2, Oktober 2013
e-mail:dewaramendra@yahoo.com
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk (1) memerikan variasi pemakaian Bahasa pada
masyarakat tutur Kota Singaraja dalam kaitannya dengan wangsa, pekerjaan dan umur,
dan (2) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi tersebut. Untuk
mencapai tujuan tersebut, peneliti menerapkan pendekatan mixed method dengan
melibatkan 120 subjek penelitian yang diperoleh melalui secara purposive dengan
memperhatikan kriteria wangsa, pekerjaan dan umur. Data dikumpulkan melalui angket,
wawancara dan perekaman.Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 3 variasi bahasa
pada masyarakat tutur kota Singaraja yang terkait dengan tipe subjek. Pemakaian BA
sebagai variasi dominan dipakai oleh tipe penutur TAD, TBD, TCD dan TCM. Mereka
adalah kelompok penutur dari tri wangsa dari tipe pekerjaan yang bervariasi dan didominasi
oleh umur tua. Sedangkan, variasi pemakaian BI didominasi oleh tipe subjek TAM, TBM,
NAM dan NBM. Kelompok ini merupakan usia muda dari kelas sosial (pekerjaan) menengah
ke atas, dan tri wangsa dan jaba. Terakhir, pemakaian BB didominasi oleh tipe subjek
NAD,NBD, NCD dan NCM. Kelompok ini merupakan kelompok jaba dari tiga tipe pekerjaan
dan didominasi oleh umur tua. Variasi pemakaian bahasa yang berbeda tersebut terkait erat
dengan identitas yang ingin diproyeksikan oleh subjek (penutur).
Kata kunci: masyarakat tutur, pekerjaan, umur, variasi pemakaian bahasa dan wangsa.
Abstract
This article aimed at (1) describing the variation of language use in Singaraja speech
community with regardto caste, type of jobs and age and (2) explaining the factors that
influence such variation. To achieve those aims, the researcher applied mixed method
research involving 120 subjects obtained through purposive samplings in consideration with
WKH VXEMHFWV¶ FDVWH MREV DQG DJH 7KH GDWD ZHUH FROOHFWHG WKURXJK TXHVWLRQDLUUH LQWHUYLHZ
and recording. The results of the research showed that there were three variation of
ODQJXDJH XVH LQ 6LQJDUDMD VSHHFK FRPPXQLW\ LQ UHODWLRQ ZLWK WKH VXEMHFWV¶ W\SHV %$ ZDV
GRPLQDQWO\ XVHG E\ VXEMHFWV¶ W\SH 7$' 7%' 7&' DQG 7&0 7KHVH VXEMHFWV ZHUH IURP
higher caste (tri wangsa) with all types of jobs and mostly at old age. BI was dominantly
XVHG E\ VXEMHFWV¶ W\SH 7$0 7%0 1$0 GDQ 1%0 7KHVH VXEMHFWV FDPH IURP ERWK KLJKHU
and lower (jaba) caste, but they were all at young age and at the mid to high job category.
BB was dominantly used by NAD,NBD, NCD dan NCM. These subjects were all from lower
FDVWH ZLWK YDULRXV MREV¶ W\SHV DQG PRVWO\ DW ROG DJH 7KHVH YDULDWLRQ LQ ODQJXDJH XVH ZHUH
very closely related with the types of identity projected by the subjects (speakers).
Keywords: age, caste, job, language use variation and speech community.
Indonesia (BI). BI merupakan bahasa resmi pelarian politik dari kerajaan-kerajaan di Bali
yang telah dikukuhkan menjadi bahasa Selatan dan ketika mereka di Singaraja
nasional sejak kemerdekaan. Sebagai mereka diminta untuk melepaskan status
bahasa resmi, BI dijamin pemakaiannya wangsa mereka untuk menjadi warga biasa
oleh negara pada ranah-ranah resmi, seperti (Sastrodiwiryo, 2011).
di kantor publik (pemerintahan), sekolah dll. Sastrodiwiryo juga menjelaskan
Bahkan, banyak yang sudah bahwa masyarakat tutur Kota Singaraja
menggungkapkan (Purwoko, 2008) bahwa merupakan masyarakat tutur yang sangat
BI juga telah memasuki ranah-ranah tak terbuka dan mengedepankan solidaritas.
resmi, seperti keluarga dan tempat bermain Dari perspektif sejarah terlihat jelas bahwa
(ketetanggaan) masyarakat tutur tersebut sudah menerima
Perbedaan yang paling mencolok beberapa kelompok yang beda budaya,
antara BI dan BB adalah pada ketiadaan TT beda etnis dan bahkan beda keyakinan
pada bahasa Indonesia. Hal ini dengan tangan terbuka. Misalnya, pada
mengindikasikan bahwa BI bersifat netral abad ke-8 sebelum munculnya kerajaan dan
dan mengepankan persamaan. Sifat ini dinasti Warmadewa di Bali (abad ke-10)
tentu saja sangat sesuai dengan nuansa Jemaah-jemaah Budha Mahayana pertama
masyarakat modern yang menghindari telah menginjakkan kaki di pantai Bali Utara,
nuansa tradisional dan feodalisme yang yaitu di sekitar tempat yang sekarang
menjadi ciri TT bahasa Bali. Hal ini dikenal dengan kawasan Lovina. Pada
PHQJDNLEDWNDQ %, PHQMDGL ³VDWX-satunya waktu itu orang-orang Bali Aga yang
EDKDVD NRPXQLNDVL \DQJ SDOLQJ EHUJHQJVL´ mendiami wilayah pegunungan Den Bukit
yang telah banyak menggeser fungsi-fungsi menyambut jemaah budha ini dengan
bahasa lokal (Purwoko, 2008) ramah. Bahkan, kalau diperhatikan sampai
Walaupun sudah ada beberapa sekarang banyak orang dari berbagai latar
penelitian yang dilakukan terkait dengan belakang etnis yang berbeda tinggal
pemakaian Bahasa di Bali, tapi penelitian itu menetap di Kota Singaraja.
masih bersifat terbatas dan hanya dilakukan Suryawan (2010) mengungkapkan
pada wilayah Bali selatan yang notabene bahwa kabupaten Buleleng terkenal sebagai
PHUXSDNDQ ZLOD\DK \DQJ ³VDQJDW NHQWDO µEXPL SDQDV¶ :LQJDUWD \DQJ
GHQJDQ QXDQVD DGDW GDQ WUDGLVL´ .DUHSXQ mendukung opini tersebut menambahkan
2007). Bagus (1979), misalnya, melakukan EDKZD ³NHNDVDUDQ GDQ NHNHUDVDQ ZDWDN
penelitian tentang pemakaian bahasa bali di orang-orang Buleleng itu juga sudah
wilayah Klungkung dan Denpasar. menjadi merek dan stereotipe bagi orang-
Sedangkan, Suastra (1988) melakukan orang Buleleng yang mungkin identik
penelitian yang sejenis di wilayah Denpasar. dengan merek dan stereotipe yang diberikan
Berdasarkan pertimbangan ini, peneliti kepada orang-orang dari etnis Madura dan
tertarik untuk melakukan penelitian tentang DWDX -DZD 7LPXU´ :DWDN LQL PXQJNLQ VDMD
variasi pemakaian Bahasa pada masyarakat tercermin pada pemakaian bahasa pada
tutur Kota Singaraja. masyarakat tutur Kota Singaraja, sehingga
Selain itu, masyarakat tutur Kota suatu kajian tentang pemakaian Bahasa di
Singaraja memiliki karakteristik yang Bali pada masyarakat tutur Kota Singaraja
berbeda dengan masyarakat tutur Bahasa di menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Bali yang lain. Masyarakat tutur Kota
Singaraja cenderung untuk mengabaikan LANDASAN TEORI
keberadaan wangsa. Hal ini mungkin terkait Variasi Bahasa
dengan sejarah yang menceritakan bahwa Variasi bahasa bisa diartikan
Kota Singaraja (Buleleng) merupakan sebagai cara-cara yang berbeda untuk
tempat berlindung dan bersembunyi bagi mengungkapkan sesuatu yang sama
(Meyerhoff, 2011). Hal ini bisa terjadi, bermakna sebagai asal usul (dialek
karena ketika seorang penutur menyatakan geografis) bagi masyarakat tutur daerah B.
sesuatu melalui bahasa ia juga Dialek A mewakili kelas sosial yang lebih
mengungkapkan siapa dirinya, dari rendah jika dibandingkan dengan dialek B.
masyarakat mana ia berasal, hubungannya Dengan cara ini, variasi yang sebelumnya
dengan lawan tutur dan persepsinya tentang dilihat sebagai variasi regional berfungsi
situasi tutur. Mesthrie (2009); dan Wardaugh sebagai variasi sosial (sosiolek).
(2006) sepakat dengan kata lain Jika penutur dari daerah A tidak
mengungkapkan variasi bahasa sebagai diberi akses pada jejaring interaksi wilayah
pola tutur berbeda yang terkait dengan B, menikah hanya dengan sesamanya,
situasi sosial dari suatu masyarakat tutur. terikat hanya dengan tradisi asli dan hanya
Variasi bahasa dimungkinkan, menghargai pertemanan dengan
karena penutur suatu bahasa tertentu tidak sesamanya, maka mereka mungkin dilihat
hanya menguasai satu bahasa saja, tapi sebagai masyarakat tutur yang berbeda.
bisa beberapa bahasa atau satu bahasa Masyarakat tutur yang memiliki tujuan,
beserta variasinya (khazanah verbal). kepercayaan dan tradisi yang berbeda.
Keberadaan khazanah verbal inilah yang Pada gilirannya, variasi A tidak lagi dilihat
memungkinkan seorang penutur untuk sebagai variasi sosial, tetapi variasi etnis
menggunakan cara-cara yang berbeda dan suatu saat bisa tumbuh menjadi bahasa
untuk mengungkapkan sesuatu melalui yang berbeda.
bahasa. Dalam masyarakat tutur A bisa juga
Wardaugh (2006) melabeli ada penutur yang menguasai variasi B.
khazanah verbal sebagai kompetensi Kecenderungannya adalah mereka
komunikasi dari seorang penutur yang menggunakan variasi A untuk menciptakan
menunjukan bukan hanya penguasaan akan keakraban dan solidaritas kelompok
suatu bahasa beserta variasinya, tetapi juga diantara mereka. Tapi, mereka
memahami norma-norma permakaiannya. menggunakan variasi B untuk tujuan
Sehingga, kepemilikan akan khazanah pekerjaan dan menunjukkan rasa hormat.
verbal tidak hanya mengandung makna Bagi penutur A, variasi A dan B merupakan
pasif, tapi aktif. Konsep kompetensi variasi fungsional yang saling melengkapi
komunikasi itu tidak hanya berarti memiliki dengan area yang terspesialisasi. Fungsi
tapi juga mampu menggunakan secara baik variasi B yang dipakai oleh penutur A tentu
dan tepat sesuai dengan tuntutan situasi, saja berbeda dengan fungsi variasi B yang
karena variasi itu umumnya bersifat dipakai oleh penutur B sendiri.
fungsional dan spatial. Sejalan dengan pernyataan
Hal yang paling penting dalam Fishman, Chambers (2003) menjelaskan
konsep variasi bahasa adalah kaitan antara bahwa variasi bahasa tidaklah bersifat acak,
bahasa dengan situasi sosial masyarakat tapi mengikuti suatu pola tertentu. Pola
tutur. Fishman (1972) membuat ilustrasi tersebut memiliki makna sosial yang
berikut untuk menjelaskan kaitan antara menunjukkan kemunculan variasi linguistik
variasi bahasa dan masyarakat tutur. Variasi yang sistematis (variabel tergantung) dalam
bahasa awalnya terkait erat dengan wilayah hubungannya dengan struktur sosial
geografis yang disebut dengan dialek atau (variabel bebas). Hubungan antara kedua
dialek geografis. Jika sekelompok besar variabel tersebut bersifat saling
imigran penutur daerah A yang serba mempengaruhi dan tidak saling
kurang secara ekonomi, kurang disukai di mendominasi, sehingga asumsi yang terbaik
daerah yang didatangi dan tidak untuk menggambarkan hubungan kedua hal
berpendidikan datang ke daerah penutur B, tersebut adalah korelasi.
maka varasi (dialek) A tidak hanya
Kalau diperhatikan secara yang tidak formal dan ada yang berada di
mendalam faktor-faktor sosial yang antara formal-tidak formal. Pengelompokan
mempengaruhi variasi linguistik antara satu domain berdasarkan formalitas ini pada
setting dengan setting yang lainnya berbeda gilirannya berimplikasi pada ragam bahasa
satu sama lain, atau memiliki skala untuk mmenuhi tuntutan domain itu sendiri.
berimbangan yang berbeda. Dalam Hal ini Adanya ragam formal, misalnya, digunakan
tidak masalah, karena setiap kajian adalah untuk domain formal (mis. di sekolah, di
unik dan spesifik (Wardaugh, 2006). pemerintahan dan lain lain) dan ragam tidak
Meyerhoff (2011), misalnya, formal digunakan pada domain tidak formal
mengungkapkan bahwa variasi sosial yang (mis. di keluarga, pertemanan dan lain lain).
bisa mengakibatkan variasi linguistik ialah Berbeda dengan pendekatan sosial,
umur, status sosial, jejaring sosial dan psikologi sosial tidak mendekati pemilihan
jender. Sedangkan, Chambers (2003) bahasa melalui struktur domain. Psikologi
mengungkapkan bahwa variasi tersebut bisa sosial mendekati masalah tersebut dengan
disebabkan oleh kelas sosial, jejaring sosial, meneliti proses psikologi manusia, yaitu apa
mobilitas sosial, umur dan jender. yang memotivasi seorang penutur untuk
memilih suatu ragam bahasa tertentu.
Faktor-Faktor Pemengaruh Pemilihan Mesthrie (2009) dan Spolsky (2003)
Bahasa mengemukakan bahwa alasan yang paling
Fasold (dalam Chaer dan Agustina, mendasar bagi timbulnya variasi bahasa
2004) mengemukakan bahwa penelitian terkait erat dengan jejaring sosial. Hal itu
tentang pemilihan ragam bahasa bisa din\DWDNDQ GHQJDQ µSHRSOH WHQG WR WDON OLNH
didasarkan pada tiga pendekatan: sosiologi, WKH SHRSOH WKH\ WDON WR PRVW RI WKH WLPH¶
psikologi sosial dan antropologi. Fishman Pernyataan ini menunjukan bahwa seorang
melalui pendekatan sosiologi menemukan penutur cenderung untuk bertutur seperti
adanya konteks institusional yang disebut orang yang paling sering diajak bertutur. Hal
domain sebagai penentu bagi pilihan-pilihan inilah yang dimaksud dengan ikatan sosial,
bahasa. Domain merupakan konstelasi suatu indikator psikologi yang sangat
faktor-faktor seperti lokasi, topik dan penting bagi seorang penutur untuk memilih
partisipan. atau menolak suatu ragam bahasa tertentu.
Lokasi merupakan tempat dimana Ikatan sosial ini sangat terkait dengan
suatu interaksi terjadi, itu bisa terjadi di audience design. Audience design terkait
rumah, di sekolah, di kantor pemerintahan dengan bagaimana seorang penutur
atau ditempat ibadah. Topik terkait dengan mengatur (menyesuaikan) cara tuturnya
apa yang dibahas atau dibicarakan dalam dengan lawan tuturnya yang juga
suatu interaksi. Topik yang dibicarakan bisa menunjukan bagaimana mereka terhubung
sangat luas, menyangkut berbagai hal/ isu- satu sama lain.
isu yang terdapat dalam kehidupan di Kedua ahli tersebut juga
masyarakat. Topik bisa terkait dengan mengatakan bahwa terdapat suatu
kehidupan di keluarga, pendidikan dan lain kecenderungan bagi para partisipan tutur
lain. Partisipan terkait dengan siapa untuk menggunakan pelafalan yang saling
berinteraksi dengan siapa. Hal ini terkait mendekati satu sama lain dalam suatu
dengan identitas dari partisipan tersebut dan peristiwa tutur atau disebut dengan
hubungan diantara mereka. Partisipan dari konvergen (accomodation). Fenomena ini
suatu interaksi bisa saja antara ayah-anak, menjelaskan bagaimana seorang penutur
kakak-adik, teman-teman dan lain lain. yang berpindah ke suatu tempat tertentu
Analisis domain ini kemudian terkait memodifikasi tuturnya sehingga sesuai
erat dengan formalitas, dimana ada domain- dengan pola tutur baru di tempat tinggalnya
domain tertentu yang dianggap formal, ada yang baru tersebut.
Hal sebaliknya bisa juga terjadi. NDWD µEDQJND¶ XQWXN NUXQD NDVDU µPDWL¶
Seorang penutur bisa juga menggunakan XQWXN NUXQD DQGDS ¶SDGHP¶ XQWXN NUXQD
pelafalan atau cara tutur yang berbeda DOXV VRU GDQ µVHGD¶ XQWXN NUXQD DOXV
(menjauh) dari lawan tuturnya. Hal ini singgih.
disebut dengan divergen. Divergen Dari segi rasa kata (kruna), bahasa
merupakan suatu fenomena dimana cara Bali memiliki tujuh tingkat, yaitu 1) kruna
tutur seseorang menjauh dari cara tutur alus mider, 2) kruna alus madia, 3) kruna
dengan siapa ia bertutur atau dari cara tutur alus singgih, 4) kruna alus sor, 5) kruna
dimana ia tinggal. Dalam hal ini, penutur mider, 6) kruna andap dan 7) kruna kasar.
tersebut menekankan pada fitur-fitur tuturan Dari segi kalimat (lengkara), bahasa Bali
tertentu yang membedakannya dengan memiliki lima tingkat, yaitu 1) lengkara alus
lawan tutur atau dengan cara tutur dimana singgih, 2) lengkara alus madia, 3) lengkara
ia tinggal. Dengan kata lain, ia lebih alus sor, 4) lengkara andap dan 5) lengkara
menghargai atau menunjukan kesetiaannya kasar. Dari segi rasa bahasa, bahasa Bali
pada suatu kelompok lain yang tidak hadir. memiliki empat tingkat, yaitu 1) alus, 2)
madia, 3) andap dan 4) kasar (Dinas
Tingkat Tutur Bahasa Bali Kebudayaan Bahasa Bali Propinsi Bali,
Tingkat tutur, seperti tercermin 2002).
dalam kata itu sendiri, ialah bentuk tutur Selanjutnya, Dinas Kebudayaan
yang bertingkat dari halus (sopan) sampai Bahasa Bali Propinsi Bali (2002) juga
kasar terkait dengan tingkat penghormatan mengungkapkan bahwa dasar pembagian
yang diberikan oleh seorang peserta tutur tingkat tutur adalah rasa bahasa. Itulah
terhadap peserta tutur yang lainnya. Tingkat mengapa ada beberapa pandangan
tutur dalam bahasa Bali sesungguhnya berbeda mengenai pembagian tingkat tutur.
sekali ditunjukkan oleh pemakaian kosakata Suatra (1998) merumuskan perbedaan
yang berbeda (alternasi leksikal) untuk suatu pandangan tersebut pada tabel 1 sebagai
makna kata (kruna) yang sama. Untuk kata berikut.
yang bermakna mati, misalnya, dipakai
Selain subjek tersebut, satu orang pilihan bahasa yang dipakai oleh subjek
dari setiap kelompok subjek (sel) diminta penelitian. Pedoman wawancara juga
kesediaannya untuk direkam dan digunakan untuk mencari jawaban kenapa
diwawancara. Perekaman dilakukan pada bahasa (tingkat) tutur tertentu lebih dipilih
latar alamiah ketika subjek bertuturan dibandingkan dengan bahasa (tingkat) tutur
dengan petutur alamiahnya (yang kebetulan yang lainnya.
ditemui) di empat ranah yang berbeda
(keluarga, ketetanggaan (tempat bermain), Prosedur Pengumpulan Data
tempat kerja, di luar tempat (jam) kerja. Sebelum data dikumpulkan, subjek
Setelah itu, subjek yang direkam tersebut penelitian terlebih dahulu ditentukan.
diwawancarai dengan menerapkan Setelah subjeknya dipilih, peneliti meminta
pedoman wawancara yang sudah disiapkan. kesediaan mereka untuk berpartisipasi
dalam penelitian. Ke-120 subjek diminta
OBJEK PENELITIAN untuk mengisi lembar angket dengan
Objek penelitian ini meliputi perilaku sejujur-jujurnya.
bahasa dan tuturan verbal dari masyarakat Setelah itu, satu subjek dari setiap
tutur kota Singaraja. kelompok diminta kesediannya untuk
direkam. Setelah subjek setuju untuk
PENGUMPULAN DATA direkam, peneliti menyertai subjek selama
Instrumen Pengumpulan Data beberapa waktu untuk merekam tuturan
Instrumen yang akan dipakai dalam verbal mereka dengan orang-orang di
mengumpulkan data ada 3: angket, alat sekitar mereka. Proses perekaman
perekam dan panduan wawancara. Angket dilakukan di empat ranah: keluarga,
yang disusun terdiri atas sejumlah ketetanggaan (tempat bermain), tempat
pertanyaan yang dipakai untuk menggali kerja dan di luar tempat (jam) kerja.
data terkait dengan perilaku berbahasa Setelah proses perekaman selesai,
masyarakat tutur Kota Singaraja. peneliti mewawancara subjek tersebut dan
Pertanyaan tersebut terkait dengan bahasa mengajukan berbagai pertanyaan terkait
yang umumnya dipakai responden ketika dengan temuan rekaman. Pertanyaan
berinteraksi dengan petutur yang memiliki tersebut adalah pertanyaan tentang
status sosial tertentu . pemilihan variasi/ bahasa yang dipakai
Alat perekam dipakai untuk dalam hubungannya dengan siapa yang
merekam tuturan verbal subjek penelitian diajak bertuturan dan ranah pemakaian
selama mereka bertutur dengan partisipan bahasa.
yang lainnya. Karena teknik pengumpulan
data yang dipakai adalah observasi ANALISIS DATA
partisipasi, maka peneliti akan mengikuti, Karena data yang akan didapatkan
merekam dan bahkan juga berinteraksi adalah dalam bentuk kuantitatif dan
dengan subjek penelitian. Melalui cara ini, kualitatif, maka prosedur analisis data dibagi
data yang diharapkan didapatkan bersifat menjadi 2. Secara kuantitatif, data yang
sealamiah mungkin. diperoleh melalui angket akan dijumlahkan
Pedoman wawancara dipakai ketika dan ditabulasikan. Kemudian, hasil tabulasi
peneliti mewawancara subjek penelitian. tersebut dipresentasekan untuk melihat
Pedoman wawancara yang digunakan terdiri keterkaitan secara umum antara pemakaian
atas beberapa pertanyaan yang dipakai bahasa (TT) dengan wangsa, pekerjaan
untuk mengumpulkan data terkait dengan dan umur.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada 45% dan BI 43%; pada NAM pemakaian BA
TAD pemakaian BA mencapai rerata 62%, mencapai rerata 12%, BB 37% dan BI 51%;
BB 8 % dan BI 30%; pada TAM pemakaian pada NBD pemakaian BA mencapai rerata
BA mencapai rerata 40% BB, 2% dan BI 18%, BB 55% dan BI 27%; pada NBM
58%; pada TBD pemakaian BA mencapai pemakaian BA mencapai rerata 12%, BB
rerata 59%, BB 11% dan BI 30%; pada 40% dan BI 48%; pada NCD pemakaian BA
TBM pemakaian BA mencapai rerata 44%, mencapai rerata 15%, BB 70% dan BI 15%;
BB 5% dan BI 51%; pada TCD pemakaian dan pada NCM pemakaian BA mencapai
BA mencapai rerata 67% BB, 22% dan rerata 20%; BB 57% dan BI 23%.
BI11%; pada TCM pemakaian BA mencapai Untuk lebih jelasnya data pada tabel
rerata 49%, BB 13% dan BI 38%; pada NAD 2 divisualkan pada bagan 1 berikut.
pemakaian BA mencapai rerata 12%, BB
sekali masih belum menggali data terkait penelitian ini sepertinya masih belum
dengan pemakaian BK yang dikenal secara mampu untuk melakukan hal tersebut.
kental mewarnai bahasa pergaulan di kota Sehingga, untuk memperoleh gambaran
Singaraja sehingga bisa dikatakan lebih lengkap tentang variasi pemakaian
gambaran yang dipaparkan di dalam bahasa di kota Singaraja model tersebut
penelitian ini masih jauh dari sempurna. perlu untuk dikombinasikan dengan model
8QWXN PHQJJDOL GDWD %. PRGHO µVWDWXV µMHMDULQJ VRVLDO¶ \DQJ GLSHUNHQDONDQ ROHK
VRVLDO¶ /DERY \DQJ GLWHUDSNDQ SDGD Milroy (1992).
DAFTAR SINGKATAN