Anda di halaman 1dari 8

BAMBU SEBAGAI MATERIAL PONDASI PADA KONSTRUKSI

RUMAH TERAPUNG DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO,


SULAWESI SELATAN
(BAMBOO AS A FOUNDATION MATERIAL OF FLOATING HOUSE
CONSTRUCTION IN TEMPE LAKE, KABUPATEN WAJO,
SULAWESI SELATAN)

Sudarman
Graduate Student. School of Architecture, Planning and Policy Development.
Institute Technology of Bandung
E-mail : abdullahsudarman@gmail.com

ABSTRACT
Floating house in Tempe Lake is one of traditional house in south sulawesi. Applying system
construction of this house get from local wisdom of society in there to answer enviromental, economic,
social and culture situation chalengge. One of interest to explore more of floating house is structure
foundation that people use, because it different with another floating house in Indonesia. It using
bamboo as material of structure foundation that people get easier around Tempe Lake. Construction
foundation of this house consist by three layer. First layer as a float. Second layer use as a place for
house construction to settle down. and last layer used as a place for people daily activity.

Keywords : Bamboo, Local Wisdom, Foundation, Floating House, Lake Tempe

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan yang di dalamnya terdapat keanekaragaman
kekayaan alam yang melimpah salah satunya adalah keanekaragaman jenis sungai dan
danau. Banyaknya sungai dan danau bukan hanya berpengaruh terhadap keanekargaman
hayati dan sistem transportasi yang digunakakan oleh masyarakat Indonesia tetapi lebih dari
itu juga mempengaruhi arsitektur bangunan untuk tempat tinggal penduduk. Pemilihan lokasi
tempat tinggal umumnya dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kedekatan dengan lokasi
mata pencaharian, sumber makanan, sumber mata air dan lain-lain. Faktor inilah yang
meyebabkan munculnya pemukiman-pemukiman di sekitar atau bahkan di atas sungai,
rawa, dan danau. Masyarakat yang memilih pemukiman di sekitar danau atau sungai
kebanyakan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.
Pemukiman di atas air menciptakan struktur rumah yang dapat mengantisipasi kondisi
perubahan iklim serta disesuaikan dengan budaya dan bahan baku yang tersedia (Geibler,
2007). Salah satu bangunan yang merupaakan ciri khas masyarakat yang hidup di sungai
atau danau adalah rumah rakit atau rumah terapung. Rumah-rumah seperti ini banyak
dijumpai di daerah Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Rumah rakit atau rumah terapung adalah rumah yang sifatnya permanen yang sampai
sekarang masih dipergunakan dibeberapa daerah di Indonesia termasuk pemukiman di
Danau Tempe Kabupaten Wajo. Kondisi perairan seperti danau yang memiliki kondisi iklim
yang ekstrim menyebabkan rumah didesain agar dapat dipindahkan mengikuti ketinggian air.
Terdapat beberapa metode untuk mengontrol letak rumah di permukaan air, salah
satunya yang ditemukan pada konstruksi rumah terapung di Danau Tempe, cara yang
diterapkan oleh masyarakat yaitu dengan menambatkan rumah pada sebuah tiang dengan
menggunakan tali, posisi tiang tersebut diletakkan di depan rumah (Naing, 2008). Hal
berbeda ditemukan di rumah rakit Sungai Musi Palembang dimana rumah ditambatkan pada
empat buah tiang yang letaknya masing-masing berada di sisi rumah (Iskandar, 2009).

1
Penggunaan material pada rumah-rumah terapung di Nusantara sangat dipengaruhi oleh
ketersedian material di sekitar lokasi pemukiman. Material kayu dan bambu merupakan
material utama yang sering dijumpai digunakan sebagai material bangunan pada rumah-
rumah terapung. Kayu biasanya digunakan sebagai material pondasi dan material
pembentuk badan rumah sedangkan bambu lebih banyak digunakan sebagai material
pondasi dengan metode konstruksi tertentu sehingga pondasi pada rumah terapung juga
berfungsi sebagai rakit. Hal inilah yang menyebabkan rumah terapung dapat berpindah dari
suatu tempat ke tempat yang lain.

Gambar 1. Rumah Terapung Danau Tempe


(Sumber: travel.kompas.com)

Gambar 2. Rumah Rakit Musi,Palembang


(Sumber: musiguide.net)

Pemukiman Danau Tempe


Danau tempe adalah salah satu danau besar yang terketak di Provinsi Sulawesi Selatan,
tepatnya di Kabupaten Wajo, Kabupaten SIdrap, dan Kabupaten Soppeng. Danau ini dikenal
sebagai salah satu danau dengan kekayaan biota air yang sangat beragam dan melimpah
sehingga menjadi daya tarik utama masyarakat di sekitar danau memilih untuk tinggal dan
menetap di atas permukaan danau dengan membangun rumah-rumah terapung. Hal ini
dilakukan semata-mata untuk lebih dekat dengan sumber mata pencaharian sehingga dapat
menghemat waktu untuk memulai mencari ikan. Bagi sebagian warga pemukiman terapung
dijadikan sebagai tempat tinggal utama karena tidak memiliki lahan di daratan tetapi
sebagian lagi rumah terapung hanya dijadikan sebagai tempat istirahat atau tempat
menyimpan peralatan menangkap ikan.
Pemukiman terapung Danau Tempe merupakan pemukiman yang unik. Dimana siklus
tahunan pasang surut tidak hanya mempengaruhi mata pencaharian masyarakat tetapi juga
mempengaruhi letak dan posisi pemukiman. Ketika surut pemukiman masyarakat berada
agak ke tengah dari danau atau daerah-daerah yang masih digenangi air dan mata
pencaharian utama masyarakat adalah bercocok tanam pada lahan bekas danau, peristiwa

2
ini terjadi pada saat musim kemarau sebaliknya ketika terjadi pasang dan area danau hampir
semuanya tertutup oleh air, pemukinam masyarahat kebanyakan berada di pinggir danau
dan mata pencaharian utama masyarakat adalah sebagai nelayan, peristiwa ini terjadi pada
saat musim hujan.

Gambar 3. Ilustrasi Rumah Terapung Danau Tempe


(Sumber: Sketsa Pribadi)

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan melakukan kajian literatur khususnya
penelitian-penelitian terdahulu yang terkait. Eksplorasi dilakukan pada sampel yang telah
ditentukan yakni rumah terapung yang terdapat di Danau Tempe.
Penelitian dilakukan untuk menemukenali sistem struktur dan material yang digunakan
oleh masyarakat khususnya dalam konstruksi pondasi. Pada bagian terakhir dari penelitian
yang dilakukan adalah mencoba merumuskan potensi penerapan sistem struktur pondasi
yang diterapkan oleh masyarakat di Danau Tempe untuk pengembangan jenis pondasi pada
hunian terapung sebagai alternatif hunian untuk masyarakat pada negara maritim seperti
Indonesia.

Studi Sistem Struktur dan Menemukenali Sistem


Konstruksi Bangunan Struktur dan Konstruksi
Terapung Eksplorasi Sistem Yang Diterapkan
Struktur dan
Konstruksi Yang
Sistem Struktur dan Diterapakan Potensi Penerapan
Konstruksi Rumah Pada Perencanaan
Terapung Danau Tempe Pondasi Bangunan
Terapung

HASIL DAN PEMBAHASAN

Makna konsep atas sistem struktur adalah memberikan perlindungan bagi penghuninya,
seperti rasa aman dan nyaman sehingga penghuni dapat melakukan kegiatan didalamnya
selayaknya menjalankan kehidupannya sebagai manusia (Sudarwanto, 2013).
Struktur dari rumah terapung Danau Tempe diciptakan untuk mengikuti kondisi alam dan
dipengaruhi oleh ketersediaan material bangunan. Karakteristik lingkungan alam yang
hampir setiap tahunnya terjadi banjir pasang surut mengakibatkan pemukiman masyarakat di
sekitar Danau Tempe bertransformasi menjadi bangunan terapung. Perubahan menjadi

3
bangunan terapung merupakan bukti adanya keinginan untuk dapat bertahan hidup di
lingkungan Danau Tempe oleh masyarakat sekitar.
Sistem struktur dan konstruksi rumah terapung Danau Tempe memiliki keunikan
tersendiri dimana pada bagian bawah atau pondasi rumah terbuat dari bambu dengan
konstruksi tersendiri sedangkan bagian atasnya merupakan rumah vernakular bugis dengan
tiang rendah sehingga bagian bawah (pondasi) dan bagian atasnya terdapat ruang pemisah,
berbeda dengan rumah terapung di tempat-tempat lain di Indonesia dimana bagian bawah
dan atas terhubung secara langsung, agar rumah tidak terbawa arus air terdapat tiang yang
posisinya di luar dari struktur rumah kemudin ditancapkan sampai ke dasar danau dan
terdapat tali yang ditambatkan dari tiang.
Makalah ini akan membahas secara khusus struktur bawah (pondasi) pada konstruksi
rumah terapung Danau Tempe yang menggunakan material bambu.

Gambar 3. Rumah Terapung Danau Tempe


(Sumber: Sketsa Pribadi)
Material Bambu
Bambu adalah jenis rumput dengan rongga dan ruas di setiap batangnya. Bambu
merupakan jenis tanaman dengan pertumbuhan paling cepat karena memiliki sistem
rhizome-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60 cm (24 inchi)
bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam.
(id.wikipedia.org)
Bambu merupakan sumber bahan bangunan yang dapat diperbaharui dan banyak
tersedia di Indonesia. Orang Indonesia sudah lama memanfaatkan bambu untuk bahan
bangunan, perabotan, alat pertanian, kerajinan, alat musik, dan makanan. (Sukawi, 2010)
Sebagai bahan bangunan bambu dapat digunakan sebagai elemen balok, kolom,
pendukung atap, pengisi dinding, maupun lantai. Pemakaian bambu (gedhek) untuk elemen
dinding pada bangunan rumah-rumah tradisional di DIY dan Jawa Tengah telah lama
digunakan. Selain itu dewasa ini banyak diteliti dan dikembangkan bambu plester sebagai
bahan pembuatan dinding dengan harapan elemen dinding menjadi lebih ringan. Untuk
konstruksi rangka atap juga dapat menggunkan bahan bambu. Sebagai elemen struktur,
bambu yang difungsikan sebagai pondasi masih sangat jarang diteliti atau dibahas oleh para
peneliti.
Penggunaan bambu sebagai pondasi telah lama digunakan pada daerah-daerah tertentu
di Indonesia salah satunya adalah penggunaan bambu sebagai pondasi pada rumah

4
terapung di Danau Tempe, Sulawesi-Selatan. Dengan melakukan pengkajian atau penelitian
terhadap metode pondasi bambu yang telah diterapkan pada rumah-rumah terapung yang
telah ada sebelumnya, diharapkan nantinya dapat menjadi sarana untuk memperkaya
pengetahunan tentang konstruksi pondasi terapung dengan material bambu serta untuk
memahami kearifan lokal yang diterapkan sejak dulu dalam membangun hunian yang ramah
dan dapat beradaptasi dengan kondisi iklim Indonesia.
Keunggulan dan Kendala Bambu Sebagai Material Bangunan
Keunggulan bambu yakni sangat mudah ditanam dan tidak perlu perlakuan khusus dan
masa tumbuh bambu yang cepat sehingga bambu dapat diaplikasikan sebagai material
bangunan dalam waktu yang relatif singkat. Budidaya yang mudah dan tidak memerlukan
investasi dengan biaya yang besar dalam memproduksi bambu merupakan suatu
keunggulan tersendiri dari bambu sebagai material bangunan. Hampir semua lapisan
masyarakat dapat membudidayakan bambu tanpa perlu adanya pengetahuan tinggi.
Bambu mempunyai kekuatan yang tinggi, kuat tarik dari bambu sebagai batangan sering
disandingkan dengan kuat tarik baja. Tetapi teknik sambungan yang sering dirangkaian
dengan pasak atau tali membuat kekuatan tarik bambu menjadi menurun.
Tabel 1.1 Kuat tarik dan tekan berbagai jenis bambu di Indonesia
Jenis Bambu Bagian Kuat Tarik (MPa) Kuat Tekan (Mpa)
Pangkal 228 277
Bambu Petung (Dendrocalamus
Tengah 117 409
asper)
Ujung 208 548
Pangkal 239 532
Bambu Tutul (Bambusa vulgaris) Tengah 292 534
Ujung 449 464
Pangkal 192 327
Bambu Galah (Gigantochloa
Tengah 335 399
verticilata)
Ujung 232 405
Pangkal 144 215
Bambu Apus (Gigantochloa apus) Tengah 137 228
Ujung 174 335
Sumber: (Marisco, 2005)
Walaupun bambu memiliki potensi besar sebagai material bangunan tetapi bambu juga
memiliki beberapa kendala baik dari ketahanan maupun fungsinya sebagai struktur.
Kendala-kendala tersebut seperti:
- Bambu sangat mudah diserang oleh serangga sehingga akan mengurangi kekuatan
dari bambu.
- Sambungan masih menjadi titik kritis pada struktur bangunan yang menggunakan
bambu.
- Teknik sambungan yang beredar di masyarakat masih berupa sambungan
konvensional yang menggunakan paku, pasak, dan tali ijuk.
- Kendala lainnya datang dari masyarakat itu sendiri, masyarakat masih beranggapan
bahwa material bambu masih dikaitkan dengan material untuk kalangan menengah
ke bawah, untuk menghilangkan persepsi seperti ini peran arsitek sangat penting
dalam menciptakan bangunan bambu yang menarik secara bentuk.

5
Metode Pemilihan dan Pengawetan Bambu sebagai Pondasi
Pemanfaatan bambu sebagai material pondasi memiliki syarat-syarat tersendiri. Metode
dalam pemilihan bambu yang digunakan sebagai material pondasi menjadi salah satu aspek
penting yang harus diperhatikan. Dalam pemilihan bambu sebagai material pondasi rakit
oleh masyarakat di Danau Tempe, bambu yang dipilih adalah bambu parring (Gigantochloa
atter), jenis bambu ini banyak terdapat di Sulawesi-Selatan dengan tinggi mencapai 15 m
dan diatemer 5-10 cm. Bambu yang digunakan merupakan bambu generasi pertama yakni
bambu yang berumur 3-4 tahun yang biasanya terletak di tengah rumpun. Bambu dipotong
dengan panjang 6-8 m kemudian dikeringkan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air
yang terdapat dalam bambu. Selain dari Kabupaten Wajo masyarakat di Danau Tempe juga
mendatangkan bambu dari kabupaten lain seperti Kabupaten Maros, Bone, Sidrap dan
Soppeng.
Masalah lainnya yang dialami masyarakat dalam pemakaian bambu sebagai material
bangunan adalah daya awet bambu. Metode pengawetan bambu yang dilakukan oleh
masyarakat di Danau Tempe adalah dengan merendam bambu di air dalam kurun waktu 1-3
bulan sebelum dirangkai menjadi pondasi. Perendaman dilakukan pada pondasi yang tidak
terendam langsung di dalam air. Bagian pondasi yang terendam dalam air merupakan
pertahanan alami dari serangan serangga yang merupakan salah satu penyebab kerusakan
pada bambu. Secara biologis perendaman diperuntukan untuk menurunkan kadar pati di
dalam bambu. Kelemahan dari metode perendaman adalah berkurangnya pati secara
berlebihan sehingga akan menurunkan kekuatan bambu.
Struktur Pondasi (Pondasi Rakit)
Sistem pondasi pada rumah di Danau Tempe terdiri dari rangkaian bambu yang disusun
bertumpuk menjadi tiga lapisan. Pada lapisan pertama, terdiri dari bambu-bambu yang
dikumpulkan dengan jumlah 20-30 batang bambu yang dibentuk menjadi tabung memanjang
kemudian diikat dengan tali atau rotan. Fungsi pada lapisan pertama ini adalah sebagai
pengapung serta untuk menjaga agar rumah tetap berada di permukaan air dan tidak
tenggelam. Jarak antara satu rangkaian bambu dengan rangkaian lain adalah 30-50 cm,
untuk lapisan pertama ini terdiri dari 810 rangkaian bambu.
Lapisan kedua terdiri dari bambu yang disusun searah sebanyak 4-5 batang kemudian
diikat satu sama lain dengan rotan atau tali plastik, jarak antar ikatan ialah 15-30 cm. lapisan
kedua ini disususn melintang terhadap lapisan pertama, untuk menyatukan antara lapisan
kedua dengan lapisan pertama digunakan tali atau rotan. Fungsi lapisan kedua yaitu selain
sebagai dudukan kolom rumah juga berfungsi untuk menyatukan pondasi lapisan pertama
dengan struktur badan rumah. Lapisan kedua ini melindungi kolom rumah agar tidak
langsung bersentuhan dengan air.
Pada lapisan ketiga dari pondasi, bagian ini tidak bersentuhan langsung dengan struktur
dari badan rumah tetapi letaknya berada di sekitar rumah. Fungsi lapisan ketiga lebih pada
aksesibilitas, sirkulasi, tempat untuk meletakkan hasil tangkapan nelayan, tempat
pencemuran ikan, tempat untuk melakukan aktivitas seperti mencuci dan mandi, serta
tempat untuk menambatkan perahu dan meletakkan peralatan untuk menangkap ikan seperti
jala dan bubu.

6
Gambar 4. Struktur Pondasi Rumah Di Danau Tempe
(Sumber: Sketsa Pribadi)
Pada bagian tiang utama yang bersentuhan langsung dengan pondasi diberi alas berupa
balok kayu dengan ukuran antara 30-45 cm yang dipasang melintang dengan pondasi
lapisan kedua tetapi terdapat juga beberapa rumah yang dipasang searah. Pemberian alas
pada ujung kolom ditujukan untuk mencegah terjadinya pergeseran pada kolom.
Metode untuk menyatukan antara struktur tengah (struktur rumah) dengan struktur
bawah (struktur pondasi) digunakan tali sebagai pengikat yang biasanya dari rotan atau tali
plastik. Letak tali yang digunakan untuk mengikat antara pondasi dengan badan rumah
biasanya berada dekat dengan kolom yang diikatkan pada balok/aratteng dan tali lainnya
berada pas di pertengahan balok/aratteng. Jumlah tali yang digunakan sebagai pengikat
antar kolomnya berjumlah 3-4 buah tali.

Gambar 5. Detail Struktur Rangka dan Pondasi


(Sumber: Sketsa Pribadi)

7
KESIMPULAN

Pengetahuan tentang bangunan dalam masyarakat di Danua Tempe diperoleh secara


turun-temurun, faktor adaptasi lingkungan dan ketersediaan material menjadi salah satu
alasan yang mempengaruhi corak arsitektur masyarakat Danau Tempe. Ketersedian
material bambu yang kaya di sekitar danau, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
menciptakan hunian yang dapat terapung sehingga memudahkan masyarakat dalam
menjalani kehidupan sehari-hari terutama yang berhubungan dengan mata pencaharian
masyarakat di Danau Tempe yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan.
Struktur bawah (pondasi) yang terdiri dari tiga lapis dengan fungsi yang berbeda-beda
antara tiap lapisannya. Fungsi pondasi rakit sendiri untuk memudahkan pergerakan rumah
dan menjaga agar rumah tetap mengapung. Konstruksi pondasi yang terdiri dari tiga lapis
diperoleh dari kearifan lokal masyarakat Danau Tempe melalui proses trial and error. Sistem
yang diterapkan ini berbeda dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia yang juga
mangaplikasikan rumah terapung untuk hunian sehari-hari.
Kearifan lokal yang terdapat pada rumah terapung Danau Tempe masih relevan dengan
kondisi saat ini dan dapat dipergunakan dalam pembangunan lingkungan binaan terutama
pada daerah-daerah perairan sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang sebagian
besar adalah perairan. Kearifan lokal tersebut berkaitan dengan arsitektur, konstruksi
bangunan, fungsi bangunan, serta sistem struktur yang diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Giebler, S. 2007. Schwimmende Architrcture. Bauweisen und Entwicklung. Thesis,


Brandenburgische Technische universitaet, Germany.
2. Iskandar, Y dan Lahji, K. 2010. Kearifan Lokal Penyelesaian Struktur dan Konstruksi
Rumah Rakit di Sungai Musi Palembang. Local Wisdom Vol.2 No.2 Halaman : 37-45
Maret 2010.
3. Morisco. 2005. Teknologi Bambu, Teknologi Bahan Bangunan. Universitas Gajah
Mada.
4. Naing, N dan Halim, H. 2013. Sistem Struktur Rumah Mengapung di Danau Tempe
Sulawesi Selatan. Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 3 Halaman : 145-152.
5. Sudarwanto, B dan Murtono, B. 2013. Studi Struktur dan Konstruksi Bangunan
Tradisional Rumah Pencu di Kudus. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2
No.1 Hal. 35-45 Januari 2013
6. Sukawi. 2010. Bambu Sebagai Alternatif Bahan Bangunan dan Konstruksi di Daerah
Rawan Gempa. Jurnal TERAS Volume X Nomor 1, Juli 2010
7. Http://id.wikipedia.org. Diakses tanggal 12 Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai