Anda di halaman 1dari 15

TELAAH DAN ANALISIS AYAT TOLERANSI AGAMA DALAM TAFSIR

FI ZHILALIL QUR’AN

Study and Analysis of Religious Tolerance Verses in The Tafsir Fi Zhilalil


Qur'an

Aan Midad Arrizza1, Mufti2, Dr. Muhammad Hariyadi, MA3


1
Pasca Sarjana PTIQ, NPM: 202510001
aan.midad@gmail.com
2
Pasca Sarjana PTIQ, NPM: 202510015
muftyhayat@gmail.com
3
Dosen Pengampu Mata Kuliah Sejarah Tafsir, Pasca Sarjana PTIQ

Abstrak
Pemikiran Sayyid Quthb dianggap berpengaruh di dunia Islam. Quthb menggugah
kesadaran kaum muslimin terhadap ketertindasannya atas Barat serta penolakannya terhadap
modernisasi, sekularisasi dan westernisasi yang dianggapnya sebagai jahiliah modern.
Padahal, toleransi merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam. Kerangka sistem
teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan
beragama. Artikel ini akan mengkaji penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran
tentang ayat toleransi agama. Konsep toleransi yang ditawarkan Sayyid Quthb memiliki
batasan-batasan yang ketat. Quthb memandang toleransi sebagai karakter agama Islam,
berdasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan hubungan antara umat Islam dengan
penganut agama lain.

Kata Kunci: tafsir, Sayyid Quthb, Tafsir Fī Ẓhilālil Qur’ān, Toleransi Agama

Abstract
Sayyid Quthb's thoughts are considered influential in the Islamic world. Quthb raised
the awareness of the Muslims towards their oppression of the West and their rejection of
modernization, secularization and westernization which he considered as modern ignorance. In
fact, tolerance is part of the theological vision or Islamic faith. The framework of the Islamic
theological system should be studied in depth and applied in religious life. This article will
examine the interpretation of Sayyid Quthb in Tafsir Fi Zhilalil Quran on the verse of religious
tolerance. The concept of tolerance offered by Sayyid Quthb has strict limitations. Quthb views
tolerance as a character of the Islamic religion, based on the verses of the Qur'an that explain
the relationship between Muslims and adherents of other religions.

Keywords: Tafseer, Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Religious Tolerance


Aan Midad Arrizza, Mufti

1. Pendahuluan

Inti ajaran Islam adalah tauhid, yaitu mengajarkan kepada manusia bahwa hanya ada
satu pencipta, yaitu Allah swt. Selain Dia, semua hanyalah makhluk. Di antara ciptaan-Nya,
manusia adalah makhluk yang paling sempurna (QS. Al-Isrâ/17: 70). Makhluk lain patut
memberikan penghormatan kepada manusia.
Manusia adalah makhluk yang bermartabat dan harus dihormati tanpa membedakan
ras, suku, bangsa, agama, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, gender, dan berbagai ikatan
primordial lainnya. Keragaman manusia adalah sunnatullah. Manusia diciptakan berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai.
Toleransi Agama tidak hanya dari aspek kejadian manusia yang dulunya berawal dari
yang tunggal, tetapi juga dalam aspek agama Samawi yang pada awalnya berawal dari satu
agama―Tauhid―telah berubah menjadi realitas plural. Al-Qur’an telah memberikan prinsip-
prinsip yang harus dipegang sebagai cara yang baik untuk mengatasi pluralitas tersebut.1
Nabi Muhammad saw. telah mencontohkan sebuah tatanan kehidupan yang tak berkonflik di
tengah pluralitas agama dan suku. Dengan "Piagam Madinah" 2 ternyata saat itu kedamaian
mampu diwujudkan tanpa perlu mengorbankan nyawa dan harta benda, namun mampu hidup
berdampingan satu sama lain tanpa melihat perbedaan. Maka, patutlah kiranya kembali dapat
diterapkan dalam konteks bermasyarakat sekarang.
Toleransi agama, perlu dipahami sebagai suatu realitas yang harus ditanggapi secara
positif melalui dialog dan kerjasama untuk menemukan satu titik temu dan mencapai kalimah
sawâ'. (QS. Âli ‘Imrân/3: 64). Pada dataran itu, sebagaimana dinyatakan Amin Abdullah
setelah menyadari sifat truth claim (klaim kebenaran) yang terdapat dalam keyakinan para
pemeluk agama yang berbeda-beda,3 kitab suci (Al-Qur’an) ini mengajak seluruh penganut
agama-agama non-Islam dan juga kepada penganut agama Islam untuk mencapai titik temu di
luar aspek teologis yang memang sudah berbeda sejak awal.
Sayyid Quthb sendiri merupakan mufassir yang mempunyai ide-ide revolusioner,
diantaranya adalah konsep hakimiyatullah (kekuasaan hanya milik Allah) sebagaimana
diusung oleh Abu al-'Ala al-Maududi di Pakistan. Hakimiyatullah berarti kekuasaan harus
dikembalikan kepada Allah, bukan dikuasai manusia zalim yang melanggar hukum-hukum
Tuhan. Umat Islam wajib berjihad mengembalikan tata aturan itu sesuai dengan doktrin
Alquran, sehingga menurut beliau perlu adanya gerakan At-Thali'ah al-Islamiyah, yaitu
menyiapkan generasi Muslim baru yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah serta
mendidik mereka untuk menjadi pemimpin umat di masa depan. Ide-ide pergerakan dan
perlawanan Sayyid Quthb itu tampak jelas dalam mukadimah tafsirnya pada surah Al-An'am.
Beliau juga menyatakan tentang konsep masyarakat ideal sesuai dengan tuntunan Islam;
berseru kepada para juru dakwah untuk konsisten berada di jalan ini; serta menancapkan

1
QS. Al-Baqarah/2: 256; Al-Mâ'idah/5: 48, Yûnûs/10: 99.
2
Nurcholis Madjid, Islam dan Kebebasan Beragama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerja
sama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998, hal. 195.
3
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung:
Mizan, Cet. I, 2000, hal. 74.
Aan Midad Arrizza, Mufti

akidah agar sistem pemerintahan yang terbentuk kelak tidak melanggar tata aturan yang
ditetapkan Allah SWT.4
Berdasarkan uraian diatas yang menjadi latar belakang permasalahan pada tulisan ini,
yaitu tentang perbedaan sudut pandang toleransi agama menurut Sayyid Quthb, maka pada
tulisan ini akan dikaji tentang tafsir ayat toleransi agama menurut pandangan Tafsīr Fī Ẓilālil
Qur’ān karya mufassir yang hidup pada jaman modern ini, yaitu Sayyid Quthb.

Metode Penelitian
Metode penelitian pada tulisan ini berdasarkan data yang semuanya bersumber dari
bahan-bahan kepustakaan seperti Al-Qur’an, dan buku-buku seperti kitab tafsir maupun
literatur-literatur lain yang relevan, maka tulisan ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka
(library research).5 Sedangkan pada tulisan ini juga mengacu pada bentuk kata-kata atau
kalimat-kalimat naratif dan tidak berbentuk angka atau prosedur statistik sehingga tulisan ini
termasuk penelitian kualitatif.6

2. Hasil Penelitian & Pembahasan


A. Biografi Sayyid Quthb
1. Riwayat Hidup Sayyid Quthb
Sayyid Quthb memiliki nama lengkap Sayyid Quthb Ibrahim Husain Syadzili. Ia lahir
pada tanggal 9 Oktober 1906 M disebuah kampung yang bernama Musyah, daerah Asyut
dataran tinggi Mesir.7 Dalam usianya yang belum genap sepuluh tahun Sayyid Quthb telah
hafal Al-Qur’an. Sayyid Quthb tumbuh dalam keluarga yang taat pada ajaran Islam, hal ini
tidak terlepas dari didikan ayah dan ibunya yang terkumuka taat dan berpendidikan. Ibunya
berasal dari keluarga yang kaya dan ayahnya berprofesi sebagai anggota Komisaris Partai
Nasional di desanya.8
Ayahnya yaitu Haji Quthb merupakan seorang yang disegani dan sangat mengasihi
orang-orang miskin. Setiap tahun beliau mengadakan majlis-majlis jamuan dan tilawah Al-
Qur’an di rumahnya. Selain itu ibunya Sayyid Quthb merupakan seorang yang bertaqwa dan
sangat mencintai Al-Qur’an. Ketika majlis-majlis Al-Qur’an yang diadakan di rumahnya,
Sayyid Quthb mendengar dengan penuh khusyu sehingga hal ini begitu melekat pada ingatan
Sayyid Quthb kecil.9
Sejak masih kanak-kanak dan remajanya Sayyid Quthb sudah memperlihatkan petanda-
petanda kecerdasan yang tinggi dan bakat-bakat yang cemerlang, disamping itu beliau juga
merupakan seorang yang gemar membaca dan berani mengemukakan pertanyaan-pertanyaan
dan mengeluarkan pendapat-pendapat yang benar.
Sayyid Quthb memiliki empat saudara kandung. Semua saudaranya memiliki minat
dalam dunia pendidikan, salah satu saudaranya yaitu Nafisah memilh menjadi seorang aktivis
Islam dan yang lainnya berprofesi sebagai penulis. Dalam hal ini dapat dipastikan bahwa

5
Sutrisno Hadi, Metodelogi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1994, hal. 3.
6
Soejono dan Abdur Rahman, Metode penelitian: suatu pemikiran dan penerapan, Jakarta: Rineka
Cipta, 2002, hal. 5.
7
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2006,
hal. 406.
8
Sri Aliyah, “Kaedah-Kaedah Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran,” dalam Jurnal JIA, Th. XIV No. 2 Tahun
2013, hal. 40.
9
Abu Bakar Adanan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid
Quthb,” dalam jurnal ITTIHAD, Vol. I No. 2 Tahun 2017, hal. 256.
Aan Midad Arrizza, Mufti

Sayyid Quthb beserta keluarganya memiliki minat yang serius dalam khazanah ilmu-ilmu
Islam.10

2. Pendidikan dan Karir Intelektual Sayyid Quthb


Salah satu prestasi gemilang Pemikiran Sayyid Quthb dianggap berpengaruh di dunia
Islam. Quthb menggugah kesadaran kaum muslimin terhadap ketertindasannya atas Barat
serta penolakannya terhadap modernisasi, sekularisasi dan westernisasi yang dianggapnya
sebagai jahiliah modern. Padahal, toleransi merupakan bagian dari visi teologi atau akidah
Islam. Kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan
diaplikasikan dalam kehidupan beragama. Artikel ini akan mengkaji penafsiran Sayyid Quthb
dalam Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān dengan fokus pada ayat tentang semua agama mendapatkan
kebaikan (Surah al-Baqarah/2: 62) dan etika berperang (Surah al-Baqarah/2: 190-191).
Konsep toleransi yang ditawarkan Sayyid Quthb memiliki batasan-batasan yang ketat. Quthb
memandang toleransi sebagai karakter gama Islam, berdasarkan atas ayat-ayat Al-Qur’an
yang menerangkan hubungan antara umat Islam dengan penganut agama lain. ialah ketika
berusia sepuluh tahun ia mampu menghafal Al-Qur’an, dan memiliki pengetahuan yang luas
serta mendalam mengenai Al-Qur’an. Ia menempuh pendidikan dasar di daerahnya selama
empat tahun, kemudian ia melanjutkan ke Kairo di Madrasah Sanawiyah pada tahun 1921.
Pada tahun 1925 Sayyid Quthb melanjutkan studinya di Madrasah Muallimin selama tiga
tahun dan mendapatkan ijazah kafa’ah (kelayakan mengajar).
Pada tahun 1929 Sayyid Quthb melanjutkan kuliah di Universitas Daar al-‘Ulum dan
memperoleh gelar sarjana (Lc) dalam bidang sastra sekaligus diploma pendidikan. Pada saat
kuliah Sayyid Quthb menunjukkan kecerdasannya pada sastra Ingggis sehingga banyak
membaca karya sastra yang asli maupun dalam bentuk terjemahan. Selain itu, ia juga
terpengaruh oleh Abbas Mahmud al-Aqqad yang mana pendekatannya condong ke Barat.11
Setelah lulus kuliah keseharian Sayyid Quthb ialah sebagai tenaga pengajar di
universitas tersebut. tidak lama kemudian ia diangkat sebagai pengawas pada kementerian
Pendidikan dan pengajaran di Mesir, hingga menjabat sebagai inspektur. Selama bekerja
Sayyid Quthb mendapatkan kesempatan untuk belajar di Amerika Serikat untuk
memperdalam pengetahuannya mengenai pendidikan. Ia kuliah di dua college sekaligus
dalam kurun waktu kurang lebih dua setengah tahun, Wilson’s Teacher College yang terletak
di Washington dan di Stanford University yang terletak di California. Selama di U.S.A ia
sempat berkeliling ke barbagai kota dan negara di eropa antara lain Inggris, Swiss, dan
Italia.12
Hasil dari perjalanannya Sayyid Quthb melihat sekalipun negara-negara Barat sangat
maju di bidang teknologi dan keilmuan modern, namun dalam penilaiannya peradaban Barat
sesungguhnya rapuh karena nihil dari nilai-nilai spiritual. Sosial kemasyarakatan disana
memiliki problem yang menimbulkan paham materialisme sehingga pelik terhadap paham
ketuhanan. Disana ia melihat betapa besar dukungan pers Amerika untuk Israel, hal ini
menimbulkan kepahitan dalam hatinya dan merasakan ketidakadilan dalam pembasmian
rakyat Palestina.13

10
Wulandari, et.al., “Penafsiran Sayyid Quthb Tentang Ayat-Ayat Ishlah (Studi Tafsir Fi Zhilal
Alquran),” dalam Jurnal Al-Bayan: Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, Vol. 2 No. 1 Tahun 2017, hal. 79.
11
Muhajirin, “Sayyid Quthb Ibrahim Husain Asy-Syazali (Biografi, Karya Dan Konsep Pemaparan
Kisah Dalam Al-Qur’an),” dalam Jurnal Tazkiya: Keislaman, Kemasyarakatan, Dan Kebudayaan, Vol. 18 No.
1 Tahun 2017, hal. 103.
12
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al-Qur’an, hal. 406.
13
Abu Bakar Adanan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid
Quthb,” hal. 257.
Aan Midad Arrizza, Mufti

Sekembalinya ke Mesir Sayyid Quthb mulai aktif menulis seputar topik-topik Islam. Ia
yakin bahwa Islamlah yang mampu menyelamatkan manusia dari paham materialisme yang
tidak pernah memuaskan. Kesungguhan Sayyid Quthb dalam hal tulis menulis mengenai
Khazanah Islam membuatnya memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Selain karena hal
menulis Sayyid Quthb memilih mengundurkan diri karena melihat adanya ketidakselarasan
kebijakan yang dimabil pemerintah dalam bidang pendidikan yang terlalu tunduk pada
pemerintah Inggris.14
Dengan jarak waktu yang singkat Sayyid Quthb langsung bergabung dalam
keanggotaan Ikhwan al-Muslimin sebagai satu gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan
kembali syari’at politik Islam yang menyeluruh. Dari Organisasi inilah Sayyid Quthb banyak
menyerap pemikiran Hasan al-Banna dan Abu al-A’la al-Maududi, dan sempat menjadi tokoh
berpengaruh dalam gerakan ini. Ia meyakini bahwa gerakan ini tak tertandingi dalam hal
menghadang Zionisme, salibisme, dan kolonialisme.15
Pada tahun 1955 Sayyid Quthb ditahan oleh Presiden Nasser. Penyebab dari
penahanannya ialah tuduhan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah. Kemudian pada
tanggal 13 juli 1955 Sayyid Quthb resmi ditahan dan dijatuhkan hukuman 15 tahun kerja
berat. Pada tahun 1964 ia dibebaskan atas usul presiden Irak Abdul Salam Arif yang
mengadakan kunjungan Muhibah ke Mesir. Dalam kurun waktu satu tahun menikmati
pembebasannya, Sayyid Quthb kembli ditahan bersama tiga orang saudaranya yaitu
Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah. Presiden Nasser lebih menguatkan tuduhannya
bahwa ikhwanul muslimin berkomplot untuk membunuhnya. Berdasarkan Undang-undang
No 911 tahun 1966, presiden mempunyai kewenangan untuk menahan tanpa proses, bagi
siapapun yang dianggap bersalah. Pada tanggal 29 agustus 1966 Sayyid Quthb bersama dua
orang temannya menjalani hukuman mati, pemerintah mesir tidak menghiraukan protes dari
organisasi amnesti internasional yang menganggap proses pengadilan Sayyid Quthb
bertentangan dengan keadilan. Sayyid Quthb akan selalu dikenang dari berbagai karya dan
perjuangannya dan ia dianggap syahid oleh khalayak besar.16

3. Perkembangan Pemikiran Sayyid Quthb


Pemikiran Sayyid Quthb telah mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
hidup dan fokus perhatiannya. Menurut Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, kehidupan Sayyid
Quthb bisa di bagi menjadi 4 fase,17 yaitu:
1. Pertama, fase keislaman yang bernuansa seni, pada fase ini Sayyid Quthb mengkaji Al-
Qur’an dengan maksud merenunginya dari aspek seni serta meresapi keindahannya.
2. Kedua, fase keislaman umum, yaitu fase dimana Sayyid Quthb mengkaji Al-Qur’an
dengan tujuan studi-studi pemikiran serta panangan reformasi yang mendalam.
3. Ketiga, fase amal Islami yang teroganisasi.
4. Dan yang terakhir adalah fase jihad dan gerakan, fase dimana beliau teggelam dalam
konflik pemikiran dan praktik nyata.

4. Karya-karya Sayyid Quthb

14
M Taufiq Rahman, Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John
Rawls’s and Sayyid Quthb’s Theories, t.tp: Scholars’ Press, Tahun 2014.
15
Sri Aliyah, “Kaedah-Kaedah Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran,” hal. 41.
16
Muhajirin, “Sayyid Quthb Ibrahim Husain Asy-Syazali (Biografi, Karya Dan Konsep Pemaparan
Kisah Dalam Al-Qur’an),” hal. 105.
17
Syafi’i Saragih, Memaknai Jihad: Antara Sayyid Quthb dan Quraish Shihab, Ed. I, Cet. I,
Yogyakarta: Deepublih, 2015, hal. 65
Aan Midad Arrizza, Mufti

Sayyid Quthb memiliki banyak sekali karya, beliau meninggalkan sejumlah kajian dan
studi baik bersifat sastra maupun keislaman. 18 Berikut ini merupakan beberapa karya Sayyid
Quthb:
1. Muhimmatus Sya’ir Fil Hayah Wa Syi’ir Al-Jail Al-Hadhir, karyanya ini terbit pada
tahun 1935.
2. Asy-Syathi’al Majhul, terbit pada tahun 1935.
3. Naqd kitab “Mustaqbal Ats-Tsaqafah Fi Mishr” Li Ad-Duktur Thaha Husain, terbit pada
tahun 1945.
4. At-Tashwir Al-Fanni Fil Qur’an, terbit pada tahun 1945.
5. Al-Athyaf Al-Arba’ah, karyanya ini ditulis bersama saudara-saudaranya, terbit pada
tahun 1945
6. Thifl Min Al-Qaryah, terbit pada tahun 1946.
7. Al-Madinah Al-Manshurah, terbit pada tahun 1946.
8. Masyahid Al-Qiyamah Fil Qur’an, terbit pada tahun 1947.
9. Al-Qashash Ad-Diniy.
10. Al-‘Adalah Al-Ijtima’yah Fi Al-Islam, terbit pada tahun 1949
11. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terbit pada tahun 1952.
12. Dirasat Islamiyah
Selain karya-karya Sayyid Quthb yang telah disebutkan di atas, masih sangat banyak
karya-karya Sayyid Quthb yang lainnya.

B. Mengenal Kitab Tafsir Sayyid Quthb


Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan kitab tafsir yang ditulis yang bersandarkan
pada kajian-kajian Sayyid Quthb yang mendalam yang diambil langsung dari Al-Qur’an dan
as-Sunah, disamping bersumberkan pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar.19
Dalam menulis tafsir ini beliau telah menghabiskan lebih dari separuh usianya dalam
pembacaan dan penelaahan yang mendalam terhadap hasil-hasil intelektual dalam berbagai
bidang pengajian dan teori-teori, berbagai aliran pemikiran serta kajian mengenai agama-
agama lain. Selain itu, beliau juga memperkaya pengetahuannya dengan melakukan kajian-
kajian di bidang penulisan, keguruan, pendidikan serta pengamatannya yang luas dan tajam
dalam perkembangan-perkembangan sosial politik.20
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini ditulis dengan tinta derita dan sengsara yang begitu pahit
akibat penindasan dan kekuasaan zalim pada masa itu. Beliau mendapatkan penyiksaan yang
kejam dan tidak berperi kemanusiaan, kesengsaraan itu membuat beliau bertumpu kepada
Allah dan penghayatan Al-Qur’an, dimana beliau hidup dibawah bayangan Al-Qur’an dengan
seluruh jiwa dan perasaannya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor penting lahirnya tafsir “Fi
Zhilalil Qur’an”.

1. Sejarah Penulisan
Dalam menjelaskan latar belakang sejarah penulisan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an,
Khalidi mencatat bahwa pada edisi pertama yang diterbitkan pada tahun 1952 awalnya
mewakili gagasan dan pengalaman Sayyid Quthb saat itu. Dengan kata lain, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an didasarkan pada apresiasi pribadi Quthb terhadap keindahan sastra Al-Qur’an,
mengikuti arah yang serupa dengan Taswir dan Mashahid al-Qiyamah. Lebih lanjut Khalidi
berpendapat bahwa Quthb tidak mengabaikan pendekatan ideologis (al-manhaj al-fikri)
18
Sri Aliyah, “Kaedah-Kaedah Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran,” hal. 43-45.
19
Abu Bakar Adanan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid
Quthb,” hal. 257.
20
Abu Bakar Adanan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid
Quthb,” hal. 258.
Aan Midad Arrizza, Mufti

dalam penulisan edisi pertama karena pendekatan semacam itu sudah menguasai pikirannya
setelah terbitnya al-Adalah pada tahun 1949. Baru pada edisi revisinya, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an selesai antara tahun 1953 dan 1954 bahwa Quthb menambahkan pendekatan
dinamis.21 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendekatan artistik dan ideologis (al-
manhaj al-jamali wa’l-fikri) penting bagi Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an edisi
pertama. Hal ini rupanya disebabkan oleh kondisi sosial politik di tanah air saat itu, menurut
pernyataan Sayyid Quthbs dalam pendahuluan:
Beberapa orang mungkin menganggapnya [Zilal] sebagai semacam interpretasi atau
survei prinsip-prinsip umum Islam seperti yang dikemukakan oleh Al-Qur’an, atau bahkan
mungkin sebagai studi tentang aturan hidup dan masyarakat yang ditunjukkan dalam Al-
Qur’an. Tapi, tidak satu pun dari pertimbangan ini yang menjadi tujuan saya. Yang saya
coba lakukan hanyalah menuliskan gagasan-gagasan yang muncul dalam diri saya
(khawatiri) selama hidup dalam nuansa seperti itu [yaitu. Zilal Al-Qur’an].22
Pendekatan Quthbs terhadap Zilal bergeser dari pendekatan artistik dan ideologis (al-
manhaj al-jamali wa'l-fikri) ke pendekatan dinamis (al-manhaj al-haraki) selama akhir tahun
1953 dan 1954. Periode-periode ini, seperti yang kita catat sebelumnya, menyaksikan
partisipasi aktif Quthb dalam Ikhwan melawan pemerintah yang tidak adil, yang
mengakibatkan hukuman penjara 15 tahun mulai tahun 1954. Pengalaman penjara, di mana
dia disiksa dan diisolasi dari dunia luar, memberi Quthb kesempatan baru untuk belajar Al-
Qur’an lebih dekat dan menemukan sumber murni Islam dari isinya. Selain itu, kehidupan
baru ini memungkinkan dia untuk menemukan dalam Al-Qur’an dan menarik darinya
pedoman baru untuk dunia modern dan perjuangan untuk membangun masyarakat Muslim
yang adil.23

2. Sumber Tafsir
Dilihat dari penafsirannya, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini sumber utamanya adalah tafsir
qur’an bil qur’an. Hal ini dapat dilihat ketika Sayyid Quthb menafsirkan
‫هّٰللا‬
ِ ‫بِس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬
‫َّحي ِْم‬
dalam surat al-Fatihah, beliau mengutip QS. al-Hijr ayat 87. Selain itu, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an juga menggunakan tafsir yang bersumber dari Nabi, hal ini dapat dilihat dari berbagai
penafsirannya, beliau sering sekali menggunakan hadis-hadis Rasulullah. Namun yang
menjadi berbeda dari tafsir-tafsir yang lahir pada masa itu adalah Sayyid Quthb tidak
menggunakan sanad pada hadis-hadis yang beliau kutip. Contoh ketika Sayyid Quthb
menafsirkan ayat
ُ ‫الَّ ِذ ۡى ي َُو ۡس ِوسُ ِف ۡى‬
ِ ۙ َّ‫ص ُد ۡو ِر الن‬
‫اس‬
beliau menafsirkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda:

21
Salah Khalidi, al-Manhaj al-Haraki fi Zilal Al-Qur’an, Jeddah: Dar al-Manarah, 1986, hal. 18

22
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al-Qur’an, hal. 2.
23
Wan Ibrahim Wan Ahmad, “Fi Zilal Al-Qur’an: Sayyid Quthb’s Contemporary Commentary on the
Qur’an”, dalam International Journal of Business and Social Science, Vol. 2 No. 12 Juli 2011, hal. 287.
Aan Midad Arrizza, Mufti

“Setan itu tetap berada di hati anak Adam. Apabila dia mengingat Allah Ta’ala, setan itu
bersembunyai. Dan, apabila dia lalai, setan itu membisikinya” (Diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq/ tanpa menyebutkan rentetan sanadnya).
Selain menggunakan riwayat Nabi dalam penafsirannya, Sayyid Quthb juga menggunakan
perkataan sahabat juga pendapat para mufassir, contohnya ketika sayyid Quthb mengutip
pendapat Ibn Katsir:

3. Metode Tafsir
Metode tafsir adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh mufassir dalam menyajikan
penafsirannya. Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilal al-Quran menempuh metode Tahlili, hal
ini ditunjukkan dengan salah satu cirinya yaitu melakukan penafsiran mulai dari Surah al-
Fatihah dan diakhiri dengan Surah an-Nas (tartib al-Mushaf) bukan berdasarkan kronologi
turunnya ayat (tartib al-Nuzul).
Kemudian metode pemaparan yang digunakan Sayyid Quthb ialah menjelaskan secara
umum tentang Surah yang akan ditafsirkannya seperti penafsiran pada QS.al-Fatihah, setelah
menulis ayat beserta artinya, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa secara global al-Fatihah
mengandung konsep akidah islamiyah, konsep arahan atau hidayah yang mengisyaratkan
hikmah dipilihnya surah ini untuk dibaca berulang-ulang setiap hari oleh umat Islam. 24 Selain
itu Sayyid Quthb ingin memperlihatkan bahwa Al-Qur’an itu sebagai satu kesatuan firman
Allah yang tak terpisahkan hal ini diwujudkan Sayyid Quthb menggunakan teori korelasi
(munasabah) ayat dan surat, sehingga tampak di beberapa ayat Sayyid Quthb menafsirkan
sampai dengan 10 ayat bahkan lebih.

4. Corak Tafsir
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang dikarang oleh Sayyid Quthb merupakan salah satu kitab
tafsir yang memiliki terobosan baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana beliau mempunyai metodologi sendiri dalam penafsirannya. Dalam penafsirannya
Sayyid Quthb melakukan pembaruan dan mengesampingkan pembahasan yang dirasa tidak
begitu penting, salah satu yang menonjol pada corak tafsirnya adalah mengetengahkan segi
sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sisi sastra yang beliau
paparkan diusung untuk menunjukkan sisi hidayah Al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran
kepada jiwa pembacanya khusunya dan orang-orang Islam pada umumnya.25
Menurut Issa Boullata, yang dikutip oleh Antony H. Jhons, pendekatan yang dipakai
oleh Sayyid Quthb dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu pendekatan tashwir (penggambaran)
penafsiran yang menampilkan pesan Al-Qur’an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang
hidup dan konkrit sehingga penafsirannya dapat menimbulkan pemahaman yang “aktual”
bagi pembacanya. Jika melihat penggunaan metode tashwir dalam penafsirannya, bisa
dikatakan bahwa Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adabi al-
Ijtima’i (sastra, budaya, dan kemasyarakatan).26

5. Penilaian Para Ulama Terhadap Tafsir Fi Dzhilal al-Quran


a) Mahdi Fadhulah menilai bahwa Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan kitab tafsir
“terobosan penafsiran yang sederhana”.27

24
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al-Qur’an, hal. 25.
25
Sri Aliyah, “Kaedah-Kaedah Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran,” hal. 49.
26
Sri Aliyah, “Kaedah-Kaedah Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran,” hal. 51.
27
Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Terj.
Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995, hal. 17-20.
Aan Midad Arrizza, Mufti

b) Subhi Shalih mengatakan bahwa Tafsir Fi Zhilalil Qur’an merupakan kitab tafsir yang
lebih banyak bersifat pengarahan dariapada pengajaran dan Jansen menilai bahwa tafsir
Sayyid Quthb hampir bukan merupakan tafsir Al-Qur’an namun lebih merupakan
kumpulan khutbah-khutbah keagamaan.28
c) Yusof Al-Azym mengatakan bahwa Tafsir Fi Zhilalil Qur’an : TafsirFi Zhilalil Qur’an
wajar dianggap sebagai suatu pembukaan Rabbani yang diilhamkan Allah kepada
penulisnya. Beliau telah dianugerahkan matahati yang peka yang mampu menangkap
pengertian, gagasan dan fikiran yang halus yang belum pernah didapat oleh penulis tafsir
lain”.
d) Saleh Abdul Fatah Al-Khalidi berpendapat bahwa “Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an dianggap sebagai mujadid di dalam dunia tafsir karena beliau telah
menambah berbagai pengertian, fikiran dan pandangan tarbiyah yang melebihi tafsir-
tafsir sebelum ini”.29

6. Keistimewaan Dan Kelemahan Fi Zilalil-Qur’an.


Beberapa keistimewaan kitab ini adalah: Pertama bahwa kitab ini disusun dengan
sebisa mungkin dijauhkan dari pembahasan-pembahasan yang menurut Sayyid Quthb hanya
mengkaburkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperit penafsiran secara bahasa yang bertele-tele.
Kedua adalah bahwa kitab ini sangat tercorak dengan ilmu sastra yang memang dikuasai
betul oleh penulisnya. Ketiga adalah usaha keras Sayyid Quthb untuk menjauhkan karyanya
ini dari kisah-kisah Israi’liyyat. Keempat adalah kebanggaannya yang murni terhadap Al-
Qur’an hingga beliau tidak mau membawa-bawa penafsiran sains di dalamnya, layaknya
yang banyak dikerjakan oleh para mufassir pada zaman modern. Kelima adalah bahasanya
yang lugas dan radikal, yang merefleksikan sebuah keinginan besar demi kemajuan ummat
hal ini mungkin merupakan akibat dari penyiksaan fisik yang beliau alami selama di penjara.
Keenam adalah keorisinilan ide dan pemikiran penulis. Keterbatasan referensi selain menjadi
kekurangan bagi beliau juga telah mendorongnya menghasilkan renungan-renungan yang
dalam terhadap Al-Qur’an. Ketujuh adalah bahwa karyanya ini dianggap telah menggagas
sebuah pemikiran dan corak baru dalam penafsiran Al-Qur’an.30
Sedangkan beberapa kelemahan Fi Zilal Al-Qur’an adalah: Pertama adalah terbatasnya
referensi Sayyid Quthb dalam menyusun karyanya ini. Faktor ini kemudian berakibat
banyaknya pendapatpendapat pribadi yang sangat kental dengan nuansa pada saat itu.
Kekurangan lainnya adalah pada struktur. Buku-buku yang lahir dari penjara, terutama
yang tidak ditulis, kadang tidak teratur sistematik. Hal inilah yang terjadi pada Mein Kamp
bagian pertama. Karena tidak ditulis di atas kertas, banyak pengulangan yang dilakukan
Hitler. Karenanya, bahkan setelah 20 tahun diterbitkan, Mein Kampf berulangkali diedit agar
mudah dipahami. Ketiga adalah munculnya dikotomi hitam-putih, jahiliah-Islam, dalam
kehidupan modern. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siksaan dalam penjara, fisik mau pun
kejiwaan, serta perasaan dikangkangi oleh kekuasaan lain, membuat pikiran sejumlah penulis
lebih radikal. Ma'alim, misalnya. Buku itu dianggap sebagai titik balik Quthb dari pemikir
moderat menjadi pemikir garis keras. Saat mengadili Quthb untuk persekongkolan

28
Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilali Al-Qur’an, Jakarta: Era
Intermedia, 2001, hal. 135.
29
Abu Bakar Adanan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid
Quthb,” hal. 259.
30
Abu Bakar Adanan Siregar, “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya Sayyid
Quthb,” hal. 260.
Aan Midad Arrizza, Mufti

pembunuhan Nasser, penuntut umum berkali-kali mengutip Ma'alim. Dalam buku inilah
Quthb mengenalkan dikotomi hitam-putih, jahiliah-Islam, dalam kehidupan modern.

C. Penafsiran dan Analisis Ayat Toleransi Agama dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Pemilahan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap masalah toleransi dan pluralisme agama
yang dilakukan oleh para peneliti wacana ini sebelumnya, berbeda-beda dalam jumlah
pengutipan ayat. Namun, ayat-ayat Al-Qur’an yang dikutip dalam satu pembahasan, ada yang
memiliki kesamaan. Misalnya pembahasan pluralisme agama tentang pengakuan pluralitas
agama, Abd Aziz Sachedina, Gamal al-Banna, Fathimah Usman, dan Riyadi, semuanya
mengutip QS. al-Baqarah/2: 62. Meskipun, Riyadi mengelompokkan ayat tersebut ke dalam
bahasan keselamatan bagi komunitas agama-agama yang termasuk dalam Ahl al-Kitâb
(Yahudi, Nashrani, Shabi'în), secara tidak langsung juga mengakui adanya pluralitas agama.
Sedangkan Suyuthi J. Pulungan dan Quraish Shihab tidak mengutip QS. al-Baqarah/2: 62,
karena mereka tidak membahas masalah pluralitas agama. Kesamaan kutipan ayat-ayat Al-
Qur’an juga terdapat dalam pembahasan kebebasan beragama, yaitu: QS. al-Baqarah/2: 256
dan QS. Yûnûs/10: 99.31 Abdul Aziz Sachedina mengelompokkan ayat-ayat toleransi
beragama, diantaranya yang memiliki kesamaan kutipan yaitu QS. al-An'âm/6: 108.32
Dari penelusuran pemilahan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan wacana
pluralisme agama, khususnya tentang pluralitas agama, kebebasan beragama, dan toleransi
beragama, pada hakekatnya terdapat kesamaan ayat Al-Qur’an yang dikutip oleh semua
peneliti yang penulis sebutkan sebelumnya, meskipun hanya satu ayat Al-Qur’an.33

1. Penafsiran Sayyid Quthb tentang Pluralisme Agama


“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan
orang-orang shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak
ada kekha- watiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. al-
Baqarah/2: 62)
Sayyid Quthb mengatakan yang dimaksud dengan "orang-orang yang beriman" ialah
kaum muslimin. Dan, "al-ladziina haaduu" ialah orang-orang Yahudi, yang boleh jadi
bermakna kem bali kepada Allah' dan boleh jadi bermakna bahwa mereka adalah anak-anak
Yahudza. Sedangkan, nashara adalah pengikut Nabi Isa a.s. Adapun shabiin, me nurut
pendapat yang lebih kuat ialah golongan musyrikin Arab sebelum diutusnya Nabi
Muhammad saw., yang berada dalam keragu-raguan terhadap tindakan kaumnya yang
menyembah berhala, lalu mereka mencari akidah sendiri yang mereka sukai dan kemudian
mendapat petunjuk kepada akidah tauhid. Para ahli tafsir berkata, "Sesungguhnya mereka itu
melakukan ibadah menurutagama hanif semula, agama Nabi Ibrahim, dan mereka
meninggalkan tata peribadatan kaumnya, hanya saja mereka tidak men- dakwahi kaumnya
itu. Kaum musyrikin berkata tentang mereka itu, "Sesungguhnya mereka shabauu, yakni
meninggalkan agama nenek moyangnya, sebagai- mana yang mereka katakan terhadap kaum
musli- min sesudah itu. Karena itulah, mereka disebut shabi'ah" Pendapat ini lebih kuat
daripada pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu penyembah bintang sebagaimana
disebutkan dalam beberapa tafsir.
31
Hadi Winarno, “Pluralisme Agama Dalam Al-Qur’an (Telaah Terhadap Tafsir Departemen
Agama),’ dalam Al-Marhalah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 11 No. 1 Mei 2017, hal. 74
32
Abdulazis Sachedina, Beda Tapi Setara: Pandangan Islam tentang Non-Muslim, Satria Wahono (trj)
Jakarta: Serambi, 2004, hal. 125 dan 167.
33
Hadi Winarno, Pluralisme Agama Dalam Al-Qur’an (Telaah Terhadap Tafsir Departemen Agama),
hal. 78
Aan Midad Arrizza, Mufti

Ayat ini menetapkan bahwa siapa saja di antara mereka yang percaya kepada Allah dan
hari akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya, mereka
tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati.
Yang ditekankan di sini adalah hakikat akidah, bukan fanatisme golongan atau bangsa.
Dan, hal ini tentu saja sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Adapun sesudah diutusnya
beliau, maka bentuk iman yang terakhir ini sudah ditentukan.34

2. Penafsiran Sayyid Quthb tentang Kebebasan Beragama


Sayyid Quthb menafsirkan ayat QS. al-Baqarah/2: 256, bahwa Ketika seseorang
berperang dijalan Allah. Orang tersebut bukan untuk memaksa manusia kepada akidahnya
dan pandangan hidupnya, tetapi untuk menunjukkan jalan yang benar dari jalan yang sesat,
dan untuk menghilangkan faktor-faktor fitnah dan kesesatan. Setelah itu, biarlah manusia
menentukan urusannya sendiri, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yeng benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang
ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada
buhul tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Menge- tahui." (QS. al-Baqarah/2: 256)35
Sayyid Quthb mengatakan bahwa urusan iman dibiarkan oleh Allah untuk dipilih, dan
Rasul tidak memaksakan- nya kepada seorang pun. Karena tidak ada jalan untuk
memaksakan ke dalam perasaan hati dan jalan pikiran, "Maka, apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka semuanya?" (QS. Yûnûs/10: 99) menjadi orang-orang
yang beriman Ini adalah pertanyaan untuk menyangkal, karena pemaksaan ini tidak boleh
terjadi, "Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah. Sesuai dengan
sunnah-Nya yang berlaku se- bagaimana yang telah kami jelaskan, maka tidaklah seseorang
itu akan sampai kepada keimanan kalau dia menempuh jalan lain yang tidak membawanya
kepada keimanan itu. Bukannya dia menghendaki keimanan dan menempuh jalannya lantas
dihalangi, karena tidak demikian yang dimaksud oleh nash ini. Bahkan, maksudnya ialah
bahwa seseorang itu tidak akan sampai kepada keimanan kecuali apabila dia menempuh jalan
yang dapat menyampaikan kepadanya sesuai dengan izin dan sunnah Allah yang bersifat
umum. Dengan demikian, Allah akan mem- bimbingnya dan berimanlah dia dengan izin-
Nya.36

3. Penafsiran Sayyid Quthb tentang Toleransi Agama

"dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah SWT,
karena mereka nanti akan memaki Allah SWT dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan". (QS. al-An'âm/6: 108)
Sambil memerintahkan Rasullah SAW untuk berpaling dari orang-orang musyrik,
Allah SWT juga mengajarkan kepada kaum Mukmin' agar dalam berpaling ini mereka
melakukannya dengan beradab, penuh wibawa, dan penuh harga diri. Suatu sikap yang sesuai
dengan statusnya sebagai orang-orang yang beriman. Mereka diperintahkan agar tidak
mencela Tuhan-tuhan orang musyrik. Karena, khawatir jika hal itu akan mendorong orang-
orang musyrik untuk mencela Allah SWT, sementara mereka tidak mengetahui keagungan
dan ketinggian kedudukan-Nya sehingga, dikhawatirkan celaan kaum Mukmin terhadap
34
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an I, Jakarta: Gema Insani, 1992, Juz. I, hal. 90.
35
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an I, Juz. III, hal. 326.
36
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an VI, Jakarta: Gema Insani, 1992, Juz. IX, hal. 165.
Aan Midad Arrizza, Mufti

Tuhan-tuhan mereka yang menghinakan itu akan menjadi sebab bagi mereka untuk mencela
Allah SWT Yang Maha Mulia dan Maha Agung.
Karena, berdasarkan sifat yang Allah SWT ciptakan pada diri manusia bahwa semua
orang yang melakukan suatu perbuatan, niscaya orang itu akan menganggap baik perbuatan
itu dan membelanya! Jika orang melakukan perbuatan baik, niscaya ia akan menilai baik
perbuatannya itu dan membelanya. Jika ia berada dalam petunjuk, niscaya ia akan melihat
petunjuk itu sebagai kebaikan. Dan jika ia berada dalam kesesatan, maka ia akan melihat
kesesatan itu sebagai kabaikan juga! Ini adalah sifat manusia.
Mereka itu mengklaim selain Allah SWT sebagai sekutu- sekutunya bagi-Nya. padahal,
mereka tahu dan menerima bahwa Allah SWT adalah Yang Maha Pencipta dan Pemberi
Rezeki. Namun, jika kaum Mukmin yang mencela Tuhan-tuhan mereka, niscaya mereka akan
bereaksi. Mereka akan menganggap konsep yang mereka yakini tentang uluhiyyah Allah
SWT itu sebagai pembelaan atas bentuk ibadah, tashawwur, kondisi, dan tradisi mereka!
Maka, hendaknya orang-orang yang beriman membiarkan mereka seperti itu.
“Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An'âm/6: 108) Ini adalah perilaku yang
cocok bagi orang beriman, yang meyakini agamanya dan mengimani kebenaran yang ia
pegang. Orang yang tidak turut campur dengan masalah-masalah yang bukan masalahnya.
Karena mencela Tuhan-tuhan kaum musyrik tidak akan membuat mereka mendapatkan
petunjuk. Namun, justru hanya akan membuat kaum musyrikin tidak membuat mereka
mendapatkan petunjuk. Namun, justru hanya akan membuat kaum musyrikin semakin
mengingkarinya. Maka, orang-orang yang beriman tidak layak untuk menceburkan diri dalam
masalah yang tidak pantas bagi mereka ini. Justru hal tersebut akan membuat mereka
mendengarkan apa yang mereka tidak senangi. Yaitu, celaan yang dilakukan orang-orang
musyrik terhadap Tuhan mereka Yang Maha Mulia dan Maha Agung.37

4. Analisis
Dalam Tafsir Fi Zhilalil al-Quran terdapat pendapat Sayyid Quthb mengenai ayat
toleransi beragama yang terbagi menjadi beberapa prinsip yaitu Mawaddah (kasih sayang),
Tabarrû dan Tuqşitu (bersikap adil dan baik), Tawallâ dan Zalim (berkawan dan zalim). Di
antara. beberapa prinsip kemanusiaan yang menjadi dasar dari kebolehan toleransi ini
menurut Sayyid Quthb adalah rasa saling cinta (mawaddah) yang sudah terbina sebelumnya,
seperti cinta kepada kedua orang tua yang non muslim atau juga prinsip perintah untuk
berbuat baik (tabarrû) sebagai kewajiban anak kepada kedua orang tuanya, serta perintah
untuk berbuat adil (tuqşitu) seperti menerima hadiah yang dibawakan orang tua non-Muslim
kepada anaknya yang muslim dalam kunjungannya. Dan juga larangan kaum Muslimin
bertolong menolong dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia
dijalan Allah dan memurtadkan kaum Muslimin (tawallâ) sehingga berpindah kepada agama
lain yang memerangi, mengusir dan membantu pengusiran kaum Muslimin dari negeri
mereka (zalim).
Berdasarkan data dari salah satu karya Sayyid Quthb, Ma'alim Fi Ath Thariq tentang
toleransi bahwa perkembangan masyarakat Islam dan karakteristiknya manhaj Islam akan
menuai hasil nyata yang luar biasa di dalam menegakkan masyarakat Islam yang terdiri di
atas akidah bukan atas dasar kesukuan, tanah air, warna kulit, bahasa, dan kepentingan yang
bersifat keduniaan yang terbatas pada sekat-sekat teritorial yang sempit, serta menonjolkan,
mengembangkan dan meninggikan karakteristik manusia di luar ciri-cirinya yang sama
dengan makhluk hidup lain dalam komunitasnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat

37
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Hati, 2012, hal. 182-183.
Aan Midad Arrizza, Mufti

terbuka (open society) untuk semua suku, bangsa, dan warna kulit tanpa terkendala oleh
sekat-sekat fisik yang sempit. 38
Toleransi yang ingin dibangun Islam adalah sikap saling menghormati antar pemeluk
agama yang berlainan tanpa mencampuradukkan akidah. Persoalan akidah adalalı sesuatu
yang paling mendasar dalam setiap agama sehingga bukan menjadi wilayalı untuk
bertoleransi, dalam arti saling melebur dan menyatu. Dalam kaitan inilah Al-Qur’an
mengimbau untuk tidak mencampuradukkan akidah masing-masing. 39
Menurut Sayyid Quthb kepemimpinan Islam tidak menghendaki terjadinya
peperangan. Kepemimpinan dalam Islam adalalı yang bersumber pada tujuan diciptakannya
manusia dan alam semesta ini, Apabila ada golongan mamusia yang tidak mau memeluk
Islam setelah mendapatkan keterangan ini, maka mereka tidak boleh menghalang-halangi
jalannya dakwah. Hendaklah mereka memberikan kebebasan dan keamanan bagi kaum
muslimin untuk melakukan tablig dengan tanpa dimusuhi. Dia tidak memaksakan seseorang
harus masuk dalam agama Islam. 40
Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan metode Content Analysis yang di
dapat dari penjelasan teori dan data dapat peneliti simpulkan bahwa toleransi dalam
penafsiran Sayyid Quthb dalam penafsirannya adalah bahwasanya konsep toleransi yang
ditawarkan Sayyid Quthb memiliki batasan yang ketat. Quthb memandang toleransi sebagai
karakter agama Islam berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan hubungan antara
umat Islam dengan penganut agama lain. Walaupun Sayyid Quthb menjadi salah satu rujukan
gerakan radikal keagamaan, ia juga sangat keras terhadap Barat dan orang kafir dalam hal-hal
tertentu.41
Tetapi, sisi lain yang jarang digali dari sosok Sayyid Quthb adalah pandangannya
terkait toleransi. Menurutnya, siapa saja diantara Yahudi, Nasrani yang beriman kepada Allah
dan hari akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapatkan palhala di sisi Tuhannya, dan
tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati. Akidah bukan fanatisme golongan atau bangsa,
dan tidak melarang interaksi sosial dengan penganut agama Inin, seperti Yahudi dan Nasrani,
karena merupakan bagian dari pluralitas agama dan suku manusia.42
Berdasarkan analisis teori dan data peneliti menyimpulan bahwa konsep
kemajemukan umat manusia ini menurut Sayyid Quthb sangat mendasar dalam Islam. Itu,
secara konsisten, dapat diubah ke dalam bentuk-bentuk pluralisme modem, yang merupakan
toleransi. Pluralisme disini dipahami sebagai ikatan murni dari berbagai peradaban yang
berbeda. Pluralisme sejati memang jarang terjadi dalam sejarah, tetapi Islam telah
menunjukkan kemungkinan itu. Kebebasan agama dalam konteks Indonesia adalah suatu
peningkatan kesadaran agama Islam tradisional dan perspektif modern. Intinya adalah ajaran
Islam tidak pemah melarang umatnya untuk mu'amalah bi al-hasanah kepada mereka yang
non-muslim, selama mereka tidak mengusik atau memeranginya. Akan tetapi, al-wala'
(kesetiaan dan loyalitas) itu hanyalah kepada Allah Swt semata. Maka pantaslah azab yang
pedili sebagai hukuman bagi orang yang menjual kesetiaannya kepada selain Allah Swt.

Kesimpulan
38
Sayyid Quthb, Ma'alim Fi Ath Thariq, Mesir: Darul Uswah, 1964, hal. 9.
39
Departemen Agama RI (Badan Litbang dan Diklat Lajnah Pentaslilan Muslaf al- Qur'an), Hubugan
Antar Umat Beragama (Tasir al Qur'an Tematik), Jakarta: Departemen Agama RI, 2008, hal. 40.
40
Sayyid Quthb, Tafstr fi Zhilalil Qur'an di Bawah Naungan Al-Qur’an, Robbani Press, 2006, hal. 365
41
Sayyid Quthb, Tafstr fi Zhilalil Qur'an di Bawah Naungan Al-Qur’an, hal. 365
42
Sayyid Quthb, Tafstr fi Zhilalil Qur'an di Bawah Naungan Al-Qur’an, hal. 366
Aan Midad Arrizza, Mufti

Penafsiran Sayyid Quthb terhadap ayat tentang toleransi adalah prinsip kebebasan
beragama ini sama sekali tidak berhubungan dengan kebenaran satu agama. Kalau
persoalannya adalah masalah kebenaran agama, Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa
hanya agama Islam lah yang haq. Maka prinsip tersebut bukan berarti Al-Qur’an mengakui
semua agama adalah benar, tetapi poin utamanya adalah bahwa keberagamaan seseorang
haruslah didasarkan kepada kerelaan dan ketulusan hati tanpa ada paksaan, karena di sisi
Allah Swt ada mekanisme pertanggungjawaban yang akan diterima oleh manusia.
Bertoleransi yang sesuai dengan aturan dan syariat yang ada dalam al- Qur'an menurut
tafsir Fi Zhilalil Qur'an adalah bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu
keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama
atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan, walaupun dalam penafsiran
Sayyid Quthb memiliki batasan yang ketat.
Quthb memandang toleransi sebagai karakter agama Islam berdasarkan ayat-ayat Al-
Qur’an yang menerangkan hubungan antara umat Islam dengan penganut agama lain. Oleh
sebab itu Al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada system ke-
Esaan Allah secara mutlak, sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya
sendiri.
Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama
mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk
agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan
persamaan, bendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling
menyalahkan Dengan bahasa lain, saat turunnya surat al-Kafirun, Nabi Saw. Mengatakan,
kalian (kaum musyrik Quraisy) tidak usab mengatakan bahwa agama non Islam benar dan
agama Islam benar, karena secara perinsip memang sangat berbeda. Ini menunjukkan bahwa
tidak perhu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda, apakah itu Islam, Kristen, atau
Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing mempercayninya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Dinamika Islam Kultural; Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer.
Bandung: Mizan, Cet. I, 2000.
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah. Tafsir Metodologi Pergerakan Di Bawah Naungan Al-
Qur’an,. Terj. Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995.
Aliyah, Sri. “Kaedah-Kaedah Tafsir Fi Zhilaali Al-Quran.” dalam Jurnal JIA, Th. XIV No. 2
Tahun 2013.
Chirzin, Muhammad. Jihad Menurut Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilali Al-Qur’an.
Jakarta: Era Intermedia, 2001.
Departemen Agama RI (Badan Litbang dan Diklat Lajnah Pentaslilan Muslaf Al-Qur’an).
Hubugan Antar Umat Beragama (Tasir al Qur'an Tematik). Jakarta: Departemen
Agama RI, 2008.
Hadi, Sutrisno. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi Offset, 1994.
Khalidi, Salah. al-Manhaj al-Haraki fi Zilal Al-Qur’an. Jeddah: Dar al-Manarah, 1986.
Madjid, Nurcholis. Islam dan Kebebasan Beragama. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
bekerja sama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998.
Aan Midad Arrizza, Mufti

Muhajirin. “Sayyid Quthb Ibrahim Husain Asy-Syazali (Biografi, Karya Dan Konsep
Pemaparan Kisah Dalam Al-Qur’an).” dalam Jurnal Tazkiya: Keislaman,
Kemasyarakatan, Dan Kebudayaan, Vol. 18 No. 1 Tahun 2017.
Quthb, Sayyid. Ma'alim Fi Ath Thariq. Mesir: Darul Uswah, 1964.
-----------------. Tafsir Fi Zhilalil Qur'an I. Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
-----------------. Tafsir Fi Zhilalil Qur'an VI. Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
-----------------. Tafsir Fi Zilalil Qur’an: Dibawah Naungan Al-Qur’an. Jakarta: Robbani
Press, 2006.
-----------------. Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Hati, 2012.
Rahman, M Taufiq. Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of
John Rawls’s and Sayyid Quthb’s Theories. t.tp: Scholars’ Press, Tahun 2014.
Sachedina, Abdulazis. Beda Tapi Setara: Pandangan Islam tentang Non-Muslim, Satria
Wahono (trj) Jakarta: Serambi, 2004.
Saragih, Syafi’i. Memaknai Jihad: Antara Sayyid Quthb dan Quraish Shihab. Ed. I, Cet. I,
Yogyakarta: Deepublih, 2015.
Siregar, Abu Bakar Adanan. “Analisis Kritis Terhadap Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an Karya
Sayyid Quthb,” dalam jurnal ITTIHAD, Vol. I No. 2 Tahun 2017.
Soejono & Abdurrahman. Metode penelitian: suatu pemikiran dan penerapan. Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Wulandari, et.al. “Penafsiran Sayyid Quthb Tentang Ayat-Ayat Ishlah (Studi Tafsir Fi Zhilal
Alquran).” dalam Jurnal Al-Bayan: Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, Vol. 2 No. 1 Tahun
2017.
Wan Ahmad, Wan Ibrahim. “Fi Zilal Al-Qur’an: Sayyid Quthb’s Contemporary Commentary
on the Qur’an.” dalam International Journal of Business and Social Science, Vol. 2 No.
12 Juli 2011.
Winarno, Hadi. “Pluralisme Agama Dalam Al-Qur’an (Telaah Terhadap Tafsir Departemen
Agama),” dalam Al-Marhalah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 11 No. 1 Mei 2017.

Anda mungkin juga menyukai