Anda di halaman 1dari 7

BAB II

RAGAM BAHASA INDONESIA

A. Standar Kompetensi: memiliki pemahaman yang memadai mengenai ragam


bahasa Indonesia dan dapat menggunakannya secara tepat
sesuai dengan konteks yang ada sebagai dasar terwujudnya
integrasi nacional dan harmoni sosial
B. Kompetensi Dasar: menyikapi ragam bahasa Indonesia dalam bertutur

C. Indikator :
1. menjabarkan ragam bahasa Indonesia
2. mendeskripsikan perbedaan antara dialek geografis dan dialek sosial dalam bahasa
Indonesia
3. mendeskripsikan kaitan antara ragam bahasa Indonesia yang digunakan dan sikap
terhadap bahasa Indonesia
4. mendeskripsikan terjadinya gejala interferensi dalam penggunaan bahasa Indonesia
5. menggunakan ragam bahasa Indonesia yang tepat sesuai dengan konteks yang ada
sehingga terwujud adanya integrasi nacional dan harmoni sosial di masyarakat

D. Uraian Materi
Bahasa Indonesia bukanlah sistem yang tunggal. Sebagai bahasa yang hidup dan ber-
kembang serta dipergunakan dalam pelbagai ranah kehidupan dan bermacam ragam
penuturnya, bahasa Indonesia, mau tidak mau, tunduk pada hukum perubahan. Arah
perubahan itu tidak selalu tidak terelakkan karena setiap orang dapat mengubah bahasa secara
berencana. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula memberi pengaruh pada
timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Setiap ragam dalam bahasa Indonesia
mempunyai fungsinya masing-masing sesuai dengan ranah pemakaiannya. Ragam bahasa
yang beraneka macamnya itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing
berbagi teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan
kata, serta tata makna, pada umumnya sama. Itulah sebabnya, masih bisa dipahami oleh
seseorang ketika orang lain berbahasa Indonesia walaupun seseorang itu dapat mengenali
adanya perbedaan-perbedaan pada orang lain itu dalam mewujudkan bahasa Indonesianya.
Menurut Moeliono (1997), ragam bahasa Indonesia dapat ditinjau dari sudut
pandang penutur dan menurut jenis pemakaiannya. Di samping itu, masih terdapat ragam
bahasa Indonesia berdasarkan situasi pemakaiannya. Akan tetapi, khusus untuk ragam
berdasarkan situasi yang mencakup ragam bahasa Indonesia baku dan ragam bahasa
Indonesia nonbaku akan dipaparkan dalam bab tersendiri.

1. Ragam Bahasa Indonesia Berdasarkan Pandangan Penutur


Ditinjau dari sudut pandangan penutur, ragam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi tiga ragam: (1) ragam daerah penutur, (2) ragam pendidikan penutur, dan (3) ragam
sikap penutur.
1.1 Ragam Menurut Daerah Penutur
Ragam daerah dikenal juga dengan nama logat atau dialek geografis. Bahasa
yang menyebar luas selalu mengenal dialek geografis. Setiap dialek atau logat dapat
dipahami secara timbal-balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang
daerah geografisnya berdampingan. Jika di dalam wilayah pemakaiannya orang tidak mudah
berhubungan, karena kediaman mereka dipisahkan oleh pegunungan, selat, dan lautan, atau
karena minimnya sarana perhubungan, misalnya, lambat laun dialek itu, dalam
perkembangannya, akan banyak berubah sehingga akhirnya dianggap bahasa yang
berbeda satu sama lain. Itulah yang terjadi, dahulu, dengan dialek-dialek bahasa
Nusantara (Lama) yang sekarang disebut bahasa Bali, Jawa, Sunda, Batak, dan bahkan
Tagalog. Dialek-dialek geografis bahasa Indonesia yang dikenal sekarang, berkat sarana
perhubungan yang lebih baik dan sempurna lewat pesawat terbang, kapal laut, mobil, radio,
televisi, dan surat kabar, agaknya tidak akan berkembang menjadi bahasa-bahasa yang
tersendiri.
Dialek daerah paling kentara karena tata bunyinya. Dialek bahasa Indonesia yang
dilafalkan oleh warga Tapanuli, misalnya, dapat dikenali karena tekanan katanya yang amat
jelas. Demikian juga logat bahasa Indonesia orang Bali dan Jawa segera dikenali karena
pelaksanaan bunyi /t/, /d/, dan /g/-nya. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, turun-naiknya
nada, dan panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda.
Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tentu ada juga, tetapi mungkin kurang tampak.
Ragam dialek dengan sendirinya erat berhubungan dengan bahasa ibu penutur.

1.2 Ragam Menurut Pendidikan Penutur


Ragam bahasa Indonesia menurut pandidikan penutur menunjukkan perbedaan yang
jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan kaum yang tidak berpendidikan formal.
Tata bunyi bahasa Indonesia golongan yang kedua berbeda dengan fonologi kaum terpelajar
atau yang berpendidikan formal. Bunyi /f/, /v/, dan gugus konsonan akhir /ks/, misalnya,
tidak selalu terdapat dalam ujaran orang yang tidak atau hampir tidak bersekolah. Bentukan
pasif, fitnah, film, fakultas, variasi, televisi, November, kompleks, dan tripleks, misalnya,
yang dikenal di kalangan orang berpendidikan bervariasi dengan bentukan pasip, pitenah,
pilem, pakultas, pariasi, telepisi, Nopember, komplek, dan triplek dalam ragam bahasa
Indonesia orang yang tidak beruntung dapat menikmati pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah. Perbedaan kedua ragam itu juga tampak dalam tata bahasa. Kalimat Saya mau tulis
itu surat ke pamanku atau Saya sudah buang sampah itu, misalnya, cukup jelas maksudnya.
Akan tetapi, bahasa Indonesia yang terpelihara menuntut agar bentuknya menjadi Saya mau
menulis surat itu kepada paman saya atau Sudah saya buang sampah itu. Rangkaian kata
dalam bahasa Indonesia dapat disusun menjadi kalimat bahasa Indonesia, tetapi tidak setiap
kalimat bahasa Indonesia termasuk bahasa Indonesia yang terpelihara.
Bahasa Indonesia kaum terpelajar atau orang yang berpendidikan, yang lazimnya
dipertautkan dengan bahasa Indonesia persekolahan, berciri pemeliharaan. Lembaga
pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, badan kehakiman, pers, radio, televisi, mimbar
agama, dan profesi ilmiah, singkat kata, setiap lembaga yang hendak berbahasa Indonesia
dengan khalayak ramai akan menggunakan ragam bahasa yang berpendidikan.

1.3 Ragam Menurut Sikap Penutur


Ragam bahasa Indonesia menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak
bahasa Indonesia yang masing-masing, pada dasarnya, tersedia bagi setiap pemakainya.
Ragam ini sering disebut dengan istilah langgam atau gaya. Pemilihannya bergantung pada
sikap penutur terhadap mitra tutur atau lawan yang diajak berbicara atau terhadap
pembacanya. Sikap itu dipengaruhi, antara lain, oleh umur dan kedudukan yang disapa,
pokok persoalan yang disampaikan, dan tujuan penyampaian informasinya. Dalam hal
ragam bahasa Indonesia menurut sikap penutur ini, pebahasa dihadapkan pada pemilihan
bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap seseorang, seperti yang baku
resmi, yang beradab, yang dingin, yang hambar, yang hangat, yang akrab, atau yang santai.
Perbedaan berbagai gaya itu tercermin melalui kosakata dan tata bahasa.
Sebagai contoh, bisa disikapi perbedaan penggunaan kata dan tata bahasa seseorang yang
memberikan laporan kepada atasan, memarahi orang lain, membujuk anak, menulis surat
kepada kekasih, menulis surat tidak masuk sekolah, dan mengobrol dengan sahabat karib.
Walaupaun begitu, teras (atau inti sari bersama) dalam gaya bahasa yang bermacam-macam
itu masih dapat dikenali.
Kemampuan menggunakan berbagai gaya itu, pada hakikatnya, terjangkau oleh
setiap orang dewasa. Akan tetapi, kemahiran itu tidak datang dengan sendirinya. Kemampuan
semacam itu harus diraih dengan pelatihan dan pengalaman. Untuk mencapai maksud itu,
diperlukan kematangan, kepekaan, dan kearifan yang memungkinkan penutur mengamati dan
mencontoh gaya orang yang dianggapnya cocok dengan situasi dan kondisi tertentu.
Penerapan gaya bahasa yang sama dalam suasana yang berbeda dapat menimbulkan kesan
kemiskinan batin. Di sisi lain, dengan hanya menguasai satu gaya dalam berbahasa Indonesia
di kalangan masyarakat yang luas, dapat menimbulkan anggapan bahwa dengan bahasa
Indonesia orang seakan-akan tidak dapat bergaul dengan akrab, hangat, dan mesra.

2. Ragam Bahasa Indonesia Berdasarkan Jenis Pemakaian


Ragam bahasa berdasarkan jenis pemakaiannya dapat diperinci menjadi sebagai
berikut: (1) ragam menurut pandangan bidang atau pokok persoalan, (2) ragam menurut
sarananya, dan (3) ragam yang mengalami gangguan pencampuran.
2.1 Ragam Menurut Bidang Persoalan
Setiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam sejumlah lingkungan masyarakat
yang adat-istiadat atau tata cara pergaulannya mungkin berbeda-beda. Perbedaan itu terwujud
pula dalam pemakaian bahasanya. Keadaan ini melahirkan dialek sosial. Seseorang yang
ingin turut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang
berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang
cocok dengan bidang atau pokok persoalan itu. Jumlah ragam yang dimilikinya agak terbatas
karena bergantung pada luas pergaulannya, pendidikannya, profesinya, kegemarannya, dan
pengalamannya. Bidang yang dimaksudkan itu adalah bidang-bidang seperti agama, politik,
ilmu, teknologi, pertukangan, perdagangan, seni sastra, seni rupa, olah raga, hukum atau
perundang-undangan, dan angkatan bersenjata.
Peralihan ragam sering berkisar pada pemilihan sejumlah kata atau ungkapan yang
khusus digunakan dalam bidang atau pokok persoalan yang bersangkutan. Sekadar contoh,
istilah-istilah seperti sembahyang, magrib, pendeta, dan karmapala, khusus digunakan dalam
ranah atau bidang agama; kata-kata seperti partai, pemilihan umum, rapat umum, dan
organisasi, digunakan khusus dalam ranah politik; serta istilah-istilah sajak, bait, unsur
intrinsik, dan tema, khusus digunakan dalam ranah seni sastra. Di samping itu, ada juga
variasi dalam tata bahasanya. Dalam hal tata bahasa ini, dapat disikapi pada bangun-bangun
kalimat seperti yang tersusun dalam uraian resep dapur, wacana ilmiah, undang-undang,
surat keputusan, wawancara, doa, iklan, dan telegram. Dalam karangan ilmiah, misalnya,
penulisnya sering menghindari pemakaian kata aku atau saya. Sebagai penggantinya, sering
digunakan penulis atau bentuk di- (pasif). Pemakaian ragam menurut bidang atau pokok
persoalan sering didasari oleh praanggapan terhadap adanya ragam bahasa yang lain, seperti
kalimat-kalimat yang berhubungan dengan pokok persoalan dalam bidang ekonomi atau
manajemen yang mempersyaratkan pemakaian ragam bahasa orang yang berpendidikan
formal.

2.2 Ragam Menurut Sarananya


Ragam bahasa menurut sarananya biasa dikelompokkan atas ragam lisan dan
ragam tulisan. Berhubung dengan tiap-tiap masyarakat bahasa memiliki ragam lisan,
sedangkan ragam tulisan baru muncul kemudian, persoalan yang perlu ditelaah adalah cara
orang menuangkan ujarannya (ragam lisannya) ke dalam bentuk tulisan. Bahasa Melayu sejak
dahulu dianggap orang berperan sebagai lingua franca. Bahasa perhubungan dalam dunia
perdagangan itu, untuk sebagian besar penduduk Indonesia, berupa ragam lisan untuk
keperluan yang terbatas. Bahkan sampai saat ini, oleh berjuta-juta orang yang masih belum
melek huruf, bahasa Indonesia yang dikuasainya hanyalah ragam lisannya.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai perbedaan yang mencolok di antara
ragam lisan (ujaran) dan ragam tulisan. Yang pertama berhubungan dengan suasana
peristiwanya. Jika digunakan sarana tulisan, ada praanggapan bahwa orang yang diajak
berbahasa tidak ada di hadapan penutur. Implikasinya, bahasa itu perlu lebih terang dan
jelas karena bahasa yang digunakan itu tidak disertai dengan gerak isyarat, pandangan atau
perubahan mimik muka, sebagai penegasan di pihak pembicara atau pemahaman di pihak
pendengar. Itulah sebabnya, kalimat dalam ragam tulisan harus lebih cermat sifatnya. Fungsi-
fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan objek, serta hubungan di antara fungsi-fungsi
itu masing-masing, harus nyata; tidak demikian halnya dalam ragam lisan, karena penutur
bahasa berhadapan atau bersemuka, unsur-unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
Seseorang yang halus rasa bahasanya akan sadar bahwa kalimat yang ditulisnya berlainan
dengan kalimat dalam ujarannya, dapat dibaca oleh banyak orang, dapat dikaji dan dinilai
dengan lebih mudah. Oleh karena itu, pebahasa sepatutnya berhati-hati sehingga mau
berusaha agar kalimatnya lengkap, lebih ringkas, dan elok jika dibandingkan dengan kalimat
ujaran atau ragam lisannya. Bentuk akhir kalimat ragam tulisan tidak jarang berupa hasil pe-
nyuntingan beberapa kali.
Hal yang kedua yang membedakan ragam lisan dengan ragam tulisan berhubungan
dengan beberapa upaya yang digunakan dalam ujaran, seperti tinggi-rendahnya dan panjang-
pendeknya suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan atau dan tata tulis
yang dimiliki. Jadi, penulis sering harus merumuskan kembali kalimat-kalimatnya jika ia
ingin menyampaikan jangkauan makna yang sama lengkapnya atau ungkapan perasaan yang
sama teliti dengan ujarannya. Harus diakui dan perlu ditambahkan di sini bahwa ragam
tulisan juga mempunyai kelebihannya. Upaya dalam bentuk-bentuk seperti huruf kapital,
huruf miring, tanda kutip, alinea atau paragraf tidak mengenal padanannya yang sama
jelasnya dengan atau dalam ragam lisan.
Pada dasarnya, setiap penutur bahasa dapat memanfaatkan kedua ragam lisan dan
tulisan tersebut sesuai dengan keperluannya. Walaupun demikian, tidak dapat diharapkan
bahwa orang yang kurang mendalam proses belajarnya mampu menggunakan ragam tulisan
sama dan sebangun dengan keterampilan orang terpelajar. Pokok pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah sebenarnya berkisar pada peningkatan keterampilan dan kefasihan
dalam kedua ragam tersebut. Ragam lisan dan ragam tulisan masih mengenal kendala atau
hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih mudah dituangkan ke
dalam ragam yang satu daripada ragam yang lain. Laporan keuangan dengan tabel bilangan
dan grafik atau uraian kimia yang berisi lambang yang berisi unsur dan rumus hidrolisis,
misalnya, lebih mudah disusun dan dibaca dalam bentuk tulisan daripada dilisankan. Begitu
pula peraturan perundang-undangan yang bangun kalimatnya sering bersusun-susun.
Sebaliknya, laporan pandangan mata tentang pertandingan olah raga sulit dipahami dan
dinikmati orang jika direkam secara harfiah dalam bentuk tulisan.
Jika berbicara mengenai pembakuan bahasa Indonesia dari sudut ragam ini, sebagian
besar perhatian tertuju pada pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis, seperti ejaan, pilihan
kata, dan struktur kalimat, sedangkan ragam lisan hampir-hampir tidak tersentuh. Menurut
Amran Halim (dalam Alwi dan Sugono, 2003), salah satu penyebabnya adalah karena ragam
lisan dapat diumpamakan sebagai seekor belut, begitu licin. Dipegang kepalanya ekornya
melenting sehingga
lepas, dipegang ekornya, kepalanya lepas. Berbicara mengenai ejaan, misalnya, dengan
mudah dapat dibicarakan tentang pembakuannya. Ibarat mempergunakan mesin ketik, semua
orang menggunakan mesin ketik yang sama, maka huruf akan sama. Akan tetapi, jika
menggunakan ragam lisan, ceritanya tidak sama. Tuhan itu Mahakaya: bukan hanya sidik
jari yang berbeda, melainkan juga alat bicara. Jika Indonesia memiliki 230 juta orang
penduduk, terdapat 230 juta perangkat alat bicara yang menyebabkan setiap orang
mempunyai identitasnya sendiri. Karena itulah, ragam lisan bahasa Indonesia sangat sulit
dibakukan (Sudiara, 2008).
Sebenarnya, ragam lisan sifatnya primer (speech is primary), sedangkan ragam tulis
adalah sekunder. Selama ini, dalam bahasa Indonesia, yang dibicarakan dan dibakukan orang
adalah ragam tulis melalui pelambangan. Jika berbicara tentang ragam lisan bahasa
Indonesia, sebenarnya ada ragam lisan nasional yang ciri-cirinya belum pernah dirumuskan,
di samping ragam lisan regional, seperti ragam lisan Jawa, Minangkabau, Medan, Bali, dan
Makassar dengan masing-masing cirinya yang diakui. Ragam lisan nasional terdiri atas ragam
lisan nasional resmi dan ragam lisan nasional tidak resmi. Di antaranya, ada ragam lisan
resmi yang dijadikan ragam lisan tidak resmi dan ada ragam lisan tidak resmi yang dijadikan
ragam lisan resmi, seperti ragam lisan dalam iklan. Ragam lisan resmi dapat didengarkan,
seperti dalam warta berita, yang ragam lisannya dianggap baik. Ragam lisan resmi tidak
ditentukan oleh pembicaranya, tetapi ditentukan oleh ciri-ciri ragam nasionalnya. Jadi,
ukurannya bukan orangnya, melainkan lafalnya (Halim dalam Alwi dan Sogono [ed.], 2003).
Ragam lisan tidak resmi dapat dijumpai dalam berbagai macam pertemuan, seperti
dalam tanya-jawab pada kongres, yang diatur atau pun yang tidak diatur oleh pemandu. Di
pihak lain, ragam lisan regional dapat dipecah-pecah menjadi ragam lokal, seperti ragam
regional Bali dibagi atas ragam regional lokal Bali Utara dan Bali Selatan, ragam regional
Sunda terdiri atas ragam regional lokal Sumedang, Cirebon, Sukabumi, dan Tasikmalaya.
Ragam regional lokal ini tidak dapat diketahui secara pasti jumlahnya.

2.3 Ragam Menurut Gangguan Pencampuran


Ragam bahasa yang mengalami gangguan pencampuran ini setidaknya dapat
mengarah pada dua hal, yaitu campur kode dan interferensi. Campur kode merupakan
percampuran unsur- unsur bahasa yang berbeda (terutama dalam penggunaan kosakata)
dalam satu satuan bentuk ujar (lisan atau tulisan), sedangkan interferensi merupakan ragam
bahasa yang timbul akibat adanya percampuran pola dua bahasa atau lebih (yang satu dengan
yang lainnya berbeda) dalam diris eorang dwibahasawan pada saat mewujudkan satu satuan
tindak ujar. Walaupun diakui bahwa dalam kontak bahasa ada proses pengaruh-memengaruhi
di antara bahasa-bahasa yang digunakan secara berdampingan, seperti halnya di Indonesia,
keleluasaan saling memengaruhi itu ada batasnya. Selama pemasukan unsur-unsur bahasa
lain (bahasa daerah dan bahasa asing) ke dalam bahasa Indonesia, mengisi kekosongan
atau memperkaya kesinoniman dalam kosakata atau bangun kalimat, gejala itu dianggap
wajar. Akan tetapi, jika unsur bahasa yang bersangkutan mengganggu rasa bahasa atau
mengganggu keefektifan penyampaian informasi, ragam bahasa Indonesia yang dicampuri
unsur-unsur masukan itu wajar ditolak.
Kenyataannya, batas antara pencampuran yang mengganggu dan yang tidak
mengganggu itu tidak selalu jelas. Banyaknya unsur pungutan yang berasal dari bahasa Jawa,
misalnya, dianggap memperkaya bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa
asing (seperti bahasa Inggris dan Belanda) oleh sebagian orang dianggap sebagai pencemaran
terhadap keaslian dan kemurnian bahasa Indonesia. Lafal bahasa Indonesia yang kedaerah-
daerahan (seperti kesunda- sundaan atau kebatak-batakan) agaknya masih dapat diterima;
tidak demikian halnya dengan lafal bahasa Indonesia yang kebelanda-belandaan. Apa
pun ruang lingkup ragam bahasa yang mengalami gangguan percampuran itu,
dalam pengajaran bahasanya, sekolah (lembaga pendidikan) melalui guru bahasa
Indonesianya, memiliki tugas mengenali gejala-gejalanya dan meniadakannya dalam ujaran
dan tulisan para subjek didiknya.
Ikhtisar ragam bahasa Indonesia di atas mencerminkan bahwa khasanah bahasa
Indonesia jalin-menjalin. Jalinan akan menjadi jelas dengan contoh berikut. Orang dari Bali
(logat), lulusan perguruan tinggi (pendidikan) menulis karangan (sarana) tentang adat orang
Terunyan (bidang) untuk majalah sekolah siswa SMA (sikap). Atau, seorang pemuda Batak
(logat) mengobrol (sarana) dengan santai (sikap) tentang pertandingan sepak bola (bidang)
dengan teman karibnya (sikap).
Tingkat kemahiran orang mewujudkan berbagai ragam bahasa dalam suatu
paparan berbeda-beda antara yang satu dan yang lainnya. Pertanyaan yang mungkin diajukan
adalah, “Dapatkah seseorang menguasai semua ragam yang terpakai dalam bahasanya?”
Dalam teori dinyatakan bahwa jika masyarakat yang bersangkutan sangat sederhana sifatnya
dan perike- hidupannya serba seragam, tidak mustahil orang mencapai kemahiran itu.
Sebaliknya, jika masyarakat bahasa sudah majemuk coraknya (seperti situasi, kondisi,
dan bidang persoalan), hampir dapat dipastikan bahwa tidak mungkin orang mengenal dan
memahiri semua ragam bahasanya dengan lengkap (Moeliono, 1997). Berkenaan dengan hal
itu, perlu disadari bahwa jumlah ragam yang dipahami seseorang biasanya lebih besar
daripada jumlah ragam yang dikuasainya. Hal itu juga berlaku bagi pengetahuan seseorang
tentang kosakata dan tata bahasa. Dalam praktiknya, orang juga tidak perlu mempelajari
semua ragam yang tersedia. Lembaga pendidikan, misalnya, tidak wajib mengajarkan
ragam bahasa orang yang tidak berpendidikan; demikian juga, ragam kelompok khusus
(slang) tidak perlu dimasukkan dalam pengajaran bahasa. Yang perlu diketengahkan kepada
subjek didik ialah kenyataan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bongkah emas yang murni
sepuluh karat, melainkan merupakan sebuah gumpalan yang unsur- unsurnya mungkin
berupa emas tulen, emas tua, emas muda, dan mungkin juga tembaga. Semua ragam itu
termasuk bahasa Indonesia, tetapi tidak semuanya dapat disebut sebagai anggota
“bahasa Indonesia yang baik dan benar”.
Di samping ragam yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih ada lagi ragam
bahasa Indonesia menurut situasi pemakaiannya yang menyangkut ragam baku dan ragam
nonbaku. Pemahaman dan penggunaan ragam bahasa Indonesia secara tepat sesuai dengan
konteks tuturan yang ada tentu dapat dijadikan sebagai dasar terwujudnya integrasi nacional
dan harmoni sosial. Mengenai ragam baku dan ragam nonbaku bahasa Indonesia ini akan
dipaparkan dalam bab tersendiri.

E. Rangkuman
(1) Ragam bahasa Indonesia dapat dilihat dari sudut pandang penutur dan dari sudut
pandang jenis pemakaiannya.
(2) Ditinjau dari sudut pandang penutur, ragam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi tiga ragam: (a) ragam daerah penutur, (b) ragam pendidikan penutur, dan (c) ragam
sikap penutur.
(3) Ragam bahasa berdasarkan jenis pemakaiannya dapat diperinci menjadi sebagai ber ikut:
(a) ragam menurut bidang atau pokok persoalan, (b) ragam menurut sarananya, dan (c) ragam
yang mengalami gangguan pencampuran.
(4) Terdapat kaitan yang erat antara ragam bahasa Indonesia yang digunakan dan
sikap penutur terhadap bahasa Indonesia.

F. Soal
Untuk memantapkan pemahaman Saudara, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut
ini!
1. Mengapakah bahasa Indonesia memiliki banyak ragam dan bagaimanakah kaitan
pemakaian ragam bahasa tersebut dengan upaya mewujudkan adanya integrasi
nasionaldan harmoni sosial? Jelaskanlah jawaban Saudara!
2. Apakah yang membedakan antara dialek geografis dan dialek sosial? Jelaskanlah
jawaban Saudara disertai dengan contoh ilustrasinya!
3. Ragam bahasa Indonesia yang digunakan penutur berkaitan dengan sikap yang
bersangkutan terhadap bahasa Indonesia. Bagaimanakah kaitan itu? Jelaskanlah
jawaban Saudara!
4. Apakah yang dimaksud dengan interferensi? Bagaimanakah interferensi itu bisa terjadi?
Jelaskanlah jawaban Saudara dengan menyertakan contoh-contoh!
5. Jika Saudara menulis skripsi atau tugas akhir menggunakan bahasa Indonesia, ragam
bahasa yang manakah yang Saudara gunakan? Jelaskanlah jawaban Saudara!

G. DAFTAR PUSTAKA

Halim, Amran. 2003. Ragam Lisan Bahasa Indonesia (dalam Alwi dan Sugono [ed.]).

Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Depdiknas.

Kridalaksana, Harimurti. 1978. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende - Flores: Nusa Indah.

Moeliono, Anton M. (pen.). 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Sudiara, I Nyoman Seloka. 2008. Pencerahan Bahasa: Serial Pembinaan Bahasa Indonesia.
(Risalah tidak diterbitkan). Singaraja: Undiksha.

Suharianto, S. 1981. Kompas Bahasa: Pengantar Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar.
Surakarta: Widya Duta.

Anda mungkin juga menyukai