Anda di halaman 1dari 16

BIOGRAFI SINGKAT

ABDURRAHMAN WAHID

Makalah

Disampaikan Pada Seminar Kelas


Mata Kuliah Filsafat Islam Modern Semester 2
Kelompok VI Program Pascasarjana (S2)

Oleh :

N U R D I N
NIM. 80100213100

Dosen Pemandu :

Prof. Dr. H. Qasim Mathar, M.Ag


Dr. M. Sabri. AR, M.Ag

PROGRAM PASCASARJANA (S2)


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


“Siapa saya sebenarnya tidak ada yang tahu karena pada waktu itu saya
rada di luar jangkauan siapa pun.”(Gus Dur). Betapa sulit memahami Gus Dur.
Bahkan oleh orang dekat dan kerabatnya sendiri. Namun justru itulah
kebanggaannya. Hal di atas diucapkannya jauh sebelum dirinya menjabat
Presiden di republik ini.
Fenomena Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama
menjadi santapan empuk di negeri ini “Indonesia dan beberapa negara Islam
lainnya”. Tapi beberapa dekade belakangan ini, pikiran itu menjelma menjadi
sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba
dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar
rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa
hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai
realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas
agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa
sebenarnya di balik gerakan ini?
Sebenarnya pemikiran inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan
akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman
manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari
akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang
terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajemukan (pluralitas) agama-
agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme
agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat
berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam
agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan
yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting

2
dalam disiplin ilmu sosial, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat
dan juga agenda penting globalisasi1.
Nama Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur identik dengan
pluralisme. Ia menjadi rujukan kaum minoritas dan mereka yang dianggap sebagai
kaum marjinal. Gus Dur tak segan melawan arus besar, untuk melindungi kaum
lemah. Gus Dur menjadi salah satu penggagas teologi pluralisme yang
menghargai perbedaan. Dari mana Gus Dur mengembangkan ide-idenya?
Rumadi, salah satu intelektual muda NU, mengatakan dalam sebuah wawancara,
bahwa sesungguhnya Gus Dur sempat mendukung gagasan-gagasan Ikhwanul
Muslim. Ikhawanul Muslimin di Indonesia saat ini diadaptasi oleh Partai Keadilan
Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia.2

B. Latar Belakang Masalah


Dari tulisan yang sangat sederhana ini, penulis akan merumuskan beberapa
masalah penting seputar kehidupan dan pemikiran Abdur Rahman Wahid.
a. Bagaimana Biografi dari Abdur Rahman Wahid?
b. Bagaimana pemikiran-pemikiran Abdur Rahman Wahid seputar
Pluralisme, Tentang Negara Islam dan Pribumisasi Islam ?

1
. Dikutip dari http://hmjaf.blogspot.com/2011/03/pemikiran-abdurrahman-wahid.html.
diakses, 20 Mei 2014
2
. M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS ; Dari Mesjid Kampus Ke Gedung
Parlemen, (Cet. II : Lkis, Yogyakarta, 2008), h. 111 - 112

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abdur Rahman Wahid

Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada tanggal
4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdur Rahman
ad-Dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama
pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdhatul Ulama,
yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal
sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai
pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke
SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di
Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali
Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid,
ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.3
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo
Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic
studies.Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk
mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama
tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan
sewaktu beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan
keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada
saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di
Indonesia, hingga kenudian ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam
di Indonesia.4
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun
pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni

3
. Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman
Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Pondok Sanusi : Bantul, 2003), h. 60-62
4
. Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik GusDur Dan Amien Rais
TentangNegara (Raja Grafindo : Jakarta, 1999), h. 99

4
klasik. 5 Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya
minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional
Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas;
dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang
dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan
inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah
pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan
kontekstualisasi.6
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan
budaya.Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika
yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur
tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal,
rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam
pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan
berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua
watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur
selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.7

B. Pemikiran Gus Dur

1.Penebar Pluralisme
Gus Dur adalah seorang yang berdiri ditengah-tengah suatu masa yang
dibangun dalam sebuah tatanan yang sangat monolitik, baik pada tataran
ideologi, politik, kebudayaan dan keagamaan. Ini kalau kita tempatkan Gus
Dur dalam seluruh kerangka orde baru sejak tahun 1965 hingga 80-an, yang
waktu itu masyarakat benar-benar hendak dijuruskan pada suatu tatanan
kehidupan dan tata pikir yang uniform. Gejala proses uniformitas

5
. Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran GusDur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi,
(Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 1999), h 121
6
. Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran GusDur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi,
(Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 1999), h. 126
7
. Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus
Dur (PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2000), h. 39

5
(penyeragaman) tampak dalam bidang ideology, pendidikan dan aturan-
aturan keorganisasian yang seharusnya memuat aspirasi masyarakat yang
pluralistic.
Gagasan Gus Dur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau
antariman inheren dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila
seseorang berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya
sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap
keberbedaan. Dialog dan toleransi pada kaum intelektual dan rohanian
katolik sebenarnya sudah cukup maju dan eksplisit, khususnya jika merujuk
pada dokumen yang terkenal dengan sebutan dokumen Vatican Council
kedua. Dokumen ini di dalamnya memuat nilai-nilai sikap, dan
penghargaan-penghargaan baru terhadap agama-agama lain. Ketika Gus Dur
bertemu dengan kelompok semacam ini dari kalangan kristen, maka dia
tidak merasa asing dengan pola pikir keagamaan atau teologi yang memang
sangat toleran dan secara positif mengakui keagungan serta kesucian iman
yang berada diluar horison keIslaman. Dalam hal ini gusdur mempunyai
semacam sikap teologi tertentu yang bukan sekadar bersikap toleran dan
dialogis, tetapi juga bersikap menghargai keberbedaan agama-agama
tersebut.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan sikap
dialogis yang ditujukan pada dua cabang dalam kehidupan agama. Pertama,
Gus Dur sendiri berpendapat bahwa perbedaan agama-agama cenderung
merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan. Dia
mengatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan
seseorang masuk surga dan neraka adalah Tuhan sendiri.8
Baik agamawan, rohaniawan, kiyai, muballigh, atau wali sekalipun
tidak bisa melakukan judgment atau penghakiman kepada orang selama di
dunia. Karena Gus Dur sadar bahwa ada banyak hal tersembunyi dalam
kehidupan seseorang selama hidup di dunia ini, dan itu hanya tuhan yang

8
. Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus
Dur (PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2000), h. 109

6
tahu. Oleh sebab itu maka tuhanlah yang akan menentukan apakah
seseorang itu benar atau salah hari akhir nanti. Pemikiran itu saya rasa
merupakan semacam ”radikalisme dalam teologi”, yang sekarang ini lebih
dikenal dengan ”teologi universal”. Teologi universal menempatkan
kebenaran agama-agama hanya di dalam kerangka kemutlakan Tuhan. Jadi
hanya Allah yang Maha Mutlak. Selain itu bersifat relatif, termasuk
didalamnya iman yang dipercayai oleh orang-orang diseluruh dunia. Saya
rasa ini menjadi basis teologi yang membuat umat manusia tidak nervous
dengan keberbedaan-keberbedaan yang ada pada agama-agama atau orang-
orang yang beriman.
Kedua, Gus Dur juga melangkah pada segi-segi yang lebih praktis.
Bagi Gus Dur, praksis agama menjadi sesuatu yang sangat esensial di dalam
hubungan antaragama yang didasari oleh toleransi dan langkah yang sangat
konkrit. Sebagai bukti, gusdur melakukan kerjasama dengan siapa saja
secara terbuka, baik dalam kelompok kristen, hindu, budha, maupun
kelompok Islam yang lain. Meski kemudian banyak berhubungan dengan
kelompok-kelompok sekuler yang tidak terlalu banyak mempersoalkan
doktrin-doktrin atau dogma-dogma agama adalah perkembangan lain.9

2.Tidak Ada Negara Islam


Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah
sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini
dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan apakah konsekuensi
dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu
diajukan disini, karena memang sangat berarti dalam kepastian legalitas dari
suatu pemahaman yang sampai saat ini masih terasa tidak jelas apakah
sebenarnya yang ada pada Islam. Apakah memang ada suatu konsep negara
Islam dalam agama Islam sendiri atau memang tidak ada sama sekali.

9
. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (The Wahid Institute : Jakarta,
2006), h. 81

7
Pertanyaan diatas oleh Gus Dur dijawab dengan tegas dan sederhana
bahwa Islam tidak pernah menganjurkan pembentukan negara Islam. Islam
hanyalah sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas
tentang negara.10 Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku
dalam Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan
yang jelas dan pasti pergantian pemimpin. Rasulullah saw digantikan
Sayyidina Abu Bakar-tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu
masyarakat kaum muslimin minimal di madinah menunggu dengan sabar
bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari
semua sepakat bahwa sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan
Rasulullah Saw melalui bai’at / prasetia. Ketika Sayyidina Abu Bakar
sebelum wafat menyatakan kepada pada komunitas muslimin hendaknya
umar bin khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah
ditempuh cara penunjukan pengganti, sebelum yang digantikan wafat.. ini
tentu saja sama dengan penunjukan seorang wakil presiden oleh seorang
presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar sudah ada pada masa kritisnya dan masa hidupnya, ia
meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilihan (electoral collage- ahl halli
wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang termasuk anaknya sendiri, Abdullah,
yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu bersepakatlah
mereka untuk mengangkat Usman Bin Affan sebaga kepala negara/kepala
pemerintahan. Untuk selanjutnya Usman digantikan Ali Bin Abi Thalib dan
hal ini tanpa ada penunjukan dari Usman.
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam,
juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan madinah tanpa ada kejelasan
mengenai bentuk pemerinahan bagi kaum muslimin. Pada masanya Umar
Bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur atlantik hingga
asia tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam
berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak

10
. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (The Wahid Institute : Jakarta,
2006), h. 12

8
jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang
menjadi konseptualnya.
Para penganjur ”negara Islam” selalu menggunakan dua firman allah
swt dalam kitab suci Al-Quran sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di
satu pihak, mereka selalu mengemukakan bahwa kitab suci tersebut
menyebutkan;

....    ...


Artinya :
”...masuklah kedalam Islam/kedamaian secara keseluruhan...”11

yang jelas-jelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah


boleh sepotong-potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap
mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain. Dalam
hal ini, mereka dapat dinyatakan ”terkena” firman tuhan dalam kitab suci
tersebut;

.      ...


Artinya :
tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi
mereka (masing-masing).12

dengan mementingkan ”milik sendiri” itu, mereka melupakan firman


lain :

.     

Artinya :
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.13

Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit yang diperhatikan kaum
muslimin.

11
. QS. Al-Baqarah : 208
12
. QS. Al-Mu’minun : 53
13
. QS. Al-Anbiya’: 107

9
Firman Tuhan berikutnya yang sering dijadikan landasan bagi gagasan
negara Islam;

        ...

....  


Artinya :
”hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-
tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi
kalian Islam sebagai agama”14

firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem


hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem
kenegaraan yang ”berbau negara”.15Diandaikan, tanpa negara, Islam tidak
dapat terwujud dengan sempurna. Dengan demikian permasalahannya
menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah
sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah
bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif kita harus mendirikan
negara Islam sebagai ”perintah agama” yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang
harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melasanakannya
merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konsekuensi
logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin dimanapun mereka
berada.
Gus Dur berpandangan bahwa tidak ada perintah untuk mendirikan
negara Islam, berdasarkan ketiadaan konsepnya dalam nash Al-Quran.
Karena dalam Al-Quran tidak ada konsep ad-daulatu (negara,
pemerintahan), dan tidak diaturnya model suksesi yang tetap. Padahal
suksesi adalah persoalan yang sangat penting dalam suatu konsepsi model

14
. QS. Al-Maidah: 3
15
. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (The Wahid Institute : Jakarta,
2006), h. 13

10
pemerintahan.16 Dengan begitu, maka menjadi jelas bahwa tidak ada konsep
teori kenegaraan, yang berbeda dari konsep-konsep yang lainnya.
Secara teoritis menurut Gus Dur terdapat dua model pemikiran tentang
negara dalam pandangan Islam. Pertama, adalah pemikiran idealistik yang
dalam kerangka pemikirannya telah secara sadar dirumuskan sebuah
kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam
pandangan ini Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus
diwujudkan secara penuh, dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus
persen Islami. Kedua, jenis pemikiran realistik yang tidak begitu tergoda
oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam.
Pikiran ini lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan
historis negara dapat ditampung dalam Islam.17
Gus Dur mendasarkan pemikirannya tentang konsepsi Islam dan
negara dengan menggunakan metode fungsionalisme (struktural). Sebab
baginya, perumusan hubungan yang tepat antara relasi agama dan negara
18
harus menggunakan sudut pandang fungsional. Yaitu keharusan
membacanya dalam suatu kerangka bahwa antara agama dan negara
mempunyai fungsi sosial dalam masyarakat. Karena itu meski pada dasarnya
antara agama dan negara mempunyai fungsi yang berbeda, namun antara
satu dan yang lainnya tidak bisa saling menegasikan, atau dengan kata lain
yang satu tidak bisa hidup dengan yanpa kehadiran yang lainnya. Dengan
begitu pola yang digunakan Gus Dur adalah metode keseimbangan dengan
menekankan pada terciptanya keharmonisan.
Selain menolak diberlakukannya agama sebagai ”ideologi alternatif”,
gus dur juga menolak diberlakukannya agama sebagai sebuah suplemen
(pelengkap) dalam negara, yang justru akan mengakibatkan kecilnya
penghargaan negara terhadap hak asasi manusia dan tidak mendukung

16
. Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (LkiS : Yogyakarta, 1999), h. 16
17
. Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Raja Grafindo:
Jakarta, 1999), h. 55-56
18
. Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Raja Grafindo :
Jakarta, 1999), h. 74

11
tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak bagi kebebasan
berbicara dan berpendapat. Dengan posisiya yang bersifat suplementer,
hubungan agama dan negara justru akan bersifat manipulatif, yaitu sekedar
menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.19

3.Pribumisasi Islam
Ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema
pribumisasi Islam. Pertama, ”salahkah jika dipribumikan? Tulisan kolomnya
di majalah tempo pada 16 juli 1983, dan kedua, ”pribumisasi Islam”,
antologi tulisan dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im saleh. Gagasan
”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema
yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana
mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga
menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih
antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses
yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang.20
Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi
keduanya memang mempunyai wilayah tumpang tindih, sebagaiman filsafat
dan ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu
pengetahuan, tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
adalah filsafat. Di antara keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang
tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaannya.
”Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu
pemahaman yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam
merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri.
”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya,
tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya
dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman
nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawaid al-
19
. Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (LkiS Yogyakarta, 1999), h 249
20
. Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus
Dur(PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2000), h. 43

12
fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus dipahami dengan
mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum
dan rasa keadilan.21
Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur
tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam
harus tetap pada sifat keilamannya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa arab,
terutama dalam solat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang
terjemahan Al-Quran hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah
pemahaman, bukan menggantikan Al-Quran itu sendiri.
Proses pergulatan dengan kenyataan kebudayaan tidaklah
dimaksudkan merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari
kehidupan agama Islam. Oleh karena itu yang dipribumikan sebagai fokus-
menurut gus dur- adalah manifestasi kehidupan agama Islam, bukan ajaran
Islam yang menyangkut inti keimanandan peribadatan formal. Kata Gus
Dur, Islam harus tetap Islam dimanapun saja berada. Namun tidak berarti
semua harus disamakan bentuk luarnya. Disini, kata Gus Dur harus ada titik
temu antara Islam dan budaya.22
Salah satu lontarannya sebagai implementasi gagasan ”pribumisasi
Islam”, yang pernah mengandung kontroversi, yaitu ”assalamu’alaikum”
yang disamakan oleh Gus Dur dengan ”ahlan wa sahlan atau shabah al-
khayr”.Artinya, kata Gus Dur, assalamu’alaikum bisa diganti dengan
”selamat pagi” atau ”apa kabar”. Gagasannya untuk ”pribumisasi Islam” ini
karuan saja membuatgeger di kalangan NU.sampai akhirnya sekitar 200 kiai
berkumpul di pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk
mengadili Gus Dur.

21
. Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus
Dur (PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2000), h 44
22
. Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus
Dur (PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2000), h 45

13
BAB III
KESIMPULAN

Islam bagi Gus Dur harus ditempatkan sebagai agama yang benar-
benarrahmatan lil alamin, termasuk bagi mereka yang tidak beragama islam tanpa
harus memeluknya sebagai agama. Dengan demikian, islam datang sebagai agama
yang dapat dinikmati oleh semua orang. Hal ini menurut Gus Dur bisa terwujud
tanpa harus menjelma sebagai ”ideologi negara” yang sifatnya mengikat seluruh
warga negara. Menjadikan islam atau atau agama apapun juga sebagai ”ideologi
alternatif” dalam negara yang pluralistik justru akan memicu terjadinya
disintegrasi bangsa.
Bagi Gus Dur tidak ada konsep kenegaraan yang baku dalam islam. Sebab
dalam Al-Quran sendiri tidak ada term ad-dawlah ataupun baldah yang bermakna
politis. Selain itu tidak ada pula petunjuk pelaksanaan yang secara teknis berasal
dari Nabi Muhammad Saw. Di samping tidak adanya tradisi sejarah islam yang
baku yang berkaitan dengan suksesi pemerintahan. Dengan begitu bagi Gus Dur,
yang terpenting bukanlah formalisme islam secara institusional melainkan
termanifestasikannya ajaran islam dalam etis masyarakat.
Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas
problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana
mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga
menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara
agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan
memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang. ”Pribumisasi Islam”
dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman yang
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-
hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu
upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang
yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan

14
kepada ushul fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur
harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk
kesadaran hukum dan rasa keadilan

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya

http://hmjaf.blogspot.com/2011/03/pemikiran-abdurrahman-wahid.html.

Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran


Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Pondok Sanusi : Bantul,
2003)

Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik GusDur Dan Amien


Rais TentangNegara (Raja Grafindo : Jakarta, 1999)

M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS ; Dari Mesjid Kampus Ke Gedung


Parlemen, (Cet. II : Lkis, Yogyakarta, 2008)

Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan
Gus Dur (PT Remaja Rosdakarya : Bandung, 2000)

Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran GusDur Dan Amien Rais Tentang


Demokrasi, (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 1999)

Wahid Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, (The Wahid Institute :
Jakarta, 2006)

................................., Tuhan Tidak Perlu Dibela, (LkiS : Yogyakarta, 1999)

................................., Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Raja Grafindo:


Jakarta, 1999)

16

Anda mungkin juga menyukai