Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

VARIASI DIALEKTOLOGI PADA BAHASA BUGIS DI KABUPATEN BARRU


SULAWESI SELATAN

Dosen Pengampu : Moch. Jalal, S.S., M.Hum

DISUSUN

OLEH :

NURUL ALIFIAH

NIM 121811133034

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021
DAFTAR ISI

BAB I.................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
1. 1. Latar Belakang Masalah.....................................................................................................3
1. 2. Rumusan Masalah..............................................................................................................5
BAB II...............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................................6
2. 1. Identitas bahasa dan Sosiohistoris Kabupaten Barru..........................................................6
2.2 Ciri Kebahasaan Kabupaten Barru.....................................................................................7
A. Variasi Fonem Vokal..........................................................................................................9
B. Variasi Fonem Konsonan...................................................................................................9
C. Variasi Fonem Vokal dan Konsonan................................................................................10
BAB III............................................................................................................................................12
PENUTUP....................................................................................................................................12
SIMPULAN.................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................14

2
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah


Faktor utama dalam berkomunikasi adalah Bahasa, hal itu tidak akan lepas dari
masyakarat. Masyarakat dan Bahasa merupakan suatu yang sulit untuk dipisahkan, hal
ini menciptakan suatu kebudayaan dari interaksi yang terjadi antarmasyarakat satu
dengan yang lain. Sebab melalui Bahasa, budaya tiap daerah dapat dibedakan melalui
Bahasa yang mereka gunakan. Sehingga, Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat
untuk berkomunikasi akan tetapi juga menghubungkan satu budaya dengan budaya
yang lain.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Karena itu, masyarakatnya
bukan hanya mempergunakan satu bahasa, melainkan paling sedikit dua bahasa yaitu
Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah yang dipergunakan baik dalam lingkungan
masyarakat maupun dalam lingkup berkeluarga. Jika melihat dari fungsinya, Bahasa
Indonesia menjadi bahasa nasional bagi bangsa Indonesia, Sementara bahasa daerah
digunakan penutur dalam lingkungan keluarga. Fungsi bahasa daerah dalam hal ini di
samping digunakan sebagai alat komunikasi, terdapat juga fungsi utama yang menyertai
yaitu sebagai alat untuk menyampaikan, dan memahami nilai-nilai kearifan lokal
budaya suatu daerah. Seperti diketahui bahwa setiap daerah memiliki kearifan lokal
budaya yang hanya dapat dipahami dan disampaikan dengan tepat apabila
menggunakan bahasa daerah setempat. Hal ini sejalan dengan pendapat Madeamin
(2015: 2-3) bahwa bahasa daerah berfungsi sebagai wadah pelestarian nilai-nilai budaya
yang mengandung kearifan lokal.
Bahasa daerah di Indonesia sangat banyak. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia
dalam Summer Institute of Linguistic (SIL) tahun 2006 menempatkan Indonesia
sebagai negara yang memiliki bahasa terbanyak kedua di dunia dengan 743 bahasa. Hal
tersebut diketahui dari adanya publikasi Bahasa-bahasa di Indonesia (Languages of
Indonesia) yang dijadikan rujukan awal dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia

3
(2008: 1). Jumlah tersebut menjadikan Indonesia menjadi negara yang memiliki Bahasa
daerah terbanyak nomor dua setelah negara Papua Nugini yang mempunyai Bahasa
daerah sejumlah 820 bahasa. Sementara itu, Badan Bahasa mencatat bahasa daerah di
Indonesia sebanyak 442 bahasa. Jumlah tersebut meliputi 26 bahasa di Sumatra, 10
bahasa di Jawa dan Bali, 55 bahasa di Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di
Nusa Tenggara Barat, 49 bahasa di Nusa Tenggara Timur, 51 bahasa di Maluku, dan
207 bahasa di Papua (2008: 19). Tidak hanya itu, Grimes (1988) menyebutkan bahwa
bahasa di Indonesia tidak kurang dari 672 bahasa (dalam Bahasa dan Peta Bahasa di
Indonesia, 2008: 1).
Bahasa, masyarakat, dan budaya merupakan tiga hal yang tidak dapat
dipisahkan dan saling berkaitan. Jika membahas mengenai bahasa, maka secara tidak
langsung bahasa yang akan dikaji tersebut berhubungan langsung dengan masyarakat,
sebagai penutur bahasa tersebut. Budaya suatu daerah mempengaruhi keadaan sosial
masyarakatnya, tidak terkecuali bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi.
Pada dasarnya bahasa tersebut mempunyai dua aspek mendasar, yaitu aspek
bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan, dan struktur bahasa,
sedangkan aspek makna berkaitan dengan leksikal, fungsional maupun gramatikal
(Nababan, 1984: 13). Apabila diperhatikan dengan teliti dalam bahasa, bentuk dan
maknanya menunjukkan perbedaan antar pengungkapnya, antara penutur satu dengan
penutur yang lain. Perbedaan tersebut akan menghasilkan ragam-ragam bahasa atau
variasi bahasa. Variasi tersebut muncul karena kebutuhan penutur akan adanya alat
komunikasi dan kondisi sosial, serta faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya,
seperti letak geografis, kelompok sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas dan
perubahan waktu.
Salah satu fonomena variasi bahasa adalah dialek, yaitu variasi bahasa yang
kemunculannya dilatarbelakangi oleh tempat tertentu (dialek regional), kelompok
bahasa dari golongan tertentu (dialek sosial), serta kelompok bahasa yang hidup pada
waktu tertentu (dialek temporal) (Kridalaksana, 1993: 42). (Weijnen dkk dalam
Ayatrohaedi, 1983: 1, 2002: 1 – 2) berpendapat bahwa dialek adalah sistem kebahasaan
yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain

4
yang bertetangga dan mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat
hubungannya. Tidak ada seorang pun penutur sebuah bahasa yang lepas sama sekali
dari dialek atau variasi bahasanya ketika orang itu berbicara, saat itu pula yang
bersangkutan berbicara dalam dialeknya atau variasi bahasanya. Kemunculan dialek-
dialek inilah yang melahirkan suatu khasanah ilmu yang disebut dialektologi.
Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mengkaji
perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh
(Mahsun, 1995: 11).
Wilayah kajian dialektologi tidak lepas dari aspek geografis atau penentuan
wilayah kajian. Berkenaan dengan hal tersebut, banyak wilayah di Indonesia yang
masih belum dilakukan pengkajian terhadap aspek dialeknya. Tidak diragukan lagi,
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai etnis, ras, atau suku
bangsa. Setiap etnis mempunyai bahasa yang berbeda. Koentjaraningrat (2005: 195)
menyatakan bahwa perbedaan ras pada berbagai suku bangsa tidak menghindari
kemungkinan penggunaan bahasa walaupun mungkin berbeda-beda tetapi berasal dari
keluarga bahasa yang sama. Di antara beberapa etnis yang ada di Indonesia, salah satu
yang memiliki keragaam bahasa adalah wilayah Sulawesi Selatan. Wilayah Sulawesi
Selatan tidak hanya dihuni oleh beberapa etnis diantaranya yaitu, Toraja, Mandar,
Bima, Dompu, Makassar, Kan tetapi ada suku lain antara lain yaitu Bugis dan Barru.

1. 2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang akan dikaji
adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah identitas bahasa dan Sosiohistoris Kabupaten Barru ?


b. Bagaimanakah ciri kebahasaan Kabupaten Barru ?

5
BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. Identitas bahasa dan Sosiohistoris Kabupaten Barru


Kabupaten Barru adalah salah satu dari 23 kabupaten/kota dalam wilayah provinsi
Sulawesi selatan. Letaknya pada pesisir Barat Jazirah Selatan pulau Sulawesi, sekitar 100
km pada bagian utara Kota Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Barru mempunyai ketinggian antara 0-1.700 meter diatas permukaan
laut dengan bentuk permukaan sebahagian besar daerah kemiringan berbukit hingga
bergunung-gunung. Wilayah bertopografi perbukitan hingga pegunungan berada di
sebahagian besar wilayah tengah hingga timur dan selatan yang sebagiannya juga
merupakan kawasan karst. Sebahagian lainnya merupakan daerah datar, landai hingga
pesisir. Kabupaten Barru merupakan daerah pesisir pantai yang cukup panjang. Garis pantai
mencapai 87 Km sehingga merupakan kabupaten dengan pesisir pantai terpanjang di
Sulawesi Selatan.
Secara geografis, terletak pada koordinat 4°00' - 5°35' Lintang Selatan dan 199°35' -
119°49' Bujur Timur. Dengan luas wilayah 1.174.72 Km dan berada kurang lebih 102 Km
sebelah Utara kota Makassar ibu kota provinsi Sulawesi Selatan yang dapat di tempuh
melalui perjalanan darat kurang lebih 2,5 jam.
Luas wilayah Kabupaten Barru 1.174.72 km2 atau 117.472 ha, berpenduduk
sebanyak 159.235 jiwa (2006). di pandang dari segi topografi daerah ini memilkii dataran
rendah pada ketinggian 0 – 25 m dari permukaan laut dan memiliki wilayah pegunungan
yang berada pada ketinggian 1.000 s.d. 1.500 meter dari permukaan laut dengan proporsi
kemiringan 0 – 2 % hingga kemiringan 44 %. letak wilayahnya berbatasan dengan yaitu :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Pare-Pare dan Kabupaten Sidrap
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

6
Kabupaten Barru terdiri dari 7 Kecamatan dan 55 Desa/Kelurahan, yaitu: Tanete
Riaja : Mattirowalie, Harapan, Lompo Riaja, Libureng, Kading, Lompo Tengah, dan
Lempang . Tanete Rilau : Lasitae, Pancana, Lalabata, Corowali, Pao-Pao, Tellumpanua,
Lalolang, Tanete, Lipukasi, dan Garessi. Barru : Sumpang Binangae, Coppo, Tuwung,
Anabanua, Palakka, Galung, Tompo, Sepee, Mangempang, dan Siawung. Soppeng Riaja :
Ajakkang, Paccekke, KiruKiru, Mangkoso, Lawallu, Siddo, dan Batupute. Mallusetasi :
Cilellang, Manuba, Nepo, Palanro, Mallawa, Kupa, Bojo dan Bojo Baru. Pujananting :
Bulo-Bulo, Gattareng, Pujananting, Jangan-Jangan, Patappa, Bacu-bacu dan
Mattappawalie. Balusu : Binuang, Madello, Takkalasi, Kamiri, Balusu, dan Lampoko.

2.2 Ciri Kebahasaan Kabupaten Barru


Bahasa masyarakat Kabupaten Barru sangat mirip dengan bahasa Bugis pada
umumnya yang ada di Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun
bahasa Austronesia yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di
sebagian Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Parepare,
Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene,
Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Bone, Kabupatent Sinjai, sebagian Kabupaten Bulukumba, dan sebagian
Kabupaten Bantaeng.
Bahasa Bugis terdiri dari beberapa dialek. Seperti dialek Pinrang yang mirip dengan
dialek Sidrap. Dialek Bone (yang berbeda antara Bone utara dan Selatan). Dialek Soppeng.
Dialek Wajo (juga berbeda antara Wajo bagian utara dan selatan, serta timur dan barat).
Dialek Barru, Dialek Sinjai dan sebagainya.
Ada beberapa kosakata yang berbeda selain dialek. Misalnya, dialek Pinrang dan
Sidrap menyebut kata Loka untuk pisang. Sementara dialek Bugis yang lain menyebut Otti
atau Utti, adapun dialek yang agak berbeda yakni kabupaten sinjai setiap Bahasa bugis
yang mengunakan Huruf "W" di ganti dengan Huruf "H" contoh; diawa di ganti menjadi
diaha.
Karya sastra terbesar dunia yaitu I Lagaligo menggunakan Bahasa Bugis tinggi
yang disebut bahasa Torilangi. Bahasa Bugis umum menyebut kata Menre' atau Manai

7
untuk kata yang berarti "ke atas/naik". Sedang bahasa Torilangi menggunakan kata
"Manerru". Untuk kalangan istana, Bahasa Bugis juga mempunyai aturan khusus. Jika
orang biasa yang meninggal digunakan kata "Lele ri Pammasena" atau "mate". Sedangkan
jika Raja atau kerabatnya yang meninggal digunakan kata "Mallinrung".
Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara.

Konsonan Lontara (indo’ surə’ or ina’ surə’) terdiri dari 23 huruf sebagai berikut:

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, Lontara tidak memiliki tanda pemati vokal
seperti halant atau virama yang umum dalam aksara-aksara Brahmi. Bunyi nasal /ŋ/,
glotal /ʔ/, dan gemitasi konsonan dalam bahasa Bugis tidak ditulis (dengan pengecualian
glotal awal yang menggunakan konsonan kosong "a").
Empat klaster konsonant yang sering terjadi ditulis dengan huruf spesifik, yaitu
ngka , mpa , nra dan nca . "Nca" sebenarnya merepresentasikan bunyi "nyca" (/ɲca/), tetapi
ditransliterasikan hanya sebagai "nca". Namun huruf-huruf tersebut tidak digunakan dalam
bahasa Makassar. Huruf ha adalah tambahan baru karena pengaruh bahasa Arab.
Dari penjabaran di atas, tidak diragukan bahwa setiap desa atau dusun di Kabupaten
Barru akan mempuyai dialek yang berbeda-beda. Orang Barru dengan mudah menebak jika

8
berkomunikasi dengan tetangga dusun atau desa, karena dialek terutama intonasi yang
dibawakan berbeda-beda tiap desa bahkan tiap dusun.
Bahasa Bugis sendiri memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini tampak pada
perbedaan dialek di Kabupaten Barru, baik berupa fonologi atau pun leksikal. Menanggapi
terdapatnya perbedaan dialek tersebut, masyarakat Barru tidak menyadari adanya variasi
dialek tersebut, karena selama proses komunikasi berlangsung, tidak terjadi
kesalahpahaman dalam menangkap arti atau makna.

A. Variasi Fonem Vokal


Pada daerah penelitian muncul perubahan fonem vokal. Perubahan
fonem vokal tersebut tidak merubah makna dari katanya. Perubahan fonem
vokal tersebut dipengaruhi oleh latar kebudayaan dan geografis penutur. Data
perubahan fonem vokal yang muncul pada derah penelitian dapat dilihat pada
tabel berikut.
No. Gloss Daerah Pengamatan

Desa Desa Lompo


Siawung Raja
1. Air [waə] [wai]

2. Baring [liu] [leu]

3. Banyak [maiga] [maega]

Dari tabel tersebut dapat dilihat adanya perbedaan fonem vokal yang
muncul di daerah pengamatan, akan tetapi bukan sebuah perubahan leksikal.
Pada kata kedua dengan berian [wae] dan [wai] dengan makna ‘air’, mengalami
perubahan fonem vokal /ǝ/ menjadi /i/ yang ditemukan di satu titik daerah
pengamatan yaitu Desa Siawung dan Kelurahan Lompo Riaja, hal serupa juga
terjadi pada kata ketiga dengan berian [liu] dan [leu] dengan makna “baring”
dan juga kata keempat dengan berian [maiga] dan [maega] dengan makna
“banyak”.

9
B. Variasi Fonem Konsonan
Perbedaan fonologis yang muncul dalam pengamatan yaitu terjadi
proses perubahan fonem konsonan, yakni proses tersebut mengalami perubahan,
penghilangan maupun penambahan fonem. Penentuan makna kata dasar dalam
bahasa yang digunakan oleh Masyarakat Bugis ini mengacu pada Bahasa Aksara
Lontara. berikut merupakan perbedaan fonologis yang muncul dalam pengamatan
disajikan dalam tabel.

Daerah Pengamatan
No. Gloss Desa Kel. Lompo
Siawung Riaja

1. Baik [makessing] [makanja]

2. Benar [coconi] [coco]

3. Buru (ber) [mallellung] [malampa]

Dari tabel tersebut perubahan konsonan yang terjadi dapat dilihat dari kata
pertama mengalami perubahan bunyi dan kata yang berkaitan dengan pertukaran
letak huruf konsonan yakni berian [makessing] menjadi [makanja] yang memiliki
makna ‘baik, begitupun dengan kata ketiga dengan berian [mallellung] menjadi
[mallampa] dengan makna “buru (ber)” . Kata kedua mengalami penambahan
konsonan pada berian [coconi] di desa Siawung dan berian [coco] di Kel. Lompo
Riaja dengan makna “benar”.

C. Variasi Fonem Vokal dan Konsonan


Pada daerah pengamatan, juga muncul perubahan fonem vokal dan konsonan.
Perubahan fonem tersebut diakibatkan latar belakang budaya dan letah geografis
penutur masyarakat Kabupaten Barru. Sehingga mempengaruhi bahasa yang
digunakan. Data perubahan fonem vokal dan konsonan yang muncul pada derah
penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

10
Daerah Pengamatan
No. Gloss Desa Kel. Lompo
Siawung Riaja

1. Aku [iya] [ia]

2. Dengar [angkalingai] [maccalinge]

Dari tabel tersebut dapat dilihat adanya perubahan fonem vokal dan konsonan
yang muncul di daerah pengamatan. Pada kata pertama mengalami penambahan
fonem konsonan /y/ pada berian [iya] dan [ia] dengan makna ‘aku’. Kata kedua
terjadi perubahan fonem vokal /i/ menjadi /e/ dan serta adanya perubahan
konsonan /ng/, /k/, /l/ menjadi /m/, /c/, /l/, /ng/ pada berian [angkalingai],
[maccalinge] yang mempunyai makna ‘dengar’.

11
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Di dalam kajian ini diperoleh 17 bentuk variasi dialek dari 70 kosa kata dasar dalam
daftar tanyaan di Kecamatan Barru dan Kecamatan Tanete Riaja Kabupaten Barru. 17
bentuk variasi dialek tersebut terbagi menjadi 8 perbedaan fonologis dan 9 perbedaan
leksikal. Pada perbedaan fonologis, terdapat 3 perubahan fonem vokal, 3 perubahan fonem
konsonan, dan 2 perubahan fonem vokal dan konsonan. Dialek bahasa Bugis di Kabupaten
Barru adalah bahasa Bugis asli yang ada di wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Bahasa
Bugis yang ada di Kabupaten Barru ditemukan ada beberapa dialek yang merupakan dialek
khas di daerah pengamatan yaitu ditemukan 6 bentuk leksikal khas bahasa Bugis Barru,
misalnya berian [maccolo] untuk menyatakan makna “alir (mem)”, berian [air] untuk
menyatakan makna “air”, berian [makessing] untuk menyatakan makna “baik”, dan berian
[alle] untuk menyatakan makna “diri (ber)”.
Kata /baik/ seringkali muncul dalam komunikasi masyarakat Kabupaten Barru
dalam kehidupan sehari-hari, karena semua masyarakat Kabupaten Barru hampir seratus
persen menggunakan kata tersebut dalam berkomunikasi. Berian yang digunakan untuk
menyatakan makna “baik” adalah [makessing] dan hampir semua kabupaten yang ada di
daerah Sulawesi Selatan menggunakan kata tersebut. Selain itu, juga ditemukan berian
[maccalinge] di daerah pengamatan. Berian tersebut digunakan untuk menyatakan makna
“dengar” serta berian [alle] menyatakan makna “diri (ber)” di daerah pengamatan tersebut.
Berian yang ditemukan berikutnya adalah [wai] yang memiliki makna “air”.
Meskipun ada beberapa Kabupaten yang menggunakan berian [wae] untuk menyakatan
makna “air”. Akan tetapi berian khas Kabupaten Barru yaitu [wai] yang selalu digunakan
dalam keseharian masyarakat Barru.

12
Hal tersebut dapat dilihat dari cara berbicara serta berdasarkan perbedaan fonologis
dan leksikal yang muncul. Selain itu, hal ini membuktikan bahwa letak geografis dan latar
belakang budaya juga menjadi faktor utama untuk mempengaruhi situasi kebahasaan suatu
wilayah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan


Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bakti, Andi Faisal. 2010. Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara. Ininnawa, Makassar.

Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita


Antropologi No. 16; Fakultas Sastra UNHAS.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Barru. Di akses pada tanggal 18 November 2021.

http://barrukab.go.id/pemerintahan/dinas/kecamatan-tanete-riaja/. Di akses pada tanggal 18


November 2021.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Barru. Di akses pada tanggal 18 November 2021.

https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Lontara. Di akses pada tanggal 18 November 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai