PENDAHULUAN
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh penuturnya, masyarakat suku
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa memiliki fungsi sebagai
(1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat
perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Halim, 1980). Bahasa Jawa
memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan
akan dihormati dan dipelihara oleh negara termasuk pemerintah pusat atau pun daerah
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dapat dipahami bahwa bahasa Jawa
Dalam wikipedia bahasa menurut jumlah penutur asli, jumlah penutur asli
bahasa Jawa menduduki peringkat ke-15, yaitu 77,75 juta jiwa, dari seluruh penutur
asli bahasa lain di seluruh dunia. Jumlah ini dihitung dari nilai rata-rata (mean) data
80 juta jiwa. Penutur asli bahasa Jawa tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa,
dengan berbagai dialek geografisnya, seperti di Malaysia, orang Jawa eksis dengan
orang Jawa yang dikenal dengan nama Kampung Jawa dan Padang Jawa. Di
dari penduduk secara keseluruhan. Kemudian, orang Jawa juga tinggal di Kaledonia
Baru bahkan sampai kawasan Aruba, Curacao, Belanda, dan sebagian kecil bahkan
Di pulau Jawa, Bahasa Jawa dipakai di Jawa Tengah, Jawa Timur, beberapa
bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, dan Jawa Barat
khususnya kawasan Pantai utara dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan
on the Languages of Java and Madura”. Bahasa Jawa terdiri atas kelompok Bahasa
Jawa Bagian Barat meliputi: dialek Banten, dialek Cirebon, dialek Tegal, dialek
Banyumas, dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok pertama ini
sering disebut bahasa Jawa Ngapak. Selanjutnya, kelompok Bahasa Jawa Bagian
Tengah meliputi: dialek Pekalongan, dialek Kedu, dialek Bagelen, dialek Semarang,
dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), dialek Blora,
disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta. Terakhir,
kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur meliputi: dialek Pantura Jawa Timur (Tuban,
dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing). Kelompok timur ini sering disebut
Penutur Bahasa Jawa juga tersebar di wilayah luar pulau Jawa. Kawasan-
kawasan luar Jawa yang didomisili penutur Jawa dengan persentase yang cukup
dilatarbelakangi oleh faktor geografis dimana letak pulau Jawa dan Sumatera saling
tahapan. Berdasarkan sumber sejarah, tahapan pertama diawali sejak abad XII M
pada masa kerajaan Singosari. Tahapan kedua, pada masa penjajahan Hindia Belanda,
orang Jawa di pulau Jawa banyak direkrut melalui “werk” (agen pencari kuli) untuk
dipekerjakan di perkebunan di Sumatera Utara. Sebagian besar dari mereka juga tidak
kembali lagi ke pulau Jawa. Mereka menetap dan meneruskan generasi, hingga--
khususnya di wilayah Deli, orang Jawa kerap disebut sebagai Jawa Deli atau
Selain dialek geografis, dalam bahasa Jawa juga dikenal dialek Sosial. Dialek
sosial merupakan variasi bahasa yang dipakai oleh penutur berdasarkan perbedaan
status, ragam (style), usia, dan gender. Dalam tata bahasa Jawa tingkatan-tingkatan
berbahasa ini dikenal dengan istilah undha usuk. Secara umum, dialek sosial Bahasa
Jawa dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas tiga ragam utama, yaitu: ragam ngoko
(kasar), ragam madya (tengah atau biasa), dan ragam kromo (halus). Namun, ragam
tersebut, kalau dikaji lebih spesifik, masih dapat dibagi menjadi beberapa subragam.
Ragam ngoko terdiri atas ngoko andhap (ngoko kasar) dan ngoko lugu (ngoko halus),
ragam madya terdiri atas madya kasar dan madyatara (madya halus), dan ragam
kromo terdiri atas ragam kromo kasar dan kromo inggil. Kemudian, ragam khusus
Ragam ini kurang difahami oleh masyarakat umum. Dengan kata lain, ragam
bagongan dan kedhaton hanya difahami oleh kalangan khusus yang memiliki
ragam bahasa Jawa terdiri atas Ngoko, Madya, Krama, Bagongan, dan Kedhaton.
strata sosial, atau hal-hal lain. Contoh, seorang anak berbicara dengan sebayanya
akan menggunakan ragam ngoko. Namun, ketika berbicara dengan orang tuanya atau
orang yang usianya lebih tua darinya akan menggunakan ragam krama.
kerajaan Mataram abad ke-19. Namun demikian, ragam krama langka digunakan oleh
penutur bahasa Jawa, khususnya di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kebudayaan
Jawa, misalnya Sumatera Utara. Persentase penuturnya hanya sedikit, itu pun dari
kalangan generasi tua. Selebihnya, penutur bahasa Jawa lebih dominan mengenal
ragam ngoko. Kemudian, jumlah kosa kata ragam kromo pun relatif sedikit jika
dibandingkan dengan ragam ngoko. Hal ini mengidikasikan bahwa ragam krama
merupakan ragam yang rumit, kurang komunikatif, dan identik dengan feodalisme
kekuasaan. Sebaliknya, ragam ngoko merupakan ragam bahasa Jawa yang lebih
ini. Selain itu, ragam ngoko juga penyumbang kosa kata terbesar dalam bahasa Jawa
Melayu Deli. Namun, dialek sosial ragam krama sangat langka ditemukan. Hanya
sebagian kalangan generasi tua yang masih menggunakannya. Itu pun dipakai hanya
bahasa Jawa di Medan lebih dominan menggunakan ragam ngoko. Penggunaan ragam
ngoko pun diindikasikan sudah mengalami pergeseran, terutama dalam hal kosa kata
maupun intonasi. Hal ini disebabkan oleh adanya kontak dengan kebudayaan dan
bahasa lokal, yaitu bahasa Melayu Deli dan bahasa-bahasa lokal lainnya. Kontak
bahasa tersebut terjadi karena adanya pergaulan antarethnis yang mana bahasa yang
Berdasarkan data statistik tahun 2000, kurang lebih 33,3% penduduk Medan
adalah ethnis Jawa. Hal ini tentunya bahasa Jawa turut memberi nuansa kebahasaan
di Medan. Namun, tidak berarti bahasa Jawa adalah bahasa yang dominan.
Kenyataannya, masyarakat Jawa sebagai pewaris bahasa Jawa memiliki sikap yang
cukup toleran terhadap bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Kenyataan ini
penduduk Medan mempunyai ciri heterogenitas yang relatif tinggi yang menuntut
ethnis.
penutur bahasa Jawa di Medan dan penutur bahasa Jawa di Solo. Mengingat penutur
bahasa Jawa di Medan berkembang dengan latar belakang sosio-budaya Melayu Deli
dengan penutur bahasa Jawa di Solo yang berkembang dengan latar belakang sosio-
budaya Jawa.
antar dua wilayah geografis. Dialek merupakan klasifikasi bahasa berdasarkan variasi
dari segi penutur. Namun, penelitian ini tidak mengacu pada konsep dialektologi
meskipun melibatkan segi penutur yang berada di dua wilayah geografis yang
dalam menentukan identitas penutur, orang lebih dominan berasumsi pada tuturan
yang dituturkan. Dengan kata lain, identitas penutur dapat dilihat dari asumsi logat—
dialek atau logat bahasa Jawa hanya dengan mendengar dan menandai logat dan
intonasinya, tanpa mengenal perbedaan kosa kata. Contoh, pola tuturan penutur
bahasa Jawa dialek Surabaya sangat berbeda dengan pola tuturan penutur bahasa
Jawa dialek Banyumas. Hal ini dapat diketahui hanya dengan mendengar tanpa harus
pola tuturan tersebut tidak bisa dijadikan dasar dalam kajian ilmiah. Maka dari itu,
dituturkan oleh penutur di Medan dan akan dibandingkannya dengan ciri-ciri akustik
bahasa Jawa yang dituturkan berdasarkan klasifikasi gender, yaitu penutur bahasa
Jawa laki-laki di Deli (Medan) dibandingkan dengan ciri-ciri akustik tuturan modus
deklaratif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur bahasa Jawa laki-laki di Solo,
yang selama ini sering disebut sebagai penutur dialek bahasa Jawa standar.
akustik tuturan modus deklaratif performatif ragam ngoko bahasa jawa. Hal ini
didasari pada dua hal, yaitu (1) bahasa Jawa dialek Deli (Medan) hanya dikenal
ragam ngoko, dan (2) modus deklaratif merupakan tuturan yang dituturkan dalam
kondisi yang relatif netral jika dibandingkan dengan modus lainnya, seperti modus
dalam Abdul Chaer (1995), membagi kalimat performatif menjadi lima kategori,
yaitu:
Dalam penelitian ini dipilih lima tuturan modus deklaratif performatif ragam
ngoko bahasa jawa yang mengacu pada pengertian di atas. Tuturan tersebut antara
lain:
aku mutuske kowe sing salah [aku mutʊske kowe sIŋ salah]
aku pingin kowe dadi dokter [aku pIŋIn kowe dadi ɖɔktər]
berada pada posisi awal, dengan berian dadi (penutur Solo) - jadi (penutur
Medan).
aku janji sesuk tak bayar [aku janji sesʊʔ taʔ bayar]
Untuk gloss sesʊʔ ada satu pasang bunyi yang berkorespondensi, yaitu /s/~/b/
berada pada posisi awal, dengan berian sesʊʔ (penutur Solo) - besʊʔ (penutur
Medan).
aku nerangke getuk iki digawe soko telo [aku nəraŋke gəʈuk iki digawe sɔkɔ telɔ]
Untuk gloss gəʈuk ada satu pasang bunyi yang berkorespondensi, yaitu /ʈ/~/t/
berada pada posisi tengah, dengan berian gəʈuk (penutur Solo) - gətuk (penutur
Medan).
1) Berapa rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan durasi bunyi silabis dalam
tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur
2) Berapa rerata intensitas, frekuensi/struktur melodik dan durasi bunyi silabis dalam
tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur
durasi bunyi silabis dalam tuturan modus deklaratif performatif bahasa yang
bunyi silabis dalam tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang
bunyi silabis dalam tuturan modus deklaratif performatif bahasa Jawa yang
dimanfaatkan sebagai referensi, rujukan, atau sekadar bahan bacaan terhadap kajian
fonetik akustik.
Jawa. Hasilnya dapat dijadikan bahan referensi tulisan masyarakat tutur bahasa Jawa,
Penelitian ini menghasilkan data kontinum ciri-ciri akustik tuturan modus deklaratif
performatif bahasa Jawa yang dituturkan oleh penutur bahasa Jawa di Medan dan
Solo. Data ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam mengidentifikasi tuturan
modus deklaratif bahasa Jawa dialek Deli (Medan) dan dialek standar. Identitas
tuturan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengenali domisili asal secara kelompok