Anda di halaman 1dari 111

Modul Aspek Hukum dan Manajemen Proyek

MODUL 1
ASPEK HUKUM DAN KONTRAKTUAL
PENDAHULUAN

Permasalahan hukum sering terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terutama berkaitan
dengan kontrak, salah satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan. Oleh karena itu, perlu
untuk dipahami mengenai konsep dasar dari aspek hukum dan aspek kontraktual dalam tata
hukum/perundangan yang berlaku di Indonesia dan di luar Indonesia serta mahasiswa mampu
memetakan peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi.

Modul Aspek Hukum dan Kontraktual akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia yang terdiri
dari:

1. Hukum Perdata yang meliputi Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian

2. Perjanjian yang meliputi syarat sahnya perjanjian, akibat dari perjanjian dan berakhirnya perjanjian;

3. Wanprestasi;

4. Somasi;

5. Sanksi dan Ganti Rugi;

6. Hukum dalam Kontrak Konstruksi.

Modul ini akan dibahas dalam 2x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan
mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes
formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi
tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban
yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mengenai aspek
hukum dan kontrak pada proyek konstruksi serta memetakan peranan aspek legal dan kontraktual
dalam kontrak konstruksi.

KEGIATAN BELAJAR 1.1. HUKUM PERDATA

Sistem Hukum Indonesia pada dasarnya dikelompokkan dalam hukum pidana dan perdata (delik
aduan). Dasar hukum di Indonesia adalah Hukum Kontinental (Civil Law-Eropa) yang mengandalkan
kitab undang-undang. Dasar hukum lainnya adalah Common Law (Anglo Saxon) yang melandaskan
pada Yurisprudensi. Landasan/Sumber Utama hukum yang berlaku saat pemerintahan Belanda pada
tahun 1938 yaitu Burgelijk Wetboek yang saat ini disebut Hukum Perdata Indonesia.

1.1.1. Hukum Perikatan

Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata berlaku sejak tahun 1945 yang terdiri dari 1993 pasal
dalam 4 buku yaitu tentang ORANG, tentang KEBENDAAN, tentang PERIKATAN dan tentang
PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA.

Beberapa definisi mengenai hukum perikatan adalah sebagai berikut:

1. Hukum perikatan (Verbintenissenrecht) adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara subyek hukum dengan obyek hukum yang satu dengan lainnya dalam bidang harta kekayaan
(hak dan kewajiban). Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum perikatan adalah adanya kaidah hukum
(tertulis/tidak tertulis), adanya subyek hukum, adanya obyek hukum dan dalam bidang harta kekayaan
(hak dan kewajiban).

2. Hukum perikatan yang disadur dari www. konsultasihukum.com, Hukum perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hukum perikatan terdiri dari
perihal perikatan dan sumber-sumbernya, macam-macam perikatan, perikatan-perikatan yang lahir
dari undang-undang, perikatan yang lahir dari perjanjian, perihal resiko, wanprestasi dan keadaan
memaksa, perihal hapusnya perikatan-perikatan dan beberapa perjanjian khusus yang penting.
Perikatan dalam KUH Perdata:

 Perikatan Umum (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1321 KUH Perdata) mengatur mengenai sumber
perikatan, prestasi, penggantian biaya, ganti rugi dan bunga akibat tidak terpenuhinya perikatan dan
jenis-jenis perikatan.

 Perikatan dari Perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan 1351 KUH Perdata) mengatur mengenai ketentuan
umum, syarat-syarat sah perjanjian, akibat perjanjian dan penafsiran perjanjian

Kontrak termasuk kontrak pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari bentuk kesepakatan. Kontrak
pekerjaan konstruksi termasuk dalam hukum PERJANJIAN.

1.1.2. Hukum Perjanjian


Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin
dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga
menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan
kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam
sebuah perjanjian.

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang
kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang
bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di
kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara
sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat
untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
KEGIATAN BELAJAR 1.2. PERJANJIAN

1.2.1. Syarat Sahnya Perjanjian


Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan
hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:

1) Kesepakatan para pihak;

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi
pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat
terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan
karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan
tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2) Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll);

Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963
tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari
perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3) Menyangkut hal tertentu;

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi
hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat
menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di
kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4) Adanya kausa yang halal.

Sahnya kausa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa
yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai
obyek. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi
untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat
subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah.
Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal),
maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio, 1992).

1.2.2. Akibat Perjanjian

Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk
melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338
KUHPerdata, yaitu:

(1) perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.

(2) perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak
atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.

(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.

Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan
untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi
kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar
ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337
KUHPerdata).

Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah
tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan, bagaimana jika
salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian dan apa yang
seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi? Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak
menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah
memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut
dikategorikan sebagai wanprestasi. Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar
perjanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu
(somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar
ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam somasi
tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak mematuhi somasi
yang dilayangkan.

Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal
tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah
hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang
ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan:

”debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan
kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus
memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan
perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestsi tersebut serta bunganya. Dalam Pasal
1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat
diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan.
Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244 KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk
mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya
perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal
yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk
padanya. Berbeda halnya jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang
secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka keharusan untuk mengganti
segala biaya, kerugian dan bunga sebagaimana dinyatakan di atas tidak perlu dilakukan (Pasal 1245
KUHPerdata).

1.2.3. Berakhirnya Perjanjian


Perjanjian berakhir karena :

a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;

b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;

c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka
persetujuan akan hapus;

Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal
1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat
melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa
dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

1. keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi
perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang dan adanya lahar
(force majeur).

Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :

a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);

b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya
untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

2. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk
melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan
korban besar yang tidak seimbang atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar.
Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan
hak dan kewajiban kreditur dan debitur.

d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau
oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;

e. putusan hakim;

f. tujuan perjanjian telah tercapai;

g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).


KEGIATAN BELAJAR 1.3. WANPRESTASI
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya
masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya
perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah
satu pihak atau debitur.

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud
wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak
memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Bentuk wanprestasi menurut Subekti, ada empat macam yaitu:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang
tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan
melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang
berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi
yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan
bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas
waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap
melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan
mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi,
diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan
tersebut disebut dengan somasi.
KEGIATAN BELAJAR 1.4. SOMASI
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan
bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah
ada somasi (in gebreke stelling).

1.4.1. Bentuk-Bentuk Somasi

Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:

1) Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan.
Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-
lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam
perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat
dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila
masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan
wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam
perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
KEGIATAN BELAJAR 1.5. SANKSI DAN GANTI
RUGI
1.5.1. Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
debitur, yaitu:

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan resiko;

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

1.5.2. Ganti Rugi

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en


interessen” (pasal 1243 dsl). Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak
hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-
sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan
(interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat
langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian
yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-
akibat yaitu:

a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B
tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A
menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku
hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari
perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela
dirinya, yaitu:

a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);

b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Menururut ketentuan pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya. Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur
melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur
terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan
sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian
debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke
stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam pasal 1243 di atas,
terdiri dari tiga unsur yaitu:

1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan.

2. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya
busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi
sehingga merusakkan prabot rumah tangga.

3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat
diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.

Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang


memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya
(wanprestasi) yang meliputi:

1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHPdt).
2. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam
pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate.
Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal
dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku
manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHPdt). Besarnya
bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut
Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul
karena perbuatan melawan hukum.
KEGIATAN BELAJAR 1.6. HUKUM DAN KONTRAK
KONSTRUKSI
Definisi kontrak menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, Kontrak adalah perikatan antara
pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Kontrak kerja konstruksi menurut UU Jasa Kontruksi No 18 Tahun 1999 adalah keseluruhan dokumen
yang mengatur hubungan hokum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak
konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak tersebut.
Kedudukan, hak dan kewajiban dari pihak-pihak tersebut baik itu pengguna jasa dan penyedia jasa
adalah sama secara hukum.

Kontrak konstruksi merupakan suatu produk hukum. Elemen (bagian-bagian kontrak merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, dan merupakan suatu kesatuan yang mengikat karena
seluruh elemen kontrak mempunyai kedudukan dan konsekuensi hukum yang sama terhadap masing-
masing pihak yang mengikat diri dalam kontrak.

Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000
dan Peraturan No 30 Tahun 2000. Kontrak konstruksi juga diatur dalam Keputusan Presiden No 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.

LATIHAN SOAL
1. Sebutkan 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah!

2. Apa yang dimaksudkan dengan wanprestasi?

3. Sebutkan bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti!

4. Apa yang dimaksudkan dengan somasi?

5. Apa yang dimaksudkan dengan keadaan memaksa?


RANGKUMAN
1. Kontrak pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari bentuk kesepakatan. Kontrak pekerjaan
konstruksi termasuk dalam hukum PERJANJIAN.
2. Perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk
saling mengikatkan diri satu sama lain.

3. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa

4. Kontrak konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak
tersebut.

5. Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000
dan Peraturan No 30 Tahun 2000.

TES FORMATIF
1. Pada tahun berapa hokum perdata mulai berlaku di Indonesia?
a) 1945

b) 1950

c) 1955

d) 1965

2. Berapa jumlah buku yang terdapat dalam Hukum Perdata?


a) 2 buku

b) 3 buku

c) 4 buku

d) 5 buku

3. Perjanjian dinyatakan syah jika memenuhi syarat-syarat berikut. Mana yang bukan merupakan syarat
syahnya suatu perjanjian?
a) Kesepakatan para pihak
b) Kecakapan untuk membuat perikatan
c) Menyangkut hal tertentu
d) tidak ada kausal yang halal
4. Apabila debitur melakukan wanprestasi maka sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada debitur?
a) Membayar kerugian yang diderita debitur

b) Pembatalan perjanjian

c) Penangguhan resiko

d) Penangguhan pembayaran

5. Alasan apa yang dapat diajukan oleh seorang debitur yang dituduh wanprestasi untuk membela
dirinya?
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach)
b) Mengajukan alasan bahwa debitur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur tidak melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
d) Mengajukan permintaan penangguhan

UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan kunci jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 1.

Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.

Tes formatif:

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90 – 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik

70 – 79 % = cukup

< 70 % = kurang

TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi
selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi
modul 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI JAWABAN
Latihan Soal

1. Perjanjian dinyatakan sah, jika:

1. Kesepakatan para pihak


2. Kecakapan untuk membuat perikatan
3. Menyangkut hal tertentu
4. Adanya kausa yang halal

2. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa.
3. Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

4. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan
dari kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu.
5. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.

Tes Formatif

1. A
2. C
3. D
4. B
5. A

MODUL 2
BENTUK-BENTUK KONTRAK

PENDAHULUAN

Kontrak konstruksi terdiri dari kontrak konstruksi yang berlaku di Indonesia dan Kontrak

Internasional. Kontrak yang digunakan pada pelaksanaan proyek konstruksi yang pembiayaannya
menggunakan sumber dana APBN/APBD diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sedangkan untuk proyek-proyek
konstruksi yang menggunakan sumber dana dari Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank
(ADB) harus menggunakan kontrak yang berlaku secara internasional (kontrak internasional).

Modul ini akan membahas mengenai Bentuk-Bentuk Kontrak yang terdiri dari:

1. Jenis-Jenis Kontrak di Indonesia yang meliputi bentuk imbalan, jangka waktu pelaksanaan dan jumlah
penggunaan;

2. Isi Kontrak yang meliputi lingkup pekerjaan, persyaratan dan spesifikasi teknis, masa penyelesaian,
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat, ketentuan cidera janji, pemutusan kontrak, keadaan
memaksa, kewajiban para pihak, penyelesaian perselisihan, nilai dan harga kontrak, jaminan,
perlindungan tenaga kerja, bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan serta keabsahan para
pihak yang terlibat.

3. Kontrak Internasional yang meliputi AIA, FIDIC, JCT dan SIA

Pembahasannya akan dilakukan dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara
aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan
tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi
tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban
yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan bentuk-bentuk
kontrak konstruksi termasuk kontrak yang berlaku secara internasional
KEGIATAN BELAJAR 2.1. JENIS-
JENIS KONTRAK DI INDONESIA
Jenis-jenis kontrak pengadaan barang/jasa menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003
dibedakan atas:

2.1.1. Berdasarkan bentuk imbalan

1) Lump Sum; Kontrak Lump Sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh
pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko
yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia
barang/jasa

2) Harga Satuan; Kontrak Harga Satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh
pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap
satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat
perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas
volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.

3) Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan; Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak
yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.

4) Terima jadi (Turn Key); Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap
sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat
berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.

5) Persentase; Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultasi di bidang konstruksi atau
pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa
berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut.

2.1.2. Berdasarkan jangka waktu pelaksanaan


Berdasarkan jangka waktu pelaksanaan konstruksi, kontrak dibagi menjadi:

a) Tahun tunggal; Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana
anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.

b) Tahun jamak; Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana
anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri
Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD
Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.

2.1.3. Berdasarkan Jumlah Penggunaan

Berdasarkan jumlah penggunaan barang/jasa, kontrak dikelompokkan menjadi:

a) Kontrak Pengadaan Tunggal, adalah kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia
barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.

b) Kontrak Pengadaan Bersama, adalah kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan
penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai
dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang
dituangkan dalam kesepakatan bersama.
KEGIATAN BELAJAR 2.2. ISI KONTRAK
Isi kontrak menurut Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden (Pepres) No 32 Tahun 2005,
antara lain:

 Lingkup pekerjaan
 Persyaratan dan Spesifikasi Teknis
 Masa Penyelesaian/Penyerahan
 Hak dan Kewajiban Para Pihak yang terlibat
 Ketentuan Cidera Janji
 Pemutusan Kontrak secara Sepihak
 Keadaan Memaksa (Force Majeur)
 Kewajiban Para Pihak apabila terjadi Kegagalan dalam Pelaksanaan Pekerjaan
 Penyelesaian Perselisihan
 Nilai atau Harga Kontrak Pekerjaan serta Syarat-syarat Pembayaran
 Jaminan Teknis/Hasil Pekerjaan
 Perlindungan Tenaga Kerja
 Bentuk dan Tanggung Jawab Gangguan Lingkungan
 Keabsahan para pihak yang terlibat
KEGIATAN BELAJAR 2.3.
KONTRAK INTERNASIONAL
Dalam lingkup Internasional dikenal beberapa bentuk Kontrak Konstruksi yang diterbitkan oleh
beberapa negara atau asosiasi profesi, antara lain:

 AIA (American Institute of Architects)

 FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels)

 JCT (Joint Contract Tribunals)

 SIA (Singapore Institute of Architects)

Di Indonesia, untuk proyek-proyek Pemerintah banyak didanai Bank-bank Internasional, seperti: Asian
Development Bank (ADB), African Development Bank, European Bank for Reconstruction and
Development, International Bank for Reconstruction and Development (The World Bank), dll.

Adapun bentuk kontrak yang sering digunakan di Indonesia adalah Standar/Sistem FIDIC dan JCT,
terutama untuk

 proyek-proyek Pemerintah yang menggunakan dana pinjaman (loan) dari luar negeri;

 Kontrak-kontrak dengan pihak swasta asing yang beroperasi di Indonesia. Standar/Sistem AIA,
kebanyakan digunakan oleh

 perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia (kontrak-kontrak pertambangan).

2.3.1. Standar Kontrak Amerika Serikat (AIA)

American Institute of Architects (AIA) adalah sebuah institusi profesi di Amerika Serikat yang
menerbitkan dokumen kontrak/syarat-syarat kontrak konstruksi yang biasa dikenal dengan istilah
“AIA Standard” dan dipergunakan secara luas di Amerika Serikat. Sebagaimana lazimnya Syarat-Syarat
Kontrak (Conditions of Contract), penerbitannya selalu diperbaiki. Demikian pula dengan syarat-syarat
kontrak dari AmerikaSerikat yang terakhir diketahui adalah edisi/penerbitan tahun 1987 yang dikenal
dengan nama “AIA-General Conditions,1987 ed.”
General Conditions of Contract for Construction, yang diterbitkan oleh “The American Institute of
Architects (=AIA)”, terdiri dari 14 Pasal (Artikel) dan 71 ayat. Pasal-pasal yang terdapat dalam General
Conditions of Contract for Construction memuat ketentuan mengenai:

o General Provisions,

Membahas tentang:

- definisi-definisi dasar mengenai dokumen kontrak, kontrak, pekerjaan, proyek, dan sebagainya;

- penandatanganan kontrak, kontrak harus ditandantangani oleh owner dan kontraktor;

- kepemilikan dari dokumen-dokumen kontrak. Kontraktor, sub-kontraktor dan supplier dapat memiliki
salinan dokumen kontrak;

o Owner

Membahas tentang hak-hak dan kewajiban owner secara umum, antara lain:

- Owner harus menyediakan informasi tentang proyek.

- Owner harus membayar biaya konstruksi.

- Owner mempunyai hak untuk menghentikan pekerjaan.

Berlaku jika kontraktor gagal memperbaiki kesalahan dalam pekerjaannya.

- Owner mempunyai hak untuk mengambil alih pekerjaan.

Berlaku jika kontraktor tidak menanggapi 7 hari setelah surat teguran kedua dikeluarkan.

o Kontraktor

Membahas mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kontraktor setelah dokumen kontrak
ditandatangani, seperti:

 Kontraktor harus menunjuk seorang pengawas.

 Kontraktor harus membayar upah, bahan, peralatan dan fasilitas yang digunakan.

 Kontraktor memberikan jaminan atas pekerjaannya.

 Kontraktor harus membayar semua pajak, perizinan dan upah.


 Kontraktor menunjuk seorang superintendent.

 Jadwal pelaksanaan konstruksi harus selalu diperbarui

 Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pelaksanaan harus selalu diteliti kembali dan disahkan
oleh arsitek.

 Kontraktor harus menyediakan akses masuk ke tempat kerja, memelihara lingkungan, menjaga hak
paten dari dokumen milik arsitek.

 Indemnification

o Administrasi Kontrak

 Membahas mengenai tugas dan wewenang arsitek, yaitu antara lain menjadi wakil dari owner selama
konstruksi berlangsung, sampai final payment dilakukan atau sampai batas waktu tertentu atas
persetujuan owner.

 Dalam pasal ini, dijelaskan pula mengenai tata cara penyelesaian suatu tuntutan/perselisihan, yaitu
suatu tuntutan terlebih dahulu diajukan kepada arsitek untuk ditindaklanjuti yang kemudian akan
dilanjutkan melalui tahap arbitrasi.

o Subkontraktor

 Menjelaskan bahwa Kontraktor tidak diizinkan untuk melakukan hubungan kontrak dengan pihak-
pihak yang tidak disepakati oleh owner dan arsitek. Kontraktor tidak boleh mengganti subkontraktor
yang telah terpilih meskipun owner dan arsitek melakukan perubahan pekerjaan.

 Kontraktor dapat menunjuk subkontraktor untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu dan


bertanggungjawab terhadap Kontraktor. Setiap ketentuan dalam subkontrak harus memelihara dan
melindungi hak-hak owner dan arsitek serta menghormati subkontraktor dalam melaksanakan
pekerjaannya.

o Konstruksi oleh Owner atau oleh Subkontraktor

 Owner mempunyai hak untuk melakukan pekerjaan konstruksi dengan sumber daya sendiri, dan
membuat kontrak terpisah dalam proyek konstruksi.

 Kontraktor dapat mengajukan klaim keterlambatan atau biaya tambahan yang dikeluarkan oleh
kontraktor akibat hal-hal yang dilakukan owner.
 Kontraktor utama harus memberikan owner dan subkontraktor kesempatan yang masuk akal untuk
memperkenalkan dan menyimpan material. Biaya yang disebabkan oleh keterlambatan atau aktivitas
yang tidak sesuai dipertanggungjawabkan oleh masing-masing pihak yang bertanggung jawab.

 Jika perselisihan timbul di antara kontraktor utama, subkontraktor, dan owner sesuai dengan
kewajibannya dibawah kontrak untuk mempertahankan kinerjanya/premises. Owner mempunyai hak
untuk membersihkan area sekitarnya bebas dari material bangunan dan sampah

o Perubahan dalam Lingkup Pekerjaan

 Perubahan dalam pekerjaan bisa dilakukan setelah kontrak dilaksanakan, subyek mempunyai batasan-
batasan yang dinyatakan dalam dokumen kontrak. Perintah perubahan harus berdasarkan
kesepakatan dari owner, Kontraktor utama, dan Arsitek. Perintah perubahan atau perubahan harga
satuan harus disesuaikan dengan adil.

 Perintah perubahan disiapkan dalam suatu alat/bukti tertulis oleh arsitek dan ditandatangani
oleh owner dan arsitek. Perubahan berupa lingkup pekerjaan, jumlah kontrak dan durasi kontrak.

 Owner dapat melakukan perubahan konstruksi secara langsung, tanpa menghiraukan


kontrak. Penjumlahan kontrak dan durasi kontrak akan dilakukan penyesuaian sesuai dengan
kesepakatan.

 Arsitek mempunyai kekuasan untuk memerintahkan perubahan kecil dalam lingkup pekerjaan tanpa
melibatkan penyesuaian dalam jumlah kontrak atau perpanjangan durasi kontrak. Setiap perubahan
harus ada pernyataan tertulis dan harus mengikat kepada owner dan kontraktor.

o Waktu

 Durasi Kontrak merupakan jangka waktu, termasuk penyesuaian yang diizinkan, disetujui dalam
dokumen kontrak. Jangka yang digunakan dalam Dokumen Kontrak harus berarti hitungan hari
kalender kecuali dalam hal lain dijelaskan dengan spesifik.

 Batas waktu yang dinyatakan dalam dokumen kontrak adalah inti dari kontrak. Durasi kontrak
merupakan waktu yang realistis untuk melakukan pekerjaan.

 Jika kontraktor utama mengalami keterlambatan dalam setiap waktu dari perkembangan
pekerjaannya akibat dari tindakan owner dan Arsitek, atau dari Subkontraktor yang dipekerjakan
oleh owner, atau akibat dari perintah perubahan dalam lingkup pekerjaan, atau perselisihan tenaga
kerja, kebakaran, penundaan pengiriman yang biasanya tidak terjadi, adanya korban yang tidak dapat
dihindari atau sebab lain yang disebabkan diluar kontrol dari Kontraktor, maka durasi Kontrak harus
diperpanjang oleh Perintah Perubahan untuk jangka waktu yang realistis yang mungkin ditentukan
oleh Arsitek.

o Pembayaran dan Penyelesaian

Pembayaran total biaya yang harus diberikan oleh owner kepada kontraktor sesuai dokumen kontrak
diatur dalam Contract Sum.

Prosedur Pembayaran Menurut AIA :

Schedule of Values

Surat Permintaan Pembayaran

Sertifikat Pembayaran

Ya

Perbaiki atau Selesaikan

Tidak

Pembayaran

Gambar 2.1. Prosedur Pembayaran

o Perlindungan Terhadap Pekerja dan Properti

 Kontraktor harus bertanggung jawab atas pelaksanaan, pemeliharaan, dan mengawasi seluruh
kegiatan dan keselamatan yang berhubungan dengan pelaksanaan kontrak
 Kontraktor harus dapat mengambil tindakan pencegahan dan menyediakan perlindungan untuk
mencegah kerusakan, kecelakaan, atau kerugian.

 Dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan pekerja dan properti, kontraktor dapat
melaksanakan kebijaksanaannya untuk mencegah terjadinya kerusakan, kecelakaan, atau kerugian

o Asuransi dan Jaminan

 Kontraktor harus memberikan jaminan atas pekerjaan yang dilakukannya dan atas tuntutan yang
muncul akibat resiko pekerjaan. Jaminan yang dibutuhkan harus secara tertulis dan tidak melampaui
tanggung jawab berdasarkan Dokumen Kontrak.

 Owner harus bertanggung jawab dalam pengadaan asuransi untuk perlindungannya sendiri.
Kontraktor tidak bertanggung jawab atas asuransi pilihan owner, kecuali dibutuhkan dalam Kontrak.

 Segala properti dan material yang digunakan dalam proses konstruksi harus diasuransikan agar dapat
mencegah keterlambatan pekerjaan akibat kerusakan properti.

 Owner memiliki hak untuk memerintahkan Kontraktor untuk melengkapi jaminan yang meliputi
jaminan pelaksanaan dan pembayaran sebagai penetapan dalam kebutuhan lelang.

o Pekerjaan Pembongkaran dan Perbaikan

 Apabila Kontraktor tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan perjanjian maka harus dilakukan
pembongkaran terhadap pekerjaan tadi tanpa adanya perubahan Masa Kontrak dengan diawasi oleh
Arsitek. Biaya yang dikeluarkan selama pekerjaan pembongkaran akan dibebankan kepada pihak yang
menyebabkan keterlambatan.

 Untuk memperbaiki pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian Kontraktor harus mendapat
peringatan tertulis dari owner. Apabila Kontraktor gagal dalam memperbaiki pekerjaannya
maka owner berhak memindahkan material dan meyimpannya, dimana biaya pemindahan dan
penyimpanan menjadi tanggung jawab Kontraktor.

 Apabila owner ternyata menerima pekerjaan yang tidak sesuai Kontrak atas pertimbangannya sendiri
maka owner melakukan tindakan pemindahan dan perbaikan, dalam hal ini Jumlah Kontrak akan
dikurangi secara tepat dan seimbang.

o Persyaratan Tambahan
Persyaratan Tambahan ini berisi tentang Hukum yang Berkuasa, Penggantian, dan
Penentuan, Peringatan Tertulis, Hak dan Perbaikan, Pengujian dan Pemeriksaan, Bunga, Permulaan
dari Batasan Waktu yang Menurut Hukum

o Pemutusan atau Penundaan Kontrak

 Kontraktor utama dapat menghentikan kontrak jika pekerjaan diberhentikan selama 30 hari berturut-
turut tanpa ada tindakan atau kesalahan dari Kontraktor atau Subkontraktor. Kontraktor dapat
meminta 7 hari tambahan waktu dalam pemberitahuan tertulis kepada Owner dan Arsitek,
penghentian Kontrak dan meminta pembayaran penggantian untuk pekerjaan yang telah dikerjakan
dan untuk kehilangan material, peralatan, perlengkapan, dan peralatan konstruksi dan permesinan,
termasuk biaya tidak langsung.

 Owner dapat menghentikan Kontrak apabila Kontraktor :

 Terus menerus atau berulang-ulang menolak atau gagal dalam memenuhi kemampuan pekerja yang
memadai atau material yang memadai.

 Gagal melakukan pembayaran kepada Subkontraktor untuk materil atau pekerja menurut kesepakatan
diantara Kontraktor dan Subkontraktor.

 Terus menerus tidak menghiraukan hukum, perintah atau peraturan, regulasi atau perintah dari oleh
otoritas publik mempunyai kekuatan.

 Dilain hal bersalah atau pelanggaran untuk hal yang utama dari ketentuan dari Dokumen Kontrak.

 Owner dapat, tanpa sebab, memerintahkan Kontraktor dalam bentuk tertulis untuk menghentikan,
menunda atau melakukan interupsi terhadap pekerjaan secara keseluruhan atau beberapa bagian
dalam jangka waktu yang boleh ditentukan oleh Owner.

Disamping AIA, di Amerika Serikat terdapat institusi/asosiasi profesi lain yang menerbitkan cara-cara
pelelangan dan dokumen kontrak seperti The National Society of Professional Engineers (NSPE),
Association General Contractors of America (AGC) dan lain-lain.

2.3.2. Standar/Sistem Kontrak FIDIC

FIDIC adalah singkatan dari Federation Internationale Des Ingenieurs Counsels atau dalam bahasa
Inggris disebut International Federation of Consultant Engineers atau bila diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia adalah Federasi Internasional Konsultan Teknik. FIDIC didirikan pada tahun 1913
oleh 3 (tiga) asosiasi nasional dari Konsultan Teknik independen di Eropa. Tujuan pembentukan dari
federasi ini adalah untuk memajukan secara umum kepentingan-kepentingan profesional dari anggota
asosiasi dan menyebarkan informasi atau kepentingannya kepada anggota-anggota dari kumpulan
asosiasi nasional. Sekarang jumlah keanggotaan FIDIC sudah tersebar di lebih dari 60 (enam puluh)
negara di seluruh dunia, mewakili konsultan-konsultan teknik didunia.

FIDIC mengatur seminar-seminar, konferensi-konferensi dan pertemuanpertemuan lain untuk


memelihara kepatutan dan standar profesional yang tinggi, tukar menukar pandangan dan informasi,
diskusi masalah-masalah kepentingan bersama diantara anggota asosiasi dan perwakilan-perwakilan
dari institusi keuangan internasional dan mengembangkan profesi teknik di negara-negara
berkembang.

Publikasi FIDIC termasuk laporan-laporan dari pelbagai konferensi-konferensi dan seminar-seminar,


informasi untuk para Konsultan Teknik, Pengguna Jasa Proyek dan agen-agen pengembangan
internasional, bentuk-bentuk standar prakualifikasi, dokumen-dokumen kontrak dan perjanjian
Klien/Konsultan, semuanya tersedia di Sekretariat FIDIC di Swiss.

Selain itu, perlu kiranya diketahui bahwa banyak asosiasi profesi di tanah air diantaranya Asosiasi
Kontraktor Indonesia (AKI) adalah anggota IFAWPCA (International Federation of Asia and West Pacific
Contractor’s Association), sedangkan IFAWPCA adalah anggota FIDIC. Jadi seharusnya kita di Indonesia
cukup mengenal FIDIC dan sepantasnya menggunakan standar FIDIC dalam membuat kontrak sebagai
acuan/rujukan. Tetapi kenyataannya penggunaan sistim FIDIC di Indonesia masih sangat terbatas pada
kontrak proyek-proyek yang menggunakan dana pinjaman luar negeri atau kontrak-kontrak dengan
swasta asing.

FIDIC telah menyusun 3 (tiga) versi Standar/Sistem Kontrak yang masing-masing mengatur Syarat-
syarat Umum Kontrak dan Syarat-syarat Khusus Kontrak.

 FIDIC-Edisi ke-4 1987

Ditujukan untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi Teknik Sipil (Works of Civil Engineering Construction).

 FIDIC-Edisi ke-1 1995

Ditujukan untuk pekerjaan Rancang Bangun (Design Build and Turn Key).

 FIDIC-Edisi Mei 2005 Multilateral Development Bank (MDB) Harmonised Edition

Ditujukan untuk pekerjaan Bangunan dan Pekerjaan Perencanaan yang didesain oleh Pengguna Jasa
(Building And Engineering Works Designed by The Employer).
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak/perjanjian menurut FIDIC 2005 dan Perundang-
undangan Indonesia yang dikutip dari Soekirno, 2005 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Pihak-pihak yang terlibat menurut FIDIC 2005 dan Perundang-undangan Indonesia

Condition of Contract For Works Of Civil Engineering Construction terdiri dari General Condition With
Form Of Tender And Agreement dan Condition Of Particular Application With Guidelines For
Preparation Of Part II Clauses.

FIDIC telah diterbitkan dalam 3 edisi yaitu sebagai berikut:

 Edisi pertama keluar pada tahun 1957

 Edisi kedua terbit pada taun 1969 dengan perbedaaan dibandingkan dengan edisi pertama adalah pada
bagian 3 yaitu tentang Condition of Particular Application for Dredging and Reclamation Works

 Tahun 1983 komite eksekutif FIDIC memutuskan untuk memperbarui Red Book. Tugas ini dipercayakan
kepada CECC (Civil Engineering Contract Committee). Publikasinya adalah Red Book edisi 1987.

 Edisi paling baru adalah tahun 1995

2.3.3. Standar/Sistem Kontrak JCT 1980


JCT adalah singkatan dari Joint Contract Tribunals, suatu institusi di Inggris yang menyusun standar
kontrak konstruksi untuk Pemerintah setempat (Local Authority) dan Sektor Swasta (Private). Unsur-
unsur pokok JCT terdiri dari badan-badan sebagai berikut Royal Institutions of British Architect (RIBA),
National Federation of Building Trades Employers (NFBTE), Royal Institution of Chartered Surveyor
(RICS), Association of Country Councils (ACC), Associations of Metropolitan Authority (AMA),
Associations of District Councils (ADC), Committee of Associations of Specialist Engineering Contractor
(ASEC), Greater London Council (GLC), Federation of Associations of Specialist and Subcontractors,
Association of Consulting Engineers (FASSACE), Scotish Building Contract Committee (SBCC).

Selengkapnya berjudul : STANDARD FORM OF BUILDING CONTRACT, 1980 Edition PRIVATE WITH
QUANTITIES. JCT – Joint Contracts Tribunal form of Building Contract yang terdiri dari :

 ARTICLES OF AGREEMENT
 CONDITIONS : PART 1 : GENERAL
 CONDITIONS : PART 2 : NOMINATED SUBCONTRACTORS AND NOMINATED SUPPLIERS
 CONDITIONS : PART 3 : FLUCTUTIONS
 APPENDIX.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa standar JCT dibuat oleh beberapa institusi di Inggris dan
tidak melibatkan institusi lain seperti keanggotaan FIDIC dan dibuat khusus untuk kontrak-kontrak
bangunan (Building Contract). Standar JCT dipakai oleh Inggris sendiri dan kebanyakan negara
Persemakmuran (Commonwealth) seperti Malaysia, Singapura. Di Indonesia standar JCT dipakai untuk
proyek-proyek swasta dimana yang menjadi konsultan perencana/pengawas adalah perusahaan
Inggris atau yang berafiliasi dengan Inggris.

Standar JCT 1980 menyebut Perjanjian/Kontrak dengan istilah Article of Agreement and Conditions of
Building Contract. Berbeda dengan standar FIDIC 1987, yang hanya menyebut Agreement. Hampir
sama dengan FIDIC, perjanjian menurut standar JCT hanya berisi 5 butir/pasal yaitu :

a. keharusan Penyedia Jasa untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan apa yang
disebut dengan Contract Bills (Rincian Biaya) dan Contract Drawings (Gambar-gambar Kontrak).

b. Pengguna Jasa (Employer) harus membayar Penyedia Jasa berdasarkan Nilai Kontrak (Contract Sum)
pada waktu dan dengan cara-cara sesuai tercantum dalam syarat-syarat kontrak (Conditions of
Contract).

c. memuat penjelasan mengenai Wakil Pengguna Jasa yang ditunjuk (Architect/Engineer).

d. memuat penjelasan mengenai Konsultan Volume/Biaya (Quantity Surveyor) yang ditunjuk.

e. memuat penjelasan tentang penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase.

2.3.4. Standar/Sistem Kontrak SIA


Institusi para Arsitek Singapura yang bernama Singapore Institute of Architects (SIA) menyusun
standar/sistim kontrak yang di kenal dengan nama “SIA 80 CONTRACT”. Standar ini selengkapnya
bernama ARTICLES AND CONDITIONS OF BUILDING CONTRACT yang terdiri dari dokumen-dokumen
berikut :

a) Perjanjian/Kontrak yang di sebut ARTICLE OF CONTRACT


b) Syarat-Syarat Kontrak yang di sebut CONDITIONS OF CONTRACT
c) Lampiran (APPENDIX)
d) Tambahan yang di sebut ADDENDUM ON AMENDMENTS TO SIA CONTRACT.
Pertama-tama yang perlu di ketahui bahwa standar kontrak ini di tujukan atau di peruntukkan bagi
kontrak konstruksi Bangunan Gedung (Building Contract).

LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksudkan dengan Kontrak Lump Sum?

2. Apa yang dimaksudkan dengan Kontrak Unit Price?

3. Sebutkan perbedaan utama dari kontrak Lump Sum dan Unit Price!

4. Sebutkan Isi Dokumen Kontrak, kontrak yang berlaku di Indonesia maupun Internasional?

5. Apa yang dimaksudkan dengan Liquidity Damages for Delay?

RANGKUMAN
1. Kontrak-kontrak yang berlaku di khusus di Indonesia yaitu Lump Sum, Unit Price (Harga
Satuan), Gabungan Lump Sum dan Unit Price, Turn Key, Persentase, Tahun tunggal , Tahun Jamak, Cost
Plus Fixed Fee, Cost Plus Sliding Fee.
2. Kontrak-kontrak yang berlaku di Indonesia dan Internasional adalah AIA, FIDIC, JTC dan SIA.
3. Semua standar/sistim kontrak tersebut mempunyai bentuk (format) yang kurang lebih sebagai berikut:
a) Perjanjian/Kontrak/Agreement/Article of Agreement/Article of Contract.

b) Syarat-syarat Kontrak (Conditions of Contract): Umum (General) dan Khusus (Particular/Special)

c) Lampiran-Lampiran (Appendixes)

d) Spesifikasi Teknis (Technical Specification)

e) Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawings)

4. Tujuan penggunaan masing-masing Kontrak Internasional adalah sebagai:


a) Standar Kontrak Agreement/AIA ditujukan untuk Kontrak Pekerjaan Sipil

b) Standar Kontrak FIDIC 1987 ditujukan untuk Kontrak Pekerjaan Konstruksi Teknik Sipil dan Standar
Kontrak FIDIC 1995 ditujukan untuk Kontrak Pekerjaan Rancang Bangun dan Turn Key

d) Standar Kontrak JCT 1980/SIA 80 di tujukan untuk Kontrak Pekerjaan Bangunan.

TES FORMATIF
1. Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dengan waktu tertentu, jumlah
harga pasti dan tetap, disebut dengan kontrak
a. Kontrak Gabungan

b. Kontrak Lump Sum


c. Kontrak Harga Satuan

d. Kontrak Terima Jadi

2. Berikut ini mana yang tidak termasuk dalam isi kontrak?


a. Lingkup pekerjaan

b. Persyaratan dan Spesifikasi Teknis

c. Masa Penyelesaian/Penyerahan

d. Rencana Anggaran Biaya

3. Yang termasuk dalam kontrak Internasional?


a. AIA

b. ADB

c. JIBIC

d. World Bank

4. FIDIC?
a) Federation Internationale des Ingenieurs Contractors

b) Federation Internationale des Ingenieurs Contractor

c) Federation Internationale des Ingenieurs Counsels

d) Federation Internationale des Ingenieurs Consultant

5. FIDIC tahun 1995 diguna untuk pekerjaan?


a) Kontrak Pekerjaan Sipil

b) Kontrak Pekerjaan Konstruksi Teknik Sipil

c) Kontrak Pekerjaan Design Build & Turn Key

d) Kontrak Pekerjaan Bangunan.


UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 2.

Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.

Tes formatif:

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90 – 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik

70 – 79 % = cukup

< 70 % = kurang

TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi
selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi
modul 2, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI JAWABAN
Latihan Soal

1. Kontrak dengan biaya tetap, volume pekerjaan dapat berubah

2. Kontrak dengan biaya satuan pekerjaan tetap, biaya total dapat berubah sesuai dengan volume yang
dikerjakan.

3. Jumlah harga kecuali ada perintah perubahan, Volume pekerjaan tidak boleh diukur ulang, Nilai
kontrak berubah bila ada perintah perubahan, Resiko salah hitung volume ada pada Penyedia Jasa
sedangkan Kontrak Unit Price, Tidak ada resiko kelebihan membayar (Pengguna Jasa), Tidak ada
keuntungan mendadak (Penyedia Jasa), Banyak pekerjaan pengukuran ulang sehingga bisa terjadi
kolusi

4. Standar/sistim isi dokumen kontrak mempunyai bentuk (format) yaitu:


a) Perjanjian/Kontrak/Agreement/Article of Agreement/Article of Contract.

b) Syarat-syarat Kontrak (Conditions of Contract), Umum (General) dan Khusus (Particulair/Special)

c) Lampiran-Lampiran (Appendixes)

d) Spesifikasi Teknis (Technical Specification)

e) Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawings)

5. Ganti rugi atas keterlambatan penyerahan produk.

Tes Formatif

1. B
2. D
3. A
4. C
5. C
MODUL 3
UUJK DAN DOKUMEN KONTRAK

PENDAHULUAN

Azas kontrak adalah kesetaraan antara pemberi tugas/pengguna jasa dengan penyedia jasa, yang
berarti bahwa kedua pihak yang melakukan perjanjian kerjasama memiliki hak dan kewajiban masing-
masing, sehingga bila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dapat dikenakan
sanksi.

Kehadiran Undang-undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) menuntun pelaku
jasa konstruksi mengembangkan jasa konstruksi pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan,
keterbukaan dan profesionalisme dengan antara lain melakukan restrukturisasi usaha berdasarkan
kompetensi dan kemampuan usaha dari pengalaman faktual perusahaan melalui penguasaan
manajemen atas sumber daya yang dimilikinya, terutama sumber daya manusia dan keuangan.

Modul 3 ini akan membahas mengenai Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK) dan Dokumen
Kontrak yang terdiri dari:

1. Undang-Undang Jasa Konstruksi yang meliputi Pembentukan Kontrak, Pemutusan Kontrak, Kerugian
akibat Pelanggaran Kontrak;

2. Dokumen Kontrak yang meliputi Dokumen Persetujuan, Gambar Rencana, Persyaratan Umum,
Persyaratan Khusus, Spesifikasi, Organisasi Spesifikasi Teknis, Permasalahan berkaitan dengan
Spesifikasi dan Kontrak;

3. Kewajiban dalam Kegiatan Konstruksi meliputi Penyampaian Laporan-Laporan, Pedoman


Pengoperasian dan Pemeliharaan, Gambar Hasil Pelaksanaan.

Pembahasannya akan dilakukan dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara
aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan
tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi
tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban
yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu membuat Dokumen Kontrak
Konstruksi
KEGIATAN BELAJAR 3.1. UNDANG-UNDANG JASA
KONSTRUKSI
Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) memungkinkan adanya kontrak jasa konstruksi
secara turnkey, dan dalam implementasinya jenis kontrak tersebut cenderung pada pekerjaan besar
dan kompleks seperti pekerjaan yang terintegrasi (Engineering, Procurement. Construction/EPC).
Sekalipun penyedia jasa dalam kontrak tersebut sudah memiliki bargaining power yang kuat, namun
aspek kesetaraan belumlah ideal, terutama jika dilihat dari sisi penyedia jasa.

Hal ini haruslah menjadi perhatian para profesional yang bergerak dalam bidang konstruksi. Hubungan
kedua belah pihak yang melakukan perjanjian belum adil, belum seimbang dan belum setara
kedudukannya, dimana lebih memberatkan pihak penyedia jasa. Apalagi penerapan UUJK dan standar
kontrak FIDIC belum begitu memasyarakat di Indonesia.

1.1.1. Pembentukan Kontrak (Contract Formation)

Kontrak hanya dapat terbentuk jika ada dua pihak atau lebih telah sepakat untuk mengadakan suatu
transaksi. Transaksi tersebut umumnya berupa kesanggupan oleh satu pihak untuk melakukan sesuatu
bagi pihak lainnya dengan sejumlah imbalan yang telah disepakati. Tidak semua kesepakatan dan
transaksi akan dijabarkan dalam bentuk kontrak. Kesepakatan hanya dapat dilanjutkan dalam bentuk
perjanjian/kontrak bila memenuhi dua aspek utama, yaitu saling menyetujui (mutual contract) dan
ada penawaran dan peneriman (offer and acceptance)

 Saling menyetujui (mutual consent)

Suatu transaksi harus disetujui oleh kedua pihak, dan persetujuan brsama ini harus mengikat dan
berlaku terhadap semua aspek prinsipil yang menyangkut persetujuan tersebut. Aspek-aspek prinsipil
yang harus dipenuhi dalam suatu persetujuan menyangkut kelengkapan aspek-aspek subjektif dan
objektif dari persetujuan.

Secara umum, suatu perjanjian yang disepakati bersama harus bebas dari suatu terminologi yang
dapat mempunyai arti sama atau ganda. Terminologi atau kata-kata yang bermakna sama/ganda
dapat menimbulkan keragu-raguan dalam mengartikan dan menafsirkannya. Akibatnya masing-
masing pihak akan berusaha untuk memberikan penafsiran tersendiri yang tentunya dengan maksud
untuk tidak merugikan diri sendiri, sehingga kerap menjadi bibit timbulnya suatu perselesihan
(dispute). Oleh karena itu sangat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengerti
dan memahami apa yang diharapkan dan apa yang akan diberikan oleh masing-masing pihak.
Prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam upaya untuk memahami dan menginterpertasikan suatu
terminology yang meragukan adalah bahwa kesempatan penafsiran lebih diutamakan bagi pihak yang
tidak atau bukan menulis rancangan kontrak.

 Offer and Acceptance

Suatu kesepakatan harus dilandasi pada asas keadilan. Suatu transaksi terbentuk secara adil, maka
kedua pihak yang akan mengadakan transaksi harus bebas dan diberikan kesempatan yang sama
untuk melakukan penawaran dan penerimaan. Transaksi terjadi bila satu pihak melakukan penawaran
kepada pihak lain untuk mengadakan sesuatu hal dan pihak lain akan memberikan tanggapan atas
penawaran tersebut. Jawaban atas penawaran tersebut dapat berupa penerimaan, penolakan atau
penerimaann bersyarat melalui suatu proses negosiasi.

1.1.2. Pemutusan Kontrak (Contract Termination)

Suatu upaya untuk menegakkan isi dan tujuan dari suatu persetujuan, maka pada kontrak-kontrak
sering dilengkapi dengan klausula-klausula mengenai pemutusan kontrak (contract termination).
Pemutusan kontrak dapat terjadi dengan sendirinya (by default) atau karena pertimbangan lain.
Selesainya suatu pekerjaan dengan semua pemenuhan persyaratannya secara otomatis
mengakibatkan kontrak selesai (terminated). Demikian pula, jika terjadi kegagalan yang bersifat
material yang dilakukan oleh kontraktor, yang oleh pemilik dapat dinilai membahayakan kelangsungan
dan penyelesaian pekerjaan, maka kontrak tersebut dapat diputuskan melalui pemberitahuan singkat
atau bahkan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada kontraktor. Untuk pelanggaran-
pelanggaran yang bersifat immaterial, dengan berbagai pertimbangan pemilik dapat memilih untuk
menghentikan/memutuskan kontrak. Hal tersebut tentunya harus disertai dengan ganti rugi yang
memadai bagi pihak kontraktor.

Terhadap suatu pelanggaran kontrak, secara umum pihak yang tidak melanggar kontrak yang
mempunyai tiga pilihan, yaitu:

 Membebaskan atau mengabaikan pelanggaran yang terjadi dan tidak menuntut ganti rugi
kepada pihak yang melanggar.
 Memilih untuk memutuskan kontrak dengan sendirinya.
 Mengajukan tuntutan gantu rugi.

1.1.3. Kerugian akibat Pelanggaran Kontrak


Kerugain yang ditimbulkan oleh karena pelanggaran kontrak, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak
memperoleh penggantian kerugian (compensation). Kerugian yang dialami akibat satu pihak yang
melakukan pelanggaran kontrak, maka pihak lainnya berhak mengajukan penggantian kerugian, yang
perhitungannya dapat dilakukan dengan berbagai metode perhitungan penggantian dasar, yaitu:

 Biaya Penyelesaian
 Selisih Nilai
 Liquidated Damages

 Biaya Penyelesaian; Jika kontraktor diberhentikan karena gagal menyelesaikan pekerjaan sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, maka pemilik terpaksa menunjuk kontraktor lain untuk
menyelesaikan pekerjaan tersebut dan semua biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian tersebut
diambil dari sisa pembayaran terhadap kontraktor pertama. Jika biaya yang dikeluarkan lebih besar,
maka kontraktor yang melanggar kotrak berkewajiban membayar perbedaannya
 Selisih Nilai; Untuk beberapa keadaan yang lebih kompleks, perhitungan dengan metode biaya
penggantian di atas kadang kala tidak dapat dilakukan. Keadaan tersebut, misalnya pelanggaran
kontrak yang disebabkan oleh pekerjaan yang salah atau gagal (defective work) dan bukan karena
pekerjaan tersebut tidak selesai. Untuk kondisi tersebut, biaya penggantian penyelesaian saja tidak
cukup tepat karena akan menimbulkan biaya-biaya pembongkaran dan penggantian, selain biaya
pemasangan kembali. Contoh, upaya untuk memperbaiki pekerjaan pembetonan struktur lantai yang
tidak mencapai kekuatan tertentu, maka biaya penggantiannya dihitung dengan cara mengurang nilai
pekerjaan cor pengganti dngan nilai pekerjaan beton yang diganti, ditambah biaya pembongkaran
beton lama, penyetelan/penggantian tulangan. Biaya penggantian sama dengan biaya penggantian
dikurangi biaya pekerjaan awal ditambah biaya pembongkaran.

 Liquidated Damages/LD; salah satu bentuk penggantian kerugian yang banyak digunakan dalam
kontrak konstruksi adalah liquidated damages (kerugian terhapus). Berbeda bentuk penggantian yang
dasar penentuannya adalah aspek-aspek yang terkandung dalam kontrak (pekerja, material, alat,
metode dan hasil kerja), maka perhitungannya didasarkan pada kerugian yang diperkirakan akan
dialami karena kegagalan penyelesaian persetujuan. Liquidated Damages tidak hanya suatu denda
keterlambatan yang besarnya dapat ditentukan secara arbitrasi, konsep LD lebih didasarkan pada
kompensasi terhadap hilangnya kesempatan untuk beroleh keuntungan akibat tidak dapat
digunakannya fasilitas pada waktunya. Sebaliknya jika proyek akan mengenakan mekanisme denda
untuk setiap keterlambatan maka untuk adilnya harus pula diberlakukan sistem bonus bagi
penyelesaian yang lebih awal.
KEGIATAN BELAJAR 3.2. DOKUMEN KONTRAK
Dokumen kontrak memegang peran yang sangat penting bagi pengembangan proyek konstruksi.
Dokumen ini merupakan jembatan penghubung antara citra konsepsual pemberi tugas (owner) dengan
kegiatan konstruksi fisik dari satu fasilitas/bangunan seperti yang diharapkan oleh pemberi tugas. Pada
setiap proyek (konstruksi) jembatan penghubung yang vital ini diselenggarakan oleh pihak-
pihak pemberi tugas perancang/perencana, kontraktor, dan berbagai pihak
lainnya yang hampir dapat dipastikan belum pernah bekerja sama sebelumnya. Satu-satunya media yang
memungkinkan mengakomodasi semua kepentingan mereka adalah dokumen kontrak. Dokumen
kontrak pada dasarnya terdiri dari:

 Lembar Perjanjian

 Gambar-gambar rencana
 Syarat-syarat umum

 Syarat-syarat khusus

 Spesifikasi teknis dan

 Adendum

Dokumen ini disiapkan oleh konsultan perancang sebagai media komunikasi antara pemberi tugas dan
kontraktor.

3.2.1. Dokumen Persetujuan

Dokumen persetujuan (the agreement) merupakan dokumen paling pendek dari


seluruh dokumen kontrak, yang isinya merupakan hal-hal yang menentukan harga, pembayaran, dan
waktu pelaksanaan pekerjaan.

a) Harga/Nilai Kontrak

Tergantung pada jenis perjanjian yang disepakati, harga suatu kontrak akan dinyatakan dalam
dokumen persetujuan sebagai suatu jumlah yang tetap dengan menyebutkan nama dan lingkup singkat
pekerjaannya, atau dapat pula sebagai suatu harga yang dikaitan dengan satuan jumlah
pekerjaan tertentu (unit price). Cara lain adalah yang menyebutkan bahwa semua biaya (langsung atau
tidak langsung) yang dikeluarkan oleh kontraktor akan memperoleh penggantian dan ditambah
sejumlah harga yang telah disepakati (cost plus fee). Terhadap cara yang disebut terakhir ini, umumnya
disebutkan pula nilai maksimum yang dapat dibayarkan.

b) Cara Pembayaran

Metoda atau cara pembayaran dinyatakan dalam dokumen perjanjian/persetujuan yang menunjukan
tata cara pembayaran yang dikaitkan dengan prestasi kemajuan pekerjaan. Berkaitan dengan hal
tersebut, kadang kala disertakan pula jadwal nilai

(schedule of value) dimana berbagai fase kegiatan atau bagian kegiatan diberi nilai untuk menilai
kemajuan.

c) Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Hal penting ketiga yang harus ada dalam setiap kontrak adalah yang mengatur waktu pelaksanaan
pekerjaan. Perjanjian menyatakan perioda waktu tertentu dimana kontraktor harus menyelesaikan
pekerjaan. Perioda waktu ini harus dinyatakan dengan jelas, yang dapat dinyatakan dengan suatu
jumlah hari kalender, atau hari kerja,.atau dapat pula berupa pernyataan suatu tanggal mulai dan
tanggal selesainya pekerjaan.

d) Dokumen Lain Yang Terkait

Kontrak merupakan suatu dokumen yang tak lepas dari dokumen-dokumen lain yang terpisah dari
dokumen kontrak. Dokumen lain yang dimaksud dapat berupa peraturan-peraturan pada aturan teknis
pelaksanaan yang berlaku, seperti ACI, ASTM, SNI, dan lain sebagainya, yang mengikat untuk
dikenakan pada proyek tersebut. Dokumen lain yang juga menjadi bagian dari kontrak adalah dokumen
pelelangan yang berisikan Instruksi untuk penawar, Persyaratan umum, Persyaratan khusus, Formulir
penawaran, Formulir jaminan penawaran, Formulir jaminan kontrak, Daftar pembayaran gaji pekerja
dan Spesifikasi teknis.

e) Penandatanganan Kontrak

Elemen terakhir dan terpenting dari suatu kontrak adalah bagian tanda tangan, dimana dua
pihak yang bersepakat membubuhi tanda tangan mereka di bawah kesepakatan yang tertulis pada
dokumen persetujuan. Dengan ditandatanganinya dokumen ini, maka dokumen tersebut seraca sah
mengikat kedua belah pihak untuk saling melaksanakan kewajiban dan menerima haknya masing-
masing. Pada kontrak-kontrak di Indonesia, perjanjian ini ditandatangani di atas materai.
3.2.2. Gambar Rencana

Gambar rencana (plans, blueprint) merupakan komponen yang penting dari suatu dokumen kontrak
konstruksi. Dokumen ini merupakan sumber informasi utama untuk mengetahui bentuk fisik, kuantitas
dan gambaran visual dari suatu proyek. Melalui dokumen ini penaksiran kuantitas terhadap rencana
suatu fasilitas (bangunan) dapat dilakukan, sehingga dapat direncanakan jumlah sumber daya dan
metoda konstruksi yang akan dilaksanakan di lapangan.

Dalam suatu dokumen kontrak, gambar-gambar rencana disusun dalam suatu organisasi penyajian
sehingga dapat dengan mudah diikuti, dipelajari dan sesuai dengan urut urutan pelaksanaan
fisik di lapangan. Kelompok umum gambar-gambar rencana dari suatu proyek pembangunan
gedung terdiri dari:

 Informasi umum, pekerjaan persiapan dan pekerjaan tanah

 Pekerjaan Struktural

 Pekerjaan Arsitektural

 Pekerjaan Mekanikal (plumbing, HVAC)

 Pekerjaan Elektrikal

Masing-masing kelompok gambar disajikan dengan kode gambar tersendiri dan diurutkan sesuai
dengan rencana penggunaannya kemudian. Selain itu masing-masing kelompok gambar tersebut
juga harus disajikan dalam berbagai bentuk penyajian yang berbeda, seperti gambar tampak,
potongan dan detil dan dengan skala yang berbeda-beda pula, sehingga informasi mengenai
gambar-gambar tersebut benar-benar dapat disampaikan dengan baik dan lengkap. Melalui
bentuk penyajian tersebut maka identifikasi dan penentuan kebutuhan untuk berbagai
kegiatan proyek dapat dengan mudah dan cepat diketahui. Untuk beberapa hal khusus perlu
diperhatikan cara penggambaran dan penulisan notasi gambar. Hal ini
dimaksudkan agar terhindar kesalahan identifikasi terhadap suatu gambar yang disajikan.

Gambar-gambar rencana umumnya disajikan dalam bentuk proyeksi orthografi yang dengan
mudah dapat diskalakan untuk memperoleh informasi tambahan secara langsung. Skala juga
banyak membantu pembaca gambar, khususnya estimator dan quantity surveyor, untuk
menentukan besaran kuantitatif dari suatu elemen bangunan. Namun demikian perlu
diperhatikan pengaruh penggunaan skala, terutama untuk gambar-gambar yang mengalami
perbesaran atau perkecilan. Untuk gambar-gambar yang akan mengalami perubahan tersebut
sebaiknya jangan menggunakan besaran skala numeris untuk menghitung atau menentukan
kuantitas suatu elemen bangunan, kecuali bila menggunakan skala grafis.

Setiap halaman umumnya dilengkapi dengan informasi skala dan tanggal penggambaran dan
tanda bahwa gambar disetujui. Bagian arsitektural terdiri dari gambar-gambar yang
memperlihatkan komponen proyek pada tahap finishing. Notasi standar umummya digunakan
untuk memperlihatkan detil-detil, bagian dinding dan rencana lantai. Gambar struktural
memperlihatkan detil struktural. Semua kompunen struktur utama diperlihatkan berikut sambungan-
sambungan utama. Gambar-gambar mekanikal memperlihatkan berbagai lokasi instalasi pipa,
sedang gambar-gambar pada bagian elektrikal menyajikan informasi mengenai instalasi komponen
elektrikal.

3.2.3. Persyaratan Umum

Di dalam persyaratan umum dinyatakan hak, wewenang dan tanggung jawab dari pihak--
pihak yang terlibat dalam kontrak pelaksanaan proyek, yaitu pemilik proyek, wakil pemilik dan
kontraktor. Berbagai standar persyaratan umum yang telah dibuat antara lain:

 Standar AIA (American Institute ofArchitects) - Amerika Serikat

 Standar yang dibuat oleh AGC (American General Contractor) dan ASCE

(American Society of Civil Engineers) - Amerika Serikat

 Standar EJCDC (Engineers Joint Contract Document Committee) – Amerika Serikat

 FIDIC (Federation International Des Ingenieurs-Conceils) - Perancis

 ICE (Institution for Civil Engineers) - Inggrs

 AV-41 (Algemene Voorwaarden voor de uitvoering bij aanneming van openbare werken) atau SU-
41 (Syarat-syarat Umum untuk Pelaksanaan Bangunan Umum yang Dilelangkan)

Persyaratan umum terdiri dari bagian mengenai

 kondisi umum yang berisi definisi kontrak, lingkup pekerjaan, kepemilikan dokumen dan hal-hal umum
lainnya
 Pemilik yang menjelaskan definisi pemilik; informasi dan pelayanan yang diminta; hak pemilik untuk
memberhentikan atau melanjutkan pekerjaan

 Kontraktor yang menjelaskan hak, tanggung dan wewenangnya

 Administrasi kontrak yang berisi tanggung jawab arsitek pada fase konstruksi, hal-hal berkaitan dengan
klaim dan perselisihan

 Hal-hal berkaitan dengan arbitrase

 Subkontraktor, definisi dan hubungannya dengan pemilik proyek

 Pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor atau beberapa kontraktor

 Perubahan dalam pekerjaan, terutama dalam pekerjaan tambah kurang

 Waktu; berkaitan dengan kemajuan dan penyelesaian pekerjaan serta keterlambatan yang mungkin
terjadi

 Sistem pembayaran dan hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan, misalnya pengeluaran
sertifikat progres fisik pekerjaan

 Perlindungan terhadap pekerja dan barang

 Asuransi dan jaminan

 Pekerjaan yang tidak termasuk dalam kontrak serta perbaikan pekerjaan

 Hal-hal berkaitan dengan tes dan inspeksi pekerjaan

 Hal-hal berkaitan dengan penundaan kontrak

3.2.4. Persyaratan Khusus

Bagian ini berisikan hal-hal khusus yang ada pada proyek yang akan dibangun, yang menunjukan
kekhususan banguan tersebut dibandingkan bangunan lain yang sejenis. Bagian ini berfungsi
memperkuat dan menambah persyaratan umum yang telah ada. Dalam bagian ini termasuk juga
jumlah salinan dokumen kontrak yang hares diterima kontraktor, tipe informasi survei yang harus
dilakukan pemilik proyek, material yang akan disediakan pemilik proyek, informasi spesifik mengenai
penggantian materiali, perubahan dalam persyaratan asuransi, persyaratan mengenai fase-fase
konstruksi, pengujian lokasi proyek, tanggal memulai pekerjaan, persyaratan-persyaratan mengenai
keamanan proyek, persyaratan mengenai fasilitas-fasilitas sementara, prosedur khusus dalam penyerahan
gambar hasil pelaksanaan, persyaratan mengenai pelaporan biaya, persyaratan mengenai jadwal
pekerjaan, persyaratan khusus mengenai pekerjaan pembersihan, persyaratan pengaturan lalu lintas,
penemuan barang-barang bersejarah.

3.2.5. Spesifikasi

Spesifikasi merupakan petunjuk dan peraturan yang berkaitan dengan tata cara penanganan
pelaksanaan pekerjaan. Hal-hal yang termasuk dalam spesifikasi adalah undangan lelang, instruksi untuk
penawaran, persyaratan umum, persyaratan khusus, formulir penawaran, formulir jaminan penawaran,
formulir jaminan kontrak, daftar pembayaran gaji pekerja, spesifikasi teknis. Spesifikasi teknis adalah
deskripsi tertulis mengenai aspek kualitas berbagai item dari proyek konstruksi, sedang aspek
kuantitatif tercermin dari gambar-gambar rencana yang melengkapi
spesifikasi teknis. Informasi yang perlu diketengahkan dalam spesifikasi teknis antara lain kualitas
beton, kualitas agregat, kualitas cara kerja (pengadukan, penempatan, perawatan),
kualitas material yang digunakan untuk test kelembaban, deskripsi material untuk pipa
pembuangan, persiapan fondasi tanah, tipe alat berat dan persyaratan pemaatan

Spesifikasi digunakan untuk memodifikasi atau menjelaskan hal-hal yang diperlihatkan dalam
gambar rencana. Dalam kontrak perlu dijelaskan personil yang akan bertanggung jawab jika terjadi
perbedaan antara gambar rencana dan spesifikasi.

3.2.6. Organisasi Spesifikasi Teknis

Struktur spesifikasi teknis umumnya mcn ikuti tahap-tahap dalam prose's konstruksi. Dalam
konstruksi gedung, spesifikasi teknis umumnya dibagi atas divisi-divisi. Divisidivisi ini
memisahkan spesifikasi teknis berdasarkan yurisdiksi keahlian, dan dalam paket-paket sesuai
pekerjaan yang disubkontrakkan. Satu model penyusunan spesifikasi yang umum dikenal di
Amerika Serikat adalah model Master Format yang disusun oleh
CSI (Construction Industri Institute), yang membagi pekerjaan menjadi 16 divisi. Agar spesifikasi
sesuai dengan tujuannya, kriteria-kriteria dasar yang diperlukan

 Secara teknis, akurat dan memenuhi kualitas yang diinginkan

 Pemakaian kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti

 Syarat-syarat yang dikemukak an sesua dan adil


 Dibuat dalam format yang mudah dipakai selama penawaran dan konstruksi

 Mempunyai kekuatan hukum

3.2.7. Permasalahan Berkaitan Dengan Spesifikasi dan Kontrak

Beberapa hal dalam spesifikasi yang kerap membingungkan dan menimbulkan persoalan terhadap
kontraktor adalah

 Spesifikasi mungkin mensyaratkan model yang sudah tidak diproduksi lagi.

 Kata-kata atau terminologi yang sulit untuk diinterpretasikan ataupun yang mempunyai makna ganda.

 Persyaratan kualitas yang tidak jelas dan bahkan dapat saling bertentangan antara satu klausa dengan
klausa lainnya.

 Adanya pertentangan antara spesifikasi dengan gambar rencana.

Dilihat dari jenis perjanjian yang disepakati, kontrak jenis unit price mempunyai potensi untuk
disalahgunakan, kecuali jenis pekerjaan telah ditetapkan dengan lengkap dan perkiraan
jumlah volume pekerjaan dapat diketahui dengan cukup akurat.
KEGIATAN BELAJAR 3.3. KEWAJIBAN
KONTRAKTOR DALAM KEGIATAN KONSTRUKSI
Setelah kontrak ditandatangani, kontraktor terikat pada berbagai kewajiban yang secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan kontrak.

3.3.1. Penyampaian Laporan-Laporan


Dalam spesifikasi dijelaskan standar kualitas yang diperlukan untuk proyek. Evaluasi kualitas
pekerjaan adalah berdasarkan inspeksi ke lapangan yang menyeluruh. Informasi mengenai
kualitas material, tes-tes yang dilakukan terhadap material dan peralatan perlu diberitahukan
kepada pemilik. Informasi yang diberikan haruslah cukup rinci sehingga pemilik dapat membuat
keputusan jika ada masalah sehubungan item tertentu. Laporan-laporan dapat terdiri dari gambar
kerja, data deskriptif, sertifikat, metoda, contoh material, hasil perhitungan, data tes, jadwal, foto
mengenai kemajuan pekerjaan, deskripsi prosedural, dan instruksi manufaktur. Jika kontraktor
memakai material yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak menjelaskan ketidaksesuaian
tersebut dalam laporannya, persetujuan terhadap laporan yang diberikan tidak dapat
melepaskan kontraktor bertanggung jawab atas pemakaian material tersebut.

3.3.2. Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan


Proyek yang memakai peralatan mekanis umumnya menyertakan persyaratan kontrak kepada
kontraktor agar menyediakan manual pengoperasian dan pemeliharaan terhadap
peralatan yang disediakannya. Informasi-informasi khusus mengenai peralatan tersebut juga
harus disertakan. Umumnya pegangan ini berisi antara lain nama dan lokasi manufaktur,
wakil manufaktur, penyalur terdekat, tempat suku cadang, rekomendasi
pemasangan, penyesuaian, kalibrasi, prosedur jika terjadi gangguan listrik.

3.3.3. Gambar Hasil Pelaksanaan


Perbedaan antara gambar asli dan hasil pelaksanaan umumnya disebabkan perubahan dari
pemilik dan kesalahan dalam meng-identifikasi kondisi yang sesungguhnya. Gambar hasil
pelaksanaan, atau lebih dikenal dengan sebutan As Built Drawing - ABD, sangat membantu saat
perbaikan atau modifikasi dilakukan setelah proyek selesai.

LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksudkan dengan persyaratan umum dalam dokumen kontrak?
2. Apa yang dimaksudkan dengan persyaratan khusus dalam dokumen kontrak?
3. Apa yang dimaksudkan dengan Gambar rencana (plans, blueprint)?
4. Apa yang dimaksudkan dengan Spesifikasi Teknis?
5. Sebutkan informasi yang perlu dalam spesifikasi teknis antara lain!

RANGKUMAN
1. Kesepakatan hanya dapat dilanjutkan dalam bentuk perjanjian/kontrak bila memenuhi dua aspek
utama, yaitu saling menyetujui (mutual contract) dan ada penawaran dan peneriman (offer and
acceptance). Pemutusan kontrak dapat terjadi dengan sendirinya (by default) atau karena
pertimbangan lain
2. Pelanggaran-pelanggaran yang bersifat immaterial, dengan berbagai pertimbangan pemilik dapat
memilih untuk menghentikan/memutuskan kontrak. Hal tersebut tentunya harus disertai dengan
ganti rugi yang memadai bagi pihak kontraktor.
3. Dokumen kontrak pada dasarnya terdiri dari Lembar Perjanjian, Gambar-gambar rencana, Syarat-syarat
umum, Syarat-syarat khusus, Spesifikasi teknis dan Adendum

TES FORMATIF
1. Dokumen kontrak pada dasarnya terdiri dari hal-hal dibawah ini, kecuali:
a) Lembar Perjanjian

b) Syarat-syarat umum

c) Syarat-syarat khusus

d) Neraca perusahaan

2. Yang tidak termasuk dalam gambar-gambar rencana suatu proyek pembangunan gedung adalah
a)Pekerjaan Logistik

b) Pekerjaan Struktural

c)Pekerjaan Arsitektural

d) Pekerjaan Mekanikal (plumbing, HVAC) dan Pekerjaan Elektrikal


3. Informasi yang perlu diketengahkan dalam spesifikasi teknis antara lain:
a) Alamat Perusahaan

b) Kualitas agregat

c) Neraca Perusahaan

d) Jumlah Tenaga Ahli Perusahaan

4. Beberapa hal dalam spesifikasi yang sering membingungkan dan menimbulkan persoalan terhadap
kontraktor adalah sebagai berikut, kecuali:
a)Spesifikasi mensyaratkan model yang sudah tidak diproduksi lagi.

b) Kata-kata atau terminologi yang sulit untuk diinterpretasikan/ mempunyai makna ganda

c)Jumlah alat dan tenaga kerja

d) Adanya pertentangan antara spesifikasi dengan gambar rencana.

5. Kewajiban kontraktor dalam kegiatan konstruksi adalah:


a) Membuat dan menyerahkan laporan

b) Membuat gambar rencana

c) Membuat spesifikasi teknis

d) Membuat RAB

UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 3.

Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.

Tes formatif:

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90 – 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup

< 70 % = kurang

TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi
selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi
modul 3, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI JAWABAN
Latihan Soal

1. Persyaratan umum adalah bagian ari dokumen kontrak yang memuat mengenai hak, wewenang dan
tanggung jawab dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak pelaksanaan proyek, yaitu pemilik proyek,
wakil pemilik dan kontraktor.
2. Persyaratan khusus adalah bagian ini berisikan hal-hal khusus yang ada pada proyek yang akan
dibangun, yang menunjukan kekhususan banguan tersebut dibandingkan bangunan' lain
yang sejenis. Bagian ini berfungsi memperkuat dan menambah persyaratan umum yang telah ada.
3. Gambar rencana (plans blueprint) merupakan sumber informasi utama untuk mengetahui bentuk fisik,
kuantitas dan gambaran visual dari suatu proyek.
4. Spesifikasi teknis adalah deskripsi tertulis mengenai aspek kualitas berbagai item dari proyek
konstruksi, sedang aspek kuantitatif tercermin dari gambar-gambar rencana yang melengkapi
spesifikasi teknis.
5. Informasi-informasi yang diperlukan dalam spesifikasi teknis antara lain kualitas beton, kualitas
agregat, kualitas cara kerja (pengadukan, penempatan, perawatan), kualitas material yang
digunakan untuk test kelembaban, deskripsi material untuk pipa pembuangan, persiapan fondasi
tanah, tipe alat berat, persyaratan pemaatan.

Tes Formatif

1. D
2. A
3. B
4. C
5. A
MODUL 4
RESIKO DAN KLAIM KONTRAK
KONSTRUKSI

PENDAHULUAN

Dalam penyelenggaraan proyek, kesepakatan yang dicapai dinyatakan dan dituangkan dalam
dokumen kontrak. Tetapi selama ini masih sering terjadi perselisihan antara pihak owner dan pihak
kontraktor ataupun juga pihak kontraktor saling menyalahkan pihak konsultan. Untuk meminimalisir
permasalahaan, sangat penting sekali mengetahui resiko-resiko yang bisa terjadi pada proyek dan
apakah resiko-resiko tersebut sudah dicakup dalam pasal kontrak. Risiko merupakan salah satu hal
penting yang harus diperhatikan dalam setiap proyek. Risiko dikatakan penting karena pasti terjadi
pada setiap proyek dan kontraktor sebagai pelaku di dunia konstruksi harus senantiasa mewaspadai
efek dari risiko ini dengan menerapkan manajemen risiko yang baik. Resiko adalah suatu kondisi yang
timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan
konsekuensi tidak menguntungkan.

Modul ini akan membahas mengenai Resiko dan Klaim Kontrak Konstruksi yang terdiri dari:

1. Resiko yang meliputi Risk and Uncertainty, Risk and Opportunity Manajemen Resiko, Jenis-Jenis Resiko
dan Penyebab Resiko Proyek Konstruksi
2. Klaim yang meliputi Unsur-unsur Klaim, Kategori Klaim, Jenis-Jenis Klaim, Faktor-faktor Penyebab
Klaim dan Penyelesaian Klaim
Modul Resiko dan Klaim akan dibahas dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar
secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan
soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan
materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci
jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan

dapat mengidentifikasi resiko-resiko dalam penyelenggaraan konstruksi, mengurangi resiko,


mengalokasikan resiko dan memahami klaim berkaitan dengan kontrak konstruksi.
KEGIATAN BELAJAR 4.1. RESIKO
Untuk memahami konsep risiko/risk dalam proyek konstruksi perlu dipahami pengertian mengenai
risiko. Berikut ini dijelaskan pengertian mengenai risiko menurut beberapa sumber. Salim (1993)
dalam Djojosoedarso (1999) mendefinisikan risiko sebagai ketidakpastian atas terjadinya suatu
peristiwa. Pengertian lain menjelaskan bahwa risiko adalah kondisi dimana terdapat kemungkinan
keuntungan / kerugian ekonomi atau finansial, kerusakan atau cedera fisik, keterlambatan, sebagai
konsekuensi ketidakpastian selama dilaksanakannya suatu kegiatan (Cooper dan Chapman, 1993).

Pengertian risiko dalam konteks proyek dapat didefinisikan sebagai suatu penjabaran terhadap
konsekuensi yang tidak menguntungkan, secara finansial maupun fisik, sebagai hasil dari keputusan
yang diambil atau akibat kondisi lingkungan di lokasi suatu kegiatan. Jika dikaitkan dengan konsep
peluang, “risiko” adalah peluang atau kans / chance terjadinya kondisi yang tidak diharapkan dengan
semua konsekuensi yang mungkin muncul yang dapat menyebabkan keterlambatan atau kegagalan
proyek (Gray dan Larson, 2000). Kerzner (2001) menjelaskan konsep risiko pada proyek
sebagai “ukuran probabilitas dan konsekuensi dari tidak tercapainya suatu sasaran proyek yang telah
ditentukan”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa risiko adalah suatu kondisi yang timbul
karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan
konsekuensi tidak menguntungkan. Lebih jauh lagi risiko pada proyek adalah “suatu kondisi pada
proyek yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi
akan menimbulkan konsekuensi fisik maupun finansial yang tidak menguntungkan bagi
tercapainya sasaran proyek, yaitu biaya, waktu, mutu proyek”.

4.1.1. Risk dan Uncertainty

Meskipun risiko memiliki kaitan yang erat dengan ketidakpastian/ uncertainty, keduanya memiliki
perbedaan. Ketidakpastian adalah kondisi dimana terjadi kekurangan pengetahuan, informasi,
atau pemahaman tentang suatu keputusan dan konsekuensinya (Ritchie dan Marshall, 1993).
Risiko timbul karena adanya ketidakpastian, karena ketidakpastian mengakibatkan keragu-raguan
dalam meramalkan kemungkinan terhadap hasil-hasil yang akan terjadi di masa mendatang
(Djososoedarso, 1999). Semakin tinggi tingkat ketidakpastian maka semakin tinggi pula risikonya
(Ritchie dan Marshall, 1993).

4.1.2. Risk dan Opportunity


Kejadian di masa yang akan datang tidak dapat diketahui secara pasti. Kejadian ini atau suatu
keluaran / output dari suatu kegiatan / peristiwa dapat berupa kondisi yang baik atau kondisi yang
buruk. Jika yang terjadi adalah kondisi yang baik maka hal tersebut merupakan kesempatan baik
(opportunity), namun jika terjadi hal yang buruk maka hal tersebut merupakan risiko (Kerzner,
2001).

Risk, Hazard, Peril, dan Losses

Menurut Umar (2001) konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Hazard Peril Losses

- Hazard adalah suatu keadaan bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya peril (bencana).

- Peril (bencana) adalah sutu peristiwa/kejadian yang dapat menimbulkan kerugian (losses) atau
bermacam kerugian.

- Losses (kerugian) adalah kondisi negatif yang diderita akibat dari suatu peristiwa yang tidak
diharapkan tetapi ternyata terjadi.

4.1.3. Manajemen Resiko

Sebagaimana dikemukakan Webb (1994) manajemen risiko adalah “suatu kegiatan yang
dilakukan untuk menanggapi risiko yang telah diketahui (melalui rencana analisa risiko atau
bentuk observasi lain) untuk meminimalisasi konsekuensi buruk yang mungkin muncul”. Untuk itu
risiko harus didefinisikan dalam bentuk suatu rencana atau prosedur yang reaktif. Kerzner (2001)
mengemukakan pengertian manajemen risiko sebagai semua rangkaian kegiatan yang
berhubungan dengan risiko, dimana didalamnya termasuk perencanaan (planning), penilaian
(assesment) (identifikasi dan dianalisa), penanganan (handling), dan pemantauan (monitoring)
risiko.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat disusun konsep manajemen risiko


sebagai bentuk pengelolaan terhadap risiko untuk meminimalisasi konsekuensi buruk yang
mungkin muncul melalui perencanaan, identifikasi, analisa, penanganan, dan pemantauan risiko.

4.1.4. Jenis-Jenis Resiko

Untuk dapat mengidentifikasi risiko-risiko perlu diketahui jenis- jenis risiko dan
pengelompokannya menurut teori-teori. Berikut ini adalah risiko-risiko dalam bidang usaha bisnis.
Risiko-risiko pada bidang usaha bisnis dapat diterapkan pada kegiatan proyek konstruksi, karena
jasa konstruksi juga merupakan bidang usaha bisnis yang bertujuan mendapatkan keuntungan.

Soeharto (2001) mengelompokkan risiko berdasarkan potensi sumber risiko sebagai berikut resiko
dalam bidang manajemen, resiko dalam bidang teknik dan implementasi dan resiko dalam kontrak
dan hukum.

Risiko dalam bidang Manajemen

Resiko-resiko yang berkaitan dengan bidang manajemen antara lain adalah:

- Kurang tepatnya perencanaan lingkup pekerjaan, biaya, jadwal, dan mutu

- Kurang tepatnya pengendalian lingkup pekerjaan, biaya, jadwal, dan mutu

- Ketepatan penentuan struktur organisasi

- Ketelitian pemilihan personil

- Kekaburan kebijakan dan prosedur

- Koordinasi pelaksanaan

Risiko dalam bidang Teknis dan Implementasi

Resiko-resiko yang berkaitan dengan bidang teknis dan implementasi adalah:

- Ketepatan pekerjaan dan produk desain-engineering

- Ketepatan pengadaan material dan peralatan (volume, jadwal, harga, dan kualitas)

- Ketepatan pekerjaan konstruksi (jadwal dan kualitas)

- Tersedianya tenaga ahli dan penyelia

- Tersedianya tenaga kerja lapangan

- Variasi dalam produktivitas kerja

- Kondisi lokasi dan site

- Ditemukannya teknologi baru (peralatan dan metode) dalamproses konstruksi dan produksi.

Risiko dalam bidang Kontrak dan Hukum


Risiko yang berkaitan dengan bidang kontrak dan hukum antara lain:
- Pasal-pasal yang kurang lengkap, kurang jelas, dan menimbulkan perbedaan interpretasi

- Pengaturan pembayaran, change order, dan klaim

- Masalah jaminan, guarantee, dan warranty

- Lisensi dan hak paten

- Force majeure

4. Risiko yang berkaitan dengan situasi ekonomi, sosial, dan politik

- Peraturan perpajakan dan pungutan

- Perizinan

- Pelestarian lingkungan

- Situasi pasar (persediaan dan penawaran material dan peralatan)

- Ketidakstabilan moneter/devaluasi

- Aliran kas.

4.1.5. Penyebab Resiko Proyek Konstruksi

Resiko/Ketidakpastian yang terjadi dalam suatu Proyek Konstruksi disebabkan oleh beberapa hal
berikut ini: (Krishna, 2005)

- Ketidakjelasan atau kekurangan pada dokumen kontrak.

- Pengaturan kontrak yang tidak sesuai dengan pekerjaan.

- Metode tender yang tidak tepat.

- Pengalihan risiko yang dibebankan sepenuhnya hanya kepada satu pihak yang terlibat dalam kontrak.

- Ketidaksesuaian personil dengan jenis proyek.

- Pengaturan hubungan dan komunikasi antar personil.

- Pembebanan risiko kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan untuk Menanggung risiko.

- Kebangkrutan dari salah satu pihak yang terlibat dalam kontrak.


- Koordinasi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, terutama koordinasi lebih dari dua pihak yang
terlibat.

- Kesalahan interpretasi dokumen kontrak akibat penulisan yang bermakna vague (tidak jelas) atau
akibat adanya perubahan standar dokumen kontrak.

- Adanya klausul yang rancu.

- Pengaturan kontrak lebih menekankan pada metode dibanding hasil akhir.

- Ketidaklengkapan atau ketidakjelasan gambar atau desain yang menimbulkan pertentangan antara
gambar struktural, arsitektural dan gambar teknis.

- Kontrak bertujuan mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat, termasuk
mengatur alokasi risiko bagi masing-masing pihak yang terikat dalam kontrak.

- Kontrak merupakan suatu trade off antara harga yang ditawarkan kontraktor untuk melaksanakan
pekerjaan dengan kemampuannya untuk menerima risiko.

- Alokasi risiko harus mempertimbangkan pihak yang tepat untuk menanggung risiko tertentu.

- Risiko pada proyek konstruksi harus dibagi secara adil antara klien, tim perancang, kontraktor utama,
kontraktor spesialis, dan supplier melalui hubungan kontraktual.
KEGIATAN BELAJAR 4.2. KLAIM
Menurut kamus besar bahasa Indonesiam, WJS Purwadarminta edisi kedua, hal 506 klaim adalah
tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (untuk memiliki atau mempunyai) atas
sesuatu. Klaim konstruksi adalah permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan
dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau
antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar
dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang bisaanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya
atau kompensasi lain.

Beberapa sebab utama terjadinya klaim menurut Prof. H. Priyatna Abdurrasyid adalah sebagai berikut:
informasi design yang tidak tepat, informasi design yang tidak sempurna, investigasi lokasi yang tidak
sempurna, reaksi klien yang lambat, komunikasi yang buruk, sasaran waktu yang tidak realistis,
administrasi kontrak yang tidak sempurna, kejadian eksternal yang tidak terkendali, informasi tender
yang tidak lengkap, alokasi risiko yang tidak jelas, Keterlambatan – ingkar membayar. Kebanyakan
klaim yang ditemukan dalam proyek konstruksi datang dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa
karena satu dan lain sebab. Perubahan-perubahan tidak resmi adalah sebagai berikut:

- Kelambatan atau cacat informasi dari pengguna jasa biasanya dalam bentuk gambar-gambar atau
spesifikasi teknis.
- Kelambatan atau cacat informasi dari bahan-bahan atau peralatan yang diserahkan pengguna jasa.
- Perubahan-perubahan permintaan, gambar-gambar atau spesifikasi.
- Perubahan-perubahan kondisi lapangan atau kondisi lapangan yang tidak diketahui.
- Pengaruh reaksi dari pekerjaan yang tidak bersamaan.
- Larangan-larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan pelaksanaan
pekerjaan penyedia jasa.
- Kontrak yang memiliki arti mendua atau perbedaan penafsiran.

4.2.1. Unsur-unsur Klaim

Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim mengenai waktu dan
biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan berubah, katakanlah volume pekerjaan
bertambah atau sifat dan jenisnya berubah, tidak terlalu sulit menghitung berapa tambahan biaya
yang diminta penyedia jasa beserta tambahan waktu. Namun terkadang penyedia jasa, disamping
mengajukan klaim yang disebut tadi, juga mengajukan klaim sebagai dampak terhadap pekerjaan yang
tidak berubah. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut: suatu pekerjaan yang tidak diubah terpaksa
ditunda (karena alasan teknis pelaksanaannya dengan adanya pekerjaan lain yang berubah).

Menurut Robert D Gilbreath, unsur-unsur klaim konstruksi tersebut adalah:

- Tambahan upah, material, peralatan, pengawasan, administrasi, overhead dan waktu.


- Pengulangan pekerjaan (bongkar/pasang).
- Penurunan prestasi kerja.
- Pengaruh iklim.
- De-mobilisasi dan Re-mobilisasi. Salah penempatan peralatan.
- Penumpukan bahan.
- De-efisiensi jenis pekerjaan.

4.2.2. Kategori klaim

a. Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa:

- Pengurangan nilai kontrak.


- Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan
- Kompensasi atas kelalaian penyedia jasa
b. Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa:

- Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan


- Tambahan kompensasi
- Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.
c. Dari Sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama

4.2.3. Jenis-jenis Klaim

Klaim pada industri kontruksi sangat sensentif dan emotif. Fadzilah (1999) mengemukakan bahwa
klaim bisa dalam bentuk tambahan biaya oleh kontraktor di luar biaya yang telah ditetapkan dalam
kontrak. Klaim ini terdiri dari beberapa jenis yang perlu diketahui agar memudahkan bagi pihak yang
terlibat pada industri kontruksi untuk mengontrol jalannya proyek dan mengantisipasi penyelesaian
klaim. Konflik-konflik (perselisihan) yang disebabkan berbagai macam hal ini, akan menyebabkan
terjadinya sengketa antara pihak pemilik, perencana maupun kontraktor, jika sengketa yang ada
dibiarkan berlarut-larut maka akhirnya akan muncul klaim konstruksi dari pihak-pihak yang terlibat
dalam proses konstruksi. Karena terlepas dari besar kecilnya skala proyek, hampir dapat dipastikan
akan selalu terjadi klaim, yang mana hal ini tidak dapat dihindari (Wahyuni, 1996). Barry et al. (1990)
membagi jenis klaim kedalam 4 kategori utama yaitu ; (a) klaim atas kerugian karena disebabkan oleh
perubahan kontrak yang dilakukan oleh pemilik, (b) klaim atas tambahan elemen nilai kontrak, (c)
klaim yang dibuat karena perubahan kerja, dan (d) klaim karena Penangguhan proyek.

Perubahan bisa disebabkan oleh penyimpangan pekerjaan dari kontrak semula baik dari aspek skop
pekerjaan maupun perubahan desain. Perubahan ini akan meningkatkan biaya dan masa penyelesaian
proyek.Rubin et al. (1983) dan (Edward (1999) menjelaskan bahwa perubahan bisa berasal dari pemilik
maupun dari yang lain. Diantaranya adalah perubahan kontruksi (Gary (1995) dan Fisk dan Negelle et
al. ,1988), perubahan kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan kontrak (Stephen ( 1997) dan Brij
(1996)) , perubahan disaian (Barry et al., 1990) dan penghentian pekerjaan proyek Gilbreath et al
(1983).

Selain klaim atas penyimpangan dari kontrak, klaim juga bisa dalam bentuk tambahan waktu. Hal ini
bisa disebabkan oleh waktu penyelesaian lebih lama dari jadwal Garry (1995), waktu penyelesaian
lebih cepat dari jadwal (Powell et al., 1999), gangguan dari lingkungan (Brij, 1996), rendahnya kualitas
pekerjaan (Gilberth et al. (1992), rendahnya kualitas material yang di gunakan ( Greeno, 1995) dan
(Yates & Lockley, 2002), dan struktur kontruksi (Barry et al., (1990) dan Wyatt (1985). Jenis klaim
lainnya bisa berupa klaim keuangan.

4.2.4. Faktor-Faktor Penyebab Klaim

Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak konstruksi pada dasarnya mempunyai maksud dan
tujuan yaitu terlaksananya suatu proyek pada harga, kualitas dan waktu yang telah ditetapkan, tetapi
dapat juga timbul perbedaan atau salah interprestasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak
sehingga menimbulkan perselisihan diantaranya. Perselisihan yang tidak diselesaikan ini dapat
menimbulkan klaim (Fisk, 1997).

Sebagian besar klaim yang terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat disebabkan kurangnya
pengalaman pemberi order pekerjaan (Fisk, 1997). Adanya organisasi kerja yang efisien juga ikut
mempengaruhi kesuksesan suatu manajemen dalam proyek konstruksi. Oleh sebab itu dalam
membentuk suatu organisasi proyek harus diperhatikan bahwa jalur perintah yang ada sebaiknya
bersifat langsung dan pendek dan tiap individu sebaiknya diberi wewenang sesuai posisinya (Antill,
1970).
Dokumen kontrak yang tidak jelas dapat menyebabkan adanya keterlambatan dimana hal ini
mengakibatkan klaim, misalnya tidak lengkapnya schedulling clause dalam suatu dokumen kontrak
(Fisk, 1997). Pemberi order pekerjaan tidak boleh mencampuri rencana yang telah dibuat kontraktor
pada pekerjaan yang sifatnya sequential misalnya dengan mengadakan perubahan pada pekerjaan
tersebut. Job meeting yang tidak teratur dan tidak dipersiapkan dengan baik sehingga tujuannya
menjadi tidak jelas dapat menyebabkan tidak terkoordinirnya pekerjaan (Ahuja, 1984). Apabila
kontraktor tidak setuju dengan spesifikasi yang ada, menolak untuk bekerja sama dan tidak
mengikutiperaturan yang ada dapat menyebabkan keterlambatan, (Fisk, 1997) kegagalan dari
kontraktor untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah tercantum dari
kontrak dapat menyebabkan timbulnya klaim, (Antill, 1970). Dalam suatu proyek, seringkali dijumpai
adanya perubahan-perubahan pekerjaan, hal ini terjadi karena kondisi sebenarnya yang ada
dilapangan baru diketahui setelah pekerjaan berlangsung. Perubahan pekerjaan yang diperintahkan
pemberi order pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya pemberi order pekerjaan dapat
menyebabkan terjadinya keterlambatan dari jadwal kemajuan pekerjaan yang telah direncanakan
(Antill, 1970). Campur tangan pemberi order pekerjaan ini dapat berupa perintah untuk menggunakan
metode yang tidak tercantum dalam kontrak.

Klaim juga dapat timbul karena kontraktor diperintahkan untuk pekerjaan dibawah kondisi dimana
kontraktor merasa kondisi tersebut menghambat pekerjaannya. (Ahuja & Walsh, 1983). Penundaan
pekerjaan yang disebabkan oleh keterlambatan pengiriman material merupakan salah satu penyebab
utama rendahnya produktifitas dan adanya waktu menganggur (Harison, 1981:257, Cristian & Hackey,
1995)

Tidak sempurnanya rencana dan spesifikasi dapat menyebabkan timbulnya klaim dari kontraktor
apabila terjadi perubahan order (Ahuja, 1984). Perintah tidak pemberi order pekerjaan untuk
mengubah metode yang ada atau memerintahkan kontraktor untuk bekerja dengan suatu metode
dimana metode tersebut tidak tercantum dalam kontrak dapat menimbulkan klaim (Ahuja, 1983)

Kondisi fisik di lapangan yang berbeda dari yang tertulis pada dokumen kontrak dapat menjadi suatu
masalah, dimana kontraktor berhak mendapat tambahan biaya untuk suatu pekerjaan. Adanya data-
data kondisi tanah yang berbeda dari rencana juga dapat mengakibatkan tambahan biaya bahkan
menyebabkan keterlambatan di suatu proyek. Perbedaan kondisi lapangan dapat dibagi menjadi dua
tipe yaitu (Fisk, 1997). Hujan lebat atau cuaca yang tidak memungkinkan dapat menyebabkan
penundaan pelaksanaan pekerjaan sehingga terjadi keterlambatan pada proyek (Fisk, 1997) cuaca
buruk meskipun dapat dikontrol oleh manajemennya dapatberakibat pada hilangnya hari kerja (Ahuja,
1984).

Adanya aselarasi pekerjaan dalam suatu proses konstruksi dapat menyebabkan klaim (ahuja, 1983).
Aselarasi pekerjaan dilakukan kontraktor untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari waktu
normal dengan menambah jam kerja atau tenaga kerjanya. Aselerasi dapat dibagi menjadi 3 tipe
yaitu: Diceted acceleration, Constructive acceleration, The Contractor Accelerates Valuntarily. Pemberi
order pekerjaan dapat memerintahkan kontraktor untuk menangguhkan semua atau sebagian
pekerjaan bila dianggap penting.

Ada beberapa alasan untuk menangguhkan pekerjaan diantaranya pemberi order pekerjaan
mempunyai anggaran yang terbatas dan memutuskan untuk menghentikan pekerjaan di area
tertentu. Penangguhan pekerjaan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu (Fisk, 1997);

(a) Kategori Pertama; Berhubungan dengan kegagalan kontraktor untuk menyelesaikan perintah atau
ketetapan yang tercantum pada kontrak,

(b) kategori Kedua; Penangguhan pekerjaan dilakukan berhubungan dengan cuaca yang tidak
memungkinkan atau kondisi yang tidak baik misalnya penangguhan pengiriman material akibat
adanya banjir (Ahuja, 1984).

Spesifikasi merupakan bagian dari suatu dokumen kontrak yang menerangkan kualitas yang diminta
dari suatu proyek yang akan dikerjakan. Spesifikasi merupakan suatu pelengkap dari gambar yang
menjelaskan material yang akan dipakai, pekerja-pekerja yang dibutuhkan dan langkah-langkah yang
harus diikuti dalam melaksanakan suatu proyek konstruksi (Fisk, 1997). Adanya pekerjaan yang
berbeda dari yang telah disebutkan dari spesifikasi atau adanya pekerjaan tambahan yang tidak
tercantum dalam dokumen kontrak dapat menyebabkan konflik dalam rencana dan spesifikasi (Ahuja,
1983).

Klaim juga dapat timbul akibat adanya beberapa kontraktor yang bekerja pada suatu proyek yang
sama pada saat yang sama dan salah satu kontraktor merasa pekerjaannya dihalangi oleh kontraktor
lain. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan pekerjaan pada kontraktor lain (Ahuja & Walsh, 1983).
Apabila pemberi order pekerjaan tidak memberikan informasi yang jelas kepada kontraktor misalnya
test boring dan penyelidikan tentang kondisi di bawah permukaan tanah dan hal-hal yang ternyata
mempengaruhi pekerjaan kontraktor maka hal ini dapat menimbulkan klaim (Ahuja & Walsah, 1983).
Penyebab utama perselisihan antara pemilik dan kontraktor adalah keterlambatan (PTU, 1996). Bila
dilihat lagi penyebab keterlambatan ini bermacam-macam. Keterlambatan proyek juga banyak yang
disebabkan factor pengembang/pemilik. Misalnya, karena perencanaan yang tidak matang, di tengah
jalan pengembang/pemilik yang mengerjakan sendiri, mengatur sendiri pula sub-sub kontraktor. Hal
itu sering menyebabkan kesungguhan kontraktor berkurang (PTU, 1996). Keterlambatan terjadi
karena berbagai macam hal. Seperti, misalnya perubahan-perubahan desain, kesalahan manajemen,
kekurangan peralatan ataupun tenaga ahli maupun karena waktu yang disediakan pemilik memang
tidak cukup (Unrealistic Schedule).

Setiap kontraktor mengharapkan untuk menangani pekerjaan yang semua kondisinya berada dalam
keadaan yang ideal (driscoll, 1971). Suatu pekerjaan yang dapat diselesaikan tepat waktu dan hanya
melibatkan sedikit perubahan dari pemilik yang menghasilkan perubahan-perubahan yang dapat
dilihat secara nyata serta sebanding dengan banyaknya uang yang dapat dihemat. Bila dalam suatu
proyek pemilik memerintahkan kontraktor untuk melakukan pekerjaan yang tidak tercantum dalam
kontrak, maka pemilik diharapkan untuk dapat segera untuk dapat mengeluarkan dokumen
perubahan pekerjaan (change oeder issue), dimana dokumen yang berkaitan dengan jumlah
perubahan pekerjaan tersebut dimasukkan dalam kontrak dan kontraktor berhak untuk mendapatkan
biaya tambahan untuk perubahan pekerjaan yang dilakukan. Dalam hal ini kontraktor tentunya tidak
berhak untuk mengajukan klaim karena sudah ada kompensasi dari pemilik. Kontraktor baru dapat
mengajukan klaim bila pemilik menunda untuk mengeluarkan dokumen tersebut sehingga
menyebabkan kontraktor memperbaiki jadwal kerjanya serta mengeluarkan biaya tambahan.

Manajemen merupakan faktor penting dalam organisasi pemilik ataupun kontrator. Adanya kesalahan
manajemen oleh pemilik dapat menyebabkan kontraktor mengajukan klaim kepada pemilik. Demikian
pula sebaliknya, adanya kesalahan manajemen pada kontraktor dapat merugikan pemilik dan
mengakibatkan timbulnya klaim kepada kontraktor. Bila digunakan sistem kerja ‘fast-track
construktion’, dimana sistem ini memungkinkan adanya pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan
bersamaan dengan pekerjaan desain, biasanya diperlukan banyak perubahan-perubahan desain.
Perubahan-perubahan desain tersebut dapat menyebabkan peselisihan antara pemilik dan kontraktor
dan pada akhirnya menyebabkan kontraktor mengajukan klaim.

‘Itikad buruk’ adalah sebab klaim yang berkaitan dengan berbagai tindakan penipuan. Dalam tahun-
tahun terakhir ini, klaim ‘itikad buruk’ telah menjadi biasa (Bramble, et al., 1990). Yang termasuk
kedalam klaim itikad buruk ini adalah penggelapan, salah pengertian, usaha-usaha yang ditujukan
untuk menyusahkan orang lain atau usaha-usaha yang tidak memperhitungkan efek yang timbul
terhadap yang lain. Klaim itikad buruk ini dapat berasal dari kontraktor maupun dari pemilik. Ada
kontraktor yang merasa dirugikan oleh tindakan pemilik yang dengan sengaja menunda-nunda
pembayaran atau bahkan tidak membayar sama sekali pekerjaan yang telah dilaksanakan. Dilain
pihak, ada pula pemilik yang merasa dirugikan oleh tindakan kontraktor yang tidak bertanggung
jawab.

4.2.5. Penyelesaian Klaim

Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dalam suatu proyek bila tidak
diselesaikan akan menimbulkan klaim dimana hal ini membutuhkan tambahan biaya dan waktu
bahkan dapat mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu klaim sebisa mungkin
dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena klaim bukanlah hal yang
menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (ahuja & Walsh, 1983). Ada beberapa
cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengantisipasi terjadinya klaim.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dokumentasi, pengetahuan tentang kontrak, gambaran
yang jelas tentang perubahan order, rencana dan penjadwalan, tindakan Proaktif dan presenvation of
rights. Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam
mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya dokumentasi yang baik, lengkap dan benar dapat dipakai
sebagai alat atau dasar untuk mengetahui adanya kejadian atau perubahan baik yang berupa
kemajuan maupun keterlambatan dari proyek tersebut. Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai
dasar untuk membenarkan atau menolak tindakan dari salah satu pihak untuk meminta tambahan
waktu dan uang.

Dokumen tentang kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan dimengerti sebelum melakukan
penawaran untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu
(Jergeas, 1994).

Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen kontrak karena perubahan order
dapat menyebabkan perubahan pada harga yang telah disepakati, perubahan jadwal pembayaran
perubahan pada jadwal penyelesaian pekerjaan dan perubahan pada rencana dan spesifikasi yang
telah ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997). Perubahan order ini tidak hanya mengakibatkan adanya
tambahan biaya saja tetapi juga akan mengakibatkan tambahan beban pekerjaan, tambahan biaya
administrasi, biaya dari adanya tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear & Hartman, 1994).
Suatu rencana dimaksudkan untuk mendapatkan suatu metode pelaksanaan proyek yang sifatnya
ekonomis dan hanya membutuhkan sedikit waktu (Deatherage, 1965). Dengan rencana yang baik,
maka sumber daya yang cukup dapat disediakan pada saat yang tepat, tersedia cukup waktu untuk
setiap aktivitas dan setiap aktivitas dapat dimulai pada saat yang tepat. Rencana juga dapat
membantuk untuk memilih metode konstruksi yang ekonomis, memilih peralatan, pengiriman
material (Antill & Woodhead, 1970). Semua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak pada dasarnya
ingin mendapatkan keuntungan dan sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap
kemungkinan terjadinya klaim. Manajer proyek harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini untuk
melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab.

Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat menyebabkan terjadinya klaim
harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu kejadiannya, hal-hal seperti melakukan pekerjaan yang
berbeda dari gambar dan spesifikasi, menggunakan cara atau metode yang berbeda atau lebih mahal,
bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan untuk berhenti bekerja merupakan tindakan-
tindakan yang harus dihindarkan untuk menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994). Dalam
menghadapai masalah konstruksi haruslah diingat bahwa penyelesaian dengan musyawarah jauh
lebih baik dari pada mengajuan klaim. Banyak cara untuk menyelesaikan perselisihan dalam suatu
proyek. Diperlukan sikap terbuka (open minded) dan keinginan yang kuat dalam menyelesaikan
masalah dari pihak terlibat. Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan proyek tepat waktu, cost
dan standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah tujuan utamanya
(Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat yang sudah dipenuhi, maka perselisihan
tersebut tidak akan selesai.

Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak yang terlibat harus
dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal. Yang termasuk dalam hal ini adalah :
Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi.

LATIHAN SOAL
1. Sebutkan bentuk-bentuk resiko!
2. Sebutkan penyebab-penyebab resiko!
3. Sebutkan 3 kategori klaim!
4. Sebutkan bentuk-bentuk klaim dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa!
5. Sebutkan bentuk-bentuk klaim dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa!

RANGKUMAN
1. Resiko proyek adalah suatu kondisi proyek yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian
tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi fisik maupun finansial yang tidak
menguntungkan bagi tercapainya sasaran proyek, yaitu biaya, waktu, mutu proyek
2. Risiko berdasarkan potensi sumber risiko sebagai berikut:
a. Risiko yang berkaitan dengan bidang manajemen
b. Risiko yang berkaitan dengan bidang teknis dan implementasi
c. Risiko yang berkaitan dengan bidang kontrak dan hukum
d. Risiko yang berkaitan dengan situasi ekonomi, sosial, dan politik
3. Kontrak untuk proyek konstruksi menyediakan berbagai teknik untuk mengalokasikan risiko kepada
pihak yang paling mampu menangani risiko.
4. Klaim konstruksi adalah permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan
pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara
penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan
pengguna jasa / penyedia jasa yang biasanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau
kompensasi lain.
5. Sebagian besar klaim yang terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat disebabkan kurangnya
pengalaman pemberi order pekerjaan.

TES FORMATIF
1. Pengelompokkan resiko berdasarkan potensi sumber risiko menurut Soeharto (2001) yaitu:
a) Resiko dalam bidang manajemen

b) Resiko dalam bidang telekomunikasi

c) Resiko dalam bidang informatika

d) Resiko dalam bidang komputer

2. Resiko/Ketidakpastian yang terjadi dalam suatu Proyek Konstruksi menurut Krishna, 2005 disebabkan
oleh beberapa hal berikut ini, kecuali?
a) Ketidakjelasan atau kekurangan pada dokumen kontrak.
b) Pengaturan kontrak yang tidak sesuai dengan pekerjaan.

c) Metode tender yang tepat.

d) Pengalihan risiko yang dibebankan sepenuhnya kepada satu pihak yang terlibat dalam kontrak.

3. Beberapa sebab utama terjadinya klaim menurut Prof. H. Priyatna Abdurrasyid adalah sebagai
berikut,kecuali?
a) Informasi design yang tidak tepat

b) Informasi design yang sempurna

c) Investigasi lokasi yang tidak sempurna

d) Komunikasi yang buruk

4. Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim?
a) Waktu sebagai akibat perubahan pekerjaan

b) Biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan

c) Pilihan A yang benar

d) A dan B benar.

5. Barry et al. (1990) membagi jenis klaim kedalam 4 kategori utama yaitu?
a) Klaim atas kerugian yang disebabkan perubahan kontrak yang dilakukan pemilik

b) Klaim atas pengurangan elemen nilai kontrak

c) Klaim yang dibuat karena pengurangan item kerja

d) Klaim karena kemajuan proyek.

UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 4.

Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.

Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90 – 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik

70 – 79 % = cukup

< 70 % = kurang

TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi
selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi
modul 4, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI JAWABAN
Latihan Soal

1. Ketidakpastian/ Uncertainty dan Kesempatan/Opportunity


2. Penyebab-penyebab resiko, dokumen kontrak, kontrak, Metode tender, personil, gambar atau desain
3. Klaim dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa, klaim dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa
dan klaim dari sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama
4. Bentuk-bentuk klaim dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa sebagai Pengurangan nilai kontrak,
Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan dan Kompensasi atas kelalaian penyedia jasa
5. Bentuk-bentuk klaim dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa sebagai berikut:
� Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan

� Tambahan kompensasi

� Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.

Tes Formatif

1. A
2. C
3. B
4. D
5. A

MODUL 5
SENGKETA (DISPUTE) PROYEK
KONSTRUKSI

PENDAHULUAN

Ada fenomena bahwa posisi Penyedia Jasa dipandang lebih lemah daripada posisi Pengguna Jasa.
Dengan kata lain posisi Pengguna Jasa lebih dominan dari pada posisi Penyedia Jasa. Penyedia Jasa
hampir selalu harus memenuhi konsep/draf kontrak yang dibuat Pengguna Jasa karena Pengguna Jasa
selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari Penyedia Jasa. Mungkin hal ini diwarisi dari pengertian
bahwa dahulu Pengguna Jasa disebut Bouwheer (Majikan Bangunan) sehingga sebagimana biasa
“majikan” selalu lebih “kuasa”. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak
dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang No. 18/1999
tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas “Kebebasan Berkontrak” sebagaimana diatur oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1338 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam
penyusunan kontrak. Sengketa yang terjadi dapat merugikan kedua pihak oleh karena itu perlu untuk
mengetahui sengketa yang dapat terjadi pada proyek konstruksi termasuk didalamnya cara
penyelesaiannya.

Modul 5 akan membahas mengenai sengketa proyek konstruksi yang terdiri dari:

1. Sengketa Konstruksi yang meliputi sengketa berdasarkan kontrak konstruksi, sengketa yang tidak
berdasarkan kontrak konstruksi.
2. Penyelesaian sengketa dan alternatifnya;
Pembahasannya akan dilakukan dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara
aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan
tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi
tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban
yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan bentuk-bentuk
kontrak konstruksi termasuk kontrak yang berlaku secara internasional
KEGIATAN BELAJAR 5.1. SENGKETA KONSTRUKSI
Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa
konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat
disebut construction dispute. Sengketa konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang
perdata yang menurut UU no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur
Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004,Mengenal Klaim Konstruksi dan
Penyelesaian Sengketa Konstruksi)

Konstruksi dimaksud adalah kegiatan jasa konstruksi yang meliputi; Perencanaan, Pelaksanaan, dan
Pengawasan pekerjaan konstruksi. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999 dalam
Ketentuan Umum menyebutkan bahwa Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan
pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi. Sedangkan pengertian pekerjaan konstruksi adalah seluruh atau
sebahagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. (Undang-Undang
Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999) Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang
tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan,
perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para
pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak
melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang
cukup.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah
melakukan tindakan cidera (wanprestasi atau default).

Proses terjadinya suatu sengketa dan penyelesaian sengketa, menurut Yasin, 2004 yang dikutip dari
Mutiasari, 2006:

Gambar 5.1 Perkembangan Kejadian Suatu Sengketa dan Penyelesainya (Yasin, 2004 dalam Mutiasari,2006)

Gambar di atas menunjukkan sengketa yang terjadi berdasarkan adanya kontrak konstruksi.

5.1.1. Sengketa tidak berdasarkan adanya Kontrak Konstruksi


Terdapat aturan hukum yang mengatur agar kegiatan manusia dapat berjalan dengan lancar,
termasuk aturan hukum yang berlaku dalam bangunan. Pemerintah berperan sebagai badan yang
mengeluarkan peraturan termasuk peraturan yang mengatur pelaksanaan pembangunan (misalnya
masalah perijinan). Sengketa dapat timbul dengan pihak pemerintah bila pihak yang terlibat dalam
penyelenggaraan bangunan dianggap tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(Mutiasari,2006)

5.1.2. Sengketa berdasarkan Kontrak Konstruksi

Dalam tahapan penyelenggaraan bangunan, selain harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah juga harus mengikuti peraturan yang telah disepakati bersama dan dituangkan dalam
kontrak. Sengketa dapat terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dan sengketa yang
terjadi harus segera diselesaikan dan tidak menghambat tahapan penyelenggaraan bangunan.

Selanjutnya, diperlukan pula pengertian mengenai jenis, penyebab, jenis penyelesaian dan lembaga
penyelesaian sengketa. Berdasarkan hasil penelitiahn yang telah dilakukan sebelumnya dan literature
yang ada (Soekirno,2006; Julianta,2005; Andi,2005; Yasin,2004; Rostiyanti,1998) yang dikutip dalam
Mutiara, 2006 didapatkan definisi jenis sengketa konstruksi, penyebab sengketa konstruksi dan jenis
penyelesaian serta lembaga penyelesaian sengketa konstruksi sebagai berikut:

1. Jenis sengketa
Jenis sengketa adalah perubahan kontrak yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan oleh salah
satu pihak pada pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi
suatu kontrak konstruksi. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai jenis sengketa, jenis sengketa
tersebut dikelompokkan menjadi 4 jenis sengketa yaitu:

a) Biaya:

 Perubahan nilai kontrak


 Perubahan harga satuan pekerjaan
 Perubahan nilai angsuran pembayaran
b) Waktu:

 Perubahan waktu kontrak


 Perubahan jadwal kegiatan
 Perubahan jadwal pembayaran
c) Lingkup pekerjaan:
 Perubahan jenis pekerjaan
 Perubahan volume
 Perubahan mutu/kualitas
 Perubahan metode pelaksanaan konstruksi
d) Gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa)

 Kombinasi perubahan biaya dan waktu


 Kombinasi perubahan biaya dan lingkup pekerjaan
 Kombinasi perubahan waktu dan lingkup pekerjaan
 Kombinasi perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan
2. Penyebab sengketa
Penyebab sengketa adalah sumber timbulnya permintaan kompensasi secara tertulis atas “kerugian”
atau ketidaksesuaia implementasi suatu kontrak konstruksi oleh salah satu pihak pada pihak lain.
Sengketa dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 9
(Sembilan) penyebab sengketa sebagai berikut:

a) Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan:

 Pemberian izin
 Permintaan izin
 Tidak adanya izin
b) Penyebab sengketa berkaitan dengan surat perjanjian kerjasama (kontrak):

 Isi surat kontrak tidak jelas


 Isi surat kontrak tidak lengkap
c) Penyebab sengketa berkaitan dengan persyaratan kontrak:

 Isi persyaratan kontrak tidak jelas


 Isi persyaratan kontrak tidak lengkap
d) Penyebab sengketa berkaitan dengan gambar:

 Gambar rencana tidak jelas


 Gambar rencana tidak lengkap
 Gambar kerja tidak jelas
 Gambar kerja tidak lengkap
e) Penyebab sengketa berkaitan dengan spesifikasi:
 Spesifikasi tidak jelas
 Spesifikasi tidak lengkap
 Perubahan spesifikasi
 Persyaratan spesifikasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
f) Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):

 RAB tidak jelas


 RAB tidak lengkap
 Pengukuran hasil pekerjaan
g) Penyebab sengketa berkaitan dengan administrasi kontrak:

 Berita acara
 Laporan
 Foto/film

h) Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi lapangan:

 Kondisi lapangan tidak sesuai denngan kontrak


 Perubahan kondisi lapangan
 Kondisi lapangan tidak memungkinkan
i) Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi eksternal:

 Perubahan kebijakan pemerintah


 Perubahan harga atau biaya
 pendanaan
3. Jenis penyelesaian sengketa
Secara umum jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) yaitu (UU RI nomor 18
tahun 1999; UU RI nomor 30 tahun 1999)

a) Negosiasi

Negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses
peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis
dan kreatif. Negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga namun memerlukan orang yang tepat untuk
bernegosiasi.

b) Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui
mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi
menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran
dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.

c) Konsiliasi

Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak
dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak
yang bertindak sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusun dan merumuskan upaya
penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.

d) Arbitrase

Arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakaat untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh seorang
ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbitrator) yang
bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan
tetapi secara musyawarah dengan menunjukan pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu
bagian dari kontrak. Badan arbitrase terdiri dari arbitrator yaitu pengacara, kontraktor, konsultan
(engineer) dan konsultan hakim. Arbiter harus memiliki pengetahuan bidang konstruksi dan
memahami permasalahan sengketa yang dihadapi.

Terdapat jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) lainnya yang digunakan di luar
negeri, yaitu Eastern Distric of New York, 1993; Thomas B. Treacy, 1995; Frederick S. Keith, P. E.,1997)
Court-Annexed Arbitration, Early Neutral Evaluation, Mediation, Concensual Jury or Court Trial before
a United States Magistrate Judge, Settlement Conferences, Special Masters, Arbritration, Dispute
Review Board (by ASCE committee on Contract Administration), Minitrial Summary Jury
Trial dan Private Judging.

4. Lembaga penyelesaian sengketa


Lembaga penyelesaian sengketa adalah lembaga yang dapat membantu menyelesaikan sengketa yang
terjadi. Lembaga penyelesaian sengketa menurut Soekirno, 2006; Widjaja, 2002; Emirzon, 2001;
Margono, 2000 yang dikutip dari Mutiara, 2006 adalah sebagai berikut:

a) Negosiator

b) Mediator
c) Konsiliator

d) Lembaga Arbitrase
KEGIATAN BELAJAR 5.2. PENYELESAIAN
SENGKETA
Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dalam suatu proyek bila tidak
diselesaikan akan menimbulkan klaim dimana hal ini membutuhkan tambahan biaya dan waktu
bahkan dapat mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu klaim sebisa mungkin
dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena klaim bukanlah hal yang
menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (ahuja & Walsh, 1983).

Ada beberapa cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengantisipasi terjadinya
klaim. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : dokumentasi, pengetahuan tentang kontrak,
gambaran yang Jelas tentang perubahan order, rencana dan penjadwalan, tindakan Proaktif
dan presenvation of rights. Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan pengetahuan dan
pengalaman dalam mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya dokumentasi yang baik, lengkap dan
benar dapat dipakai sebagai alat atau dasar untuk mengetahui adanya kejadian atau perubahan baik
yang berupa kemajuan maupun keterlambatan dari proyek tersebut.

Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan atau menolak tindakan dari
salah satu pihak untuk meminta tambahan waktu dan uang.

Dokumen tentang kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan dimengerti sebelum melakukan
penawaran untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu
(Jergeas, 1994). Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen kontrak karena
perubahan order dapat menyebabkan perubahan pada harga yang telah disepakati, perubahan jadwal
pembayaran perubahan pada jadwal penyelesaian pekerjaan dan perubahan pada rencana dan
spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997). Perubahan order ini tidak hanya
mengakibatkan adanya tambahan biaya saja tetapi juga akan mengakibatkan tambahan beban
pekerjaan, tambahan biaya administrasi, biaya dari adanya tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear
& Hartman, 1994).

Semua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan dan
sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap kemungkinan terjadinya klaim. Manajer
poryek harus mempertimbangkan hal-hal

di bawah ini untuk melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab.
Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat menyebabkan terjadinya klaim
harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu kejadiannya, hal-hal seperti melakukan pekerjaan yang
berbeda dari gambar dan spesifikasi, menggunakan cara atau metode yang berbeda atau lebih mahal,
bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan untuk berhenti bekerja merupakan tindakan-
tindakan yang harus dihindarkan untuk menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994)

Dalam menghadapai masalah konstruksi haruslah diingat bahwa penyelesaian dengan musyawarah
jauh lebih baik dari pada mengajuan klaim. Tujuan yang hendak dicapai bukanlah untuk membuktikan
siapa yang benar melainkan penyelesaian masalah yang ada. Banyak cara untuk menyelesaikan
perselisihan dalam suatu proyek. Diperlukan sikap terbuka (open minded) dan keinginan yang kuat
dalam menyelesaikan masalah dari pihak terlibat. Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan
proyek tepat waku, cost dan standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah
tujuan utamanya (Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat yang sudah dipenuhi,
maka perselisihan tersebut tidak akan selesai.

Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak yang terlibat harus
dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal. Yang termasuk dalam hal ini adalah :
Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi.

Yang dimaksud dengan negosiasi adalah cara penyelesaian yang hanya melibatkan kedua belah pihak
yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak-pihak yang lain. Hal ini mirip dengan musyawarah dan
mufakat yang ada di Indonesia, dimana keinginan untuk berkompromi, adanya unsur saling memberi
dan menerima serta kesediaan untuk sedikit menyingkirkan ukuran kuat dan lemah adalah
persyaratan keberhasilan cara ini. Di dalam negosiasi ini kontraktor dan pemilik memakai arsitek dan
insinyur sebagai penengah. Biasanya kontraktor diminta mengajukan klaim kepada arsitek/insinyur
yang diangkat menjadi negosiator. Arsitek/Insinyur ini akan mengambil keputusan yang sifatnya tidak
mengikat, kecuali keputusan tentang ‘efek arstistik’ yang konsisten dengan apa yang telah ada dalam
dokumen kontrak.

Mediasi merupakan cara penyelesaian masalah di awal perselisihan berlangsung. Mediasi ini
melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak dan dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga ini akan berusaha menolong pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan
penyelesaian, meskipun mediator ini tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan penyelesaian
masalah tersebut. Mediasi sama menguntungkannya dengan arbitrasi. Mediasi dapat menyelesaikan
masalah dengan cepat, murah, tertutup dan ditangani oleh para ahli. Tetapi yang menjadi masalah
adalah keputusan mediasi ini tidak mengikat. Jadi apabila persetujuan tidak dapat dicapai, seluruh
usaha mediasi hanya akan membuang-buang uang dan waktu.

Arbitrasi adalah metode penyelesaian masalah yang dibentuk melalui kontrak dan melibatkan para
ahli dibidang konstruksi. Para ahli tersebut bergabung dalam badan arbitrase. Badan ini akan
mengatur pihak-pihak yang telah menandatangani kontrak dengan klausul arbitrasi didalamnya untuk
melakukan arbitrasi dan menegakkan keputusan arbitrator. Hal yang menguntungkan dari cara
arbitrasi ini adalah sifat penyelesaiannya yang cepat dan murah jika dibandingkan dengan litigasi.
Selain itu, cara arbitrasi ini dilakukan secara tertutup serta dilakukan oleh seorang arbitrator yang
dipilih berdasarkan keahlian.

Keputusan arbitrasi yang bersifat final dan mengikat merupakan alasan penting digunakannya cara ini
untukmenyelesaikan masalah. Keputusan pengadilan biasanya terbuka untuk proses peradilan yang
lebih panjang. Hal ini menghasilkan penundaan yang lama dan memakan biaya dalam penyelesaian
masalah. Sedangkan keputusan dari arbitrasi ini tidak dapat dirubah tanpa semua pihak setuju untuk
membuka kembali kasusnya.

Litigasi adalah proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan. Proses ini sebaiknya diambil
sebagai jalan akhir bila keseluruhan proses diatas tidak dapat menghasilkan keputusan yang
menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa. Proses pengadilan ini tentu saja akan
mengakibatkan salah satu pihak menang dan yang lain kalah. Biasanya perselisihan yang terjadi
disidangkan pada system yuridis di daerah mana masalah tersebut terjadi. Pada suatu wilayah tertentu
pengadilan wilayah tersebut mendapat yuridikasi atas suatu masalah bila salah satu pihak berkantor
di wilayah tersebut atau proyeknya sendiri ada pada daerah itu. Jika kedua belah pihak yang berselisih
berkantor pusat di daerah lain, maka pihak yang memulai litigasi yang memilih forum dimana litigasi
itu berlangsung. Lama waktu penyelesaian merupakan hal yang patut diperhitungkan dalam
penggunaan cara ini. Tergantung dari yuridiksinya, suatu perselisihan konstruksi yang kompleks dapat
menghabiskan waktu antara 2 sampai 6 tahun sebelum mencapai pengadilan (Arditi, 1996). Proses
penggalian fakta yang panjang dan detil membuat litigasi ini menjadi sangat mahal. Untungnya, bila
ada kesalahan pengadilan dalam peryataannya atau dalam penggunaan prinsip-prisip hukum,
pihakpihak yang melakukan litigasi tentunya dapat naik banding.

Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para pihak yaitu
melalui :

� Badan Peradilan (Pengadilan);

� Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc);


� Alternatif Penyelesaian Sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi).

Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang
dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana). Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa
tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase. Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili
sengketa tersebut sesuai Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Pasal 3.
KEGIATAN BELAJAR 5.3.
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa,
baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara
lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Dan model
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer adalah apa yang disebut dengan
“arbitrase” itu. Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa
di luar pengadian. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun
tidak sepopuler lembaga arbitrase.

Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi,
dan yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Faktor-faktor
penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesai sengketa alternatif juga mempunyai
kadar yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:

a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.

b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh para pihak atau
hanya bersifat sukarela.

c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.

d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.

e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.

f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak. (Kanowitz, Leo, 1985 6).

g. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu
penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip
sebagai berikut haruslah efisien dan segi waktu, haruslah hemat biaya, haruslah dapat diakses oleh
para pihak. (Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh), haruslah melindungi hak-hak dan para pihak
yang bersengketa, haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur, Badan atau orang yang
menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang
bersengkata, putusannya haruslah final dan mengikat, putusannya haruslah dapat bahkan mudah
dieksekusi, putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan komuniti di mana penyelesaian
sengketa alternative tersebut terdapat. (Kanowitz, Leo, 1985:14). Sebagaimana diketahui bahwa
masing-masing alternatif penyelesaian sengketa yang ada nilai plus minusnya.

Di samping itu, model-model alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat campuran di antara
berbagai model, juga sering diketemukan. Misalnya apa yang disebut dengan “Med-Arb” yang
merupakan bentuk kombinasi antara model mediasi dengan model arbitrase. Atau apa yang disebut
dengan “Judicial Arbitration” atau “Court-Annexed Arbitration, yang merupakan bentuk hibrida dan
badan pengadilan dan arbitrase. Akan tetapi, apabila tidak berhasil akan dilanjutkan ke dalam bentuk
arbitrase di mana pihak konsiliator akan berubah fungsinya menjadi arbiter.

LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa?
2. Sebutkan jenis-jenis sengketa!
3. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa berdasarkan kontrak konstruksi?
4. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa tidak berdasarkan kontrak konstruksi?
5. Sebutkan 4 cara penyelesaian sengketa!

RANGKUMAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya
keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen
kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa
konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas
pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.

2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih disukai, dalam Undang-Undang Arbitrase Baru 1999,
dinyatakan antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara biasa memalui pengadilan negeri,
arbitrase lebih diutamakan oleh pelaku bisnis internasional. Salah satu sebab adalah karena “lebih
cepat, murah dan sederhana”.

TES FORMATIF
1. Yang termasuk dalam 4 jenis sengketa adalah:
a) Kontrak
b) Biaya
c) Properti
d) Janji
2. Berikut ini adalah jenis sengketa waktu, kecuali:

a) Perubahan waktu kontrak


b) Perubahan jadwal kegiatan
c) Perubahan jadwal pembayaran
d) Perubahan nilai kontrak
3. Yang tidak termasuk dalam jenis sengketa lingkup pekerjaan yaitu:

a) Perubahan jenis pekerjaan


b) Perubahan volume
c) Perubahan mutu/kualitas
d) Perubahan nilai kontrak
4. Berikut ini yang tidak termasuk dalam penyebab sengketa yaitu

a) Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan


b) Penyebab sengketa berkaitan dengan bangunan
c) Penyebab sengketa berkaitan dengan bank
d) Penyebab sengketa berkaitan dengan asuransi
5. Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):

a) RAB tidak jelas


b) RAB tidak lengkap
c) Laporan
d) Pengukuran hasil pekerjaan

UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 5.

Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.

Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90 – 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik

70 – 79 % = cukup

< 70 % = kurang

TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi
selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi
modul 5, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI JAWABAN
Latihan Soal

1. Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa
konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi
2. Sengketa berkaitan dengan biaya, waktu, lingkup pekerjaan dan gabungan biaya, waktu dan lingkup
pekerjaan
3. Sengketa dapat terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dan sengketa yang terjadi
harus segera diselesaikan dan tidak menghambat tahapan penyelenggaraan bangunan
4. Sengketa dapat timbul dengan pihak pemerintah bila pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan
bangunan dianggap tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase

Tes Formatif

1. B

2. D

3. D

4. A

5. C
MODUL 6
PENGADILAN DAN ARBITRASE

PENDAHULUAN

Sengketa konstruksi (construction dispute) adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan

pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi.
Sengketa konstruksi terjadi karena adanya perbedaan pemahaman, persilisihan pendapat maupun
pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi. Jika hal ini dibiarkan akan
berakibat pada penurunan kinerja secara keseluruhan pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Oleh karena
itu, perbedaan pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan sehubungan dengan
pekerjaan konstruksi tersebut harus diselesaikan secepatnya dengan hasil akhir yang memuaskan
semua pihak yang terlibat didalamnya.

Terdapat 3 (tiga) pilihan dalam menyelesaikan sengketa pekerjaan konstruksi, antara lain melalui
Badan Peradilan (Pengadilan) atau Arbitrase (Lembaga Ad Hoc) atau Negosiasi, Mediasi serta
Konsiliasi. Modul ini akan membahas mengenai penyelesaian sengketa konstruksi melalui
Pengadilan, Arbitrase, termasuk didalamnya keuntungan dan kerugian dari metode-metode
tersebut. Pilihan penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi
dan sengketa yang dimaksudkan adalah sengketa perdata (bukan pidana).

Pembahasannya akan dilakukan dalam 2x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara

aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan
tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi
tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban
yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
penyelesaian sengketa konstruksi melalui pengadilan dan arbitrase.

KEGIATAN BELAJAR 6.1. PENGADILAN


Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan biasanya merupakan pilihan terakhir dari para pihak
karena tidak tercapainya kata sepakat atas sengketa yang terjadi. Pada umumnya, sebelum
mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan para pihak akan memperingatkan pihak lainnnya
melalui surat tertulis atau yang kita kenal dengan SOMASI untuk memperingatkan pihak lainnya agar
memenuhi suatu prestasi, somasi biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dengan jangka waktu tertentu
dan apabila pihak yang diberi peringatan tidak melakukan apa yang diminta maka tuntutan atau
gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang. Sebelum melakukan suatu tuntutan atau
gugatan melalui pengadilan atas perselisihan konstruksi yang terjadi ada baiknya dimulai dengan
melakukan analisa secara mendalam mengenai prosedur hukum acara yang ditempuh agar tuntutan
atau gugatan yang akan kita lakukan tidak menjadi sia sia.

Tahapan-tahapan yang harus dilakukan adalah tahapan persiapan, proses persidangan dan proses
eksekusi putusan.

6.1.1. Tahapan Persiapan

Berikut ini adalah tahapan persiapan pra gugatan antara lain:

1. Tentukan pengadilan mana yang akan dituju untuk mendaftarkan gugatan apabila dalam
kontrak telah dipilih secara tegas “ misalnya dalam kontrak terdapat klausula para pihak
memilih domisili hukum yang tetap atau tidak berubah pada pengadilan negeri Jakarta selatan
dst….” Maka otomatis pengajuan gugatan itu harus dilakukan pada pengadilan negeri Jakarta
selatan dalam dunia hukum hal ini dikenal dengan sebutan kompetensi absolut serta tentukan
pula mengenai pengadilan daerah mana yang akan dituju untuk mengadili gugatan dimaksud.
2. Persiapkan mengenai syarat formal maupun materiil gugatan
3. Tentukan posita gugatan atau dalil yang mendasari dilakukannnya gugatan, mendalilkan
sesuatu tuntutan dalam gugatan merupakan hal yang sangat penting dengan didukung oleh
bukti-bukti otentik baik bukti tertulis, bukti saksi maupun bukti lainnya dan didukung pula oleh
dalil hukum yang mengatur baik itu hukum yang mengatur secara umum maupun hukum yang
mengatur secara khusus antara para pihak yang bersengketa yang diatur dalam kontrak.
4. Tentukan petitum gugatan atau tuntutan apa yang akan kita tuntut dalam melakukan gugatan
tuntutan harus berdasarkan dalil yang telah kita dalilkan karena biasanya majelis hakim pada
pengadilan negeri tidak akan mengabulkan tuntutan melebihi dari apa yang dimohonkan atau
dituntut.

Setelah mempersiapkan hal tersebut diatas kita harus segera menyiapkan surat gugatan yang dapat
disimpulkan secara sederhana oleh penulis adalah satu dari permohonan yang ditujukan kepada ketua
pengadilan negeri yang berwenang, isinya memuat tanggal surat gugatan, nama dan alamat
penggugat dan tergugat, dalil yang mendasari gugatan, hal hal yang dimintakan oleh penggugat untuk
dikabulkan pengadilan, dimaterai secukupnya dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.
Dalam mempersiapkan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan negeri untuk perkara
tuntutan atas pembayaran sejumlah uang ada baiknya dalam surat gugatan kita menyampaikan
permohonan sita jaminan terhadap harta benda dari tergugat untuk menjamin gugatan yang kita
ajukan tidak menjadi sia sia dan hanya menang di atas kertas dan apabila permohonan sita jaminan
yang kita ajukan dikabulkan maka akan keluar sutu penetapan tertulis dari pengadilan negeri;
Adakalanya sita jaminan ini merupakan hal yang dapat menjadi daya tekan yang cukup bagus untuk
memaksa pihak tergugat melaksanakan kewajibannya karena bisaanya sita jaminan ini memiliki efek
yang panjang atau serius bagi tergugat;

6.1.2. Proses persidangan

Selanjutnya setelah surat gugatan dibuat dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri yang
berwenang dan telah ditentukan majelis hakim yang akan mengadili maka acara selanjutnya adalah
pemanggilan para pihak oleh majelis hakim yang akan mengadili sengketa dimaksud dan apabila para
pihak menghadiri panggilan dimaksud proses acara sidang pertama menjadi suatu kewajiban bagi
majelis hakim untuk mendamaikan para pihak dan diberi waktu untuk saling melakukan proses
perdamaian dengan ditunjuk hakim mediasi apabila terjadi perdamaian maka persidangan dihentikan
dan segera dibuat akta perdamaian atau banding; Apabila perdamaian dimaksud tidak tercapai maka
acara selanjutnya adalah masuk dalam proses persidangan sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu
proses jawab menjawab, pembuktian, pengajuan kesimpulan oleh masing masing pihak untuk
selanjutnya diambil sebuah keputusan oleh majelis hakim yang mengadili perkara dimaksud proses
diatas adalah proses normal dimana para pihak menghadiri persidangan dimaksud namun apabila
salah satu pihak tidak menghadiri persidangan maka tetap dapat diambil keputusan oleh majelis
hakim dengan jenis putusan Verstek atau putusan yang diambil akibat dari tidak hadirnya salah satu
pihak dan upaya hukum atas putusan verstek adalah upaya hukum verzet dan upaya hukum luar
biasanya adalah Derden Verzet.

Setelah putusan dibacakan apabila salah satu pihak tidak menerima hasil keputusan dimaksud dapat
melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari sejak
keputusan tingkat pertama dibacakan atau diterima oleh para pihak secara resmi ) dan kasasi dalam
jangka waktu 14 ( empat belas hari setelah putusan pada tingkat pengadilan tinggi diterima oleh para
pihak secara resmi ) serta upaya hukum luar bisaa yaitu peninjauan kembali apabila ditemukan bukti
baru setelah upaya kasasi ditempuh.
Apabila salah satu pihak yang dikalahkan dalam suatu sengketa di pengadilan negeri menerima
putusan dimaksud dengan tidak melakukan upaya hukum apapun maka putusan dimaksud telah
memiliki kekuatan hukum tetap atau INKRACHT dan acara selanjutnya berlanjut pada prosedur
Eksekusi setelah putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap.

6.1.3. Proses Eksekusi Putusan

Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah pimpinan ketua
pengadilan negeri, bahwa eksekusi itu haruslah diperintahkan secara resmi oleh ketua pengadilan
negeri yang berwenang, sebagai pelaksanaan atas suatu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap
atau atas putusan yang dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun belum ada putusan yang
berkekuatan hukum yang tetap.

Eksekusi tidak sama dengan tindakan main hakim sendiri, seperti penarikan barang barang yang dijual
dengan sewa beli oleh kreditur kepada debiturnya yang kemudian ditarik dengan berbagai cara seperti
ancaman kekerasan, menakut nakuti atau merampas barang itu dari debiturnya. Cara ini bisaa juga
dilakukan dengan menggunakan Debt Collector. Perbuatan demikian bukanlah eksekusi, tetapi
tindakan metha legal dan dapat dikategorikan melawan hukum. Eksekusi diatur dalam pasal 195
HIR/206 R.Bg. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah menjalankan keputusan
pengadilan atas perintah dan dengan dipimpin oleh ketua pengadilan negeri yang pada tingkat
pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur oleh hukum.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan awal proses eksekusi yaitu teguran atau AANMANING yang
dilakukan oleh ketua pengadilan negeri secara tertulis pada tereksekusi atau pihak yang dinyatakan
kalah dengan memberikan batas waktu pemenuhan keputusan yang disebut masa peringatan dan
maa peringatan tidak boleh lebih dari delapan hari sebagaimana yang ditentukan dalam HIR pasal
197/207 RBG. Apabila tereksekusi memenuhi apa yang disampaikan dalam peringatan oleh ketua
pengadilan maka proses eksekusi maka proses eksekusi berhenti disini sehingga timbullah pemenuhan
eksekusi secara sukarela namun apabila tereksekusi tidak memenuhi peringatan pelaksanaan eksekusi
maka dilanjutkan dengan proses SITA EKSEKUSI atau EXECUTRIALE BESLAG.

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata” edisi
kedua penerbit Sinar grafika Hal 68 menyebutkan bahwa makna sita eksekusi dapat dijelaskan dengan
cara menghubungkan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR dengan pasal 200 ayat (1) HIR atau pasal 208
ayat (1) RBG dengan pasal 215 ayat (1) RBG makna sita eksekusi dapat dirangkum sebagai berikut “
sita eksekusi adalah penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui masa
peringatan”
“ Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada pihak
penggugat dan cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang
harta kekayaan tergugat yang telah disita “

Selanjutnya ada baiknya setelah kita mengetahui makna dan pengertian eksekusi atas putusan yang
dapat dieksekusi kami sampaikan pula hal hal yang menghambat proses eksekusi sebagai berikut :

Dalam praktek dilapangan dan sebagaimana pengalaman penyusun makalah ini bahwa dalam
pelaksanaan eksekusi ternyata banyak sekali rintangan rintangan yang dapat menghambat
pelaksanaan eksekusi, mulai dari adanya Derden Verzet atau perlawanan dari pihak ketiga yang tidak
ada sangkut pautnya dengan perkara, bantahan atau bahkan peninjauan kembali serta gugatan baru
yang kemudian dijadikan alas an untuk menunda pelaksanaan eksekusi.

Disamping itu sering pula ditemui bahwa eksekusi itu dihambat oleh adanya intervensi dari lembaga
peradilan itu sendiri misalnya adanya surat perintah penghentian dari ketua pengadilan negeri, ketua
pengadilan tinggi atau ketua/wakil ketua Mahkama Agung. Bahkan di lapangan sering dijumpai
pelaksanaan eksekusi yang dihalangi atau mendpat perlawanan dengan kekerasan dari pihak
tereksekusi atau preman preman sewaannya (megha legal tactic).

Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan (Pengadilan) memiliki kelebihan dan kelemahannya.

Kelebihan Pengadilan

1. Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku (HIR, Rv)

2. Yang berlaku mutlak adalah system hukum dari Negara tempat sengketa diperiksa

3. Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh administrasi pengadilan

4. Putusan pengadilan ditentukan administrasi pengadilan

5. Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)

6. Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose

Kelemahan pengadilan

1. Biaya perkara relative murah dan telah ditentukan oleh MARI

2. Tidak adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa perkara

3. Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
4. Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara

5. Eksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan meskipun
kemudian ada bantahan atau verzet

KEGIATAN BELAJAR 6.2. ARBITRASE


Menurut Black's Law Dictionary yang dikutip dalam jurnalhukum.blogspot.com, "Arbitration. an
arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter,
instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay,
the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30
tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau

2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta
Kompromis).

Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651
Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.

6.2.1. Sejarah Arbitrase

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah lama dikenal
meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615
s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku
lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor
14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam
penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi dari Pengadilan.

6.2.2. Objek Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga
arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase
memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851
s/d 1854.

6.2.3. Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen
(institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk
tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan
perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul
arbitrase.

Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase
yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau
yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC)
di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-
sendiri.

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya
mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir".

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah
sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan
perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui
arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul
arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah
suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul
atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

6.2.4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun
1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan
dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :

1. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;

2. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;

3. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;

4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ; para pihak dapat
memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;

5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun
dapat langsung dilaksanakan.

Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase.
Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi
dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.

Kelemahan Arbitrase
1. Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative mahal, tolok ukur jumlah umumnya ditentukan
oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain
wajib membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitor

2. Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad hoc

3. Tidak memiliki juru sita sendiri sehinggga menghambat penetapan prosedur dan mekanisme apabila
Arbitrase secara efektif

4. Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif dan sangat bergantung kepada pengadilan
jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela

5. Eksekusi putusan Arbitrase cenderung mudah untuk diintervansi pihak yang kalah melalui lembaga
peradilan (Bantahan, verzet) sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative
bertambah lama.

6. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengeta untuk membawanya ke badan
Arbitrase tidaklah mudah, kedua pihak harus sepakat.

7. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, saat ini di banyak Negara masalah
pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi persoalan yang sulit.

KEGIATAN BELAJAR 6.3. HUBUNGAN ARBITRASE


DAN PENGADILAN
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan
putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini
menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk
menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai
penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3))
dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui
mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan
autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

6.3.1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada
dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat
dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan
arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan
mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai
kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan
atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase
nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999
sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi
maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu
tidak ada upaya hukum apapun.

6.3.2. Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan


Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut
menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New
York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award.
Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958.
Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing
di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam
eksekusi putusan arbitrase asing.

Perbandingan kelebihan dan kelemahan antara Arbitrase dan Pengadilan menurut Ir. H. Nazarkhan
Yasin, 2004 dalam tabel berikut ini.

Tabel 6.1. Kelebihan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan

ARBITRASE PENGADILAN

Bebas dan otonom menentukan rules dan Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku
institusi arbitrase

Menghindari ketidakpastian (uncertainty) Yang berlaku mutlak adalah sistem hukum dari
akibat perbedaan sistem hukum dengan negara Negara tempat sengketa diperiksa
ARBITRASE PENGADILAN

tempat sengketa diperiksa, maupun


kemungkinan adanya keputusan Hakim yang
kurang unfair dengan maksud apa pun,
termasuk melindungi kepentingan domestik
yang terlibat sengketa

Keleluasan memilih arbiter profesional, pakar Majelis Hakim Pengadilan ditentukan oleh
(expert) dalam bidang yang menjadi objek Administrasi Pengadilan
sengketa, dan independen dalam memeriksa
sengketa.

Waktu prosedur dan biaya arbiter lebih efisien. Putusan pengadilan ditentukan oleh
Putusan bersifat final dan binding, dan tertutup Administrasi pengadilan
untuk upaya hukum banding atau kasasi;

Persidangan tertutup (non-publicity) dan Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
karenanya memberi perlindungan untuk
informasi atau data usaha yang bersifat rahasia
atau tidak boleh diketahui umum.

Pertimbangan hukum lebih mengutamakan Pola pertimbangan Pengadilan dan Putusan


aspek privat dengan win-win solution hakim adalah win loose
Tabel 6.2. Kelemahan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan

ARBITRASE PENGADILAN

Honorarium arbiter, panitera, dan administrasi Biaya perkara relatif murah dan telah
relatif mahal. Tolok ukur jumlah umumnya ditentukan oleh MARI
ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila
biaya ditolak atau tidak dibayar oleh salah satu
pihak, pihak yang lain wajib membayarnya
lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh
arbitrase

Relatif sulit untuk membentuk Majelis Arbitrase Tidak ada hambatan berarti dalam
Ad Hoc pembentukan Majelis Hakim yang memiksa
perkara

Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga Majelis juru sita dan atau sarana pelaksanaan
menghambat penerapan prosedur dan prosedur hukum acara
mekanisme Arbitrase secara efektif

Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara
yang efektif, dan sangat bergantung kepada efektif terhadap pihak yang kalah dalam
Pengadilan jika putusan tidak dijalankan perkara
dengan sukarela

Eksekusi Putusan Arbitrase cenderung mudah Eksekusi Putusan yang telah memiliki kekuatan
dan diintervensi pihak yang kalah melalui hukum yang pasti, dapat dilaksanakan
lembaga peradilan (Bantahan, Verzet) sehingga meskipun kemudian ada bantahan atau Verzet
waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi
relative bertambah lama

LATIHAN SOAL
1. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan biaya yang besar
(mahal)?

2. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa dengan pengadilan lama?


3. Kapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan baru dapat dilakukan?

4. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan di pimpin oleh hakim, siapa yang memimpin penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase?

5. Dari kedua penyelesaian tersebut mana yang hasilnya win-win solution?

RANGKUMAN
1. Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya,
kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan
itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.

2. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu
putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan
eksekuator ke pengadilan negeri.

3. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa
kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.

TES FORMATIF
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki keuntungan. Di bawah ini yang merupakan
keuntungan pengadilan adalah?
a) Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku

b) Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh pemerintah

c) Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win win

d) Tertutup untuk umum (kecuali kasus cerai)


2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki kelemahan. Di bawah ini yang merupakan
kelemahan pengadilan adalah?
a) Biaya perkara relative mahal dan telah ditentukan oleh MARI

b) Adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa perkara

c) Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara

d) Pelaksanaan putusan tidak dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara

3. Berikut ini yang merupakan bentuk Arbitrase adalah


a) arbitrase sementara (ad-hoc)

b) arbitrasi permanen (intitusi)

c) arbitrase semi permanen

d) jawaban a dan b benar

4. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki keunggulan. Di bawah ini yang merupakan
keunggulan arbitrase adalah?
a) keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif tidak dapat dihindari

b) kerahasiaan sengketa para pihak terjamin

c) tempat penyelenggaraan arbitrase ditentukan

d) putusan arbitrase merupakan putusan yang tidak mengikat para pihak

5. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki kelemahan. Di bawah ini yang merupakan
kelemahan arbitrase adalah?
a) Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative murah

b) Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad hoc

c) Memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penetapan prosedur

d) Putusan arbitrase memiliki daya paksa yang efektif

UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian
gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 6.

Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.

Tes formatif:

Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90 – 100 % = baik sekali

80 – 89 % = baik

70 – 79 % = cukup

< 70 % = kurang

TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi
selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi
modul 6, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI JAWABAN
Latihan Soal

1. Penyelesaian melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama, karena memiliki 3 tahapan sehingga
menghambat pelaksanaan proyek yang menyebabkan penambahan biaya

2. Harus melalui 3 tahapan dengan waktu tenggang antar tiap tahapan

3. Jika Arbitrase dinyatakan gagal/tidak berhasil

4. Arbitrator

5. Arbitrase

Tes Formatif

1. A
2. C
3. D
4. B
5. B
DAFTAR PUSTAKA

Ahuja, Hira N and Walsh, Michael A. 1983. Succesful Method in cost Engineering. New York, John Wiley & Sons.
Inc

Ervianto W.I.,”Manajemen proyek Konstruksi. Andi Offset.2003

FIDIC.

Fisk, Edward R, 1997. Construction Project Administration, Fifth Edition, New Jersey : Prentice Hall.

Gautama Sudargo,1999, “Undang-Undang Arbitrase Baru”, PT.Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Harahap, Yahya, 1999, ” Arbitrase”, Pustaka Kartini, Jakarta.

Hinze, J., "Construction Contracs", McGraw-Hill, 1993.

http://hauzahrinjani.com/admin/download/GantiRugi.rtf

http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html

http://www.fab.utm.my/download/ConferenceSemiar/ICCI2006S4PP11.pdf

http://www.gapeksindo.co.id/data/legaladvices/doc_legaladvices09012009.pdf

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf

http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/

http://yusranandpartner.wordpress.com/2007/11/20/sekilas-mengenai-hukum-perjanjian-somasi/

Jergeas, George F and Hartman, Francis T. 1994. “Contractors Construction Claims Avoidance”. Journal of
Construction Engineering and Manajement., September, Vol 120, No 3, 553-561.

Jervis, B.M. and, Levin, P., "Construction Law, Principles and Practice", McGraw-Hill, 1988.

Mutiara I., “Studi Sengketa Konstruksi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tesis, Magister Manajemen dan
Rekayasa Konstruksi, ITB, Bandung, 2006
Pribadi, K.S., ”Resiko Dalam Kontrak Konstruksi”, Bahan Ajar Aspek Hukum, ITB, Bandung, 2007

Soekirno, P., ”Manajemen Bisnis Konstruksi”, Bahan Ajar Manajemen Bisnis Konstruksi, ITB, Bandung, 2005

Undang-Undang No. 18/1999, tentang Jasa Konstruksi.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Wahyuni, Nur. 1996. “Klaim Akan Selalu Timbul”, Konstruksi Oktober . p70-72.

Wahyuni, Nur. 1996. “Pembayaran Tertunda Mmpengaruhi Cashflow Kontraktor”. Konstruksi. Desember, p69-
71.

Wilson, Roy L.1982. “Preventation and Resolution of Construction Claims”. Journal of Construction
Engineering and

Yasin H. Nazarkhan, 2004, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi, PT.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

Yasin, H. Nazarkhan, 2004 ”Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi”, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

Yasin, H.N., 2007. “Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi (Ringkasan), Copyright NY-SS/HK-BKK/V/07”.

Yasin, H.N., 2007. “Tinjauan Standar/Sistim Kontrak Konstruksi Internasional (FIDIC, JCT, AIA, SIA)”,Copyright
NY-SS/HK-BKK/V/07”.

Yasin, H.N., 2004. ”Mengenal Kontrak Konstruksi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
SENARAI
NING : Teguran

ance : Penerimaan

e : Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase

e ad-hoc : Arbitrasi sementara

e institusi : Suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang
mereka tentukan sendiri

e : Perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa

order : Perubahan kerja

anji : Tidak terpenuhinya janji/pelanggaran terhadap janji

t Termination: Pemutusan Kontrak

: Pihak/Orang yang berhutang

: Perselisihan/Sengketa

i : Pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri

er ; Owner; Bouwheer: Pemilik Pekerjaan

majeure : Keadaan memaksa

tee : Garansi

: Keadaan bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya peril (bencana).

ansi : Penggantian kerugian

si : Upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak

tor : Pelaksana Pekerjaan


r : Pihak/orang yang memberi hutang

ed damages : Kerugian terhapus

: Proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan

kerugian) : Kondisi negatif yang diderita akibat dari suatu peristiwa yang tidak diharapkan tetapi ternyata
terjadi.

: upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator

consent : Saling menyetujui

contract : Saling menyetujui

si : Upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan

: Penawaran

unity : Peluang/Kesempatan

encana) : Peristiwa/kejadian yang dapat menimbulkan kerugian (losses) atau bermacam kerugian.

: Ketidakpastian

ekusi : Penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui masa peringatan

Somasi : Pemberitahuan atau


pernyataan dari kreditur kepada
debitur
r : Pihak yang memasok/menyuplai

y : Kontrak terima jadi

: Putusan yang diambil akibat dari tidak hadirnya salah satu pihak

: Upaya hukum atas putusan verstek

stasi : Prestasi buruk


DAFTAR ISI

Table of Contents

COVER DALAM.................................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... iii

KATA PENGANTAR........................................................................................... iv

DAFTAR ISI........................................................................................................... v

DAFTAR TABEL.................................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. x

PETA KOMPETENSI........................................................................................... xi

TINJAUAN MATA KULIAH............................................................................. xii


MODUL 1

ASPEK HUKUM DAN KONTRAKTUAL

PENDAHULUAN

KEGIATAN BELAJAR 1.1. HUKUM PERDATA

1.1.1. Hukum Perikatan

1.1.2. Hukum Perjanjian

KEGIATAN BELAJAR 1.2. PERJANJIAN

1.2.1. Syarat Sahnya Perjanjian

1.2.2. Akibat Perjanjian

1.2.3. Berakhirnya Perjanjian

KEGIATAN BELAJAR 1.3. WANPRESTASI

KEGIATAN BELAJAR 1.4. SOMASI

KEGIATAN BELAJAR 1.5. SANKSI DAN GANTI RUGI

1.5.1. Sanksi

1.5.2. Ganti Rugi

KEGIATAN BELAJAR 1.6. HUKUM DAN KONTRAK KONSTRUKSI

LATIHAN SOAL

RANGKUMAN

TES FORMATIF

UMPAN BALIK

TINDAK LANJUT

KUNCI JAWABAN

MODUL 2

BENTUK-BENTUK KONTRAK

PENDAHULUAN
KEGIATAN BELAJAR 2.1. JENIS-JENIS KONTRAK DI INDONESIA

2.1.1. Berdasarkan bentuk imbalan

2.1.2. Berdasarkan jangka waktu pelaksanaan

2.1.3. Berdasarkan Jumlah Penggunaan

KEGIATAN BELAJAR 2.2. ISI KONTRAK

KEGIATAN BELAJAR 2.3. KONTRAK INTERNASIONAL

2.3.1. Standar Kontrak Amerika Serikat (AIA)

2.3.2. Standar/Sistem Kontrak FIDIC

2.3.3. Standar/Sistem Kontrak JCT 1980

2.3.4. Standar/Sistem Kontrak SIA

LATIHAN SOAL

RANGKUMAN

TES FORMATIF

UMPAN BALIK

TINDAK LANJUT

KUNCI JAWABAN

MODUL 3

UUJK DAN DOKUMEN KONTRAK

PENDAHULUAN

KEGIATAN BELAJAR 3.1. UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI

3.1.1. Pembentukan Kontrak (Contract Formation)

3.1.2. Pemutusan Kontrak (Contract Termination)

3.1.3. Kerugian akibat Pelanggaran Kontrak

KEGIATAN BELAJAR 3.2. DOKUMEN KONTRAK

3.2.1. Dokumen Persetujuan

3.2.2. Gambar Rencana


3.2.3. Persyaratan Umum

3.2.4. Persyaratan Khusus

3.2.5. Spesifikasi

3.2.6. Organisasi Spesifikasi Teknis

3.2.7. Permasalahan Berkaitan Dengan Spesifikasi dan Kontrak

KEGIATAN BELAJAR 3.3. KEWAJIBAN KONTRAKTOR DALAM KEGIATAN KONSTRUKSI

3.3.1. Penyampaian Laporan-Laporan

3.3.2. Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan

3.3.3. Gambar Hasil Pelaksanaan

LATIHAN SOAL

RANGKUMAN

TES FORMATIF

UMPAN BALIK

TINDAK LANJUT

KUNCI JAWABAN

MODUL 4

RESIKO DAN KLAIM KONTRAK KONSTRUKSI

PENDAHULUAN

KEGIATAN BELAJAR 4.1. RESIKO

4.1.1. Risk dan Uncertainty

4.1.2. Risk dan Opportunity

4.1.3. Manajemen Resiko

4.1.4. Jenis-Jenis Resiko

4.1.5. Penyebab Resiko Proyek Konstruksi

KEGIATAN BELAJAR 4.2. KLAIM

4.2.1. Unsur-unsur Klaim


4.2.2. Kategori klaim

4.2.3. Jenis-jenis Klaim

4.2.4. Faktor-Faktor Penyebab Klaim

4.2.5. Penyelesaian Klaim

LATIHAN SOAL

RANGKUMAN

TES FORMATIF

UMPAN BALIK

TINDAK LANJUT

KUNCI JAWABAN

MODUL 5

SENGKETA (DISPUTE) PROYEK KONSTRUKSI

PENDAHULUAN

KEGIATAN BELAJAR 5.1. SENGKETA KONSTRUKSI

5.1.1. Sengketa tidak berdasarkan adanya Kontrak Konstruksi

5.1.2. Sengketa berdasarkan Kontrak Konstruksi

KEGIATAN BELAJAR 5.2. PENYELESAIAN SENGKETA

KEGIATAN BELAJAR 5.3. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

LATIHAN SOAL

RANGKUMAN

TES FORMATIF

UMPAN BALIK

TINDAK LANJUT

KUNCI JAWABAN

MODUL 6
PENGADILAN DAN ARBITRASE

PENDAHULUAN

KEGIATAN BELAJAR 6.1. PENGADILAN

6.1.1. Tahapan Persiapan

6.1.2. Proses persidangan

6.1.3. Proses Eksekusi Putusan

KEGIATAN BELAJAR 6.2. ARBITRASE

6.2.1. Sejarah Arbitrase

6.2.2. Objek Arbitrase

6.2.3. Jenis-jenis Arbitrase

6.2.4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

KEGIATAN BELAJAR 6.3. HUBUNGAN ARBITRASE & PENGADILAN

6.3.1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional

6.3.2. Putusan Arbitrase Internasional

LATIHAN SOAL

RANGKUMAN

TES FORMATIF

UMPAN BALIK

TINDAK LANJUT

KUNCI JAWABAN

DAFTAR PUSTAKA

SENARAI

LAMPIRAN

 GBPP

 CURICULUM VITAE

Anda mungkin juga menyukai