Anda di halaman 1dari 12

PENYELESAIAN SENGKETA JASA KONSTRUKSI

MELALUI DEWAN SENGKETA

Nama : Nency Dina Kharisma

Nomor Induk Mahasiswa : 20160610411

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Saat ini, Indonesia sedang dihadapkan oleh fenomena pemerataan
pembangunan. Menurut data yang dihimpun melalui Badan Pusat Statistika
menyatakan bahwa gencarnya pembangunan di Indonesia telah menjadikan
Jasa Konstruksi sebagai salah satu sector yang telah memberikan pengaruh
besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor Konstruksi telah
memberi kontribusi sebesar 11% pada tahun 2018 terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia. Badan Pusat Statistika juga menyatakan bahwa dengan
melakukan pemerataan pembangunan hal ini juga memberikan pengaruh yang
besar terhadap lain seperti pemerataan ketahanan pangan, memberi akses yang
mudah untuk pengadaan barang dan jasa, serta menambah daya tarik pada
sector pariwisata.1
Jasa konstruksi merupakan layanan jasa konsultasi konstruksi dan/atau
pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh pemberi layanan jasa konstruksi.2
Jasa konstruksi timbul dikarenakan bertemunya dua kepentingan yakni dari
pengguna jasa dan pemberi layanan jasa. Oleh karena kepentingan itulah
mereka dapat memperjanjikan serta menyepakati layanan jasa yang mereka
inginkan dengan cara mengikatkan diri mereka secara hukum melalui suatu
perjanjian atau kontrak kerja. Dalam hal kontrak yang dimaksud adalah adalah
kontrak kerja konstruksi yang merupakan keseluruhan dokumen kontrak yang
mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam
penyelenggaraan jasa konstruksi.3

1
Badan Pusat Statistik, 2019, Kontribusi Sektoral Terhadap PDB (2018)
2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi Pasal 1 ayat (1)
3
Ibid., Pasal 1 ayat (8)
Dalam penyelenggaraan jasa konstruksi selain memberikan dampak
positif yang cukup banyak, terdapat juga resiko yang cukup besar apabila
terjadi sengketa dalam proses konstruksi. Yang mana apabila tidak segera
ditangani hal ini akan menimbulkan berbagai macam kerugian bagi kedua belah
pihak dari mulai kerugian biaya, waktu, produktivitas, serta popularitas dan
relasi. Oleh karenanya penyelesaian sengketa konstruksi perlu ditangani secara
cepat, ekonomis dari segi pembiayaan serta tidak menimbulkan relasi yang
buruk antara satu sama lain.
Permasalahan mengenai sengketa jasa konstruksi telah termaktub dalam
Undang-Undang Jasa Konstruksi 2017 yang menyatakan bahwa para pihak
wajib mencantumkan pilihan penyelesaian sengketa konstruksi. Sehingga
apabila saat proses konstruksi berlangsung dan secara bersamaan terjadi
sengketa maka para pihak tidak perlu bingung untuk menyelesaikan
masalahnya serta dapat diatasi secara cepat dan efisien. Dalam menyelesaikan
permasalahan dibidang jasa konstruksi, Undang-Undang Jasa Konstruksi 2017
juga telah mencantumkan beberapa cara yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan suatu perkara yakni melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, serta
para pihak dapat membuat dewan sengketa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sengketa konstruksi?
2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa Konstruksi melalui
Dewan Sengketa?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui mengenai apa itu sengketa konstruksi serta penyebab
terjadinya sengketa
2. Untuk memahami cara penyelesaian sengketa Jasa Konstruksi melalui
Dewan Sengketa
BAB II

ISI

A. Sengketa Konstruksi
Sengketa Konstruksi merupakan suatu perkara yang timbul dari
pelaksanaan suatu kontrak mengenai pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna
jasa dengan penyedia jasa. Sengketa Konstruksi timbul sebagai akibat dari
adanya beda pemahaman akan kontrak yang telah disepakati. Akibatnya, beda
paham ini dapat menimbulkan suatu permasalahan yang dapat berdampak pada
jalannya proses konstruksi.
Penyebab terjadinya sengketa konstruksi itu sendiri dapat diperoleh dari
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal itu sendiri merupakan
faktor yang berasal dari luar yang mana faktor itu tidak dapat diubah dan
dipengaruhi. Factor eksternal yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa
hukum yakni: factor politik, ekonomi dan keamanan yang tidak stabil,
perubahan aturan hukum, factor lingkungan, serta factor cuaca yang tidak
mendukung.
Selain factor eksternal terdapat juga factor internal yang dapat menjadi
penyebab akan adanya suatu sengketa. Factor internal itu sendiri yakni factor
yang berasal dari pihak-pihak dalam yang telah menyepakati suatu kontrak
yakni pengguna jasa serta penyedia jasa. Contoh penyebab adanyanya sengketa
melalui factor internal yakni: perbedaan pemahaman akan kontrak yang telah
diperjanjikan serta pada pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan baik dari aspek teknis, aspek waktu, serta aspek biaya.4
Penyebab timbulnya sengketa jasa konstruksi dapat berasal dari segala
aspek, mengingat akan kompleksitas dari jasa konstruksi itu sendiri. Namun

4
Felix Hidayat dan Christian Gunawan, “Analisis Karakteristik Penyelesaian Sengketa Pada Proyek
Konstruksi di Tingkat Mahkamah Agung”, Konferensi Nasional Teknik Sipil (KoNTeks 7), Universitas
Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 24-26 Oktober 2013, hlm K-97.
umumnya penyebab sengketa konstruksi cenderung lebih banyak disebabkan
oleh factor dari manusia itu sendiri. Misalnya salah satu dari pihak yang
bersangkutan tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya seperti yang telah
tertera dalam kontrak kerja, para pekerja yang tidak kompeten, serta para
pekerja yang tidak professional dalam menjalankan pekerjaannya.
Dapat kita ketahui juga bahwa sebuah kontrak kerja menjadi pedoman
utama dalam menjalankan sebuah pekerjaan. Apabila pembuat kontrak tidak
cermat dalam membuat sebuah kontrak seperti ketidak cermatan dalam
menyusun kalimat sehingga menjadi multitafsir, atau isi dari kontrak tersebut
kurang lengkap hal ini tentunya sangat memungkinkan terjadinya sengketa di
kemudian hari. Bahkan meskipun kontrak telah dibuat dengan sangat teliti,
tidak menutup kemungkinan akan adanya sengketa di kemudian hari.
Objek permasalahan yang dipersengketakan oleh para pihak dalam hal
jasa konstruksi yakni mengenai perubahan mutu, perubahan harga, serta
perubahan biaya dari apa yang telah diperjanjikan sebelumnya. Apabila
sengketa tersebut berhasil ditangani maka kesepakatan akan dirubah dan
kontrak akan diperbarui. Namun apabila kedua belah pihak tidak mencapai
sebuah kesepakatan maka penyelesaian sengketa harus dijalankan melaui
bantuan dari pihak ketiga.
Oleh karenanya diperlukan kecermatan dalam pembuatan kontrak, yang
mencakup sebuah antisipasi untuk mengatasi apabila terjadi suatu
permasalahan di kemudian hari. Pada umumnya terdapat dua cara untuk
mengatasi sebuah sengketa yakni melalui jalur litigasi dan non-litigasi.
Menyelesaikan sebuah sengketa melalui jalur litigasi artinya menyelesaikan
sebuah permasalahan melalui pengadilan. Sementara melalui jalur non litigasi
artinya menyelesaikan suatu permasalahan diluar pengadilan.
Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 2 tahun 2017 juga telah
memberikan arahan mengenai alur penyelesaian suatu sengketa. Yang mana
dalam undang-undang tersebut cenderung mendukung penyelesaian sengketa
melalui jalur non-litigasi. Hal ini dibuktikan dengan tidak tercantumnya frasa
‘pengadilan’ di dalam pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa.
Namun tidak menutup kemungkinan jika para pihak menginginkan sengketa
mereka untuk dibawa ke ranah pengadilan, mengingat hal tersebut telah
tercantum dalam penjelasan pasal yang berbunyi “... penyelesaian perselisihan
ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun
pengadilan.”5.
Akan tetapi apabila dicermati kembali, isi dari undang-undang tersebut
secara limitative telah memberikan batasan mengenai cara penyelesaian
sengketa yang dianjurkan. Terdapat beberapa cara dalam mengatasi sengketa
konstruksi yang tercantum dalam pasal 88 ayat (3) yakni melalui mediasi,
konsiliasi, dan arbitrase. Yang mana dalam ayat (4) pasal yang sama juga
dijelaskan bahwa cara mediasi dan konsiliasi dapat digantikan dengan
pembentukan Dewan Sengketa.

B. Penyelesaian Sengketa Konstruksi melalui Dewan Sengketa


1. Dewan Sengketa
Secara garis besar penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua
mekanisme yakni melalui jalur Litigasi dan Non-Litigasi. namun mengingat
Jasa Konstruksi melibatkan banyak pihak maka sangat dianjurkan untuk
menempuh suatu penyelesaian perselisihan di dalamnya melalui jalur Non
Litigasi. hal ini untuk mempersingkat waktu penyelesaian permasalahan,
menghemat biaya yang diperlukan untuk menangani perselisihan, serta
mencari jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan untuk mencapai
win-win solution.
Terdapat beberapa jalur Non-Litigasi yang dapat ditempuh dalam
penyelesaian sengketa jasa konstruksi, yakni: Mediasi, Konsiliasi, Dewan

5
Penjelasan Pasal 47 ayat (1) huruf (h) Undang-Undang Jasa Konstruksi Tahun 2017
Sengketa, dan Arbitrase. Namun terhadap opsi lain untuk menyelesaikan
sengketa konstruksi yakni melalui pembentukan Dewan Pengawas. Dewan
pengawas dapat menggantikan penyelesaian sengketa melalui Mediasi dan
Konsiliasi. Hal ini dilakukan untuk mempercepat proses penyelesaian
sengketa, mengurangi biaya yang harus dikeluarkan, serta mengutamakan
penyelesaian sengketa yang saling menguntungkan bagi para pihak yang
bersengketa.
Dewan Sengketa sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang
Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 yakni sebuah tim yang dibentuk
berdasarkan kesepakatan para pihak sejak pengikatan Jasa Konstruksi untuk
mencegah dan menengahi sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaan
kontrak kerja konstruksi.6 Dengan adanya dewan sengketa yang dibentuk
sejak sebelum kontrak kerja dijalankan, hal ini terlihat dapat meminimalisir
potensi terjadinya sengketa di kemudian hari. Dalam hal ini artinya dewan
sengketa telah dibentuk jauh sebelum terjadinya sengketa, maka diharapkan
Dewan Sengketa dapat lebih memahami karakteristik dan kondisi yang
terjadi di lapangan supaya dapat menengahi perselisihan yang terjadi
dengan seadil-adilnya dan memberikan solusi yang sama-sama
menguntungkan bagi para pihak.
Pada dasarnya Dewan Sengketa dibentuk berdasarkan dua alasan:
1) Untuk mencegah terjadinya perselisihan
2) Sebagai alternative penyelesaian sengketa
Dewan sengketa dapat menjalankan tugasnya untuk mencegah
terjadinya perselisihan yakni dengan mendapatkan dokumen kontrak,
mendapatkan spesifikasi pembangunan serta melakukan pengamatan
terhadap kinerja dari kedua belah pihak. Dewan sengketa juga bisa
melakukan pengamatan-pengamatan secara berkala demi menjaga

6
Penjelasan pasal 88 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017
komunikasi yang baik antara para pihak dan memberikan rekomendasi bila
diperlukan supaya tidak terjadi sengketa di kemudian hari. Namun apabila
pencegahan telah dilakukan dan tetap terdapat sengketa di kemudian hari,
maka Dewan Sengketa juga dapat menjadi penengah bagi para pihak yang
bersengketa.

2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Dewan Sengketa

Dewan Sengketa terdiri dari satu sampai tiga orang yang dipilih baik dari
pihak pengguna jasa maupun pihak penyedia jasa. Dengan catatan bahwa
dewan sengketa yang dipilih harus netral dan tidak diperkenankan untuk
memihak. Ketua dari dewan sengketa juga dipilih berdasarkan kesepakatan
para pihak di dalamnya.

Dewan sengketa harus dilibatkan juga sejak proses pembuatan kontrak


antara pihak pengguna jasa dengan pihak penyedia jasa. Hal ini untuk
meminimalisir akan adanya sengketa di kemudian hari serta memastikan bahwa
di dalam kontrak yang telah disepakati oleh para pihak telah tercantum hal-hal
mengenai penyelesaian sengketa apabila suatu saat terjadi selisih paham
diantara keduanya. Sehingga apabila sengketa terjadi di kemudian hari maka
Dewan Sengketa memiliki posisi hukum yang kuat sebagai penengah yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa dan dapat menjalankan
tugasnya sebagai penengah dengan sebaik-baiknya.

Apabila terjadi sengketa, Baik bagi pengguna jasa maupun penyedia


jasa berhak untuk meminta saran kepada Dewan Sengketa apabila terjadi
perselisihan. Kemudian secara prosedural Dewan Sengketa akan
menyelenggarakan sidang, menghadirkan saksi-saksi, memberikan pertanyaan,
serta memberikan rekomendasi sesuai dengan waktu yang disepakati oleh
kedua belah pihak, tidak seperti mediasi, konsiliasi, serta arbitrase yang waktu
penyelesaiannya dibatasi.7

Putusan yang diberikan oleh Dewan Sengketa berwujud sebagai


rekomendasi yang mana dalam hal ini bersifat tidak mengikat. Apabila disetujui
oleh kedua belah pihak maka perlu dilakukan addendum kontrak yakni
penambahan pasal kedalam kontrak yang telah disepakati bersama di awal. Hal
ini dilakukan supaya putusan tersebut berkekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang bersangkutan.8

7
Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 6 ayat (6) dan penjelasan pasal 48 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
8
Hal ini sesuai dengan prinsip Pacta Sunt Servanda yang mengatakan bahwa setiap Perjanjian
menjadi undang-undang bagi mereka yang menyepakatinya.
BAB III

PENUTUP

Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya, Jasa Konstruksi


merupakan sebuah jasa yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Hal ini dapat
dibuktikan dengan beragamnya pekerjaan yang dilibatkan. Oleh karenanya, sangat
memungkinkan apabila terjadi sengketa pada saat pembangunan dilakukan. Entah
sengketa tersebut berasal dari factor eksternal maupun factor internal.

Untuk menyelesaikan sengketa konstruksi dapat melalui dua cara yakni melalui
jalur Litigasi dan Non-Litigasi. namun apabila sengketa diselesaikan melalui jalur
litigasi akan memakan banyak waktu, biaya, serta pekerjaan yang seharusnya
dilakukan dapat terbengkalai selama sengketa tersebut belum diselesaikan. Sehingga
melalui Undang-Undang Jasa Konstruksi, penyelesaian sengketa lebih diarahkan untu
diselesaikan melalui jalur Non-Litigasi. penyelesaian sengketa melalui Non Litigasi
juga beragam, ada mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Ditambah lagi dalam Undang-
Undang Jasa Konstruksi tahun 2017 telah menambahkan alternative penyelesaian lain
yakni melalui Dewan Sengketa.

Dewan Sengketa dianggap dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang


lebih baik dibanding konsiliasi, mediasi, serta arbitrase. Hal ini dikarenakan Dewan
Sengketa dibentuk jauh sebelum terjadinya sengketa, yang mana hal ini dianggap dapat
meminimalisir terjadinya sengketa di kemudian hari dan dewan sengketa dapat lebih
memahami posisi para pihak yang bersengketa. Yang kedua, penyelesaian sengketa
konstruksi tidak dibatasi waktu, tidak seperti konsiliasi, mediasi, serta arbitrase yang
dibatasi waktu penyelesaiannya. Sehingga pekerjaan konstruksi dapat tetap terus
berjalan meskipun sengketa tengah didiskusikan penyelesaiannya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2019. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB
(2018). Jakarta: BPS.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian


Sengketa

Artikel Website

Felix Hidayat dan Christian Gunawan, 2013, Analisis Karakterisitik Penyelesaian


Sengketa pada Proyek Konstruksi di Tingkat Mahkamah Agung,
http://sipil.ft.uns.ac.id/konteks7/prosiding/077K. diakses 08/09/2019
pukul 11.00 WIB

https://www.pu.go.id/berita/view/9887/dewan-sengketa-hadir-sebagai-alternatif-
penyelesaian-sengketa-konstruksi-di-indonesia diakses 08/09/2019 pukul
12.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai