Anda di halaman 1dari 17

REVIEW

terhadap Artikel Humaniora 2018

“POLA VARIASI BAHASA JAWA

(KAJIAN SOSIODIALEKTOLOGI PADA

MASYARAKAT TUTUR DI JAWA TENGAH)”

FITRI FAJARIA SALSABILA

NIM 210110201102

Review ditulis untuk memenuhi tugas

Matakuliah Dialektologi

Pengampu: Dr. Asrumi, M. Hum

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS JEMBER

2023
1. Pengantar
Bahasa merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Manusia
membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi guna mendukung keberlangsungan dalam
hidup sehari-hari. Latar belakang sosial, budaya, dan geografis menyebabkan bahasa
memiliki jenis yang beranekaragam. Wujuk dari keanekaragaman ini tampak pada jumlah
bahasa yang masih digunakan di dunia, yaitu 7.097 bahasa (Ethnologue,2016).
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak jenis bahasa, ada sekitar 707
bahasa daerah aktif dari 719 bahasa daerah yang ada (Ethnologue, 2016). Salah satu
bahasa daerah yang penggunanya banyak adalah bahasa Jawa. Penutur bahasa Jawa
mencapai 84.308.740 jiwa (Ethnologue, 2016). Penutur bahasa Jawa hampir
menyelimuti semua daerah di Indonesia.
Bahasa jawa ini digunakan sebagai bahasa ibu oleh suku Jawa, terutama yang
tinggal di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Provinsi Jawa
Timur. Di samping itu, bahasa jawa juga digunakan oleh sejumlah penduduk yang
menempati daerah-daerah lain seperti Jawa Barat. Sebagai bahasa ibu masyarakat suku
Jawa, bahasa Jawa telah menjadi bahasa pertama masyarakat Jawa dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Walaupun demikian, kdudukan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama,
beberapa fungsinya telah diambil alih oleh bahasa Indonesia yang telah ditetapkan
sebagai bahasa negara.
2. Pembahasan
 VARIASI BAHASA
Pada hakikatnya, dalam kenyataan pemakaiannya, bahasa tidaklah monolotik,
melainkan bervariasi. Berdasarkan sumbernya, kevariatifan babahasa dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu variasi internal dan eksternal (Nababan, 1986:16). Variasi
internal adalah variasi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam bahasa itu
sendiri. misalnya, variasi fonologis suatu fonem sebagai akibat pengaruh fonem lain yang
mendahului atau mengikutinya. Sehubungan dengan variasi eksternal tersebut, Halliday
(1970: 139) membedakan variasi ini berdasarkan dua hal, yakni pemakai dan
pemakaiannya.
Berdasarkan pemakaiannya, variasi bahasa dibedakan menjadi variasi bahasa
perseorangan yang disebut idiolek, dan variasi kelompok yang biasa dikenal dengan
istilah dialek. Variasi bahasa berdasarkan daerah asal pemakai (dialek geografis) dan
status sosial pemakai (dialek sosial). Berdasarkan pemakaiannya, variasi bahasa tersebut
dikenal dengan istilah ragam atau register.
 TEORI SOSIODIALEKTOLOGI

Chambers dan Trudgill (1980:3) menegaskan bahwa dialektologi adalah studi tentang
dialek. Kajian ini mempelajari bahasa dalam dialek yang berbeda dengan suatu bahasa
sebagai suatu sistem yang meliputi tataran kebahasaan. Variasi kebahasaan yang dikaji
merupakan variasi yang berdasarkan perbedaan kelompok-kelompok masyarakat atau
sosial dalam dialek tertentu. Sosiodialektologi merupakan kajian antarbidang, yakni
bidang sosiolinguistik dan dialektologi. Dasar kajiannya adalah dialektologi
menggunakan metode sosiolinguistik dalam pemetaan variabel sosial penutur dialek itu.

Kedudukan kajian dialektologi tidak dapat dipisahkan dengan kajian sosiolinguistik


karena tata kerjanya melibatkan penutur-penutur masyarakat bahasa yang dipelajari.
Dalam tata kerjanya, dialektologi dapat melakukan pengkajian terhadap berbagai dialek
di Indonesia, baik dialek geografi maupun sosial. Studi dialektologi tidak hanya
mempelajari variasi bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis, tetapi variasi
bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosialnya juga dikaji, misalnya variasi dalam
bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan sebagainya.

Dengan mengambil kasus desa Celapar (Jateng bagian Selatan), Koentjaranigrat


(dalam Soewito, 1983:25) membedakan kelas sosial masyarakat Jawa menjadi empat
tingkat secara vertikal, yaitu wong cilik, wong saudagar, priyayi, dan ndara, di samping
perbedaan horisontal, yaitu wong abangan dan santri. Berdasarkan kelas sosial yang
seperti itu, dalam masyarakat Jawa dikenal berbeagai variasi bahasa, baik yang
digunakan di antara anggota-amggotanya secara interen maupun antar kelas sosial.

Bahasa yang dipergunakan di kalangan wong cilik lain dengan bahasa priyayi dan lain
pula dengan wong saudagar. Bahasa orang-orang yang tidak berpenidikan lain dengan
bahasa orang-orang yang berpendidikan dan lain pula dari bahasa santri. Variasi
demikian termasuk dialek sosial yang kekhususan pemakaian bahasanya oleh
sekelompok penutur karena perbedaan kelas atau status sosialnya dengan kelompok
penutur lain. Di samping itu, terdapat pula perbedaan variasi karena perbedaan kelas atau
status sosial antarpenuturnya (Soewito, 1983:25).

 PENGKRAMAAN

Istilah pengkramaan dimaksudkan sebagai konsep penjadian atau pengadaan krama.


Pengkraaan dalam bahasa Jawa merupakan suatu hal yang penting dan perlu mendapat
perhatian karena bahasa Jawa tidak bisa dilepaskan dari tingkat tutut. Tingkat tutur ini
tentunya berdasarkan pada tingkat sosial penuturnya. Oleh karena itu, kajian tentang
dialek sosial bahasa Jawa di Jawa Tengah memperlihatkan keberagaman fenomena yang
menarik. Masalah pengkramaan yang dibicarakan di sini dibatasi pada gejala
pengkramaan yang bersifat menyimpang bila dibandingkan dengan sistem pengkramaan
yang berlaku dalam bahasa Jawa baku.

Penutur bahasa Jawa di Jawa Tengah, baik di titik pengamatan Klaten, Semarang, dan
Banyumas memperlihatkan adanya gejala pengkramaan dengan bentuk ngoko. Hal ini
terlihat pada data yang menunjukkan anggota badan, seperti pada data berikut.

Glos Ngoko Krama

‘hidung’ [irUη] [irUη]

‘telinga’ [kupIη] [kupIη]

‘kaki’ [sikIl] [sikIl]

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa penutur bahasa Jawa di Jawa Tengah, baik di
titik pengamatan Klaten, Semarang, dan Banyumas menggunakan krama inggil dengan
bentuk ngoko, meskipun kata-kata diatas sudah mempunyai bentuk krama inggil
tersendiri.

Selain dengan bentuk ngoko, pengkramaan kata-kata tertentu dalam bahasa Jawa
di Kabupaten Banyumas dan Semarang juga dilakukan dengan bahasa Indonesia. Hal ini
terlihat pada data berikut.
Kabupaten Banyumas

Glos ngoko krama


‘urat’ [ɔtɔt] [urat]
‘bungsu’ [bɔntɔt] [buηsu]
Kabupaten Semarang
Glos ngoko krama
‘urat’ [ɔtɔt] [urat]
Kabupaten Klaten
Glos ngoko krama
‘kamar mandi’ [kolah] [kamar mandi]
‘kebaya’ [bayak] [kəbaya]

Data di atas memperlihatkan bahwa pengkramaan dilakukan dengan


menggunakan bahasa Indonesia. penutur yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bentuk krama adalah responden nonpegawai muda. Hal ini baragkali bisa dipahami
karena penguasaan mereka terhadap bahasa Jawa memang sedikit rendah, terutama
perbendaharaan kosa katanya.

3. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dari tulisan ini dapat disimpulkan
bahwa variasi kebahasaan bahasa Jawa di Jawa Tengah di titik pengmatan Banyumas,
Klaten, dan Semarang dapat terjadi pada tataran pengkramaan. Pemakaian bahasa Jawa di
titik pengamtan Banyumas, Klaten, dan Semarang memperlihakan kekhasan dalam
pengkramaan dan pengokoan. gejala pengkramaan ini menunjukkan penyimpangan bila
dibandingkan dengan sistem pengkraman yang berlaku. Macam pengkramaan yang
dijumpai adalah pengkramaan dengan bentuk ngoko dan pengkramaan dengan bahasa
Indonesia. Faktor-faktor sosial yang berupa pendidikan, usia, dan pekerjaan berpengaruh
terhadap wujud kebahasaan baha Jawa dan wujud pemakaian bahasa Jawa di Jawa
Tengah di titik pengamatan Banyumas, Klaten, dan Semarang.
REVIEW

terhadap jurnal Metahumaniora 2021

“PENGGUNAAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA

PADA KOMUNITAS PASAR KREMPYENG PON-KLIWON

DI DESA NGILO-ILO KABUPATEN PONOROGO”

FITRI FAJARIA SALSABILA

NIM 210110201102

Review ditulis untuk memenuhi tugas

Matakuliah Dialektologi

Pengampu: Dr. Asrumi, M. Hum

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS JEMBER

2023
1. Pengantar
Dalam hidup bermasyarakat, antara satu manusia dengan manusia lain memiliki
hubungan yang saling membutuhkan untuk bertahan hidup. Hubungan dan sikap saling
membantu disebut dengan interaksi. Interaksi yang terjadi memerlukan media agar dapat
berjalan dengan semestinya. Karena interaksi, maka bahasa dilibatkan sebagai media
penunjang keberhasilan setelah unsur pelaku yang menjadi syarat utama terjadinya suatu
interaksi.
Bahasa merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Manusia
membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi guna mendukung keberlangsungan dalam
hidup sehari-hari. Latar belakang sosial, budaya, dan geografis menyebabkan bahasa
memiliki jenis yang beranekaragam. Wujuk dari keanekaragaman ini tampak pada jumlah
bahasa yang masih digunakan di dunia, yaitu 7.097 bahasa (Ethnologue,2016).
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak jenis bahasa, ada sekitar
707 bahasa daerah aktif dari 719 bahasa daerah yang ada (Ethnologue, 2016). Salah satu
bahasa daerah yang penggunanya banyak adalah bahasa Jawa. Penutur bahasa Jawa
mencapai 84.308.740 jiwa (Ethnologue, 2016). Penutur bahasa Jawa hampir
menyelimuti semua daerah di Indonesia.
Bahasa jawa ini digunakan sebagai bahasa ibu oleh suku Jawa, terutama yang
tinggal di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Provinsi Jawa
Timur. Di samping itu, bahasa jawa juga digunakan oleh sejumlah penduduk yang
menempati daerah-daerah lain seperti Jawa Barat. Sebagai bahasa ibu masyarakat suku
Jawa, bahasa Jawa telah menjadi bahasa pertama masyarakat Jawa dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Walaupun demikian, kdudukan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama,
beberapa fungsinya telah diambil alih oleh bahasa Indonesia yang telah ditetapkan
sebagai bahasa negara.
Penggunaan bahasa Jawa pun masih memperhatikan adanya tingkat tutur atau
unggah-ungguh basa. Tingkat tutur bahasa Jawa ada dua seperti yang disampaikan oleh
Sasangka (2009: 128) yang menegaskan bahwa secara emik, unggah-ungguh bahasa Jawa
dapat dibedakan menajdi dua, yaitu ngoko dan krama. Kemudian secara etik unggah-
ungguh bahasa Jawa terdiri atas ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan krama alus.
Dua tingkatan tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Ragam ngoko atau bahasa yang menempati tataran terendah dalam bahasa Jawa
yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi antarsebaya yang di antara penutur
dengan mitra tutur tidak berjarak. Artinya, dalam komunikasi yang dilakukan oleh
penutur dengan mitra tutur tidak melibatkan rasa segan. Pada ragam ini di tandai dengan
adanya penggunaan kata dalam ragam bahasa Jawa ngoko yang dapat mengalami afiksasi
dalam bentuk ngko, misalnya di-, -e dan -ake. Varian dari ragam ngoko adalah ngoko
lugu dan ngoko alus.
Ragam krama atau bahasa yang menempati tataran tinggi dalam bahasa Jawa
yang digunakan untuk berkomunikasi antara penutur dengan mitra tutur dengan
memberikan jarak. Artinya, antara penutur dan mitra tutur melibatkan rasa segan dengan
maksud memberikan rasa hormat. Pada ragam ini di tandai dengan addanya penggunaan
kata dasar dalam bahasa Jawa krama yang dapat mengalami afiksasi afiks dipun-, -ipun,
dan -aken atau pemunculan afiks pada ragam ngoko seperti di-,-e, dan -ake pada ragam
krama lugu. Ragam krama alus dapat mengalami afiksasi dipun-, -ipun, dan -aken
Penggunaan tingkat tuutur bahasa Jawa pada masyarakat pasar Krempyeng POn-
Kliwon berfungsi sebagai tolak ukur sopan santun baik penjual maupun pembeli. Dengan
adanya keunikan dalam proses transaksi pada komunitas pasar Krempyeng Pon-Kliwon
maka menarik jika dilakukan penelitian. Hal yang menarik pertama adalah penggunaan
tingkatan bahasa Jawa dalam proses transaksi pada komunitas pasar Krempyeng Pon-
Kliwon.
Tingkatan bahasa Jawa yang digunakan oleh penjual maupun pembeli pada saat
waktu hari pasaran yakni hari Pon dan Kliwon sesuai dengan kebutuhannya dalam
berkomunikasi. Kedua, hal menarik adalah penggunaan dua tingkat tutur bahasa Jawa
dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang masih banyak yang tidak mampu
menggunakan bahasa Indonesia sebagai media berkomunikasi, sehingga masyarakat yang
akan berbelanja menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan penggunaan. Dalam melayani
pembeli, penjual turut menggunakan dua tingkat tutur bahasa Jawa agar tercapai
kesepahaman maksud.
Berdasarkan keunikan bahasa masyarakat pasar Krempyeng Pon-Kliwon yang
bergerak di bidang perdagangan di Kabupaten ponorogo menerapkan penggunaan bahasa
Jawa sesuai tingkatannya, dilakukan penelitian ini. Keunikan tersebut berdasarkan
kebutuhan dalam proses transaksi sehingga penelitian ini berjudul “Penggunaan Tingkat
Tutur Bahasa Jawa Pada Komunitas Pasar Krempyeng Pon-Kliwon di Desa Ngilo-ilo
Kabupaten Ponorogo.”
2. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan tingkatan bahasa
jawa pada komunitas Pasar Krempyeng Pon-Kliwon, diperoleh data dengan dua tingkat
tutur bahasa Jawa yang digunakan yakni bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa krama.
Data dianalisis mulai dari jenis tingkatan bahasa Jawa yang digunakan. Selanjutnya
ditunjukkan bukti serta alasan yang menunjukkan digunakannya tingkatan bahasa Jawa.
Kemudian dijabarkan mengenai hubungan antar penutur dan mitra tuutrnya. Barulah
kemudia dijabakan mengani fungsi digunakannya tingkatan bahasa Jawa tersebut.
Adapun data percakapan tuturan penjual dan pembeli yang menggunakan tingkatan
bahasa Jawa di Pasar Krempyeng Pon-Kliwon yang dianalisis adalah sebagai berikut.
1) Penjual 1: Kapan le balik, Ndhuk? (Kapan pulangnya, Ndhuk?)
Pembeli 1: Sampun dangu wonten griya (Sudah lama di rumah)
Penjual 1: Owalah pacak eneng corona ya? (Oh, sejak ada corona ya?)

Bahasa yang digunakan oleh penjual 1 terhadap pembeli 1 pada data diatas
termasuk pada tataran bahasa Jawa ngoko. Penggunaan bahasa Jawa ngoko ditandai
dengan adanya kata kerja yaitu balik. Diketahui, penjual 1 memiliki usia yanng lebih tua
daripada pembeli 1. Penggunaan bahasa jawa ngoko karena penjual 1 tidak berjarak
dengan pembeli 1, artinya pembeli 1 tidak melibatkan rasa segan dalam menggunakan
bahasa Jawa ngoko. Adapun fungsi penggunaan bahasa Jawa ngoko yang digunakan oleh
penjual 1 terhadap pembeli 1 adalah bentuk keakraban atau tidak berjarak dikarenakan
faktor usia. Kata sapaan “Ndhuk” pada tuturan penjual merupakan bentuk keakraban
terhadap pembelli 1 sebagai gadis dalam masyarakat Jawa. Pembeli 1 merasa dihargai
dan disapa penjual dengan hangat agar barang dagangannya dibeli.
Bahasa Jawa yang digunakan oleh pembeli terhadap penjual 1 pada data diatas
termasuk pada tataran bahasa Jawa krama. Penggunaan bahasa Jawa krama ditandai
dengan adanya penggunaan kata sifat dangu. Selanjutnya penggunaan kata benda yaitu
grita. Diketahui bahwa, pembeli 1 memiliki usia lebih muda daripada penjual 1. Adapun
fungsi penggunaan bahasa Jawa krama yang digunakan oleg pembeli 1 terhadap penjual
1 adalah bentuk penghormatan dikarenakan penjual 1 memilki usia yang lebih tua
daripada pembeli 1.

3. Kesimpulan
Bahasa Jawa ngoko atau bahasa yang menempati tataran terendah dalam bahasa
Jawa biasanya digunakan untuk berkomunikasi antarseaya yang di antara penutur dengan
mitra tutur tidak berjarak. Dalam komunitas pasar Krempyeng Pon-Kliwon, bahasa Jawa
ngoko digunakan oleh penjual dengan penjual, penjual dengan pembeli, maupun pembeli
dengan pembeli tanpa melibatkan rasa segan.
Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa Jawa ngoko adalah penutur yang
memiliki kedudukan atau status sosial tinggi dalam masyarakat kepada mitra tutur yang
memiliki kedudukan atau status sosial di bawahnya. Bahasa Jawa krama atau bahasa
yang menempati tataran tertinggi dalam bahasa Jawa, biasanya digunakan untuk
menunjukkan rasa hormat. Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa Jawa krama
adalah karena penutur memiliki usia lebih muda dan mitra tutur memiliki usia lebih tua.
Apabila dihubungkan dengan kegiatan ekonomi yang ada di pasar Krempyeng
Pon-Kliwon, penggunaan bahasa Jawa krama memiliki peran penting yaitu sebagai
penunjuk kesan baik penjual maupun pembeli agar mempengaruhi harga jual maupun
harga tawar suatu barang. Pembeli ingin harga barang yang ditawar diturunkan,
sedangkan penjual ingin barang dagangannya laku. Dalam hal ini terdapat hubungan
pemakaian bahasa dengan kepentingan ekonomi para pelibat transaksi di Pasar
Krempyeng Pon-Kliwon, yakni penjual dan pembeli. Selain itu, bahasa Jawa krama juga
diguankan oleh penutur yang memiliki status sosial rendah atau sedang terhadap mitra
tutur yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Penggunaan bahasa Jawa krama juga
dijumpai karena faktor hubungan kekeluargaan.
REVIEW

terhadap jurnal Fakultas Bahasa dan Budaya, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
“VARIAN LEKSIKON BAHASA JAWA MASYARAKAT SAMIN DESA
KLOPODHUWUR KABUPATEN BLORA”

FITRI FAJARIA SALSABILA

NIM 210110201102

Review ditulis untuk memenuhi tugas

Matakuliah Dialektologi

Pengampu: Dr. Asrumi, M. Hum

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS JEMBER

2023
1. Pengantar

Bahasa merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Manusia
membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi guna mendukung keberlangsungan dalam
hidup sehari-hari. Latar belakang sosial, budaya, dan geografis menyebabkan bahasa
memiliki jenis yang beranekaragam. Wujuk dari keanekaragaman ini tampak pada jumlah
bahasa yang masih digunakan di dunia, yaitu 7.097 bahasa (Ethnologue,2016).
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak jenis bahasa, ada sekitar
707 bahasa daerah aktif dari 719 bahasa daerah yang ada (Ethnologue, 2016). Salah satu
bahasa daerah yang penggunanya banyak adalah bahasa Jawa. Penutur bahasa Jawa
mencapai 84.308.740 jiwa (Ethnologue, 2016). Penutur bahasa Jawa hampir
menyelimuti semua daerah di Indonesia.
Bahasa jawa ini digunakan sebagai bahasa ibu oleh suku Jawa, terutama yang
tinggal di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Provinsi Jawa
Timur. Di samping itu, bahasa jawa juga digunakan oleh sejumlah penduduk yang
menempati daerah-daerah lain seperti Jawa Barat. Sebagai bahasa ibu masyarakat suku
Jawa, bahasa Jawa telah menjadi bahasa pertama masyarakat Jawa dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Walaupun demikian, kdudukan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama,
beberapa fungsinya telah diambil alih oleh bahasa Indonesia yang telah ditetapkan
sebagai bahasa negara.
Di desa Klopodhuwur kabupaten Blora Jawa Tengah masih ada komunitas samin
yang hidup di tengah masyarakat non-samin. Meskipun hidup ditengah masyarakat non-
samin, komunitas samin tetap memepertahankan bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka
menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang
ditunjukkan. Bahasa dalam hal ini dimaksudkan satuan lingual yang muncul dalam
tuturan masyarakat samin sebagai upaya komunikatif untuk mendukung tradisi yang
dianutnya. Hal ini sesuai dengan fungsi khas bahasa (Sudaryanto, 1990:21) yaitu sebagai
pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama antar penutur-penuturnya.
Masyarakat samin yang hidup di tengah-tengah masyarakat berbahasa Jawa
ternyata mengembangkan variasi kebahasaan yang berbeda dengan bahasa Jawa
umumnya. Fenomena ini perlu dikaji lebih lanjut untuk menghindari terjadinya
kemungkinan salah paham antara komunitas Samin dan komunitas Jawa di sekitarnya
akibat perbedaan variasi kebahasaan yang digunakan.
Orang Samin memiliki keyakinan bahwa manusia hanya bisa memanfaatkan
sumber daya alam namun tidak memilikinya. Contoh dari implikasi keyakinan ini
misalnya ketika seseorang meminta air kepada orang Samin dengan mengatakan “aku
njaluk banyumu” yang berarti ‘aku minta airmu’ maka reaksi umum orang Samin adalah
menolak memberi karena merasa tidak ikut memiliki. Namun apabila kalimat tersebut
diganti dengan “aku meh melu nganggoke banyumu” yang berarti ‘aku akan ikut serta
menggunakan airmu’ maka dengan senang hati air tersebut akan diberikan, karena orang
Samin berpendapat sumber daya alam mmang untuk digunakan bersama-sama manusia
lain.
Dari contoh kasus di atas, terlihat bahwa orang Samin sangat memperhatikan
makna leksikal yang terkandung dalam tututran. Orang Jawa pada umumnya tidak akan
terlalu peduli dengan perbedaan penggunaan istilah njaluk dan melu nganggoke selama
akibat yang ditimbulkan dari dua istilah di atas sama, yaitu bisa meminta air dari
seseorang.
2. Pembahasan
 VARIASI BAHASA
Pada hakikatnya, dalam kenyataan pemakaiannya, bahasa tidaklah monolotik,
melainkan bervariasi. Berdasarkan sumbernya, kevariatifan babahasa dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu variasi internal dan eksternal (Nababan, 1986:16). Variasi
internal adalah variasi yang disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam bahasa itu
sendiri. misalnya, variasi fonologis suatu fonem sebagai akibat pengaruh fonem lain yang
mendahului atau mengikutinya. Sehubungan dengan variasi eksternal tersebut, Halliday
(1970: 139) membedakan variasi ini berdasarkan dua hal, yakni pemakai dan
pemakaiannya.
Berdasarkan pemakaiannya, variasi bahasa dibedakan menjadi variasi bahasa
perseorangan yang disebut idiolek, dan variasi kelompok yang biasa dikenal dengan
istilah dialek. Variasi bahasa berdasarkan daerah asal pemakai (dialek geografis) dan
status sosial pemakai (dialek sosial). Berdasarkan pemakaiannya, variasi bahasa tersebut
dikenal dengan istilah ragam atau register.
 TEORI SOSIODIALEKTOLOGI

Chambers dan Trudgill (1980:3) menegaskan bahwa dialektologi adalah studi tentang
dialek. Kajian ini mempelajari bahasa dalam dialek yang berbeda dengan suatu bahasa
sebagai suatu sistem yang meliputi tataran kebahasaan. Variasi kebahasaan yang dikaji
merupakan variasi yang berdasarkan perbedaan kelompok-kelompok masyarakat atau
sosial dalam dialek tertentu. Sosiodialektologi merupakan kajian antarbidang, yakni
bidang sosiolinguistik dan dialektologi. Dasar kajiannya adalah dialektologi
menggunakan metode sosiolinguistik dalam pemetaan variabel sosial penutur dialek itu.

Kedudukan kajian dialektologi tidak dapat dipisahkan dengan kajian sosiolinguistik


karena tata kerjanya melibatkan penutur-penutur masyarakat bahasa yang dipelajari.
Dalam tata kerjanya, dialektologi dapat melakukan pengkajian terhadap berbagai dialek
di Indonesia, baik dialek geografi maupun sosial. Studi dialektologi tidak hanya
mempelajari variasi bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis, tetapi variasi
bahasa yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosialnya juga dikaji, misalnya variasi dalam
bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan variasi bahasa
adalah perbedaan-perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan
tersebut mencakup semua unsur kebahasaan, yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis,
leksikon, dan semantik.

 LEKSIKON BAHASA JAWA

Leksikon menurut Kridalaksana (1993:98) adalah komponen bahasa yang memuat


semua informasi tenteng makna dan pemakaian kata dalam bahasa. Cabang linguistik
yang mempelajari kata atau leksikon disebut leksikologi.

Bahasa Jawa kaya akan perbendaharaan kata atau leksikon. Hal ini disebabkan
karena tingkat tutur yang beragam dan wilayah pemakaian bahasa Jawa yang luas
sehingga menyebabkan leksikon yang ada bertambah variatif. Suatu perbedaan disebut
perbedaan dalam leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan
suatu makna yang sama tidak berasal dari satu etimon prabahasa. Semua perbedaan
bidang leksem selalu berupa variasi.
Leksikon dalam suatu bahasa dapat memperlihatkan kekayaan kata yang berasal
dari bahasa tersebut, begitu juga dengan leksikon yang verasal dari bahasa lain yang
digunakan dalam bahasa itu. Masuknya leksikon yang berasal dari bahasa lain menambah
kekayaan leksikon bahasa tersebut.

 VARIASI PEMAKAIAN LEKSIKON BAHASA JAWA MASYARAKAT


SAMIN BERDASARKAN ASPEK SOSIAL BUDAYA

Variasi pemakaian leksikon bahasa Jawa masyarakat Samin berdasarkan


aspek sosial budaya terlihat pada bentuk-bentuk berikut,

No Gloss BJB BJMS


1 Bekerja [kərjɔ] [gəbyah macUl]
2 Punya hajat [duwə gawə] [adaƞ, akɛh]
3 Bekerja di tempat orang yang [rewaƞ] [kərukunan]
punya pesta
4 Minta [njalu?] [mɛlU nganggɔ]
5 Laki-laki, perempuan [kakuƞ-putri] [lanaƞ-wɛdok]
6 Mencuri [maliƞ] [mbedɔg nyɔlɔƞ]
7 Iri hati [mɛri] [dreƞki srɛl]

 LEKSIKON BAHASA JAWA MASYARAKAT SAMIN DALAM


PENDIDIKAN ETOS KERJA
Masyarakat Smin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama
dengan mencangkul di sawah. Setiap orang diharuskan mampu berlatih diri dan
bekerja dini guna mendapatkan kemakmuran hdiup. Dengan akal, manusia
mampu menentukan hal-hal yang paling tepat bagi kehidupannya. Seperti bunyi
pribahasa di kalangan masyarakat Samin, “janma lan sato iku prabedane aneng
jantraning laku. Janma wenang amurba lan misesa kahanan, dene sato
pinurbawasesa ing pranatamangsa. “Artinya, perbedaan antara manusia dan
hewan terletak pada perjalanan nasib yang mengikat. Manusia berhak menentukan
hal-hal yang paling tepat bagi hidupnya, sementara binatang hanya (mesti) tunduk
kepada aturan alam yang berhubungan dengan musim.
Agar mampu mendapatkan hasil yang baik dalam bekerja, manusia
membutuhkan usaha dan kesabaran. Dengan usaha dan kesabarn tersebut,
hambatan yang merintangi jalan kehidupannya tidak akan terjadi. Lakonana
sabar trokal, sabare dieling-eling. Trokale dilakoni (kerjakan sikap sabar dan
giat. Agar selalu ingat tentang kesabatan dan selalu giat giat dalam kehidupan).
Dalam konsep makna ‘bekerja’ dalam Bahasa Jawa masyarakat Samin dituturkan
dengan gebyah macul. Leksikon ini muncul karena pekerjaannya adalah brtani
yang setiap hari pergi ke sawah dan mencangkul.
3. Kesimpulan
Dalam pemakaian bahasa Jawa masyarakat Samin di Desa Klopodhuwur ditemukan
variasi leksikon berdasarkan aspek sosial budaya dan pendidikan etos kerja.
DAFTAR PUSTAKA

BIBLIOGRAPHYAlwasilah, A. C. (1993). Pengantar Sosiologi Bahasa. Angkasa Bandung.

Kemendikbud. (2018). Jumlah Bahasa Daerah versi SIL. Kemdikbud.


Koentjaraningrat. (1967). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat, H. (1993). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Nababan, P. (1993). Sosiolingustik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pateda, M. (2015). SOSIOLINGUISTIK. Bandung: Angkasa Bandung.
Sudaryanto. (1991). Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Suwito. (1985). Sosiolinguistik, Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset.

Anda mungkin juga menyukai