BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Masalah
Mengacu pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
variasi bentuk dan fungsi dalam sapaan bahasa Muna?”
Sebagai landasan teori dalam penelitian ini, teori-teori yang digunakan adalah teori
sosiolinguistik, dengan alas an bahwa analisis bentuk sapaan termasuk dalam aanalisis
sosiolinguistik. Teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.1 Sosiolinguistik
Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsure, yaitu sosio dan linguistik. Sosio adalah seakar
denga sosial, yaitu berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat dan
fungsi kemasyarakatan. Sedangkan linguistik adalah ilmu yang mempelajari atau
membicarakan bahasa, khususnya unsure-unsur bahasa (fonem,morfem, kata, dan kalimat)
dan hubungan antar unsure-unsur itu (struktur) termasuk hakikat dan pembentukan unsur-
unsur itu. Dengam memahami ke dua unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
sosiolinguistik adalah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa
itu sebagai anggota masyarakat. Dapat pula dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu
yang mempelajari atau mambahas aspek-aspek kemasyarakatan, khususnya perbedaan-
perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan factor-faktor
kemasyarakatan sosial (Nababan, dalam Yusriandi, 2010:6)). Selain itu, Kridalaksana (dalam
Pateda, 1992: 2 (dalam Yusriandi, 2010:7) mengetakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang
linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dengan ciri sosial. Pendapat ini
sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fishman (dalam Supriyanto, 1991:9 (dalam
Yusriandi, 2010:7)) bahwa dalam sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang
mempelajari cirri-ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Booji (dalam Pateda,
1992:3 (dalam Yusriandi, 2010:7)) mengatakan bahwa sosiolinguistik yang mempelajari
factor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan berperan dalam pergaulan.
Kemudian menurut Appel (dalam Pateda, 1992:2 (dalam Yusriandi. 2010:7))mengatakan
bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam
konteks soaial dan budaya. Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli sosiolinguistik
tersebut di atas maka dapat di simpulkan bahwa osiolinguistik adalah salah satu cabang ilmu
linguistik yang memepelajari bahasa dan pemakaiannya dalam masyarakat tertentu
berdasarkan konteks sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut.
2.1.1 Aspek-Aspek Sosiolinguistik
Penggunaan bahasa terbagi atas dua yaitu kegiatan yang bersifat aktif dan yang bersifat psif.
Kegiatan bahasa bersifat aktif meliputi berbicara dan menulis, sedangkan kegiatan yang
bersifat pasif meliputi mendengarkan dan membaca. Sehingga beragam-ragam tingkah laku
manusia sehubungan dengan bahasa. Bagaiman interaksi antara ke dua aspek tingkah laku
manusia ini (berbicara dan membaca), inilah yang menjadi urusan sosiolingistik.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, sosiolinguistik dapat dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu:
1. Mikro sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil misalnya tegur sapa.
2. Makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur
sosial. Dalam makna sosiolinguistik ada yang dapat digolongkan ke dalam persoalan pokok,
yaitu:
1. Tentang profil sosiolinguistik, yakni bagaimaba keanekaragaman bahasa mencerminkan
keanekaragaman sosial yang bersiafat statistic.
2. Dianamika sosiolinguistik yang diusahakan dengan mencari cirri-cirinya terhadap
berbagai jenis sosiolinguistik.
2.1.2 Kajian Sosiolinguistik Sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari
ciri dan fungsi berbagai varias bahasa serta hubungannya diantara bahasawan dengan cirri
dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Fishman (dalam Supriyanto, 1990:9 (dalam
Yusriandi,2010:8)) mengatakan bahwa sosiolinguistik tidak memusatkan perhatian pada
sosial tingkah laku sikap bahasa, tingkah laku nyata terhadap terhadap bahasa dan pemakaian
bahasa. Di dalam tindakan bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil
keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu berupa bentuk-bentuk linguistic.
Pengambilan keputusan ditentukan oleh berbagai factor yakni: jarak sosial, situasi dan topik
pembicaraan, Tanner (dalam Supriyanto,1990:9 (dalam Yusriandi,2010:8)). Jarak sosial
dapat dilihat dari sudut vertical dan horizontal. Dimensi vertical akan menunjukkan
seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tinggi atau rendah). Dimensi sosial
ini misalanya kelompok, umur, kelas, dan status perkawinan. Sedangkan dimensi horizontal
menunjukkan kontinum akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelamin, latar belakang
pendidikan, dan jarak tempat tinggal. Tinjauan sosiolinguistik lainnya adalah bahwa bahasa
memungkinkan penuturnya fleksibel dalam memainkan berbagai hubungan peran sewaktu
berkomunikasi. Penutur senantiasa membatasi diri pada norma-norma hubungan peran
denagan memilih ragam bahasa tertentu. Inilah yang menjadi objek sosiolinguistik yakni
siapa yang bertutur kata, bahasa apa, kepada siapam dan tentang apa. Sebagai kesimpulan
dapat disebutkan bahwa masyarakat itu diikat oleh bahasa, sebab dengan bahasa seseorang
bias bersosialisasi. Cooer (dalam Alwasilah, 1992:2 (dalam Yusriandi, 2010:9))
menjelaskan: Kita dapat berkomunikasi dengan seseorang hanya karena bersama kita
memiliki sepengakat cara bertingkah laku yang tersepakati. Bahasa ialah merupakan milik
satu kelompok sosial, seperangkap aturan yang mutlak diperlukan yang memungkinkan
anggotanya berhubungan satu sama lain: bahasa daerah adalah satu lembaga soaial.
2.2 Sapaan Sapaan berasal dari kata “sapa” yang berarti perkataan untuk menegur (menegur,
bercakap-cakap, dan sebagainya), kemudian mendapat akhiran-an menjadi “sapaan” yang
berarti ajakan untuk bercakap; terugar; ucapan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam
Yusriandi, 2010:10). Jadi pengertian sapaan adalah seperangkat kata-kata atau ungkapan
yang dipakai untuk menegur dan memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa. Ada
beberapa pendapat yang mengemukakan definisi kata sapaan antara lain Kridalaksana
(dalam Alisa, 1998:13) mengatakan bahwa semua bahasa mempunyai alat yang disebut
sistem tutur sapa, yakni yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan
yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam sistem tutur sapa disebut
kata sapaan. Kridalaksana (dalam La Indonesia, 2009:153) mengemukakan bahwa sistem
sapaan adalah seperangkat kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan
memenggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa yang sangat ditentukan oleh aspek-
aspek sosial, seperti dialek (regional/sosial) variasi sistuasi, sifat hubungan diantara pelaku
seperti akrab,biasa formal, dan resiprokal. Braun (dalam La ino, 2009:153) mengungkapkan
sistem sapaan sebagai perangkat kata dan frasa yang digunakan untuk penyapa yang
mengacu pada kalektor dan mengandung deiksis yang kuat. Sistem sapaan tersebut dapat
terdiri atas tiga kelas, pronominal nama diri, nomina istilah kekerabatan, nomina istilah kasih
saying, honorifik dan sufiks-sufiks. Infektif dalam verba yang memiliki sejumlah varian
dalam setiap bahasa dan secara detail menandai perbedaan da;\lam usia, jenis kelamin, status
soaial refleksi norma dan nilai budaya. Sistem sapaan dalam memusatkan perhatian pada
pantingnya usia tiap-tiap budaya suatu bahasa. Menurut Nababan (dalam Niluh, 2010: 23-
24)), bahasa sapaan adalah alat seorang pembicara untuk mengatakan sesuatu kepada orang
lain. Sapaan itu akan mrujuk kepada orang yang diajak bicara pada perhatiannya kepada
pembicara. Di samping itu, Nababan mengemukakan pula perbedaan kelas dalam suatu
masyarakat menimbulkan pronominal yang asimetris yang menunjukkan bahwa salah satu
pembicaranya memiliki lebih banyak kekuasaan daripada yang diajak bicara sehingga
mereka berhak menggunakan itu untuk lawan bicaranya. Kridalaksana (dalam Darjon,
2003:11) sapaan adalah morfem, kata atau frasa yang digunakan untuk saling merujuk dalam
situasi pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antar pembicara itu. Pada
buku lain Kridalaksana mengatakan bahasa bentuk sapaan adalah seperangkat kata-kata atau
ungakapan yang dipakai untuk menyebutkan dan memanggil para pelaku dalam suatu
peristiwa bahasa. Para pelaku tersebut adalah pembicara (pelaku pertama) yang selanjutnya
disebut penyapa, yang di ajak bicara (pelaku ke dua) selanjutnya disebut dalam pembicaraan
(pelaku ke tiga). Bertolak dari pendapat ahli tersebut, maka dapat disimpulkan batasan
tentang pengertian sapaan, bahwa sapaan adalah seperangkat kata-kata atau ungkapan yang
dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam peristiwa bahasa, sistem sapaan
yang dipakai ditentukan oleh umur, jenis kelamin, kedudukan, hubungan keluarga, situasi,
keakraban, dan topic pembicaraan antara penyapa dengan yang disapa.
2.3 Dimensi Kata Sapaan Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan kata
sapaan, harus dilihat bebera factor yang berhubungan dengan kata pesapa itu sendiri. Pesapa
itu muncul dari situasi pembicara dan pendengar. Dalam uraian selanjutnya pembicara
disebut penyapa, sedangkan lawan bicara (pendengar) disebut pesapa. Beberapa para ahli
bahasa menggolongkan kata sapaan ke dalam kata ganti. Kata itu sendiri merupakan salah
satu fenomena sosiolinguistik yang merupakan salah satu dari bidang linguistik. Pada waktu
sedang bernbicara kepada pesapa, akan dilihat siapa mereka itu. Hubungan yang bagaimana
antara pesapa dan penyapa. Hubungan kekerabatan, mislanya anak dan orang tuanya atau
hubungan atasan dan bawahan, dan hubungan teman biasa. Hubungan itu pula dapat
ditentukan dari segi usia, pesapa yang muda kepada pesapa tua atau sebaliknya, baik pesapa
maupun yang disapa sebayam atau hubungan antara pesapa dan yang disapa ditentukan oleh
jenis kelamin yang berbeda. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan dimensi kata
sapaan atara lain,kridalaksana (dalam Nasution, 1988;7(daam Yusriandi, 2010)) mengatakan
bahwa semua bahasa mepunyai apa yang disebutsistem tutur sapa, yakni siste yang
mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan – ungkapan yang dipakaiuntuk
menyebiut dan memanggil para pelaku dalam sistem tutur sapa disebut kata sapaan.
Kridalaksana juga meneliti sapaan dalam berbahasa Indonesia. Dalam urainnya, kridalaksana
mengemukakan beberapa kata sapaan,yakni kata ganti (engkau, kamu, kita, dan sebagainya),
nama diri (nama yang terlihat dalam suatu percakapan), gelar dan pangkat( dokter, suster,
jendral, dan lain-lain),bentuk ferbal ( pembaca, pendengar, penonton, dan
sebagainya),bentuk nominal lain + ku( tuhanku, kekasihku, dan lain-lain), kata deiksis ( situ,
sini), nominal lain (tuan, nyonya, nona, dan sebagainya), dan tampa kata sapaan disebut zero.
Sudtono (dalam M.Nasution, 1988: 7 (dalam Yusriandi, 2010:12)) memberikan gambaran itu
dalam bentuk pronominal yang dipakai dalam suatu pembicaraan dari penyapa kepada
pesapa dalam hubungan kondisi atau situasi tertentu. Dalam uraian itu, Sudtono meberikan
beberapa contoh dari beberapa bahasa daerah. Berdasarkan contoh yang diberikan terlihat
bahwa perbedaan kelas kata dalam suatu masyarakat akan terdapat siatem pronominal yang
sistematik antara pembicara yang satu dengan yang lain. Selain itu, jika dari sudut hubungan
teman dan situasi tertentu, pada situasi dan kondisi tertentu kata sapaan yang lain muncul.
Kata sapaan dapat di ukur dari jarak hubungan penyapa dan pesapa, ada yang hubungan
vertical dan ada yang hubungan horizontal. Hubungan vertical menunjukkan berapa jauh
hubungan penyapa dan pesapa sebagai lawan bicara, hubungan horizontal menunjukkan
tingkat kekerabatan penyapa dan pesapa. Kedua dimensi tersebut mengakibatka banyaknya
variasi sapaan yang dijumpai dalam pemakaiannya pada suatu masyarakat tertentu.
2.4 Sistem Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk totalitas, teori asas dan sebagainya metode (Depdikbud (dalam Yusriandi,
2010:13)). Sistem yang dimaksud adalah seperangkat unsur sapaan bahasa yang secara
teratur saling berkaitan, yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
2.4.1 Sapaan dalam Keluarga Sapaan dalam keluarga adalah kata sapaa yag digunakan untuk
menyapa orang-orang atau anak-anak yang masih mempunyai hubungan persaudaraan
langsung maupan persaudaraan tidak langsung. Persaudaraan langsung adalah persaudaraan
yang disebabkan oleh sislsilah keturunan, misalnya kakek, nenek, ayah, ibu, anak, dan cucu.
Bagaimana cara menyapa orang-orang tersebut. Tentunya disesuaikan fungsi dan peran
antara pembicara dan lawan bicara (Suherman, www.mycityblogging.com).
2.4.2 Sapaan di Luar Keluarga Sapaan di luar keluarga biasa disebut pula sapaan dalam
masyarakat. Sapaan dalam masyarakat adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa orang-
orang yang tidak empunyai hubungan keturunan atau sapaan terhadap sesama warga dalam
masyarakat (Kundharu Saddhon, Kundharu.staff.uns.ac.id).
2.5 Sapaan Bahasa adalah alat penghubung atau komunikasi anggota masyarakat yaitu
individu-individu sebagai manusia yang berpikir merasa dan berkeinginan pikiran, perasaan
dan keinginan baru terwujud bila dinyatakan, adan alat untuk menyatakan itu adalah bahasa,
Badudu (dalam Yusriandi, 2010:14). Di sisi lain Fiochiato (dalam Alwasila, 1992:2 ( dalam
Yusriandi, 2010:14))erpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem symbol vocal yang
arbitrer memungkinkan semua orang dalam suatu kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi
atau berinteraksi.
2.5.1 Penggunaan Bahasa Bahasa adalah suatu sistem tanda yang berhubungan dengan
lambing bunyi-bunyi suara dan digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk
berkomunikasi dan bekerja sama, Berber (dalam Sibarani,1992:2 (dalam Yusriandi,
2010:14). Bahasa dalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap)
yang bersifat sewenag-wenang dan konvensionl yang dipakai sebagai alat komuikasi untuk
melahirkan perasaan dan pikiran (Depdikbud (dalam Yusriandi, 2010:14)). Ahli lain
mengemukakan bahwa dapat pula didefinisikan sebagai sistem simbol-simbol ujaran yang
arbitrer yag digunakan oleh anggota masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai
dengan keseluruhan pola budaya (Trager dalam Yusriandi, 2010:14-15). Dalam kamus
linguistic dikemukakan bahwa bahasa adalah sistem lambing yang arbitrer yang
dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri.
2.5.2 Tingkat Bahasa Perbedaan dalam tingkatan kedudukan dan usia dinyatakan dengan
pemakaian kata yang lebih atau kurang “tinggi” (hormat) dan pengucapan kalimat dan nada
yang dipergunakan (Kats,dkk dalam Yusriandi, 2010:15). Senada denga pendapat di atas
Kats, dkk juga mengemukakan du hal yang harus dibedakan yaitu:
1.Ucapan atau tulisan terhadap seseorang yang lebih, sama atau kurang dalam tingkat
kedudukan atau usia.
2.Ucapan atau tulisan tentang seseorang yang lebih, sam atau kurang. Dalam hal yang
pertama harus diingat adanya perbedaan dalam kedudukan, tingkat, dan usia antara
pembicara dan lawan bicara. Dlam hali yang ke dua, masih harus diperhatikan hubungan
yang baik dari pembicara maupun lawan bicara terhadap orang yang dibicarakan. Pembicara
dan lawan bicara harus menyadari atau harus tah benar akan kedudukannya pada waktu
berinteraksi. Ragam bahasa yang akan dipilih oleh oseseorang dalam suatu pembicaraan
ditentukan oleh topik pembicaraan, tempat berbicara, bagaiman penilaian seorang pembicara
terhadap dirinya dalam hubungan dengan lawan bicaranya tersebut. Mengenai topik
pembicaraan, tentu banyak pula ragamnya, ada seorang pembicara yang mempunyai topik
terbatas ada juga yang menguasai macam-macam topik. Orang terbatas pembicaraannya
tentulah terbatas pula penggunaanragam bahasa dan sebaliknya. Tempat pembicaraan terjadi
mempengaruhi ragam bahasa yang dipakai biasanya merupakan suatu lembaga. Rumah
tangga sebagai suatu lembaga membawa orang memilih ragam bahasa tertentu dalam
berbicara. Lembaga-lembaga yang lain dapatlah disebut sekolah, rumah ibadah, kantor-
kantor, dan pasar. Stuasi pembicaraan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu situasi resmi dan
situasi tidak resmi. Resmi atau tidak resminya pembicaraan ditentukan oleh situasi dan
tepmat dimana berlangsungnya pembicaraan itu. Dalam pembicaraan yang bersifat resmi
seperti di kantor lurah di depan orang banyak, digunakan sapaan yang tidak berlaku di
lingkungan keluarga.
BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN