Anda di halaman 1dari 9

Teras Jurnal, Vol.1, No.

1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM


KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
M. Fauzan
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Malikussaleh
email: fauzan_mrk2005@yahoo.com

Abstrak
Industri konstruksi adalah industri yang kompleks dan sulit untuk
dikendalikan. Kompleks karena berhimpunnya berbagai jenis elemen
konstruksi yang menuntut interaksi dari berbagai jenis keahlian dan para
pihak yang terlibat di dalamnya. Sulit untuk dikendalikan karena
dilaksanakan di alam terbuka yang rentan sekali dipengaruhi oleh cuaca. Halhal tersebut jika tidak disikapi dengan baik sejak dari fase awal pelaksanaan
konstruksi melalui penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi dan
manajemen pelaksanaan kontrak kerja konstruksi yang baik, dapat berpotensi
menimbulkan klaim dari satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Klaim ini jika tidak segera diselesaikan berpotensi menimbulkan perselisihan
(dispute). Meskipun dispute bukanlah sesuatu yang diharapkan dalam proses
pelaksanaan konstruksi, namun seringkali harus dihadapi dan diatasi bersama
oleh para pihak yang terlibat. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan dispute adalah: negosiasi, mediasi,
arbitrasi dan litigasi.
Kata kunci: klaim, dispute, alternatif penyelesaian sengketa (APS)

1.

Pendahuluan
Dalam proses pelaksanaan konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa
saling berinteraksi. UUJK nomor 18 tahun 1999 mendefinisikan istilah pengguna
jasa dan penyedia jasa sebagai berikut: Pengguna jasa adalah orang
perseorangan atau badan, sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek
yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Istilah pengguna jasa dalam banyak
tempat seringkali digantikan oleh owner atau bowheer dengan maksud yang sama.
Selanjutnya penyedia jasa adalah: orang perseorangan atau badan yang
kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Layanan jasa
konstruksi yang dimaksud adalah layanan jasa perencanaan konstruksi
(dilaksanakan oleh konsultan desain), jasa pelaksanaan konstruksi (dilaksanakan
oleh kontraktor) dan jasa pengawasan konstruksi (dilaksanakan oleh konsultan
supervisi). Interaksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa selanjutnya diikat
oleh kontrak kerja konstruksi.
Pelaksana konstruksi biasanya berasumsi bahwa seluruh informasi yang ada
dalam kontrak kerja konstruksi sesuai dengan kondisi aktual di lapangan. Namun
kondisi proyek yang ditemui selama masa pelaksanaan sering kali tidak sesuai
dengan asumsi tersebut, apalagi menyangkut kondisi lokasi proyek yang berada di
bawah tanah. Disamping itu masa pengesahan anggaran yang kerap kali terlambat
menyebabakan para pihak yang terlibat dalam kegiatan proyek mesti berlomba
dengan waktu. Seringkali proyek konstruksi telah mulai dilaksanakan walaupun
kepastian anggarannya belum ada. Dan lebih banyak lagi proyek konstruksi yang
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

49

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

dikerjakan tanpa merampungkan dokumen proyek terlebih dahulu. Hal ini pada
akhirnya akan menimbulkan klaim, baik dari pihak pengguna jasa karena
kelalaian penyedia jasa memenuhi prestasi sesuai keinginan pengguna jasa
maupun dari pihak penyedia jasa karena pengguna jasa sering melakukan
perubahan desain yang menyebabkan penyedia jasa harus mengeluarkan biaya dan
waktu tambahan. Klaim-klaim tersebut jika tidak diselesaikan dengan baik pada
akhirnya akan menimbulkan perselisihan/sengketa (dispute) antara pengguna jasa
dan penyedia jasa
2.

Kontrak Kerja Konstruksi


Kontrak merupakan istilah yang merujuk pada konsep perjanjian pada
umumnya. Kontrak sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni contract, atau
overennkomst dalam bahasa Belanda, yang berarti perjanjian. Di Indonesia,
perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
berbunyi: suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Undang Undang Jasa Konstruksi UUJK No. 18 tahun 1999 menyatakan
bahwa kontrak kerja konstruksi adalah Keseluruhan dokumen yang mengatur
hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi atau dengan kata lain Kontrak kerja
konstruksi adalah perjanjian tertulis antara pengguna jasa dengan penyedia jasa
untuk mewujudkan suatu konstruksi sesuai dengan batasan dan spesifikasi yang
diinginkan. Dalam pelaksanaannya pengguna jasa berperan sebagai pemilik
konstruksi sekaligus pihak yang wajib membayar seluruh biaya konstruksi
ditambah biaya jasa bagi penyedia jasa. Seluruh komponen kontrak konstruksi
antara pengguna jasa dengan penyedia jasa sebaiknya dijelaskan secara terinci. Di
dalam kontrak kerja konstruksi terdapat beberapa substansi kontrak. Menurut
Pasal 22 ayat (2), UUJK No. 18 Tahun 1999, isi yang harus terkandung dalam
kontrak konstruksi adalah:
a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup
kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka
waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
penyedia jasa;
d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi
tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil
pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang
diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan
imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
f. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa
dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
g. cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;

Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

50

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang


pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat
dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
Suatu kontrak akan sah secara hukum apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan atau konsensus yakni
kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak (meeting of mind) dari para pihak
yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara
pihak-pihak. Unsur kesepakatan ada dua, yaitu : offerte (penawaran) adalah
pernyataan pihak yang menawarkan, dan acceptance (penerimaan) adalah
pernyataan pihak yang menerima penawaran. Jadi kesepakatan itu penting
diketahui karena merupakan awal perjanjian. Kesepakatan ini juga dapat
dilihat dari Pasal 1321 KUHPerdata yang mana menyatakan bahwa kata
sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan,
dan kekhilafan;
b. Kedua belah pihak mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum. Kecakapan ini menyangkut dengan keberadaan subyek hukum pelaku
perjanjian, yakni pendukung hak dan kewajiban. Yang dimaksud dengan
cakap dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah bahwa pihak yang melakukan
perbuatan hukum memenuhi kualifikasi sebagaimana pada Pasal 1330
KUHPerdata, atau setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatanperikatan, apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, yaitu
apabila orang tersebut telah berusia 18 tahun atau sebelumnya telah
melangsungkan perkawinan atau mereka yang tidak berada di bawah
pengampuan.
c. Adanya objek perjanjian (prestasi) yang akan diwujudkan. Tentang
obyek/suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian, dapat dilihat pada
Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata, yakni terdiri atas dua hal: (1) obyek
yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat
dihitung; dan (2) obyek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang
dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi obyek
perjanjian).
d. Causanya halal dan tidak bertentangan dengan hukum.Tentang suatu
sebab yang halal, adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak
mengadakan perjanjian (1337 KUHPerdata), dan konsepsi halal menjadi
bagian dalam pasal ini yang dapat diartikan sebagai tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
3.

Penyebab Terjadinya Klaim


Kamus besar bahasa Indonesia, WJS Purwadarminta edisi kedua, hal 506
menyatakan klaim adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang
berhak (untuk memiliki atau mempunyai) atas sesuatu. Klaim konstruksi adalah
permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan
suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara
penyedia jasa utama dengan subpenyedia jasa atau pemasok bahan atau antara
pihak luar dengan pengguna jasa/penyedia jasa yang bisanya menyangkut

Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

51

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain. Penyebab timbulnya


klaim dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Aspek-aspek yang berpotensi menimbulkan klaim
Kategori aspek

Kegagalan mewujudkan
Aspek teknis/mutu

Kegagalan mewujudkan
Aspek waktu

Kegagalan mewujudkan
Aspek biaya

Kasus
Pengguna jasa melakukan klaim terhadap
penyedia jasa karena hasil pekerjaannya tidak
memenuhi standar mutu yang ditetapkan
Penyedia jasa melakukan klaim terhadap
pengguna jasa karena melakukan perubahan
desain, sehingga menimbulkan rework. Atau
pengguna jasa mewajibkan penyedia jasa
memanfaatkan jasa supplier atau sub-penyedia
jasa tertentu yang merugikan penyedia jasa
Pengguna jasa melakukan klaim terhadap
penyedia jasa karena terlambat menyelesaikan
proyek sesuai dengan tenggat waktu yang
ditetapkan. Keterlambatan tersebut berimbas pada
keterlambatan pemanfaatan konstruksi sehingga
potensi keuntungan pengguna jasa menjadi
tertunda
Jika keterlambatan tersebut karena sebab yang
ditimbulkan oleh pengguna jasa, maka penyedia
jasa dapat pula melakukan klaim
Penyedia jasa melakukan klaim terhadap
perubahan desain yang dilakukan pengguna jasa
yang menyebabkan terjadinya change order
Jika produktivitas penyedia jasa menurun akibat
kebijakan yang ditetapkan pengguna jasa
sehingga penyedia jasa harus menambah jam
kerja, maka penyedia jasa dapat melakukan klaim

Sumber: Soekirno, P., et al (2007)


Abdulrasyid (2007) menjelaskan tentang beberapa sebab terjadinya klaim,
sebagai berikut:
a. Informasi desain yang tidak tepat (delayed design information)
b. Informasi design yang tidak sempurna (Inadequate design information)
c. Investigasi lokasi yang tidak sempurna (Inadequate site insvetigation)
d. Reaksi klien yang lambat (Slow client response)
e. Komunikasi yang buruk (Poor Communication)
f. Sasaran waktu yang tidak realistis (Unrealistic time targets)
g. Administrasi kontrak yang tidak sempurna (Inadequate contract
administration)
h. Kejadian ekstern yang tidak terkendali (Uncontrollabe external events)
i. Informasi tender yang tidak lengkap (incomplete tender information)
j. Alokasi resiko yang tidak jelas (Unclear risk allocation)
k. Keterlambatan ingkar membayar (Lateness-non payment)
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

52

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

Mitropoulos dan Howell (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya terdapat


tiga akar permasalahan penyebab persengketaan dalam penyelenggaraan proyek
konstruksi yaitu:
1. Adanya faktor ketidakpastian dalam setiap proyek konstruksi. Setiap
konstruksi pada dasarnya bersifat unik dan tidak dapat dikontrol. Tidak ada
satu konstruksi yang persis sama dengan konstruksi yang lain baik dari segi
fungsi, bentuk, biaya, waktu penyelesaian, lokasi, dll. Karena itu proses
generalisasi desain konstruksi yang satu ke konstruksi yang lain kerapkali
menimbulkan ketidakakuratan desain. Disamping itu pengaruh lingkungan
yang sangat besar seperti cuaca dan kondisi bawah tanah, sering menimbulkan
permasalahan dalam upaya mewujudkan konstruksi sesuai dengan spesifikasi
yang ditetapkan. Hujan lebat atau cuaca yang tidak memungkinkan dapat
menyebabkan penundaan pelaksanaan pekerjaan sehingga terjadi
keterlambatan pada proyek (Fisk,1997). Cuaca buruk meskipun dapat
dikontrol oleh manajemen, namun dapat berakibat pada hilangnya hari kerja
(Ahuja, 1984);
2. Masalah yang berhubungan dengan kontrak konstruksi. Seringkali
kontrak konstruksi tidak menjelaskan secara mendetail spesifikasi proyek
yang harus dilaksanakan sehingga informasi yang dibutuhkan penyedia jasa
tidak cukup tersedia, adanya perbedaan dalam melakukan interpretasi terhadap
kontrak (fisk, 1997), posisi yang tidak setara antara penguna jasa dengan
penyedia jasa menyebabkan penyedia jasa seringkali harus menerima draf
dokumen kontrak konstruksi yang ditawarkan pengguna jasa, isi kontrak yang
bermakna ganda atau tidak jelas;
3. Perilaku oportunis dari para pihak yang terlibat dalam suatu proyek
konstruksi. Itikad buruk adalah sebab klaim yang berkaitan dengan
berbagai tindakan penipuan. Dalam tahun-tahun terakhir ini, klaim itikad
buruk telah menjadi biasa (Bramble, et al., 1990). Yang termasuk kedalam
klaim itikad buruk ini adalah penggelapan, salah pengertian, usaha-usaha yang
ditujukan untuk menyusahkan orang lain atau usaha-usaha yang tidak
memperhitungkan efek yang timbul terhadap pihak lain. Klaim itikad buruk
ini dapat berasal dari kontraktor maupun dari pemilik. Ada kontraktor yang
merasa dirugikan oleh tindakan pemilik yang dengan sengaja menunda-nunda
pembayaran atau bahkan tidak membayar sama sekali pekerjaan yang telah
dilaksanakan. Dilain pihak, ada pula pemilik yang merasa dirugikan oleh
tindakan kontraktor yang tidak bertanggung jawab.
4.

Jenis-Jenis Klaim
Pada dasarnya kedua belah pihak baik itu pengguna jasa maupun penyedia
jasa, berhak mengajukan klaim jika diyakini mereka mengalami kerugian akibat
tindakan yang dilakukan salah satu pihak. Klaim dari penyedia jasa terhadap
pengguna jasa dapat berbentuk:
a. Klaim tambahan biaya dan waktu; klaim ini terjadi ketika adanya
permintaan perubahan desain dari pengguna jasa kepada penyedia jasa pada
saat pelaksanaan pekerjaan sedang berlangsung. Perubahan desain tersebut
dapat berupa penambahan item pekerjaan atau substitusi elemen konstruksi
yang lebih mahal dan menyebabkan penyedia jasa mengalami overrun biaya
jika memenuhinya;
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

53

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

b. Klaim biaya tak langsung (Overhead); Penyedia jasa yang terlambat


menyelesaikan suatu pekerjaan karena sebab-sebab dari pengguna jasa,
meminta tambahan biaya overhead dengan alasan biaya ini bertambah karena
pekerjaan belum selesai. Biaya overhead adalah biaya tidak langsung yang
biasanya terkait dengan penambahan waktu pekerjaan, seperti biaya sewa
kantor, biaya listrik/telpon, dll;
c. Klaim tambahan waktu (tanpa tambahan biaya); perubahan desain yang
disebabkan oleh pengguna jasa namun tidak menimbulkan overrun biaya,
biasanya cukup dengan klaim tambahan waktu tanpa tambahan biaya.
d. Klaim kompensasi lain; Dilain kejadian penyedia jasa selain mendapatkan
tambahan waktu mendapatkan pula kompensasi lain.
Disisi lain pengguna jasa dapat pula melakukan klaim kepada penyedia jasa
ketika penyedia jasa ternyata gagal mewujudkan prestasi sesuai yang dijanjikan.
Jenis klaim tersebut dapat berbentuk: pengurangan nilai kontrak, percepatan
waktu penyelesaian proyek, dan kompensasi lain akibat kelalaian penyedia jasa.
5.

Penyelesaian Sengketa
Jika klaim konstruksi tidak diselesaikan dengan segera, maka akan
menimbulkan sengketa (Dispute). Sedapat mungkin dispute harus dihindari,
namun jika hal tersebut terjadi maka harus dipertimbangkan dengan matang
langkah-langkah penyelesaiannya. Saleh, N., menjelaskan 4 cara penyelesaian
dispute yaitu, negosiasi, mediasi, arbitrasi dan litigasi:
a. Negosiasi adalah cara penyelesaian yang hanya melibatkan kedua belah pihak
yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak-pihak yang lain. Hal ini mirip
dengan musyawarah dan mufakat yang ada di Indonesia, dimana keinginan
untuk berkompromi, adanya unsur saling memberi dan menerima serta
kesediaan untuk sedikit menyingkirkan ukuran kuat dan lemah adalah
persyaratan keberhasilan cara ini. Dalam negosiasi ini kontraktor dan pemilik
memakai arsitek dan insinyur sebagai penengah. Biasanya kontraktor diminta
mengajukan klaim kepada arsitek/insinyur yang diangkat menjadi negosiator.
Arsitek/Insinyur ini akan mengambil keputusan yang sifatnya tidak mengikat,
kecuali keputusan tentang efek arstistik yang konsisten dengan apa yang telah
ada dalam dokumen kontrak.
b. Mediasi merupakan cara penyelesaian masalah di awal perselisihan
berlangsung. Mediasi ini melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak dan
dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini akan
berusaha menolong pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan
penyelesaian, meskipun mediator ini tidak mempunyai kekuatan untuk
memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Mediasi sama menguntungkannya
dengan arbitrasi. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, murah,
tertutup dan ditangani oleh para ahli. Tetapi yang menjadi masalah adalah
keputusan mediasi ini tidak mengikat. Jadi apabila persetujuan tidak dapat
dicapai, seluruh usaha mediasi hanya akan membuang-buang uang dan waktu.
c. Arbitrasi adalah metode penyelesaian masalah yang dibentuk melalui kontrak
dan melibatkan para ahli dibidang konstruksi. Para ahli tersebut bergabung
dalam badan arbitrase. Badan ini akan mengatur pihak-pihak yang telah
menandatangani kontrak dengan klausul arbitrasi didalamnya untuk melakukan
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

54

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

arbitrasi dan menegakkan keputusan arbitrator. Hal yang menguntungkan dari


cara arbitrasi ini adalah sifat penyelesaiannya yang cepat dan murah jika
dibandingkan dengan litigasi. Selain itu, cara arbitrasi ini dilakukan secara
tertutup serta dilakukan oleh seorang arbitrator yang dipilih berdasarkan
keahlian. Keputusan arbitrasi yang bersifat final dan mengikat merupakan
alasan penting digunakannya cara ini untuk menyelesaikan masalah. Keputusan
pengadilan biasanya terbuka untuk proses peradilan yang lebih panjang. Hal ini
menghasilkan penundaan yang lama dan memakan biaya dalam penyelesaian
masalah. Sedangkan keputusan dari arbitrasi ini tidak dapat dirubah tanpa
semua pihak setuju untuk membuka kembali kasusnya.
d. Litigasi adalah proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan.
Proses ini sebaiknya diambil sebagai jalan akhir bila keseluruhan proses diatas
tidak dapat menghasilkan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak
yang bersengketa. Proses pengadilan ini tentu saja akan mengakibatkan salah
satu pihak menang dan yang lain kalah. Biasanya perselisihan yang terjadi
disidangkan pada system yuridis di daerah mana masalah tersebut terjadi. Pada
suatu wilayah tertentu pengadilan wilayah tersebut mendapat yuridikasi atas
suatu masalah bila salah satu pihak berkantor di wilayah tersebut atau
proyeknya sendiri ada pada daerah itu. Jika kedua belah pihak yang berselisih
berkantor pusat di daerah lain, maka pihak yang memulai litigasi yang memilih
forum dimana litigasi itu berlangsung.

Gambar 1 Bagan Alir proses penyelesaian sengketa konstruksi


Biasanya proses penyelesaian sengketa dijalani secara bertahap, mulai dari
negosiasi, mediasi, arbitrasi lalu jika tidak juga ada titik temu ditempuh jalan
litigasi. Prosedur penyelesaian sengketa diperlihatkan pada gambar 1
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

55

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

Disamping empat alternative penyelesaian sengketa (APS) di atas, juga


sering ditemui istilah-istilah APS lainnya yang sebagiannya mengacu atau
mempunyai kemiripan makna dengan salah satu dari 4 APS di atas, seperti istilah
Konsiliasi dan mediasi berdasarkan UUJK 18/1999 dan PP 29/2000 sebenarnya
mempunyai kemiripan makna, (Soekirno, P., et al, 2007)
Hal lain yang agak berbeda adalah dalam hal penyelesaian yang bersifat
final dan mengikat pada metoda negosiasi dan mediasi. Dalam penyelesaian
sengketa konstruksi yang umum di luar negeri, keputusan hasil negosiasi dan
mediasi tidak bersifat mengikat (non-binding), namun lebih berupa upaya
informal pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dengan
bantuan pihak ketiga yang dianggap netral dan mampu membantu menyamakan
pendapat kedua belah pihak terhadap masalah yang disengketakan. Dengan
demikian, diperlukannya sertifikasi untuk para negosiator dan mediator dalam
tata cara penyelesaian sengketa di Indonesia menjadi tidak terlalu relevan dalam
proses penyelesaian sengketa konstruksi yang bersifat informal tersebut. Lebih
lanjut, perbandingan antara kerangka penyelesaian sengketa secara umum dengan
kerangka penyelesaian sengketa di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Perbandingan APS yang umum dan yang dijelaskan dalam
hukum formal Indonesia

Sumber: Soekirno, P., et. al

Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

56

Teras Jurnal, Vol.1, No.1, Maret 2011

ISSN 2088-0561

6.

Kesimpulan
Industri konstruksi adalah industri yang unik dan melibatkan banyak pihak.
Proses pelaksanaannya yang sulit untuk dikontrol dan sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan serta Keterlibatan banyak pihak ini, seringkali menimbulkan
perselisihan terlebih jika dokumen kontrak antara pengguna jasa dan penyedia
jasa tidak dipersiapkan dengan baik.
Sedapat mungkin sengketa (dispute) tersebut dihindari karena hanya akan
merugikan kedua belah pihak, namun jika tidak mungkin dihindari maka alternatif
yang paling baik adalah memilih proses penyelesaian sengketa yang paling cepat
dan paling murah serta mengikat pihak-pihak yang terlibat. Negosiasi, mediasi,
arbitrasi dan litigasi dengan segala kelebihan dan kekurangan dapat menjadi
alternatif penyelesaian sengketa (APS). Namun saling percaya dan niat baik para
pihak yang bertikai adalah senjata paling ampuh untuk menyelesaikan sengketa
yang terjadi di industri konstruksi.

Daftar Kepustakaan
Abdulrasyid, P, 2007, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa suatu
pengantar, PT. Fikahati Aneka, Jakarta
2. Ahuja, Hira N., and Walsh, Michael A, 1983, Succesful Method in cost
Engineering, John Wiley & Sons. Inc, New York
3. Bramble, Barry. B., Donofrio, Michael. F and Stetson, John. B, 1990,
Avoiding and Resolving Construction Claims, R.S. Means Company Inc,
United Stated
4. Fisk, Edward R, 1997, Construction Project Administration, Fifth Edition,
Prentice Hall, New Jersey
5. Hinze, J, 2000, Construction Contracts, McGraw-Hill, New York
6. Mitropoulos, P. and Howell, G, 2001, Model for understanding, Preventing,
and Resolving Project Disputes, American Society of Civil Engineers
(ASCE), Journal of Construction Engineering and Management, Vol. 127,
No. 3.
7. Poerwadarminta, WJS., Kamus Besar Bahasa Indonesi, Edisi kedua
8. Soekirno, P., Wirahadikusumah, R. D., Abduh, M, 2007, Sengketa dalam
Penyelenggaraan konstruksi di Indonesia: Penyebab dan Penyelesaiannya,
http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/manajemendan_rekayasakonstruksi, diunduh pada
november 2010
9. Saleh, N, Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Klaim Dan Penyelesaiannya
Pada Industri Konstruksi, http://www.fab.utm.my/download/Conference
Semiar/ICCI2006S4PP11.pdf diunduh pada November 2010
10. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
11. Undang-Undang No. 18/1999, tentang Jasa Konstruksi
12. Undang-undang Hukum Perdata
1.

Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi M. Fauzan

57

Anda mungkin juga menyukai