilmu pengetahuan dari mereka
sehingga Imam Syafi’i mampu mendirikan mazhabnya sendiri. 19

18
Al-Baihaqi, Manaqib As-Syafi’i, hal. 473.
19
Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Dar al-Hadith, 2005,
hal. 119.

8
Perkembangan tafsir pada pada zaman Imam Syafi’i dalam kajian ini
memfokuskan perkembangan dan kemajuan tafsir pada zaman tabi tabi’in.
Jika dilihat usia kehidupan Imam Syafi’i (150-204 H.) berarti ia menjalani
kehidupan sepenuhnya pada zaman pemerintahan Kerajaan Bani
Abbasiyyah melalui pemerintahan enam orang khalifah dinasti Abbasiyah
secara berurutan yaitu khalifah Abu Ja’far al- Mansur ‘Abd Allah bin
Muhammad (136H-158H), khalifah Muhammad al-Mahdi bin Abu Ja’far al-
Mansur (158H-169H), khalifah Musa al-Hadi bin Muhammad al-Mahdi
(169H-170H), khalifah Harun al-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi (170H-
193H), khalifah Muhammad al-Amin bin Harun al-Rasyid (193H-198H) dan
khalifah ‘Abd Allah al-Ma’mun bin Harun al-Rasyid (198H-218H). 20
Pada penghujung zaman tabi’in, terjadi perubahan corak pentafsiran
Al-Qur’an di mana para mufassir muncul dengan mengumpulkan makna-
makna Al-Qur’an, membukukannya serta mengkategorikan himpunan ilmu
tersebut secara terpisah lalu dinamakan dengan ilmu tafsir. Selanjutnya
para mufassir dari seluruh pelosok negara Islam tampil mengumpulkan
segala bentuk tafsiran yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dari
Rasulullah Saw. atau dari Sahabat. 21 Sebagai contoh, mufassir Mekah
mengumpulkan tafsir Ibn ‘Abbas, mufassir Kufah mengumpulkan tafsir Ibn
Mas’ud. Walau bagaimanapun pengumpulan pada tahap ini belum disusun
secara teratur mengikuti urutan berdasarkan ayat dan surat tertentu.
Pada zaman pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah para ulama
tabi tabi’in bangkit dan bertindak mengumpulkan dan membukukan kitab-
kitab tafsir dengan lebih teratur mengikut urutan surat dan ayat. Antara
lain kitab tafsir pertama yang terkumpul ialah Tafsir Ibn Juraij, Tafsir
Muhammad Ibn Ishak. Walau bagaimanapun semua kitab-kitab tersebut
tidak ada bukti peninggalannya kecuali kitab Tafsir Ibn Jarir al-Tabari saja. 22

20
Akram Yusuf, Mausu’ah al-Imam As-Syafi’i, hal. 13-14.
21
Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 93-108.
22
Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 128-129.

9
Bidang tafsir terus menerus berkembang hingga terjadi dimana
sanad-sanad telah dibuang dari karya-karya yang asal implikasi dari terlalu
ramainya ulama yang terlibat dalam usaha-usaha pengumpulan tafsir.
Banyak bahan tafsiran yang tidak lagi disebut periwayat serta pengambilan
sumbernya. Tafsiran pada ketika ini telah disisipi hadits-hadits palsu dan
unsur-unsur israiliyyat yang mulai masuk dan menimbulkan kebingungan
dalam karya-karya tafsir.
Kemunculan mufassir pada zaman ini paling ramai melebihi
kuantitas mufassir dikalangan para sahabat, namun Imam Suyuti
berpandangan hanya beberapa orang tabi’in saja yang benar-benar
mencapai reputasi tinggi sebagai tokoh mufassir pada zaman ini, di
antaranya ialah Isma’il al-Suddi, al-Dahhak bin Muzalim, al- Kalbi, Muqatil
bin Hayyan dan Muqatil bin Sulaiman. 23 Perkembangan tafsir pada zaman
ini melahirkan barisan tokoh-tokoh mufassir seperti yang telah disebutkan.
Jika dilihat karya-karya turath pada masa ini tidak tercantum nama Imam
Syafi’i sebagai tokoh mufassir dan ini bukanlah maksudnya Imam Syafi’i
tidak mentafsirkan Al-Qur’an, sebaliknya tafsiran-tafsiran Imam Syafi’i
khususnya tafsiran ayat-ayat hukum banyak dimuatkan dalam kitab-kitab
fiqih mazhab Syafie seperti al-Umm dan sebagainya. Situasi ini sekaligus
menyumbang kepada kemajuan dan perkembangan bidang tafsir khususnya
tafsir ayat hukum. Perkembangan tafsir pada zaman ini menghasilkan
perkembangan tafsir dan metodologi tafsir yang semakin dinamik, kreatif
dan ilmiah oleh Imam Syafi’i dan ulama sezamannya.

Metodologi Pentafsiran Zaman Imam Syafi’i


Secara umum terdapat dua metode yang utama yang digunakan oleh
para mufassir pada zaman ini. Pertama, menggunakan kaidah seperti yang
diikuti oleh para sahabat yaitu dengan berpandukan riwayat Baginda Saw.
23
Jalal al-Din ‘Abd Rahman al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar Ibn Kathir,
2005, hal. 265.

10
atau berpegang kepada atsar salah seorang sahabat Baginda Saw. melalui
penggunaan hadits-hadits untuk mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua,
tidak bergantung sepenuhnya kepada hadits dan atsar sahabat dalam
mentafsirkan ayat. Namun begitu, tafsiran kadang kala menggunakan
kaidah al-ra’y dan ijtihad.24 Metodologi pentafsiran pada zaman Imam
Syafi’i turut mengutamakan dua sumber Al-Qur’an dan hadits sebagai
rujukan autentik. Tafsiran yang menggunakan hadits dan atsar dikenali
dengan tafsir, manakala tafsir yang menggunakan ijtihad dan al-ra’y
dikenali dengan takwil.
Kemunculan khilafat al-madzhabiyyah merupakan titik penting
dalam perkembangan metodologi pentafsiran Al-Qur’an pada zaman ini.
Kemunculan tokoh- tokoh mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam Hanbali dan Imam Syafi’i membentuk pendirian yang berbeda
terhadap satu hukum sebagai konsekuensi dari perbedaan dalam
memahami dan mengkaji tafsiran nash-nash tertentu. Hasil penelitian para
mufassir dan fuqaha’ terhadap ayat-ayat yang menyentuh tentang hukum
ini melahirkan metodologi pentafsiran ayat hukum (tafsir ayat al-ahkam)
yang membawa kepada penulisan tafsir berdasarkan kepada pandangan
mazhab tertentu.25
Perkembangan metodologi pentafsiran pada zaman ini amat penting
karna ia merupakan zaman perintis kemunculan tafsir bi al-ra’y. Kebebasan
untuk menyatakan pandangan dalam tafsiran masing-masing terbuka luas
hingga menyebabkan elemen-elemen negatif mudah menyusup masuk ke
dalam tafsiran. Implikasi ini mendorong tokoh-tokoh mufassir khususnya
Imam Syafi’i merangka peraturan, meletakkan garis panduan dan disiplin
bagi mufassir yang ingin mentafsirkan Al-Qur’an. 26

24
Manna’al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah, 1988, hal.
332.
25
Fadl Hasan ‘Abbas, Muhadarat fi ‘Ulum al-Qur’an, Jordan: Dar al-Nafais, 2007, hal.
298.
26
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 87.

11
Seputar Kitab Tafsir Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menghasilkan karya-karya ilmiah yang ditulis sendiri
olehnya dan terdapat juga penulisan karya yang ditulis oleh anak muridnya.
Kebanyakan karya-karya besar juga ditulis pada masa 10 tahun akhir hayat
Imam Syafi’i, empat tahun terakhir semasa di Mesir adalah fase paling
banyak ia menulis hingga wafat di sana.27
Bahan-bahan tafsiran dalam karya Tafsir Imam Syafi’i didominasi
dengan tafsiran ayat hukum berbanding dengan bidang-bidang lain.
Tafsiran ini mendominasi 200 ayat tafsiran ayat hukum-hukum fikih, 100
ayat tafsiran berkaitan bidang akidah, 80 ayat-ayat tafsiran berkaitan
akhlak, 20 ayat-ayat sirah dan lain-lain merangkumi ayat-ayat kauniyyat,
ayat-ayat sosial dan kemasyarakatan, ayat hudud, ayat jihad serta ayat-ayat
yang menjelaskan metode pentafsiran itu sendiri.
Karya Tafsir Imam Syafi’i terdiri daripada 95 buah surah dan
menjangkau lebih daripada 745 tafsiran ayat adalah sesuatu yang tidak
boleh dianggap remeh. Prioritas tafsiran yang berfokuskan tafsiran ayat-ayat
ahkam yang pastinya amat terkait erat dengan ijtihad hukum-hukum fikih
adalah sebuah kekayaan turath ilmu tafsir, fikih, usul fikih, hadits, usul
hadits dan kesusastraan bahasa Arab yang amat berharga. 28

Sumber-Sumber Rujukan
Ahmad bin Mustafa mengumpul semua periwayatan tafsiran Imam
Syafi’i dan memindahkannya daripada berbagai sumber dengan memberi
keutamaan kepada isi-isi kandungan karya al-Umm terlebih dahulu seperti
berikut :
27
Abd al-Ghani al-Daqr, al-Imam As-Syafi’i Faqih al-Sunnah al-Akbar, Dimasyq: Dar
al-‘Ulum, 2005, hal. 302-303.
28
‘Abd al-Ghafur Mahmud Mustafa Ja’far, Tafsir wa al-Mufassirun fi Thawbihi al-Jadid,
Kairo: Dar al-Salam, 2007, hal. 525.

12
1) Al-Umm (Muhammad bin Idris as-Syafi’i)
2) Mukhtasar al-Muzani (Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin
Isma’il al-Misri al-Muzani)
3) ar-Risalah (Muhammad bin Idris as-Syafi’i)
4) Jima’ al-‘Ilm (Muhammad bin Idris as-Syafi’i)
5) As-Syafi fi Syarh Musnad as-Syafi’i (Ibn Athir al-Mubarak)
6) As-Sunan al-Ma’tsurah (al-Qal’aji & Tahawi)
7) Ahkam al-Qur’an (al-Baihaqi)
8) Al-Manaqib (Fakhr al-Din al-Razi)
9) Ihya’ ‘Ulum ad-Din (al-Ghazali)
10) Ikhtilaf al-Hadits (Muhammad bin Idris as-Syafi’i)
11) Azh-Zhahir fi Gharib Alfaz as-Syafi’i (Muhammad bin Idris as-
Syafi’i)
12) Adab as-Syafi’i wa Manaqibuhu (‘Abd ar-Rahman bin Abi Hatim
ar-Razi)
13) Siyar A’lam al-Nubala’ (Muhammad bin Ahmad bin ‘Uthman
adz-Dzahabi)

Teknik Penyusunan
Kitab Tafsir Imam Syafi’i adalah hasil koleksi terbesar himpunan
pentafsiran Imam Syafi’i yang pernah dihasilkan. Usaha besar ini pastinya
akan meletakkan kitab Tafsir Imam Syafi’i sebagai salah satu daripada kitab
rujukan penting dalam bidang tafsir khususnya tafsiran berkaitan ayat-ayat
hukum menurut mazhab Syafie.
Penelusuran kitab ini pastinya memudahkan para pembaca menemui
berbagai bentuk tafsiran Imam Syafi’i terhadap satu ayat tanpa perlu
membuka karya-karya lain yang tebal dan beraneka corak untuk membahas
tafsiran ayat-ayat terkait.

13
Karya Tafsir Imam Syafi’i adalah sebuah karya berbahasa Arab yang
telah disusun dan ditahqiq oleh Ahmad bin Mustafa al-Farran sebagai judul
risalah dukturah di Universitas Al-Qur’an al-Karim wa ad-Dirasat al-
Islamiyyah di Sudan. Melihat kembali ide hasil karya ini, Ahmad bin
Mustafa menulis dalam muqaddimah kitab ini, ketika ia mencari-cari judul
kajian untuk menyempurnakan risalah dukturah nya, ia tertarik dengan
penulisan Muhaqqiq Ahmad Muhammad Syakir pada al-hasyiah (catatan
kaki) dalam kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i :
“Daftar ayat-ayat Al-Qur’an ini sangat penting karna ia memberi informasi kepada
pembaca tentang wujudnya tafsir Imam Syafi’i pada beberapa ayat Al-Qur’an.
Sekiranya kita mampu membuat daftar ayat seperti ini pada semua karya Imam
Syafi’i, maka kita akan dapat menghasilkan sebuah karya yang hebat dan agung
dari perkataan dan pemahaman Imam Syafi’i tentang tafsir Al-Qur’an, yang
mungkin sukar untuk kita temui dalam semua kitab tafsir yang ada.” 29

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Ahmad bin Mustafa adalah sebuah


komitmen amat besar dalam sejarah perkembangan dunia tafsir. Ia
merupakan kesinambungan usaha yang telah dilakukan oleh Ahmad
Muhammad Syakir demi memastikan karya-karya agung ulama terdahulu
terus hidup subur untuk rujukan generasi hari ini dan seterusnya.
Halaman depan kitab Tafsir Imam Syafi’i yang menjadi rujukan
penulis tertulis Tafsir Imam Syafi’i li Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Idris al-
Muttallabi al-Qurasyi, Jam’u wa Tahqiq wa Dirasah ad-Duktur Ahmad bin
Mustafa al-Farran. Karya yang terhimpun dalam tiga jilid ini adalah cetakan
pertama Dar at-Tadmuriyyah di Riyad pada tahun 2006 M. bertepatan 1427
H. Jilid pertama menguraikan pentafsiran Surah al-Fatihah hingga
Ali-‘Imran, jilid kedua membahas pentafsiran ayat-ayat dari Surah an-Nisa’
hingga Surah al-Isra’, sedangkan jilid ketiga adalah pentafsiran ayat-ayat
Surah al-Kahfi hingga Surah an-Nas.

29
Ahmad Bin Musthafa Farran,Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 1:12.

14
Ahmad bin Mustafa meneruskan penulisan ia dalam muqaddimah
dengan menyatakan sebab-sebab ia memilih kitab ini sebagai fokus risalah
dukturahnya. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil, di antaranya ialah: 30
1) Kajian dan tahqiq terhadap kitab bidang pentafsiran Imam Syafi’i
belum pernah dilakukan oleh penulis dan pengkaji manapun.
2) Mengungkapkan metodologi fuqaha’ dalam usaha mengistinbat
hukum-hukum fikih.
3) Memudahkan rujukan pelajar dan para pencinta ilmu karna tidak
perlu merujuk berbagai karya lain untuk mencari tafsiran Imam
Syafi’i.
4) Menyusun penulisan Imam Syafi’i dalam bentuk takhassus dan
memiliki corak penulisan tersendiri.
5) Membuktikan bahwa Imam Syafi’i amat terkenal dengan
penguasaan berbagai bentuk ilmu yang boleh diteladani oleh
generasi hari ini khususnya bidang tafsir.
6) Memberi sumbangan ilmu dan pemikiran kepada umat Islam
dengan cara menghimpunkan ilmu-ilmu terkait.
Ahmad bin Mustafa turut melanjutkan perbahasan berkaitan kaidah
penyusunan dan sistematika penulisan karya Tafsir Imam Syafi’i ini, ia
menyusun periwayatan Imam Syafi’i dengan mendahulukan tafsiran al-
Umm dan diikuti dengan karya-karya lain, menamakan surah dan nomer
ayat yang ingin ditafsirkan, meletakkan baris pada kalimat-kalimat tertentu,
menjelaskan makna kosa kata asing, mentakhrij semua hadits-hadits yang
digunakan dan menjelaskan dan mentarjih pendapat-pendapat yang kuat. 31
Selain itu, karya ini juga memaparkan sedikit sejarah perkembangan
pengkajian tafsir di Syam dan Mesir, rujukan-rujukan tafsiran serta
beberapa pendekatan yang digunakan oleh Imam as-Syafi’i untuk
mentafsirkan Al-Qur’an turut dibahas oleh Ahmad bin Mustafa. Ia juga
30
Ahmad Bin Musthafa Farran,Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 1:13.
31
Ahmad Bin Musthafa Farran,Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 1:20.

15
didapati melakukan catatan pada bagian catatan kaki jika terdapat sumber-
sumber yang diambil dari karya-karya lain, semua hadits-hadits dalam
karya ini juga telah ditakhrij untuk memastikan kebenaran dan
kesahihannya.
Pada bagian akhir jilid 3, Ahmad bin Mustafa telah menyediakan tiga
jenis fihris untuk memudahkan pembaca dan pengkaji melakukan rujukan,
yaitu fihris surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an pada halaman 1477-1509,
fihris sumber rujukan atau bibliografi pada halaman 1511-1521 dan fihris
kandungan sub-sub topik dalam karya ini pada halaman 1523-1529.
Penyusunan karya ini telah diselesaikan pada malam 27 Ramadhan tahun
1422 H. bertepatan 12 Desember 2001 M. dan selesai validasi referensi
penukilan naskah-naskah asli bertepatan 24 Sy’aban 1433 H. dan telah siap
dicetak pada 23 Zulhijjah 1433 H. Ahmad bin Mustafa berharap usaha ini
akan menjadi salah satu dari amal saleh dan mudah- mudahan Allah SWT
akan mengangkat darjat umat Islam yang sentiasa cinta akan ilmu
khususnya ilmu-ilmu berkaitan Al-Qur’an.
Tafsir Imam Syafi’i merupakan penyusunan karya pertama yang
menghimpun hampir kesemua bahan-bahan tafsiran Imam as-Syafi’i. Bagi
penulis, karya ini boleh diklasifikasikan sebagai tafsir al-maudu’i karna
corak penyusunannya disusun mengikuti urutan surah dan ayat dalam
mushaf dengan uraian judul mengikuti bab-bab fikih di samping menjaga
corak tafsiran klasik dan asli seperti yang dikutip dari naskah asal.
Penyusunan ini menyaksikan upaya berkelanjutan yang menunjukkan
perkembangan positif dalam dunia pentafsiran.

Keutamaan Dan Kontribusi Tafsir Imam Syafi’i


Keutamaan tafsiran Imam Syafi’i dilihat mempunyai ketinggian nilai
dari sudut keaslian isi kandungan tafsirannya. Pembacaan dan penelitian
terhadap karya Tafsir Imam Syafi’i ini didapati tidak ada ruang sedikitpun

16
tafsiran Imam Syafi’i yang mencantumkan kisah-kisah tafsiran israiliyyat.
Kajian Ahmad bin Mustafa melalui penyusunan karya Tafsir Imam Syafi’i
menjelaskan bahwa tafsiran Imam Syafi’i bersih dari elemen-elemen yang
tidak sahih.
Imam Syafi’i sentiasa berpedomankan dalil autentik Al-Qur’an dan
hadits dalam pentafsirannya. Imam al-Baihaqi melalui Ahkam Al-Qur’an
menyatakan bahwa Imam Syafi’i banyak mengingatkan umat Islam
khususnya golongan mufassir agar sentiasa meletakkan Al-Qur’an dan
hadits sebagai keutamaan di samping berusaha melakukan ekplorasi ilmiah
untuk meningkatkan pemahaman terhadap pentafsiran Al-Qur’an, dan
terus ikhlas beramal menyebarkannya.
Kompetensi ilmu Al-Qur’an dan tafsir yang dimiliki Imam Syafi’i
yang semula menghafal Al-Qur’an sejak usia 7 tahun amat membantu
proses pemahamannya terhadap tafsiran Al-Qur’an. Keintelektualan dan
keutamaan tafsiran Imam Syafi’i mendapat pengakuan publik, Yunus bin
al-‘Ala pernah berkata :
“Pertama, aku pernah belajar kepada para ahli tafsir dan berdiskusi
dengan mereka. Jika Imam Syafi’i mentafsirkan sesuatu ayat,
seakan- akan dia ikut langsung menyaksikan turunnya ayat
tersebut.”32
Kemunculan karya-karya tafsir mazhab Syafie adalah signifikan
dengan kompetensi Imam Syafi’i sebagai pengasas mazhab Syafie. Aspek
dan dasar pembahasan hasil karya-karya ini adalah berasaskan pemikiran
mazhab Syafie dikupas dalam berbagai variasi yang berbeda. Imam Syafi’i
adalah pembuka jalan dan membuka ruang ulama-ulama Syafi’iyyah
menghasilkan karya-karya tafsir berasaskan mazhab Syafie seperti berikut:
1) Ahkam Al-Qur’an oleh Abu al-Hasan al-Tabari (504 H.).

32
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 1:42.

17
2) Al-Qawl al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-‘Aziz oleh Syihab ad-Din
Abu al- ‘Abbas Ahmad bin Yusuf bin Muhammad al-Halabi (756
H.).
3) Ahkam al-Kitab al-Mubin oleh ‘Ali bin ‘Abd Allah Mahmud al-
Syanfaki, seorang ulama abad ke 9 H.
4) Al-Iklil fi Istinbat at-Tanzil karya Jalal ad-Din as-Suyuti (911 H.)
5) Ahkam Al-Qur’an oleh Abu Bakr Ahmad bin Husayn al-Baihaqi
(458 H.) karya yang merupakan himpunan teks asal Imam Syafi’i
dalam karya-karyanya.
6) Tafsir Imam Syafi’i disusun dan ditahqiq oleh Majdi bin Mansur
bin Sayyid al-Syura di Lubnan.
7) Tafsir Imam Syafi’i disusun dan ditahqiq oleh ad-Duktur Ahmad
bin Mustafa al-Farran, cetakan Dar at-Tadmuriyyah di Riyad.
Hasil karya-karya di atas menunjukkan bahwa pentafsiran ayat
hukum aliran mazhab Syafie terus menjadi keperluan masyarakat Islam
seluruh dunia dari masa kesemasa. Penyusunan karya Tafsir Imam Syafi’i
pada tahun 1995 dan 2006 menunjukkan bahwa masyarakat masih
memerlukan literatur pentafsiran ayat hukum Imam Syafi’i sebagai sumber
rujukan. Kemunculan karya-karya ini menunjukkan jasa dan sumbangan
Imam Syafi’i masih menjadi rujukan hingga hari ini.

Sumber-Sumber Tafsiran Imam Syafi’i


Popularitas Imam Syafi’i yang amat kental sebagai ahli fikih,
mujtahid dan pengasas dasar-dasar ilmu Usul Fikih, secara tidak langsung
memperkenalkan kepakarannya sebagai mufassir ayat ahkam. Kepiawaian
dalam mengistinbat hukum-hukum fikih adalah signifikan dengan
kepakarannya mentafsirkan Al-Qur’an. Keistimewaan ini dilihat pada
kepiawaiannya menyusun sumber-sumber tafsiran yang lengkap dengan

18
prinsip-prinsip tertentu. Ahmad bin Mustafa al-Farran melalui karya Tafsir
Imam Syafi’i berkata:33
“Apabila kita mengkaji tafsiran Imam Syafi’i, kita akan dapati ia
berpegang kepada sumber-sumber tafsiran seperti urutan berikut:
tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan sunnah
dan begitulah seterusnya.” ini dinyatakan oleh dapat dilihat melalui
kata-kata Imam Abu Zuhrah: “Imam Abu Zuhrah menyalin langkah-
langkah ini secara tidak berurutan dengan berkata: “Imam Syafi’i telah
menempuh jalan lurus tersebut, ia menggunakan Al-Qur’an dan
sunnah untuk menetapkan suatu hukum. Jika tidak ada pada sunnah,
ia merujuk perkataan sahabat, baik yang bersangkutan hal-hal yang
disepakati maupun yang diperselisihkan. Jika tiada perkataan sahabat,
ia akan merujuk uslub bahasa Arab, logika dan qiyas.”
Petikan di atas jelas menyatakan sumber-sumber tafsiran Imam
Syafi’i ketika Imam Abu Zuhrah membuat uraian lanjut dalam tema
pembahasan Adillah al-Ahkam ‘Inda as-Syafi’i (sumber-sumber hukum
Islam menurut Imam Syafi’i), sumber-sumber ini ditunjang dengan sumber
wahyu Al-Qur’an dan sunnah yang tsabit, dikuti dengan sumber ijma’ para
ulama, sumber perkataan sahabat yang tidak ada perselisihan dan yang ada
perbedaan serta tafsir Al-Qur’an bersumberkan Qiyas. Wujud keselarasan di
antara sumber-sumber pembinaan hukum dan sumber pentafsiran di mana
keduanya saling berkaitan erat antara satu sama lain. Penulisan selanjutnya
akan membahas keabsahan sumber-sumber tafsiran Imam Syafi’i melalui
subjek kajian karya Tafsir al- Imam as-Syafi’i. 34
Berikut sumber-sumber Imam Syafii:
1) Sumber Al-Qur’an
2) Sumber Hadits

33
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 1:40.
34
Muhammad Abu Zuhrah, As-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Asruhu (Kairo : Dar al-Syuruk,
1998), 185.

19
3) Sumber Ijma’
4) Sumber Qiyas
5) Sumber Para Sahabat
6) Sumber Pendapat Para Imam Tabi’in
7) Sumber Bahasa Dan Kesusasteraan Arab

Tafsiran Imam Syafi’i dipengaruhi oleh banyaknya kalangan kibar al-


sahabah termasuk mengambil kata-kata dan pandangan Khulafa’ al-
Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, Uthman dan ‘Ali), sekaligus menjadikan
pandangan mereka sebagai sumber pentafsiran. Madrasah Tafsir di Mekah,
Madinah, Kufah, Basrah dan Yaman memainkan peranan besar dalam
mempengaruhi pentafsiran Imam Syafi’i. Menurut Ibn ‘Abbas, antara ulama
Mekah yang dikenal pasti mempengaruhi Imam Syafi’i ialah Mujahid bin
Jabar al-makhzumi (104 H), Sa’id bin Jubair al-Asadi (95 H, pendapat lain
wafatnya ialah pada tahun 94 H).,‘Ikrimah al-Barbari al-Madani (104 H).
Tawus bin Kaisan (106 H). ‘Ata’ bin Abi Rabah al-Makki (114 H), Sufyan bin
‘Uyaynah (198 H), Jabir bin Zaid al-Azdi (Abu al-Sya’tha’) (93 H). Imam
Syafi’i banyak menukilkan riwayat-riwayat dari mereka dan berusaha
mentarjih pendapat-pendapat ini melalui uraian pentafsirannya.
Ulama Madinah yang mempengaruhi Imam Syafi’i ialah Abi
al-‘Aliyah Rafi’ bin Mahran al-Riyahi (90 H, pendapat lain pada 93 H),
Muhammad bin Ka’ab al- Qarazi (118 H, pendapat lain pada tahun 120 H),
Zaid bin Aslam al-‘Adawi, guru Imam Malik (136 H), Malik bin Anas al-
Asbahi (179 H) ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad al-Darawardi (186 H),
Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik (200 H), Khulafa’ al-Rasyidin (Abu
Bakar, ‘Umar, Uthman dan ‘Ali).
Selain itu, Imam Syafi’i juga didapati mengambil pendapat dan
pandangan ulama Kufah, di antaranya ialah ‘Alqamah bin Qais al-Nakha’i
(61 H, pendapat lain ialah pada 62 H), Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdhani

20
(pendapat yang masyhur 63 H), Al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i (74 H,
pendapat lain ialah pada 75H), Masrah bin Syarahil al-Hamdhani (76 H)
dan ‘Amir bin Syarahil al-Sya’bi (103 H). Manakala di Basrah, pandangan ia
banyak dipengaruhi oleh dua orang imam mufassir yaitu Al-Hasan al-Basri
(110 H) dan Qatadah al-Sudusi (117 H).
Di Yaman Imam Syafi’i banyak menukilkan dari ‘Amru bin Abi Salamah al-
Tunisi (sahabat Imam Auza’i dan merupakan seorang imam dan ulama
syeikh besar di Yaman), Yahya bin Hasan al-Tunisi (208 H, merupakan
sahabat al-Laith bin Sa’ad imam Mesir yang termasuk salah seorang syeikh
besar di Yaman) dan Hisyam bin Yusuf (seorang hakim di San’a).
Usaha-usaha penyusunan Ahmad bin Mustafa terhadap karya ini
menunjukkan bahwa Imam Syafi’i amat dipengaruhi oleh guru-guru atau
syeikh tempat ia menimba ilmu. Guru Mekah yang paling banyak
mempengaruhi ia adalah Imam Muslim bin Khalid al-Zanji, Sufyan bin
‘Uyaynah dan Ibn Juraij. Imam Malik pula adalah guru yang banyak
mempengaruhinya ketika di Madinah, manakala di Iraq, ia banyak
dipengaruhi oleh Imam Muhammad bin Hasan as-Syaibani.

Pandangan-Pandangan Imam Syafi’i


Secara keseluruhan Tafsir Imam Syafi’I berkaitan dengan tafsir ayat
ahkam, namun banyak juga kita jumpai pandangan-pandangan beliau
terhadap persoalan akidah melalui bahasan ayat-ayat terkait akidah dan lain
sebagainya. Berikut pandangan beliau terhadap beberapa persoalan: 35
1) Pandangan terhadap pokok akidah
a. Iman dan bantahan beliau terhadap murjiah
b. Asma Allah dan sifat-Nya
c. Bantahan terhadap mu’tazilah terkait Al-Qur’an itu makhluk
d. Penetapan al-Masyiah bagi Allah

35
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 1:95.

21
e. Qadar dan perbuatan manusia
f. Penetapan Ru’yatullah d hari kiamat
g. Penetapan Ru’yatul Jin
h. Ahli Kalam dan Kelompok Sesat
i. Keagungan Nabi Saw.
j. Persoalan para sahabat yang mulia
2) Pandangan terhadap Ayat al-Ahkam
3) Pandangan terhadap an-Naskh
a. Kaidah dalam naskh
b. Dalil kaidah naskh
c. Penjelasan Sunnah terkait Nasikh Mansukh yang ada dalam
Al-Qur’an
4) Pandangan terhadap al-Istihsan
a. Argumen Imam Syafi’I terkait penolakannya terhadap Istihsan
b. Tafsir Al-Qur’an dengan Istihsan

Karakteristik Penafsiran Imam Syafi’i


Ketika menafsirkan Al-Qur’an, Imam Syafi’I terlihat jelas
kepiawaiannya dalam menjelaskan kandungan-kandungannya.
Keintelektualan dan keutamaan tafsiran Imam Syafi’i mendapat pengakuan
publik, Yunus bin al-‘Ala pernah berkata:
“Pertama, aku pernah belajar kepada para ahli tafsir dan berdiskusi
dengan mereka. Jika Imam Syafi’i mentafsirkan sesuatu ayat, seakan-
akan dia ikut langsung menyaksikan turunnya ayat tersebut.” 36
Dengan adanya pengumpulan dan tahqiq yang dilakukan oleh
Ahmad Musthafa, tampaklah karakteristik tafsiran Imam Syafi’I sebagai
berikut:

36
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 152.

22
1) Fashahah wa Suhulah al-‘Ibarah (memudahkan siapa saja yang
membacanya)
2) Ijaz al-Ibarah (bahsan ringkas terkait penafsiran yang bukan ayat
ahkam)
3) Al-Ishab fi at-Tafri’aat al-Fiqhiyyah (penjelasan gamblang terkait
ayat-ayat ahkam)
4) I’timad fi ad-Dalil wa al-Araa’ (menggunakan dalil dan pendapat
mazhab)
5) I’timad Madzhab as-Salam (khususnya persoalan akidah)
6) Menggunakan urutan sumber-sumber rujukan (seperti yang sudah
disebutkan)
7) ‘Azwu al-Manqul (penisbahan pendapat dan dibagi terhadap
beberapa cara)
a. Azwu al-Mubasyir: menyebut langsung nama & tanpa
menyebut nama
b. Azwu Ghair al-Mubasyir: seperti “sebagian mufassir”,
“mayoritas mufassir”, dan lainnya
8) Dzikru al-Araa’ al-Muhtamilah (menyebut beberapa pendapat
terkait tafsir kemudian mentarjih pendapatnya)
9) Munaqasyah al-Araa (adu pendapat lain terkait tafsir mereka)
10) Shighat at-Tarjih (ketika mentarjih pendapatnya menggunakan
ungkapan:
a. ‫أحسب ما قال كما قال‬
b. ‫وهذا المعنى تحتمله األية‬
c. ‫وما أشبه ما قال بما قال‬
d. ‫وما أشبه ما قيل من هذا بما قيل‬
e. ‫وما أشبه ما قالوا من هذا بما قالوا‬
11) Istikhlash at-Ta’arif al-Aammah (meringkas definisi-definisi
terkait persoalan hukum)

23
12) Tafwidh al-Ilm ila Allah (seperti pada awal, tengah dan akhir
mayoritas dengan ungkapan wallahu a’lam dan lainnya)
13) ‘Ittiba ar-Ra’y ash-Shahih
14) At-Tafsir bi al-Ma’tsur (secara umum, meskipun ada ijtihad dan
pendekatan kesastraan arab)37

Pondasi Imam Syafi’I Dalam Kaidah Tafsir


Sangat benar jika dikatakan bahwa Imam Syafi’I adalah peletak
pertama dasar ilmu Ushul Fiqih, bahkan Imam Ar-Razi menyampaikan
kesepakatan manusia terhadap pernyataan diatas, akan tetapi sebenarnya
tidak hanya dalam bidang ushul fiqih saja, dalam bidang ilmu hadits
misalnya, Imam Syafi’I telah meletakan dasar penerimaan riwayat dan
pengamalan berdasakan hadits ahad, begitu juga dalam bidang ilmu tafsir,
Imam Syafi’I telah meletakan dasar kaidah yang meliputi Al-Aam, Al-Khash,
Al-Lafzh, Al-Muthlaq, Al-Muqayyad, standarisasi An-Naskh, Qiyas, dan lain
sebagainya.38
Paling tidak ketika kita membaca tafsir Imam Syafi’I kita bisa melihat
beberapa kaidah/pondasi yang diletakkan Imam Syafi’I sesuai dengan yang
dipaparkan oleh Ahmad Musthafa sebagai berikut:
1) Kaidah Umum.
a. Non alim menggunakan Ittiba’ bukan mengggunakan Qiyas (Ijtihad,
karna tidak memiliki perangkatnya).
b. Seseorang selamanya tidak boleh mengatakan: sesuatu itu haram
atau halam kecuali atas dasar ilmu (faham Al-Qur’an, hadits, ijma
dan qiyas)
c. Orang yang berusaha berijtihad pada sesuatu yang tidak diketahui
(meski benar) itu tidak terpuji.

37
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 152-156.
38
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 166.

24
d. Akal itu dipaksa menerima kebenaran, maka setiap yang aku
katakan kepada kalian dan akal kalian tidak menerimanya
sementara engkau melihatnya benar, maka jangan diterima.
e. Hujjah bisa terjadi dengan satu orang terpercaya, apalagi banyak.
f. Dan lainnya.

2) Kaidah Tafsir.
a. Dalam Al-Qur’an tidak ada sesuatu kecuali dengan lisan Arab. Dan
lisan Arab tidak ada yang lebih menguasanya kecuali Nabi
b. Tafsir ayat dengan zhahirnya selama tidak ada pentakhsisan dengan
Al-Qur’an, hadits, atau dilalah kesastraan Arab.
c. Tidak ada naskh nash Al-Qur’an kecuali dengan nash qur’ani.
d. Dan lain sebagainya.39

Contoh Penafsiran Imam Syaf’i


Contoh ini akan membahas hukum talak dari tafsir Imam Syafi’i pada
surat Al- Baqarah ayat 228 sampai 230:

Dalam kitab Al-Umm: talak perempuan yang belum digauli.


39
Lengkapnya lihat: Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 167-170.

25
Berkata Imam Syafi’i, Allah SWT. berfirman: ‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلثة‬
‫ قروء‬dan ‫وبعولتهن أحق بردهن في ذالك‬
Al-Qur’an menunjukan bahwasannya rujuk adalah bagi yang ditalak
satu atau dua hanya bagi perempuan yang masih pada masa iddah, karena
Allah SWT menentukan rujuk hanya pada masa iddah, dan laki-laki tidak
memiliki hak rujuk ketika masa iddah habis, karena pada saat itu
perempuan boleh menikah laki-laki yang bukan penalak, barang siapa yang
mentalak istrinya yang belum di gauli dengan satu talak atau dua talak
maka suaminya tidak mempunyai hak rujuk atasnya, dan tidak ada masa
iddah, dan baginya halal menikahi siapa saja, sama saja apakah dia perawan
atau janda-bukan perawan-.40

Dalam kitab Al-Umm : masa Iddah perempuan yang telah di gauli yang haid
Telah mengabarkan kepada kami Assyafi’i, Ia berkata : Allah SWT
berfirman: ‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء‬

40
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir al-Imam As-Syafi’i, hal. 349-350.

26
Imam Syafi’i berkata : kata aqra’ bagi kami adalah athaar (suci), apabila ada
yang bertanya, apa arti bawasannya artinya adalah suci, dan yang lain
berpendapat artinya haid, maka dikatkan kepadanya: ada dua dalil:
1. Al-Quran yang ditunjukan oleh sunnah
2. Secara bahasa
Apabila ditanya, apa dalil dari Al Quran, dikatakan kepadanya : ‫وإذا طلقتم النساء‬
‫فطلقوهن لعدتهن‬
Berkata Asyafi’i: Imam malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’, dari
Ibnu Umar radiallahu anhuma bawasannya ia menalaq istrinya dalam
keadaan haid, pada zaman Nabi SAW, kemudian Umar radiallahu anhu
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang itu. Maka Rasul SAW bersabda:
“perintahkan ia agar rujuk, kemudian menahannya hingga suci, kemudian
ia haid, kemudian ia suci, kemudian ia bisa menahannya setelah itu atau

27
mencerahkannya sebelum menyentuhnya, dan itulah iddah yang Allah
perintahkan wanita ditalak padanya”

Dan dalam riwayat, berkata Nabi Muhammad SAW: “Apabila telah suci
maka talaklah atau tahanlah” kemudian Nabi Saw membaca, “Apabila kamu
mentalak perempuan maka talaklah mereka pada waktu diwaktu yang
dihitung iddahnya” yaitu ditalak ketika suci, karena pada saat itu terhitung
iddahnya. Dan apabila ditalak ketika haid tidak terhitung iddahnya kecuali
setelah haid.

Dan apabila ia berkata apa dalil lisan?, maka dikatakan: Alqur’u: kata benda
yang digunakan untuk suatu makna, Haid adalah darah yang berada di
rahim kemudian keluar, dan tuhr adalah darah yang tertahan maka tidak
keluar, dan telah diketahui dalam bahasa arab bawasannya Alquru artinya
tertahan, sebagaimana perkataan orang arab: Ia menahan air di
penampungan, orang Arab berkata: “Ia menahan makanan di mulutnya.

28
Berkata kepada kami Sa’id dan Ibnu Juraij, bawasannya Mujahid
menafsirkan firman Allah SWT, ‫امهن‬www‫ق هللا في أرح‬www‫ا خل‬www‫ل لهن أن يكتمن م‬www‫ وال يح‬,
perempuan yang dicerai tidak boleh baginya untuk berkata: “saya hamil dan
ia tidak hamil, atau aku tidak hamil padahal ia hamil, atau aku haid padahal
ia tidak haid dan saya tidak haid padahal ia haid.41

Hukum rujuk: berkata Imam Syafii dalam menafsrikan firman Allah SWT :
‫ إن أرادوا إصالحا‬: memperbaiki talak: rujuk-wallahu a’lam- barang siapa yang
menginginkan rujuk maka istrinya adalah miliknya, karena Allah SWT
menjadikannya menjadikan istrinya untuknya.
Berkata Imam Syafi’i, berkata Imam Syafi’i: setiap suami merdeka
yang mentalak satu atau dua istrinya setelah ia menggaulinya, maka ia
berhak merujuknya selama belum habis iddahnya, dengan dalil Al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah SAW, sesunggunya Rukanah mentalak istrinya tiga
41
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 352.

29
talak, dan ia hanya bermasksud satu talak, maka Rasulullah SAW
mengembalikan istrinya kepadanya, dan bagi kami itu dalam iddah. 42

Dalam kitab umm: bagaimana ditetapkannya rujuk


Berkata Imam Syafi’: ketika Allah jadikan bawasannya suami adalah yang
berhak ata rujuk istrinya dalam mas iddah maka menjadi jelas bawasannya
istri tidak bisa menghalangi suami dari rujuk, dan istri tidak mendapatkan
pengganti-harta-, karena rujuk hak suami atas istri bukan hak istri atas
suami, Allah SWT berfirman: ‫وبعولتهن أحق بردهن في ذالك إن أرادوا إصالحا‬
Menjadi jelas bawasannya rujuk dengan perkataan bukan perbuatan seperti
jimak ddan lainnya, karena itu adalah pengembalian tanpa perkataan, maka
rujuk tidak dianggap hingga ada perkataan rujuk, seperti: “saya telah rujuk
dia” atau “saya telah kembalikan dia kepada saya”
dan perkataan lainnya yang menunujukan rujuk.43

42
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i, ..., hal. 353.
43
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 354.

30
Dalam kitab umm: talak yang berlaku padanya rujuk.
Berkata Imam Syafi’i -radiallahu anhu-, Allah SWT berfirman :
‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء وال يحل لهن أن يكتمن ما خلق هللا في أرحامهن‬
Berkata imam Syafi’i: maka sudah jelas dalam Al-Quran bawasannya setiap
talak-kecuali talak tiga- , suami memiki hak rujuk. Dan yang demikian itu
jelas pada hadits Rukanah dari Rasulullah SAW, kecuali talak yang diambil
atasnyaharta-rujuk-, karena Allah SWT mengizinkannya, dan itu disebut
fidyah.44

44
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 355.

31
Talak perempuan yang haid.
Berkata Imam Syafi’i: “hadits malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar-radiyallahu
anhuma-, bawasannya Nabi Muhammad SAW memerintahkan Umar -
radiallahu anhu- untuk memerintahkan Ibnu Umar - radiyallahu anhuma-
untuk merujuk istrinya sebagai dalil yang jelas bawasannya tidak dikatan
kepadanya rujuk kecuali apabila telah jatuh padanya talak sebagaimana
firman Allah SWT: ‫ردهن في ذالك‬www‫ق ب‬www‫ولتهن أح‬www‫ وبع‬, dan jelas secara lisan
bawasannya tidak dikatakan kepada laki-laki: “cerikan istrimu” kecuali
apabila dia dan istrinya telah berpisah. Kemudian ia berkata: dan Al-Quran
menunjukan bawannya itu hal tersebut terhitung talak -talak Ibnu Umar
terhadap istrinya ketika haid- Allah SWT berfirman “Talak itu dua talak,
maka peganglah dengan baik atau lepaslah dengan baik” tidak dikhususkan
untuk salah satu talak, dan apa yang sesuai dengan zhohir Al-Quran dan
Hadits lebih utama untuk ditetapkan.45

45
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 358.

32
Dalam kitab Umm: harta yang dibolehkan bagi laki-laki untuk diambil dari
istrinya.
Berkata Imam Syafi’i: Allah SWT berfirman: “Talaq ada dua” sampai “pada
yang ia fidyahkan”
Berkata Imam Syafi’i: Allah SWT melarang mengambil apa-apa yang sudah
diberikan kepada perempuan, kecuali apabila keduanya takut tidak bisa
melaksanakan aturan-aturan Allah SWT, apabila keduanya takut “tidak bisa
menegakan aturan-aturan Allah SWT maka tidak ada dosa atas keduanya,
pada apa-apa yang istri fidyahkan”.46

Dan dibolehkan bagi keduanya apabila berpindah dari batasan tidak


diperpolehkannya harta istri atas suami karena takut tidak bisa menegakan
hukum-hukum Allah, untuk mengambil darinya apa-apa yang di fidyahkan.
Tidak ditentukan pada yang demikian itu untuk tidak mengambil kecuali
apa-apa yang telah diberikan kepada istri. Karena yang demikian itu
46
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 360.

33
termasuk jual beli, dan jual beli yang halal tidak ditentukan batasannya,
bahkan dalam Al-Quran ada dalil yang membolehkan, baik banyak atau
sedikit, Allah SWT berfirman: “maka tidak ada dosa atas keduanya terhadap
apa-apa yang ia -istri- berikan”.47

Dalam kitab Umm, Nikah perempuan yang ditalak tiga kali.


Berkata Imam Syafi’i-rahimahullah-: perempuan mana saja yang secara asal
boleh dinikahi, maka nikahnya halal, kapan saja ia laki-laki atau perempuan
itu mau, kecuali dua perempuan:
1. Perempuan yang di li’an48: apabila suami me-li’an, maka istrinya
tidak halal baginya selamanya, dalam keadaan apapun, dengan dalil
mula’anah yang dibahas di kitab li’an.

2. Perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya yang merdeka, maka


tidak halal baginya setelah itu sehingga suaminya yang lain-suami
kedua- menggaulinya, sebagaimana firman Allah SWT: “Maka
apabila suami mentalaknya maka tidak halal baginya setelah itu
sehingga ia-istri- menikahi laki-laki lainnya”

47
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 360.
48
Tuduhan melakukan zina yang disampaikan oleh suami.

34
Telah mengabarkan kepada kami sufyan bin Uyaynah, dari bin Shihab, dari
Urwah dari Aisyah -radiyallahu anha- istri Nabi Muhammad SAW, Ia-Bin
Syihab- mendengarnya berkata: datang kepada Nabi SAW Rifa’ah Al
Qurazhi kepada Nabi SAW maka ia berkata: sesungguhnya aku disamping
Rifa’ah Al Qurzhi maka ia mentalakku dengan tiga talak, maka aku
menikahi Abdurrohman bin Zubair, dan keadaanya seperti seperti sepotong
kain, maka Nabi Muhammad SAW tersenyum dan berkata: apakah engkau
ingin kembali ke Rifa’ah? Jangan kembali sehingga kami merasakan
madunya dan dia merasakan madumu.49

Kesimpulan Contoh:
1. Surat Al-Baqarah ayat 228 sampai ayat 230 membahas hukum talak.
2. Dari tafsir Imam Syafi’i Surat Al-Baqarah ayat 228 sampai 230 dapat
disimpulkan hukum-hukum berikut :
a. Hukum Talak:
- Talak ada berberapa jenis: talak satu, talak dua, talak tiga.
- Talak yang bisa rujuk adalah talak satu dan dua.
- Talak yang tidak bisa rujuk adalah talak tiga.
- Seorang suami bisa rujuk ketika mentalak istrinya talak satu dan
dua dan istri masih pada masa iddahnya dan ini bagi perempuan
yang sudah digauli.

49
Ahmad Bin Musthafa Farran, Tafsir Imam As-Syafi’i,..., hal. 370-371.

35
- Perempuan yang belum digauli dan ditalak oleh suaminya, maka ia
boleh menikah dengan laki-laki lain dan tidak berlaku padanya
masa iddah, dan ini sama saja apakah ia perawan atau bukan
perawan.
- Apabila Laki-laki mentalak istrinya dengan mangambil tebusan dari
istri /khulu maka ia tidak mempunyai hak rujuk.
- Seorang laki-laki yang mentalak istrinya talak tiga maka ia tidak
dapat menikahi lagi istrinya kecuali apabila mantan istrinya
menikah lagi dan digauli oleh suami barunya.
- Suami dan istri yang sudah mula’anah antara keduanya maka
diharamkan menikah antara mereka selamanya.
- Seorang istri tidak boleh berbohong apakah ia dalam keadaan haidh
atau tidak, apakah ia dalam keadaan hamil atau tidak.
- Apabila seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh,
maka hal tersebut disebut talak bid’i dan terhitung talak.
b. Hukum Iddah
- Masa iddah perempuan yang ditalak-dalam keadaan tidak hamil-
adalah tiga kali suci, dan ini hukum ini diambil dari Kata Quru’
yang artinya Athaar (suci).
- Hukum iddah dilengkapi pembahasannya di surat Al-Baqarah:234,
Al-Ahzab:49, surat Attalaq:4.

Kesimpulan
Bidang tafsir Al-Qur’an yang berkembang hingga kini adalah
merupakan kesinambungan perkembangan tafsir pada zaman Imam Syafi’i.
Era kemuncak keilmuwan Islam, kemunculan ulama-ulama besar seperti
Imam Malik dan Imam Hanbali serta sokongan dan galakan pemerintah
yang cintakan ilmu pengetahuan adalah faktor penting berkembangnya
bidang tafsir pada zaman Imam Syafi’i. Rehlah ‘ilmiyyah mendalami

36
berbagai bidang ilmu amat membantu Imam Syafi’i memantapkan
kefahaman terhadap pentafsiran Al-Qur’an khususnya pentafsiran ayat
hukum. Manakala keutamaan dan sumbangan tafsiran Imam Syafi’i Imam
Syafi’i dapat dilihat pada pentafsiran ia yang banyak mempengaruhi ulama-
ulama di berbagai lokasi seterusnya berkembang hingga ke hari ini.

DAFTAR PUSTAKA

37
‘Abd al-Wahab al-‘Aqil, Muhammad. Manhaj al-Imam Syafi’i fi Ithbat
al-‘Aqidah. Riyad: Adwa’ al-Salaf, 2004.
Abu Zuhrah, Muhammad. As-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Asruhu. Kairo: Dar al-
Syuruk, 1998
‘Abd Rahman al-Suyuti, Jalal al-Din. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar
Ibn Kathir, 2005
Al-Ghani al-Daqr, Abd. Imam Syafi’i Faqih al-Sunnah al-Akbar. Dimasyq:
Dar al-‘Ulum, 2005.
Al-Qattan, Manna’. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah,
1988.
Bin Haji Hassan, Tarikuddin. Imam Asy-Syafie. Johor Baru: Perniagaan
Jahabersa, 2011.
Bin Husayn al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad. Manaqib As-Syafi’i. Kairo:
Maktabah Dar al-Turath, 1970.
Hafiz, Umar. Jejak Para Imam: Ulama Terkemuka Dunia Islam. Selangor:
Pustaka Ilmuan, 2012.
Hajar al-‘Asqalani, Ibn. Tawali al-Ta’sis bi Ma’ali Muhammad bin Idris.
Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986.
Hasan ‘Abbas, Fadl. Muhadarat fi ‘Ulum al-Qur’an. Jordan: Dar al-Nafais,
2007.
Husayn al-Dhahabi, Muhammad. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-
Hadith, 2005.
Latip Talib, Abdul. Imam Syafie Pejuang Kebenaran. Selangor: Litera Utama,
2010.
Lutfi al-Sibbagh, Muhammad. Buhuth fi ‘Usul al-Tafsir. Beirut: al-Maktab al-
Islami, 1988.
Mahmud Mustafa Ja’far, ‘Abd al-Ghafur. Tafsir wa al-Mufassirun fi Thawbihi
al-Jadid. Kairo: Dar al-Salam, 2007.
Tarikuddin, Episode Empat Imam Mazhab. Johor: Perniagaan Jahabersa. tt.
Yusuf, Akram. Mausu’ah Imam Syafi’i. Dar al-Nafais: Jordan, 2003.

38

Anda mungkin juga menyukai