Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penuturnya, masyarakat suku

bangsa Jawa, untuk berkomunikasi, bekerja sama dan mengidentifikasikan diri.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa memiliki fungsi sebagai

(1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat

perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Halim, 1980). Bahasa Jawa

memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan

penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahasa daerah (Jawa)

akan dihormati dan dipelihara oleh negara termasuk pemerintah pusat atau pun daerah

(Hasan Alwi, 1996). Dengan memperhatikan fungsi bahasa daerah di dalam

penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dapat dipahami bahwa bahasa Jawa

dan bahasa-bahasa daerah lainnya perlu dilindungi—menyangkut sejarah nilai

budaya, dikembangkan—menyangkut tatabahasanya, dan dibina—menyangkut

masyarakatnya. Hal tersebut memerlukan koordinasi dan kerjasama antara lembaga

pemerintah, kalangan akademisi, bahkan masyarakat internal itu sendiri.

Dalam wikipedia bahasa menurut jumlah penutur asli, jumlah penutur asli

bahasa Jawa menduduki peringkat ke-15, yaitu 77,75 juta jiwa, dari seluruh penutur

asli bahasa lain di seluruh dunia. Jumlah ini dihitung dari nilai rata-rata (mean) data

Universitas Sumatera Utara


jumlah penutur asli bahasa Jawa dari Ethnologue (ETH) berjumlah 75,5 juta jiwa dan

“The World’s 10 Most Influential Languages” in Language Today (WEB) berjumlah

80 juta jiwa. Penutur asli bahasa Jawa tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa,

Sumatera, dan sekitarnya. Selebihnya tersebar ke berbagai penjuru di seluruh dunia,

dengan berbagai dialek geografisnya, seperti di Malaysia, orang Jawa eksis dengan

bahasa dan kebudayaan Jawa di Malaysia. Di sana terdapat kawasan pemukiman

orang Jawa yang dikenal dengan nama Kampung Jawa dan Padang Jawa. Di

Suriname, masyarakat Jawa juga berdomisili dalam jumlah besar—mencapai 15%

dari penduduk secara keseluruhan. Kemudian, orang Jawa juga tinggal di Kaledonia

Baru bahkan sampai kawasan Aruba, Curacao, Belanda, dan sebagian kecil bahkan

menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.

Di pulau Jawa, Bahasa Jawa dipakai di Jawa Tengah, Jawa Timur, beberapa

bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, dan Jawa Barat

khususnya kawasan Pantai utara dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan

Cirebon. Klasifikasi bahasa Jawa berdasarkan dialek geografis mengacu kepada

pendapat E.M. Uhlenbeck, (1964) di dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies

on the Languages of Java and Madura”. Bahasa Jawa terdiri atas kelompok Bahasa

Jawa Bagian Barat meliputi: dialek Banten, dialek Cirebon, dialek Tegal, dialek

Banyumas, dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok pertama ini

sering disebut bahasa Jawa Ngapak. Selanjutnya, kelompok Bahasa Jawa Bagian

Tengah meliputi: dialek Pekalongan, dialek Kedu, dialek Bagelen, dialek Semarang,

dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), dialek Blora,

Universitas Sumatera Utara


dialek Surakarta, dialek Yogyakarta, dialek Madiun. Kelompok tengah ini sering

disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta. Terakhir,

kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur meliputi: dialek Pantura Jawa Timur (Tuban,

Bojonegoro), dialek Surabaya, dialek Malang, dialek Jombang, dialek Tengger,

dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing). Kelompok timur ini sering disebut

Bahasa Jawa Timuran.

Penutur Bahasa Jawa juga tersebar di wilayah luar pulau Jawa. Kawasan-

kawasan luar Jawa yang didomisili penutur Jawa dengan persentase yang cukup

signifikan adalah di pulau Sumatera, yang meliputi Lampung—kira-kira 61%,

Bengkulu—kira-kira 25%, dan Sumatera Utara—kira-kira antara 15%--25%. Hal ini

dilatarbelakangi oleh faktor geografis dimana letak pulau Jawa dan Sumatera saling

berdekatan yang mengindikasikan hubungan masyarakat antarpulau lebih mudah

dilakukan dan proses perpindahan penduduk pun relatif mudah.

Masyarakat Jawa di Sumatera Utara, orang Jawa masuk melalui beberapa

tahapan. Berdasarkan sumber sejarah, tahapan pertama diawali sejak abad XII M

pada masa kerajaan Singosari. Tahapan kedua, pada masa penjajahan Hindia Belanda,

orang Jawa di pulau Jawa banyak direkrut melalui “werk” (agen pencari kuli) untuk

dipekerjakan di perkebunan di Sumatera Utara. Sebagian besar dari mereka juga tidak

kembali lagi ke pulau Jawa. Mereka menetap dan meneruskan generasi, hingga--

khususnya di wilayah Deli, orang Jawa kerap disebut sebagai Jawa Deli atau

Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Tahapan ketiga, orang Jawa di

Sumatera Utara masuk melalui program transmigrasi yang diselenggarakan sejak

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan Hindia Belanda hingga masa orde baru pemerintahan Republik

Indonesia. Tahapan keempat, orang Jawa masuk ke Sumatera Utara melalui

perantauan, tugas belajar, tugas kerja, dan lain-lain.

Selain dialek geografis, dalam bahasa Jawa juga dikenal dialek Sosial. Dialek

sosial merupakan variasi bahasa yang dipakai oleh penutur berdasarkan perbedaan

status, ragam (style), usia, dan gender. Dalam tata bahasa Jawa tingkatan-tingkatan

berbahasa ini dikenal dengan istilah undha usuk. Secara umum, dialek sosial Bahasa

Jawa dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas tiga ragam utama, yaitu: ragam ngoko

(kasar), ragam madya (tengah atau biasa), dan ragam kromo (halus). Namun, ragam

tersebut, kalau dikaji lebih spesifik, masih dapat dibagi menjadi beberapa subragam.

Ragam ngoko terdiri atas ngoko andhap (ngoko kasar) dan ngoko lugu (ngoko halus),

ragam madya terdiri atas madya kasar dan madyatara (madya halus), dan ragam

kromo terdiri atas ragam kromo kasar dan kromo inggil. Kemudian, ragam khusus

yang dipakai di lingkungan keraton (kerajaan) adalah bagongan dan kedhaton.

Ragam ini kurang difahami oleh masyarakat umum. Dengan kata lain, ragam

bagongan dan kedhaton hanya difahami oleh kalangan khusus yang memiliki

hubungan herarki dengan keraton. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa

ragam bahasa Jawa terdiri atas Ngoko, Madya, Krama, Bagongan, dan Kedhaton.

(Koentjaraningrat, 1984: 21--22)

Penggunaan variasi ngoko, madya, dan krama mengacu pada bentuk

penghormatan (ngajengake, honorific) dan perendahan (ngasorake, humilific).

Seseorang dapat berubah-ubah registernya tergantung pada bentuk penghormatan

Universitas Sumatera Utara


atau perendahan status lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi dalam

strata sosial, atau hal-hal lain. Contoh, seorang anak berbicara dengan sebayanya

akan menggunakan ragam ngoko. Namun, ketika berbicara dengan orang tuanya atau

orang yang usianya lebih tua darinya akan menggunakan ragam krama.

Penggunaan tingkatan ragam krama seperti tersebut di atas sangat kentara

diterapkan di wilayah Solo (Surakarta), Yogyakarta, dan sekitarnya. Wilayah

tersebut merupakan pusat perkembangan kebudayaan Jawa, yaitu pada jaman

kerajaan Mataram abad ke-19. Namun demikian, ragam krama langka digunakan oleh

penutur bahasa Jawa, khususnya di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kebudayaan

Jawa, misalnya Sumatera Utara. Persentase penuturnya hanya sedikit, itu pun dari

kalangan generasi tua. Selebihnya, penutur bahasa Jawa lebih dominan mengenal

ragam ngoko. Kemudian, jumlah kosa kata ragam kromo pun relatif sedikit jika

dibandingkan dengan ragam ngoko. Hal ini mengidikasikan bahwa ragam krama

merupakan ragam yang rumit, kurang komunikatif, dan identik dengan feodalisme

kekuasaan. Sebaliknya, ragam ngoko merupakan ragam bahasa Jawa yang lebih

komunikatif dan menyumbang keberlangsungan eksistensi bahasa Jawa hingga saat

ini. Selain itu, ragam ngoko juga penyumbang kosa kata terbesar dalam bahasa Jawa

jika dibandingkan dengan ragam lainnya.

Bahasa Jawa eksis di Medan, yang notabene merupakan pusat kebudayaan

Melayu Deli. Namun, dialek sosial ragam krama sangat langka ditemukan. Hanya

sebagian kalangan generasi tua yang masih menggunakannya. Itu pun dipakai hanya

dalam ranah upacara-upacara tradisi Jawa, seperti kenduri, khitananan, dan

Universitas Sumatera Utara


pernikahan. Selebihnya, dalam kehidupan sehari-hari nyaris tidak ditemui. Penutur

bahasa Jawa di Medan lebih dominan menggunakan ragam ngoko. Penggunaan ragam

ngoko pun diindikasikan sudah mengalami pergeseran, terutama dalam hal kosa kata

maupun intonasi. Hal ini disebabkan oleh adanya kontak dengan kebudayaan dan

bahasa lokal, yaitu bahasa Melayu Deli dan bahasa-bahasa lokal lainnya. Kontak

bahasa tersebut terjadi karena adanya pergaulan antarethnis yang mana bahasa yang

dominan akan mempengaruh pada bahasa tidak dominan.

Berdasarkan data statistik tahun 2000, kurang lebih 33,3% penduduk Medan

adalah ethnis Jawa. Hal ini tentunya bahasa Jawa turut memberi nuansa kebahasaan

di Medan. Namun, tidak berarti bahasa Jawa adalah bahasa yang dominan.

Kenyataannya, masyarakat Jawa sebagai pewaris bahasa Jawa memiliki sikap yang

cukup toleran terhadap bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Kenyataan ini

berimplikasi pada semakin berkurangnya penutur bahasa Jawa di Medan. Apalagi

penduduk Medan mempunyai ciri heterogenitas yang relatif tinggi yang menuntut

penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi antar

ethnis.

Berdasarkan pernyataan di atas, perlu diadakan penelitian perbandingan tentang

penutur bahasa Jawa di Medan dan penutur bahasa Jawa di Solo. Mengingat penutur

bahasa Jawa di Medan berkembang dengan latar belakang sosio-budaya Melayu Deli

dengan penutur bahasa Jawa di Solo yang berkembang dengan latar belakang sosio-

budaya Jawa.

Universitas Sumatera Utara


Selama ini, penelitian bahasa yang melibatkan dua wilayah geografis adalah

dialektologi. Dialektologi memfokuskan pada sisi signifikansi perbedaan kosakata

antar dua wilayah geografis. Dialek merupakan klasifikasi bahasa berdasarkan variasi

dari segi penutur. Namun, penelitian ini tidak mengacu pada konsep dialektologi

meskipun melibatkan segi penutur yang berada di dua wilayah geografis yang

berbeda. Penelitian ini mengutamakan aspek suprasegmental—dalam hal ini ciri-ciri

akustik/prosodi—tuturan pada penutur bahasa Jawa di Medan dan Solo. Alasannya,

dalam menentukan identitas penutur, orang lebih dominan berasumsi pada tuturan

yang dituturkan. Dengan kata lain, identitas penutur dapat dilihat dari asumsi logat—

intonasi bunyi/suara penutur. Seseorang dapat menebak seseorang menggunakan

dialek atau logat bahasa Jawa hanya dengan mendengar dan menandai logat dan

intonasinya, tanpa mengenal perbedaan kosa kata. Contoh, pola tuturan penutur

bahasa Jawa dialek Surabaya sangat berbeda dengan pola tuturan penutur bahasa

Jawa dialek Banyumas. Hal ini dapat diketahui hanya dengan mendengar tanpa harus

melakukan kajian dialektologi. Hanya saja, identifikasi melalui proses mendengar

pola tuturan tersebut tidak bisa dijadikan dasar dalam kajian ilmiah. Maka dari itu,

diperlukan kajian perbedaan suatu tuturan dialek bahasa berdasarkan ciri-ciri

akustiknya, yakni dengan mengukur frekuensi, durasi, dan intensitasnya dengan

menggunakan program praat, yaitu program yang didesain khusus untuk

mengidentifikasi ciri-ciri akustik suatu bunyi bahkan tuturan.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ini akan mengkaji ciri-ciri akustik tuturan bahasa jawa yang

dituturkan oleh penutur di Medan dan akan dibandingkannya dengan ciri-ciri akustik

tuturan bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur di Solo.

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan mengidentifikasi ciri-ciri akustik tuturan modus deklaratif

bahasa Jawa yang dituturkan berdasarkan klasifikasi gender, yaitu penutur bahasa

Jawa laki-laki di Deli (Medan) dibandingkan dengan ciri-ciri akustik tuturan modus

deklaratif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur bahasa Jawa laki-laki di Solo,

yang selama ini sering disebut sebagai penutur dialek bahasa Jawa standar.

Kemudian, penutur perempuannya juga dibandingkan. Kajian dibatasi pada ciri-ciri

akustik tuturan modus deklaratif performatif ragam ngoko bahasa jawa. Hal ini

didasari pada dua hal, yaitu (1) bahasa Jawa dialek Deli (Medan) hanya dikenal

ragam ngoko, dan (2) modus deklaratif merupakan tuturan yang dituturkan dalam

kondisi yang relatif netral jika dibandingkan dengan modus lainnya, seperti modus

imperatif dan interogatif.

Modus deklaratif performatif mengacu pada pendapat Austin (1962:150-163)

dalam Abdul Chaer (1995), membagi kalimat performatif menjadi lima kategori,

yaitu:

1) Kalimat verdiktif (verdictives), yaitu kalimat perlakuan yang menyatakan

keputusan atau penilaian (judgement);

Universitas Sumatera Utara


2) Kalimat eksersitif (exercitives), yaitu kalimat perlakuan yang menyatakan nasihat,

peringatan, dan sebagainya;

3) Kalimat komisif (commissives), yaitu kalimat perlakuan yang mana penutur

terikat (commited) dengan perjanjian;

4) Kalimat behatitif (behatitives), yaitu kalimat perlakuan yang berhubungan dengan

tingkah laku sosial, baik keberuntungan maupun kemalangan. Seperti permintaan

maaf, ucapan selamat, pernyataan penyesalan, atau tantangan; dan

5) Kalimat ekspositif (expositives), yaitu kalimat perlakuan yang memberi

penjelasan, keterangan, perincian kepada seseorang.

Dalam penelitian ini dipilih lima tuturan modus deklaratif performatif ragam

ngoko bahasa jawa yang mengacu pada pengertian di atas. Tuturan tersebut antara

lain:

1) Kalimat Verdiktif (Kal_Ver)

aku mutuske kowe sing salah [aku mutʊske kowe sIŋ salah]

“saya memutuskan kamu yang bersalah”

Pada tuturan ini tidak ada variasi gloss.

2) Kalimat Eksersitif (Kal_Exe)

aku pingin kowe dadi dokter [aku pIŋIn kowe dadi ɖɔktər]

“saya ingin kamu menjadi dokter”

Universitas Sumatera Utara


Untuk gloss dadi ada satu pasang bunyi yang berkorespondensi, yaitu /d/~/j/

berada pada posisi awal, dengan berian dadi (penutur Solo) - jadi (penutur

Medan).

3) Kalimat Komisif (Kal_Kom)

aku janji sesuk tak bayar [aku janji sesʊʔ taʔ bayar]

“saya berjanji besok saya bayar”

Untuk gloss sesʊʔ ada satu pasang bunyi yang berkorespondensi, yaitu /s/~/b/

berada pada posisi awal, dengan berian sesʊʔ (penutur Solo) - besʊʔ (penutur

Medan).

4) Kalimat Behatitif (Kal_Beh)

aku sedih duitku ilang [aku sədIh duItku ilaŋ]

“saya sedih uang saya hilang”

Pada tuturan ini tidak ada variasi gloss.

5) Kalimat Ekspositif (Kal_Eks)

aku nerangke getuk iki digawe soko telo [aku nəraŋke gəʈuk iki digawe sɔkɔ telɔ]

“saya menerangkan getuk ini dibuat dari ketela”

Untuk gloss gəʈuk ada satu pasang bunyi yang berkorespondensi, yaitu /ʈ/~/t/

berada pada posisi tengah, dengan berian gəʈuk (penutur Solo) - gətuk (penutur

Medan).

Universitas Sumatera Utara


1.3 Perumusan Masalah

Penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut:

1) Berapa rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan durasi bunyi silabis dalam

tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur

bahasa Jawa di Medan?

2) Berapa rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan durasi bunyi silabis dalam

tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur

bahasa Jawa di Solo?

3) Berapa signifikansi perbedaan rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan

durasi bunyi silabis dalam tuturan modus deklaratif performatif bahasa yang

dituturkan oleh penutur bahasa Jawa di Medan dan Solo?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1) Penelitian ini mengukur rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan durasi

bunyi silabis dalam tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang

dituturkan oleh penutur bahasa Jawa di Medan;

2) Penelitian ini mengukur rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan durasi

bunyi silabis dalam tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang

dituturkan oleh penutur bahasa Jawa di Solo; dan

3) Penelitian ini mengukur signifikansi perbedaan rerata intensitas,

frekuensi/struktur melodik dan durasi bunyi silabis antara tuturan modus

Universitas Sumatera Utara


deklaratif performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur bahasa Jawa di

Medan dan Solo.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini merupakan implementasi kajian fonetik akustik berdasarkan

pendekatan eksperimental dengan menggunakan program praat. Hasilnya dapat

dimanfaatkan sebagai referensi, rujukan, atau sekadar bahan bacaan terhadap kajian

fonetik akustik.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini merupakan dokumentasi tulisan pada masyarakat tutur bahasa

Jawa. Hasilnya dapat dijadikan bahan referensi tulisan masyarakat tutur bahasa Jawa,

khususnya di Sumatera Utara dalam mengidentifikasi tuturannya. Dengan kata lain,

Penelitian ini menghasilkan data kontinum ciri-ciri akustik tuturan modus deklaratif

performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur bahasa Jawa di Medan dan

Solo. Data ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam mengidentifikasi tuturan

modus deklaratif bahasa Jawa dialek Deli (Medan) dan dialek standar. Identitas

tuturan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengenali domisili asal secara kelompok

atau personalitas untuk berbagai kepentingan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai