Anda di halaman 1dari 10

Jingganya Senja

Cuma Coretan-coretan Tinta


« Cerpen : Gerhana Mata
Cerpen: Perempuan yang Pandai Menyimpan Api »

DIALEK BAHASA JAWA BAGIAN TENGAH: Kajian


Geografis Dialek Dan Budaya

2 Votes

ABSTRAK
Bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Tanpa bahasa, hubungan dalam masyarakat, baik hubungan yang bersifat vertikal
maupun horisontal tidak akan berjalan dengan lancar. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya
“jawa” dapat dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahasa Jawa juga dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pengelompokkan ini didasarkan pada dialek-dialek
yang digunakan dalam masayarakat yang bersangkutan.Perbedaan dialek ini dapat dilihat dari
perbedaan georgrafis daerah. Bahasa Jawa dalam berbagai macam variasi dialek ini
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok dialek bagian barat, bagian tengah dan bagian timur.
Dan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan makalah ini adalah berkaitan dengan dialek-
dialek Bahasa Jawa bagian Tengah. Wilayah atau daerah-daerah yang menggunakan variasi
dialek-dialek Bahasa Jawa bagian Tengah; faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan dialek-
dialek tersebut; serta bagaimana penggunaan dialek-dialek tersebut.

Dialek Pekalongan adalah termasuk dialek-dialek Bahasa Jawa yang sering digunakan di pesisir
utara tanah Jawa daerah Jawa Tengah. Dialek Kedu dituturkan di daerah Kedu, tersebar di timur
Kebumen: Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek Semarangan
dituturkan di daerah Semarang. Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah adalah sebuah dialek
bahasa Jawa yang sering disebut ”Dialek Muria” karena dituturkan di wilayah sekitar kaki
gunung Muria, yang meliputi wilayah Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang. Dialek Blora
sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan dialek Jawa lainnya, hanya terdapat beberapa istilah
yang nyata nyata khas Blora. Dialek Surakarta ini digunakan oleh penutur di sekitar daerah
Surakarta dan Solo, Sragen perbatasan Solo, Bboybolali, Sukoharjo, Karanganyar. Dialek
Yogyakarta adalah dialek yang diucapkan masyarakat Yogya. Masyarakat Yogyakarta biasanya
menyingkat kata, atau menambahi kalimat agar mantap dan enak didengar.
LATAR BELAKANG

Bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Bahasa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pergaulan dalam
masyarakat. Tanpa bahasa, hubungan dalam masyarakat, baik hubungan yang bersifat vertikal
maupun horisontal tidak akan berjalan dengan lancar.

Dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 11) Bahasa merupakan sebuah sistem lambang,
berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan
sebuah sistem , yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap dan dapat dikaidahkan. Setiap lambang dari bahasa itu mengandung makna atau konsep. Jadi
apabila seseorang berbicara dengan orang lain, maka orang lain tersebut akan mengerti tentang
konsep atau makna yang disampaikan oarang yang bericara, karena dalam dialog tersebut
menggunakan bahasa.

Selain digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa juga bisa mempunyai fungsi untuk membedakan
tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Misalnya dalam bahasa Jawa sendiri, mempunyai
beberapa tingkatan-tingkatan bahasa untuk membedakan status sosial maupun membedakan dari
segi usia lawan bicara Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup
dan berkembang atau selalu mengalami perubahan dari masa ke masa dan sampai saat ini masih
digunakan di Jawa Tengah. Bahasa Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa banyak
memiliki variasi, yaitu salah satunya adalah variasi dialek.

Bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pengelompokkan ini
didasarkan pada dialek-dialek yang digunakan dalam masayarakat yang bersangkutan. Perbedaan
dialek ini dapat dilihat dari perbedaan georgrafis daerah. Menurut Keraf dalam Budiasih (2004:
28) bahwa Bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi masyarakat Jawa memiliki jangkauan wilayah
pemakaian yang sangat luas dan memiliki variasi-variasi bahasa tersebut memperlihatkan pola-
pola tertentu. Dan pola-pola itu ada yang dipengaruhi pola-pola sosial, kedaerahan serta geografi.
Dari berbagai pola-pola tersebut munculah adanya dialek-dialek yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah yang lain.

Mengerucut pada wilayah Bahasa Jawa, bahwa Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan
penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di Kabupaten Serang
dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara
Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
(www.wikipedia.com)

Bahasa Jawa dalam berbagai macam variasi dialek ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
kelompok dialek bagian barat, tengah dan timur. Menurut Weijien dalam buku pedoman
Depdikbud (1983:1) yang dimaksud dialek adalah suatu sistem kebbahasan yang dipergunakan
oleh suatu masyarakat lain yang bertetangga yang menggunakban sistem yang berlainan walaupun
hubungannya sangat erat.Dan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penulisan makalah ini adalah
berkaitan dengan dialek-dialek Bahasa Jawa bagian Tengah. Wilayah atau daerah-daerah yang
menggunakan variasi dialek-dialek Bahasa Jawa bagian Tengah; faktor-faktor yang
mempengaruhi perbedaan dialek-dialek tersebut; serta bagaimana penggunaan dialek-dialek
tersebut.

DIALEK-DIALEK BAHASA JAWA BAGIAN TENGAH


a. Bahasa Jawa
Dalam James P. Spradley (1997:23) dinyatakan bahwa bahasa lebih dari sekedar alam untuk
komunikasi realitas, bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Bahasa yang bereda itu
mengategorikan relitas yang berbeda. Sradley ini lebih menekankan bahwa bahasa dapat juga
digunakan untuk menyusun suatu etnografi yang merupakan kekayaan budaya kita. Sedangkan
menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 11) Bahasa merupakan sebuah sistem lambang,
berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan
sebuah sistem , yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap dan dapat dikaidahkan.

Sedangkan yang dimaksud Bahasa Jawa di sini adalah berkaitan dengan unsur bentang geografis
dan budayanya, bahwa yang disebut Bahasa Jawa adalah Bahasa Jawa adalah bahasa yang
digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten di Kabupaten Serang
dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara
Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur serta Yogyakarta.

Semula di Jawa digunakan empat bahasa yang berbeda sebagai media komunikasi dalam
masyarakat. Penduduk asli Jakarta menggunakan dialek bahasa Melayu-Betawi. Di bagian tengah
dan selatan Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda, sedangkan untuk daerah Jawa Timur bagian
utara dan timur banyak imigran dari Madura yang masih tetap mempertahankan bahasa Madura.
Di bagian Jawa lainnya berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa dalam arti yang
sebenarnya “jawa” dapat dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. (Purwadi, 2006: 18).
Dan yang disebut sebagai orang Jawa di sini adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa Jawa sehari-hari sebagai bahasa ibunya.

Dalam wilayah Kebudayaan Jawa dibedakan antara Jawa pesisir utara dengan Jawa pedalaman.
Di daerah Jawa pesisir lebih banyak dipengaruhi hubungan perdagangan, nelayan, dan pengaruh
Islam juga lebih kuat, sehingga mampu menghasilkan kebudayaan yang khas, yaitu “kebudayaan
pesisir”. Di mana dalam penggunaan bahasa, khususnya Bahasa Jawa dianggap menggunakan
”Bahasa Jawa kasar”. Sedangkan untuk Jawa pedalaman , sering disebut “Jawa Kejawen” di mana
pusat kebudayaannya berada di Surakarta dan Yogyakarta. Dan dalam penggunaan bahasa lebbih
dikenal dengan ”Bahasa Jawa Alus”.

Meskipun satu rumpun, Bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri tersendiri
yang khas mencerminkan darimana asal Bahasa Jawa tersebut. Dari gambar peta di bawah dapat
dilihat dialek-dialek tersebut muncul karena faktor geografis, di mana dari segi tata letak wilayah,
penggunaan dialek antara daerah satu dengan daerah yang lain akan berbeda. Daerah yang letaknya
dekat dengan pusat kebudayaan, yaitu di daerah Surakarta dan Daerad Istimewa Yogyakarta
cenderung menggunakan dialek yang agak mirip dengan dialek yang digunakan di daerah
Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Penggunaan dialek oleh masyarakat penutur juga cenderung
lebih halus, jika dibandingkan dengan daerah pesisir (dekat pantai)Sumber:
http://www.wikipedia.com

b. Dialek-dialek Bahasa Jawa


Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni : Dialek daerah, dan Dialek
sosial Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa
Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini
didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan
dialek lainnya bisa antara 0-70%. (www.wikipedia.com)

Istilah dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang pada mulanyba dipergunakan dalam
hubungannya dengan keadaan bahasanya. Ciri utama dialek ialah perbedaan dalam persatuan dan
kesatuan dalam perbedaan. Adapula ciri-ciri lain dari dialek, yaityb (1) dialek adalah seperangkat
bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing
lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk unjaran lain dari bahasa yang sama; (2) dialek
tidak harus mengambil semua ujaran dari sebuah bahasa. Sedangkan faktor yang menentukan suatu
dialek menjadi bahasa baku itu terutama adalah dipengaruhi faktor politik, budaya, dan ekonomi.
(Ayatrohaedi, 1983: 2)

Dialek-dialek Bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok.


Pengelompokkan ini didasarkan pada dialek-dialek yang digunakan dalam masayarakat yang
bersangkutan serta dari segi geografisnya. Pembagian kelompok-kelompok tersebut antara lain:
1. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat, yaitu Dialek Banten, Dialek Cirebon, Dialek Tegal ,
Dialek Banyumasan, Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok di atas sering
disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
2. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah, yaitu Dialek Pekalongan, Dialek Kedu, Dialek
Bagelen, Dialek Semarang, Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati),
Dialek Blora, Dialek Surakarta, Dialek Yogyakarta, Dialek Madiun Kelompok kedua di atas sering
disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.
3. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur, yaitu Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro),
Dialek Surabaya, Dialek Malang, Dialek Jombang, Dialek Tengger, Dialek Banyuwangi (atau
disebut Bahasa Osing). Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Bahasa Jawa Dialek Solo-Yogya dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Hal ini di karenakan
daerah Solo (Surakarta) dan Yogyakarta merupakan daerah kraton. Di mana Kraton tersebut adalah
dianggap simbol yang penuh makna oleh masyarakat Jawa secara umum.

c. Dialek-dialek Bahasa Jawa Bagian Tengah.


Berdasarkan pengelompokan dialek-dialek Bahasa Jawa, dialek Bahasa Jawa bagian tengah
merupakan dialek yang mendekati dialek standart Jawa, karena secara geografis yang termasuk ke
dalam dialek Bahasa Jawa bagian tengah adalah juga merupakan bagian tengah dari Pulau Jawa,
di mana secara langsung daerah-daerah tersebut dekat dengan pusat kebudayaan Jawa, yaitu
Keraton Surakarta yang terletak di Surakarta (Solo) dan Keraton Yogyakarta yang terletak di DIY

1. Dialek Pekalongan
Dialek Pekalongan adalah termasuk dialek-dialek Bahasa Jawa yang sering digunakan di pesisir
utara tanah Jawa daerah Jawa Tengah. Meskipun sebcara geografis Pekalongan masuk dalam
wilayah Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya
Tegal, Weleri/Kendal dan Semarang. Hal tersebbut di karenakan asimilasi dengan budaya lain.
Masyarakat Pekalongan yang bekerja menjadi Juragan Batik, tenun dan Tekstil dan menggunakan
dialek yang bisa dimengerti orang Pekalongan sendiri (dialek asli Pekalongan). Dialek Pekalongan
termasuk bahasa “antara” yang dipergunakan daerah Tegal (bagian barat) ,dengan Weleri (bagian
timur) dan dengan daerah Pegunungan Kendeng (bagian selatan).

Tetapi oleh orang Solo (Surakarta) atau Yogyakarta, Dialek Pekalongan termasuk kasar dan sulit
dimengerti. Sedangkan oleh orang Tegal Dialek Pekalongan termasuk dialek yang sama derajatnya
tetapi sulit dimengerti. Contoh kalimat dengan Dialek Pekalongan seperti;”Lha kowe pak ring ndi
si?”; ( Kamu mau ke mana?); “Yo wis kokuwe Po’o ra”. (Ya sudah begitu tak apa); “tak ndangka’i
lanang jebulno’o wadhok” (Aku kira lelaki ternyata perempuan); ”kono sing liwat mau, ho?” (Apa
yang lewat tadi itu kamu?)

Eratnya budaya orang Pekalongan dengan budaya Arab dan Tiongkok menambah kosakata dan
dialek di Pekalongan, contoh : “Wallahi temenan Po’o nyong ra ngapusi, yakin” ( Demi Allah aku
tak berdusta, yakin); “ Ya Allah ..ke ra mosok ra percoyo si” (Ya Allah , kok tak percaya sekali,
sih ). Dari bahasa Tionghoa: ”lhe guwe Bah cilik Congkle” (Ia anak Cong Lee).

Dialek Pekalongan asli dapat terlihat penggunaannya di pasar-pasar kota dan kabupaten
Pekalongan, sedangkan penggunaan sehari-hari telah bercampur dengan dialek daerah lain dan
bahasa indonesia

2. Dialek Kedu
Dialek Kedu dituturkan di daerah Kedu, tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo,
Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek ini terkenal dengan cara bicara yang sangat khas,
hal ini di karenakan dialek tersebut merupakan pertemuan antara dialek “bandek” (Yogya-Solo)
dan dialek “ngapak” (Banyumas). Contoh: Kata-kata yang masih menggunakan dialek ”ngapak”
dalam tuturannya agak ”bandek”adalah seperti; “Nyong”: aku, tetapi orang Magelang memakai
“aku”; “njagong” (duduk); “gandhul” (pepaya); ”mberuh” (tidak tahu); “krongsi” (kursi). Adanya
pengantar: eeee, oooo, lha kok, ehalah, ha- inggih, sering digunakan dalam tuturan basa-basi
masyarakat Temanggung jika sedang mengobrol.

3. Dialek Semarangan
Dialek Semarangan dituturkan di daerah Semarang. Letak daerah Semarang yang heterogan dari
pesisir (Pekalongan/ Weleri, Kudus/ Demak/ Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan atau
pegunungan membuat Dialek Semarangan ini memiliki kata ngoko, ngoko andhap dan madya.

Para pemakai Dialek Semarangan juga senang menyingkat frase, misalnya Lampu abang ijo
(lampu lalu lintas) menjadi “Bang-Jo”; seratus (100) menjadi “nyatus”. Namun tak semua frasa
bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang
mengenai frasa mana yang disingkat. Tetapi ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya
“Arep numpak Honda” artinya (akan naik sepeda motor). Zaman dulu sepeda motor biasa
menggunakan sepeda motor merk “Honda”.
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, Tiongkok, Arab, Pakistan/India juga
memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik
Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa
Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali
pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
(www.wikipedia.com)

Dialek Semarangan memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan masyarakat setempat dan
menjadi ciri tersendiri yang membedakan dengan dialek Jawa lainnya.Masyarakat Semarang
sering mengucapkan kata-kata seperti “Piye, jal?” (Bagaimana, coba?) dan “Yo, mesti!” (Iya,
pasti!). Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel “ik” untuk mengungkapkan
kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk
menyatakan kekaguman “Apik,ik!” (Alangkah indahnya!). Sedangkan untuk menyatakan
kekecewaan, “Wonge lungo, ik” (Sayang, orangnya pergi!) Partikel “ik” kemungkinan berasal dari
kata “iku” yang berarti “itu’ dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan
orang Semarang mengucapkan “He’e, ik!” atau “Yo, ik” (www.wikipedia.com)

4. Dialek Pantai Utara Timur


Dialek Pantai Utara Timur Jawa Tengah adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang sering disebut
”Dialek Muria” karena dituturkan di wilayah sekitar kaki gunung Muria, yang meliputi wilayah
Jepara, Kudus, Pati, Blora, Rembang. Ciri khas dialek ini adalah digunakannya akhiran -em atau -
nem (dengan e pepet) menggantikan akhiran -mu dalam bahasa Jawa untuk menyatakan kata ganti
posesif orang kedua tunggal. Akhiran -em dipakai jika kata berakhiran huruf konsonan, sementara
-nem dipakai jika kata berakhiran vokal. (www.wikipedia.com)

Contoh kata yang menggunakan dialek tersebut seperti misalnya kata ”kathok” yang berarti celana
menjadi ”kathokem”, ”sikhil” yang berarti kaki menjadi ”sikhilem”, dan sebagainya. Ciri lainnya
adalah sering digunakannya partikel “eh”, dengan vokal e diucapkan panjang, dalam percakapan
untuk menggantikan partikel bahasa Jawa “ta”. Misalnya, “Aja ngono, eh!” (Jangan begitu, dong!),
lebih banyak diucapkan daripada “Aja ngono, ta!”

Beberapa kosakata khas yang tidak dipakai dalam dialek Jawa yang lain antara lain
“lamuk/jengklong” (nyamuk); “mbledeh/mblojet” (telanjang dada); “wong bento” (orang gila).

5. Dialek Blora
Dialek Blora sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan dialek Jawa lainnya, hanya terdapat beberapa
istilah yang nyata nyata khas Blora, misalnya”nDak iya lèh?” (Masak iya sih?); ”Piye lèh iki??
(Ini bagaimana?). Perbedaan lain Dialek Blora dengan dialek Jawa pada umumnya akhiran “uh”
jadi “oh”. Contohnya: butuh menjadi butoh; embuh menjadi emboh; ngunduh menjadi ngundoh;
suruh menjadi suroh; utuh menjadi utoh.

Sedangkan Akhiran “ih” jadi “èh”, contohnya: batih menjadi batèh; kluwih menjadi kluwèh; mulih
menjadi mulèh; sugih menjadi sugèh; sapih menjadi sapèh; putih menjadi putèh. Akhiran “mu”
jadi “em”, yang artinya hak milik, misalnya: omahmu = omahem; klambimu = klambiem; anakmu
= anakem. Istilah lainnya: ambèk = karo; briga-brigi = bedhigasan; gendul = botol; jingklong =
nyamuk; mèk =njupuk = mengambil; njuk = njaluk = minta.
6. Dialek Surakarta
Dialek Surakarta ini digunakan oleh penutur di sekitar daerah Surakarta dan Solo, Sragen
perbatasan Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar. Contoh kalimat dengan dialek surakarta
seperti, ”Lha piye tho, aku meh mangkat nanging ra duwe duit.”(Bagaimana ini, saya akan
berangkat tetapi tidak punya uang); “Mbok kowe mesake aku, dijilengi duit piro wae sak
nduwekmu.” (Kasihani aku, dipinjami uang berapa saja yang kamu punya); “Sesok tak baleke yen
wis oleh kiriman soko mbakyu ku.” (Besok [dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kapan] saya
kembalikan kalau sudah dapat kiriman dari kakak perempuan saya.”

7. Dialek Yogyakarta
Dialek Yogyakarta adalah dialek yang diucapkan masyarakat Yogya. Masyarakat Yogyakarta
biasanya menyingkat kata, atau menambahi kalimat agar mantap dan enak didengar. Contoh
kalimat dengan Dialek Yogyakarta seperti, ”Wah, piye ta iki, wis dikandhani kok ra ngrungokke.
Jan!” (Wah, bagaimana sih, sudah dikasih tau kok [dia] tidak mendengarkan). Kata “Jan” tak
memiliki arti khusus. Kata “Jan” digunakan supaya terdengar mantap dan enak didengar. Contoh
kalimat lain seperti, ”Piye, wis dhong apa durung?? Wo, jan payah tenan cah iki, ra dhongan!”
(Bagaimana, sudah mengerti atau belum?? Wah, memang payah sekali anak ini, susah
mengertinnya). “Piye je?”, Kalimat ini sering di gunakan orang Yogya jika sedang mengalami
kebingungan, biasanya digunakan oleh orang Yogya yang tinggal agak jauh dari kota. Orang Jogja
juga suka menambahi huruf ”m” di depan sebuah kata. Misalnya, Besuk = mBesuk; Bantul =
mBantul; Bandung = mBandung; Bogor = mBogor. Sedangkan untuk Tingkatan bahasa, Yogya
juga mempunya tiga tingkatan bahasa, yaitu:
a. Bahasa sangat halus (Krama Alus)
b Bahasa halus (Krama Lugu/Ngoko Alus)
c. Bahasa biasa (Ngoko Lugu)
Misalnya:
• Dalam Bahasa Indonesia = Memberi
• Dalam Bahasa Jawa Krama Inggil = Nyaosi
• Dalam Bahasa Jawa Krama = Maringi
• Dalam Bahasa Jawa Ngoko = Menehi

8. Dialek Madiun
Dialek Madiun dipergunakan di daerah Jawa Timur Mataraman (perbatasan Jawa Tengah bagian
tengah dan selatan). Daerah kadipaten Mediyun atau yang sekarang eks Karesidenan Madiun yakni
kota Madiun, kabupaten Madiun, kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ponorogo,
dan Kabupaten Pacitan semuanya dalam wilayah propinsi Jawa Timur. Dibanding dialek Jawa
Tengah, ciri utamanya adalah dalam intonasi. Orang Madiun sering memberi tekanan pada suku
kata pertama, contohnya “bocah kok kurang ajar banget” diucapkan “byuh, byuh… buocah kok
kuorang ajar men” (Anak kok kurang ajar sekali!). Namun ada kata-kata yang menjadi ciri dialek
Madiun seperti:
– gong, dong (Ponorogo, Pacitan) = belum
– mboyak = mbok bèn = luwèh (Jogja), terserah aku/kamu, (Betawi: biarin)
– éram, jègèg = hebat
– jingklong = nyamuk
– édhuk = éthém = enak, keenakan
– engkè = maeng = tadi
– men = nemen = sekali
Penambahan kata “byuh… byuh” sering digunakan jika seseorang mengalami suatu keadaan kaget
ataupun heran.

KESIMPULAN
Dilihat dari segi geografis, dialek bahasa Jawa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dialek
Bahasa Jawa bagian barat, dialek Bahasa Jawa bagian tengah, dan dialek Bahasa Jawa bagian
timur. Di mana berdasarkan pengelompokkan ini, dialek yang digunakan oleh masyarakat penutur
tidak harus menggunakan dialek asli daerahnya masing-masing, hal ini disebabkan karena adanya
akulturasi budaya.
Sedangkan dari segi budaya bahwa daerah yang semakin dekat dengan pusat budaya (Surakarta
dan Yogyakarta), maka dialek yang digunakan oleh masyarakat penutur juga akan semakin halus
atau menyerupai ”standart Bahasa Jawa”. Tetapi sebaliknya, jika suatu daerah semakin jauh dari
pusat budaya, maka dialek yang digunakanpun juga akan semakin menjauhi dialek ”Standart
Bahasa Jawa” atau sering dianggap dengan dialek kasar

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1983. Dialegtologi. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,


Depdikbud.
Budiasih. 2004. Bahasa Jawa Di Wilayah Peralihan Pengucapan Dialek ”A” Dan Dialek ”O”
Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen Kajian Geografi Dialek. Semarang. Skripsi UNNES.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Jakarta. PT. Rineka
Cipta.
Dialek Bahasa Jawa. http://www.wikipedia.com (12 Juni 2008)
Purwadi. 2006. Asal Mula tanah Jawa. Yogyakarta. Gelombang Pasang.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya.

Makalah’07

Iklan
Report this ad
Report this ad

Share this:

 Twitter
 Facebook
 Surat elektronik

Terkait

STRATEGI ADAPTASI ORANG MINANG TERHADAP BAHASA, MAKANAN, DAN


NORMA MASYARAKAT JAWAdalam "ILMU"

Petan lan Ngrasanidalam "ILMU"

KAJIAN ANTROPOLOGI-HERMENEUTIK TENTANG MAKNA KESENIAN TOPENG


IRENG BAGI KELOMPOK PEMUDA ”PERWIRA RIMBA”dalam "ILMU"

This entry was posted on 26 Oktober 2010 at 5:28 am and is filed under ILMU. You can follow any responses to this
entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

Tinggalkan Balasan

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

















































Anda mungkin juga menyukai