Abstrak
Penilitian ini menganalisis tentang Abdurrahman Wahid dengan pemikirannya tentang
pribumisasi islam. Pendekatan yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis
kualitatif deskriptif. Hasil penilitian ini menunjukkan: Kesimpulan yang dapat kita tarik dari
penelitian ini adalah: pertama, bahwa yang dimaksud relevan dalam konstektual pada
karakteristik pribumisasi adalah agama yang sesuai dan selaras dengan perkembangan zaman,
bukan islam memperbaharui dirinya seiring dengan perkembangan zaman. Kedua, bahwa
Islam yang beragam (tanpa kehilangan identitas aslinya) bukanlah hal yang menyimpang,
pada tahap inilah akan lahir karakter toleran dalam diri Islam. Ketiga, Islam memang agama
yang menghargai tradisi selama tradisi itu tidak menyimpang dari ajaran islam. Islam juga
bersifat progresif dan rahmatan lil ‘alamin.
Kata Kunci: Gus Dur, Islamisasi, Pribumisasi
A. PENDAHULUAN
Pribumisasi Islam adalah salah satu pemikiran yang dicetuskan Gus Dur mencakup
penggunaan salam, membangun pluralisme dalam kehidupan sosial, Pancasila sebagai
ideologi dan humanisme. Menurut Gus Dur, di manapun Islam berada tidak harus disamakan
bentuk luarnya. Dalam hal ini harus ada titik temu antara Islam dan budaya.(INCReS 2000).
Ada salah satu implementasi gagasan beliau yang menimbulkan kontroversi yaitu
pengucapan al-salâm ‘alaykum yang disamakan oleh Gus Dur dengan ahlan wa sahlan atau
sabâh} al-khayr. Artinya, kata Gus Dur, al-salâm ‘alaykum bisa diganti dengan “selamat
pagi” atau “apa kabar”. Gagasan pribumisasi Islam dicetuskan oleh Gus Dur pada tahun
1980-an. Semenjak itu terjadi perdebatan menarik dalam lingkungan para intelektual; baik
intelektual senior dengan intelektual junior. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana
Islam sebagai ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing,
sehingga tidak ada lagi proses menyamakan dengan praktik budaya masyarakat Muslim di
Timur Tengah.
B. PEMBAHASAN
1. BIOGRAFI KH. ABDURRAHMAN WAHID
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada tangga l4 sya’ban
1359, atau 7 september 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Nama lengkapnya
Abdurrahman ad-Dakhil yang berarti “sang penakluk”. Kata “Addakhil” diganti dengan
“Wahid” maka jadilah Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sapaan Gus
Dur (Hamid 2014). Ia putra pertama menteri Agama pertama Indonesia KH.Wahid Hasyim
dan kakeknya KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan tokoh pendiri organisasi terbesar di
Indonesia Nahdlatul Ulama’. Ibunya adalah puteri pendiri pondok pesantren Denanyar
jombang yakni KH. Bisyri Syamsuri yaitu Ny. Hj. Sholehah (Mukhlas Syarkun 2013). Gus
Dur menikah dengan Sinta Nuriyah pada tanggal 11 juli 1968. Dari pernikahannya lahir
empat puteri, yakni Zannuba Arifah Chafsoh, Alisa Qotrunnada, Inayah Wulandari dan
Anita Hayatunnufus.
a. Pendidikan
Gus Dur memulai pendidikannya di sekolah rakyat Jakarta pada tahun 1944, lalu pada
tahun 1949, Gus Dur bersekolah di SD KRIS sebelum akhirnya pindah ke SD Perwari (Ali
Masykur Musa 2010). Tahun 1957 ia lulus SMEP Yogyakarta, dan pada pertengahan tahun
1959, Gus Dur pindah ke magelang untuk memulai pendidikan Islam di pondok pesantren
Tegalrejo. Di sini ia berguru pada kyai Khudori dan kiai Bisyri Syamsuri (Greg Barton). Lalu
pada tahun 1959, ia pindah ke jombang di bawah bimbingan kiai Wahab Chasbullah hingga
tahun 1963 untuk belajar secara penuh di pesantren tambakberas, kemudian nyantri lagi di
pesantren krapyak Yogyakarta, dan tinggal di rumah kiai Ali Maksum (Greg Barton), sembari
nyantri Gus Dur juga bekerja sebagai peneliti untuk majalah sastra “Horison” dan majalah
kebudayaan “budaya jaya” (Ali Masykur Musa 2010).
Gus Dur belajar di Universitas Al Azhar Kairo Mesir tahun 1963 dan ia juga
diamanahkan menjadi kedutaan besar Indonesia tepat disaat peristiwa gerakan 30
september/PKI terjadi. Dalam upaya penumpasan komunis, maka mayor jenderal Soeharto
pernah memerintahkan Gus Dur untuk melakukan investigasi terhadap pelajar Indonesia di
Mesir dan memberikan laporan kedudukan politik mereka (Ali Masykur Musa 2010). Pada
tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, dan masuk dalam Department of Religion di Universitas
Baghdad sampai tahun 1970. Di sini, Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual disini
juga ia meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis
majalah asosiasi tersebut (Hamid 2014). Ia banyak menggeluti ajaran Imam Junaid Al-
Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur
menemukan sumber spiritualitasnya (Hamid 2014).
b. Jabatan/Karir
Di Indonesia pada tahun 1971, Gus Dur aktif dalam lembaga penelitian, pendidikan,
dan penerangan Ekonomi dan sosial (LP3ES). Gus Dur juga terus berkarir menjadi peneliti
untuk majalah tempo dan koran kompas (Hamid 2014). Dan Gus Dur juga pernah menjadi
dekan Fakultas praktik dan kepercayaan Islam Ushuluddin pada tahun 1977 (Ali Masykur
Musa 2010).
Gus Dur pernah menjadi ketua dewan kesenian Jakarta (DKJ) taman Ismail Marzuki
di tahun 1983. Bahkan pada tahun 1986-1987, ia juga pernah menjadi ketua juri festival film
Indonesia (FFI). Pada tahun 19 oktober 1999 menjelang pemilu presiden, Gus Dur mulai
digadang gadang oleh poros tengah sebagai calon presiden, lalu Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai presiden ke-4 dengan 373 suara pada 20 Oktober 1999 (Hamid
2014).
C. ANALISIS
Gus Dur telah melontarkan sebuah ide yang berkaitan dengan pribumisasi islam.
Yang mana dalam idenya ini ada beberapa karakteristik pribumisasi islam menurut Gus Dur.
kontekstual, toleran, menghargai tradisi, progresif, dan membebaskan adalah karakteristik
yang dikatakan oleh Gus Dur. Dan disini penulis akan mencoba menganalisa pemikiran Gus
Dur mengenai pribumisasi islam ini berdasarkan karakteristiknya.
Karakteristik pribumisasi islam yang pertama yaitu konstektual. Dalam karakteristik
ini Gus Dur menuturkan bahwa dalam kontekstual agama islam itu shalih li kulli zaman wa
makan, yang selalu relevan kapanpun dimanapun. Dalam karakteristik ini Gus Dur
menuturkan bahwa Islam akan mampu terus memperbaharui diri. Namun, yang dimaksuk
relevan disini yaitu islam adalah agama yang sesuai dan selaras dengan perkembangan
zaman, bukan islam memperbaharui dirinya seiring dengan perkembangan zaman. Karena
kata shalih yang dimaksud disini yaitu selaras atau sesuai. Dan islam pun tidak boleh
diperbaharui lagi. Islam yang ada pada zaman Rasullah ialah islam yang ada pada zaman
sekarang. Sebagaiman Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi:
“Ketahuilah! Sesungguhnya orang sebelum kalian dari Ahlul Kitab telah terpecahbelah
menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya agama (Islam) ini akan terpecahbelah menjadi 73
golongan. (HR. Ahmad)
Dalam hadits tersebut jelas disebutkan bahwa aqidah islam yang benar hanya satu
yaitu ahlu sunnah wal jamaah. Dan apabila keberagaman umat islam yang dimaksudkan
adalah keberagaman dalam masalah fiqh maka itu diperbolehkan selama tidak menyimpang
dari empat madzhab fiqih yang telah diakui dalam islam.Karakteristik yang ketiga yaitu
bahwa islam itu menghargai tradisi. Islam memang agama yang menghargai tradisi selama
tradisi itu tidak menyimpang dari ajaran islam. Islam juga bersifat progresif dan rahmatan lil
‘alamin sebagaimana yang disebutkan dalam karakteristik yang keempat dan kelima.
Dalam buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Gus Dur dengan lugas
menyampaikan bahwa kata ‘Gusti’ tidak mesti diganti dengan Allah, sebab ketika orang Jawa
menyampaikan kata Gusti pasti konotasinya adalah Allah. Dalam hal ini kita tidak boleh
menetapkan sebuah nama bagi Allah kecuali dengan dalil dari Al Qur’an dan Al Hadits,
karena itu sesuatu yang tidak diketahui apakah nama itu mengandung arti yang mencapai
puncak keindahan atau sebaliknya. Yang mengetahui bahwa nama itu mengandung makna
yang mencapai puncak keindahan atau tidak hanyalah Allah, yang kemudian dikabarkan
kepada Nabi Muhammad SAW Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka kalau ingin menetapkan
sebuah nama bagi Allah harus ada dalilnya dari Al Qur’an dan Al Hadits. Jadi, sebutan bagi
Allah yang tidak ada dalilnya tidak boleh. (Hadits Shahih, 2014)
Kemudian Gus Dur juga mengatakan bahwa kata ‘sembahyang’ tidak harus diganti
dengan ‘shalat’, sembahyang yang dilakukan oleh orang jawa bukan sangyangwidi yang
disembah tetapi Allah semata. Dalam permasalahan ini perlu dikaji lagi bahwa shalat berasal
dari Al-Qur’an bukan berasal dari budaya Arab.Jadi, ketika kita mengucapkan kata shalat
secara tidak langsung kita telah menerapkan bahasa Al-Qur’an.Setelah itu Gus Dur pun
menuturkan tentang jilbab.Jilbab menurut Gus Dur disesuaikan dengan keadaan, situasi dan
budaya Indonesia. Boleh saja jilbab itu sesuai dengan budaya Indonesia selagi budaya
tersebut sesuai dengan syariat islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab
ayat 59:
ِ ك أ َْدنَىٓ أَن ي عرفْن فَ ََل ي ْؤذَين ٓ وَكا َن ٱلله َغ ُفِ ِ ِ ِك ونِس ِاء ٱلْم ْؤِمنِ َ َٰيأَيُّها ٱلنبِى قُل ِِّل َْزَٰوِج
يما
ً ورا رح
ً ُ َ َ ْ ُ َ َْ ُ َٰ َ ين َعلَْي ِهن من َج َٰلَبِيبِ ِهن ََٰذل
َ ين يُ ْدن
َ ُ َ َ َ ك َوبَنَات َ ُّ َ َ
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di
ganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jilbab pada ayat tersebut dapat diartikan dengan gamis sebagaimana yang telah
disebutkan dalam buku Lisanul Arab. Pakaian yang lebih lebar dari khimar itulah jilbab yang
dikenakan untuk menutupi kepala dan dada para wanita. Jadi, dari ayat tersebut dapat kita
tarik kesimpulan bahwa boleh saja jilbab itu mengikuti budaya tertentu selagi tidak
menyimpang, dan apabila menyimpang dari syariat islam maka syariat islam harus
didahulukan dan budaya harus dikesampingkan.
Diakhir kata Gus Dur menyebutkan bahwa pribumisasi islam yang demikian ini
diungkapkan atas dasar kaidah fiqih yang berbunyi al-‘adah al-muhakkamah (adat istiadat
menjadi hukum). Perlu dikaji kembali bahwa untuk menerapkan kaidah ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu adat istiadat dapat dijadikan untuk menghukumi sesuatu jika
belum ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang menunjukan hukum pada suatu masalah
tertentu.
D. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari penelitian ini adalah: pertama, bahwa yang
dimaksud relevan dalam konstektual pada karakteristik pribumisasi adalah agama yang sesuai
dan selaras dengan perkembangan zaman, bukan islam memperbaharui dirinya seiring
dengan perkembangan zaman. Kedua, bahwa Islam yang beragam (tanpa kehilangan identitas
aslinya) bukanlah hal yang menyimpang, pada tahap inilah akan lahir karakter toleran dalam
diri Islam. Ketiga, Islam memang agama yang menghargai tradisi selama tradisi itu tidak
menyimpang dari ajaran islam. Islam juga bersifat progresif dan rahmatan lil ‘alamin
sebagaimana yang disebutkan dalam karakteristik yang keempat dan kelima.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Masykur Musa. 2010. Pemikiran Dan Sikap Politik Gus Dur. Jakarta: Erlangga.
Dedy Junaedi. 2000. Beyond The Symbols: jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus
Dur. Bandung: Rosydakarya.
Duryat, Masduki. 2021. "Pribumisasi Islam: Reinterpretasi Ide Gus Dus". Pikiran Rakyat.
Greg Barton. ed. The Authorized Biography Of Abdurrahman Wahid.
Hamid, M. 2014. Jejak Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: Galang Pustaka.
INCReS. 2000. "Beyond the Symbols : jejak antroplogis pemikiran dan gerakan GUS DUR".
Mukhlas Syarkun. 2013. Ensiklopedi Abdurrahman Wahid. Jakarta: Gedung Perintis.
Rahmat, Muhammad Imadur. 2003. Islam Pribumi; Mendialogkan Agama, Membaca
Realitas. Jakarta: Erlangga.
Siti Mufarokah
Nama: Siti Mufarokah
TTL: Kelaten, 11 Januari 1997
Sekarang sedang menempuh studi di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
dan telah mendapat gelar S.Pd dari S TIBA Ar-Raayah Sukabumi.