Anda di halaman 1dari 15

ddd[Type text] [Type text] [Type text]

KASUS 1

PENYELESAIAN SENGKETA KETERLAMBATAN PENYELESAIAN PEKERJAAN


DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
DI PT. TRI JAYA NASIONAL

1. Kronologi Perselisihan

Semakin pesatnya kemajuan dunia industri di Indonesia mengakibatkan semakin banyak


juga proyek-proyek konstruksi yang berskala besar. Dimana didalam setiap usaha akan selalu
muncul secara berdampingan 2 (dua) hal yang kontradiktif yaitu peluang memperoleh
keuntungan dan resiko menderita kerugian, termasuk dalam usaha jasa kontruksi. Didalam
lalu lintas Jasa Konstruksi, kesepakatan yang dicapai oleh parapihak biasanya dituangkan
dalam suatu kontrak. Kontrak konstruksi didasari oleh Hukum Perjanjian. Mengutip apa
yang terdapat dalam Blacks Law Dictionary disebutkan bahwa kontrak adalah perjanjian
antara 2 (dua) orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu hal khusus (contract is agreement between two or more persons which creates an
obligation to do or not a particular thing).Kontrak konstruksi dalam Undang-Undang No. 18
Tahun 1999 (Undang- Undang Jasa Konstruksi) diartikan sebagai keseluruhan dokumen yang

menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal khusus (contract is
agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not a
particular thing).1 Kontrak konstruksi dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 (Undang-
Undang Jasa Konstruksi) diartikan sebagai keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan
hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dalam kontrak tersebut sudah terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur dan semuanya
sudah dituliskan, disepakati secara bersama-sama oleh kedua belah pihak. Namun selama ini
masih sering terjadi perselisihan atau sengeketa antara pihak pengguna jasa dengan pihak
penyedia jasa. Hal itu dikarenakan adanya kekurangan atau ketidakjelasan dalam pasal-pasal
yan mengatur tentang resiko-resiko yang kemungkinan bisa terjadi dalam jangka waktu
pengerjaan proyek tersebut. Sengketa ini dapat memberikan ataupun membuka peluang bagi
para pihak untuk mencari pembenaran sendiri-sendiri sehingga dapat merugikan masing-
masing pihak. Mengingat kontrak konstruksi ini merupakan kontrak yang umumnya
melibatkan sejumlah besar modal dan kemungkinan terjadinya wanprestasi (cidera janji).
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

Perselisihan atau sengketa yang diakibatkan karenana adanya salah satu pihak yang
melakukan wanprestasi apabila tidak segera dengan baik maka pekerjaan konstruksi akan
tertunda atau bahkan sampai terhenti, sehingga untuk mengantisipasi agar hal ini tidak terjadi
maka para pihak akan memasukan suatu klausul penyelesaian sengketa.

2. Cara Penyelesaian

Sengketa bisa saja terjadi dan bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif
dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh siapapun baik perorangan maupun kelompok.
Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pengertian
sengketa kontrak konstruksi (construction dispute) adalah sengketa yang terjadi sehubungan
dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak.

Pola penyelesaian sengketa konstruksi diatur dalam pasal 36 ayat 1 Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi,
menyatakan:penyelesaian sengketa dibidang jasa konstruksi dapat ditempuh melalui
pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela phak yang bersangkutan.
Dan pada pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
Tentang Jasa Konstruksi, menyatakan: penyelesaian jasa sengketa konstruksi diluar
pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah dalam kegiatan pengikatan dan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi serta dalam hal terjadinya kegagalan bangunan.
Sengketa diantara pengguna jasa dengan pihak penyedia jasa didalam kontrak konstruksi
sebaiknya diselesaikan dengan segera. Dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa
kontstruksi, para penngguna dan penyedia jasa lebih banyak memilih untuk menyelesaikan
sengketa melalui jalur nonlitigasi seperti negosiasi, mediasi maupun arbitrase, hal itu mereka
lakukan dikarenakan pertimbangan mereka yang mengganggap bahwa jalur non litigasi lebih
singkat, mengingat bahwa pekerjaan yang berkelanjutan sehingga para pihak enggan untuk
membuang waktunya dengan proses pengadilan, dikarenakan hal tersebut mungkin saja
malah akan memperlambat penyelesaian pekerjaan, namun jalur litigasi akan ditempuh oleh
para pihak apabila dalam sengketa tersebut mengandung tindak pidana yang dilakukan salah
satu pihak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Suwestra sebagai Wakil Direktur
PT. TRI JAYA NASIOAL Bahwa penyelesaian sengketa terkait dengan klaim akibat
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

keterlambatan penyelesaian pekerjaan di PT. TRI JAYA NASIONAL diselesaikan melalui


negosiasi oleh para pihak. Negosiasi adalah pertemuan yang dilakukan antara dua pihak
untuk mencapai suatu kesepakatan tanpa melibatkan pihak lain biasanya para pengguna jasa
akan memberikan tambahan waktu dan biaya untuk pelaksanaan pekerjaan tersebut apabila
keterlambatan tersebut terjadi akibat kesalahan pengguna jasa, namun apabila keterlambatan
tersebut terjadi karena akibat dari pihak penyedia jasa maka hasil negosiasi yang berupa
adalah pengguna jasa hanya akan memenuhi klaim dengan tambahan waktu saja tanpa
disertai dengan tambahan biaya karena keterlambatan yang terjadi bukan merupakan
kesalahan pihak pengguna.
Namun apabila dalam negosiasi tidak dapat tecapai kesepakatan antara para pihak dalam
hal terjadinya keterlambatan penyelesaian sengketa pekerjaan maka para pihak sepakat untuk
menyelesaiakan sengketa tersebut dengan merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam
kontrak jasa dibidang konstruksi sebagaimana yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan merupakan upaya terakhir yang dapat
ditempuh oleh para pihak yang bersengketa apabila altenatif penyelesaian sengketa melalui
non litigasi tidak dapat upayakan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara para
pihak. Namun hingga saat ini di PT. TRI JAYA NASIONAL semua sengketa yang terjadi
masih bisa diselesaikan melalui jalur non litigasi yaitu melalui cara negosiasi diantara kedua
belah pihak.

3. Pembahasan ( Analisa Sendiri)

Penyelesaian sengketa yang ditempuh dalam hal keterlambatan penyelesaian pekerjaan di


dalam kontrak kerja Konstruksi di PT. TRI JAYA NASIONAL adalah selalu akan ditempuh
jalur negosiasi yaitu pertemuan kedua belah pihak untuk mecapai kata sepakat tanpa
melibatkan pihak lain. Namun apaila negosiasi tidak berhasil maka akan ditempuh jalur
litigasi yaitu pengadilan dan merupakan upaya terakhir yang ditempuh apabila negosiasi
benar-benar tidak berhasil.
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

KASUS I
PENGAJUAN KLAIM KONTRAK KONSTRUKSI DARI
KONTRAKTOR KE PEMILIK BANGUNAN

1. Kronologi Perselisihan

Proyek konstruksi semakin hari semakin kompleks sehubungan dengan adanya standar
standar baru yang dipakai, teknologi yang semakin canggih, dan keinginan pemilik bangunan
yang senantiasa melakukan penambahan atau perubahan lingkup pekerjaan. Suksesnya
sebuah proyek sangat tergantung dari kerja sama antara pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya, yaitu pemilik bangunan, kontraktor dan perencana proyek. Pihak-pihak tersebut
mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda, yang pada akhirnya dapat menimbulkan
konflik atau perselisihan pada saat perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Sebelum proses konstruksi dimulai, kontraktor dan pemilik bangunan membuat
kesepakatan berupa surat perjanjian atau kontrak. Kompleksitas proses konstruksi, dokumen-
dokumen proyek, dan kondisi kontrak dapat menyebabkan terjadinya perselisihan, konflik
interpretasi, dan sikap bermusuhan.
Penyelesaian perselisihan untuk mendapatkan hak atas kompensasi waktu dan atau uang
dapat menggunakan beberapa alternatif, yaitu negosiasi, mediasi, litigasi, dan arbitrasi.
Peningkatan klaim dan perselisihan dalam sejumlah kasus disebabkan karena ketidak
sempurnaan spesifikasi, perbedaan kondisi lapangan, peningkatan lingkup pekerjaan,
keterbatasan akses ke lapangan, percepatan atau penundaan yang disebabkan pemilik
bangunan, interpretasi terhadap instruksi di lapangan, dan perlindungan terhadap
penyelesaian suatu kerugian.
Pemilik bangunan perlu menganalisis klaim yang dipersentasikan oleh kontraktor dengan
mempertimbangkan keselarasan pasal-pasal dalam kontrak, pihak yang bertanggung jawab,
situasi proyek, ketidak sempurnaan spesifikasi, dan kesalahan interpretasi kontrak.

2. Cara Penyelesaian

Klaim adalah permasalahan yang dapat menimbulkan perselisihan dan permohonan akan
tambahan uang, tambahan waktu pelaksanaan, atau perubahan metode pelaksanaan pekerjaan.
Klaim berlanjut dengan pembuatan dokumen klaim yang formal yang diajukan oleh
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

kontraktor kepada pemilik bangunan. Hal ini akan menjadi dasar kebijakan pemilik bangunan
dalam mempertimbangkan klaim potensial sedini mungkin. Setiap klaim potensial hendaknya
dibicarakan dan diamati oleh perencana atau pemilik bangunan [5].

Pembahasan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan klaim dalam tulisan ini
meliputi faktor penyebab klaim, bentuk klaim, pengajuan klaim, dan metode
penyelesaian klaim.
Faktor-faktor penyebab klaim
Secara garis besarnya, klaim dari kontraktor kepada pemilik bangunan dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu [5] :
Keterlambatan pekerjaan yang disebabkan oleh pemilik bangunan. Keterlambatan ini
disebut compensable delay yang terjadi karena alasan keterlambatan tidak tertulis dalam
kontrak, sehingga pemilik bangunan harus memberikan tambahan waktu atau uang pada
kontraktor.
Perubahan jadwal yang diperintahkan oleh pemilik bangunan. Perubahan jadwal ini bisa
berupa percepatan pekerjaan atau penundaan pekerjaan.
Perubahan atau modifikasi isi kontrak yang bersifat informal yang berasal dari perencana
atau pemilik bangunan.
Perbedaan kondisi lapangan, yang disebabkan karena perubahan kondisi di lapangan yang
tidak diramalkan terjadi, misalnya kondisi fisik di bawah permukaan tanah.
Perubahan kondisi cuaca di luar musim yang terdokumentasi dan menyebabkan pekerjaan
tidak dapat diselesaikan.
Kegagalan dalam membuat kesepakatan harga akibat perubahan order pekerjaan.
Konflik dalam perancangan dan spesifikasi produk yang sudah tidak diproduksi lagi.
Kontrak yang tersendat-sendat, perubahan penting, pekerjaan di luar lingkup kontrak,
penggunaan proyek sebelum penyerahan total, dan kegagalan pembayaran dari pihak pemilik
bangunan.
Bentuk klaim
Bentuk klaim yang diajukan oleh kontraktor kepada pemilik bangunan pada umumnya
adalah klaim biaya dan atau waktu [1]. Klaim biaya pada pekerjaan konstruksi terdiri dari
biaya langsung dan biaya tidak langsung [6]. Klaim waktu dapat dilihat dari jadwal proyek
yang seringkali menggunakan teknik Critical Path Method [1].
Pengajuan klaim
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

Jika kontraktor ingin mengajukan klaim maka beberapa tahapan yang harus
diperhatikan adalah : persiapan pengajuan klaim, metode analisis klaim, dan penyebab
kegagalan klaim [1].
Persiapan pengajuan klaim :
Klaim yang diajukan harus logis dan memenuhi persyaratan sebagai berikut [1]:
Pada bagian awal ditetapkan secara detail, pihak-pihak yang terkait, tanggal terjadinya
peristiwa dan informasi yang sesuai.
Penjelasan peristiwa penyebab klaim dan akibatnya
Analisa fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang menjadi dasar klaim, disertai dengan
referensi dan pasal-pasal yang tercantum dalam kontrak
Perhitungan dampak biaya berdasarkan rincian biaya aktual langsung dan tidak langsung
Penentuan klaim yang menuntut tambahan waktu berdasarkan analisis lintasan waktu kritis
dan non kritis.
Metode analisis klaim:
Pihak yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan klaim dan memberikan keputusan
akhir harus secara jelas dicantumkan dalam kontrak. Pemilik bangunan harus mengecek dan
memutuskan apakah konsultan desain juga bertanggung jawab atas peristiwa penyebab
klaim tersebut, misalnya hal-hal yang berhubungan dengan kecurangan, dan
ketidaksempurnaan desain, yang disebabkan oleh konsultan desain tersebut.
Analisis yang digunakan adalah submodel notice requirements, submodel yang sesuai
dengan pengajuan klaim, dan metode perhitungan biaya dan waktu yang diklaim. Submodel
notice requirement menetapkan suatu kondisi dimana kontraktor akan kehilangan haknya jika
terjadi hal-hal sebagai berikut:
Engineer tidak memberitahukan secara formal peristiwa penyebab klaim
Kontraktor tidak mengajukan pemberitahuan yang disertai durasi terjadinya peristiwa
Kontraktor tidak merinci biaya dan waktu yang diklaim
Pemilik bangunan memiliki prasangka di balik pemberitahuan tersebut.
Submodel yang sesuai dengan pegajuan klaim meliputi perubahan order yang dilakukan
secara lisan [1], perbedaan kondisi lapangan, ketidak sempurnaan spesifikasi [4], dan konflik
interpretasi [1]. Metode perhitungan biaya dan waktu yang di klaim dapat menggunakan
beberapa metode kuantitatif antara lain Critical Path Method [3,7], Productivity-loss
estimation [8,9], Simulation technique [1], dan Estimating cost items. [2]. Penyebab
kegagalan, klaim: Ada kalanya klaim yang sudah disiapkan mengalami kegagalan, karena [6]
Permohonan pengajuan klaim terlambat
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

Kontraktor tidak megikuti prosedur kontrak


Kurang akuratnya rekaman data yang dibutuhkan
Klaim yang diajukan tidak mempunyai dasar yang kuat
Informasi yang dibutuhkan untuk menguji kebenaran klaim tidak tersedia.
Klaim yang terjadi dapat diselesaikan dengan beberapa metode yang disepakati bersama
dan dicantumkan dalam kontrak, antara lain [1,2,5].

Engineering Judgement, di mana konsultan desain yang ditunjuk pemilik bangunan


bertanggung jawab untuk mengambil keputusan akhir penyelesaian klaim dan mengikat
semua pihak [1].
Negosiasi, di mana pihak yang berselisih mencari penyelesaian tanpa campur tangan
pihak lain[2].
Mediasi, di mana pihak yang berselisih menggunakan mediator yang bersifat netral dan
Keputusannya bersifat tidak mengikat [2].
Arbitrasi, di mana pihak yang berselisih menunjuk arbitrator dari badan arbitrase dan
keputusannya bersifat mengikat [5].
Litigasi, di mana perselisihan dibawa ke pengadilan dan masing-masing pihak diwakili
pengacaranya [2].
Mini-trial, di mana pihak yang berselisih diwakili oleh masing-masing manajer proyek
dan adanya pihak ketiga sebagai penasehat [1].
Dispute review board, di mana masing-masing pihak yang berselisih memilih satu
perwakilan untuk menunjuk pihak ketiga dan keputusannya bersifat tidak mengikat [1].

Untuk mengendalikan resiko dan menghindari klaim, dapat dilakukan beberapa cara,
yaitu [1]:
Pihak yang terkait mempelajari kontrak sebaik- baiknya
Asuransi
Memeriksa program kerja pelaksanaan konstruksi sebelum masa penawaran
Memilih tim konstruksi yang kompeten
Menerapkan sistim informasi manajemen untuk mengenali permasalahan yang
potensial.
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

3. Pembahasan

1. Penyebab klaim lebih sering terjadi dari pemilik bangunan yang disebabkan karena perubahan
desain, dan pekerjaan.

2. Bentuk klaim yang diajukan kontraktor ke pemilik bangunan lebih sering dalam hal
penambahan biaya.

3. Pengajuan klaim lebih sering berhubungan dengan hak atas penjelasan penyebab klaim
yang tercantum dalam kontra.

4. Metode penyelesaian klaim lebih sering menggunakan engineering judgment.


ddd[Type text] [Type text] [Type text]

KASUS III

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


JASA KONSTRUKSI

1. Kronologi Perselisihan

Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan fisik dibidang jasa konstruksi


cukup banyak melibatkan sumber-sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya
alam berupa bahan bangunan, sumber daya tenaga dan energi peralatan, mekanikal dan
elektrikal, serta sumber daya keuangan. Dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut dilakukan
dengan pendekatan manajemen proyek, yang prosedurnya telah diatur dan ditetapkan
sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
waktu pelaksanaan.
Namun demikian, pada setiap tahapan-tahapan pekerjaan tersebut, adakalanya
mengalami hambatan, baik dari faktor manusia maupun sumber-sumber daya yang lain.
Hambatan-hambatan sekecil apapun harus diselesaikan dengan baik untuk mencegah
kerugian yang lebih besar, baik dari pelaksanaan waktu pekerjaan maupun operasional
bangunan kelak.
Oleh karenanya tulisan ini akan berupaya membahas lebih jauh sengketa yang terjadi dan
bagaimana penyelesaiannya, berdasarkan pada literatur maupun pengalaman lapangan yang
penulis alami, khususnya untuk proyek skala kecil hingga menengah.
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan yang sangat luas itu merupakan bagian dari kebutuhan
manusia. Akan tetapi dengan keterbatasan yang dimiliki manusia itu sendiri, mereka hanya
mampu untuk menampung beberapa cabang keilmuan saja. Oleh karenanya wajar apabila
setiap pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang yang profesional, wajib didukung
dengan pengetahuan yang cukup untuk melengkapi keilmuan yang dimiliki. Maksudnya,
sudah saatnya para profesional teknik memiliki pengetahuan keilmuan yang bersentuhan
dengan bidang pekerjaannya, yaitu ilmu hukum.
Dengan demikian diharapkan bahwa setiap langkah profesi yang dilakukan oleh
profesional teknik, mampu untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi apabila bidang
pekerjaan profesi teknik tersebut berakibat hukum. Berdasarkan literatur dan pengalaman
yang penulis lakukan, maka kecenderungan sengketa jasa konstruksi diakibatkan oleh
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

beberapa hal : (1). Sengketa precontractual (2) Sengketa contractual (3) Sengketa
pascacontractual. Masing-masing segketa tersebut memiliki karakteristik tersendiri dan
merupakan bagian dari keseluruhan manajemen proyek bidang jasa konstruksi.

2. Cara Penyelesaian

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jasa konstruksi umumnya masih


mengikuti peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan
apa yang waktu itu kita kenal dengan Algemene Voorwaarden (AV) 1941. Jauh setelah itu,
peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan jasa konstruksi baru diterbitkan
Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 beserta Peraturan
Pemerintah Nomor 28, 29 dan 30 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan lain baik
di tingkat pusat maupun daerah.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang jasa konstruksi, berikut dalam tabel 1 adalah asas dan
tujuan pengaturan jasa konstruksi sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 18 Tahun
1999.

Dari penjelasan tabel 1 di atas jelaslah bahwa semua yang bekaitan dengan asas-asas dan
tujuan pengaturan jasa konstruksi tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat, bangsa
dan negara. Berkaitan dengan pelaksanaan jasa konstruksi sebagai bagian dari manajemen
proyek/konstruksi, maka lingkup layanan jasa konstruksi sebagaimana Pasal (3) PP Nomor
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

28 Tahun 2000 adalah lingkup pelayanan jasa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan secara
strategis dapat terdiri dari jasa : rancang bangun, perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan
terima jadi, penyelenggaraan pekerjaan terima jadi. Berikut pada Tabel 2 adalah jenis usaha
jasa konstruksi sebagaimana UU Nomor 18 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dan PP
Nomor 28 Tahun 2000 Pasal (2), (3) dan Pasal (5).

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Undang-undang


Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa junco
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta
peraturan lain, mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi dilakukan
melalui jalur di luar pengadilan. Dalam tabel 3 adalah perbandingan penyelesaian sengketa
menurut peraturan-peraturan tersebut di atas.
Dari uraian dalam tabel 3, jelaslah bahwa pada dasarnya penyelesaian sengketa jasa
konstruksi yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat, diarahkan pada
penyelesaian di luar pengadlan dan bermuara pada penyelesaian sengketa melalui jalur
arbitrase.
Dalam hal kasus sengketa yang bersifat kontraktual atau sengketa dimasa pelaksanaan
pekerjaan sedang belangsung, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat melalui jalur-jalur
sebagaimana dalam tabel 3, yaitu :
1). Jalur Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu,
yang disebut dengan klien dengan pihak lain yaitu konsultan. Pihak konsultan ini
memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut. Dalam jasa
konstruksi, konsultan berperan penting dalam penyelesaian masalah-masalah teknis lapangan,
apalagi apabila konsultan tersebut merupakan konsultan perencana dan atau konsultan
pengawas proyek. Pendapat mereka sangat dominan untuk menentukan kelancaran proyek.
2). Jalur Negosiasi
Pada dasarnya negosiasi adalah upaya untuk mencari perdamaian di antara para pihak
yang bersengketa sesuai Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjunya dalam Pasal 1851 sampai dengan
Pasal 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang
Perdamaian, terlihat bahwa kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak yang bersengketa,
harus dituangkan secara tertulis dan mengikat semua pihak. Perbedaan yang ada dari kedua
aturan tersebut adalah bahwa kesepakatan tertulis tersebut ada yang cukup ditandatangani
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

para pihak dengan tambahan saksi yang disepakati kedua belah pihak. Sedangkan yang satu
lagi, kesepakatan yang telah diambil harus didaftarkan ke Pangadilan Negeri. Negosisi
merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar
pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan sebelum proses sidang pengadilan atau
sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan (Pasal
130 HIR). Dari literatur hukum dapat diketahui, selain sebagai lembaga penyelesaian
sengketa, juga bersifat informal meskipun adakalanya juga bersifat formal.

3). Jalur Mediasi


Dari beberapa pengertian yang ada, maka pengertian mediasi adalah pihak ketiga (baik
perorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat netral, yang bertugas
memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para pihak yang bersengketa. Sebagai
pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa, tetapi bertemu dan
mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok perkara.
Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu
perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak
secara langsung. Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan
menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang
bersengketa. Mediasi juga merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa.

1). Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai penyerahan pekerjaan I)


a. Penyelesaian sengketa dengan Site Meeting (Rapat-rapat Lapangan) yang dilaksanalan 2
(dua) minggu sekali. Rapat ini dihadiri oleh pengguna jasa, penyedia jasa, dan wakil
pemerintah bidang konstruksi (untuk proyek pemerintah - instansi teknis). Kesepakatan yang
dihasilkan dalam site meeting ini dibuatkan Berita Acara Rapat Lapangan yang
ditandatangani pihak-pihak yang terlibat/hadir, mengikat semua pihak, serta masuk dalam
dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Dengan rapat-rapat
lapangan yang bersifat rutin ini diharapkan segala permasalahan yang ada dan yang terjadi
dapat diantisipasi.

b. Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Voluntier).Cara ini dilakukan


manakala penyelesaian sengketa di tingkat pertama (butir a) belum menghasilkan
kesepakatan diantara para pihak. Arbitrase Volunter ini dibentuk khusus untuk menyelesaikan
sengketa atau memutus sengketa tertentu (baca : sengketa konstruksi). Karena itu arbitrase
volunter ini bersifat insidentil dan jangka waktunya tertentu pula sampai sengketa tersebut
diputuskankan. Dalam praktik konstruksi, arbitrase volunter ini dapat disebut sebagai Panitia
Pendamai yang berfungsi sebagai juri/wasit yang dibentuk dan diangkat oleh para pihak,
yang anggota-anggotanya terdiri dari :
1) Seorang wakil dari pihak kesatu (pengguna jasa) sebagai anggota
2) Seorang wakil dari pihak kedua (penyedia jasa) sebagai anggota
3) Seorang wakil dari pihak ketiga sebagai ketua yang ahli dibidang konstruksi, dan
disetujui kedua belah pihak.
Hasil keputusan Panitia Pendamai ini bersifat mengikat dan mutlak untuk kedua belah
pihak yang bersengketa.
c. Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Institusional, yaitu suatu lembaga permanen
(permanent arbitral body) sebagaimana ayat (2) Konvensi New York 1958. Arbitrase
Institusional ini didirikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor sengaja dan sifat permanen itulah yang
membedakan dengan arbitrase ad hoc. Arbitrase Institusional ini berdiri sebelum sengketa
timbul. Di samping itu arbitrase ini berdiri untuk selamanya walaupun suatu sengketa telah
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

diputus dan diselesaikan. Menurut pengalaman, lembaga ini jarang dimanfaatkan oleh para
pihak yang bersengketa, disebabkan karena minimal 2 (dua) hal : (1) sengketa biasanya telah
dituntaskan pada tahap pertama (butir a site meeting) dan (2) para pihak seolah enggan
meneruskan sengketa ke tingkat yang lebih tinggi (butir b arbitrase volunter dan arbitrase
institusional apalagi melalui jalur pengadilan).
d. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan.
Upaya pengadilan yang dimaksud adalah upaya penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, manakala upaya yang ada belum juga menghasilkan kesepakatan. Perlu diingat
bahwa upaya pengadilan ini meupakan upaya akhir (baca : pengadilan negeri tempat domisili
para pihak berselisih, termasuk lokasi proyek yang bersangkutan yang biasanya sudah
dicantumkan dalam kontrak kerja). Padahal menurut beberapa ahli hukum, selama ini sudah
ada institusi hukum lain yang mengangani upaya penyelesaian sengketa, yaitu arbitrase
institusional, sehingga para pihak harus memilih salah satu institusi hukum tersebut,
pengadilankah atau arbitrase institusional, karena keduanya sama-sama kuat kedudukannya di
depan hukum. Menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 6 ayat (7), Pengadilan Negeri
menerima pendaftaran hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa (tertulis) untuk
dilaksanakan dengan itikat baik dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan kesepakatan tersebut. Bisa diartikan bahwa kesepakatan yang telah
ditandatangani para pihak yang bersengketa tersebut (baik melalui atau tanpa melalui
arbitrase institusional), cukup didaftarkan ke Pengadilan Negeri dimana domisili para pihak
yang bersengketa dan atau lokasi proyek berada.

2). Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai dan setelah penyerahan ke II)


Pada tahap ini dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Tahap pekerjaan konstruksi sampai dengan
penyerahan ke II pekerjaan pelaksanaan, dan (2) Tahap operasional yaitu tahap bangunan
dimanfaatkan hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Tahap yang pertama, kontrak kerja
pelaksanaan masih berlaku hingga tahap penyerahan kedua kalinya, yang sering disebut masa
pemeliharaan. Pada masa pemeliharaan ini segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan
pelaksanaan yang masih belum sempurna (rusak, cacat, kekurangsempurnaan pekerjaan yang
ringan) dapat diselesaikan pada masa sebelum penyerahan kedua kalinya. Waktu pelaksanaan
tahap pemeliharaan ini biasanya singkat sekitar 2 (dua) minggu saja.Tahap kedua, adalah
masa pertanggungan atau jaminan bangunan hingga 10(sepuluh) tahun kedepan atau masa
bangunan dioperasikan/dimanfaatkan. Pada masa ini segala sesuatu yang berkaitan dengan
kerusakan akibat kesalahan/kekurangan pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi (masa
ddd[Type text] [Type text] [Type text]

kontraktual) dilaksanakan. Masa ini kontraktor masih ikut bertanggung jawab, termasuk
konsultan pengawas dan konsultan perencana. Untuk tahap kedua ini, akan dibahas lebih
lanjut dalam kesempatan lain.

3. Pembahasan

a. Sengketa jasa konstruksi dapat terjadi pada masa precontractual, masa contractual,dan masa
pascacontractual.

b. Pada masa contractual, dapat saja terjadi sengketa pada saat Perencanaan
Konstruksi,Pelaksanaan Konstruksi, dan Pengawasan Konstruksi.

c. Alternatif penyelesain sengketa jasa konstruksi dilakukan melalui jalur konsultasi,negosisi,


mediasi, konsiliasi, pendapat hukum oleh lembaga arbitrase, atau gabungan kelima jalur
tersebut sesuai tingkat kebutuhan. Pada pelaksanaan di lapangan, penyelesaian sengketa jasa
konstruksi, sering dilakukan dengan : site meeting, arbitrase ad hoc, sedangkan jalur arbitrase
institusional dan melalui pengadilan,sedapat mungkin dihindari.

Anda mungkin juga menyukai