Anda di halaman 1dari 37

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

1. MATERI KONSEP BAHASA DAN FUNGSI BAHASA

1. Pengertian Bahasa

Ada beberapa pengertian bahasa secara umum dan menurut para ahli bahasa.

Pengertian bahasa secara umum adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan
untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Bahasa (berasal dari bahasa Sanskerta
भाषा, Bhāṣā) adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk dapat memperoleh serta
menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, serta sebuah bahasa adalah contoh spesifik
dari sistem tersebut.

Bahasa Ibu merupakan bahasa pertama kali yang dikuasai oleh manusia sejak lahir
melalui interaksi sesama keluarga maupun interaksi terhadap masyarakat lingkungannya.
Kepandaian dalam bahasa asli sangat penting untuk proses belajar kedepannya, karena bahasa
ibu itu sendiri dianggap sebagai dasar cara berpikir. Maksud dari bahasa Ibu itu sendiri
adalah bahasa Ibu hadir tergantung dengan lingkungan sosial tempat seseorang itu berada.
Misalnya dia adalah orang Minang, namun dia lahir di Jakarta yang lingkungan sosialnya
menggunakan bahasa Indonesia, maka secara otomatis bahasa Ibunya adalah bahasa Jawa
atau bahasa Indonesia karena dia tinggal di Jakarta yang jarang ditemukan orang yang
berbahasa Minang. Semakin lama seseorang tersebut tinggal di Jakarta maka semakin banyak
orang tua yang sejak kecil mengajarkan berbahasa Indonesia untuk menjadi bahasa
komunikasi dalam sehari-hari.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia.
Bahasa Indonesia = BM + BD + BA
(Melayu) (Daerah) (Asing)

(Asal Mula Bahasa Indonesia)


(Unsur Serapan)

(Kosa Kata)

2. Tujuan Bahasa

Tujuan bahasa jika dilihat dari tujuan penggunaannya antara lain:

1. Tujuan praktis, bahasa digunakan untuk komunikasi sehari-hari


2. Tujuan artistik, bahasa yang dirangkai dengan sedemikian rupa sehingga menjadi
bahasa yang indah dan dapat digunakan untuk pemuas rasa estetis.
3. Tujuan pembelajaran, bahasa sebagai media untuk mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan baik dalam lingkup bahasa itu sendiri atau di luar bahasa.
4. Tujuan filologis, bahasa digunakan untuk mempelajari naskah-naskah tua guna
menyelidiki latar belakang sejarah manusia, kebudayaan, dan adat istiadat serta
perkembangan bahasa.

3. Fungsi Bahasa Indonesia


1) bahasa resmi kenegaraan,
2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan,
3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan, dan
4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di dalam hubungannya dengan fungsi di atas, yakni alat perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, bahasa Indonesia
dipakai bukan saja sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat
luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, melainkan juga
sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan
bahasanya.
Sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa
Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri,
yang membedakannya dari kebudayaan daerah.

2. MATERI RAGAM BAHASA

Pengertian Ragam Bahasa


Sebagi gejala sosial, pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
kebahasaan, tetapi juga oleh faktor-faktor nonkebahasaan, antara lain faktor lokasi geografis,
waktu, sosiokultural, dan faktor situasi. Faktor-faktor di atas mendorong timbulnya
perbedaan-perbedaan dalam pemakaian bahasa. Perbedaan tersebut akan tampak dalam segi
pelafalan, pemilihan kata, dan penerapan kaidah tata bahasa. Perbedaan atau varian dalam
bahasa, yang masing-masing menyerupai pola umum bahasa induk, disebut ragam bahasa.
Ragam bahasa yang berhubungan dengan faktor daerah atau letak geografis disebut dialek.
Bahasa Melayu dialek Langkat, misalnya, berbeda dengan bahasa Melayu dialek Batubara,
walaupun keduanya satu bahasa. Demikian pula halnya dengan bahasa Aceh dialek Aceh
Besar berbeda dengan bahasa Aceh dialek Pasai yang digunakan sebagaian besar masyarakat
Aceh di Kabupaten Aceh Utara, atau berbeda juga dengan bahasa Aceh dialek Pidie di
Kabupaten Pidie. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), saat ini, sekurang-
kurangnya hidup 6 dialek, masing-masing dialek Aceh Besar, Pidie, Peusangan, Pasai, Aceh
Timur, dan Aceh Barat.
Selain ragam di atas, ada lagi ragam bahasa yang berkaitan dengan perkembangan
waktu yang lazim disebut kronolek. Misalnya, bahasa Melayu masa Kerajaan Sriwijaya
berbeda dengan bahasa Melayu masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsji, dan berbeda pula
dengan bahasa Melayu Riau sekarang. Ragam bahasa yang berkaitan dengan golongan sosial
para penuturnya disebut dialek sosial.

Faktor-faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa,


Antara lain, adalah tingkat pendidikan, usia, dan tingkat sosial ekonomi. Bahasa
golongan buruh, bahasa golongan atas (bangsawan dan orang-orang berada), dan bahasa
golongan menengah (orang-orang terpelajar) akan memperlihatkan perbedaan dalam berbagai
bidang. Dalam bidang tata bunyi, misalnya, bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/ sering
terdapat dalam ujaran kaum yang berpendidikan, seperti pada bentuk fadil, fakultas, film,
fitnah, dan kompleks. Bagi orang yang tidak dapat menikmati pendidikan formal, bentuk-
bentuk tersebut sering diucapkan padil, pakultas, pilm, pitnah, dan komplek. Demikian pula,
ungkapan “apanya, dong?” dan “trims” yang disebut bahasa prokem sering diidentikkan
dengan bahasa anak-anak muda.
Demikianlah ragam-ragam bahasa itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
penutur bahasa. Satu hal yang perlu mendapat catatan bahwa semua ragam bahasa tersebut
tetaplah merupakan bahasa yang sama. Dikatakan demikian karena masing-masing penutur
ragam bahasa sesungguhnya dapat memahami ragam bahasa lainnya (mutual intelligibility).
Bila pada suatu ketika saling pengertian di antara masing-masing penutur ragam tidak terjadi
lagi, maka ketika itu pula masing-masing bahasa yang mereka pakai gugur statusnya sebagai
ragam bahasa. Dengan pernyataan lain, ragam-ragam bahasa itu sudah berubah menjadi
bahasa baru atau bahasa mandiri.

Keberagaman Bahasa Indonesia


Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut berpengaruh pada timbulnya
sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu masih tetap
disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing berbagi intisari bersama yang umum.

1. Ragam Bahasa Menurut Daerah


Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang luas
wilayah pemakaiannya selalu mengenal logat. Masing-masing logat dapat dipahami secara
timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur logat yang daerahnya
berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya, individu atau sekelompok orang tidak
mudah berhubungan, misalnya karena tempat keadiamannya dipisahkan oleh pegunungan,
selat, atau laut, maka lambat laun tiap logat dapat mengalami perkembangan sendiri-sendiri
yang selanjutnya semakin sulit dimengerti oleh penutur ragam lainnya. Pada saat itu, ragam-
ragam bahasa tumbuh menjadi bahasa yang berbeda.

2. Ragam Bahasa Menurut Pendidikan Formal


Ragam bahasa Indonesia menurut pendidikan formal, menunjukkan perbedaan yang
jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tata bunyi bahasa Indonesia
golongan penutur yang kedua itu berbeda dengan fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan
gugus konsonan akhir /-ks/, misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak
bersekolah atau hanya berpendidikan rendah.

3. Ragam Bahasa Menurut Sikap Penutur


Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia
yang masing-masing, pada asasnya, tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini, yang dapat
disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur atau penulis
terhadap orang yang diajak berbicara atau penbacanya. Sikapnya itu dipengaruhi, antara lain,
oleh usia dan kedudukan orang yang disapa, tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan
yang hendak disampaikan, dan tujuan penyampaian informasinya. Ketika berbicara dengan
seseorang yang berkedudukan lebih tinggi, penutur akan menggunakan langgam atau gaya
berbahasa yang berbeda daripada ketika dirinya berhadapan dengan seseorang yang
berkedudukan lebih rendah. Begitu juga halnya ketika berbicara dengan seseorang yang
usianya lebih muda atau tua, penutur tentulah akan menggunakan langgam atau gaya bertutur
yang berbeda.

4. Ragam Bahasa Menurut Jenis Pemakaiannya


Menurut jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dirinci menjadi tiga macam,
masing-masing (1) berdasarkan pokok persoalannya, (2) berdasarkan media pembicaraan
yang digunakan, dan (3) berdasarkan hubungan antarpembicara. Berdasarkan pokok
persoalannya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa
jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa sehari-hari.
Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan
(ragam bahasa cakapan, ragam bahasa pidato, ragam bahasa kuliah, dan ragam bahasa
panggung), ragam tulis (ragam bahasa teknis, ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa
catatan, dan ragam bahasa surat).
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibedakan menjadi ragam bahasa
resmi, ragam bahasa santai, ragam bahasa akrab, ragam baku dan ragam takbaku. Situasi
resmi, yang menuntut pemakaian ragam baku, tercermin dalam situasi berikut ini: (1)
komunikasi resmi, yakni dalam surat-menyurat resmi, surat-menyurat dinas, pengumuman-
pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi-instansi resmi, penamaan dan peristilahan
resmi, perundang-undangan, dan sebagainya; (2) wacana teknis, yakni dalam laporan resmi
dan karya ilmiah; (3) pembicaraan di depan umum, yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah,
dan sebagainya; dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati.
Ragam bahasa baku merupakan ragam orang yang berpendidikan. Kaidah-kaidah
ragam baku paling lengkap pemeriannya jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain.
Ragam ini tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan di sekolah. Ragam inilah
yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Ragam bahasa baku
memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Kebakuannya
itu tidak dapat berubah setiap saat.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendekiaannya. Sifat
kecendekiaan ini terwujud di dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa yang lebih besar
lainnya yang mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal.
Proses pencendekiaan bahasa baku ini amat penting bila masyarakat penutur memang
mengidealisasikan bahasa Indonesia berkemampuan menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Hingga saat ini, untuk hal yang disebutkan terakhir, masyarakat Indonesia
masih sangat bergantung kepada bahasa asing.
Bahasa baku mendukung beberapa fungsi, di antaranya adalah (a) fungsi pemersatu
dan (b) fungsi pemberi kekhasan. Bahasa baku memperhubungkan semua penutur berbagai
dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku mempersatukan mereka menjadi satu
masyarakat bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur orang seorang dengan
seluruh masyarakat itu. Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku
membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat
perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada
penutur bahasa Indonesia.
Untuk mendukung pemantapan fungsi bahasa baku diperlukan sikap tertentu dari para
penutur terhadap bahasa baku. Setidak-tidaknya, sikap terhadap bahasa baku mengandung
tiga dimensi, yaitu (1) sikap kesetiaan bahasa, (2) sikap kebanggaan bahasa, dan (3) sikap
kesadaran akan norma atau kaidah bahasa. Setia terhadap bahasa baku bermakna selalu atau
senantiasa kukuh untuk menjaga atau memelihara bahasa tersebut dari pengaruh-pengaruh
bahasa lain secara berlebihan, terutama bahasa asing. Bangga terhadap bahasa baku tercermin
di dalam perasaan senang dan tidak sungkan menggunakan bahasa baku di dalam situasi-
situasi yang mengharuskan penggunaan ragam bahasa tersebut. Kesadaran akan norma
bahasa baku terlihat di dalam kesungguhan untuk memahami dan menggunakan kaidah-
kaidah bahasa tersebut dengan setepat-tepanya dalam rangka pengungkapan nalar yang logis.

LARAS BAHASA

a. Pengertian Laras Bahasa


Ragam dan Laras bahasa merupakan suatu kesatuan dalam kehidupan sehari-hari, jika
kita menggunakan laras dan ragam bahasa yang baik dan benar, maka orang atau lawan tutur
akan mengerti. Contoh; jika kita berbicara dengan orang yang lebih tua dengan bahasa yang
sopan, namun laras yang digunakan tidak baik, maka tutur bahasanya pun akan berantakan.
Jadi kita harus bisa memadukan dengan baik laras dan ragam bahasa secara baik dan benar.

b. Jenis Laras Bahasa


• Laras bahasa biasa
Tidak ada kontek khusus atau melibatkan sembarang bidang ilmu, menggunakan
Bahasa yang tidak formal dan bisa formal juga kondisi nya dalam keadaan resmi.
• Laras bahasa iklan
Penggunaan Bahasa ringkas dan pendek menggunakan jenis Bahasa imaginatife dan
kreatif.
• Laras bahasa sains
Mempunyai sifat intelektual formal dan objektif berdasarkan kajian dan fakta,
terdapat benyak penggunaan kata nama dan ragam ayat pasif.
• Laras bahasa media masa
Sebagai media untuk melapor atau menyampaikan berita dengan Bahasa yang paling
mudah diterima si pendengan dan si pembaca.
• Laras bahasa rencana
Gaya Bahasa mudah dipahami, jenis Bahasa bersifat umum dan menampilkan
berbagai idea tentang suatu kejadian.
• Laras bahasa undang-undang
Teks atau isi bersifat dengan perundangan yang mengandung prinsif undang-undang
tertentu, makana kosakata berdasarkan intepretasi tidak mengandung gambar bersifat
objektif, terperinci, tepat dan padat.
• Laras bahasa agama
Terdapat petikan mengandung agama dan kiasan untuk pengajaran.
• Laras bahasa sukuan
Kosakata mudah dipahami, ringkas, bersahaja dan jelas.
• Laras bahasa ekonomi
Berbentuk ilmiah tentang ekonomi mengandung teknikal ekonomi menggunakan gaya
Bahasa formal, fakta berdasarkan bukti data dan informasi dan tidak menggunakan
struktur ayat.
• Laras bahasa akademik
Bersifat ilmiah formal dan objektif, gaya Bahasa menggunakan kematangan dan
keintelektualan, terdapat penulisan ragam ayat bersifat khusus dan tidak mudah
dipahami oleh orang yang kurang pengetahuan.

3. MATERI EJAAN DAN TANDA BACA DALAM BAHASA INDONESIA

A. Ejaan Bahasa Indonesia


Sejarah ejaan bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang panjang sejak
dari belum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berawal dari Ejaan van
Ophuijsen pada tahun 1901 hingga Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan yang mulai
berlaku sejak 16 Agustus 1972. Namun demikian, kita tidak akan membahas sejarah
perubahan ejaan tersebut dalam bahan ajar ini. Perkembangan terkini ejaan di Indonesia
menunjukkan bahwa sejak 30 November 2015, Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan (EYD) dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Sejak diberlakukannya Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015, pedoman
ejaan yang dipakai secara resmi dan dijadikan pedoman dalam penulisan adalah Pedoman
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
Pada hakikatnya Pedoman EYD tidaklah diganti sepenuhnya oleh Pedoman EBI.
Seperti yang tercantum dalam Permendikbud di atas, Pedoman EBI diterbitkan sebagai
bentuk penyempurnaan Pedoman EYD untuk memantapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara. Di dalam isinya, Pedoman EBI mengatur empat topik besar berikut.
Dalam bahan ajar ini tidak dibahas secara rinci satu per satu topik dan subtopik yang
terdapat dalam Pedoman EBI. Pembahasan mengenai pemakaian huruf, penulisan kata,
pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan secara lebih rinci dapat Anda pelajari di
suplemen yang dilampirkan bersama bahan ajar ini. Namun demikian, beberapa contoh
penggunaan yang dibahas di dalam Pedoman EBI tetap akan disajikan, terutama pada bagian-
bagian yang memerlukan contoh penerapan.

1. Pemakaian Huruf

a. Huruf Abjad
(a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l,m,n,o,p,q,r,s,t,u,v,w,x,y,z)

b. Huruf Vokal
(a,i,u,e,o)

c. Huruf Konsonan
(b,c,d,f,g,h,j,k,l,m,n,p,g,r,s,tv,w,x,y,z)

d. Huruf Diftong

Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat diftong yang dilambangkan dengan gabungan
huruf vokal ai, au, ei, dan oi.
Macam-macam Diftong
- Diftong lebar yaitu diftong yang terjadi dengan perubahan letak lidah yang agak
banyak, misalnya ai pada pantai, rantai, lantai, santai, andai, teratai, pandai dan lain
sebagainya.
- Diftong turun ialah bagian paling nyaringnya terdapat sebelum peluncuran, misalnya
au pada Harimau, kacau, pulau, pantau, trauma dan lain sebagainya.
- Diftong sempit ialah perubahan letak lidah yang terjadi paling sedikit, misalnya ei
pada survei, Mei, dan lain sebagainya.
- Diftong naik ialah bagian paling nyaringnya terdapat sesudah peluncurannya
misalnya oi pada amboi, boikot, konvoi dan lain sebagainya.
e. Huruf Kapital
1) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti
nama orang, nama instansi, atau nama tempat. Contoh: Wakil Presiden Jusuf Kalla; Sekretaris
Jenderal Kementerian Agama; Gubernur Sulawesi Selatan.
2) Huruf kapital dipakai pada awal kalimat dalam petikan langsung. Contoh: Ayah berteriak,
“Tutup pintu itu!”
3) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi. Contoh: Amerika Utara;
Gunung Merapi; Selat Sunda; Terusan Suez, Kecamatan Pasar Rebo; Gang Kelinci.

f. Huruf Miring
1) Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku, nama majalah, atau nama surat kabar
yang dikutip dalam tulisan, termasuk dalam daftar pustaka. Contoh: Kami sudah membaca
novel Layar Terkembang karangan Sultan Takdir Alisjahbana; Berita heboh itu muncul
dalam koran Republika.

2) Huruf miring dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata,
atau kelompok kata dalam kalimat. Contoh: Huruf terakhir kata abad adalah d; Dalam bab ini
tidak dibahas penggunaan alat komunikasi.

3) Huruf miring dipakai untuk menuliskan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau
bahasa asing. Contoh: Nama ilmiah buah manggis ialah Garcinia mangostana; Upacara
peusijuek (tepung tawar) menarik perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh.

g. Huruf Tebal

1) Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring. Contoh:
Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.

2) Huruf tebal dapat dipakai untuk menegaskan bagian- bagian karangan, seperti judul buku,
bab, atau subbab. Contoh:

1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

1.1.2 Masalah

Penulisan Kata

a. Kata Dasar
Lari, baca, tulis, sapu dan lain sebagainya (lebih jelasnya lihat Kamus Besar Bahasa
Indoensia).

b. Kata Berimbuhan

1) Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta gabungan awalan dan akhiran) ditulis serangkai
dengan bentuk dasarnya. Contoh: berlari; gemetar; lukisan
2) Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Contoh: dwiwarna;
pascasarjana; nonkolaborasi
Catatan: Bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang berhuruf awal kapital atau singkatan yang
berupa huruf kapital dirangkaikan dengan tanda hubung (-). Misalnya: pro-Barat; anti-PKI,
non-AC

c. Bentuk Ulang

Bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang berhuruf awal kapital atau singkatan yang berupa
huruf kapital dirangkaikan dengan tanda hubung (-). Contoh: ibu-ibu; sayur-mayur; serba-
serbi; tunggang-langgang.

d. Gabungan Kata

1) Unsur gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, ditulis
terpisah. Contoh: kambing hitam; cendera mata; rumah sakit jiwa
2) Gabungan kata yang penulisannya terpisah tetap ditulis terpisah jika mendapat awalan atau
akhiran. Contoh: bertanggung jawab; garis bawahi; sebar luaskan
3) Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran sekaligus ditulis serangkai. Contoh:
mempertanggungjawabkan; menggarisbawahi; disebarluaskan
4) Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai. Contoh: kacamata; segitiga; saputangan;
beasiswa; dukacita; apalagi

e. Pemenggalan Kata
(cukup jelas)

f. Kata Depan

Kata depan, seperti di, ke, dan dari, ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya:

1) Kain itu disimpan di dalam lemari.


2) Dia ikut terjun ke tengah kancah perjuangan.
3) Ia berasal dari Pulau Penyengat.

g. Partikel

1) Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya:

a) Bacalah buku itu baik-baik!


b) Siapakah gerangan dia?
c) Apatah gunanya bersedih hati?

2) Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya. Misalnya:

a) Apa pun permasalahan yang muncul, dia dapat mengatasinya dengan bijaksana.
b) Jangankan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah berkunjung ke rumahku.

Catatan:
Partikel pun yang merupakan unsur kata penghubung ditulis serangkai. Misalnya:
a) Dia tetap bersemangat walaupun lelah.
b) Adapun penyebab kemacetan itu belum diketahui.
c) Bagaimanapun pekerjaan itu harus selesai minggu depan.

h. Singkatan dan Akronim


1) Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik pada
setiap unsur singkatan itu. Misalnya:
-A.H. (Nasution Abdul Haris Nasution)
-Suman Hs. (Suman Hasibuan)
-M.B.A. (master of business administration)
-M.Hum. (magister humaniora)
-M.Pd. (magister pendidikan)
-Sdr. (saudara)
-Kol. (Darmawati Kolonel Darmawati)

2) Singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti dengan tanda titik. Misalnya:

-hlm. (halaman)
-sda. (sama dengan di atas)
-ybs. (yang bersangkutan)
-dkk. (dan kawan-kawan)

3) Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti
tanda titik. Misalnya:

-cm (sentimeter)
-kVA (kilovolt-ampere)
-kg (kilogram)
-Rp (rupiah)

4) Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap kata ditulis dengan huruf kapital
tanpa tanda titik. Misalnya:

-BIN (Badan Intelijen Negara)


-LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
-LAN (Lembaga Administrasi Negara)
-PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia)

5) Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata
dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital. Misalnya:

-Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)


-Kowani (Kongres Wanita Indonesia)
-Kalteng (Kalimantan Tengah)
-Suramadu (Surabaya Madura)
6) Akronim bukan nama diri yang berupa gabungan huruf awal dan suku kata atau gabungan
suku kata ditulis dengan huruf kecil. Misalnya:
-iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi)
-pemilu (pemilihan umum)
-rudal (peluru kendali)
tilang (bukti pelanggaran)
i. Angka dan Bilangan

1) Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf,
kecuali jika dipakai secara berurutan seperti dalam perincian. Misalnya:
a) Mereka menonton drama itu sampai tiga kali.
b) Koleksi perpustakaan itu lebih dari satu juta buku.
c) Di antara 72 anggota yang hadir, 52 orang setuju, 15 orang tidak setuju, dan 5 orang
abstain.

2) Angka yang menunjukkan bilangan besar dapat ditulis sebagian dengan huruf supaya lebih
mudah dibaca. Misalnya:

a) Dia mendapatkan bantuan 250 juta rupiah untuk mengembangkan usahanya.


b) Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 550 miliar rupiah.
c) Proyek pemberdayaan ekonomi rakyat itu memerlukan biaya Rp10 triliun.

3) Penulisan bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut. Misalnya:

a) abad XXI
b) abad ke-21
c) abad kedua puluh satu

4) Bilangan yang digunakan sebagai unsur nama geografi ditulis dengan huruf. Misalnya:

a) Tigaraksa
b) Rajaampat
c) Simpanglima

j. Kata Ganti ku-, kau-, -ku, -mu, dan –nya

Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan -ku, -
mu, dan -nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya:

1) Rumah itu telah kujual.


2) Majalah ini boleh kaubaca.
3) Bukuku, bukumu, dan bukunya tersimpan di perpustakaan.

k. Kata Sandang Si dan Sang

Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya:

1) Surat itu dikembalikan kepada si pengirim.


2) Sang adik mematuhi nasihat sang kakak.
3) Harimau itu marah sekali kepada sang Kancil.
4) Dalam cerita itu si Buta berhasil menolong kekasihnya.
Catatan:
Huruf awal sang ditulis dengan huruf kapital jika sang merupakan unsur nama Tuhan.
Misalnya:
1) Kita harus berserah diri kepada Sang Pencipta.
2) Pura dibangun oleh umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa.
Pemakaian Tanda Baca

a. Tanda Titik (.)


(cukup jelas)

b. Tanda Koma (,)

1) Tanda koma dipakai sebelum kata penghubung, seperti tetapi, melainkan, dan sedangkan.
Misalnya:

a) Saya ingin membeli kamera, tetapi uang saya belum cukup.


b) Ini bukan milik saya, melainkan milik ayah saya.
c) Dia membaca cerita pendek, sedangkan adiknya melukis panorama.

2) Tanda koma dipakai di antara nama orang dan singkatan gelar akademis yang
mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:

a) Ny. Khadijah, M.A.


b) Bambang Irawan, S.H., M.Hum.

3) Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi.
Misalnya:

a) Semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan, harus mengikuti latihan paduan suara.
b) Soekarno, Presiden Pertama RI, merupakan salah seorang pendiri Gerakan Nonblok.

c. Tanda Titik Koma (;)

1) Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan
kalimat setara yang satu dari kalimat setara yang lain di dalam kalimat majemuk. Misalnya:

a) Hari sudah malam; anak-anak masih membaca buku.


b) Ayah menyelesaikan pekerjaan; Ibu menulis makalah; Adik membaca cerita pendek.

2) Tanda titik koma dipakai pada akhir perincian yang berupa klausa. Misalnya:
Syarat penerimaan pegawai di lembaga ini adalah
(1) berkewarganegaraan Indonesia;
(2) berijazah sarjana S-1;
(3) berbadan sehat; dan
(4) bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI.

3) Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan bagian-bagian pemerincian dalam kalimat
yang sudah menggunakan tanda koma. Misalnya:

a) Ibu membeli buku, pensil, dan tinta; baju, celana, dan kaus; pisang, apel, dan jeruk.
b) Agenda rapat ini meliputi
(1) pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara;
(2) penyusunan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan program kerja; dan
(3) pendataan anggota, dokumentasi, dan aset organisasi.

d. Tanda Titik Dua (:)

1) Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti pemerincian atau
penjelasan. Misalnya:

a) Mereka memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.


b) Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan: hidup atau mati.

2) Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
Misalnya:

Ketua : Ahmad Wijaya


Sekretaris : Siti Aryani
Bendahara: Aulia Arimbi

e. Tanda Hubung (-)

1) Tanda hubung dipakai untuk menyambung tanggal, bulan, dan tahun yang dinyatakan
dengan angka atau menyambung huruf dalam kata yang dieja satu-satu. Misalnya:

a) 11-11-2016
b) p-a-n-i-t-i-a

2) Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian kata atau ungkapan.

Misalnya:

a) meng-ukur
b) dua-puluh-lima ribuan (25 x 1.000)
c) 23/25 (dua-puluh-tiga perdua-puluh-lima)

3) Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia dengan unsur bahasa
daerah atau bahasa asing. Misalnya:
a) di-sowan-i (bahasa Jawa, ‗didatangi‘)
b) ber-pariban (bahasa Batak, ‗bersaudara sepupu‘)
c) di-back up
d) pen-tackle-an

f. Tanda Pisah (--)


1) Tanda pisah dapat dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi
penjelasan di luar bangun kalimat. Misalnya:
a) Kemerdekaan bangsa itu—saya yakin akan tercapai—diperjuangkan oleh bangsa
itu sendiri.
b) Keberhasilan itu—kita sependapat—dapat dicapai jika kita mau berusaha keras.
2) Tanda pisah dapat dipakai juga untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau
keterangan yang lain. Misalnya:
a) Soekarno-Hatta—Proklamator Kemerdekaan RI—diabadikan menjadi nama bandar
udara internasional.
b) Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah Pemuda—harus terus
digelorakan.
3) Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat yang berarti 'sampai
dengan' atau 'sampai ke'. Misalnya:
a) Tahun 2010—2013
b) Tanggal 5—10 April 2013
c) Jakarta—Bandung

g. Tanda Tanya (?)


Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang
disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya. Misalnya:
1) Monumen Nasional mulai dibangun pada tahun 1961 (?).
2) Di Indonesia terdapat 740 (?) bahasa daerah.

h. Tanda Seru (!)


(cukup jelas)

i. Tanda Ellipsis (...)

1) Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau kutipan ada
bagian yang dihilangkan. Misalnya:
Penyebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.

2) Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog. Misalnya:

a) “Menurut saya ... seperti ... bagaimana, Bu?”


b) “Jadi, simpulannya ... oh, sudah saatnya istirahat.”

Catatan:

a) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.


b) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik empat buah).

j. Tanda Petik (“...”)

1) Tanda petik dipakai untuk mengapit judul sajak, lagu, film, sinetron, artikel, naskah, atau
bab buku yang dipakai dalam kalimat. Misalnya:
a) Sajak "Pahlawanku" terdapat pada halaman 125 buku itu.
b) Marilah kita menyanyikan lagu "Maju Tak Gentar"!
c) Film “Habibie dan Ainun” merupakan kisah nyata yang diangkat dari sebuah novel.
d) Saya sedang membaca "Peningkatan Mutu Daya Ungkap Bahasa Indonesia" dalam buku
Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani.

2) Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang
mempunyai arti khusus. Misalnya:
a) "Tetikus" komputer ini sudah tidak berfungsi.
b) Dilarang memberikan "amplop" kepada petugas!

k. Tanda Petik Tunggal (‘...’)


1) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat dalam petikan lain.
Misalnya:
a) Ia bertanya, "Kaudengar bunyi 'kring-kring' tadi?"
b) "Kudengar teriak anakku, 'Ibu, Bapak pulang!', dan rasa letihku lenyap seketika," ujar Pak
Hamdan.
c) “Kita bangga karena lagu ‘Indonesia Raya‘ berkumandang di arena olimpiade itu,” kata
Ketua KONI.

2) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau
ungkapan. Misalnya:
a) tergugat 'yang digugat'
b) noken 'tas khas Papua'
c) tadulako 'panglima'
d) policy 'kebijakan'
e) money politics 'politik uang'

l. Tanda Kurung ((...))

1) Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian
utama kalimat. Misalnya:

a) Sajak Tranggono yang berjudul "Ubud" (nama tempat yang terkenal di Bali) ditulis pada
tahun 1962.
b) Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan arus perkembangan baru pasar dalam negeri.

2) Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang keberadaannya di dalam teks
dapat dimunculkan atau dihilangkan. Misalnya:

a) Dia berangkat ke kantor selalu menaiki (bus) Transjakarta.


b) Pesepak bola kenamaan itu berasal dari (Kota) Padang.

m. Tanda Kurung Siku ([...])


Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi
atau tambahan atas kesalahan atau kekurangan di dalam naskah asli yang ditulis orang lain.
Misalnya:

1) Kami men[d]engar bunyi gemerisik.


2) Penggunaan bahasa dalam karya ilmiah harus sesuai [dengan] kaidah bahasa Indonesia.
3) Ulang tahun [Proklamasi Kemerdekaan] Republik Indonesia dirayakan secara khidmat.

n. Tanda Garis Miring (/)

Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata dan, atau, serta setiap. Misalnya:
1) mahasiswa/mahasiswi 'mahasiswa dan mahasiswi'
2) dikirimkan lewat darat/laut 'dikirimkan lewat darat atau lewat laut'
3) buku dan/atau majalah 'buku dan majalah atau buku atau majalah'
4) harganya Rp1.500,00/lembar 'harganya Rp1.500,00 setiap lembar'
o. Tanda Penyingkat atau Apostrof (‘)
Tanda penyingkat dipakai untuk menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka
tahun dalam konteks tertentu. Misalnya:
1) Dia 'kan kusurati. ('kan = akan)
2) Mereka sudah datang, 'kan? ('kan = bukan)
3) Malam 'lah tiba. ('lah = telah)
4) 5-2-‘13 (‘13 = 2013)

KATA BAKU DAN TIDAK BAKU

Kata baku adalah kata-kata yang ejaan dan pelafalannya sudah sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia baku yang tertuang dalam KBBI dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI). Kosakata baku digunakan untuk segala hal yang bersifat formal,
termasuk dalam karya tulis ilmiah, surat resmi, majalah, atau dalam forum-forum resmi.
Sementara itu, kata tidak baku adalah kosakata yang ejaan dan pelafalannya tidak sesuai
dengan KBBI dan PUEBI. Biasanya, kosakata tidak baku berasal dari bahasa daerah atau dari
kata baku dengan pelafalan yang tidak sesuai. Kata tidak baku lazim digunakan dalam
percakapan sehari-hari, tetapi tidak dapat digunakan dalam konteks formal.

Fungsi Kata Baku dan Tidak Baku

Ragam kata baku dan tidak baku dalam bahasa Indonesia memiliki peran dan fungsinya
masing-masing. Kata baku digunakan untuk segala hal yang bersifat resmi dan membutuhkan
penuturan bahasa yang tepat. Selain itu, terdapat sedikitnya empat fungsi utama kosakata
baku:

1. Sebagai pemersatu. Kata baku dapat digunakan untuk mempersatukan berbaga


kelompok masyarakat dalam satu kesatuan penutur bahasa, seperti yang tertuang
dalam Sumpah Pemuda, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.”
2. Memberi Kekhasan. Menggunakan kata baku, baik secara lisan maupun tulisan,
menunjukkan ciri khas seorang penutur bahasa Indonesia, mengingat sebagian besar
masyarakat masih menggunakan kata tidak baku dalam percakapan sehari-hari.
3. Meningkatkan kewibawaan. Dalam konstruksi masyarakat Indonesia yang mau
tidak mau harus kita akui masih bersifat feudal, menggunakan kosakata baku dalam
percakapan dapat meningkatkan kewibawaan dan mengangkat status sosial penutur di
mata masyarakat awam.
4. Kerangka acuan. Kosakata baku adalah sebuah kerangka acuan dan tolak ukur dalam
berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan KBBI dan PUEBI sebagai acuan
tertinggi dalam bahasa Indonesia.

Sementara itu, kata tidak baku adalah kosakata yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa
yang ditentukan. Kata tidak baku lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari atau dalam
tulisan yang bersifat tidak resmi seperti dalam pesan singkat. Kata tidak baku sering
ditemukan dalam interaksi sehari-hari karena terpengaruh oleh budaya tutur yang
berkembang di masyarakat.

Terdapat beberapa faktor yang dapat memicu kemunculan kata tidak baku, di antaranya
adalah:

1. Penutur tidak memahami bentuk penulisan baku dari kata yang dimaksud;
2. Penutur tidak mengoreksi kesalahan pelafalan atau ejaan yang ditemui;
3. Terbawa oleh kebiasaan penutur lain;
4. Pelafalan terpengaruh oleh dialek dari daerah asal penutur.

Ciri-ciri dan Contoh


Ciri-ciri kata baku dapat dirangkum sebagai berikut, beserta contoh kata baku dan tidak baku:

 Tidak dipengaruhi oleh dialek atau bahasa daerah


Contoh: ‘tengkurap’ (baku) dan ‘tengkurep’ (tidak baku); ‘bagus sekali’ (baku) dan ‘bagus
pisan’ (tidak baku).

 Tidak dipengaruhi oleh bahasa asing


Contoh: ‘kamu’ (baku) dan ‘lo’ (tidak baku); ‘saya’ (baku) dan ‘ane’ (tidak baku).

 Bukan ragam bahasa percakapan


Contoh: ‘memang’ (baku) dan ‘emang’ (tidak baku); ‘bawakan’ (baku) dan ‘bawain’ (tidak
baku).

 Penggunaan imbuhan diterapkan secara eksplisit


Contoh: ‘menangis’ (baku) dan ‘nangis’ (tidak baku); ‘menyetop’ (baku) dan ‘nyetop’ (tidak
baku).

 Penggunaan kata atau frasa sesuai dengan konteks kalimat


Contoh: ‘terbuat dari’ (baku) dan ‘terbuat’ (tidak baku); ‘sebanding dengan’ (baku) dan
‘sebanding’ (tidak baku).

 Tidak bermakna ganda atau rancu


Contoh: ‘menghemat’ (baku) dan ‘mempersingkat’ (tidak baku).

 Tidak mengandung pleonasme atau penambahan kata yang tidak perlu


Contoh: ‘turun’ (baku) dan ‘turun ke bawah’ (tidak baku); ‘terbaik’ (baku) dan ‘paling
terbaik’ (tidak baku).

 Tidak hiperkorektif
Contoh: ‘musyawarah’ (baku) dengan ‘musawarah’ (tidak baku); ‘surga’ (baku) dan ‘syurga’
(tidak baku).

4. MATERI DIKSI ATAU PILIHAN KATA


Ada ungkapan yang menyebutkan pilihan kata adalah cerminan seseorang.
Ungkapan tersebut ada benarnya mengingat kata adalah unsur yang sangat penting dalam
komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Kekurangtepatan dalam pemilihan kata akan
mengakibatkan komunkasi kurang berbobot dan bernilai. Akibatnya, pendengar (dalam
pembicaraan) atau pembaca (dalam teks tertulis) akan menilai bahwa pembicara atau penulis
kurang mampu menggunakan kosakata bahasanya. Kekurangmampuan itu kemungkinan
besar disebabkan oleh kurang luasnya penguasaan kosakata dan makna katanya. Semakin
sedikit penguasaan kosa kata berarti semakin sempit ruang lingkup pilihan kata. Hal ini
bukan berarti bahwa seorang penulis atau pembicara wajib menguasai kosakata seperti yang
terdapat dalam kamus, melainkan bagaimana seorang itu mampu menggunakan kata secara
cermat dan tepat yang jumlahnya sesuai dengan tujuan dan keperluannya.
Pilihan kata atau yang lazim juga disebut diksi adalah mutu dan kelengkapan kata
yang dikuasai seseorang untuk berkomunikasi. Dengan penguasaan diksi, orang mampu
menggunakan secara tepat dan cermat berbagai perbedaan dan persamaan makna kata sesuai
dengan tujuan dan gagasan yang akan disampaikan. Di samping itu, dengan pilihan kata yang
cermat, akan diperoleh diperoleh kosakata yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang
dimiliki pembaca dan pendengar.
Dalam pembahasan mengenai diksi, terdapat lima hal penting yang harus dipahami, yaitu:

1. syarat pilihan kata;


2. pembentukan kata;
3. makna tersirat dan tersurat;
4. ungkapan idiomatik;
5. kata-kata yang bermiripan

1. Syarat Pilihan Kata

Terdapat tiga syarat dalam pilihan kata, yakni tepat, benar, dan lazim.

a. Tepat

Yang dimaksud dengan tepat adalah bahwa kata itu dapat mengungkapkan gagasan secara
cermat. Ketepatan dalam pemilihan kata dapat meminimalisasi kesalahpahaman
pendengar/pembaca.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan disajikan contoh pilihan kata yang tidak tepat (yang
terdapat dalam kalimat) beserta pembetulannya.

1) Di toko mana saya dapat membeli tas itu? ujar Dita kepada Dewi.

2) "Terima kasih," kilah Riza ketika ia dibelikan sepatu oleh kekasihnya.

3) Aliando tetap mengacuhkan peringatan itu, meskipun telah berulang kali diperingatkan
oleh gurunya.

4) Ibu Yuli memajukan usul kepada Ketua RT 01 tentang perbaikan jalan.

5) Rapat kelulusan peserta diklat diadakan pada tanggal 12 November 2016 jam 10.00.
Pada kalimat (1) pemakaian kata ujar tidak tepat dan seharusnya diganti dengan kata
tanya karena kalimat tersebut merupakan kalimat Tanya. Jadi, kalimat (1) dengan pilihan kata
yang tepat adalah
"Di toko mana saya dapat membeli tas itu?" tanya Dita kepada Dewi.
Pada kalimat (2) pemakaian kata kilah tidak tepat karena kata kilah berarti 'tipu daya'
atau 'alasan'. Oleh karena itu, kata kilah pada kalimat (2) seharusnya diganti dengan kata
ucap/ujar/kata untuk menunjukkan suatu pernyataan sehingga kalimat (2) menjadi
"Terima kasih," kata Riza ketika ia dibelikan sepatu oleh kekasihnya.
Pada kalimat (3) pemakaian kata mengacuhkan tidak tepat karena kata mengacuhkan
berarti 'mengindahkan, memedulikan.' Oleh karena itu, kata mengacuhkan seharusnya diubah
menjadi mengabaikan/tidak mengacuhkan sehingga kalimat (3) menjadi
Aliando tetap mengabaikan peringatan itu, meskipun telah berulang kali diperingatkan oleh
gurunya.
Pada kalimat (4) pemakaian kata memajukan tidak tepat karena kata itu berarti
'menjadi maju', sedangkan yang dimaksud dalam kalimat (4) adalah menyampaikan usul.
Kata yang tepat untuk kalimat (4) adalah mengajukan yang berarti 'menyampaikan'. Dengan
demikian, kalimat (4) menjadi
Ibu Yuli mengajukan usul kepada Ketua RT 01 tentang perbaikan jalan.
Pada kalimat (5) pemakaian kata jam tidak tepat karena kata jam berarti 'alat
pengukur waktu' dan ‘lama suatu kegiatan’. Kata jam pada kalimat (5) diganti dengan kata
pukul. Dengan demikian, kalimat (5) menjadiRapat kelulusan peserta diklat diadakan pada
tanggal 12 November 2016 pukul 10.00.

b. Benar
Maksud dari kata benar adalah bahwa kata itu sesuai dengan kaidah kebahasaan.
Pilihan kata yang benar dapat memudahkan pendengar/pembaca dalam menyerap informasi
yang disampaikan oleh pembicara/penulis.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan disajikan contoh pilihan kata yang tidak benar (yang
terdapat dalam kalimat) beserta pembetulannya.

1) Saudara tidak dapat merubah jadwal pelaksanaan diklat.


2) Pengrusakan gedung itu terjadi tadi malam.
3) Siapakah yang mengkelola keuangan organisasi itu?
4) Pirsawan televisi tidak pernah melewatkan siaran berita pagi.
5) Kita harus mengetrapkan kaidah bahasa dalam penulisan surat dinas.

Kata merubah, pengrusak, mengkelola, pirsawan, dan mengetrapkan yang tertera


dalam kelima kalimat di atas tidak dibentuk/dituliskan secara benar sehingga tidak sesuai
dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Oleh karena itu, bentuk yang benar dari kata-kata
tersebut adalah mengubah, perusak, mengelola, pemirsa, dan menerapkan.

c. Lazim
Maksud dari kata lazim adalah bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang
sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat. Pilihan kata yang lazim
dapat menghindarkan pendengar/pembaca dari perasaan janggal terhadap kata yang
diucapkan/dituliskan oleh pembicara/penulis.
Contoh pilihan kata yang tidak lazim (yang terdapat dalam kalimat) beserta pembetulannya.
1) Ayahnya telah mati di rumah sakit.
2) Kucing kesayangannya wafat mendadak.
Pada kalimat (1) pemakaian kata mati tidak lazim karena kata mati tidak selayaknya
digunakan pada manusia yang kehilangan nyawa, kata yang seharusnya dipilih adalah
meninggal/wafat. Sementara itu, kata wafat.
Pada kalimat (2) pemakaian kata wafat juga tidak lazim karena kata wafat tidak
cocok digunakan pada hewan yang sudah tidak bernapas, kata yang seharusnya dipilih adalah
mati.
pembetulan dua kalimat tersebut dengan plihan kata yang lazim adalah
1) Ayahnya telah meninggal di rumah sakit.
2) Kucing kesayangannya mati mendadak.

Kata meninggal, mati, dan wafat berarti 'tidak hidup', hilang nyawanya. Ketiga kata
itu mempunyai kelaziman masing-masing.
Selain itu, contoh ketidaklaziman penggunaan kata adalah penggunaan kata yang sudah tidak
dipakai lagi saat ini untuk komunikasi umum, seperti contoh berikut.

1) Karena udara hari ini panas sekali, kami mencari bayu di luar rumah.
2) Rini memetik puspa di taman.
3) Mereka meminum banyu untuk menghilangkan dahaga.

Kata bayu pada kalimat (1) hendaknya diganti dengan kata angin; kata puspa pada
kalimat (2) hendaknya diganti dengan kata bunga; dan kata banyu pada kalimat (3)
hendaknya diganti dengan kata air karena kata bayu, puspa, dan banyu sudah tidak lazim lagi
digunakan saat ini. Namun demikian, kata bayu, puspa, dan banyu sampai sekarang masih
digunakan dalam karangan sastra.

2. Pembentukan Kata
Diksi atau pilihan kata yang baik juga ditentukan oleh pembentukan kata yang benar.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kata adalah sebagai berikut

a. Kata dasar yang dimulai dengan konsonan k, p, t, dan s jika didahului dengan awalan
me- akan mengalami pelesapan pada huruf pertama kata tersebut.

Contoh:
(me- + konsonan k)
me- + kelola mengelola
me- + korek mengorek
me- + kejar mengejar
(me- + konsonan p)
me- + pukul memukul
me- + panggil memanggil
me- + pindai memindai

Unsur Serapan
Unsur Serapan merupakan kata yang berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing
yang ejaan, ucapan dan tulisannya disesuaikan sedemikian rupa, yang diintegrasikan ke
dalam suatu bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum.
-Kata serapan yang berasal dari negara asing seperti bahasa Sanskerta, Arab, Belanda, Cina,
Inggris dan lainnya.
-Kata serapan yang berasal dari bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda, Minang dan
lainnya.
Fungsi Kata Serapan yaitu memperkaya kosa kata dan memberikan pengetahuan lebih
tentang bahsa Asing kepada pemakian bahasa Indonesia.

Ciri-ciri : - makna tunggal


- tidak memiliki kata sinonim maupun antonim di dalam kalimat
- makna tidak berubah

Contoh Unsur Serapan

 Dari bahasa Inggris


- account akun
- activist aktivis
- bomb bom
- campus kampus
- juice jus

 Dari bahasa Belanda


- absensi absentie
- akademi academi
- cokelat chocolade
- jambore jamboree
- kantor kantoor
5. MATERI KALIMAT

Pengertian Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang dapat mengungkapkan pikiran yang utuh.
Pikiran yang utuh itu dapat diekspresikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam bentuk
lisan, kalimat ditandai dengan alunan nada, keraslembutnya suara, disela jeda, dan diakhiri
dengan nada selesai. Dalam bentuk tulisan kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda titik, tanda sera, atau tanda tanya. Dari sudut kelengkapan pikiran, kalimat
biasanya minimal terdiri atas predikat dalam suatu pemyataan selain ditentuka pula oleh
situasi pembicaraan.

Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang biasa disebut juga jabatan kata atau peran
kata, yaitu subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat
bahasa Indonesia baku sekurang - kurangnya terdiri atas dua unsur, yakni S dan P. Unsur
yang lain (O, Pel, dan Ket) dapat wajib hadir, atau tidak wajib hadir dalam suatu kalimat.

Unsur-unsur kalimat dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Subjek(S)
Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunjuk pada pelaku, tokoh, sosok, sesuatu hal, atau
suatu masalah yang menjadi pokok pembicaraan. Sebagian besar S diisi oleh kata benda/frasa
nominal, kata kerja/frasa verbal, dan klausa. Subjek kalimat dapat dicari dengan ramus
pertanyaan apa ataupun siapa.
Contoh:
1. Kakek itu sedang melukis (S yang diisi kata benda/frasa nominal).
2. Berjalan kaki menyehatkan badan (S yang diisi kata keija/frasa verbal).
3. Gunung Kidul itu tinggi (S yang diisi kata benda/frasa nominal).

b) Predikat (P)
Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan perbuatan (action) apa S,
yaitu pelaku/tokoh atau sosok di dalam suatu kalimat. Satuan bentuk pengisian P dapat
berupa kata atau frasa namun sebagian besar berkelas verbal atau adjektiva, tetapi dapat juga
numeral, nominal atau frasa nominal. Pemakaian kata adalah pada predikat biasa terdapat
pada kalimat nominal. Predikat (P) dapat dicari dengan rumus pertanyaan bagaimana,
mengapa, ataupun diapakan.
Contoh :
1. Ibu sedang tidur siang (P yang diisi dengan kata kerja/frasa verbal).
2. Soal ujian ini sulit sekali (P yang diisi dengan kata sifat/frasa adjektif).
3. Karangan itu sangat bagus (P yang diisi dengan kata sifat/frasa adjektif).
4. Santi adalah seorang kolektor (P dengan pemakaian kata adalah pada frasa nominal).

c) Objek (O)
Objek merupakan bagian kalimat yang melengkapi Predikat (P). Objek biasanya diisi oleh
nomina, frasa nominal atau klausa. Letak Objek (O) selalu di belakang P yang berupa verba
transitif, yaitu veba yang menuntut wajib hadirnya O. Objek dapat dicari dengan rumus
pertanyaan apa atau siapa terhadap tindakan Subjek.
Contoh :
1. Mereka memancing ikan Pari (O yang diisi dengan kata benda/frasa nominal).
2. Orang itu menipu adik saya (O yang diisi dengan kata benda/frasa nominal).
d) Pelengkap (Pel)
Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Letak Pel
umumnya di belakang P yang berupa verbal. Posisi ini juga bisa ditempati oleh O, dan jenis
kata yang mengisi Pel dan O juga bisa sama, yaitu nominal atau frasa nominal. Akan tetapi,
antara Pel dan O terdapat perbedaan.
Contoh:
Ketua MPR //membacakan //Pancasila.
SPO
Banyak orsospol // berlandaskan // Pancasila
S P Pel

Kedua kalimat aktif di atas yang Pel dan O-nya sama - sama nominal Pancasila jika hendak
dipasifkan ternyata yang bisa hanya kalimat pertama dengan ubahan sebagai berikut.
Pancasila //dibacakan // oleh Ketua MPR
S P Ket

Pancasila dilandasi oleh banyak orsospol (tidak gramatikal karena posisiPancasila sabagai Pel
pada kalimat kedua ini tidak dapat dipindahkan kedepan menjadi S dalam bentuk kalimat
pasif).

Hal lain yang membedakan Pel dengan O adalah jenis pengisiannya. Pel bisa diisi oleh
adjektiva, frasa adjektif, frasa verbal, dan frasa preposisional.
Contoh:
1. Kita benci pada kemunafikan (Pel-nya frase preposisional).
2. Mayang bertubuh mungil (Pel-nya frase adjektiva).
3. Sekretaris itu mengambilkan bosnya air minum (Pel-nya frase nominal).
4. Pak Lam suka bermain tenis (Pel-nya frase verbal).

e) Keterangan (Ket)
Keterangan adalah bagian kalimat yang menerangkan Pel dan klausa dalam sebuah kalimat.
Pengisi Ket adalah adverbial, frasa nominal, frasa proposisional, atau klausa. Posisi Ket boleh
manasuka, di awal, di tengah, atau di akhir kalimat.
Contoh :
1. Antoni menjilid makalah kemarin pagi.
2. Antoni kemarin pagi menjilid makalah.
3. Kemarin pagi Antono menjilid makalah.

Keterangan terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya keterangan waktu,


tempat, cara, alat, alasan/sebab, tujuan, similatif, dan penyerta.
Contoh :
1. Aulia memotong tali dengan gunting. (Ket.alat)
2. Mahasiswa fakultas Hukum berdebat bagaikan pengacara. (Ket. similatif)
3. Karena malas belajar, mahasiswa itu tidsk lulus ujian. (Ket.sebab)
4. Polisi menyelidiki masalah narkoba dengan cara hati-hati.(Ket.cara)
5. Amir pergi dengan teman-teman sekelasnya. (Ket.penyetara)
6. Karena malas belajar, Petrus tidak lulus ujian. (Ket.penyebab)
Perbedaan Kata Dasar dan Kata Turunan Perbedaan kata dasar dan kata turunan
adalah dari bentuknya.

Kata dasar adalah bentuk asli dari kata tersebut, ia utuh sebagai suatu kesatuan,
sebagaimana dikutip dari Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2016) yang diterbitkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Artinya, ketika dipisah-pisahkan, makna dari kata
dasar akan berubah. Berbeda dari kata turunan yang dapat dipisahkan imbuhannya dari kata
dasar. Jika dipisahkan, maka imbuhannya tidak akan bermakna apa-apa. Contohnya, kata
memakan adalah bentuk turunan dari makan (kata dasarnya). Ketika dipisahkan, terdapat dua
bentuk yaitu gabungan dari me- dan makan. Kata makan mempunyai makna utuh, serta dapat
dipahami sebagai suatu kesatuan, sedangkan me- tidak berarti apa pun. Ketika digabungkan,
maka akan menjadi kata turunan.

Jenis Kalimat Turunan

a. Jika huruf pertama kata dasar adalah l, m, n, q, r, atau w.


Contoh: me- + luluh → meluluh, me- + makan → memakan.
b. me- → mem-, jika huruf pertama kata dasar adalah b, f, p*, atau v.
Contoh: me- + baca → membaca, me- + pukul → memukul*, me- + vonis → memvonis,
me- + fasilitas + i → memfasilitasi.
c. me- → men-, jika huruf pertama kata dasar adalah c, d, j, atau t*.
Contoh: me- + datang → mendatang, me- + tiup → meniup*.
d. me- → meng-, jika huruf pertama kata dasar adalah huruf vokal, k*, g, h.
Contoh: me- + kikis → mengikis*, me- + gotong → menggotong, me- + hias → menghias.
e. me- → menge-, jika kata dasar hanya satu suku kata.
Contoh: me- + bom → mengebom, me- + tik → mengetik, me- + klik → mengeklik.
f. me- → meny-, jika huruf pertama adalah s*.
Contoh:me- + sapu → menyapu*.

Jenis Imbuhan

1. Imbuhan sederhana, hanya terdiri dari salah satu awalan atau akhiran.
a. Awalan: me-, ber-, di-, ter-, ke-, pe-, per-, dan se-
b. Akhiran: -kan, -an, -i, -lah, dan –nya
2. Imbuhan gabungan, gabungan dari lebih dari satu awalan atau akhiran.
a. ber-an dan ber-i
b. di-kan dan di-i
c. diper-kan dan diper-i
d. ke-an dan ke-i
e. me-kan dan me-i
f. memper-kan dan memper-i
g. pe-an dan pe-i
h. per-an dan per-i
i. se-nya
j. ter-kan dan ter-i
3. Imbuhan spesifik, digunakan untuk kata-kata tertentu (serapan asing).
a. Akhiran: -man, -wan, -wati, dan -ita.
b. Sisipan: -in-,-em-, -el-, dan -er-.
Syarat Kalimat
Persyaratan pokok yang perlu diperhatikan dalam penentuan sebuah pemyataan
berupa kalimat atau bukan adalah adanya unsur predikat dan permutasi unsur kalimat.
Keduanya dapat dijadikan alat untuk mengetes sebuah pemyataan. Setiap kalimat dalam
realisasinya sekurang kurangnya memiliki predikat, sedangkan pemyataan (kelompok kata)
yang tidak memiliki predikat disebut frasa. Untuk menentukan predikat sebuah kalimat dapat
dilakukan pemeriksaan terhadap verba dalam untaian kata bersangkutan. Umumnya, kalimat
bahasa Indonesia berpredikat verba.

Pola Dasar Kalimat Bahasa Indonesia


Kalimat yang kita gunakan sesungguhnya dapat dikembalikan ke dalam sejumlah
kalimat dasar yang sangat terbatas. Dengan perkataan lain, semua kalimat yang kita gunakan
berasal dari beberapa pola kalimat dasar saja. Sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing,
kalimat dasar tersebut kita kembangkan, yang pengembangannya itu tentu saja hams
didasarkan pada kaidah yang berlaku. Pola dasar kalimat bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut:
a) Kalimat Dasar Berpola S P
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek dan predikat. Predikat
kalimat untuk tipe ini dapat berupa kata keija, kata benda, kata sifat, atau kata
bilangan. Misalnya:
1. Mereka / sedang berenang. S P (kata kerja)
2. Ayahnya / guru SMA. S P (kata benda)
3. Gambar itu / bagus. S P (kata sifat)
4. Peserta penataran ini / empat puluh orang. S P (kata bilangan)

b) Kalimat Dasar Berpola S P O


Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan objek.
Misalnya: Mereka / sedang menyusun / karangan ilmiah. S P O

c) Kalimat Dasar Berpola S P Pel.


Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan pelengkap.
Misalnya: Anaknya / beternak / ayam. S P Pel

d) Kalimat Dasar Berpola S P O Pel.


Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, objek, dan pelengkap.
Misalnya: Dia / mengirimi / saya / surat. S P O Pel

e) Kalimat Dasar Berpola S P K


Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan keterangan.
Misalnya: Mereka / berasal / dari Surabaya S P K

f) Kalimat Dasar Berpola S P O K


Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan.
Misalnya: Kami / memasukkan / pakaian / ke dalam lemari. S P O K

Jenis - Jenis Kalimat


1. Jenis Kalimat Menurut Fungsinya
Kalimat dalam bahasa Indonesia, berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi kalimat
pernyataan, kalimat perintah, dan kalimat seruan.
a) Kalimat Pemyataan (Deklaratif).
Kalimat berita adalah kalimat yang dipakai untuk menyatakan suatu berita. Ciri-ciri kalimat
berita, yaitu bersifat bebas, boleh langsung atau tak langsung,aktif atau pasif,tunggal atau
majemuk, berintonasi menurun dan kalimatnya diakhiri tanda titik (.). Kalimat deklaratif
berisi pemyataan sesuatu dengan lengkap untuk menyampaikan informasi kepada lawan
komunikasinya.
Contoh:
1. Menteri tenaga kerja mengadakan kunjungan ke beberapa pabrik baja di Surabaya.
2. Malaysia menggunakan bahasa Melayu dengan sistem bahasa yang berbeda.

b) Kalimat Pertanyaan (Interoigatif)


Kalimat ini digunakan untuk memperoleh informasi atau reaksi dari lawan komunikasi.
Kalimat pertanyaan biasanya dipertegas dengan penyertaan tanda baca (tanda tanya).
Contoh:
Positif.
1. Kapan Saudara lulus sarjana?
2. Mengapa dia selalu bersikap tidak sopan?

Negatif.
1. Mengapa mobil ini dirancang tidak menggunakan pengaman yang lengkap?
2. Mengapa kita tidak bisa hidup saling mengerti, memahami, dan menghargai sesama umat?

c) Kalimat Perintah dan Permintaan (Imperatif)


Kalimat ini digunakan jika pemakainya menyuruh atau melarang untuk berbuat sesuatu.
Kalimat perintah dan permintaan ini secara umum dipertegas dengan menyertakan tanda baca
(tanda seru).
Contoh:
Positif.
1. Maukah kamu disuruh mengeijakan laporan itu!
2. Tolong selesaikan tugas membuat makalah itu lebih dahulu!

Negatif.
1. Sebaiknya kita tidak melakukan profokasi yang dapat menyesatkan orang lain!
2. Janganlah khawatir kekurangan rezeki jika sudah bemiat amal!

d) Kalimat Seruan
Kalimat seruan digunakan untuk menyampaikan atau mengungkapkan perasaan yang kuat
dan mendadak.
Contoh:
Positif.
1. Hebat, ternyata dia bisa.
2. Nah, ini baru kejutan bagi kita.

Negatif.
1. Aduh, ternyata dia tidak menepati janji.
2. Wah, target yang ditetapkan semula tidak tercapai.

2. Jenis Kalimat Menurut Klausanya


Menurut jumlah klausa pembentuknya, kalimat dapat dibentuk atas dua macam, yaitu
(1) kalimat tunggal dan (2) kalimat majemuk.
a) Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu klausa bebas. Hal itu berarti
hanya ada satu P di dalam kalimat tunggal. Unsur P adalah sebagai penanda klausa. Unsur S
dan P memang selalu wajib hadir di dalam setiap kalimat. Adapun O, Pel, dan Ket sifatnya
tidak wajib hadir di dalam kalimat, termasuk dalam kalimat tunggal. Jika P masih perlu
dilengkapi, barulah unsur yang melengkapi itu dihadirkan. Berdasarkan jenis kata/frasa
pengisi P-nya, kalimat tunggal dapat dipilah menjadi empat macam yang diberi nama atau
label tambahan sesuai jenis kata atau frasanya, yaitu nominal, adjektiva, verbal, dan numeral.
Contoh:
1. Kami mahasiswa UIN Suska Riau (kalimat nominal).
2. Jawaban anak pintar itu sangat tepat (kalimat adjektiva).
3. Sapi-sapi sedang merumput (kalimat verbal).
4. Mobil orang kaya itu ada delapan (kalimat numeral).

b) Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang merupakan gabungan dari dua atau lebih
kalimat tunggal. Dengan kata lain kalimat majemuk adalah kalimat yang sekurang-kurangnya
terdiri atas subjek dan dua predikat. Kalimat majemuk dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1) Kalimat majemuk setara/koordinatif


Kalimat majemuk setara/koordinatif yaitu gabungan dua pokok pikiran atau lebih yang
kedudukannya setara. Struktur kalimat yang di dalamnya terdapat, sekurang - kurangnya, dua
kalimat dasar dan masing - masing dapat berdiri sendiri sebagai kalimat tunggal. Konjungtor
yang menghubungkan klausa dalam kalimat majemuk setara jumlahnya cukup banyak.
Konjungtor itu menunjuk beberapa jenis hubungan dan menjalankan beberapa fungsi. Berikut
tabel penghubung klausa dalam kalimat majemuk setara.

Klausa dalam Kalimat Majemuk


Jenis Hubungan Fungsi Kata Penghubung
1 .Penghubung menyatakan penjumlahan atau gabungan kejadian,kegiatan, peristiwa, dan
proses dan, serta, baik, maupun.
2. Pertentangan menyatakan hal yang dinyatakan dalam klausa pertama bertentangan dengan
klausa kedua tetapi, sedangkan, bukannya, melainkan.
3.Pemilihan menyatakan pilihan di antara dua kemungkinan atau
4.Perurutan menyatakan kejadian yang berurutan lalu, kemudian

Contoh kalimat majemuk setara/koordinatif:


1. Anto gemar menulis sedangkan Anita gemar menari.
2. Engkau tinggal di sini, atau ikut dengan saya.
3. Sinta cantik.tetapi sombong.
4. Ia memarkirkan mobil di lantai 3, lalu naik lift ke lantai 7.

2) Kalimat Majemuk Bertingkat/Kompleks/Subordinatif


Kalimat majemuk bertingkat/kompleks/subordinatif yaitu kalimat tunggal yang salah satu
jabatannya diperluas membentuk kalimat baru. Dalam kalimat majemuk bertingkat kita
mengenal:
a. Induk kalimat (jabatan kalimat yang bersifat tetap atau tidak mengalami perubahan)
b. Anak kalimat (jabatan kalimat yang diperluas membentuk kalimat baru. Anak kalimat
ditandai pemakaian kata penghubung dan bila mendahului induk kalimat dipisah dengan
tanda baca koma).
Jenis Hubungan Kata Penghubung
a. waktu
 sejak, sedari, sewaktu, sementara, seraya, setelah, sambil, sehabis, sebelum, ketika,
tatkala, hingga, sampai.
b. syarat
 jika(lau), seandainya, an-daikata, andaikan, asalkan, kalau, apabila, bilaman,
manakala.
c. tujuan agar, supaya, untuk, biar
d. konsesif
 walau(pun), meski(pun), sekalipun, biar(pun), kendati(pvm), sungguh(pun)
e. pembandingan
 seperti, bagaikan, laksa-na, sebagaimana, daripada, alih-alih, ibarat
f. penyebaban sebab, karena, oleh karena
g. pengakibatan sehingga, sampai-sampai, maka
h. cara/alat dengan, tanpa
i. kemiripan seolah-olah, akan
j. kenyataan padahal
k. penjelasan bahwa

Contoh kalimat majemuk bertingkat/kompleks/subordinatif:


1. Agar koperasi unit desa (KUD) berkembang,perlu dipikirkan penciptaan kader-kader yang
tangguh.
2. Ketika memberikan keterangan, saksi itu meneteskan air mata.
3. Pembangunan rumah susun itu memerlukan penelitian sebab beberapa unit rumah susun
belum berpenghuni.
4. Hujan turun berhari - hari sehingga banjir besar melanda kota itu.
5. Dengan menurunkan harga beberapa jenis BBM, kita berharap kegiatan ekonomi tidak
lesu lagi.
6. Pengurus lama berjanji bahwa koperasi kita akan memilih pengurus baru.
7. Tempat itu kotor, makanya dia malas kalau disuruh ke situ.
8. Dia diam saja seakan-akan tidak tahu kesalahannya.
9. Semangat belajamya tetap tinggi meskipun usianya sudah lanjut.
10. Aku memahaminya sebagaimana ia memahamiku.

3. Jenis Kalimat Menurut Kelengkapan Unsurya


Dipandang dari segi kelengkapan unsurnya, kalimat dibedakan menjadi dua, yaitu
kalimat sempurna (mayor) dan kalimat tak lengkap (minor).
a) Kalimat Sempurna (Mayor)
Kalimat sempurna adalah kalimat yang dasamya terdiri dari sebuah klausa bebas. Oleh
karena yang mendasari kalimat sempurna adalah suatu klausa bebas maka kalimat sempurna
ini cukup kalimat tunggal dan kalimat majemuk.
Contoh :
1. Ayah membaca koran. (K.S. dilihat dari kalimat tunggal)
2. Kalau saya mempunyai uang, saya akan membeli rumah itu. (K.S.
dilihat dari kalimat majemuk bertingkat.

b) Kalimat Tak Sempurna (Minor)


Kalimat tak sempurna adalah kalimat yang subjek dan predikatnya tidak lengkap atau dengan
kata lain subjek dan predikatnya tidak ada sama sekali. Kalimat tak sempurna ini mencakup
kalimat pertanyaan, minor, dan seruan.
Contoh :
1. “Maksudmu?”
2. “Ayah di Sumatera Utara.”

4. Jenis Kalimat menurut Susunan Subjek dan Predikatnya


Jenis kalimat menurut susunan subjek dan predikatnya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu kalimat versi dan kalimat inversi.
a) Kalimat Versi
Kalimat versi adalah kalimat yang berpola S-P. Kalimat ini bisa dikatakan sama dengan
kalimat tunggal tunggal yang mempunyai satu klausa.
Contoh:
1. Dokter menangani pasien itu dengan baik.
2. Mereka bersalaman.

b) Kalimat Inversi
Kalimat inversi adalah kalimat yang P-nya mendahului S sehingga membentuk pola P-S.
Selain merupakan variasi dari pola S-P, ternyata kalimat berpola P-S dapat memberi
penekanan atau ketegasan makna tertentu. Memang kata atau frase yang pertama muncul
dalam tuturan bisa menjadi kata kunci yang mempengaruhi makna.
Contoh:
1. Matikan televisi itu.
2. Tidak terkabul permintaannya.

5. Kalimat Menurut Sifat Hubungan Aktor-Aksi


Dipandang dari segi hubungan aktor-aksi, maka kalimat ini terbagi menjadi empat,
yaitu kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat medial, dan kalimat resiprokal.
a) Kalimat Aktif
Kalimat aktif adalah kalimat kalimat yang subjeknya sebagai pelaku atau aktor (Cook,
1971:49). Kalimat aktif umumnya berawalan me- dan ber- pada P-nya.
Contoh :
1. Anto mengambil buah mangga.
2. Adik bermain bola.

b) Kalimat Pasif
Kalimat pasif adalah kalimat - kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita atau
dikenai pekerjaan/tindakan. Kalimat pasif umumnya berawalan di-, ter-, ke-an.
Contoh :
1. Piring dicuci Anita.
2. Adik terjatuh di kamar mandi.
3. Suaranya kedengaran ke sana.

c) Kalimat Medial
Kalimat medial adalah kalimat yang subjeknya berperan baik sebagai pelaku dan atau sebagai
penderita (objek).
Contoh :
1. Dia menghibur dirinya.
2. Wanita itu menggantung dirinya sendiri.
3. Mereka menyusahkan diri sendiri.
d) Kalimat Reiprokal
Kalimat resiprokal adalah kalimat yang subjek dan objeknya melakukan sesuatu perbuatan
yang berbalas - balasan.
Contoh :
1. Saya sering tukar-menukar buku dengan si Joni.
2. Para pembeli ramai tawar-menawar dengan para pedagang.

6. Kalimat Inti dan Inti Kalimat


Kalimat inti adalah kalimat yang terdiri atas S dan P. Sedangkan inti kalimat adalah
kalimat yang terdiri atas inti-inti kalimat atau unsur-unsur kalimat yaitu S-P-O.
Syarat-syarat kalimat inti:
a) Terdiri dari dua suku kata
b) Berpola S dan P
c) Intonasi netral

Syarat-syarat inti kalimat:


a) Terdiri dari tiga suku kata
b) Berpola S-P-0
c) Intonasi netral
Contoh:
1. Adik saya yang paling bungsu sedang mempelajari bahasa Mandarin
Kalimat inti: Adik mempelajari
Inti kalimat: Adik mempelajari bahasa Mandarin

2. Penelitian - penelitian mutakhir memusatkan perhatian pada makanan dari soya, yang
ternyata dapat membantu mencegah kanker payudara.
Kalimat inti: Penelitian - penelitian memusatkan
Inti kalimat: Penelitian - penelitian memusatkan perhatian
6. MATERI KALIMAT EFEKTIF
Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan maksud penutur/penulis
secara tepat sehingga maksud itu dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula.
Dengan kata lain kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mencapai sasarannya dengan baik
sebagai alat komunikasi.
Kalimat efektif memiliki diksi (pilihan kata) yang tepat, tidak mengalami kontaminasi
frasa, sesuai ketentuan EYD, baik penulisan tanda baca dan penulisan kata. Selain itu kalimat
efektif juga memiliki enam syarat keefektifan , yaitu adanya kesatuan, kepaduan, kepararelan,
ketepatan, kehematan, dan kelogisan.

a) Kesatuan
Kesatuan dalam kalimat efektif adalah dengan adanya ide pokok (S dan P) sebagai kalimat
yang jelas.
Contoh :
 Bagi yang tidak berkepentingan dilarang masuk.(salah) K P
 Yang tidak berkepentingan dilarang masuk. (benar) S P

b) Kepaduan
Kepaduan teijadinya hubungan yang padu antara unsur-unsurpembentuk kalimat. Yang
termasuk unsur pembentuk kalimat adalah kata, frasa, tanda baca, dan fungsi sintaksis S-P-O-
Pel-Ket. Kepaduan juga menyangkut pemakaian kata tugas yang tepat.
Contoh:
1. Kepada setiap pengemudi mobil harus memiliki surat izin mengemudi. (tidak mempunyai
subjek/subjeknya tidak jelas). (salah)
2. Setiap pengemudi mobil harus memiliki surat izin mengemudi (subjeknya sudah jelas).
(benar)
3. Kami telah membicarakan tentang hal itu. (salah)
4. Kami telah membicarakan hai itu. (benar)

c) Keparalelan
Keparalelan adalah pemakaian bentuk gramatikal yang sama untuk bagian - bagian kalimat
tertentu. Umpamanya alam sebuah perincian jika unsur pertama menggunakan verba (kata
kerja) dan seterusnya juga harus verba. Jika unsur pertamanya nomina (kata benda), bentuk
berikutnya juga harus nomina.
Contoh :
1. Kami telah merencanakan membangun pabrik, membuka hutan, pelebaran jalan desa, dan
membuat tali air. (salah)
2. Kami telah merencanakan membangun pabrik, membuka hutan, melebarkan jalan desa,
dan membuat tali air. (benar)
3. Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha? (salah)
4. Kakakmu menjadi dosen atau menjadi pengusaha? (benar)

d) Ketepatan
Ketepatan adalah kesesuain/kecocokan pemakaian unsur - unsur yang membangun suatu
kalimat sehingga terbentuk pengertian yang bulat dan pasti.
Contoh :
1. Karyawan teladan itu memang tekun belajar dari pagi sehingga petang. (salah)
2. Karyawan teladan itu memang tekun belajar dari pagi sampai petang. (benar)
e) Kehematan
Kehematan yaitu hemat pemakaian kata atau kelompok kata. Dengan kata lain tidak
mengalami gejala bahasa pleonasme. Dengan hemat kata, diharapkan kalimat menjadi padat
berisi.
Contoh :
1. Hanya ini saja yang dapat saya berikan. (salah)
2. Hanya ini yang dapat saya berikan. (benar)
3. Ini saja yang dapat saya berikan. (benar)

f) Kelogisan
Kelogisan di sini adalah terdapatnya arti kalimat yang logis/masuk akal. Supaya efektif, kata
- kata dalam sebuah kalimat tidak boleh menimbulkan makna ambigu (ganda) atau tidak
boleh mengandung dua pengertian.
Contoh:
a) Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-57.(salah)
Alasan : Seolah-olah ada 57 negara Republik Indonesia.
b) Hari kemerdekaan ke-57 Republik Indonesia, (benar)
c) Kepada Bapak Gubemur waktu dan tempat kami persilahkan. (salah)
Alasan : Waktu dan tempat tidak mungkin kami persilahkan.
d). Bapak Gubemur kami persilahkan. (benar)

Kesalahan Dalam Kalimat


Beberapa kesalahan yang teijadi dalam kalimat, diantaranya kalimat kontaminasi,
ketidakjelasan unsur S dan P dalam kalimat, gejala pleonasme dalam kalimat, dan
penggunaan kata yang salah dalam kalimat.
a) Kalimat Kontaminasi
Kalimat kontaminasi atau kalimat rancu adalah kalimat yang kacau susunannya, namun
kekacauan susunan kata dalam kalimat itu sifatnya khas. Dikatakan khas karena adanya
pembentukan satu kalimat yang kurang tepat dari dua kalimat yang benar sehingga gagasan
kalimatnya menjadi kabur atau tidak jelas.

Contoh :
1. Melalui kursus ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan
keterampilan. (salah)
Bagian pertama kalimat di atas melalui kursus ini; bagian keduanya diharapkan
bermanfaat untuk...
Hubungan bagian pertama dan kedua tidak cocok. Kalau kita bertanya ,”Apa yang
diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan?” Jawabnya bukan “melalui kursus
ini.” Jawaban yang tepat adala “kursus ini”. Kalau bagian pertama ingin dipertahankan
seperti itu, maka bagian kedua harus diubah menjadi: diharapkan dapat ditingkatkan
keterampilan. Mari kita kembalikan kalimat pertama yang rancu itu kepada dua buah kalimat
asalnya yang benar. Perhatikan kalimat asal itu.

a. Kursus ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan. (benar).


b. Melalui kursus ini diharapkan dapat ditingkatkan keterampilan. (benar).
Contoh kalimat kontaminasi lain, yaitu :
1. Dalam perutnya mengandung racun. (salah)
2. Dalam perutnya terkandung racun.(benar)
3. Perutnya mengandung racun. (benar)
b) Ketidakjelasan Unsur Subjek dan Predikat dalam Kalimat
Pada sebagian kalimat yang tidak jelas unsur S dan tidak memiliki unsur P akan membuat
ketidakefektifan dan hanya memiliki unsur lain seperti O, Ket dan Pel.
Contoh :
1. Di antara beberapa negara Eropa Barat berupaya membuat heli antitank untuk menekan
biaya bersama. (tidak jelas unsur S)
2. Negara Eropa Barat berupaya membuat heli antitank untuk menekan biaya bersama. (jelas
unsur S)
3. Ayah ke kantor jam tujuh pagi. (tidak ada unsur P)
4. Ayah pergi ke kantor jam tujuh pagi. (ada unsur P)

c) Gejala Pleonasme dalam Kalimat


Yang dimaksud dengan gejala pleonasme dalam kalimat adalahpenggunaan unsur kata atau
bahasa yang berlebihan.
Contoh :
1. Para tamu-tamu mulai datang ke pesta itu. (salah)
2. Para tamu mulai datang ke pesta itu. (benar)
3. Tamu-tamu mulai datang ke pesta itu. (benar)
4. Sejak dari terminal sampai pesawat, Pamella diikuti terus oleh para wartawan asing (salah)
5. Sejak terminal sampai pesawat, Pamella diikuti terus oleh para wartawan asing.(benar)
6. Dari terminal sampai pesawat, Pamella diikuti terus oleh para wartawan asing. (benar)
d) Penggunaan Kata yang Salah dalam Kalimat

Beberapa penggunaan kata yang salah dalam kalimat diantaranya penggunaan kata
”kalau” yang salah, penggunaan kata “di” yang salah, penggunaan kata ’’daripada” salah, dan
pengulangan kata.
1. Penggunaan Kata “Kalau” yang Salah
Kadang - kadang kita melihat pemakaian kata kalau yang kurang tepat sebagai unsur
penghubung antar klausa seperti yang akan diperhatikan pada contoh di bawah ini. Kata kalau
kita gunakan di depan klausa yang bersifat kondisional (syarat). Isinya menyatakan sesuatu
yang mungkin,namun dapat juga sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan atau mungkin
tercapai. Dalam hal seperti yang disebutkan terakhir itu, kata sambung kalau dapat diganti
dengan kata lain yang menyatakan ketidakmungkinan itu, yaitu kata umpamanya, seandainya,
andai kata dan sekiranya.
Contoh:
a. Kalau engkau bersungguh-sungguh belajar, engkau akan lulus dalam ujian nanti. (benar)
b. Kalau engkau menjadi burung, biarlah aku menjadi dahan tempatmu bertengger. (salah)
Kalimat 2 klausa bersyarat itu berisi sesuatu yang mustahil. Mana mungkin orang akan
menjelma menjadi burung. Karena isinya mengandung ketidakmungkinan makna, kata kalau
dapat diganti dengan kata lain, misalnya andai kata, umpamanya, dan sekiranya.
Contoh:
a. Andai kata engkau menjadi burung, biarlah aku menjadi dahan tempatmu bertengger.
(benar)

2. Penggunaan Kata Depan “Di” yang Salah Penggunaan kata depan


“di” yang salah, di antaranya:
a. Pakaian itu disimpannya di dalam lemari. (salah)
b. Pakaian itu disimpannya dalam lemari. (benar karena kata depan “di” dihilangkan)
c. Perkara itu di atas tanggungan sayalah. (salah)
d. Perkara itu atas tangungan sayalah. (benar karena kata depan “di” dihilangkan)
3. Penggunaan Kata “Daripada” yang Salah
a. Penggunaan kata “daripada” yang salah, di antaranya:
b. Pukulan smash daripada Icuk menghujam tajam. (salah)
c. Pukulan smash Icuk menghujam tajam. (benar)
d. Hati kita sedih melihat daripada penderitaan korban bencana itu. (salah)
e. Hati kita sedih melihat penderitaan korban bencana itu. (benar)

4. Pengulangan Kata
Pengulangan kata yang teijadi dalam kalimat, misalnya:
a. Setahunnya hanya menghasilkan sekitar 200 film setahun. (salah)
b. Setahun hanya menghasilkan 200 film. (benar)
7. MATERI PARAGRAF
a. Pengertian Paragraf
Paragraf adalah kesatuan pokok pikiran yang terdiri atas beberapa kalimat. Sebuah
paragraf terdiri atas satu pokok pikiran atau satu gagasan utama. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), paragraf adalah bagian bab dalam suatu karangan, biasanya
mengandung satu ide pokok dan penulisannya dimulai dengan garis baru.

b. Tujuan Membentuk Paragraf


Penulisan paragraf sering ditandai dengan penulisan kalimat yang menjorok ke dalam. Selain
itu, penulis dapat menentukan spasi untuk membedakan jarak antar paragraf.
Tujuan membentuk paragraf, yaitu:
• membedakan penulisan dalam merinci ide pokok;
• membedakan pembaca dalam memahami pokok pikiran suatu karya tulis, dan
• memberikan perhentian yang formal sehingga pembaca dapat beristirahat.

c. Fungsi Paragraf
Menurut Alek dan Achmad (2011), fungsi paragraf antara lain:
• Mengekspresikan gagasan tertulis ke dalam kalimat yang tersusun secara logis;
• Menandai pergantian gagasan baru setiap paragraf;
• Memudahkan penulis dalam mengatur gagasan, dan
• Memudahkan pembaca dalam memahami tulisan.

d. Jenis-Jenis Paragraf

Paragraf Naratif
Paragraf naratif adalah jenis paragraf yang menampilkan peristiwa secara kronologis
dan memiliki alur gagasan yang pasti. Jenis paragraf ini biasanya digunakan sebagai media
dalam teknik menulis yang menuntut penggambaran alur cerita yang runtut dan jelas.
Struktur jenis paragraf naratif biasanya banyak digunakan dalam teks fiksi yang
menggunakan “kisah” sebagai topik utamanya.
Ciri-ciri jenis paragraf naratif adalah ada sebuah peristiwa, ada seorang pelaku, ada
waktu dan latar kejadian yang jelas. kejadian yang diceritakan dalam jenis paragraf naratif
adalah urut atau kecenderungan memiliki alur yang jelas, misalnya alur maju.
Jenis paragraf naratif dibedakan lagi berdasarkan jenis cerita, yakni narasi
ekspositoris dan narasi sugestif. paragraf narasi ekspositoris menampilkan informasi
peristiwa yang tepat untuk pembaca ketahui. Sedangkan paragraf narasi sugestif
menampilkan kisah fiksi yang sifatnya imajinatif.

Paragraf Deskriptif
Paragragraf deskripsi adalah jenis paragraf yang menggambarkan objek dalam teks
dengan lengkap dan jelas sehingga pembaca mendapat gambaran objek dengan nyata. Teknik
menulis paragraf ini mengandalkan indra, jadi pembaca seolah-olah bisa benar-benar melihat,
mendengar, meraba, merasa objek yang diceritakan dalam paragraf. Objek yang yang
dideskripsikan dalam paragraf dapat berupa manusia, benda, tempat, waktu atau masa, dan
sebagainya.
Jenis paragraf deskripsi memiliki ciri-ciri menggambarkan benda, orang, makhluk,
tempat dan sebagainya dengan detail dan jelas. penggambaran yang ditampilkan merupakan
hasil indra (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan perabaan) sang penulis.
Paragraf Ekspositif
Paragraf ekspositif adalah jenis paragraf yang menampilkan kejadian suatu peristiwa
dengan tujuan menceritakan kembali atau Reteller. Teknik menulis paragraf ini yakni
menyajikan peristiwa atau objek dengan cara menjelaskan, menerangkan, dan
memberitahukan informasi tertentu agar pembaca mengetahuinya. Jenis paragraf ini
mengandung unsur 5W+1H (What, Who, When, Why, dan How). Gaya penulisan pada jenis
paragraf ekspositif adalah bersifat informatif.

Bedanya dengan jenis paragraf deskriptif adalah paragraf ekspositif dapat pula
menginformasikan sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh alat indra. Jenis paragraf ekspositif
memiliki ciri-ciri menampilkan definnis dan menampilkan langkah-langkah , metode atau
cara melakukan sesuatu tindakan. Jenis paragraf ekspositif antara lain eksposisi definisi,
klasifikasi, proses, ilustrasi, berita, pertentangan, perbandingan, dan analisis.

Paragraf Persuasif
Paragraf Persuasif adalah jenis paragraf yang menempatkan gagasan untuk membujuk
atau mengajak pembaca melakukan sesuatu sesuai dengan maksud sang penulis. Struktur
paragraf persuasif memiliki unsur ajakan, anjuran, atau pemberitahuan pada pembaca dengan
maksud tertentu. dalam paragraf ini sang penulis perlu menampilkan bukti, data dan fakta
untuk menyakinkan pembaca.
Jenis paragraf persuasif memiliki ciri-ciri yang meyakini bahwa pikiran manusia
dapat diubah dan dipengaruhi. itulah sebabnya jenis paragraf ini harus berhasil meyakinkan
pembaca, yakni menciptakan kesepakatan atau penyesuaian melalui kepercayaan antara
penulis dan pembaca. Hal ini agar maksud dari teks dapat tersampaikan seutuhnya. Dalam
jenis paragraf persuasif data dan fakta menjadi hal penting yang perlu digali oleh penulis agar
teks yang mereka hasilkan berkualitas, alih-alih mengajak pembaca tetapi juga memberi
mereka pengetahuan yang luas.

Paragragraf Argumentatif
Paragraf argumentatif adalah jenis paragraf yang menyampaikan ide, gagasan, atau
pendapat dari sang penulis terhadap isu tertentu yang disertai dengan data dan fakta. Dalam
jenis paragraf ini penulis mengutarakan pendapat beserta alasannya. Jenis paragraf ini
bertujuan meyakinkan pembaca bahwa ide , gagasan, atau pendapat sang penulis adalah benar
dan dapat dibuktikan. Paragraf argumentasi memiliki ciri-ciri penjelasan yang padat terhadap
sesuatu agar pembaca percaya. Jenis Paragraf ini biasanya menampilkan sumber ide dari
pengamatan, analisis, atau pengalaman. Kemudian paragraf argumentatif akan ditutup dengan
kalimat kesimpulan. Jenis paragraf Argumentasi memiliki tiga pola, yakni pola analogi, pola
generalisasi, dan pola hubungan sebab akibat.
Jenis paragraf argumentatif dengan pola analogi menampilkan penalaran induktif
dengan membandingkan dua hal untuk menampilkan fakta. Paragraf argumentatif dengan
pola generalisasi menampilkan penalaran induktif dengan cara menarik kesimpulan secara
keseluruhan berdasarkan sejumlah data dan fakta. Sedangkan paragraf argumentatif dengan
pola hubungan sebab akibat menampilkan fakta khusus yang menjadi penyebab dan akan
menghasilkan kesimpulan tertentu sebagai akibat.
Jenis Paragraf Berdasarkan Letak Gagasan Utama

1. Paragraf Deduktif
paragraf deduktif adalah jenis paragraf yang gagasan utamanya berada diawal. jenis paragraf
ini bersifat deduksi yang gagasannya berkembang dari umum ke khusus. Kalimat utama
paragraf deduktif berada di awal paragraf, sedangkan kalimat penjelas berada tepat setelah
kalimat utamanya. Jenis paragraf deduktif memiliki ciri yang ditemukan yakni gagasan utama
atau ide pokok berupa pernyataan umum.

2. Paragraf Induktif
Paragraf induktif adalah jenis paragraf yang berkebalikan dari paragraf deduktif,
yakni gagasan utama paragraf induktif berada di akhir kalimat dalam paragraf. Jenis paragraf
induktif pasti akan diawali dengan penyebutan peristiwa khusus atau penjelasan yang
berfungsi untuk mendukung gagasan utama. Jenis paragraf ini memiliki ciri-ciri
menggunakan konjungsi seperti “jadi”, “akhirnya”, “akibatnya”, “oleh karena itu”, “maka
dari itu”, berdasarkan uraian di atas”, “dengan demikian”, untuk menghubungkan kalimat
pendukung dengan kalimat gagasan utama.

3. Paragraf Ineratif
Paragraf ineratif adalah jenis paragraf yang menampilkan gagasan pokoknya di tengah
paragraf. Jenis paragraf ini memiliki pola khusus-umum-khusus atau kalimat penjelas-kalimat
utama-kalimat penjelas. Kalimat penjelas di awal paragraf ini memiliki fungsi sebagai
pengantar atau pembuka. sementara kalimat utama berada ditengah sebagai gagasan utama
dalam paragraf ini. Selanjutnya masih ada kalimat penjelas di akhir paragraf yang berfungsi
sebagai penegasan atau kesimpulan.

Ciri-ciri Paragraf
1. Paragraf terdiri atas rentetan/kumpulan kalimat
2. Rentetan/kumpulan kalimat itu saling berkaitan
3. Rentetan/kumpulan kalimat itu menyatakan satu unit gagasan

Sistematika Paragraf
1. Kalimat topik,
2. Kalimat penjelas, dan
3. Kalimat penyimpul.
Kalimat topik memuat gagasan dasar yang tersusun atas: inti gagasan dasar dan
pembatas gagasan dasar. Inti gagasan dasar menjadi subjek (pokok) dalam kalimat topik.
Adapun pembatas gagasan dasar memberikan isyarat atau menjadi rambu-rambu untuk
membuat kalimat penjelas.

Kalimat penjelas memberikan penjelasan:


1. Alasan atau sebab-musabab,
2. Kenyataan atau bukti,
3. Penjelasan dengan angka-angka konkret, dan
4. Penguat yang dikutip dari sumber lain. Kalimat penyimpul menempati bagian akhir suatu
paragraf. Kalimat ini berisi ringkasan isi kalimat topik dan kalimat penjelas.

Anda mungkin juga menyukai