Anda di halaman 1dari 58

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH


ISTIMEWA YOGYAKARTA
TENTANG
PERLINDUNGAN, PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN
BAHASA, SASTRA DAN AKSARA JAWA

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Manusia merupakan mahkluk individu dan sosial. Sebagai
mahkluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain.
Dalam berinteraksi, manusia memerlukan bahasa untuk
menyampaikan pikirannya. Bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Dengan demikian, bahasa merupakan unsur terpenting dalam
sebuah komunikasi. Di dunia ini banyak bahasa yang digunakan
manusia dalam berinteraksi. Setiap wilayah maupun negara
memiliki bahasanya sendiri. Tidak terkecuali di Indonesia yang
memiliki beragam suku bangsa.
Di Indonesia kurang lebih terdapat sekitar 500 sampai 700
suku bangsa di Indonesia yang setiap suku memiliki bahasa
lokalnya atau daerahnya sendiri. Bahkan terkadang dalam satu
suku memiliki bahasa yang berbeda misalnya, dalam suku Jawa
terdapat perbedaan antara bahasa Jawa di daerah Yogyakarta
dengan bahasa Jawa di daerah Surabaya. Bahasa Jawa adalah
salah satu bahasa komunikasi yang digunakan secara khusus di
lingkungan etnis Jawa. Bahasa ini merupakan bahasa pergaulan,
yang digunakan untuk berinteraksi antar individu dan
memungkinkan terjadinya komunikasi dan perpindahan informasi

1
sehingga tidak ada individu yang ketinggalan zaman. Bahasa Jawa
merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan
sehari-hari di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah dan DIY.
Hal ini tidak mengherankan karena kejayaan kehidupan
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di masa lampau banyak
terdapat di daerah Jawa Tengah dan DIY dibanding di daerah Jawa
yang lain. Dengan demikian, bahasa Jawa merupakan bahasa asli
masyarakat Jawa di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah di sekitarnya. Bahasa Jawa
adalah bahasa ibu yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari
masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan
budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga karena jika
tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari Pulau
Jawa. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa
memiliki fungsi antara lain yaitu
1. Lambang kebanggaan daerah
2. Lambang identitas daerah
3. Alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah
Bahasa Jawa memiliki hak hidup yang sama dengan bahasa
Indonesia. Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa bahasa (daerah) Jawa
akan dihormati dan dipelihara oleh negara, termasuk pemerintah
pusat atau pun daerah. Oleh karena itu, generasi muda suku Jawa
sudah sepantasnya melestarikan bahasa Jawa demi kelangsungan
dan tetap terjaganya bahasa Jawa di Pulau Jawa. Apalagi, bahasa
Jawa merupakan bahasa budi yang menyiratkan budi pekerti
luhur, atau merupakan cerminan dari tata krama dan tata krama
berbahasa yang menunjukkan budi pekerti pemakainya. Dalam
penggunaannya, bahasa Jawa memiliki aksara sendiri, yaitu aksara
jawa, dialek yang berbeda dari tiap daerah, serta unggah-ungguh
basa (etika berbahasa Jawa) yang berbeda. Bahasa Jawa dibagi

2
menjadi tiga tingkatan bahasa yaitu ngoko (kasar), madya (biasa),
dan krama (halus).
Dalam tingkatan bahasa ini, penggunaannya berbeda-beda
sesuai dengan lawan yang yang diajak berbicara. Bahasa jawa
ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau yang
lebih muda, bahasa jawa madya digunakan untuk berbicara
dengan orang yang cukup resmi, dan bahasa jawa krama
digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau
yang lebih tua. Oleh sebab itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa
yang baik untuk digunakan dan mencerminkan karakteristik adat
budaya Indonesia sebagai bangsa timur. Bahasa Jawa yang dulu
merupakan bahasa yang besar, dengan bertambahnya waktu,
penggunaannya semakin berkurang. Saat ini remaja di Pulau Jawa,
khususnya yang masih di usia sekolah, sebagian besar tidak
menguasai bahasa Jawa. Hal ini bisa disebabkan oleh gencarnya
serbuan beragam budaya asing dan arus informasi yang masuk
melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain.
Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing, dan bahasa seenaknya
sendiri (campuran Jawa-Indonesia Inggris) juga ikut
memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin lama semakin
surut. Saat ini siswa/siswi tingkat sekolah dasar hingga sekolah
menengah yang mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian
besar dari bangku sekolah. Sementara pelajaran bahasa Jawa yang
dulunya merupakan pelajaran wajib sekarang hendak atau bahkan
sudah mulai dihilangkan dari daftar mata pelajaran sekolah.
Meskipun ada, jam mata pelajarannya juga sangat sedikit, hanya 2
X 45 menit dalam seminggu, sedangkan penggunaan bahasa Jawa
di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat seperti di masa-
masa dulu. Orang tua tidak lagi membiasakan diri menggunakan
bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi di
keluarga. Sebagian besar malah mengajarkan bahasa Indonesia
atau bahasa asing kepada anak-anak mereka. Bahasa Jawa,

3
apalagi bahasa Krama Inggil pun semakin terabaikan. Kondisi
tersebut juga kian diperparah dengan adanya pandangan generasi
muda terhadap bahasa Jawa. Mereka menganggap bahasa Jawa
adalah bahasa orang-orang desa, orang udik, orang-orang
pinggiran, atau orang-orang zaman dulu.
Kebanyakan orang mengaku malu dan gengsi menggunakan
bahasa Jawa dan memilih menggunakan bahasa Indonesia atau
bahasa gaul. Banyak pemuda Jawa yang tidak dapat berbicara
menggunakan bahasa Jawa, namun mengerti jika diajak berbicara
menggunakan bahasa Jawa. Ini disebabkan sejak kecil mereka
telah dibiasakan berbicara bahasa Indonesia oleh keluarganya.
Sebenarnya dalam bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma
susila, tata krama, menghargai yang lebih muda dan menghormati
yang lebih tua. Seseorang sering menggunakan bahasa Jawa
dalam berkomunikasi sehari-hari, tetapi sering lupa bahwa
terdapat tingkat tutur penggunaan bahasa Jawa yang dikenal
sebagai penerapan unggah-ungguh. Dampak negatif dari adanya
pendangkalan bahasa Jawa di kalangan remaja Jawa saat ini mulai
terasa akibatnya. Banyak remaja atau pemuda yang tidak tahu
penerapan sopan santun kepada mereka yang lebih tua, atau yang
seharusnya dihormati. Hal yang lebih memalukan bila mereka
menggunakan bahasa Jawa krama halus untuk dirinya sendiri
(dirinya sendiri dibahasakramakan). Lunturnya bahasa Jawa
membuat kualitas budi pekerti dan tata krama para remaja di Jawa
semakin menurun. Karena cenderung tidak bisa berbahasa Jawa
halus mereka lebih memilih berbahasa Indonesia yang dianggap
lebih mudah. Oleh karena itu, pendidikan berbahasa Jawa yang
baik dan benar perlu ditanamkan sejak dini supaya bahasa Jawa
tetap terjaga kelestariannya dan karakteristik mayarakat suku
Jawa yang dikenal berbudi luhur dan memiliki tata krama yang
baik tetap terjaga.

4
Perkembangan ideologi dari tahun ke tahun menunjukkan
perkembangan pemikiran yang sangat pesat. Hal itu disebabkan
antara lain oleh adanya globalisasi yang menjadikan dunia ini
tanpa sekat. Pengaruh globalisasi yang telah masuk ke Indonesia
menjadikan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya Daerah
Istimewa Yogyakarta yang tadinya kental dengan adat istiadat
jawa lama kelamaan menjadi terpengaruh oleh modernitas.
Pemerintah Daerah dan masyarakat dari seluruh kalangan
berkewajiban untuk dapat menjamin agar kelestarian adat istiadat
jawa khususnya Bahasa Jawa, Sastra dan Aksara Jawa yang
merupakan warisan leluhur dimana telah ada sejak zaman
kerajaan dahulu tetap ada. Karena dengan adanya warisan yang
tetap dijaga tersebut maka daerah kita akan mempunyai
karakteristik tersendiri yang tidak dimilki oleh negara lainnya.

B. Identifikasi Masalah
Masalah yang dapat diidentifikasikan terkait dengan
pengaturan perlindungan, pembinaan dan pengembangan bahasa,
sastra dan aksara jawa adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya kebijakan pemerintah daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang secara terpadu mengatur mengenai
pengaturan perlindungan, pembinaan dan pengembangan
bahasa, sastra dan aksara jawa yang berpijak pada kelestarian
budaya lokal, padahal keberadaan bahasa jawa sebagai bahasa
daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta semakin
terancam, dan tentunya jika hal ini diatur dengan baik, maka
dapat mengembangkan eksistensinya di masa sekarang dan
masa mendatang. Dampak positif lainnya adalah dapat
dijadikan sebagai ikon yang bisa dipamerkan dihadapan
masyarakat dunia bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
memiliki sesuatu yang unik dan patut untuk dipelajari. Selain
itu juga untuk mencegah adanya klaim lagi atas budaya lokal

5
kita mengingat sekarang ini banyak warga negara asing yang
datang ke Indonesia untuk belajar bahasa jawa, sastra dan
aksara jawa, padahal masyarakat asli Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sendiri telah melupakannya.
2. Ketiadaan aturan tentang pengaturan perlindungan, pembinaan
dan pengembangan bahasa, sastra dan aksara jawa di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta ini yang menjadi pemicu
terancamnya kelestarian budaya lokal khusunya bahasa jawa
sebagai bahasa daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Permasalahan tersebut harus dipecahkan atau diselesaikan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
DPRD melalui pembentukan Perda Pengaturan Perlindungan,
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa
yang mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik,
sistematis dan komprehensif.
Sasaran yang akan diwujudkan dalam penyusunan Naskah
Akademik ini, antara lain sebagai berikut:
1. Tersusunnya dasar-dasar pemikiran, prinsip-prinsip dasar,
materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang dilandasi
kajian ilmiah dalam bentuk laporan Naskah Akademik dan
Rancangan Peraturan Daerah yang sistematis, komprehensif,
holistik, dan futuristik.
2. Memuat gagasan konkret yang berlandaskan pada nilai-nilai
filosofis, yuridis, dan sosiologis mengenai pentingnya Perda
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Pengaturan
Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra
dan Aksara Jawa, sehingga dengan landasan tersebut
Pemerintahan Daerah dapat membentuk Peraturan Daerah
yang berkualitas dan menjadi solusi atas permasalahan
mengenai bahasa jawa yang selama ini terjadi.

C.Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik

6
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan mengatur ketentuan bahwa naskah akademik adalah
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam Rancangan Peraturan Daerah Povinsi.
Berdasarkan definisi tersebut tujuan naskah akademik adalah
suatu pengkajian terhadap suatu masalah untuk memberikan
solusi atas masalah tersebut. Solusi tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dalam bentuk Rancangan Peraturan
Daerah.
Artinya tepat bahwa naskah akademik yang di susun ini adalah
rangkaian agenda membangun konstruksi berfikir bahwa bahwa
Peraturan Daerah yang mengatur Perlindungan, Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa menjadi semakin
penting bagi masyarakat, khususnya masyarakat di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Secara substanstif, penulisan naskah
akademik ini dimaksudkan untuk memberikan justifikasi akademik
atas penyusunan Raperda Perlindungan, Pembinaan, dan
Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa, yang tujuannya
adalah:
1. Sebagai dasar ilmiah penyusunan kebijakan Peraturan Daerah
Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra
dan Aksara Jawa.
2. Melakukan analisis akademik mengenai berbagai aspek dari
Peraturan Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa yang hendak dirancang
dengan melakukan pengkajian secara mendalam mengenai
dasar-dasar yuridis, filosofis dan sosiologis, dan komitmen
politik (politik hukum). Serta mengkaji taraf harmonisasi dan
sinkronisasi peraturan daerah yang hendak dirancang dengan

7
peraturan perundang-undangan yang berkaitan, baik pada
level di atasnya maupun pada level yang setara. Sehingga
dikemudian hari tidak terjadi permasalahan yang berkaitan
dengan substansi dan proses pembentukan Perda tersebut
(misalnya bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi
atau prosesnya yang tidak sesuai dengan pedoman penyusunan
Peraturan daerah).
3. Sebagai wahana yang memuat materi muatan yang di
dalamnya dilengkapi cakupan materi, urgensi, konsepsi,
landasan, alas hukum, prinsip-prinsip yang digunakan serta
pemikiran tentang norma-norma yang disajikan dalam bentuk
uraian sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmu hukum sesuai politik hukum yang dikehendaki
Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sehingga dapat memberikan kejelasan dan panduan arah
mengenai Pembentukan Perda Perlindungan, Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa dan
implementasinya dikemudian hari.

D. Metode Penulisan Naskah Akademik


Metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik
ini adalah metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris (Sosio
legal), yang diuraikan di bawah ini:
1. Yuridis Normatif
Metode yuridis normatif digunakan sebagai cara untuk
melakukan pengayaan bahan-bahan dalam penulisan naskah
akademik ini. Metode ini dilakukan dengan mempelajari
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan otonomi daerah, pelestarian bahasa, buku, dokumen,
laporan, dan literatur lainnya. Metode ini sangat berguna
terutama untuk hal yang berkaitan dengan pengembangan dan
pengaplikasian teori-teori dan data yang menunjang guna

8
menjawab permasalahan yang ada.
2. Yuridis Empiris
Metode ini merupakan metode sosio legal yang
menekankan pada data primer yang berasal dari lapangan,
pengambilan data ini dapat dilakukan dengan wawancara/
diskusi (focus group discussion) dengan stakeholder yang
terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan serta
pelestarian kebudayaan jawa di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Wawancara atau FGD bertujuan untuk menggali
data-data primer yang berasal dari lapangan (diskusi dan tanya
jawab), wawancara dapat dilakukan dengan Kepala Dinas
Kebudayaan dan Pendidikan, dan pihak-pihak yang
terkait dengan pelestarian bahasa di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sementara FGD dapat dilakukan beberapa kali
dan bertahap (sesuai materi pembahasan) yang dilakukan
selain menggali data primer mengenai usaha pelestarian
bahasa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga untuk
melihat politik hukum pemerintah daerah, untuk itu FGD harus
dihadiri sekurang-kurangnya beberapa stakeholder,
meliputi: (1) Bagian Hukum Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta; (2) Dinas Kebudayaan dan Pendidikan, dan SKPD
terkait; (3) Pakar Bahasa dan Sastra Daerah yang memberikan
penilaian kualitas naskah akademik; (4) Masyarakat dan
pemerhati bahasa dan sastra; (5) Tim Penyusun Naskah
Akademik. Dalam metode ini, juga dapat digunakan observasi
yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk
mendapatkan data faktor nonhukum yang berpengaruh
terhadap peraturan daerah.
Secara sistematis penyusunan naskah akademik dilakukan
melalui tahapan-tahapan yang runtut dan teratur. Tahapan yang
dilakukan melalui:
1. Identifikasi permasalahan terhadap kelestarian bahasa daerah

9
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (penelitian normatif
dan empiris)
2. Inventarisasi data primer dan data sekunder (bahan-bahan
hukum) yang terkait dengan pelestarian bahasa.
3. Sistematika data primer dan sekunder
4. Analisis data primer dan sekunder bahan hukum.
5. Perancangan dan penulisan Naskah Akademik dan Rancangan
Peraturan Daerah.
Melalui rangkaian tahapan ini diharapkan mampu memberi
rekomendasi yang mendukung perlunya orientasi pemahaman
terhadap pelestarian bahasa di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, sehingga penting untuk dibuat kebijakan hukum
melalui Peraturan Daerah yang bekualitas dan partisipatif.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A.Kajian Teoritis
1. Otonomi Daerah dan Urusan Bidang Pendidikan dan
Kebudayaan
Konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya (otonomi
luas) merupakan bagian esensial atau esensi utama dari
pemerintahan desentralisasi, pemerintahan desentralisasi
merupakan species dari sistem negara kesatuan yang lebih
genus. Tidak hanya Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
saja yang menyatakan Indonesia adalah negara kesatuan, tetapi
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa
negara Indonesia adalah negara kesatuan sebab Undang-
Undang Dasar 1945 tidak membenarkan pemberlakuan sistem
pemerintahan negara berdasarkan asas sentralisasi, juga tidak

10
mengenal sistem pemerintahan federal. Pada intinya konsep
otonomi hanya dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan
berdasarkan sistem desentralisasi, dengan garis bawah yang
harus ditebalkan bahwa pemerintahan desentralisasi merupakan
bagian dari negara kesatuan.1
Sebagai konsekuensi Negara Kesatuan yang menganut
asas otonomi (desentralisasi), maka penyelenggaraan negara
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sebab
pemerintahan daerah merupakan sendi negara kesatuan yang
demokratis, keberadaan pemerintahan daerah (otonom)
merupakan pengakuan karakteristik atau ciri khas masing-
masing wilayah negara dan merupakan cerminan negara hukum
yang demokratis.2 Selain itu pemerintahan daerah yang memiliki
karakteristik yang beranekaragam merupakan konsekuensi
ber-“Bhineka Tunggal Ika”.
Secara etimologis, otonomi diartikan sebagai
pemerintahan sendiri (auto= sendiri, dan nomes=
pemerintahan), dalam bahasa Yunani otonomi berasal dari kata
aotus=sendiri dan nemein=menyerahkan atau memberikan,
yang berarti kekuatan mengatur sendiri. Sehingga secara
maknawi (begrif) otonomi mengandung pengertian kemandirian
dan kebebasan mengatur dan mengurus diri sendiri (rumah
tangga daerahnya sendiri: penulis).3 Pandangan lain, bahwa
konsep otonomi berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani,
yakni autos dan nomos, autos berarti sendiri dan nomos berarti
undang-undang, otonomi bermakna membuat peraturan
perundang-undangan sendiri (zelwet-geving), namun dalam
perkembangnya konsepsi otonomi daerah selain mengandung
1
HM. Laica Marzuki, 2005, Berjalan-jalan di Ranah Hukum: Pikiran-Pikiran
Lepas, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.123
2
Hestu Cipto Handoyo, 2003, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak
Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi Indonesia, UAJY
Press, Yogyakarta, hlm.129
3
I Gde Pantja Astawa,2008, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia,
Alumni, Bandung, hlm.52-53

11
arti zelwetgeving (membuat Peraturan Daerah), juga utamanya
mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri). C.W. Van der Pot
memahami konsep otonomi daerah sebagai eigenhuisholding
(menjalankan rumah tangganya sendiri).4
Konsep otonomi daerah merupakan bagian esensial dari
pemerintahan desentralisasi, sehingga otonomi daerah adalah
esensi utama dari pemerintahan desentralisasi. Pemerintahan
desentralisasi tidak dapat dibayangkan tanpa adanya esensi
otonomi daerah, pemerintahan desentralisasi merupakan
species dalam sistem negara kesatuan yang lebih genus.5
Otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara
membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab antara pusat
dan daerah.6 Menurut Bagir Manan, otonomi merupakan
pranata dalam negara kesatuan, dalam otonomi terkandung
unsur pengawasan (toetzicht),7 lanjutnya bahwa otonomi bukan
sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk
mencapai efesiensi dan efektifitas pemerintahan. Intinya bahwa
otonomi merupakan tatanan ketatanegaraan (staatrechtelijk)
dan bukan hanya tatanan administrasi negara
(administratiefrechtelijk) yang berkaitan dengan dasar-dasar
bernegara dan susunan organisasi negara.8
Pada umunya ada beberapa dasar pemilihan sistem
otonomi dalam negara kesatuan, yaitu:9
a. Dorongan efesiensi dan efektifitas pengaturan (regelen) dan
penyelenggaraan (bestuuren) pemerintahan. Dengan
kewenangan mengatur dan mengurus sendiri bidang-bidang

4
HM. Laica Marzuki, Op.Cit., hlm.125
5
Ibid., hlm.122
6
Ni’matul Huda, 2010, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII
Press, Yogyakarta, hlm.23
7
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Menurut
UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.229
8
Bagir Manan,2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm.24
9
Ibid., hlm.53-54

12
pemerintahan tertentu yang menjadi urusan rumah tangga
daerah, pembuatan aturan dapat dilakukan secara efisien dan
cepat. Selain dapat dibentuk secara efisien, cepat dan
mudah, juga lebih efektif karena lebih konkrit dengan
jangkauan terbatas sehingga mudah menerapkannya. Selain
karena teritorial yang terbatas, juga dimunginkan
pelaksanaan fungsi pelayanan disesuaikan secara nyata
dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat.
b. Sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi sistem negara
kesejahteraan (welfare state). Negara atau pemerintah
bertanggungjawab mewujudkan dan menjamin kesejahteraan
umum, kemakmuran dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat. Fungsi pelayanan akan berjalan dengan baik kalau
satuan pemerintahan didekatkan dengan masyarakat yang
dilayani dan disertai kebebasan untuk mengatur dan
menentukan macam dan cara pelayanan yang tepat bagi
lingkungan masyarakat bersangkutan.
c. Sebagai bagian dari proses demokratisasi penyelenggaraan
pemerintahan. Desentralisasi sebagai esensi otonomi dengan
demokratisasi merupakan hal yang sangat terkait, partisipasi
masyarakat melalui sistem perwakilan seperti pemilihan
pimpinan daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung
oleh rakyat merupakan salah satu jalan agar tujuan
mensejahterakan rakyat dapat terwujud.
d. Sebagai cara memelihara kesinambungan budaya dan sejarah
pemerintahan yang telah ada. Sistem otonomi dipilih agar
budaya dan pemerintahan asli dapat terpelihara dengan baik,
sekalipun saat ini telah dipilih satu kesatuan yang lebih besar
dibentuk. Semisal Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945
yang mengatur: (1) Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan
bersifat istimewa; (2) Negara mengakui dan menghormati

13
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Otonomi bukan hanya sekedar pemencaran penyelenggaraan
pemerintahan untuk mencapai efesiensi dan efektifitas
pemerintahan atau bukan hanya sekedar menampung kenyataan
negara yang luas, penduduk banyak, dan berpulau-pulau.
Otonomi pada dasarnya sebuah tatanan ketatanegaraan
(staatsrechttelijk) yang berkaitan dengan dasar-dasar negara
dan susunan organisasi negara, bukan hanya sekedar tatanan
administrasi negara.10 Lebih dari itu, otonomi daerah
merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan
instrumen mewujudkan kesejahteraan umum, tidak kalah
penting otonomi daerah merupakan cara memelihara negara
kesatuan. Daerah-daerah otonom bebas dan mandiri mengatur
dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri, merasa
diberi tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.11
Latar belakang perlunya asas desentralisasi sebagai desain
pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam negara
kesatuan, yaitu12
1) Prinsip negara hukum. Dalam negara hukum dikenal
pemencaran atau pembagian kekuasaan dalam garis vertikal,
dan daerah merupakan bentuk garis vertikal. Pembagian
kekuasaan dilakukan untuk melakukan pemencaran tugas
dan kewenangan dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan, sehingga keberadaan daerah (otonomi) dalam

10
Bagir Manan, Menyongsong...Op.Cit., hlm.3.
11
Ibid., hlm.25
12
Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., hlm.139-140

14
negara kesatuan merupakan pelaksanaan prinsip negara
hukum tersebut.
2) Prinsip demokrasi. Partisipasi masyarakat dalam berbagai
aspek penyelengaraan pemerintahan sangat diperlukan, oleh
sebab itu keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan
merupakan keharusan, sehingga desentralisasi merupakan
bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah
3) Prinsip welfare state, dalam negara kesejahteraan fungsi
negara adalah sebagai pelayan masyarakat (public services)
untuk mewujudkan kesejahteraan umum warganya. Fungsi
ini tidak dapat berjalan baik jika digunakan desain
sentralistik, karena masyarakat akan terhambat memperoleh
pelayanan. Dalam arti bahwa otonomi daerah dan pemekaran
daerah adalah solusi terbaik penyelenggaraan welfare state
guna pelayanan kesejahteraan.
4) Prinsip kebhinekaan. Dalam negara yang komposisi
masyarakatnya demikian beragam, tidaklah mungkin untuk
melakukan penyeragaman (uniformitas) kebijaksanaan dan
keputusan-keputusan politik, prinsip kebhinekaan merupakan
wadah untuk menampung keanekaragaman tersebut. Konsep
otonomi yang berkeadilan bagi daerah merupakan
representasi prinsip kebhinekaan.
Esensi otonomi adalah kemandirian dan kebebasan mengatur
dan mengurus sendiri kepentingan masyarakat yang menjadi
fungsi pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri
dalam satu ikatan negara kesatuan, otonomi senantiasa
memerlukan kemandirian dan kebebasan mengatur bukan suatu
bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintahan yang merdeka
(zelfstandigheid, bukan onafhankelijkheid).13 Artinya daerah
tidak memiliki kedaulatan sendiri tetapi kedaulatan tetap
13
I Gde Pantja Astawa, Loc.Cit.

15
berada pada kekuasaan pemerintah pusat dan tidak terbagi ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah merupakan lembaga
pelaksana kedaulatan yang menjadi kekuasaan pemerintah. Saat
ini, pengaturan otonomi daerah berikut kewenangan pemerintah
daerah tertuang jelas dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pasal 9 Bab IV
Urusan Pemerintahan yang terkandung di dalam UU Pemda,
menyebutkan bahwa
1. Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum.
2. Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
3. Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota.
4. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 11 bahwa Urusan
Pemerintahan Konkuren terbagi dalam Urusan Pemerintahan
Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Pasal 12 Undang-
Undang Pemda menyebutkan:
1. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) meliputi:
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Pekerjaan umum dan penataan ruang
d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman

16
e. Ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat
f. Sosial
2. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) meliputi:
a. Tenaga kerja
b. Pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak
c. Pangan
d. Pertanahan
e. Lingkungan hidup
f. Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil
g. Pemberdayaan masyarakat dan Desa
h. Pengendalian penduduk dan keluarga berencana
i. Perhubungan
j. Komunikasi dan informatika
k. Koperasi,usaha kecil, dan menengah
l. Penanaman modal
m.Kepemudaan dan olah raga
n. Statistic
o. Persandian
p. Kebudayaan
q. Perpustakaan
r. Kearsipan.
Dalam Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah diatur
mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota, huruf A Pemerintah Provinsi mempunyai tugas
melakukan Penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan
menengah dan muatan lokal pendidikan khusus. Oleh karena itu
pengembangan bahasa daerah di Provinsi Daerah Istimewa

17
Yogyakarta melalui pelajaran di bangku pendidikan merupakan
tugas Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian dalam Lampiran Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
diatur mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota, huruf V. Pembagian Urusan Pemerintahan
Bidang Kebudayaan, meliputi:
Daerah
N Sub Pemerintah Daerah
Kabupaten/
o Urusan Pusat Provinsi
Kota
1 Kebudayaa a. Pengelolaa a. a.
n Pengelolaan Pengelolaan
n
kebudayaa
n yang kebudayaan kebudayaan
masyaraka yang yang
t masyarakat masyarakat
pelakunya pelakunya pelakunya
lintas lintas dalam
Daerah Daerah Daerah
provinsi.
b. Perlindung kabupaten/kot kabupaten/ko
an Hak a ta.
Kekayaan dalam 1 b. Pelestarian
Intelektual (satu) tradisi
(HKI) Daerah yang
komunal di provinsi. masyarakat
bidang b. Pelestarian
kebudayaa tradisi yang penganutnya
n. masyarakat dalam
c. Pelestarian Daerah
tradisi penganutnya
yang lintas kabupaten/ko
masyaraka Daerah ta.
t c. Pembinaan
penganutn kabupaten/kot lembaga
ya lintas a adat
Daerah dalam1 yang
provinsi. (satu)
d. Pembinaan Daerah penganutnya
lembaga provinsi. dalam
kepercayaa c. Pembinaan Daerah
lembaga

18
n terhadap adat kabupaten/ko
Tuhan yang ta.
Yang Maha
Esa. penganutnya
lintas
Daerah

kabupaten/kot
a
dalam 1
(satu)
Daerah
provinsi.
2 Perfilman Pembinaan ----- -----
Nasional perfilman
nasional
3 Kesenian Pembinaan Pembinaan Pembinaan
kesenian yang kesenian yang kesenian
Tradisional
masyarakat masyarakat yang
pelakunya pelakunya masyarakat
lintas lintas pelakunya
Daerah Daerah dalam Daerah
kabupaten/ko
provinsi. kabupaten/kot
ta.
a
4 Sejarah Pembinaan Pembinaan Pembinaan
sejarah sejarah lokal sejarah lokal
nasional provinsi kabupaten/ko
ta
5 Cagar a. Registrasi a. Penetapan a. Penetapan
nasional cagar cagar
Budaya
cagar budaya budaya
budaya. peringkat peringkat
b. Penetapan provinsi.
cagar b. Pengelolaa kabupaten/
budaya n kota.
Peringkat cagar b. Pengelolaa
nasional. budaya n
c. Pengelolaa peringkat cagar
n provinsi. budaya
cagar c. Penerbitan peringkat
budaya izin
peringkat membawa kabupaten/
nasional. cagar kota.
d. Penerbitan budaya c. Penerbitan
izin ke luar izin

19
membawa Daerah Membawa
cagar provinsi. cagar
budaya ke budaya ke
luar negeri luar
kabupaten/
kota dalam
satu
daerah
provinsi
6 Permuseu a. Penerbitan Pengelolaan Pengelolaan
Register museum museum
man
museum. provinsi kabupaten/
b. Pengelolaa kota
n
museum
nasional.
7 Warisan Pengelolaan ----- -----
budaya warisan
budaya
nasional dan
dunia

2. Bentuk Penggunaan Bahasa Jawa


Bahasa Jawa mempunyai peranan yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat komunikasi. Dari segi
kuantitas pemakai bahasa Jawa, lebih dari 150 juta jiwa tinggal
di berbagai tempat di Pulau Jawa dan beberapa berada di luar
pulau Jawa. Bahkan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri,
sering memakai bahasa Jawa dan menggunakannya sebagai
lambang jati diri bangsa. Secara geografis, bahasa Jawa adalah
bahasa ibu yang digunakan oleh masyarakat yang berasal dari
wilayah Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur. Luasnya
wilayah dan kendala geografis menyebabkan bahasa Jawa
memiliki dialek-dialek yang berbeda.
Meskipun memiliki dialek yang berbeda-beda di setiap
wilayah, bahasa Jawa memiliki bahasa Jawa baku yang

20
digunakan dan diajarkan dalam setiap kegiatan pendidikan
sebagai materi muatan lokal, khususnya pada masyarakat
bahasa Jawa. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa
Bahasa Jawa baku merupakan bahasa Jawa yang digunakan di
wilayah Yogyakarta dan Surakarta, bahasa Jawa yang digunakan
di kedua wilayah ini dianggap sebagai bahasa Jawa baku oleh
masyarakat Jawa pada umumnya. Ciri utama yang menandai
bahasa Jawa baku adalah hadirnya seluruh ragam tutur ngoko,
madya, krama dalam percakapan sehari-hari baik dalam situasi
formal maupun informal. Bahasa Jawa memiliki nilai sastra yang
tinggi, serta struktur dan tata bahasa yang rumit. Untuk
menerapkannya sangatlah tidak mudah apalagi bagi orang
awam yang belum mengetahui bahasa Jawa sama sekali.
Hal ini disebabkan penggunaannya bukanlah menurut
waktu jenis lampau, sekarang, maupun waktu yang akan datang
seperti layaknya bahasa Inggris yang memiliki tenses sehingga
cukup mudah untuk dipelajari, melainkan menurut status orang
yang berbicara dan dengan siapa ia berbicara. Bahasa Jawa
memiliki pembagian tingkatan-tingkatan bahasa yang cukup
rinci. Penempatan bahasa Jawa berbeda-beda sesuai pada
perbedaan umur jabatan, derajat serta tingkat kekerabatan
antara yang berbicara dengan yang diajak bicara, yang
menunjukkan adanya ungah-ungguh bahasa Jawa. Dialek baku
bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah,
terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta. Beberapa
jenis bentuk ragam tutur dalam bahasa Jawa yang disebut juga
unggah-ungguhing basa ini dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu
a. Bahasa ngoko (ngoko lugu, ngoko alus)
Bahasa Jawa ngoko digunakan untuk penutur dan
mitratutur yang mempunyai kedudukan yang akrab atau
kedudukan penutur lebih tinggi daripada mitratutur. Bahasa

21
Jawa ngoko sering digunakan oleh orang yang usianya sebaya
maupun oleh orang-orang yang sudah akrab. Bahasa ngoko
ini di bagi atas ngoko lugu,dan ngoko alus. Ngoko lugu
digunakan untuk menyatakan orang pertama. Ngoko alus
digunakan oleh orang pertama dengan lawan bicaranya yang
sebaya atau yang sudah akrab, bahasa ini santai namun
sopan. Contoh: Ngoko lugu: Mas Totok nggawekake Dik
Darno layangan (Mas Totok membuatkan Dik Darno
layangan), Ngoko alus: Pak guru basa Jawa sing anyar iku
asmane sapa?(Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya
siapa?)
b. Bahasa madya (madya ngoko, madya krama)
Bahasa Jawa madya menunjukkan tingkat tataran
menengah yang terletak di antara ragam ngoko dan krama.
Bahasa madya biasanya digunakan terhadap teman sendiri.
c. Bahasa krama (krama andhap, krama inggil)
Bahasa Jawa krama digunakan untuk menunjukkan
adanya penghormatan kepada mitratutur yang mempunyai
kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi daripada
penutur. Bahasa Jawa krama ini digunakan orang sebagai
tanda menghormati orang yang diajak bicara. Misalnya, anak
muda dengan orang tua atau pegawai dengan atasannya.
Tingkatan yang lebih tinggi dari krama yaitu krama inggil.
Krama inggil dianggap sebagai bahasa dengan nilai sopan
santun yang sangat tinggi. Jarang sekali digunakan pada
sesama usia muda. Bahasa krama dibagi menjadi krama
andhap dan krama inggil. Contoh: Krama andhap : Kula
badhé késah sakmenika (Saya mau pergi sekarang), Krama
inggil : Panjenengan badhé tindak sakmenika (Anda mau
pergi sekarang). Pembicara atau penutur menggunakan kata
késah untuk mengacu pada tindakan yang dilakukannya,
sedangkan kata tindak digunakan untuk mengacu tindakan

22
yang dilakukan oleh kawan bicara yang dihormati atau
memiliki status sosial yang lebih tinggi. Penggunaan ragam
ngoko, madya dan krama didasarkan atas sikap
penghormatan dan tingkat keakraban.
Untuk dapat membedakan bentuk penggunaan bahasa Jawa
lebih baik lagi dapat dilihat dalam contoh kalimat seperti
berikut. Saya akan makan dahulu, bahasa ngokonya aku arep
mangan dhisik. Madya, kula ajeng nedha riyin. Krama, kula
badhé nedha rumiyin. Dalam bahasa Jawa untuk menyatakan
diri sendiri dengan bahasa halus tidak menggunakan krama
inggil tetapi menggunakan madya karena tidak mungkin
seseorang menghormati dirinya sendiri. Jadi, penggunaan
bahasa Jawa itu ditentukan oleh kedudukan dan tingkat usia.
Fungsi dari tingkat-tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa ini
adalah
1) Norma dan etika, yaitu digunakan untuk berkomunikasi di
masyarakat atau dengan orang lain dengan melihat orang
yang diajak bicara (lebih tua atau lebih muda).
2) Penghormatan dan keakraban, yaitu digunakan untuk
menghormati orang yang diajak bicara supaya tidak dibilang
tidak mempunyai tata krama dalam berbicara.
3) Pangkat dan status sosial, yaitu digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang lain dengan melihat pangkat
dan status sosialnya di dalam masyarakat tersebut.

3. Faktor Penyebab Semakin Memudarnya Bahasa Jawa di


Kalangan Pemuda Jawa
Globalisasi menuntut seseorang terutama kalangan
pemuda untuk mampu menggunakan bahasa yang global dan
mendunia sehingga dapat berperan aktif menuju modernisasi.
Misalnya saja penggunaan bahasa Inggris di daerah kota
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat mempengaruhi

23
kedudukan bahasa Jawa yang rasanya semakin terabaikan.
Memudarnya bahasa Jawa di Jawa tentunya memiliki berbagai
alasan. Dapat dilihat dan dirasakan bahwa perkembangan
zaman dan perkembangan bahasa Jawa yang saat ini telah
menurun drastis. Banyak pemuda yang tidak bisa
menggunakan bahasa Jawa dengan baik, dan memilih
menggunakan bahasa Indonesia. Namun ketidakbisaan ini
bukan semata-mata hanya kesalahan pemuda itu sendiri, tetapi
banyak faktor yang menyebabkan hal itu dapat terjadi.
Keluarga termasuk faktor yang paling berpengaruh, karena
keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama kali
dikenal oleh anak. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
pendangkalan bahasa Jawa di kalangan pemuda. Faktor-faktor
tersebut antara lain yaitu
1) Faktor pemuda itu sendiri. Pemuda maupun remaja
cenderung merasa malu menggunakan bahasa Jawa dalam
percakapan sehari-hari dengan alasan bahasa Jawa
merupakan bahasa yang sudah ketinggalan zaman, tidak
gaul, sulit, tidak tahu artinya dan juga membingungkan.
Sebenarnya perasaan malu ini dipengaruhi juga oleh
pergaulan teman-teman yang juga malu menggunakan
bahasa Jawa.
2) Faktor keluarga seperti Orang tua juga berperan dalam
perkembangan bahasa Jawa. Orang tualah yang akan
melestarikan budaya ini ke anak-anaknya, sehingga anak-
anak akan menerapkannya saat berbicara terutama kepada
orang yang lebih tua. Namun sebaliknya, orang tua malah
mendidik anaknya dengan menggunakan bahasa Indonesia
bahkan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
jarang orang tua menggunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi dengan anaknya tetapi tetap menggunakan
bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jika

24
semua orang tua melakukan hal seperti itu, maka dengan
waktu yang singkat budaya bahasa Jawa di Jawa akan
memudar, musnah dan tenggelam. Tidak ada lagi generasi
yang dapat meneruskan bahasa Jawa ini, karena generasi
muda tentu akan menjadi orang tua dan jika mereka kurang
mengetahui bahasa Jawa tidak mungkin dapat mengajari
generasi berikutnya dengan baik pula.
3) Faktor sekolah, alokasi jumlah jam mata pelajaran bahasa
Jawa baik di SD, SLTP dan SMA hanya dua jam. Padahal
materi muatan bahasa Jawa sama seperti muatan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Bahkan saat ini ada beberapa
sekolah yang tidak mengajarkan pendidikan bahasa Jawa di
sekolahnya. Hal ini semakin diperkuat dengan banyaknya
sekolah terutama sekolah swasta yang khawatir
pembelajaran bahasa Jawa dapat membuat siswa terbebani.
Kemudian faktor dari Pemerintah. Pemerintah daerah tidak
begitu memperhatikan kegiatan yang mengarah pada
pelestarian bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan pemerintah
daerah tidak mendirikan lembaga/kursus bahasa Jawa,
kurangnya pengangkatan guru pendidikan bahasa Jawa juga
dapat menyebabkan pendangkalan bahasa Jawa. Kesadaran
masyarakat sendiri akan budayanya sangat kurang.
Masyarakat cenderung lebih mencoba mengikuti kebudayaan
baru yang lebih ngetrend agar tidak dibilang kuno maupun
primitif. Pelahan lahan budaya berbahasa Jawa ditinggalkan.
Jika hal ini terjadi terus menerus maka tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa bahasa Jawa akan hilang di pulau Jawa sendiri.
Pelestarian bahasa diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara
serta Lagu Kebangsaan, undang-undang ini dilatar
belakangi oleh:

25
a. Bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu,
identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol
kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
b. Bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan
yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan
dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam
mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
c. Bahwa pengaturan tentang bendera, bahasa, dan lambang
negara, serta lagu kebangsaan Indonesia belum diatur di
dalam bentuk undang-undang
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan juga telah memberikan pengertian mengenai
beberapa terminologi dalam pelestarian bahasa, meliputi
a. Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-
temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Pengaturan bendera, bahasa,
dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai simbol
identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas: persatuan,
kedaulatan, kehormatan, kebangsaan,
kebhinnekatunggalikaan, ketertiban, kepastian hukum,
keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Sementara, Pasal 3 menyebutkan bahwa Pengaturan
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
bertujuan untuk

26
a. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
b. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
c. Menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi
penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta
lagu kebangsaan.
Secara lebih terperinci bahwa usaha pengembangan,
pembinaan dan perlindungan bahasa dan sastra serta
peningkatan fungsi bahasa Indonesia tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2014 Tentang
Pengembangan, Pembinaan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra
Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia, mengatur
ketentuan bahwa
a. Pengembangan Bahasa adalah upaya memodernkan bahasa
melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan
pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa,
serta mengupayakan peningkatan fungsi Bahasa.
b. Pembinaan Bahasa adalah upaya meningkatkan mutu
penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di semua
jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa
ke berbagai lapisan masyarakat.
c. Pelindungan Bahasa adalah upaya menjaga dan
memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian,
pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
d. Sastra Daerah adalah karya kreatif yang berisi pemikiran,
pengalaman, dan penghayatan atas kehidupan yang
diungkap secara estetis dalam bahasa daerah, tinjauan
kritis atas karya sastra dalam bahasa daerah, atau tinjauan
kritis atas karya sastra daerah.
Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan mengenai Ruang lingkup
pengaturan Peraturan Pemerintah meliputi

27
a. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Bahasa
Indonesia dan Bahasa Daerah.
b. Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Sastra
Indonesia dan Sastra Daerah.
Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa Bahasa Daerah berfungsi
sebagai pembentuk kepribadian suku bangsa, peneguh jati diri
kedaerahan dan sarana pengungkapan serta pengembangan
sastra dan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan. Selain
itu Bahasa Daerah dapat berfungsi sebagai
a. Sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat daerah
b. Bahasa Media Massa lokal
c. Sarana pendukung Bahasa Indonesia
d. Sumber Pengembangan Bahasa Indonesia.

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait dengan


Penyusunan Norma
Proses pembentukan Perda yang dimulai dari prakarsa hingga
pengesahan tersebut juga harus merujuk pada asas-asas hukum
pembentukan undang-undang yaitu dalam Pasal 5 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Pasal 5 menyebutkan mengenai asas-asas
pembentukan peraturan daerah antara lain :
a. Asas Kejelasan Tujuan, artinya bahwa Perda harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, artinya
bahwa Perda harus dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan Pemerintah Daerah Kabupaten
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, artinya
bahwa Perda harus benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Perda

28
d. Dapat dilaksanakan, artinya bahwa harus memperhitungkan
efektivitas tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, artinya bahwa Perda dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f. Kejelasan rumusan, artinya bahwa Perda harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya
g. Keterbukaan, artinya bahwa Perda mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan daerah tersebut.
Asas-asas hukum materiil peraturan perundang-undangan yang
baik dapat berupa asas terminologi dan sistematika yang jelas,
asas dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas
kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai dengan
keadaan individual.14 Selain itu, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 berkaitan dengan proses penentuan materi undang-
undang, bahwa materi muatan undang-undang harus
mencerminkan asas sebagai berikut
a. Asas Pengayoman, artinya bahwa materi Perda harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Asas Kemanusiaan, artinya bahwa materi harus mencerminkan
14
Yuliandri, Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm.114

29
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional
c. Asas Kebangsaan, artinya bahwa materi Perda harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia
d. Asas Kekeluargaan, artinya bahwa materi harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan
e. Asas Kenusantaraan, artinya bahwa materi Perda senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia (secara
khusus wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dan
materi muatan peraturan daerah usaha penyediaan sarana
pariwisata yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
f. Asas Bhinneka Tunggal Ika, artinya bahwa materi Perda harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
g. Asas Keadilan, artinya bahwa materi Perda harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
h. Asas Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
artinya bahwa Perda tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum, artinya bahwa materi
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
j. Asas Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, artinya
bahwa materi Perda harus mencerminkan keseimbangan,

30
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
k. Asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing.
Secara spesifik, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan sebagai landasan yuridis pembentukan Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah mengatur
asas-asas penyelengaraan pengaturan mengenai bendera, bahasa,
dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai simbol
identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas: persatuan, kedaulatan,
kehormatan, kebangsaan, kebhinnekatunggalikaan, ketertiban,
kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Dalam pembentukan Peraturan daerah mengenai usaha
pelestarian bahasa daerah, maka asas-asas tersebut di atas harus
menjadi pedoman (directives) dalam proses pembuatan Perda
mengingat fungsinya yang penting dalam persyaratan kualitas
aturan hukum, sehingga Perda yang dihasilkan memiliki
efektivitas dari segi pencapaian tujuan (doeltreffendheid),
pelaksanaan (uitvoerbaarheid) dan penegakan hukumnya
(handhaafbaarheid).15 Asas-asas umum pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik merupakan asas-asas yang
berfungsi untuk memberikan pedoman dan bimbingan bagi
penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang
sesuai, sehingga tepat penggunaan metode pembentukannya,
serta sesuai dengan proses dan prosedur pembentukan yang telah
ditentukan.

15
Menurut A.Hamid S Attamimi, 1990, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun
Waktu Pelita I- Pelita IV, Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana, Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm.331

31
C.Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang
Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat
Praktik pelestarian bahasa daerah sampai saat ini hanya
mendasarkan pada kebijakan di tingkat pusat, dalam arti
Pemerintah Daerah hanya melaksanakan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2009 Tentang , Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan, sementara pada level lokal hanya merujuk pada
hukum kebiasaan dan aturan-aturan dari Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, artinya memang sampai saat ini Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta tidak memiliki pijakan hukum bagi
pelestarian bahasa. Kondisi yang ini diperparah dengan laju
kelestarian daerah dikalangan masyarakat yang memprihatinkan,
banyak masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak
paham dengan pengguanaan susunan bahasa jawa. Kondisi ini
salah satunya disebabkan karena ketiadaan kebijakan yang
mendukung di tingkat daerah. Lebih lanjut lagi karena Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai pusat pendidikan, maka setiap
tahunnya pertambahan penduduk kian meningkat. Banyaknya
penduduk luar jawa yang datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta
untuk melanjutkan study inilah yang menjadi salah satu penyebab
banyaknya kebudayaan luar jawa yang datang dan melunturkan
keberadaan budaya jawa sendiri khusunya bahasa daerah. Selain
itu, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta belum merasakan
akan pentingkan bahasa daerah sebagai identitas Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini jika dikaitkan dengan usaha pelestarian bahasa
daerah, maka terdapat benang merah bahwa selama ini belum ada
harmonisasi pengaturan pelestarian bahasa daerah antara pusat
dan daerah, dan antara lembaga-lembaga di daerah (baik antar
dinas pada level provinsi maupun dengan pemda kabupaten dan
kota, maupun dengan kalangan masyarakat). Selain itu, belum

32
adanya harmonisasi pengaturan pelestarian bahasa daerah dengan
agenda lain, misalnya peningkatan kemampuan remaja akan
berbahasa asing untuk menhadapi masyarakat ekonomi asea
nantinya.

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang


Akan diatur dalam Peraturan Daerah
Implikasi penerapan Perda Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tentang Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan
Sastra, Bahasa dan Aksara Jawa, meliputi :
a. Terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat melalui Perda
yang partisipatif. Kebutuhan hukum adalah adanya aturan yang
menjadi pedoman pelaksanaan perlindungan, pembinaan dan
pengembangan sastra, bahasa dan aksara jawa.
b. Tercapainya tujuan usaha pengaturan pelestarian bahasa
daerah, yaitu: menjaga dan memelihara kelestarian bahasa,
sastra, dan aksara Jawa, sehingga menjadi faktor penting untuk
peneguhan jatidiri daerah; menyelaraskan fungsi bahasa,
sastra, dan aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan
dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; mengenali nilai-nilai
estetika, etika, moral, dan spiritual yang terkandung dalam
budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan
dan pengembangan kebudayaan Nasional; mendayagunakan
bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana untuk
pembangunan karakter dan budi pekerti luhur.
c. Implikasi Perda Baru adalah sumber hukum bagi kelestarian
bahasa daerah yang justru memperkuat keberadaan bahasa
daerah. Selain itu, dengan tumbuhnya usaha pelestarian bahasa
daerah maka dapat membuka peluang bagi diakuinya
masyarakat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
masyarakat Indonesia yang memiliki karakteristik tersendiri
yang lebih lanjut lagi dapat meningkatkan ketertarikan

33
masyarakat dunia untuk datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta
sekedar belajar bahasa daerah. Kemudian juga untuk
melindungi bahasa daerah agar tidak di klaim negara lain. Hal
ini mengingat negara luar yaitu Suriname yang leluhurnya
adalah warga negara Indonesia yang bisa berbahasa jawa
sehingga keturunannyapun bisa berbahasa jawa.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT

Secara metodologis upaya mencari suatu norma hukum yang


melandasi norma yang lebih rendah dan upaya mencari norma yang
lebih rendah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi tidak
berlangsung terus menerus tanpa batas (regressus ad infinitum),
sebab pada akhirnya harus ada norma yang dianggap sebagai norma
yang tertinggi atau puncak atau sampai berhenti pada norma yang
diatasnya dimana tidak ada lagi norma yang lebih tinggi yang
disebut groundnorm atau Staatsfundamentalnorm. Merujuk pada
teori tersebut, terbukti bahwa sistem norma hukum Indonesia

34
membentuk bangunan piramida, norma hukum yang berlaku berada
dalam suatu sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus
berkelompok-kelompok. Absahnya suatu norma hukum secara
vertikal ditentukan sejauh mana norma hukum yang berada di bawah
tidak bertentangan (sesuai atau tidak) dengan norma hukum yang
berada di atasnya. Berarti bahwa norma hukum tersebut berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan
norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila
(cita-cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan sumber bagi semua
norma hukum yang berada di bawahnya).
Norma hukum dalam konteks negara dimaknai sebagai
peraturan perundang-undangan, dan sebagai konsekuensi
dari negara hukum dengan menganut prinsip hierarki norma hukum,
maka sistem peraturan perundang-undangan juga bersifat heirarkis.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-Undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-Undangan. Hierarki peraturan perundang-
undangan di atas bertujuan untuk menentukan derajatnya masing-
masing dengan konsekuensi jika ada peraturan yang bertentangan,
maka yang dinyatakan berlaku adalah peraturan yang derajatnya
lebih tinggi. Di sini berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori
(hukum yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang
derajatnya lebih rendah).16

Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta,
16

hlm.206

35
Untuk itu, kajian ini bertujuan untuk menciptakan kepastian
hukum agar tercapai sinkronisasi antara Peraturan Daerah dengan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan yang lebih tinggi yang
menjadi payung hukumnya ataupun Peraturan yang lebih tinggi
lainnya. Sinkronisasi ini diperlukan agar Peraturan Daerah absah
secara konstitusional, selain itu untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih pengaturan. Bahkan lebih jauh diarahkan agar
peraturan daerah yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan
yang berada di atasnya. Untuk mengantisipasi adanya
ketidakharmonisan atau pertentangan norma hukum diperlukan
upaya harmonisasi. Dalam arti bahwa harmonisasi merupakan upaya
maupun proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,
hal-hal yang bertentangan, dan kejanggalan. 17 Harmonisasi perlu
mendapat perhatian karena dalam praktiknya timbul pertentangan
antara satu norma hukum dengan norma hukum yang lainnya, hal ini
disebabkan karena tidak adanya jaminan absolut dalam sebuah
kesatuan tatanan hukum, tidak adanya problem pertentangan norma
hukum.18
Harmonisasi norma hukum ini bukan sesuatu yang dapat terjadi
dengan sendirinya, melainkan harus diciptakan, salah satu upayanya
adalah melalui evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan
terkait yang dilakukan pada saat pembentukan Peraturan. Hasil
evaluasi dan analisis pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Pengaturan, Perlindungan,
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa,
meliputi:
1. Undang-Undang Dasar 1945

17
Heryandi, dalam “Urgensi Harmonisasi Hukum Pengelolaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Lepas Pantai Era Otonomi Daerah, Jurnal Media Hukum
Volume 16 No.3 Desember 2009, hlm.505
18
Imam Soebhechi, 2012, Judical Review: Perda Pajak dan Retribusi Daerah,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm.266

36
Pasal 18 ayat (6) mengatur ketentuan bahwa “pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”. Pasal ini telah memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah terkait
dengan kewenangan daerah yang dimilikinya.
Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi
1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.
Dari pasal tersebut kita sudah dapat mengetahui bahwa
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan
keanekaragaman yang kompleks. Dari ketentuan pasal diatas juga
dapat disimpulkan bahwa negara memberi kesempatan dan
keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan dan
mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya
masing-masing. Selain itu, negara memajukan kebudayaan
nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Kebebasan yang diberikan Undang-Undang
Dasar 1945 bukan berarti kebebasan yang tanpa pembatasan
karena hingga pada batas tertentu pengembangan dan
penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan
ketentuan lain. Untuk keperluan bernegara, kebebasan
penggunaan bahasa daerah yang diamanatkan itu akan terbentur
dengan batas penggunaan bahasa negara. Untuk keperluan hidup
dan pergaulan sosial, keleluasaan penggunaan satu bahasa
daerah harus juga menghormati penggunaan bahasa daerah lain.
Dengan kata lain, keleluasaan penggunaan dan pengembangan

37
bahasa daerah dalam banyak hal juga tidak boleh melanggar
norma “sosial” dan norma perundang-undangan lainnya yang ada.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan.
Pasal 1 ayat (6) mengatakan bahwa Bahasa daerah adalah
bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara
Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
bahasa daerah atau bahasa yang turun temurun digunakan oleh
nenek moyang adalah bahasa jawa.
Pasal 42 ayat (1) menjelaskan bahwa Pemerintah daerah wajib
mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra
daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman
dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 telah memberikan
kewenangan dan kewajiban penanganan bahasa dan sastra
Indonesia kepada pemerintah pusat dan memberikan kewenangan
dan kewajiban penangan bahasa dan sastra daerah kepada
pemerintah daerah. Akan tetapi, dalam hal itu semua pemerintah
pusat diberi juga kewenangan merumuskan kebijakan nasional
kebahasaan yang di dalamnya juga memuat kebijakan tentang apa
dan bagaimana pengembangan, pembinaan, dan pelindungan
bahasa daerah itu harus dilakukan. Pemerintah daerah juga diberi
kewajiban mendukung pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa Indonesia. Sebaliknya, pemerintah pusat juga
harus memberikan dukungan, baik dukungan pendanaan maupun
kepakaran, kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah.
Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
penanganan bahasa dan sastra daerah menjadi tanggung jawab

38
pemerintah daerah dan dalam pelaksanaan tanggung jawab itu,
pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat
sebagai pembuat kebijakan nasional kebahasaan. Selain berupa
pembagian tugas yang lebih terperinci, koordinasi itu dapat juga
berupa fasilitasi kepakaran dan dukungan sumber daya.
Penanganan terhadap bahasa dan sastra daerah diklasifikasikan
ke dalam tiga hal, yaitu pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa dan sastra daerah. Dalam pengembangan
bahasa dilakukan upaya memodernkan bahasa melalui
pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem
bahasa, dan pengembangan laras bahasa. Dalam pembinaan
bahasa dilakukan upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa
melalui pembelajaran bahasa serta pemasyarakatan bahasa ke
berbagai lapisan masyarakat.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014
Tentang Pengembangan, Pembinaan dan Perlindungan Bahasa
dan Sastra Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
Pasal 1 ayat (2) menjelaskan bahwa Pembinaan Bahasa adalah
upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui
pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta
pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat.
Dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Pelindungan Bahasa
adalah upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui
penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa Bahasa Daerah adalah
bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara
Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Pasal 1 ayat (8) menjelaskan jika Sastra Daerah adalah karya
kreatif yang berisi pemikiran, pengalaman, dan penghayatan atas
kehidupan yang diungkap secara estetis dalam bahasa daerah,

39
tinjauan kritis atas karya sastra dalam bahasa daerah, atau
tinjauan kritis atas karya sastra daerah.
Dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014
melakukan pembinaan bahasa dalam pendidikan di seluruh
jenjang pendidikan merupakan salah satu untuk melestarikan
bahasa. Sama halnya dengan bahasa daerah yakni bahasa jawa
apabila dalam kurikulum pendidikan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mewajibkan adanya pelajaran bahasa jawa maka
bahasa jawa tidak akan punah. Pada hakekatnya bahasa jawa
merupakan bahasa daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
serta budaya daerah yang harus dilestarikan keberadaannya
karena bahasa daerah berfungsi sebagai (Pasal 6 ayat (1))
pembentuk kepribadian suku bangsa, peneguh jati diri
kedaerahan dan sarana pengungkapan serta pengembangan
sastra dan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan. Selain itu
berfungsi sebagai (Pasal 6 ayat (2):
a. Sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat daerah
b. Bahasa Media Massa lokal
c. Sarana pendukung Bahasa Indonesia
d. Sumber Pengembangan Bahasa Indonesia.
Pasal 9 :
1. Pemerintah Daerah mengembangkan, membina, dan
melindungi bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
2. Pemerintah Daerah melaksanakan:
a.Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan
Sastra Daerah; dan
3. Pemerintah Daerah dalam melaksanakan Pengembangan,
Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi
dengan Badan.
Badan yang dimaksud diatas adalah lembaga kebahasaan yang

40
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang
mempunyai tugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan
pelindungan bahasa dan sastra Indonesia. Dengan berlandaskan
pada Pasal 9 pemerintah daerah berhak untuk mengembangkan
dan melestarikan bahasa daerahnya masing-masing agara tidak
punah dengan banyaknya bahasa modern di Indonesia. Sehingga
peraturan pemerintah ini memberikan kebijakan kepada
pemerintah daerah untuk dapat melakukan pembinaaan dan
perlindungan terhadap bahasa daerahnya. Salah satu cara yang
dapat dilakukan pemerintah daerah untuk melestarikannya
dengan membuat peraturan daerah untuk melestarikan bahasa
daerah.
Pasal 12 :
1) Pengembangan Bahasa Daerah dilakukan untuk memantapkan
dan meningkatkan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
2) Pengembangan Bahasa Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. Penelitian kebahasaan
b. Pengayaan kosakata
c. Pembakuan dan kodifikasi kaidah bahasa
d. Penyusunan bahan ajar
e. Penerjemahan
f. Publikasi hasil pengembangan Bahasa Daerah.
3) Pembakuan dan kodifikasi kaidah bahasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa tata bahasa, tata
aksara, kamus, ensiklopedia, glosarium, rekaman tuturan, atau
bentuk lain yang sejenis.
Pasal 14 :
1. Pengembangan Sastra Daerah dilakukan untuk mendukung
dan memperkukuh kepribadian suku bangsa, meneguhkan jati
diri kedaerahan, dan mengungkapkan serta mengembangkan

41
budaya daerah dengan Bahasa Daerah yang bersangkutan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pengembangan Sastra Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui:
a. Penelitian kesastraan daerah;
b. Peningkatan jumlah dan mutu karya Sastra Daerah dan
kritik sastra daerah;
c. Kodifikasi sastra daerah
d. Penerjemahan
e. Publikasi hasil pengembangan Sastra Daerah
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengembangan Sastra Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Menteri.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015
Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal 2
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Kemeriterian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan
fungsi:
h. pelaksanaan pengembangan, pembinaan dan pelindungan
bahasa dan sastra

42
Skema 1.Derajat Heirarkis aturan Pelestarian Bahasa Daerah

UUD
NRI
1945

UU 29/2004 TENTANG
BENDERA, BAHASA DAN
LAMBANG NEGARA SERTA
LAGU KEBANGSAAN

PERATURAN PEMERINTAH TENTANGNOMOR


57/2014 TENTANG PENGEMBANGAN,
PEMBINAAN DAN PERLINDUNGAN BAHASA
DAN SASTRA SERTA PENINGKATAN FUNGSI
BAHASA INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 14/2015 TENTANG


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PERDA PROV. DIY TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBINAAN DAN


PENGEMBANGAN SASTRA, BAHASA DAN AKSARA JAWA

Skema tersebut menunjukan bahwa secara heirarkis aturan


Perda Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Sastra, Bahasa
dan Aksara Jawa di Provins Daerah Istimewa Yogyakarta yang
hendak disusun memang telah sesuai dengan derajat kekuatan dan
kevalidan norma masing-masing agar tercipta sistem norma hukum
yang harmonis baik secara vertikal maupun horizontal. Artinya
bahwa Perda Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Sastra,
Bahasa dan Aksara Jawa dibuat untuk melaksanakan kewenangan
daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan. Dengan demikian bahwa Perda tersebut
telah harmonis dan sinkron terhadap Peraturan perundang-
undangan diatasnya, harmonis dalam arti bahwa adanya

43
keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan antar norma
hukum yang berlaku. Selain itu dalam perspektif sumber hukum,
bahwa Perda Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Sastra,
Bahasa dan Aksara Jawa yang hendak disusun memang sudah
disesuaikan bahkan bersumber pada aturan yang berada diatasnya
(Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Peraturan lainnya yang
lebih tinggi).

44
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan mengatur beberapa pengertian yang
berkaitan dengan pembentukan undang-undang. Pasal 1 angka 2
menyebutkan bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan”. Peraturan Daerah Provinsi adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama
Gubernur. Sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 mengatur ketentuan bahwa “Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan”.
Terkait pembentukan undang-undang, dalam teori hukum
dikenal adanya landasan pembentukan Peraturan Daerah Provinsi,
landasan ini diperlukan agar Peraturan Daerah Provinsi yang
dibentuk memiliki kaidah atau norma hukum yang sah secara hukum
(legal validity) dan menghasilkan Peraturan Daerah Provinsi yang
berkualitas; memiliki substansi yang berkeadilan, berkemanfaatan
hukum, berkepastian hukum, serta tidak mengandung norma hukum/
materinya yang bertentangan dengan aturan di atasnya; dan
tentunya harus mampu berlaku efektif di dalam masyarakat secara
wajar serta berlaku untuk waktu yang panjang. Beberapa landasan
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tentang Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan

45
Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa meliputi: landasan filosofis,
landasan yuridis, dan landasan sosiologis. Uraian landasan tersebut
di bawah ini:
A.Landasan Filosofis
Hal berlakunya norma hukum secara filosofis, artinya adalah
norma hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee)
sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositieven wet). Peraturan
Perundang-undangan selalu mengandung norma-norma hukum
yang di idealkan (ideals norm) oleh suatu masyarakat ke arah
mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
diarahkan, karena itu Peraturan Daerah Provinsi dapat
digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu
masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan
Peraturan Daerah Provinsi yang bersangkutan dalam kenyataan.
Oleh karena itu cita-cita filosofis yang terkandung dalam
Peraturan Daerah Provinsi itu hendaklah mencerminkan cita-cita
filosofis yang dianut masyarakat yang bersangkutan19
Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
atau dasar filosofis (filosofische grondslag) apabila rumusannya
atau norma-normanya mendapatkan pembenaran
(rerchtvaardiging) dikaji secara filosofis.Dalam sebuah Peraturan
Daerah Provinsi, landasan filosofis terkandung dalam konsideran/
dasar menimbang pembentukan Peraturan Daerah tersebut.
Secara umum rencana pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyaakarta tentang pelestarian bahasa jawa
bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif
masyarakat terhadap bahasa itu.
2. Upaya pelindungan dilakukan dengan menjaga dan memelihara

Jimly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, JakartaJimly


19

Asshidiqie, hlm.117

46
kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan,
pembinaan, dan pengajarannya.
3. Agar bahasa daerah khususnya bahasa jawa tidak terkikis oleh
perkembangan zaman yang semakin pesat.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Jawa
memiliki fungsi sebagai
1. lambang kebanggaan daerah
2. lambang identitas daerah
3. alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah
(Khalim dalam Tubiyono,2008)20

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis lebih difokuskan pada perspektif medan
penerapan hukum dalam keadaan nyatanya, yang selalu disertai
ciri berupa penerimaan (acceptance) peraturan oleh sekelompok
masyarakat, berlakunya kaidah hukum secara sosiologis adalah
efektifitas kaidah hukum di dalam lapangan masyarakat. Menurut
Soerjono Soekanto bahwa landasan teoritis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu peraturan perundang-undangan
dikaitkan dengan dua teori. Pertama, teori kekuasaan, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, terlepas diterima atau tidak oleh
komunitas masyarakat. kedua teori pengakuan, yang menyatakan
bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan
atau pengakuan masyarakat ditempat hukum itu diberlakukan.21
Sebelum mengkaji landasan yuridis, penting dikemukakan
kondisi sosiologis Daerah Istimewa Yogyakarta.  Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di
Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan
http://www.kompasiana.com/isyaokta/penggunaan-bahasa-jawa-untuk-melestarikan-warisan-budaya-
20

indonesia-dalam-lingkup-pemuda-jawa_54f7563ca33

Jazim Hamidi dan Kemilau Mutik, 2011, Legislative Drafting, Total Media,
21

Yogyakarta, hlm.30

47
Ngayogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah
Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan
berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.
Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas
satu kotamadya, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi
78 kecamatan, dan 438 desa atau kelurahan. Menurut sensus
penduduk pada tahun 2010, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan
1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk
sebesar 1.084 jiwa per km.
Yogyakarta adalah provinsi yang sangat terkenal dengan
kebudayaannya. Karena pada dasarnya yogyakarta sendiri
merupakan daerah kesultanan yang dipimpin oleh seorang sultan.
Yogyakarta memiliki kekayaan budaya yang amat kental dan masih
dapat kita lihat di Keraton Yogyakarta yang masih
mempertahankan budaya yogyakarta seperti menggunakan
pakaian daerah, tata kehidupan daerah dan bahasa daerah tetap
menjadi bahasa yang mereka perioritaskan.
Bahasa Jawa baku merupakan bahasa Jawa yang digunakan di
wilayah Yogyakarta dan Surakarta, bahasa Jawa yang digunakan di
kedua wilayah ini dianggap sebagai bahasa Jawa baku oleh
masyarakat bahasa Jawa pada umumnya. Ciri utama yang
menandai bahasa Jawa baku adalah hadirnya seluruh ragam tutur
ngoko, madya, krama dalam percakapan sehari-hari baik dalam
situasi formal maupun informal. Bahasa Jawa memiliki nilai sastra
yang tinggi, serta struktur dan tata bahasa yang rumit. Untuk
menerapkannya sangatlah tidak mudah apalagi bagi orang awam
yang belum mengetahui bahasa Jawa sama sekali. Hal ini
disebabkan penggunaannya bukanlah menurut waktu jenis
lampau, sekarang, maupun waktu yang akan datang seperti
layaknya bahasa Inggris yang memiliki tenses sehingga cukup
mudah untuk dipelajari, melainkan menurut status orang yang

48
berbicara dan dengan siapa ia berbicara. Menurut Bastomi (1995)
bahasa Jawa memiliki pembagian tingkatan-tingkatan bahasa yang
cukup rinci. Penempatan bahasa Jawa berbeda-beda sesuai pada
perbedaan umur jabatan, derajat serta tingkat kekerabatan antara
yang berbicara dengan yang diajak bicara, yang menunjukkan
adanya ungah-ungguh bahasa Jawa. 

C.Landasan Yuridis
Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia membentuk
bangunan piramida, peraturan yang berlaku berada dalam suatu
sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus
berkelompok-kelompok. Absahnya suatu peraturan secara vertikal
ditentukan sejauhmana peraturan yang berada di bawah tidak
bertentangan (sesuai atau tidak) dengan peraturan di atasnya.
Dalam arti bahwa peraturan tersebut berlaku, bersumber dan
berdasar pada peraturan yang lebih tinggi, dan peraturan yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang
lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat
Indonesia, dasar dan sumber bagi semua norma hukum di
bawahnya).
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 mengandung
ketentuan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia yang terdiri atas:
1. UUD 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi

49
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota
Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR,
DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau
Pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi,
Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat. Kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan”.
Heirarki peraturan perundang-undangan di atas bertujuan
menentukan derajatnya masing-masing dengan konsekuensi
bahwa peraturan yang berada di bawahnya harus bersumber pada
peraturan yang berada di atasnya dan jika ada peraturan yang
bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah yang
derajatnya lebih tinggi. Di sini berlaku asas lex superiori derogat
legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).
Beberapa landasan yuridis yang melandasi terbentuknya
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang
Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan
Aksara Jawa meliputi:
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009
tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun
2014 Pengembangan, Pembinaan dan Perlindungan Bahasa

50
dan Sastra Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015
Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

BAB V
RUANG LINGKUP PENGATURAN

A.Ketentuan Umum
Ketentuan umum ini merupakan suatu ketentuan yang
memberikan batasan terhadap pengertian atau defenisi yang ada
dalam Peraturan Daerah, singkatan atau akronim, dan hal-hal lain
yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya,
seperti ketentuan yang mencerminkan tujuan.
a. Daerah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota dan
perangkat daerah kabupaten / kota di wilayah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
d. Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

51
e. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat
SKPD adalah Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai pelaksana otonomi di bidang
bahasa, sastra, dan aksara Jawa.
f. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar agar peserta didik memiliki
kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Jawa dan secara
aktif mampu memahami nilai-nilai estetika, etika, moral,
kesantunan, dan budi pekerti.
g. Pelindungan adalah upaya menjaga dan memelihara
kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa melalui upaya
penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajaran.
h. Pembinaan adalah upaya untuk meningkatkan mutu
penggunaan bahasa, sastra, dan aksara Jawa melalui
pembelajaran di lingkungan pendidikan formal, nonformal,
keluarga, dan masyarakat.
i. Pengembangan adalah upaya menyelaraskan pemakaian
bahasa, sastra, dan aksara Jawa agar sejalan dengan
pembinaan bahasa Indonesia.
j. Bahasa Jawa adalah bahasa yang dipakai secara turun-temurun
oleh masyarakat di daerah atau penutur lainnya, sebagai
sarana komunikasi dan ekspresi budaya.
k. Sastra Jawa adalah karya kreatif yang berupa pemikiran,
pengalaman dan penghayatan atas kehidupan yang
diungkapkan secara estetis dalam bahasa dan aksara Jawa,
serta tinjauan kritis atas karya sastra dalam bahasa Jawa
l. Aksara Jawa adalah carakan atau huruf yang mempunyai
bentuk, tanda grafis, sistem, dan tatanan penulisan yang
digunakan untuk bahasa dan sastra Jawa dalam perkembangan
sejarahnya.

B. Ruang Lingkup dan Isi Pengaturan

52
Ruang lingkup pengaturan ini berisi materi-materi yang akan
diatur dalam Peraturan Daerah yang akan disusun, adapun ruang
lingkup materi muatan meliputi
BAB I KETENTUAN UMUM
BAB II TUJUAN DAN SASARAN
BAB III WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
BAB IV UPAYA DAN RUANG LINGKUP
BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT
BAB VI STRATEGI
BAB VII PEMBINAAN DAN KOORDINASI
BAB VIIISANKSI ADMINISTRATIF
BAB IX UPAYA ADMINISTRATIF
BAB X KETENTUAN PENYIDIKAN
BAB XI KETENTUAN PIDANA
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP

BAB VI
PENUTUP

A.Kesimpulan

53
1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah
provinsi yang memiliki budaya lokal yang unik mengingat
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan bagian dari
Keraton Ngayogyakrta Hadiningrat, budaya lokal tersebut
seperti bahasa lokal, sastra dan aksaranya jika dikelola dengan
baik dapat dipastikan menjadikan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai daerah yang mempunyai nilai yang tinggi.
2. Permasalahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
menjaga kelestarian bahasa lokal yaitu terpengaruhnya
masyarakat akan budaya barat atau budaya luar jawa yang
datang seiring dengan kedatangan penduduk luar jawa ke
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Anak remaja masa
sekarang menganggap jika ia tetap menggunakan bahasa jawa
maka ia akan merasa malu karena ketinggalan zaman, padahal
bahasa lokal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu bahasa
jawa memiliki tingkat kesopanan yang sangat tinggi. Hal ini
terlihat dari susunan kata yang ada dimana terdapat pembedaan
dalam penyebutan orang lain yang lebih tua atau Typomemiliki
jabatan yang lebih tinggi. Kemudian juga terdapat perbedaan
beberapa kata seperti rumah. Menurut masyarakat awam pasti
tidak ada kesalahan dalam kata-kata tersebut. Namun jika
ditelaah lebih lanjut maka kita akan menemukan hal yang
kurang baik. Misalnya tempat tinggal manusia atau hewan yang
disebut rumah. Dengan adanya istilah yang sama tersebut maka
secara tidak langsung manusia dipersamakan dengan hewan.
Sedangkan jika dalam bahasa jawa, tempat tinggal manusia
disebut omah sedangkan tempat tinggal hewan disebut
kandang. Sehingga dapat disimpulkan jika dalam bahasa jawa
sudah ada pemikiran untuk membedakan antara manusia dan
hewan. Jadi bahasa jawa memiliki unggah-ungguh yang tinggi.
3. Konsidi yang semakin memburuk disebabkan karena kurangnya
perhatian pemerintah akan pelestarian bahasa jawa. Hal ini bisa

54
terlihat dari program pendidikan bagi siswa siswi di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dimana mata pelajaran bahasa
jawa hanya dianggap sebagai mata pelajaran tambahan
disamping mata pelajaran pokok lainnya seperti matematika.
Siswa siswi hanya mendapatkan pengajaran bahasa jawa dari
guru mereka sebanyak dua jam mata pelajaran dalam seminggu
itupun masih terancam dengan adanya libur bersama atau guru
yang bersangkutan tidak dapat hadir untuk mengajar. Maka
tidaklah heran jika anak-anak zaman sekarang terlihat tidak
terlalu pandai menggunakan bahasa jawa. Kalaupun bisa maka
bahasa jawa yang mereka kuasai adalah bahasa jawa ngoko
(bahasa yang tingkat kesopanannya paling rendah).
4. Ketiadaan aturan tentang Pelestarian bahasa jawa di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Pemerintah akan
memperparah kelestarian bahasa lokal tersebut. Ada aturannya
saja masih banyak orang yang mengacuhkan sesuatu yang
diatur dengan aturan tersebut. Bagaimana jika tidak diatur,
maka pastinya akan ditinggalkan.
5. Permasalahan kelestarian bahasa lokal tersebut dipecahkan
atau diselesaikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi (Gubernur)
dan DPRD melalui pembentukan Perda Perlindungan,
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa
yang mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik,
sistematis dan komprehensif.

B. Saran
Berdasarkan uraian di atas serta pendapat dari berbagai
kalangan pihak terkait (stakeholders) dalam basis good governance
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Naskah Akademik dan Draft Rancangan Peraturan Daerah
Tentang Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Sastra dan Aksara Jawa ini terbuka untuk disempurnakan oleh

55
pihak-pihak terkait, dan diharapkan Rancangan Peraturan Daerah
ini sudah dapat dibahas pada tahun 2016 mendatang.
2. Draft Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tentang Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa yang bersifat komprehensif,
holistik dan bersifat solusi harus segera dibuat, sebagai landasan
bagi pelestarian bahasa lokal (bahasa jawa) yang bersifat terpadu.
3. Merujuk pada aturan yang lebih tinggi (Undang-Undang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Peraturan
Pemerintah Tentang Pengembangan, Pembinaan dan Perlindungan
Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa serta
beberapa Peraturan Perundang-Undangan lain), maka Peruran
Daerah yang akan di bentuk lebih tepat jika berjudul Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang
Perlindungan, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan
Aksara Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel


A.Hamid. S. Attamimi. 1990, Disertasi “Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan
Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita
IV. Program Doktor Fakultas Pasca Sarjana Universitas
Indonesia Jakarta
Ahmad, 1995. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Alwi, Hasan. 2000. Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta:
Grasindo.
Astawa, I Gede Pantja. 2008. Problematika Hukum Otonomi Daerah
di Indonesia. Bandung: Alumni

56
Asshidiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta :
RajaGrafindo Persada
Handoyo, B. Hestu Cipto. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia.
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
Hamidi, Jazim. 2006. Revolusi Hukum Indonesia: Makna,
Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jakarta :
Konstitusi Press
------- dan Kemilau Mutik. 2011. Legislative Drafting. Yogyakarta :
Total Media
Huda, Ni’matul. 2010. Problematika Pembatalan Peraturan Daerah.
Yogyakarta : FH UII Press
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Wiwara Pengantar Bahasa dan
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
-------. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta : FH UII Press
-------.2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pusat
Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Marzuki, HM. Laica. 2005. Berjalan-jalan di Ranah Hukum: Pikiran-
Pikiran Lepas. Jakarta : Konstitusi Press
Rahardjo, Maryono. 2001. Bahasa Jawa Krama. Jakarta: Pustaka
cakra
Yuliandri. 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang
Berkelanjutan. Jakarta : Rajawali Pers

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang
Bendera, Bahasa Dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan

57
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014
Tentang Pengembangan, Pembinaan dan Pelindungan Bahasa
dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015
Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

58

Anda mungkin juga menyukai