Anda di halaman 1dari 112

TUGAS AKHIR

ANALISIS SEBARAN SALINITAS AIR BERBASIS SISTEM


INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS SUNGAI TALLO)

ANALYSYST OF WATER SALINITY SPREAD USING


GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (STUDY CASE IN
TALLO RIVER)

NURUL ANNISA
D011 17 1316

PROGRAM SARJANA DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
i

LEMBAR PENGESAHAN
ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini, nama Nurul Annisa, dengan ini

menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Sebaran Salinitas Air

Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Sungai Tallo)”,

adalah karya ilmiah penulis sendiri, dan belum pernah digunakan untuk

mendapatkan gelar apapun dan dimanapun.

Karya ilmiah ini sepenuhnya milik penulis dan semua informasi

yang ditulis dalam skripsi yang berasal dari penulis lain telah diberi

penghargaan, yakni dengan mengutip sumber dan tahun penerbitannya.

Oleh karena itu semua tulisan dalam skripsi ini sepenuhnya menjadi

tanggung jawab penulis. Apabila ada pihak manapun yang merasa ada

kesamaan judul dan atau hasil temuan dalam skripsi ini, maka penulis

siap untuk diklarifikasi dan mempertanggungjawabkan segala resiko.

Gowa, 21 Agustus 2022

Yang membuat
pernyataan,

Nurul Annisa
NIM: D011 17 1316
iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat


dan karuniaNya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini yang berjudul “Analisis
Sebaran Salinitas Air Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi
Kasus Sungai Tallo)” yang merupakan syarat dalam rangka
menyelesaikan studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Taufiq Rachman Noer dan Ibu Nur Asiah yang telah
bersedia menjadi orang tua penulis dan tiada hentinya mendoakan,
memberi perhatian, dukungan, kasih saying, serta menjadi motivasi
terbesar penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
2. Keluarga besar H. Manaf dan H. Bakri yang tanpa dukungan mereka
3. Prof. Dr. Ir. Wihardi Tjaronge, S.T., MT., selaku Ketua Departemen
Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Dr. Eng. Ir. Mukhsan Putra Hatta, ST., MT. selaku Dosen
Pembimbing I dan Kepala Laboratorium Ilmu Ukur Tanah Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin.
5. Bapak Ir. A.Subhan Mustari, ST., M.Eng selaku Dosen Pembimbing
II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
masukan kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan
penyusunan Tugas Akhir.
6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin atas bimbingan, arahan, didikan, dan motivasi
yang telah diberikan selama ini.
iv

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin


atas segala bantuannya selama penulis menempuh perkuliahan.
8. Saudara se-PLASTIS 2018 atas segala momen dan bantuannya
selama perkuliahan.
Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi semua
pihak, meskipun dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Gowa,

Penulis
v

ABSTRAK

Sungai Tallo terletak di Kota Makssar Provinsi Sulawesi yang


langsung bermuara ke laut. Informasi karakteristik salinitas di Sungai Tallo
sangat penting karena pemanfaatnya sebagai sumber air baku,
transportasi, perikanan dan sumber material konstruksi, yaitu pasir
endapan sungai. Sebagai sungai yang melintasi berbagai kabupaten
diharapkan memliki kualitas yang baik dari segi salinitas, PH, suhu, serta
kebersihannya. Namun banyaknya aktivitas pabrik menjadi salah satu
faktor eksternal yang berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan
kualitas perairan, Serta adanya estuari sungai tallo yang dinamis . Seiring
kemajuan teknologi, banyak sekali hal yang dapat memudahkan
pengukuran salinitas perairan. Salah satunya adalah pemanfaatan
teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), dimana pengolahan dan
penganalisisan dapat tercipta dari algoritma-algoritma yang dapat
digunakan untuk memetakan pola sebaran salinitas perairan dimana
biasanya digunakan didalam analisis spasial.
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan melakukan
pengukuran salinitas air pada 13 stasiun pengamatan di sepanjang sungai
metode pengukuran konduktivitas untuk memperoleh kadar salinitas yang
kemudian di interpolasi dengan 3 metode analisis yaitu analisi IDW, Spline
dan Kriging menggunakan Arcgis 10.8 untuk mendapatkan pola
penyebarannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sungai Tallo berdasarkan
analisis nilai salinitas pada aliran Sungai Tallo yang telah dilakukan
dengan analisis IDW, Spline dan Kriging diketahui bahwa analisis yang
paling efektif dengan ketersediaan data yang ada adalah analisis Spline.
Dikarenakan untuk data dengan tingkat Galat yang sedikit yaitu IDW dan
Spline. Akan tetapi, untuk IDW tidak dapat menginterpolasi seluruh daerah
Penelitian. Dan berdasarkan klasifikasi Nybakken (1992) diketahui pola
sebaran air Sungai tallo pada titik 1 hingga 3 termasuk kategori air tawar,
pada titik 4 sampai 13 termasuk kategori tipe estuary. Sedangkan
berdasarkan klasifikasi tingkat salinitas oleh Mc Lusky (1974) dapat
diketahui bahwa pola sebaran air Sungai tallo pada titik 1 sampai 2
termasuk kategori air tawar/kategori Fresh Water kemudian pada titik 3
hingga 7 termasuk kategori air payau kategori air Mesohaline, pada titik 8
sampai 10 termasuk kategori Polyhaline serta pada titik 11 sampai 13
termasuk kategori air asin kategori Marine.

Kata Kunci: karakteristik salinitas, IDW, Spline, dan Kriging.


vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH..............................................ii

KATA PENGANTAR...................................................................................iii

ABSTRAK....................................................................................................v

DAFTAR ISI.................................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR...................................................................................viii

DAFTAR TABEL..........................................................................................x

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................2

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..........................................................3

D. Batasan Masalah................................................................................3

E. Sistematika Penulisan........................................................................4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................6

A. Hidrologi.............................................................................................6

B. Kualitas Air.....................................................................................24

C. Sistem Informasi Geografis (SIG)...................................................33

D. ArcGIS.............................................................................................37

BAB 3. METODE PENELITIAN................................................................53

A. Lokasi Penelitian.............................................................................53

B. Metodologi Penelitian......................................................................54
vii

C. Populasi dan Sampel......................................................................55

D. Sumber Data...................................................................................56

E. Metode Penelitian............................................................................56

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................64

A. Situasi Sungai Tallo.........................................................................64

B. Analisis Data Spasial.......................................................................80

C. Klasifikasi Nilai Salinitas..................................................................93

D. Pola Sebaran Salinitas....................................................................97

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................102

A. Kesimpulan....................................................................................102

B. Saran.............................................................................................102

DAFTAR PUSTAKA................................................................................104
viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Komposisi Air di Bumi..............................................6


Gambar 2. Letak Aquiclude........................................................................12
Gambar 3. Model Pemetaan Data Raster.................................................34
Gambar 4. Model Pemetaan Citra Satelit..................................................34
Gambar 5. Tampilan ArcGis 10.8..............................................................36
Gambar 6. Peta Lintasan Lokasi Penelitian...............................................51
Gambar 7. Diagram Alir Metode dan Tahapan Penelitian.........................52
Gambar 8. Pengukuran Data Menggunakan Alat Salinometer
Refractometer.............................................................................................55
Gambar 9. Add Data ArcGis......................................................................56
Gambar 10. Memilih Metode Interpolasi pada ArcToolbox.......................57
Gambar 11. Input Point Features dan Z Value..........................................57
Gambar 12. Input Mask pada Enviroments...............................................58
Gambar 13. Hasil Data Raster Interpolation..............................................58
Gambar 14. Mengubah Data Raster to Polygon........................................59
Gambar 15. Merupa pada Layout View.....................................................59
Gambar 16. Export dan Menyimpan Peta.................................................60
Gambar 17. Diagram Alir Metode Interpolasi............................................61
Gambar 18. Peta Stasiun Titik Pengambilan Data....................................64
Gambar 19. Grafik Nilai TDS.....................................................................67
Gambar 20. Grafik Nilai pH........................................................................69
Gambar 21. Peta Kedalaman Sungai Tallo...............................................71
Gambar 22. Peta Pola Kecepatan Aliran Air.............................................73
Gambar 23. Grafik Nilai Pasang Surut.......................................................76
Gambar 24. Grafik Nilai Salinitas Sungai Tallo..........................................77
Gambar 25. Grafik Hubungan Interpolasi IDW..........................................80
Gambar 26. Peta Sebaran Salinitas dengan analisis IDW........................81
Gambar 27. Grafik Hubungan Interpolasi Spline.......................................83
Gambar 28. Peta Sebaran Salinitas dengan analisis Spline.....................85
ix

Gambar 29. Grafik Hubungan Interpolasi Kriging......................................87


Gambar 30. Peta Sebaran Salinitas dengan analisis Kriging....................88
Gambar 31. Peta Pola Sebaran Salinitas Air dengan interpolasi IDW......94
Gambar 32. Peta Pola Sebaran Air dengan Interpolasi Spline.................95
Gambar 33. Peta Pola Sebaran Air dengan Interpolasi Kriging................96
x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Salinitas Menurut Mc Lusky........................................28


Tabel 2. Hubungan Pertumbuhan Ikan dan pH.........................................30
Tabel 3. Titik Koordinat Stasiun Pengambilan Data..................................63
Tabel 4. Korelasi Nilai TDS dengan Salinitas............................................66
Tabel 5. Nilai TDS Sungai Tallo Berdasarkan Titik Pengamatan..............66
Tabel 6. Nilai pH Sungai Tallo Berdasarkan Titik Pengamatan.................68
Tabel 7. Kecepatan Arus Sungai Tallo......................................................72
Tabel 8. Nilai Tinggi Muka Air Pada Saat Pengambilan Data...................74
Tabel 9. Data Salinitas Sungai Tallo..........................................................77
Tabel 10. Nilai Galat Interpolasi IDW.........................................................79
Tabel 11. Nilai Galat Interpolasi Spline......................................................82
Tabel 12. Nilai Galat Interpolasi Kriging.....................................................86
Tabel 13. Data Salinitas Sungai Tallo........................................................90
Tabel 14. Tabel Klasifikasi Salinitas..........................................................91
1

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Morfologi Bumi tertutupi oleh 70% air yg memiliki peran paling

penting dalam kehidupan setiap makhluk yang hidup di muka bumi ini. Air

adalah bagian dari kehidupan dipermukaan bumi, baik itu air tanah

maupun permukaan air. Fungsi Air sebagai materi yang sangat esensial

bagi kehidupan di muka bumi digunakan untuk berbagai aktivitas

kehidupan, disekitar daerah Makassar terdapat beberapa sungai atau

anak sungai yang semuanya mengalir ke Selat Makassar, salah satu

sungai yang terdapat di Makassar yaitu Sungai Tallo.

Sungai Tallo merupakan sungai yang bermuara di Selat Makassar

melewati 3 kabupaten/kota yaitu Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan

Kabupaten Maros. Letak strategis sungai tallo mengambil peranan penting

bagi kehidupan bermasyarakat sebagai usaha budidaya perikanan,

material kontruksi serta sumber air bersih.

Sebagai sungai yang melintasi berbagai kabupaten diharapkan

memliki kualitas yang baik dari segi salinitas, PH, suhu, serta

kebersihannya. Namun banyaknya aktivitas menjadi salah satu faktor

eksternal yang berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan kualitas

perairan, Serta adanya estuari sungai tallo yang dinamis .

Hal tersebut terjadi dalam beberapa waktu mengakibatkan

transformasi terhadap struktur massa air seperti salinitas, dimana dengan


2

memetakan salinitas dapat menjadi penentu densitas air laut, mengetahui

bentuk arus alir laut, prediksi pertukaran air antara atmosfir dan lautan,

studi ekosistem laut, serta mengetahui proses biologi dan fisika yang

terjadi pada air pesisir dan sekitarnya.

Seiring kemajuan teknologi, banyak sekali hal yang dapat

memudahkan pengukuran salinitas perairan. Salah satunya adalah

pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), dimana

pengolahan dan penganalisisan dapat tercipta dari algoritma-algoritma

yang dapat digunakan untuk memetakan pola sebaran salinitas perairan

dimana biasanya digunakan didalam analisis spasial.

Sehingga untuk mengetahui pola sebaran salinitas air Sungai Tallo

diadakan penelitian dengan judul penelitian “Analisis Sebaran Salinitas

Air Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Sungai Tallo)”.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini dijabarkan dalam rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana analisis nilai salinitas air di Sungai Tallo menggunakan

analisis interpolasi IDW, Spline,dan Kriging?

2. Bagaimana pola sebaran salinitas di Sungai Tallo berdasarkan

analisis nilai salinitas menggunakan Sistem Informasi Geografis?


3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola

sebaran salinitas air di Sungai Tallo.

Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis nilai salinitas air Sungai Tallo dengan analisis

interpolasi IDW, Spline dan Kriging.

2. Mengetahui pola sebaran salinitas di Sungai Tallo berdasarkan

analisis nilai salinitas menggunakan Sistem Informasi Geografis.

D. Batasan Masalah

Untuk mengantisipasi adanya penyimpangan dalam pembahasan

ini, maka perlu adanya batasan masalah untuk memperjelas arah dari

rumusan masalah di atas dimana penelitian ini mencakup pengambilan

data langsung dilapangan dengan data salinitas yang digunakan adalah

data yang diambil secara longitudinal sungai tepatnya dibagian hilir sungai

Sungai Tallo. Pembahasan difokuskan pada analisis salinitas air di Sungai

Tallo berdasarkan peta yang dibuat dengan program ArcGIS 10.8 dimana

data yang digunakan mencakup nilai salinitas di permukaan air sungai.

E. Sistematika Penulisan

Gambaran umum mengenai isi penelitian, dituliskan sebagai

berikut: `
4

1. BAB I Pendahuluan

Dijelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah

menjelaskan permasalahan yang diamati dan dilaksanakan, tujuan

dan manfaat penelitian ini menjelaskan poin keluaran penelitian, ruang

lingkup sebagai batasan dalam penulisan, serta sistematika penulisan

tentang pengenalan isi per bab dalam penulisan ini.

2. BAB II Tinjauan Pustaka

Memaparkan teori dasar dari hidrologi, salinitas, pemetaan

spasial, SIG, dan ArcGIS.

3. BAB III Metode Penelitian

Menerangkan teknis penelitian yang dilakukan dengan

menguraikan urutan kerja dan tata cara kerja penelitian mulai dari

waktu dan lokasi penelitian, data penelitian, metode pengambilan dan

analisis data.

4. BAB IV Hasil dan Pembahasan

Menerangkan proses pengambilan data serta memberikan hasil

pengujian yang dilaksanakan sesuai dengan metode penelitian

kemudian menjelaskan data yang dianalisis menggunakan berbagai

metode interpolasi dan kemudian telah dituangkan kedalam peta dan

menentukan pola sebarannya.

5. BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini akan menerangkan tentang kesimpulan beserta saran

yang diperlukan untuk penelitian lebih lanjut dari tugas akhir ini.
5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hidrologi

Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting di muka bumi.

Air dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup baik oleh manusia, tumbuhan,

maupun hewan. Tanpa adanya air dapat dipastikan tidak akan ada

kehidupan. Ilmu yang mempelajari tentang air adalah hidrologi.

Hidrologi berasal dari bahasa Yunani, Hydro = Air, Logos = Ilmu,

yang berarti Ilmu Air. Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air di bumi

dalam segala bentukannya baik yang berupa cairan, padat, dan gas.

Lebih lanjut, hidrologi juga mempelajari karakteristik air tersebut, baik

sifat-sifat air, bentuk penyebarannya dan siklus air berlangsung di muka

bumi.

Beberapa ahli berpendapat mengenai pengertian hidrologi. Menurut

Asdak (1995), hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala

bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan

tanah. Sedangkan Arsyad (2009) berpendapat bahwa hidrologi adalah

ilmu yang mempelajari proses penambahan, penampungan, dan

kehilangan air di bumi. Singh (1992), menjelaskan pengertian hidrologi

adalah ilmu yang membahas karakteristik kuantitas dan kualitas air di

bumi menurut ruang serta waktu, termasuk proses hidrologi, pergerakan,

penyebaran, sirkulasi tampungan, eksplorasi, pengembangan maupun

manajemen.
6

Serta Linsley (1986) mengatakan bahwa hidrologi adalah ilmu yang

membicarakan tentang air di bumi baik itu mengenai kejadiannya, jenis-

jenis, sirkulasi, sifat kimia dan fisika serta reaksinya terhadap lingkungan

maupun kehidupan. Permukaan bumi sebagian besar tertutupi oleh air

sebanyak 70,9 % baik berupa perairan darat maupun perairan laut.

Perairan darat adalah semua bentuk perairan yang terdapat di darat.

Bentuk perairan yang terdapat di darat meliputi, mata air, air yang

mengalir di permukaan dan bergerak menuju ke daerah-daerah yang lebih

rendah membentuk sungai, danau, telaga, rawa, dan lain-lain yang

memiliki suatu pola aliran yang dinamakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Dari berbagai penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa air

sumur, air sungai, rawa, telaga, danau, empang dan sejenisnya termasuk

jenis perairan darat. Sedangkan perairan laut adalah bentuk perairan di

laut. Besarnya permukaan air di bumi ini tidak terlepas kaitannya dengan

siklus air. Perputaran dan pergerakan air di muka bumi ini dikenal dengan

istilah siklus hidrologi.


7

Gambar 1. Gambaran Komposisi Air di Bumi

Siklus hidrologi merupakan perputaran air di Bumi, siklus air tidak

pernah berhenti dan jumlah air di permukaan bumi tidak berkurang.

Sebaran air di bumi meliputi air laut (97 %), air tawar (3 %). Air tawar

dalam bentuk es dan salju (68,7%), air tanah (30,1%), air permukaan

(0,3%) dan lainnya (0,9%). Air permukaan terdiri dari danau (87%), lahan

basah/rawa (11%), dan sungai (2%).

A.1. Air Permukaan

Air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk

(Arsyad,1989),yaitu:aliran permukaan/Limpasan/run off adalah bagian dari

air hujan yang mengalir tipis diatas permukaan tanah. Air tersebut

mengalir ke tempat yang lebih rendah dan kemudian bermuara ke sungai

atau danau atau waduk bahkan laut.Pada akhirnya air akan terevaoprasi

lagi. Limpasan permukaan atau aliran permukaan merupakan dari curah

hujan yang mengalir di atas permukaan tanah yang mengangkut zat-zat


8

dan partikel tanah. Limpasan terjadi akibat intensitas hujan yang turun

melebihi kapasitas infiltrasi, saat laju infiltrasi terpenuhi maka air akan

mengisi cekungan yang terdapat pada permukaan tanah. Setelah

cekungan-cekungan tersebut terisi air dan penuh, maka air akan mengalir

(melimpas) di atas permukaan tanah (surface runoff). (Annisa, 2020)

Tipe-Tipe Aliran Permukaan, Limpasan terdiri dari berbagai

sumber,yaitu :

1. Aliran permukaan (Surface Flow)

Aliran permukaan adalah bagian dari air hujan yang mengalir dalam

bentuk lapisan tipis diatas permukaan tanah. Aliran permukaan

dapat terkonsentrasi

2. Aliran Antara (Inter Flow)

Aliran antara adalah aliran dalam arah lateral yang terjadi di bawah

permukaan tanah. Aliran antara terdiri dari gerakan air dan lengas

tanah secara lateral menuju elevasi yang lebih rendah.

3. Aliran Air Tanah

Aliran air tanah adalah aliran yang terjadi dibawah permukaan air

tanah ke elevasi yang lebih rendah yang akhirnya menuju sungai

atau langsung ke laut.

4. Aliran di bawah permukaan


9

Aliran dibawah permukaan yaitu air yang masuk ke dalam tanah

tetapi tidak masuk cukup dalam disebabkan adanya lapisan kedap

air. Air ini mengalir di bawah permukaan tanah kemudian ke luar

pada suatu tempat dibagian bawah atau masuk ke sungai.

Air tanah didefinisikan sebagai air yang terdapat di bawah

permukaan bumi. Salah satu sumber utamanya adalah air hujan yang

meresap ke bawah lewat lubang pori di antara butiran tanah. Air yang

berkumpul di bawah permukaan bumi ini disebut akuifer.

Ada beberapa pengertian akuifer berdasarkan pendapat para ahli,

Todd (1955) menyatakan bahwa akuifer berasal dari bahasa latin yaitu

aqui dari kata aqua yang berarti air dan kata ferre yang berarti membawa,

jadi akuifer adalah lapisan pembawa air. Herlambang (1996) menyatakan

bahwa akuifer adalah lapisan tanah yang mengandung air, di mana air ini

bergerak di dalam tanah karena adanya ruang antar butir-butir tanah.

Berdasarkan kedua pendapat, dapat disimpulkan bahwa akuifer adalah

lapisan bawah tanah yang mengandung air dan mampu mengalirkan air.

Hal ini disebabkan karena lapisan tersebut bersifat permeable yang

mampu mengalirkan air baik karena adanya pori-pori pada lapisan

tersebut ataupun memang sifat dari lapisan batuan tertentu. Contoh

batuan pada lapisan akuifer adalah pasir, kerikil, batu pasir, batu gamping

rekahan.

Terdapat tiga parameter penting yang menentukan karakteristik

akuifer yaitu tebal akuifer, koefisien lolos atau permeabilitas, dan hasil
10

jenis. Tebal akuifer diukur mulai dari permukaan air tanah (water table)

sampai pada suatu lapisan yang bersifat semi kedap air (impermeable)

termasuk aquiclude dan aquifuge. Permeabilitas merupakan kemampuan

suatu akuifer untuk meloloskan sejumlah air tanah melalui penampang 1


2
m . Nilai permeabilitas akuifer sangat ditentukan oleh tekstur dan struktur

mineral atau partikel-partikel atau butir-butir penyusun batuan. Semakin

kasar tekstur dengan struktur lepas, maka semakin tinggi batuan

meloloskan sejumlah air tanah. Sebaliknya, semakin halus tekstur dengan

struktur semakin tidak teratur atau semakin mampat, maka semakin

rendah kemampuan batuan untuk meloloskan sejumlah air tanah. Dengan

demikian, setiap jenis batuan akan mempunyai nilai permeabilitas yang

berbeda dengan jenis batuan yang lainnya. Hasil jenis adalah kemampuan

suatu akuifer untuk menyimpan dan memberikan sejumlah air dalam

kondisi alami. Besarnya cadangan air tanah atau hasil jenis yang dapat

tersimpan dalam akuifer sangat ditentukan oleh sifat fisik batuan

penyusun akuifer (tekstur dan struktur butir-butir penyusunnya) (Anonim,

2006).

Menurut Krussman dan Ridder (1970), berdasarkan kadar kedap air

dari batuan yang melingkupi akuifer terdapat beberapa jenis akuifer, yaitu:

Akuifer terkungkung (confined aquifer), akuifer setengah terkungkung

(semi confined aquifer), akuifer setengah bebas (semi unconfined aquifer),

dan akuifer bebas (unconfined aquifer). Akuifer terkungkung adalah

akuifer yang lapisan atas dan bawahnya dibatasi oleh lapisan yang kedap
11

air. Akuifer setengah terkungkung adalah akuifer yang lapisan di atas atau

di bawahnya masih mampu meloloskan atau dilewati air meskipun sangat

kecil (lambat). Akuifer setengah bebas merupakan peralihan antara

akuifer setengah terkungkung dengan akuifer bebas. Lapisan bawahnya

yang merupakan lapisan kedap air, sedangkan lapisan atasnya

merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya

masih dimungkinkan adanya gerakan air. Akuifer bebas lapisan atasnya

mempunyai permeabilitas yang tinggi, sehingga tekanan udara di

permukaan air sama dengan atmosfer. Air tanah dari akuifer ini disebut air

tanah bebas (tidak terkungkung) dan akuifernya sendiri sering disebut

water-table aquifer.

Todd (1980) menyatakan bahwa tidak semua formasi litologi dan

kondisi geomorfologi merupakan akuifer yang baik. Berdasarkan

pengamatan lapangan, akuifer dijumpai pada bentuk lahan sebagai

berikut:

a. Lintasan air (water course) Bentuk lahan di mana materialnya terdiri

dari aluvium yang mengendap di sepanjang alur sungai sebagai

bentuk lahan dataran banjir serta tanggul alam. Bahan aluvium itu

biasanya berupa pasir dan kerikil.

b. Dataran (plain) Bentuk lahan berstruktur datar dan tersusun atas

bahan aluvium yang berasal dari berbagai bahan induk sehingga

merupakan akuifer yang baik.


12

c. Lembah antar pegunungan (intermontane valley) Merupakan

lembah yang berada di antara dua pegunungan dan materialnya

berasal dari hasil erosi dan gerak massa batuan dari pegunungan

di sekitarnya.

d. Lembah terkubur (burried valley) Lembah yang tersusun oleh

material lepas yang berupa pasir halus sampai kasar.

Berdasarkan perlakuannya terhadap air tanah, terdapat lapisan-

lapisan batuan selain akuifer yang berada di bawah permukaan tanah.

Lapisan-lapisan batuan tersebut dapat dibedakan menjadi: Aquiclude,

aquitard, dan aquifuge. Aquiclude adalah formasi geologi yang mungkin

mengandung air, tetapi dalam kondisi alami tidak mampu mengalirkannya,

misalnya lapisan lempung, serpih, tuf halus, lanau. Untuk keperluan

praktis, aquiclude dipandang sebagai lapisan kedap air. Letak aquiclude

ditunjukkan pada Gambar berikut

Gambar 2. Letak Aquiclude


13

Aquitard adalah formasi geologi yang semi kedap, mampu

mengalirkan air tetap dengan laju yang sangat lambat jika dibanding

dengan akuifer. Meskipun demikian dalam daerah yang sangat luas,

mungkin mampu membawa sejumlah besar air antara akuifer yang satu

dengan lainnya. Aquifuge merupakan formasi kedap yang tidak

mengandung dan tidak mampu mengalirkan air.

5. Aliran sungai

Aliran sungai yaitu air yang mengalir di dalam saluran-saluran yang

jelas seperti sungai. Sungai yang berasal dari aliran di bawah permukaan

dan aliran air bawah tanah akanjernih, sedangkan yang bersumber utama

dari aliran permukaan akankeruh oleh sedimen yang dikandungnya.

A. 2. Pengertian Sungai

Sungai didefinisikan sebagai tempat air mengalir secara alamiah

membentuk suatu pola dan jalur tertentu dipermukaan, dan mengikuti

bagian bentangalam yang lebih rendah dari daerah sekitarnya

(Thornbury,1969). Di dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS),

sungai yang berfungsi sebagai wadah pengaliran air selalu berada di

posisi paling rendah dalam landskap bumi, sehingga kondisi sungai tidak

dapat dipisahkan dari kondisi Daerah Aliran Sungai (PP Nomor 38 Tahun

2011). Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang

berasal dari daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan air dari


14

daerah tangkapan berkaitan dengan aktivitas manusia yang ada di

dalamnya (Wiwoho, 2005 dalam Agustiningsih dkk, 2012).

Sungai adalah air tawar yang mengalir dari sumbernya di daratan

menuju dan bermuara di laut, danau atau sungai yang lebih besar, aliran

sungai merupakan aliran yang bersumber dari limpasan, limpasan yang

berasal dari hujan, gletser, limpasan dari anak-anak sungai dan limpasan

dari air tanah. (Sutrisno, 2015). Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, disebutkan bahwa Sungai adalah

alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air

beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi

kanan dan kiri oleh garis sempadan.

Sungai sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat penting,

di satu pihak mempunyai banyak manfaat, namun di lain pihak juga dapat

menimbulkan ancaman bagi kehidupan dan penghidupan manusia.

Berbagai cara pemanfaatan sungai dan lahan di sekitarnya, seperti

pertanian, perikanan, irigasi, pembangkit tenaga, transportasi, dan lain-

lain. Usaha pengamanan terhadap bahaya sungai juga dilakukan, seperti

pengendalian banjir, pencegahan, perlindungan, dan penanggulangan

kerusakan sarana dan prasarana akibat aliran sungai terus dilakukan

untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian pembinaan sungai

menyangkut seluruh kegiatan dalam bentuk usaha perlindungan,

pengembangan, penggunaan, dan pengendalian dalam rangka

meningkatkan manfaat sungai untuk memenuhi berbagai kepentingan


15

masyarakat menurut waktu dan tempat yang diinginkan. Secara alamiah

suatu sungai mempunyai beberapa fungsi, yaitu (Wicaksono, 2019):

a. Sebagai wadah alam untuk menampung air dari daerah alirannya

dan kemudian mengalirkannya secara gravitasi ke daerah yang

lebih rendah sampai dengan ke laut (sebgai komponen/wadah

pengaliran air permukaan dalam satu siklus hidrologi);

b. Mengangkut hasil erosi sedimen (lumpur, pasir, kerikil, batu) dari

daerah lahan di sekitar sungai ke hilir;

c. Menyalurkan larutan/zat kimia;

d. Pada daerah yang beriklim sub-tropis, sungai juga berfungsi

mengangkut es ke hilir;

e. Sebagai tempat hidup biota air – ekosistem (fauna-ikan, burung,

dan serangga serta fauna tumbuh-tumbuhan air);

f. Mengangkut dan membawa air buangan/kotoran alamiah dari

daerah aliran terutama benda apung (pohon/dahan, sampah).

A.3. Morfologi dan Jenis Sungai

Morfologi sungai merupakan geometri (bentuk dan ukuran), jenis,

sifat dan perilaku sungai dengan segala aspek dan perubahannya dalam

dimensi ruang dan waktu. Proses perubahan dari morfologi sungai telah

terjadi sejak terbentuk sungai itu sendiri dan berlangsung terus-menerus.

Perubahan morfologi akan terjadi sangat cepat akibat dari perubahan tata

guna lahan. Perubahan tata guna lahan dapat berdampak pada


16

berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatkan aliran air permukaan

(run-off) yang berujung pada meningkatnya debit aliran sungai. faktor lain

yang menyebabkan laju perubahan morfologi sungai adalah pasang-surut

(back water), material pembentuk tebing sungai serta transportasi.

Perubahan morfologi sungai yang sangat ekstrem akan berbahaya

terhadap aset di wilayah sekitar sungai (Kurniawan dkk, 2017).

Morfologi sungai merupakan ukuran dan bentuk sungai sebagai hasil

reaksi terhadap perubahan kondisi hidraulik dari aliran. sehingga sungai

akan leluasa dalam menyesuaikan ukuran-ukuran dan bentuknya baik

bentuk geometri atau kekasaran dasar sungai. Bagian dasar dan tebing

sungai akan dibentuk oleh material yang diangkut aliran sungai yang

berasal dari pelapukan geologi pada periode yang panjang. Bentuk sungai

selalu berubah mengikuti karakteristik alami yang merupakan faktor

penting dalam proses pembentukan sungai. karakteristik alami tersebut

adalah iklim dan fisiografi daerah di wilayah sungai, yang secara

pembagian besar terdiri dari topografi DAS, formasi batuan, daerah

tangkapan hujan dan vegatasi (Kurniawan dkk, 2017).

Klasifikasi umum tipe sungai yang dibedakan berdasarkan bentuk

denah alur sungainya (menurut Coleman 1977, Miall 1977, Brice 1984)

dapat dibagi menjadi: sungai lurus; sungai berliku; sungai berjalin; dan .

sungai bercabang.

Sungai dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa tinjauan, yakni

berdasarkan aspek sifat aliran sungai, kandungan air pada tubuh sungai,
17

maupun struktur geologi dan tektonik suatu daerah. Berdasarkan sifat

alirannya sungai dikelompokkan menjadi dua yaitu sungai internal dan

sungai eksternal.

1. Sungai internal adalah sungai yang alirannya berasal dari bawah

permukaan seperti terdapat pada daerah karst, endapan eolian,

atau gurun pasir ;

2. Sungai eksternal adalah sungai yang alirannya berasal dari aliran air

permukaan yang membentuk sungai, danau, dan rawa.

Berdasarkan sifat alirannya, aliran sungai pada daerah penelitian

merupakan air yang mengalir pada permukaan bumi yang membentuk

sungai. Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai (Thornbury, 1969)

maka jenis sungai dapaat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

a. Sungai permanen/normal (perenial), merupakan sungai yang

volume airnya sepanjang tahun selalu normal.

b. Sungai periodik (intermitten), merupakan sungai yang kandungan

airnya tergantung pada musim, dimana pada musim hujan debit

alirannya menjadi besar dan pada musim kemarau debit alirannya

menjadi kecil.

c. Sungai episodik (ephermal), merupakan sungai yang hanya dialiri

air pada musim hujan, tetapi pada musim kemarau sungainya

menjadi kering.
18

Tipe sungai dalam bentuk denah secara umum dibagi menjadi tiga

macam, yaitu lurus, berliku, dan berjalin, atau kombinasi dari ketiga tipe

tersebut. Sungai mencapai bagian tengah sebagai sungai berjalin di

bagian ruas hulu, kemudian berubah secara perlahan menjadi sungai

berliku atau kadang-kadang berbentuk delta menuju bagian ruas bawah.

Delta yang terbentuk pada kasus muara merupakan pengaruh dari pasang

surut air laut (Kumala, Y. E., 2018 dalam Wicaksono, 2019).

Morfologi sungai sangat berkaitan dengan stadia sungai.

Penentuan stadia sungai daerah penelitian didasarkan atas kenampakan

lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi

yang bekerja dan proses sedimentasi di beberapa tempat di sepanjang

sungai. Stadia atau tahapan sungai dapat dibagi menjadi lima, yakni

stadia sungai awal, stadia muda, stadia dewasa, stadia tua, dan

peremajaan sungai (rejuvination). (Noor, 2012).

A.4. Muara Sungai

Muara Sungai adalah bagian hilir sungai yang berhubungan

langsung dengan laut. Menurut Bambang Triatmojo (1999), mulut sungai

merupakan bagian paling hilir dari muara sungai yang dipengaruhi pasang

surut (Dharmawan, 2014).

Bagian dari sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut adalah

estuari. Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran/pembuangan debit


19

sungai, terutama pada waktu banjir ke laut. Menurut Yuwono (1994)

dalam Triatmodjo (1999) muara sungai dapat dibedakan menjadi tiga

kelompok yang tergantung faktor dominan yang mempengaruhinya yaitu,

gelombang, debit sungai, dan pasang surut (Wicaksono, 2019).

a. Muara Yang Didominasi Gelombang Laut

Gelombang pasir yang besar pada pantai berpasir dapat

menimbulkan angkutan sedimen, baik dalam arah tegak lurus

maupun sejajar pantai. Angkutan sedimen sejajar pantai lebih

dominan dibandingkan dengan tegak lurus pantai (Wicaksono,

2019).

b. Muara Yang Didominasi Debit Sungai

Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun

cukup besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil.

Sungai tersebut membawa angkutan sedimen yang cukup besar

dari hulu. Sedimen yang sampai di muara sungai merupakan

sedimen dengan diameter partikel yang sangat kecil. Saat kondisi

air surut, sedimen akan terdorong ke muara dan tersebar di laut,

sedangkan saat air pasang, kecepatan aliran bertambah besar

dan sebagian sedimen dari laut masuk kembali ke sungai bertemu

dengan sedimen yang berasal dari hulu (Wicaksono, 2019).

c. Muara Yang Didominasi Pasang Surut

Pada saat kondisi pasang yang tinggi, volume air yang masuk ke

sungai sangat besar. Air tersebut akan terakumulasi dengan air


20

dari hulu sungai. Pada saat kondisi surut, volume air yang sangat

besar tersebut mengalir keluar dalam periode waktu tertentu

tergantung tipe pasang surutnya (Wicaksono, 2019).

A.5. Pasang Surut

1. Pengertian Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi (gerakan naik turunnya) muka

air laut secara berirama karena adanya gaya tarik benda-benda di

langit, terutama bulan dan matahari terhadap massa air laut di bumi

(triatmodjo, 1999). Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang

surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya

permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi

gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi

terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Menurut hemat saya,

pasang surut air laut adalah peristiwa perubahan tinggi rendahnya

permukaan laut secara periodik yang dipengaruhi oleh gaya

gravitasi benda-benda astronomi, terutama matahari dan bulan.

Pasang surut terdiri dari dua kata, yaitu pasang yang berarti

keadaan saat permukaan air laut lebih tinggi daripada rata-rata,

dan surut yang berarti keadaan saat permukaan air laut lebih

rendah daripada rata-rata. Di Indonesia istilah pasang surut sering

disingkat dengan pasut. Pasang surut timbul akibat adanya

gerakan dari benda-benda di angkasa yaitu perputaran (rotasi)


21

bumi pada sumbunya, peredaran (revolusi) bulan mengitari bumi

serta peredaran (revolusi) bulan mengitari matahari. Gerakan

benda-benda angkasa tersebut akan menyebabkan terjadinya

beberapa jenis gaya di tiap lokasi di permukaam bumi, gaya-gaya

tersebut diketahui sebagai gaya utama pembangkit pasang surut

muka air laut. Masing-masing gaya akan menimbulkan pengaruh

terhadap kejadian pasang surut yang disebut dengan komponen

utama konstanta pasang surut dan gaya tersebut merupakan

pengaruh matahari maupun bulan atau kombinasi diantara

keduanya. Kejadian yang sebenarnya dari gerakan pasang air laut

sangat berbelit-belit, sebab gerakan tersebut tergantung pula pada

rotasi bumi, angin, arus laut dan keadaan-keadaan lain yang

bersifat setempat. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah

bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang

surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut

ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut antara sumbu rotasi bumi dan

bidang orbital bulan dan matahari (Wardiyatmoko & Bintarto,1994).

2. Jenis-Jenis Pasang Surut

Umumnya pasang-surut terbagi menjadi dua yaitu pasang

surut purnama (spring tides) dan pasang-surut perbani (neep tides).

spring tides terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam

suatu garis lurus (matahari dan bulan dalam keadaan oposisi).

Pada saat itu, akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan
22

pasang rendah yang sangat rendah, karena kombinasi gaya tarik

dari matahari dan bulan bekerja saling menguatkan. Pasang-surut

purnama ini terjadi dua kali setiap bulan, yakni pada saat bulan

baru dan bulan purnama (full moon). Sedangkan pasang-surut

perbani (neep tides) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari

membentuk sudut tegak lurus, yakni saat bulan membentuk sudut

90° dengan bumi. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang

rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang-surut perbani ini

terjadi dua kali, yaitu pada saat bulan 1/4 dan 3/4 (Wardiyatmoko &

Bintarto, 1994).

Pasang-surut laut dapat didefinisikan pula sebagai

gelombang yang dibangkitkan oleh adanya interaksi antara bumi,

matahari dan bulan. Puncak gelombang disebut pasang tinggi

(High Water/RW) dan lembah gelombang disebut surut/pasang

rendah (Low Water/LW). Perbedaan vertikal antara pasang tinggi

dan pasang rendah disebut rentang pasang-surut atau tunggang

pasut (tidal range) yang bisa mencapai beberapa meter hingga

puluhan meter. Periode pasang-surut adalah waktu antara puncak

atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang

berikutnya. Harga periode pasang-surut bervariasi antara 12 jam 25

menit hingga 24 jam 50 menit (Setiawan, 2006).


23

Menurut Wibisono (2005), sebenarnya hanya ada tiga tipe

dasar pasang-surut yang didasarkan pada periode dan

keteraturannya, yaitu sebagai berikut:

1. Pasang-surut tipe harian tunggal (diurnal type): yakni bila dalam

waktu 24 jam terdapat 1 kali pasang dan 1 kali surut.

2. Pasang-surut tipe tengah harian/ harian ganda (semi diurnal

type): yakni bila dalam waktu 24 jam terdapat 2 kali pasang dan

2 kali surut.

3. Pasang-surut tipe campuran (mixed tides): yakni bila dalam

waktu 24 jam terdapat bentuk campuran yang condong ke tipe

harian tunggal atau condong ke tipe harian ganda.

Tipe pasang-surut ini penting diketahui untuk studi lingkungan,

mengingat bila di suatu lokasi dengan tipe pasang-surut harian

tunggal atau campuran condong harian tunggal terjadi

pencemaran, maka dalam waktu kurang dari 24 jam, pencemar

diharapkan akan tersapu bersih dari lokasi. Namun pencemar akan

pindah ke lokasi lain, bila tidak segera dilakukan clean up. Berbeda

dengan lokasi dengan tipe harian ganda, atau tipe campuran

condong harian ganda, maka pencemar tidak akan segera

tergelontor keluar. Dalam sebulan, variasi harian dari rentang

pasang-surut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan.

Rentang pasang-surut juga bergantung pada bentuk perairan dan

konfigurasi lantai samudera. Pasang-surut (pasut) di berbagai


24

lokasi mempunyai ciri yang berbeda karena dipengaruhi oleh

topografi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk dan sebagainya.

B. Kualitas Air

Kualitas adalah karakteristik mutu yang diperlukan untuk

pemanfaatan tertentu dari berbagai sumber air. Kriteria mutu air

merupakan suatu dasar baku mengenai syarat kualitas air yang dapat

dimanfaatkan. Baku mutu air adalah suatu peraturan yang disiapkan oleh

suatu negara atau suatu daerah yang bersangkutan. kualitas air dapat

diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut.

Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji

kenampakan (bau dan warna).

B.1. Salinitas

1. Pengertian Salinitas

Salinitas merupakan jumlah gram garam yang terlarut dalam

satu kilogram air laut (Millero and Sons, 1992). Salinitas seringkali

diartikan sebagai kadar garam dari air laut, walaupun hal tersebut

tidak tepat karena sebenarnya ada perbedaan antara keduanya.

Definisi tentang salinitas pertama kali dikemukakan oleh C.

FORCH; M. KNUDSEN dan S.PX. SOREN-SEN tahun 1902.

Salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari semua zat

padat yang terlarut dalam 1 kilo gram air laut jikalau semua brom

dan yodium digantikan dengan khlor dalam jumlah yang setara;


25

semua karbonat diubah menjadi oksidanya dan semua zat organik

dioksidasikan.

Pengertian salinitas air yang lebih mudah dipahami adalah

jumlah kadar garam yang terdapat pada suatu perairan. Hal ini

dikarenakan salinitas air ini merupakan gambaran tentang

padatan total didalam air setelah semua karbonat dikonversi

menjadi oksida, semua bromida dan iodide digantikan oleh

khlorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Nilai salinitas

dinyatakan dalam g/kg yang umumnya dituliskan dalam ‰(permil)

atau ppt yaitu singkatan dari part-per-thousand.

Kadar garam yang terlarut dalam salinitas yang dimaksud

adalah berbagai ion yang terlarut dalam air termasuk garam

dapur (NaCl). Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion

utama yaitu natrium (Na), klorida (Cl), kalsium (Ca), magnesium

(Mg), kalium (K), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3) (Kunarso,

2020). Zat zat lain di dalam air tidak terlalu berpengaruh terhadap

salinitas, tetapi zat zat tersebut juga penting untuk keperluan

ekologis yang lain (Boyd, 1991, dalam Apriyanto, 2012).

Konsentrasi garam dikontrol oleh batuan alami yang

mengalami pelapukan, tipe tanah, dan komposisi kimia dasar

perairan. Salinitas merupakan indikator utama untuk mengetahui

penyebaran massa air lautan sehingga penyebaran nilai-nilai

salinitas secara langsung menunjukkan penyebaran dan


26

peredaran massa air dari satu tempat ke tempat lainnya.

Penyebaran salinitas secara alamiah dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain curah hujan, pengaliran air tawar ke laut secara

langsung maupun lewat sungai dan gletser, penguapan, arus laut,

turbulensi percampuran, dan aksi gelombang (Meadows dan

Campbell.,1988; Illahude, 1999).

Di samudera salinitasnya berkisar antara 34-35 ‰ (Nontji,

1993). Variasi salinitas di permukaan air sangat mirip dengan

keseimbangan evaporasi dan presipitasi (Meadow dan Campbell.

1988). Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme

perairan terutama yang berada pada jangkauan yang sempit.

Densitas air laut naik sejalan dengan kenaikan salinitas dan

tekanan serta penurunan temperatur. Satu bagian per 1000 garam

kenaikan densitasnya sekitaar 0,8 bagian per 1000 gram

(Meadows dan Campbell, 1988)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Salinitas

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas yaitu:

a. Pola Sirkulasi Air

Pola sirkulasi air membantu penyebaran salinitas. Karena pola

penyebaran yang berbeda menyebabkan salinitas yang berbeda

disetiap perairan.

b. Penguapan (Evaporasi)
27

Semakin tinggi tingkat penguapan di daerah tersebut, maka

salinitasnya pun bertambah atau sebaliknya karena garam-garam

tersebut tertinggal di air contohnya di Laut Merah kadar

salinitasnya mencapai 40%.

c. Curan Hujan (Presipitasi)

Semakin tinggi tingkat curah hujan di daerah tersebut, maka

salinitasnya akan berkurang atau sebaliknya hal ini dikarenakan

terjadinya pengenceran oleh air hujan.

d. Aliran Sungai di Sekitar (Run Off)

Semakin banyak aliran sungai yang bermuara pada laut maka

salinitasnya akan menurun dan sebaliknya (Taufiqullah. 2015).

3. Jenis-Jenis Perairan Berdasarkan Salinitasnya

Jenis-jenis perairan berdasarkan salinitasnya meliputi

perairan air tawar, air laut, air payau, dan perairan hipersaline.

a. Perairan tawar (fresh water) yaitu perairan yang memiliki

salinitas berkisar antara 0 – 5 ppt. Contohnya pada air minum,

air sungai, sumur, dan sebagainya.

b. Perairan payau (brakish water) yaitu perairan yang memiliki

salinitas berkisar antara 5 – 30 ppt, contohnya pada daerah

hutan bakau, muara sungai, dan daerah tambak.

c. Air laut yaitu perairan yang memiliki salinitas berkisar antara 30

– 50 ppt. Contohnya laut lepas.


28

d. Perairan hipersaline (brine water) yaitu perairan yang memiliki

salinitas > 50 ppt. contohnya laut yang dekat kutub (Taufiqullah.

2015).

Penentuan jenis air diklasifikasikan berdasarkan tingkat

salinitasnya. Berikut klasifikasi menurut Mc Lusky (2013).

Tabel 1. Klasifikasi Salinitas Menurut Mc Lusky

B.2. TDS (Total Dissolve Solid)

TDS adalah singkatan dari Total Dissolve Solid yang dalam Bahasa

Indonesia berarti jumlah zat padat terlarut. TDS merupakan indikator dari

jumlah partikel atau zat tersebut, baik berupa senyawa organik maupun

non-organik. Pengertian terlarut mengarah kepada partikel padat di dalam


29

air yang memiliki ukuran di bawah 1 nano-meter. Satuan yang digunakan

biasanya ppm(part per million) atau yang sama dengan miligram per liter

(mg/l) untuk pengukuran konsentrasi massa kimiawi yang menunjukkan

berapa banyak gram dari suatu zat yang ada dalam satu liter dari cairan.

Zat atau partikel padat terlarut yang ditemukan dalam air dapat berupa

natrium (garam), kalsium, magnesium, kalium, karbonat, nitrat, bikarbonat,

klorida dan sulfat.

TDS merupakan parameter fisik air baku dan ukuran zat terlarut,

baik zat organik maupun anorganik yang terdapat pada larutan. TDS

mencakup jumlah material dalam air material ini dapat berupa karbonat,

bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium, magnesium, natrium, ion-

ion organik, dan ion-ion lainnya. Kandungan TDS dalam air juga dapat

memberi rasa pada air yaitu air menjadi seperti garam, sehingga jika air

yang mengandung TDS terminum, maka akan terjadi akumulasi garam di

dalam ginjal manusia, sehingga lama-kelamaan akan mempengaruhi

fungsi fisiologis ginjal (Krisna,2011).

TDS atau padatan terlarut adalah padatan-padatan yang

mempunyai ukuran lebih kecil dari padatan tersuspensi. Bahan-bahan

terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika

berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya akan

menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air dan akhirnya

berpengaruh terhadap proses fotosintesis diperairan. Tingginya kadar

TDS apabila tidak dikelola dan diolah dapat mencemari badan air. Selain
30

itu juga dapat mematikan kehidupan aquatik, dan memiliki efek samping

yang kurang baik pada kesehatan manusia karena mengandung bahan

kimia dengan konsentrasi yang tinggi antara lain fosfat, surfaktan,

ammonia, dan nitrogen serta kadar padatan tersuspensi maupun terlarut,

Jurnal Tanah dan kekeruhan, BOD5, dan COD yang tinggi. (Ahmad dan

El-Dessouky, 2008)

B.3. pH (Aktivitas Ion Hidrogen)

Dalam Bahasa Indonesia pH, lebih dikenal sebagai derajat

kebasaan/derajat keasaman. Derajat keasaman Menurut Barus

(Agustiawan, 2011: 13) derajat keasaman (pH) adalah nilai konsentrasi

ion hidrogen dalam suatu larutan atau jika dinyatakan secara matematis

didefinisikan sebagai logaritma resiprokal ion hydrogen (pH :log 1/H).

Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion H akan

menunjukkan apakah bersifat asam atau basa. Aspek yang diukur adalah

kemampuan suatu larutan dalam memberikan ion hydrogen. Skala asam-

basa ini mempunyai variasi nilai 0 –14. Nilai pH yang lebih rendah

menunjukan keasaman yang lebih tinggi. Apabila angka pH kurang dari 7

menunjukkan air bersuasana asam, sedangkan jika lebih dari 7

menunjukkan air dalam suasana basa.


31

Tabel 2. Hubungan Pertumbuhan Ikan dan pH

pH air Kondisi Kultur


൏4 Air bersifat toksik
5 - 6,5 Pertumbuhan ikan terhambat; pengaruh kepada ketahan tubuh
6,5 - 9,0 Pertumbuhan Optimal
൐ 9,0 Pertumbuhan ikan terhambat

C. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Prahasta (2002:55) SIG adalah sistem komputer yang

digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan

menganalisis informasi-informasi yang berhubungan dengan permukaan

bumi. Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografi merupakan

gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi, dan geografi.

Dengan demikian, pengertian terhadap ketiga unsur-unsur pokok ini akan

sangat membantu dalam memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur

pokoknya, maka jelas SIG merupakan salah satu sistem informasi.

SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur

informasi geografi. Istilah “geografis” merupakan bagian dari spasial

(keruangan). Kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian atau

tertukar hingga timbul istilah yang ketiga, geospasial. Ketiga istilah ini

mengandung pengertian yang sama di dalam konteks SIG. Penggunaan

kata “geografis” mengandung pengertian suatu persoalan mengenai bumi:

permukaan dua atau tiga dimensi. Istilah “informasi geografis”

mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak

di permukaan bumi, pengetahuan mengenai posisi dimana suatu objek


32

terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-

keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya

diberikan atau diketahui (Wibowo, 2015).

1. Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan kompleks yang

terintegrasi dengan sistem-sistem komputer lain di tingkat fungsional dan

jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Bafdal, dkk.,

2011):

a. Perangkat Keras

Pada saat ini perangkat SIG dapat digunakan dalam berbagai

platform perngkat keras mulai dari PC Desktop, workstation

hingga multiuser host yang digunakan oleh banyak orang secara

bersamaan dalam jaringan luas. Perangkat keras yang sering

digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer,

printer, plotter dan scanner.

b. Perangkat Lunak

SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun

secara modular dimana basis data memegang peranan kunci.

Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan

perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, hingga tidak

mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan

modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi

sendiri.
33

c. Data dan Informasi Geografi

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data serta informasi

yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara

mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain

maupun secara langsung dengan cara mendijitasi

d. Manajemen

Proyek SIG akan baik bila ditangani oleh orang yang yang

memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan. Susunan

keahlian kemampuan pengelola SIG sangat penting untuk

menjalankan fungsi SIG. Biasanya organisasi pengelola ini

menyebar dari grup yang mengelola hal-hal berkait dengan

manajemen dan yang berkaitan dengan teknis. Secara sederhana

keahlian yang penting dalam suatu SIG adalah manajer, ahli

database, kartografi, manajer sistem, programmer dan teknisi

untuk pemasukan dan pengeluaran data.

2. Model Data Dalam Sistem Informasi Geografis

Data digital geografis diorganisir menjadi dua bagian sebagai

berikut:

a) Data Spasial:

Data spasial adalah data yang menyimpan

kenampakankenampakan permukaan bumi, seperti jalan, sungai, dan

lain-lain. Model data spasial dibedakan menjadi dua yaitu model data

vektor dan model data raster. Model data vektor diwakili oleh simbol-
34

simbol atau selanjutnya didalam SIG dikenal dengan feature, seperti

feature titik (point), featuregaris (line), dan featurearea (surface).

Gambar 3. Model Pemetaan Data Raster

Model data raster merupakan data yang sangat sederhana, dimana

setiap informasi disimpan dalam grid, yang berbentuk sebuah bidang.

Grid tersebut disebut dengan pixel. Data yang disimpan dalam format

in data hasil scanning, seperti citra satelit digital.


35

Gambar 4. Model Pemetaan Citra Satelit

b) Data Non Spasial/Data Atribut: Data non Spasial / data atribut

adalah data yang menyimpan atribut dari kenampakan-

kenampakan permukaan bumi.

3. Manfaat Sistem Informasi Geografis

Dengan SIG akan dimudahkan dalam melihat fenomena kebumian

dengan perspektif yang lebih baik. SIG mampu mengakomodasi

penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan

integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta

bahkan data statistik. Dengan tersedianya komputer dengan kecepatan

dan kapasitas ruang penyimpanan besar seperti saat ini, SIG akan

mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya.

SIG juga mengakomodasi dinamika data, pemutakhiran data yang akan

menjadi lebih mudah.


36

D. ArcGIS

ArcGIS merupakan software GIS yang dikeluarkan oleh

Environmental Systems Research Institute (ESRI). Proses instalasi

ArcGIS akan menginstal beberapa program seperti ArcMap, ArcCatalog,

ArcGlobe dan ArcScene, dimana masing-masing memiliki fungsi yang

berbeda. Selain itu juga terdapat beberapa fungsi untuk proses

programming dengan Phyto, fungsi licence manager, dan beberapa tools

lainnya (Musnanda, 2015).

Gambar 5. Tampilan ArcGis 10.8

ArcGIS menyediakan kerangka yang scalable dimana dapat

disesuaikan menurut keperluan, yang mampu diimplementasikan untuk

single users maupun multiusers dalam aplikasi desktop, server, dan

internet (Web). ArcGIS Desktop merupakan platform dasar yang dapat

digunakan untuk mengelola suatu proyek dan alur kerja SIG yang komplek

serta dapat digunakan untuk membangun data, peta, model, serta

aplikasi. ArcGIS Desktop mencakup ArcCatalog, ArcMap, ArcToolbox,


37

ArcGlobe, dan ModelBuilder. Dengan menggunakan aplikasi ini pengguna

dapat menjalankan berbagai macam proses SIG dari yang paling simpel

hingga tingkat lanjut (Hartoyo dkk, 2010).

Penggunaan ArcGIS memiliki peran penting pemetaan dalam

pengolahan data vektor maupun Raster seperti overlay, intersection dan

interpolasi.

D.1 Interpolasi

Menurut Anderson (2001), interpolasi adalah suatu motode atau

fungi matematika yang menduga nilai pada lokasi – lokasi yang datanya

tidak tersedia. Interpolasi spasial mengangsumsikan bahwa atribut data

bersifat kontinyu di dalam ruang (space) dan atribut ini saling

berhubungan (dependence) secara spasial. Logika dalam interpolasi

spasial adalah bahwa nilai titik observasi yang berdekatan akan memiliki

nilai yang sama atau mendekati dibandingkan dengan nilai di titik yang

lebih jauh (Prasati dkk, 2005).

Interpolasi data spasial secara khusus bertujuan untuk interpolasi

dari dua titik. Interpolasi spasial adalah prosedur dalam memperkirakan

nilai sebuah variabel lapangan yang tidak termasuk dalam sampel

penelitian dan berlokasi di dalam area yang dicakup oleh lokasi sampel

atau dalam kata – kata sederhana, diberikan dalam rangka untuk

menentukan nilai – nilai yang dihasilkan pada bagian yang tidak di

sampel. Tipe interpolasi terbagi dua:


38

a. Interpolasi diskret (Discrete Interpolasi) adalah interpolasi yang

menggunakan asumsi bahwa nilai diantara titik kontrol diketahui

nilainya bukan merupakan nilai yang kontinyu. Tipe interpolasi

diskret antara lain: Zero-order interpolation, thiessen polygons,

voronoi polygons dan Dirichlet cells.

b. Interpolasi kontinyu (Continues interpolation) adalah interpolasi

dengan menggunakan asumsi bahwa nilai di antara titik kontrol

yang diketahui nilainya adalah kontinyu. Tipe interpolasi kontinyu

antara lain: Inverse distance, kriging dan spline.

Metode yang dapat dijalankan dan umum digunakan pada software

ArcGIS yaitu Inverse Distance Weighting (IDW), Spline. dan Kriging

1. Inverse Distance Weighting (IDW)

IDW adalah metode interpolasi yang mengasumsikan bahwa

semakin dekat jarak suatu titik terhadap titik yang tidak diketahui nilainya,

maka semakin besar pengaruhnya. IDW menggunakan nilai yang terukur

pada titik-tiik di sekitar lokasi tersebut, untuk memperkirakan nilai variabel

pada lokasi yang dimaksud. Asumsi dalam metode IDW adalah titik yang

lokasinya lebih dekat dari lokasi yang diperkirakan akan lebih berpengaruh

daripada titik yang lebih jauh jaraknya. Oleh karena itu, titik yang jaraknya

lebih dekat diberi bobot yang lebih besar (Indarto,2013).

Metode Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan metode

deterministik yang sederhana dengan mempertimbangkan titik

disekitarnya (NCGIA, 1997). Metode interpolasi IDW mengasumsikan


39

bahwa semakin dekat jarak suatu titik terhadap titik yang tidak diketahui

nilainya, maka semakin besar pengaruhnya. IDW menggunakan nilai yang

terukur pada titik-tiik di sekitar lokasi tersebut, untuk memperkirakan nilai

variabel pada lokasi yang dimaksud.

Asumsi yang dipakai dalam metode IDW adalah titik yang lokasinya

lebih dekat dari lokasi yang diperkirakan akan lebih berpengaruh dari pada

titik yang lebih jauh jaraknya. Oleh karena itu, titik yang jaraknya lebih

dekat diberi bobot yang lebih besar. Karena itu jarak berbanding terbalik

dengan nilai rata-rata tertimbang (weighting average) dari titik data yang

ada di sekitarnya. Efek penghalusan dapat dilakukan dengan faktor

pangkat (Johnston dkk, 2001). Nilai power pada interpolasi IDW ini

menentukan pengaruh terhadap titik – titik masukan, dimana pengaruh

akan lebih besar pada titik – titik yang lebih dekat sehingga menghasilkan

permukaan yang lebih bagus. Bobot yang digunakan untuk rata-rata

adalah turunan fungsi jarak antara titik sampel dan titik yang diinterpolasi.

Metode IDW menggunakan rata-rata dari data sampel sehingga

nilainya tidak bisa lebih kecil dari minimal atau lebih besar dari data

sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, sampel data yang digunakan harus

rapat yang berhubungan dengan variasi lokal. Jika sampelnya agak jarang

dan tidak merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang

diinginkan (Philip dan Watson, 1985).


40

Metode IDW merupakan metode interpolasi konvesional yang

memperhitungkan jarak sebagai bobot. Jarak yang dimaksud disini adalah

jarak (datar) dari titik data (sampel) terhadap blok yang akan diestimasi.

Jadi semakin dekat jarak antara titik sampel dan blok yang akan

diestimasi maka semakin besar bobotnya, begitu juga sebaliknya.

Persamaan model interpolasi IDW disajikan sebagai berikut :

s 1
∑i=1 zi
d ki
z 0= (1)
s 1
∑i=1 k
di

Keterangan :

z 0 = Perkiraan nilai pada titik 0

z i= Apakah nilai z pada titik kontrol i



d i = Jarak antara titik i dan titik 0

K = Semakin besar k, semakin besar pengaruh poin tetangga

S = Jumlah titik S yang digunakan

Kerugian dari metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas

pada nilai yang ada pada data sampel. Pengaruh dari data sampel

terhadap hasil interpolasi disebut sebagi isotropic. Dengan kata lain,

karena metode ini menggunakan rata rata dari data sampel sehingga

nilainya tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari data

sampel. (Watson et. al,1985).


41

Fungsi umum pembobotan adalah inverse dari kuadrat jarak, dan

persamaan ini digunakan pada metode Inverse Distance Weighted (IDW)

dalam formula berikut ini (Azpurua dan Ramos, 2010).

𝑍=Σ𝑤𝑖𝑁𝑖=1 (2)

Dimana 𝑧𝑖 (i = 1,2,3, ... N) merupakan nilai ketinggian data yang ingin

diinterpolasi sejumlah N titik, dan bobot (weight) 𝑤𝑖 yang dirumuskan

sebagai:

𝑤𝑖=ℎ𝑖 −𝑝Σℎ𝑗 – ....................................................................... (3)

p adalah nilai positif yang dapat diubah-ubah yang disebut dengan

parameter power (biasanya bernilai 2) dan ℎ𝑗 merupakan jarak dari

sebaran titik ke titik interpolasi yang dijabarkan sebagai:

ℎ𝑖=√(𝑥−𝑥𝑖)2+(𝑦−𝑦𝑖)2 (4)

(x,y) adalah koordinat titik interpolasi dan (𝑥𝑖, 𝑦𝑖 ) adalah koordinat untuk

setiap sebaran titik. Fungsi peubah weight bervariasi untuk keseluruhan

data sebaran titik sampai pada nilai yang mendekati nol dimana jarak

bertambah terhadap sebaran titik.

Kelebihan dari metode interpolasi IDW adalah karakteristik

interpolasi dapat dikontrol dengan membatasi titik-titik masukkan yang

digunakan dalam proses interpolasi. Titik-titik yang terletak jauh dari

sampel dan diperkirakan memiliki korelasi spasial yang kecil atau bahkan

tidak memiliki korelasi spasial dapat dihapus dari perhitungan. Titik-titik

yang digunakan dapat ditentukan secara langsung, atau ditentukan

berdasarkan jarak yang ingin diinterpolasi. Kelemahan dari interpolasi


42

IDW adalah tidak dapat mengestimasi nilai diatas nilai maksimum dan di

bawah minimum dari titik-titik sampel (Pramono, 2008).

2. Metode Spline

Spline merupakan metode yang mengestimasi nilai dengan

menggunakan fungsi matematika yang meminimalisir total kelengkungan

permukaan. Dalam ArcGIS, interpolasi spline termasuk dalam fungsi radial

dasar atau Base Function Radial (RBF). Teknik ini biasa digunakan dalam

GIS, namun dengan ketentuan data memiliki varian rendah. Metode

interpolasi spline memiliki kemampuan dalam memprediksi nilai minimum

dan maksimum dengan efek stretching data (Kurniadi dkk, 2018).

Interpolasi Spline merupakan salah satu metode aproksimasi

tersebut. Nilai yang dihasilkan dari teknik aproksimasi ini merupakan nilai

hampiran dari nilai sebenarnya (nilai sejati) sehingga muncul

ketidaksesuaian dengan nilai sejatinya. Selanjutnya selisih antara nilai

sejati dengan nilai hampiran disebut galat.

Metode Spline merupakan metode yang mengestimasi nilai dengan

menggunakan fungsi matematika yang meminimalisir total kelengkungan

permukaan. Dalam ArcGIS, interpolasi Spline termasuk dalam fungsi

radial dasar atau Base Function Radial (RBF). Teknik ini biasa digunakan

dalam GIS, namun dengan ketentuan data memiliki varian rendah. RBF

banyak digunakan untuk peramalan data time series musiman, seperti

curah hujan, debit sungai, produksi tanaman pertanian, dan lain-lain.

Metode interpolasi Spline memiliki kemampuan dalam memprediksi nilai


43

minimum dan maksimum dengan efek stretching data. Persamaan yang

digunakan Spline adalah dengan menggunakan formula interpolasi

permukaan, dengan rumus sebagai berikut:


N
S(x , y) =T ( x , y ) +∑ λ j R (r j ) (5)
j=1

Keterangan:

j = 1,2,…n

N = jumlah titik

λ j = koefisien yang ditemukan dari system persamaan linier

r j = jarak antara titik ke titik j

(𝑥,) dan (𝑟) didefinisikan secara berbeda, berdasarkan cara seleksi

(regularized spline dan tension spline).

Metode Spline adalah salah satu metode numerik yang dapat

digunakan untuk pencarian interpolasi. Interpolasi Spline merupakan

polinom sepotong- sepotong. Suatu fungsi f(x) yang sudah diketahui

pada selang a  x  b di hampiri dengan sebuah fungsi lain g(x) dengan

cara menyekat selang a  x  b menjadi beberapa anak selang

a  x1  x 2  . . .  x n  b . Fungsi g(x) yang didapat dinamakan spline.

Besar kesalahan Metode Spline dapat diketahui dengan cara mereduksi

nilai eksak dari tabel natural logaritma dengan pendekatan yang

dihasilkan dari Metode Spline.

3. Metode Kriging
44

Metode Kriging ditemukan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan

nilai dari bahan tambang. Asumsi dari metode ini adalah jarak dan

orientasi antara sampel data menunjukkan korelasi spasial yang penting

dalam hasil interpolasi (ESRI, 1996).

Metode Kriging digunakan oleh G. Matheron pada tahun 1960,

untuk menonjolkan metode khusus dalam moving average (weighted

moving average) yang meminimalkan variasi dari hasil estimasi. Metode

Kriging adalah estimasi stochastic yang mirip dengan IDW, di mana

menggunakan kombinasi linear dari weight untuk memperkirakan nilai di

antara sampel data. Secara umum, Kriging merupakan analisis data

geostatistika untuk menginterpolasikan suatu nilai kandungan mineral

berdasarkan nilai-nilai yang diketahui.

Kriging adalah estimasi stochastic yang mirip dengan Inverse

Distance Weighted (IDW) dimana menggunakan kombinasi linear dari

weight untuk memperkirakan nilai diantara sampel data (Pramono 2008).

Asumsi dari metode ini adalah jarak dan orientasi antara sampel data

menunjukkan korelasi spasial yang penting dalam hasil interpolasi.

Metode Kriging sangat banyak menggunakan sistem komputer dalam

perhitungan.

Menurut Suprajitno (2005), metode ini merupakan metode khusus

dalam moving average terbobot (weighted moving average) yang

meminimalkan variasi dari hasil estimasi. Kriging menghasilkan taksiran

yang akan tetap mendekati nilai sampel data yang diinterpolasi, walaupun
45

sampel diperbesar menuju tak terhingga. Metode estimasi ini

mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi estimasi,

yaitu: banyaknya sampel, posisi sampel, jarak antar sampel dengan titik

yang akan diestimasi, kontinuitas spasial dari variabel – variabel yang

terlibat dll. Dengan kata lain metode ini digunakan untuk mengestimasi

besarnya nilai karakteristik dari estimator (Z ) pada titik tidak tersampel

berdasarkan informasi dari titik-titik tersampel yang berada disekitarnya.

Tujuan dari kriging adalah menentukan nilai koefisien pembobotan 𝜆𝑖 yang

meminimalkan estimasi variansi.

Secara umum, kriging merupakan suatu metode untuk menganalisis data

geostatistik untuk menginterpolasi suatu nilai kandungan mineral

berdasarkan data sampel. Data sampel pada ilmu kebumian biasanya

diambil di tempat-tempat yang tidak beraturan. Dengan kata lain, metode

ini digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai karakteristik pada titik

tidak tersampel berdasarkan informasi dari karakteristik titik-titik tersampel

yang berada di sekitarnya dengan mempertimbangkan korelasi spasial

yang ada dalam data tersebut. Adapun estimator kriging dapat dituliskan

sebagai berikut (Bohling, 2005: 4):


n
Z ( s )−m ( s )=∑ λi [ Z ( si )−m ( si ) ]
i=1

Dengan

s, si : vektor lokasi untuk estimasi dan salah satu dari data yang

berdekatan, dinyatakan sebagai i


46

m(s): nilai ekspektasi dari Z(s)

m( si ) : nilai ekspektasi dari Z( si )

λ i(s) : Nilai Z ( si ) untuk estimasi lokasi u. nilai Z ( si ) yang sama akan memiliki

nilai yang berbeda untuk estimasi pada lokasi berbeda.

n : banyaknya data sampel yang digunakan untuk estimasi.

Tidak seperti metode IDW, Kriging memberikan ukuran error dan

confidence. Metode ini menggunakan semivariogram yang

merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara semua pasangan

sampel data. Semivariogram juga menunjukkan bobot (weight) yang

digunakan dalam interpolasi. Jenis Kriging yang bisa dilakukan adalah

dengan cara spherical, circular, exponential, gaussian dan linear

(Pramono 2008).

Pada metode Kriging, bobot tidak hanya didasarkan pada jarak

antara ukuran dan lokasi titik prediksi tetapi juga pada keseluruhan letak

titik-titik yang diukur (ESRI, 2011). Kriging menimbang nilai yang terukur di

sekitarnya untuk memperoleh prediksi di lokasi yang tidak terukur. Point

Kriging merupakan metode mengestimasi suatu nilai dari sebuah titik pada

tiap-tiap grid. Rumus umum Kriging adalah sebagai berikut :

𝑍∗=Σ𝑤𝑖𝑁𝑖=1 (4)

Dimana :

𝑍∗ = Nilai prediksi

𝑧𝑖 = Nilai terukur pada lokasi pengamatan ke - i

𝑤𝑖 = bobot pada lokasi ke - i


47

Metode Kriging sangat banyak menggunakan sistem komputer

dalam perhitungan. Kecepatan perhitungan tergantung dari banyaknya

sampel data yang digunakan dan cakupan dari wilayah yang

diperhitungkan. Tidak seperti metode IDW, Kriging memberikan ukuran

error dan confidence. Salah satu yang terdapat dalam metode ini adalah

Ordinary Kriging, yang didalamnya memiliki model semivariogram yang

merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara semua pasangan

sampel data. Semivariogram dipakai untuk menentukan jarak dimana

nilai-nilai data pengamatan menjadi saling tidak tergantung atau tidak ada

korelasinya. Semivariogram adalah perangkat dasar dari geostatistik

untuk visualisasi, pemodelan dan eksploitasi autokorelasi spasial dari

variabel teregionalisasi. Semivariogram juga menunjukkan bobot (weight)

yang digunakan dalam interpolasi. Semivariogram dihitung berdasarkan

sampel semivariogram dengan jarak h, beda nilai z dan jumlah sampel

dan data n. Jenis kriging yang bisa dilakukan adalah dengan cara

spherical, circular, exponential, gaussian dan linear (ESRI, 1999).

Menurut Largueche (2006), metode Kriging memiliki beberapa

keunggulan, antara lain sebagai interpolator, metode Kriging memadukan

korelasi spasial antara data, hal mana tidak di lakukan oleh prosedur

statistik klasik. Keunggulan Kriging dibandingkan teknik konturisasi lainnya

adalah kemampuannya untuk mengkuantifikasi variansi dari nilai yang

diestimasi sehingga dapat diketahui. Metode Kriging tetap dapat

digunakan meskipun tidak ditemukan korelasi spasial antar data. Pada


48

pengamatan yang saling bebas, proses estimasi Kriging akan mirip

dengan estimasi menggunkan analisis regresi kuadrat terkecil.

Kelemahan Kriging yaitu banyaknya metode yang membangun

teknik ini, sehingga menghendaki banyak asumsi yang jarang sekali dapat

dipenuhi. Kriging mengasumsikan data menyebar normal sementara

kebanyakan data lapangan tidak memenuhi kondisi tersebut. selain itu,

semivariogram yang dihitung untuk suatu himpunan data tidak berlaku

untuk himpunan data lainnya. Dengan demikian estimasi semivariogram

akan sulit bila titik sampel yang digunakan tidak mencukupi.

D.2 Galat / Error

Dengan menggunakan metode pendekatan algoritma, akan muncul

perbedaan antara solusi eksak dan solusi numerik. Selisih nilai hasil

perhitungan tersebut disebut dengan galat atau nilai kesalahan.

Kesalahan ini penting artinya, karena kesalahan dalam pemakaian

algoritma pendekatan akan menyebabkan nilai kesalahan yang besar,

tentunya ini tidak diharapkan. Sehingga pendekatan metode numerik

selalu membahas tingkat kesalahan dan tingkat kecepatan proses yang

akan terjadi. Misalnya nilai x asli salinitas yang didapatkan yaitu 34 pada

titik a setelah dilakukan interpolasi algoritma mendapatkan hasil 33.5,

maka selisi antara 33.5 dan 34 lah yang kita sebut dengan Galat.

Berikut contoh galat, sebagai berikut:

1. Galat pembulatan
49

Perhitungan dengan metode numerik hampir selalu menggunakan

bilangan riil. Masalah timbul bila komputasi numerik dikerjakan oleh mesin

(dalam hal inikomputer) karena semua bilangan riil tidak dapat disajikan

secara tepat di dalamkomputer. Keterbatasan komputer dalam menyajikan

bilangan riil menghasilkan galat yang disebut galat pembulatan. Sebagai

contoh 1/6 = 0.166666666É tidak dapat dinyatakan secara tepat oleh

komputer karena digit 6 panjangnya tidak terbatas. Komputer hanya

mampumerepresentasikan sejumlah digit (atau bit dalam sistem biner)

saja. Bilangan riilyang panjangnya melebihi jumlah digit (bit) yang dapat

direpresentasikan olehkomputer dibulatkan ke bilangan terdekat. Misalnya

sebuah komputer hanya dapatmerepresentasikan bilangan riil dalam 6

digit angka berarti, maka representasi $ bilangan 1/6 = 0.1666666666É

di dalam komputer 6-digit tersebut adalah0.166667. Galat pembulatannya

adalah 1/6 Ð 0.166667 = -0.000000333.2)

2. Galat Pemotongan

Galat pemotongan adalah galat yang ditimbulkan oleh pembatasan

jumlahkomputasi yang digunakan pada proses metode numerik. Banyak

metode dalammetode numerik yang penurunan rumusnya menggunakan

proses iterasiyang jumlahnya tak terhingga, sehingga untuk membatasi

proses penghitungan, jumlah iterasi dibatasi sampai langkah ke n. Hasil

penghitungan sampai langkah ke n akan menjadi hasil hampiran dannilai

penghitungan langkah n keatas akan menjadi galat pemotongan dalam hal

ini galat pemotongan akan menjadi sangat kecil sekali jika nilai n di
50

perbesar.Konsekuensinya tentu saja jumlah proses penghitungannya

akan semakin banyak. Namun, kita dapat menghampiri galat pemotongan

dengan perhitungan deret Taylor dengan rumus suku sisa:


(n+1)
( x−x 0)
Rn ( X ) < f ( n+1) ( c ) , x 0 <c < x (5)
( n+1 ) !

Nilai Rn yang tepat hampir tidak pernah dapat kita peroleh, karena

kitatidak mengetahui nilai c sebenarnya terkecuali informasi bahwa c

terletak padasuatu selang tertentu. Nilai maksimum yang mungkin dari

( x− X 0)(n+1)
|Rn ( x )|<max x 0<c< x ¿ ¿|f (n+1 ) ( c )| x ( n+ 1 ) !
(6)

3) Galat Total

Galat akhir atau galat total atau pada solusi numerik merupakan

jumlah galat pemotongan dan galat pembulatan.

4) Galat eksperimental

Galat yang timbul dari data yang diberikan, misalnya karena

kesalahan pengukuran, ketidaktelitian alat ukur dan sebagainya.

5) Galat Pemrograman

Galat yang terdapat di dalam program sering dinamakan dengan

kutu (bug). dan proses penghilangan galat dinamakan penirkutuan

(debugging).
51

BAB 3. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada wilayah Sungai Tallo, Kota Makassar,

Sulawesi Selatan.

Pengambilan sampel penelitian berlokasi di beberapa titik di Sungai

Tallo, peta lokasi Sungai Tallo dapat dilihat pada Gambar 2, pemeriksaan

nilai salinitas sampel dilakukan dari tiik awal 13 km dari hilir dan

pengambilan sampel tiap 1 km hingga mencapai titik akhir yaitu di muara

Sungai Tallo. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah

ini:

Gambar 6. Peta Lintasan Lokasi Penelitian


52

B. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian Metodologi penelitian yang dilakukan dapat

digambarkan pada diagram alir berikut :

Mulai

Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian

Studi Kasus dan Studi Literatur

Pengumpulan Data:
Data Primer
Koordinat Titik Pengambilan Sampel Air Sungai Tallo

Data Hidrolik Sungai Tallo (kedalaman, dan kecepatan aliran)

Sampel Air Sungai Tallo

Data Sekunder

Peta Lokasi Sungai Tallo

Pembahasan
Analisis Salinitas Sungai Tallo

Peta Pola Sebaran Salinitas Sungai Tallo

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 7. Diagram Alir Metode dan Tahapan Penelitian


53

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan sifat analisis melalui

pengambilan sampel air pada Sungai Tallo kemudian melakukan

perhitungan nilai kadar salinitas yang terkandung di dalamnya. Penelitian

ini dilakukan untuk mengetahui analisis sebaran salinitas pada aliran air

Sungai Tallo. Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu:

1. Variabel bebas adalah variabel yang memengaruhi atau sebab

perubahan atau timbulnya variabel terikat. Variabel bebas yang

digunakan pada penelitian ini adalah nilai pH, suhu,TDS, dan intrusi air

laut.

2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi akibat dari adanya

variabel bebas, dikatakan variabel terikat karena variabel terikat

dipengaruhi oleh variabel bebas. Pada penelitian ini, variabel terikat

adalah kadar salinitas

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah air Sungai Tallo yang mengalir

dari hulu sampai hilir. Dengan sampel diambil di beberapa titik dengan

penentuan titik menggunakan “sample survey method” yaitu metode

pengambilan sampel dilakukan pada titik yang dapat mewakili populasi.

Penentuan titik pengambilan sampel kualitas air sungai didasari atas

kemudahan akses dan observasi melalui google earth sebelum turun ke

lapangan.
54

D. Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

D.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengamatan observasi dengan

pengambilan sampel secara langsung di hilir Sungai Tallo.

D.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur yang berhubungan

dengan salinitas yang dapat memberikan data atau informasi yang

berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus yaitu

pengambilan data langsung di lapangan dan analisis data spasial.

E.1. Penelitian Lapangan

Tahap penelitian lapangan ini meliputi pengambilan data lapangan

dimana terdapat 13 titik pengambilan sampel dibagian hilir sungai yang

dimulai dari terluar dari hulu menuju ke muara sungai, tahapan yang

dilakukan meliputi:

1. Penentuan titik koordinat stasiun pengamatan sampel yang akan

diplot pada peta dasar dengan skala 1: 25.000 dengan menggunakan


55

GPS (Global Positioning System) untuk melihat titik koordinat pada lokasi

stasiun pengamatan sampel.

2. Pengambilan data lapangan yang berupa data salinitas air dimana

digunakan alat Salinometer Refractometer pada permukaan air sungai

tallo .

Gambar 8. Pengukuran Data Menggunakan Alat Salinometer


Refractometer

3. Pengambilan sampel air hanya difokuskan pada sampel permukaan

air. Serta pengambilan stasiun pada lokasi penelitian berjumlah 13

stasiun dengan mengambil 13 sampel air yang di uji langsung nilainya

dilapangan.
56

E.2. Analisis data spasial

Analisis data spasial dilakukan dengan menggambarkan pola tingkat

penyebaran salinitas Sungai Tallo dengan menggunakan program ArcGIS

10.8. dengan melakukan beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Jalankan Arcgis map dan memasukkan data pada ArcGIS berupa

data koordinat stasiun pengambilan data titik pengambilan sampel, yang

telah dilengkapi data hasil pengukuran salinitas air yang telah dilakukan di

lapangan. Serta data Shapefile seperti Pemukiman, Sungai, Batas

Adminitrasi dan Jalan.

Gambar 9. Add Data ArcGis

2. Selanjutnya menggunakan tool “Raster interpolation”. Pada bagian ini

kita akan menggunakan 3 pilihan yaitu IDW, Spline, dan Kriging dengan

memilih pada section ArcToolbox.


57

Gambar 10. Memilih Metode Interpolasi pada ArcToolbox

3. Setelah itu akan Mengisi input point features dan Z value field serta

mengatur Mask yang ada pada Enviroments kemudian memilih ok.

Gambar 11. Input Point Features dan Z Value


58

Gambar 12. Input Mask pada Enviroments

4. Dan keluarlah Hasil berupa data Raster Interpolation.

Gambar 13. Hasil Data Raster Interpolation


59

5. Data Raster tersebut diubah ke bentuk polygon dengan memilih

pada ArcToolbox yaitu raster to polygon, sehingga akan

menghasilkan bentuk poligon.

Gambar 14. Mengubah Data Raster to Polygon

6. Kemudian merupa tampilan peta pada tampilan Layout View

Gambar 15. Merupa pada Layout View


60

7. Terakhir mengeksport dan menyimpan peta tersebut.

Gambar 16. Export dan Menyimpan Peta


61

Dibawah ini ditampilkan bagan alir tentang metode interpolasi yan

digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan aplikasi ArcGIS

10.8. Tahapannya adalah sebagai berikut:

ArcGIS

Titik Lokasi
Sungai
Add Data Pemukiman
DEM
Batas Adminitrasi

Interpolasi Arctoolbox 3D Analyst tools

Raster Interpolation
IDW Spline Kriging

input point features ; Titik Lokasi


Z value field ; Salinitas
Input data

Enviroments

Mask :Sungai Tallo

Data Raster
Interpolasi
OK
Interpolasi

Gambar 17. Diagram Alir Metode Interpolasi


62

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Situasi Sungai Tallo

Sungai Tallo merupakan sungai yang terletak di tiga wilayah

administrasi kota dan kabupaten yaitu Makassar, Gowa, dan Maros

dengan luas area keseluruhan sebesar 401.92 KM 2 dan panjang sungai

utama 72 KM. Sungai Tallo memiliki dua anak sungai yaitu Sungai

Sinassara dan Sungai Pampang, menjulur masuk hingga ke berbagai

kawasan kota.

Pada bagian sungai Tallo di muara sungai terjadi pertemuan antara

air asin dari laut dan air tawar dari sungai. Letak titik temu dan tingkat

pencampuran antara air asin dan air tawar sangat bervariasi tergantung

kekuatan pasang surut dan debit sungai. Berdasarkan kekuatan relatif

antara pasang surut dan debit sungai, sirkulasi estuari dapat

dikelompokkan dalam 3 golongan utama yaitu (Anonim, 1999) : Estuari

Berstratifikasi Sempurna (Salt Wedge Estuary), Estuari Tercampur

Sebagian (Partial Mixed Estuary), dan Estuari Tercampur Sempurna (Well

Mixed Estuary). (Kunarso,2020). Faktor-Faktor Penyebab Percampuran di

Muara Faktor penyebab percampuran di muara sungai adalah dengan

menghubungkan salah satu dari ketiga sumber penyebab percampuran

yaitu angin, pasang surut dan debit aliran sungai.

Maka, diadakan pengambilan data pada 13 titik stasiun dengan

mempertimbangkan jarak setiap titiknya sejauh kurang lebih 1 km yang


63

bergerak dari arah hulu sungai menuju bagian hilir dan berakhir pada

muara sungai. Berikut tabel titik koordinat stasiun pengambilan data yang

dilakukan:

Tabel 3. Titik Koordinat Stasiun Pengambilan Data

Stasiun Koordinat
Pengambila
S E
n
ST 01 5 ˚ 8 ʹ 24,84 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 13,39 ʺ
8
ST 02 5 ˚ 8 ʹ 0,46 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 33,8 ʺ
8
ST 03 5 ˚ 7 ʹ 45,95 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 16,25 ʺ
8
ST 04 5 ˚ 7 ʹ 2,47 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 18,30 ʺ
8
ST 05 5 ˚ 7 ʹ 19,38 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 47,07 ʺ
8
ST 06 5 ˚ 7 ʹ 8,21 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 24,48 ʺ
8
ST 07 5 ˚ 7 ʹ 16,85 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 8,09 ʺ
8
ST 08 5 ˚ 6 ʹ 46,53 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 0,42 ʺ
8
ST 09 5 ˚ 7 ʹ 3,34 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 30,30 ʺ
7
ST 10 5 ˚ 6 ʹ 53,58 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 13,65 ʺ
7
ST 11 5 ˚ 6 ʹ 53,71 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 46,55 ʺ
6
ST 12 5 ˚ 6 ʹ 53,52 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 46,32 ʺ
6
ST 13 5 ˚ 6 ʹ 26,61 ʺ 119 ˚ 2 ʹ 36,78 ʺ
6

Adapun peta lokasi stasiun pengambilan data sampel dapat dilihat

pada gambar dibawah ini:


64

Gambar 18. Peta Stasiun Titik Pengambilan Data


65

A.1. Kondisi Hidrologi

1. TDS

TDS atau Total Dissolve Solids atau jumlah padatan yang terlarut

dalam air. TDS dapat berupa senyawa organic maupun non-organik

dengan satuan Ppm. Zat yang biasanya ditemukan yaitu : Natrium,

Kalium, Kalsium, Bikarbonat, Karbonat, Sulfat, Magnesium, dsb. TDS

dapat larut karena tempat atau aliran air tersebut mengandung mineral.

Secara natural, tanah maupun bebatuan memiliki kandungan mineral yang

beragam.

Indikator terjadinya intrusi air laut dapat diketahui dengan

melakukan pengukuran konsentrasi Total Dissolved Solids (TDS) untuk

menentukan jumlah garam terlarut pada sumur penduduk. TDS

merupakan parameter fisik air baku dan ukuran zat terlarut, baik zat

organik maupun anorganik yang terdapat pada larutan. TDS mencakup

jumlah material dalam air, material ini dapat berupa karbonat, bikarbonat,

klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium, magnesium, natrium, ion-ion organik,

dan ion-ion lainnya. Kandungan TDS dalam air juga dapat memberi rasa

pada air yaitu air menjadi seperti garam, sehingga jika air yang

mengandung TDS terminum, maka akan terjadi akumulasi garam di dalam

ginjal manusia, sehingga lama-kelamaan akan mempengaruhi fungsi

fisiologis ginjal (Krisna,2011).


66

Klasifikasi air berdasarkan jumlah garam terlarut dan dapat dilihat pada

Tabel berikut:

Tabel 4. Korelasi Nilai TDS dengan Salinitas

Adapun Tabel data TDS berdasarkan stasiun pengambilan yaitu:

Tabel 5. Nilai TDS Sungai Tallo Berdasarkan Titik Pengamatan

Stasiun Koordinat
Pengambila TDS
n S E
ST 01 5 ˚ 8 ʹ 24,84 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 13,39 ʺ 428
ST 02 5 ˚ 8 ʹ 0,46 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 33,8 ʺ 1770
ST 03 5 ˚ 7 ʹ 45,95 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 16,25 ʺ 2854
ST 04 5 ˚ 7 ʹ 2,47 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 18,30 ʺ 4576
ST 05 5 ˚ 7 ʹ 19,38 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 47,07 ʺ 4839
ST 06 5 ˚ 7 ʹ 8,21 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 24,48 ʺ 6491
ST 07 5 ˚ 7 ʹ 16,85 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 8,09 ʺ 8762
ST 08 5 ˚ 6 ʹ 46,53 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 0,42 ʺ 8135
ST 09 5 ˚ 7 ʹ 3,34 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 30,30 ʺ 9928
ST 10 5 ˚ 6 ʹ 53,58 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 13,65 ʺ >10000
ST 11 5 ˚ 6 ʹ 53,71 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,55 ʺ >10000
ST 12 5 ˚ 6 ʹ 53,52 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,32 ʺ >10000
ST 13 5 ˚ 6 ʹ 26,61 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 36,78 ʺ >10000
67

Berdasarkan tabel diatas maka dibuatlah grafik untuk melihat

kenaikan nilai yang dialami yang dapat dilihat pada gambar dibawah:

TDS
12000.00

10000.00

8000.00
Nilai TDS

6000.00 Nilai TDS

4000.00

2000.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Pengambilan

Gambar 19. Grafik Nilai TDS

Dari gambar diatas dapat dilihat terjadi kenaikan nilai yang cukup

signifikan dari stasiun pengambilan pertama hingga terakhir dimana

ditemukan pada titik 1 nilai TDS yang didapatkan <1000Ppm dimana ini

menandakan bahwa air tersebut termasuk kategori air tawar kemudian

pada titik 2 dan 3 nilai TDS berkisar antara 1000 Ppm- 3000 Ppm yang

menandakan bahwa air tersebut termasuk agak payau lalu pada titik 4

hingga 9 nilai TDS yang ada berkisar pada angka 3000 Ppm- 9000 Ppm

yang menandakan ar payau dan pada stasiun pengambilan 10 hingga 13

nilai yang diperoleh yaitu >10000 Ppm yang menandakan air tersebut

masuk kedalam kategori air asin.


68

2. pH

Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif dari konsentrasi

ion-ion hidrogen yang terlepas dalam suatu cairan dan merupakan

indikator baik buruknya suatu perairan. pH suatu perairan merupakan

salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau

kestabilan perairan (Simanjuntak, 2009). Variasi nilai pH perairan sangat

mempengaruhi biota di suatu perairan. Selain itu, tingginya nilai pH sangat

menentukan dominasi fitoplankton yang mempengaruhi tingkat

produktivitas primer suatu perairan dimana keberadaan fitoplankton

didukung oleh ketersediaanya nutrien di perairan laut (Megawati et al.,

2014).

Adapun nilai pH yang didapati pada Stasiun Pengambilan dapat dilihat

pada tabel :

Tabel 6. Nilai pH Sungai Tallo Berdasarkan Titik Pengamatan

Stasiun Koordinat
Pengambila pH
S E
n
ST 01 5 ˚ 8 ʹ 24,84 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 13,39 ʺ 7.08
ST 02 5 ˚ 8 ʹ 0,46 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 33,8 ʺ 7.38
ST 03 5 ˚ 7 ʹ 45,95 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 16,25 ʺ 7.55
ST 04 5 ˚ 7 ʹ 2,47 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 18,30 ʺ 7.66
ST 05 5 ˚ 7 ʹ 19,38 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 47,07 ʺ 7.62
ST 06 5 ˚ 7 ʹ 8,21 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 24,48 ʺ 7.67
ST 07 5 ˚ 7 ʹ 16,85 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 8,09 ʺ 7.65
ST 08 5 ˚ 6 ʹ 46,53 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 0,42 ʺ 7.70
69

ST 09 5 ˚ 7 ʹ 3,34 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 30,30 ʺ 7.78


ST 10 5 ˚ 6 ʹ 53,58 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 13,65 ʺ 7.77
ST 11 5 ˚ 6 ʹ 53,71 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,55 ʺ 7.84
ST 12 5 ˚ 6 ʹ 53,52 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,32 ʺ 7.84
ST 13 5 ˚ 6 ʹ 26,61 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 36,78 ʺ 7.87

Berdasarkan data pH diketahui bahwa sifat air sungai tallo

menandakan kondisi air yang cenderung basa dan bisa dimanfaatkan

untuk kehidupan sehari-hari dan diketahui pula bahwa semakin menuju ke

hilir sungai tallo nilai PH sungai semakin bertambah yang kemudian dapat

dilihat kenaikannya secara linear pada grafik dibawah ini:

pH
8.00
7.80
7.60
Nilai Salinitas

7.40
Nilai pH
7.20
7.00
6.80
6.60
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Stasiun Pengambilan

Gambar 20. Grafik Nilai pH

Berdasarkan grafik diatas terliha bahwa nilai pH menunjukkan

peningkatan dari stasiun 1 yang terletak di bagian paling hulu dari stasiun

pengambilan yang ada dimana kondisi yang didapatkan bersifat netral


70

cenderung basa dan semakin jauh menuju laut nilai pH yang ditemukan

juga semakin bersifat basa.

A.2. Kondisi Hidrolik

1. Kedalaman

Pada sungai tallo batimetri sungainya dipengaruhi oleh proses

denudasional berupa erosi yang terjadi, berupa erosi lateral maupun

vertikal, dan semakin kearah hilir tingkat erosi bertambah sehingga nilai

batimetri bertambah.
71

Gambar 21. Peta Kedalaman Sungai Tallo


72

2. Kecepatan Arus

Tabel kecepatan arus pada aliran Sungai Tallo dapat dilihat pada

tabel dibawah:

Tabel 7. Kecepatan Arus Sungai Tallo

Stasiun
pengambila Nilai Current
n Lokasi X Y (m/s)
Pinggi 773974.9 9431194.2
0.1
r 9 4
Tenga 773933.7 9431197.1
ST01 0.05
h 1 6
Pinggi 773913.7 9431206.1
0.1
r 1 5
Pinggi 774222.9 9432611.0
1.6
r 8 4
Tenga 774240.9 9432638.0
ST02 0.14
h 6 2
Pinggi 774272.9 9432713.1
0.07
r 9 9
Pinggi 775316.8 9433624.1
0.05
r 6 1
Tenga 773497.8 9433639.1
ST03 0.5
h 4 2
Pinggi 773561.7 9433671.1
r 5 4 0.15
Pinggi 772358.7 9433766.1
0.15
r 5 2
Tenga 772373.9 9433800.1
ST04 0.05
h 9 7
Pinggi 772335.9 9433679.2
0.7
r 3 3
Pinggi 9434604.1
0.07
r 770682.8 5
Tenga 770712.8 9434641.2
ST05 0.7
h 3 3
Pinggi 770816.7 9434665.1
0.35
r 7 1
73

Gambar 22. Peta Pola Kecepatan Aliran Air


74

3. Pasang Surut
Peranan pasang surut juga mempengaruhi dalam potensi sebaran

salinitas yang ada pada sungai tallo, hal ini disebabkan karena pola aliran

air yang bergerak dari laut tentu menjadi faktor yang cukup kuat dalam

perubahan kondisi perairan yang ada. Pada penelitian ini, kondisi pasang

surut yang digambarkan merupakan kondisi pada saat pengambilan data

dimana untuk sungai tallo sendiri selama rentang waktu pengambilan data

terjadi 2 kali pasang dan 1 kali surut. Data pasang surut yang diambil

dilakukan pada 1 titik yang sama yaitu di titik terjauh dari muara atau

didekat ST 01 dengan selang waktu 10 menit. Data yang diperoleh dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Nilai Tinggi Muka Air Pada Saat Pengambilan Data

Pukul Tinggi Muka Air Keterangan


09:10 144 ST 01
09:20 144
09:30 144
09:40 143
09:50 143 ST 02
10:00 142
10:10 141
10:20 141
10:30 140 ST 03
10:40 139
10:50 138
11:00 136
11:10 134 ST 04
11:20 132
11:30 129
11:40 128
11:50 126 ST 05
12:00 122
12:10 119
75

12:20 116
12:30 116 ST 06
12:40 114
12:50 112
13:00 110
13:10 108 ST 07
13:20 106
13:30 106
13:40 106
13:50 106 ST 08
14:00 106
14:10 106
14:20 106
14:30 106 ST 09
14:40 103
14:50 100
15:00 99
15:10 99 ST 10
15:20 99
15:30 99
15:40 102
15:50 101 ST 11
16:00 106
16:10 107
16:20 108
16:30 108 ST 12
16:40 108
16:50 109
17:00 110
17:10 110 ST 13
17:20 110
17:30 110

Adapun nilai pasang surut diatas, diilustrasikan pada grafik untuk

memudahkan melihat gambaran kondisi tinggi muka air pada saat

pengambilan data, yang tertampil pada grafik dibawah ini:


76

Gambar 23. Grafik Nilai Pasang Surut

B. Analisis Data Spasial

Analisis data spasial dilakukan dengan menggambarkan pola tingkat

penyebaran salinitas Sungai Tallo dengan menggunakan program ArcGIS

10.8 dengan menggunakan bahasa matematik yaitu algoritma dalam

bentuk metode interpolasi. Adapun data salinitas yang digunakan untuk

pengolahan data interpolasi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


77

Tabel 9. Data Salinitas Sungai Tallo

Stasiun Koordinat Salinitas


Pengambilan (Psu)
S E
ST 01 5 ˚ 8 ʹ 24,84 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 13,39 ʺ 1.34
ST 02 5 ˚ 8 ʹ 0,46 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 33,8 ʺ 1.69
ST 03 5 ˚ 7 ʹ 45,95 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 16,25 ʺ 3.00
ST 04 5 ˚ 7 ʹ 2,47 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 18,30 ʺ 5.06
ST 05 5 ˚ 7 ʹ 19,38 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 47,07 ʺ 5.81
ST 06 5 ˚ 7 ʹ 8,21 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 24,48 ʺ 9.03
ST 07 5 ˚ 7 ʹ 16,85 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 8,09 ʺ 11.10
ST 08 5 ˚ 6 ʹ 46,53 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 0,42 ʺ 20.91
ST 09 5 ˚ 7 ʹ 3,34 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 30,30 ʺ 25.70
ST 10 5 ˚ 6 ʹ 53,58 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 13,65 ʺ 28.40
ST 11 5 ˚ 6 ʹ 53,71 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,55 ʺ 31.40
ST 12 5 ˚ 6 ʹ 53,52 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,32 ʺ 35.50
ST 13 5 ˚ 6 ʹ 26,61 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 36,78 ʺ 45.60

Berdasarkan tabel diatas dapat dibuat grafik yang menyatakan hubungan

antar nilai salinitas dari stasiun pengambilan 1 hingga stasiun pengambilan 13

yang tergambarkan pada gambar dibawah:

Gambar 24. Grafik Nilai Salinitas Sungai Tallo


78

Gambar diatas menunjukkan bahwa nilai salinitas yang ada pada

Sungai Tallo mulai dari stasiun 1 yang terletak pada bagian terdekat dari

hulu sungai menunjukkan nilai salinitas yang paling rendah, seiring

bergesernya stasiun pengambilan data, nilai salinitas yang ditemukan juga

bertambah hingga nilai tertinggi berasa pada muara sungai yaitu pada

stasiun 13.

Setelah mengetahui nilai salinitas maka dilakukan interpolasi untuk

dapat menggambarkan kondisi salinitas di hilir sungai secara keseluruhan

dengan berdasarkan kepada data yang telah diambil pada stasiun

pengambilan data. Pada penelitian ini terdapat 3 jenis Interpolasi yang

digunakan yaitu IDW (Inverse Distance Weighted), Spline, dan Kriging.

Ketiga metode tersebut nantinya akan dilihat nilai galat atau error yang

didapatkan dari hasil interpolasi yang dilaksanakan untuk melihat

perbedaan antara ketiga metode analisis yang digunakan.

B.1. IDW (Inverse Distance Weighting)

Pada metode ini untuk menaksir suatu nilai pada lokasi yang tidak

tersampel berdasarkan data disekitarnya dengan deterministik yang

sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya (NCGIA, 1997).

Sehingga mengasumsikan bahwa semakin dekat jarak suatu titik terhadap

titik yang tidak diketahui nilainya, maka semakin besar pengaruhnya. IDW

menggunakan nilai yang terukur pada titik-tiik di sekitar lokasi tersebut,

untuk memperkirakan nilai variabel pada lokasi yang dimaksud.


79

Adapun data yang dihasilkan dari hasil interpolasi IDW yang

kemudian dibandingkan dengan data lapangan untuk mengetahui nilai

galat atau Error dapat dilihat pada tabel dibawah:

Tabel 10. Nilai Galat Interpolasi IDW

Stasiun Salinitas Interpolasi Galat


Pengambilan Data Sebenarnya IDW
ST 01 1.34 1.34 0.00
ST 02 1.69 1.69 0.00
ST 03 3.00 3.00 0.00
ST 04 5.06 5.06 0.00
ST 05 5.81 5.81 0.00
ST 06 9.03 9.03 0.00
ST 07 11.10 11.10 0.00
ST 08 20.91 20.91 0.00
ST 09 25.70 25.70 0.00
ST 10 28.40 28.40 0.00
ST 11 31.40 32.35 0.95
ST 12 35.50 35.21 0.29
ST 13 45.60 45.60 0.00

Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa uji data

menggunakan metode Interpolasi IDW menunjukan akurasi yang

signifikan. Hal ini karena bentuk algoritma metode interpolasi IDW

memiliki karakteristik interpolasi yang dikontrol dengan membatasi titik -

titik masukan untuk digunakan dalam proses interpolasi. Akan tetapi

dengan menggunakan metode ini, data yang termuat tidak akan bernilai

diatas nilai maksimum dan di bawah nilai minimum dari data pengambilan

lapangan, sehingga interpolasi tidak dapat dilakukan pada seluruh bagian

sungai Tallo. Hubungan antar parameter dapat disajikan pada Gambar

dibawah ini:
80

Gambar 25. Grafik Hubungan Interpolasi IDW

Dapat dilihat hubungan antara parameter nilai salinitas (x) dan

stasiun pengambilan (y) berbanding lurus, yakni semakin jauh titik dari

hulu (ST 01) akan menghasilkan kadar salinitas yang rendah, begitu pula

semakin dekat titik dari hilir (ST 13) akan menghasilkan kadar salinitas

yang tinggi.

Berikut adalah gambaran indeks salinitas sungai tallo menggunakan

interpolasi IDW.
81

Gambar 26. Peta Sebaran Salinitas dengan analisis IDW


82

B.2. Spline

Pada metode ini dilakukan cara mengestimasi nilai dengan

menggunakan fungsi matematika yang meminimalisir total

kelengkungan permukaan. Metode interpolasi spline memiliki

kemampuan dalam memprediksi nilai minimum dan maksimum

dengan efek stretching data akan tetapi Interpolasi Spline

menggunakan sistem aproksimasi atau pembulatan sehingga akan

menghasilkan nilai yang berbeda yang disebut Galat.Berikut tabel

perbandingan nilai salinitas dilapangan dan interpolasi

menggunakan interpolasi Spline

Tabel 11. Nilai Galat Interpolasi Spline

Stasiun Salinitas Interpolasi Galat


Pengambila Sebenarnya Spline
n Data
ST 01 1.34 1.34 0.00
ST 02 1.69 1.69 0.00
ST 03 3.00 3.00 0.00
ST 04 5.06 5.06 0.00
ST 05 5.81 5.81 0.00
ST 06 9.03 9.03 0.00
ST 07 11.10 11.10 0.00
ST 08 20.91 20.91 0.00
ST 09 25.70 25.70 0.00
ST 10 28.40 28.40 0.00
ST 11 31.40 33.45 2.05
ST 12 35.50 33.45 (2.05)
83

ST 13 45.60 45.60 0.00

Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat akurasi yang

didapatkan adalah baik, Hal ini dikarenakan metode spline yang

menggunakan sistem pendekatan fungsi-fungsi Spline sebagai

polinom penghubung. Fungsi Spline terdiri dari Spline Linear,

Spline Kuadrat dan Spline Kubik. Serta dengan menggunakan

Spline dapat menghasilkan akurasi permukaan yang cukup baik

walaupun data yang digunakan hanya sedikit. Hubungan antara

parameter disajikan pada Gambar dibawah:

Gambar 27. Grafik Hubungan Interpolasi Spline

Hubungan antara parameter nilai salinitas (x) dan stasiun

pengambilan (y) berbanding lurus, yakni semakin jauh titik dari hulu (ST

01) akan menghasilkan kadar salinitas yang rendah, begitupula semakin

dekat titik dari hilir (ST 13) akan menghasilkan kadar salinitas yang tinggi.
84

Berikut adalah gambaran indeks salinitas sungai tallo

menggunakan interpolasi Spline.


85

Gambar 28. Peta Sebaran Salinitas dengan analisis Spline


86

B.3. Kriging

pada metode Kriging, estimasi stochastic yang mirip dengan Inverse

Distance Weighted (IDW) dimana menggunakan kombinasi linear dari

weight untuk memperkirakan nilai diantara sampel data. Sehingga jarak

dan orientasi antara sampel data menunjukkan korelasi spasial yang

penting dalam hasil interpolasi. Akan tetapi asumsi data yang dihasilkan

menyebar normal sementara kebanyakan data lapangan tidak memenuhi

kondisi tersebut. selain itu, semivariogram yang dihitung untuk suatu

himpunan data tidak berlaku untuk himpunan data lainnya. Dengan

demikian estimasi semivariogram akan sulit bila titik sampel yang

digunakan tidak mencukupi. Berikut Tabel perbandingan yang

menunjukkan nilai salinitas dari lapangan dengan nilai interpolasi serta

nilai Galat dengan menggunakan interpolasi Kriging

Tabel 12. Nilai Galat Interpolasi Kriging

Stasiun Data Interpola Galat


Pengambilan Salinitas si Kriging
Data Sebenarny
a
ST 01 1.34 1.36 0.02
ST 02 1.69 1.69 0.00
ST 03 3.00 3.02 0.02
ST 04 5.06 5.14 0.08
ST 05 5.81 5.80 (0.01)
ST 06 9.03 9.00 (0.03)
ST 07 11.10 11.11 0.01
ST 08 20.91 20.88 (0.03)
ST 09 25.70 25.66 (0.04)
ST 10 28.40 28.40 0.00
ST 11 31.40 32.22 0.82
87

ST 12 35.50 35.17 (0.33)


ST 13 45.60 45.60 0.00

Data tersebut menunjukan adanya kekeliruan pada data melihat nilai

galatnya. Hal ini disebabkan karena algoritma kriging yang membentuk

semivariogram. Hubungan antara parameter disajikan pada Gambar

dibawah:

Gambar 29. Grafik Hubungan Interpolasi Kriging

Dapat dilihat hubungan antara parameter nilai salinitas (x) dan

stasiun pengambilan (y) berbanding lurus, yakni semakin jauh titik dari

hulu (ST 01) akan menghasilkan kadar salinitas yang rendah, begitupula

semakin dekat titik dari hilir (ST 13) kadar salinitas yang ditemukan juga

semakin tinggi.

Berikut adalah gambaran indeks salinitas sungai tallo menggunakan

Interpolasi kriging.
88

Gambar 30. Peta Sebaran Salinitas dengan analisis Kriging


89

B.4. Galat Interpolasi

Setelah melihat hasil dari ketiga metode yang dilakukan dalam

penelitian ini, ditemukan nilai galat yang berbeda pada setiap metode

interpolasi. Pada IDW nilai galat yang ditemukan cenderung rendah

namun dilihat pada peta bahwa gambaran indeks salinitas sulit untuk

dilaksanakan karena adanya keterbatasan data yang dimiliki. Untuk

metode Spline , Galat yang ditemukan memang memliki nilai paling tinggi

dibandingkan dua metode lainnya, namun spline mampu menampilkan

situasi indeks salinitas yang lebih baik pada peta dengan data yang ada.

Sedangkan metode kriging tidak jauh berbeda kondisinya dengan

interpolasi IDW, dimana data yang ada belum cukup untuk bisa

menampilkan gambaran yang lebih akurat, selain itu nilai galat yang

ditemukan juga cenderung banyak dibandingkan metode lainnya.

C. Klasifikasi Nilai Salinitas

Salinitas adalah tingkat kadar garam atau keasinan terlarut dalam

air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah.

Kandungan garam pada sebagian besar sungai, danau, kolam, aquarium

dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dapat

dikategorikan sebagai air tawar.


90

Hasil pengukuran nilai salinitas air dibutuhkan dalam rangka

mengetahui pengaruh estuari atau intrusi air laut ke dalam tubuh Sungai

Tallo (daerah penelitian).

Pada penelitian Sungai Tallo ini didapatkan secara kompleks data

observasi lapangan yang terdapat nilai koordinat 13 titik sampel dengan

nilai salinitas tersaji pada tabel berikut:

Tabel 13. Data Salinitas Sungai Tallo

Stasiun Koordinat Salinitas


Pengambilan (Psu)
S E
ST 01 5 ˚ 8 ʹ 24,84 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 13,39 ʺ 1.34
ST 02 5 ˚ 8 ʹ 0,46 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 33,8 ʺ 1.69
ST 03 5 ˚ 7 ʹ 45,95 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 16,25 ʺ 3.00
ST 04 5 ˚ 7 ʹ 2,47 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 18,30 ʺ 5.06
ST 05 5 ˚ 7 ʹ 19,38 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 47,07 ʺ 5.81
ST 06 5 ˚ 7 ʹ 8,21 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 24,48 ʺ 9.03
ST 07 5 ˚ 7 ʹ 16,85 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 8,09 ʺ 11.10
ST 08 5 ˚ 6 ʹ 46,53 ʺ 119 ˚ 28 ʹ 0,42 ʺ 20.91
ST 09 5 ˚ 7 ʹ 3,34 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 30,30 ʺ 25.70
ST 10 5 ˚ 6 ʹ 53,58 ʺ 119 ˚ 27 ʹ 13,65 ʺ 28.40
ST 11 5 ˚ 6 ʹ 53,71 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,55 ʺ 31.40
ST 12 5 ˚ 6 ʹ 53,52 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 46,32 ʺ 35.50
ST 13 5 ˚ 6 ʹ 26,61 ʺ 119 ˚ 26 ʹ 36,78 ʺ 45.60
91

Berikut klasifikasi indeks klasifikasi air laut oleh Mc Lusky (1974) :

Tabel 14. Tabel Klasifikasi Salinitas

Berdasarkan hasil pengukuran nilai salinitas disesuaikan dengan

klasifikasi tingkat salinitas air tanah oleh Mc Lusky (1974) dapat

diindikasikan bahwa air Sungai Tallo telah terpapar intrusi air laut, nilai

hasil pengukuran salinitas air pada setiap titik stasiun pengamatan

diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Kategori air tawar dengan kadar salinitas pada indeks 0,5 o/oo

sampai dengan 3 o/oo, termasuk kategori Fresh Water yaitu pada

titik 1 sampai 2.

b. Kategori air payau dengan kadar salinitas pada indeks 16 o/oo

sampai dengan 30o/oo, termasuk kategori Polyhaline yaitu pada

titik 8 sampai 10, dan sebagian besar didominasi pada indeks


92

salinitas 3 o/oo sampai dengan 16o/oo,termasuk kategori Mesohaline

yaitu pada titik 3 sampai 7.

c. Kategori air asin dengan kadar salinitas pada indeks 30o/oo sampai

dengan 40 o/oo, termasuk kategori Marine yaitu pada titik 11

sampai 13.
93

D. Pola Sebaran Salinitas

Berdasarkan data yang diperoleh pada observasi lapangan diatas

maka selanjutnya dilakukan pemetaan menggunakan software ArcGis

untuk mengetahui bagaimana potensi pola sebaran salinitas yang ada

khususnya pada rentang jarak sekitar 13 km dari muara hingga hulu

sungai tallo dengan 3 metode pembagian yang digunakan yaitu IDW,

Spline dan Kriging yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini:


94

1. IDW

Gambar 31. Peta Pola Sebaran Salinitas Air dengan interpolasi IDW
95

2. Spline

Gambar 32. Peta Pola Sebaran Air dengan Interpolasi Spline


96

3. Kriging

Gambar 33. Peta Pola Sebaran Air dengan Interpolasi Kriging


97

Pada Gambar diatas dapat dilihat bahwa pola sebaran nilai salinitas

berdasarkan 3 metode interpasi yang dilakukan yang dimulai dari titik 1

hingga titik 13 terus meningkat nilainya, hal ini disebabkan oleh berbagai

faktor seperti adanya pengaruh intrusi air laut yang cukup kuat hingga

perairan pada bagian estuary sungai Tallo bisa didapati sebagai perairan

laut hingga sejauh kurang lebih 2 KM dari muara sungai kemudian

pengaruh intrusi juga masih memperngaruhi air sungai Tallo hingga

sejauh kurang lebih 10 KM dari arah muara dengan tingkat salinitas yang

menandakan bahwa perairan tersebut merupakan perairan payau. Dari

hasil pembagian jenis perairan yang tela didapatkan dapat dikatakan

bahwa sungai tallo mengalami intrusi air laut yang cukup besar yang

menyebabkan vegetasi yang ada disekitar sungai tallo yang berada pada

bagian hilir cukup sulit didapati.

Namun kehidupan biota di dalam perairan seperti ikan, perairan

sungai tallo bisa menjadi lingkungan yang optimal dalam proses

ekosistem atau biota yang ada pada sungai tallo untuk dapat berkembang

biak. Selain itu perlu diperhatikan dalam penggunaan air sungai di sekitar

muara oleh masyarakat dimana nilai salinitas yang ditemukan cukup tinggi

hingga perlu dilakukan penyulingan jika air tersebut ingin dipergunakan

untuk kebutuhan sehari-hari.


98

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan analisis nilai salinitas pada aliran Sungai Tallo yang telah

dilakukan dengan analisis IDW, Spline dan Kriging diketahui bahwa

analisis yang paling efektif dengan ketersediaan data yang ada adalah

analisis Spline. Dikarenakan untuk data dengan tingkat Galat yang

sedikit yaitu IDW dan Spline. Akan tetapi, untuk IDW tidak dapat

menginterpolasi seluruh daerah Penelitian.

2. Berdasarkan klasifikasi tingkat salinitas oleh Mc Lusky (1974) dapat

diketahui bahwa pola sebaran air Sungai tallo pada titik 1 sampai 2

termasuk kategori air tawar/kategori Fresh Water kemudian pada titik

3 hingga 7 termasuk kategori air payau kategori air Mesohaline, pada

titik 8 sampai 10 termasuk kategori Polyhaline serta pada titik 11

sampai 13 termasuk kategori air asin kategori Marine.

B. Saran

1. Perlu diadakannya penelitian jangka panjang yang lebih detail terkait

pasang surut air sungai Tallo.

2. Perlunya penelitian dengan metode lain berupa geolistrik untuk

mengetahui pola penyebaran salinitas air tanah daerah sekitar sungai

Tallo.
99

3. Perlunya dilakukan penelitian terkait salinitas yang lebih mendalam

dengan entang waktu penelitian sepanjang musim hujan.

4. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang salinitas maupunparameter

lainnya dengan rentang panjang sungai yang memiliki lintasan

penelitian lebih jauh lagi.


100

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta: Kanisius.

Herlambang, A., 1996. Kualitas Air Tanah Dangkal di Kabupaten Bekasi.

Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Krussman, G.P. and Ridder, N.A., 1970. Analysis and Evaluation of

Pumping Test Data. International Institude for Land Reclamation and

Improvement, Wegeningnen.

Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., dan Pranowo, W.S.

2014. Kualitas perairan Natuna pada musim transisi. Depik. 3(1), 10-

20

Megawati, C., Yusuf, M., dan Maslukah, L. 2014. Sebaran kualitas

perairan ditinjau dari zat hara, oksigen terlarut dan pH di perairan

selatan Bali Bagian Selatan. Jurnal Oseanografi, 3(2), 142-150.

Nonji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Noor, D., 2012. Pengantar Geologi Edisi II. Bogor : Pakuan University

Press.
101

Prahasta, Eddy. 2002. Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar

Informasi Goegrafis. Bandung: Informatika Bandung.

Prahasta, Eddy. 2002. Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar

Informasi Goegrafis. Bandung: Informatika Bandung.

Salsabila, Annisa. 2020. Pengantar Hidrologi. Bandar Lampung.

Shiddiqy, Muhammad Hanif. 2014. Pemetaan Keberadaan Akuifer

menggunakan Metode Resistivitas Konfigurasi Schlumberger di

Daerah Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: UGM

Simanjuntak, M. 2009. Hubungan faktor lingkungan kimia, fisika terhadap

distribusi plankton di perairan Belitung Timur, Bangka Belitung.

Journal of Fisheries Sciences, 11(1), 31-45.

Thornbury, W. D., 1969. Principles of Geomorphology Edisi Kedua. New

York : John Wiley & Sons Inc.

Todd, D.K., 1980. Groundwater Hydrology, John Wiley and Sons, New

York

Anda mungkin juga menyukai