Anda di halaman 1dari 80

ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK

PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR


(STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

IKA PUSPITA SARI


A14070016

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN

IKA PUSPITA SARI. A14070016. Analisis Ekologi Bentanglahan untuk


Penentuan Potensi Sumberdaya Air (Studi Kasus: DAS Cimadur, Banten).
Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG H. TRISASONGKO.

Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam
World Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh
kelemahan dalam pengelolaan air. Kajian tentang air dan pemanfaatannya sangat
terkait dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Faktor topografi
mempunyai peranan penting dalam menentukan pola spasial terhadap areal-areal
jenuh air. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pola sebaran
spasial zona kejenuhan air permukaan adalah Topographic Wetness Index (TWI).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimadur merupakan salah satu DAS utama di
Kabupaten Lebak, Banten yang turut berkontribusi dalam kejadian-kejadian banjir.
Kajian mengenai TWI di DAS Cimadur menjadi cukup penting karena dapat
menunjukkan sebaran titik-titik dugaan konsentrasi air yang dapat digunakan
untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi tergenang atau daerah-daerah
yang berpotensi untuk menyimpan air di DAS tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi jenis-jenis
bentuklahan, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng dengan menggunakan data
penginderaan jauh (citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM),
(2) Melakukan analisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona
kejenuhan air permukaan, dan (3) Melakukan analisis ekologi bentanglahan
(bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan
bentuklahan sebagai unit analisis untuk penentuan daerah yang potensial
menyimpan air.
Hasil analisis ekologi bentanglahan menunjukkan bahwa DAS Cimadur
didominasi oleh bentuklahan pegunungan denudasional vulkanik Tersier (DV1
dan DV2) seluas 10.046 Ha, penggunaan lahan kebun campuran seluas 8.952 Ha,
kemiringan lereng 15-30% (curam) seluas 8.534 Ha, dan kelas TWI sedang (=
kelas 2) seluas 20.987 Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah
penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi menyimpan air,
namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau penutupan/penggunaan lahan,
karena dinamika aliran air di daerah penelitian cukup tinggi sehingga pada saat
musim hujan air mudah untuk diloloskan namun pada saat musim kemarau akan
berpotensi untuk mengalami kekeringan.

Kata kunci: Banten, Bentuklahan, Cimadur, Daerah Aliran Sungai, Ekologi


Bentanglahan, Topographic Wetness Index
SUMMARY

IKA PUSPITA SARI. A14070016. Landscape Ecology Analysis for


Determination of Potential Water Resources (Case Study: Cimadur Watershed,
Banten). Supervised by BOEDI TJAHJONO and BAMBANG H.
TRISASONGKO.

Indonesia was predicted would have water crisis in 2025 in the World
Water Forum II in the Hague in March 2000. Most of the cause has been by the
weaknesses in water management. Study of water and its high demand has been
associated with shapes and physical characteristics of an area. Topographic factors
play an important role in determining spatial pattern water resources. In this
research, Topographic Wetness Index (TWI) is implemented to determine spatial
pattern of surface water saturation zone. Cimadur watershed was selected as one
of main watersheds in Lebak, Banten which has been contributing on flood hazard.
Study on TWI in Cimadur watershed has became important because it could show
distribution points containing concentration of water and therefore useful for
determining potential inundation as well as areas potentially storing water in the
watershed.
This research aims to: (1) Identify types of landform, land use, and slopes
using remote sensing data (Google Earth imagery, ALOS AVNIR-2 imagery, and
SRTM imagery), (2) Conduct analysis of TWI to obtain the distribution of spatial
pattern of surface water saturation zones, and (3) Conduct an analysis of the
landscape ecology (landform, land use, slope, and grade TWI) using landform as
unit of analysis for determination of potential water storage.
Landscape ecological analysis shows that Cimadur watershed is dominated
by Tertiary denudational volcanic landforms (DV1 and DV2), which covers
10.046 Ha, mixed-use garden covers 8.952 Ha, the slope of 15-30% (steep) covers
8.534 Ha, and middle TWI class (= grade 2) covers 20.987 Ha. It shows that
ecological conditions in test site are still at safe water saving, however, the area is
fairly vulnerable to climate change or land cover/land use change. These are due
to dynamics of water flow in the area during rainy and dry seasons.

Key word: Banten, Cimadur, Landform, Landscape Ecology, Topographic


Wetness Index, Watershed
ANALISIS EKOLOGI BENTANGLAHAN UNTUK
PENENTUAN POTENSI SUMBERDAYA AIR
(STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

IKA PUSPITA SARI


A14070016

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN


DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Analisis Ekologi Bentanglahan untuk Penentuan


Potensi Sumberdaya Air (Studi Kasus: DAS Cimadur,
Banten)
Nama Mahasiswa : Ika Puspita Sari
Nomor Pokok : A14070016

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Boedi Tjahjono Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc


NIP. 19600103 198903 1 002 NIP. 19700903 200812 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc


NIP. 19621113 198703 1 003

Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan


Yanuar dan Nur Hasanah pada tanggal 18 Januari 1990 di Bandar Lampung.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Dewi Surabaya (1995-1996),
SDN 01 Arcamanik Endah Bandung (1996-1999), SDN 02 Palapa Bandar
Lampung (1999-2001), SLTPN 04 Bandar Lampung (2001-2004), dan SMAN 03
Bandar Lampung (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai
mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, diantaranya Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Lampung,
BEM Fakultas Pertanian, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT). Penulis
juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis
Lanskap, Sistem Informasi Geografis dan Kartografi, Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra, serta Pengantar Ilmu Tanah.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Ekologi Bentanglahan untuk Penentuan Potensi Sumberdaya Air (Studi
Kasus: DAS Cimadur, Banten).
Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak Dr.
Boedi Tjahjono dan Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc selaku pembimbing
skripsi yang senantiasa mengarahkan, memberikan bimbingan, saran, kritik,
nasehat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima
kasih kepada Bapak Dr. Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji
yang telah memberikan saran dan masukan dalam perbaikan skripsi ini. Terima
kasih sebesar-besarnya kepada Ayah Yanuar dan Ibu Nur Hasanah sebagai orang
tua yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, semangat, nasehat, dan
menjadi sumber motivasi bagi penulis, juga kepada adik-adikku (Dicky dan
Rizqo) yang selalu memberi dukungan bagi penulis. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, Mas Tovan, Pak Misjaya, Teh
Yuyun, serta keluarga besar kampung adat Lebakpicung yang telah memberikan
kesempatan dan membantu penulis dalam proses pengambilan data lapang di
Sungai Ciambulawung, Banten. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada Reyna
Prachmayandini, Deuis Nurpadilah, Herdian Priambodo, dan Roma Purnanto atas
kerjasama maupun dukungan selama kegiatan survei lapang dan penelitian.
Terima kasih kepada Annisa, Mia, Rini, Citra, Lili, Adiz, Esti, Heni, Eni, Pipit,
Hera, Rima, Nurus, dan keluarga besar Soilscaper 44 untuk hiburan, motivasi,
kritik, saran, dan persahabatan yang sangat berarti bagi penulis.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi
berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna,
oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya
ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2012

Ika Puspita Sari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL...................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN ...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan .............................................................................................................2
1.3 Manfaat Penelitian ..........................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................4
2.1 Ekologi bentanglahan .....................................................................................4
2.2 Bentuklahan (Landform) ................................................................................5
2.3 Penutup/Penggunaan Lahan ...........................................................................7
2.4 Topographic Wetness Index (TWI) ................................................................8
2.5 Digital Elevation Model (DEM).....................................................................9
2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS)..........................................................................9
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................11
3.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................................11
3.3 Metode Penelitian .........................................................................................12
3.4 Tahapan Penelitian .......................................................................................14
3.4.1 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data...............................................14
3.4.2 Tahap Interpretasi Citra .........................................................................14
3.4.3 Tahap Pengecekan Lapang ....................................................................16
3.4.4 Tahap Analisis Data ...............................................................................16
3.4.5 Tahap Penyajian Hasil ...........................................................................17
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...............................................20
4.1 Letak Geografis Daerah Penelitian (DAS Cimadur, Banten).......................20
4.2 Kondisi Topografi Daerah Penelitian ...........................................................20
4.3 Kondisi Iklim Daerah Penelitian ..................................................................21
4.4 Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian ...........................................................21
4.5 Kondisi Demografi, Sosial, dan Ekonomi Daerah Penelitian ......................21
ix

4.6 Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian................................22


4.7 Penutupan/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian ........................................22
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................23
5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian ................................................23
5.1.1 Morfologi ...............................................................................................23
5.1.2 Morfogenesis .........................................................................................29
5.1.3 Morfokronologi ......................................................................................29
5.1.4 Litologi (batuan) ....................................................................................31
5.2 Identifikasi Bentuklahan di Daerah Penelitian .............................................32
5.3 Identifikasi Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian ...................................38
5.4 Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian .....................................................43
5.5 Analisis Ekologi Bentanglahan di Daerah Penelitian ...................................50
5.5.1 Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan ...................................50
5.5.2 Hubungan Bentuklahan dan Kemiringan Lereng ..................................52
5.5.3 Hubungan Bentuklahan dan Kelas TWI ................................................54
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................58
6.1 Kesimpulan ...................................................................................................58
6.2 Saran .............................................................................................................59
VII. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................60
LAMPIRAN..........................................................................................................63
x

DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya............................................. 12
2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis, dan Keluaran....... 13
3. Perangkat Lunak yang digunakan untuk Analisis 14
Data.................................................................................................
4. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur............. 24
5. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur...................... 35
6. Kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra dan kondisi di 40
lapang beserta luas tiap penggunaan lahan di DAS Cimadur.........
7. Klasifikasi kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen 47
sungai di DAS Cimadur..................................................................
8. Perbandingan nilai debit musim hujan dan musim kemarau di 49
Sungai Ciambulawung berdasarkan pengukuran di lapangan........
9. Luas penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS 50
Cimadur..........................................................................................
10. Luas kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS 52
Cimadur..........................................................................................
11. Luas kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur................... 54
12. Luas kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur.............. 55
xi

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Klasifikasi Order Sungai Menurut Strahler.................................... 10
2. Peta Batas DAS Cimadur................................................................ 11
3. Diagram Alir Penelitian.................................................................. 19
4. Gambaran morfologi DAS Cimadur dari Citra SRTM................... 25
5. Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur......................................... 26
6. Peta Ketinggian DAS Cimadur....................................................... 27
7. Peta Geologi DAS Cimadur............................................................ 30
8. Peta Bentuklahan DAS Cimadur.................................................... 33
9. Gambaran dan interpretasi bentuklahan DAS Cimadur dari Citra 34
SRTM..........................................................................................
10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimadur........................ 39
11. Peta Kelas TWI DAS Cimadur....................................................... 45
12. Peta Hasil Tumpangtindih Kelas TWI dan Order Sungai 46
Cimadur..........................................................................................
13. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, Penggunaan lahan 48
hutan, dan areal persawahan di Sungai Ciambulawung,
Banten.............................................................................................
14. Grafik luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS 51
Cimadur..........................................................................................
15. Grafik luasan kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS 53
Cimadur..........................................................................................
16. Grafik luasan Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS 55
Cimadur..........................................................................................
17. Grafik luasan Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS 56
Cimadur..........................................................................................
xii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur........................ 64
2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur................................... 64
3. Luas kelas ketinggian di DAS Cimadur......................................... 64
4. Luas kemiringan lereng pada masing-masing penggunaan lahan 65
di DAS Cimadur.............................................................................
5. Hubungan Kelas TWI dan penggunaan lahan di DAS 65
Cimadur..........................................................................................
6. Penjelasan lanjutan batuan di DAS Cimadur.................................. 65
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dan mutlak
diperlukan bagi kehidupan manusia di muka bumi. Tingkat pemanfaatan
sumberdaya air dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, seiring dengan
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya.
Indonesia diprediksi akan mengalami krisis air pada tahun 2025 dalam
World Water Forum II di Den Haag pada bulan Maret 2000, yang disebabkan oleh
kelemahan dalam pengelolaan air (Sosiawan dan Subagyono 2007). Pemanfaatan
air secara nasional telah mencapai sekitar 80 miliar m 3/tahun, dimana
pemanfaatan tertinggi berada di Jawa dan Bali, yaitu sekitar 60% (Suara
Pembaruan 2006). Tingkat pemanfaatan air yang tinggi ini tidak diimbangi
dengan pengelolaan air yang baik, sehingga menyebabkan meningkatnya potensi
kekurangan air, terutama air bersih. Hal ini diperburuk dengan pencemaran air
permukaan oleh kegiatan industri dan pertanian di berbagai wilayah.
Kajian tentang air dan pemanfaatannya sesungguhnya sangat terkait
dengan bentuk dan karakteristik fisik suatu wilayah. Menurut Grabs et al. (2009),
topografi berperan penting dalam menentukan pola spasial area jenuh air. Pola
aliran ini dapat menjadi kunci untuk memahami proses-proses hidrologi yang
terjadi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun demikian, kajian
proses hidrologi yang terkait dengan topografi masih belum banyak dilakukan.
Data turunan yang umum digunakan untuk memahami proses hidrologi
yang terkait dengan topografi adalah kemiringan dan aspek lereng. Topographic
Wetness Index (TWI) merupakan salah satu data turunan yang dihasilkan dari data
ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi
akumulasi aliran dan kemiringan lereng. Dengan demikian TWI bermanfaat untuk
menilai kondisi kebasahan suatu lahan di dalam suatu DAS dengan asumsi bahwa
tinggi muka air tanah mengikuti gradien permukaannya. Namun demikian, TWI
sangat langka ditemui di literatur, terutama yang berada di wilayah tropika basah.
Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten
yang banyak mengalami bencana banjir di antara kabupaten-kabupaten lain,
2

seperti Pandeglang, Serang, Cilegon, dan Tangerang. DAS Cimadur merupakan


salah satu DAS utama di Kabupaten ini yang turut berkontribusi terhadap kejadian
banjir. DAS merupakan suatu sistem hidrologis, sehingga kejadian-kejadian banjir
atau permasalahan hidrologis lainnya dapat ditelaah melalui analisis bentanglahan
dan kondisi ekologis yang terjadi secara aktual di dalam DAS. Dalam kaitannya
dengan analisis ekologi bentanglahan (landscape ecology), telaah TWI dapat
dimanfaatkan untuk identifikasi terhadap titik-titik dugaan konsentrasi air yang
dapat digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah yang berpotensi tergenang
atau berpotensi untuk menyimpan air di dalam DAS tersebut. Berkaitan dengan
itu, maka metode TWI diharapkan dapat memberikan hasil untuk mengetahui pola
sebaran spasial zona kejenuhan air permukaan di DAS Cimadur.
Beberapa permasalahan hidrologis di DAS Cimadur yang ada saat ini
antara lain adalah ketidakseimbangan ketersediaan air. Permasalahan ini tercermin
dari adanya kejadian kekeringan di musim kemarau yang dirasakan mengganggu
aktivitas pertanian (persawahan) dan juga aktivitas lain seperti terhentinya
mikrohidro yang berfungsi sebagai pembangkit listrik. Mikrohidro yang ada di
DAS Cimadur terletak di Kampung Lebakpicung, suatu kampung terpencil di
Desa Cibeber, Kabupaten Lebak. Penduduk kampung ini belum lama telah
mendapat aliran listrik secara merata berkat dibangunnya mikrohidro di
kampungnya oleh suatu kerjasama antara CSR-Perusahaan Listrik Negara (PLN)
dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB pada tahun 2009 (PPLH 2010).
Mikrohidro telah berjalan dengan baik selama ini, digerakkan oleh aliran Sungai
Ciambulawung (anak Sungai Cimadur), dan listrik yang dihasilkan dirasa banyak
membantu menyejahterakan penduduk setempat. Namun belakangan ini debit
Sungai Ciambulawung menurun di musim kemarau dan menjadi salah satu
kendala bagi kehidupan penduduk setempat, sehingga masalah debit ini perlu
mendapat perhatian lebih lanjut .

1.2 Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
3

1. Mengidentifikasi jenis-jenis bentuklahan, penggunaan lahan, dan kemiringan


lereng dengan menggunakan data penginderaan jauh (citra Google Earth, citra
ALOS AVNIR-2, dan citra SRTM).
2. Melakukan analisis TWI untuk mengetahui pola sebaran spasial zona
kejenuhan air permukaan.
3. Melakukan analisis ekologi bentanglahan (bentuklahan, penggunaan lahan,
kemiringan lereng, dan kelas TWI) dengan bentuklahan sebagai unit analisis
untuk penentuan daerah yang potensial menyimpan air.

1.3 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
hubungan keterkaitan antara konsep ekologi bentanglahan dengan TWI sebagai
dasar untuk mengetahui pola sebaran spasial zona kejenuhan air di wilayah kajian,
serta dapat memberikan informasi dasar untuk analisis banjir.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekologi bentanglahan


Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan
merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu
diantara fenomena dan proses-proses di bentanglahan atau geosfer, termasuk
komunitas tanaman, hewan dan manusia. Istilah ekologi bentanglahan (landscape
ecology) diperkenalkan pertama kali oleh ahli geografi Jerman bernama Carl Troll,
yang kemudian digunakan istilah geo-ekologi, merupakan gabungan antara
geografi (bentanglahan) dan biologi (ekologi) yang secara keseluruhan
membentuk satu kesatuan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi: iklim,
geologi, geomorfologi, air, tanah, vegetasi dan manusia.
Verstappen (1989) dalam Samadikun (2009) mengemukakan bahwa dalam
mempelajari geomorfologi selalu ditekankan pada bentuklahan, proses dan asal
mulanya (genesis) serta kaitannya dengan lingkungan sekitar, atau lebih dikenal
dengan ekologi bentanglahan.
Zonneveld (1989) mengemukakan bahwa konsep ekologi bentanglahan
melibatkan sistem sumberdaya alam dan sistem sumberdaya manusia dalam suatu
wilayah, kedua sistem sumberdaya tersebut membentuk sistem sumberdaya
wilayah. Interaksi antara sistem sumberdaya alam dan sistem sumberdaya
manusia tersebut dalam suatu wilayah/daerah/tempat tertentu menjadi suatu tipe
penggunaan lahan (land utilization type) tertentu.
Sinaga et al. (1994) mengemukakan bahwa salah satu hal yang dapat
dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara bentanglahan
dan kehidupan yang berada di atasnya yang saling ketergantungan. Kondisi
bentanglahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi ataupun unit
bentuklahan, sedang kehidupan dalam hal ini meliputi kehidupan manusia,
tanaman dan hewan. Konsep ekologi bentanglahan dapat digunakan untuk
menjelaskan setiap unit geomorfologi ataupun unit bentuklahan yang dikaitkan
dengan semua kehidupan yang berada di atasnya, yang telah, sedang dan akan
terjadi. Dalam konsep bentanglahan ini, kehidupan yang berupa tanaman dan
aktivitas manusia di atas lahan dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan.
5

2.2 Bentuklahan (Landform)


Bentuklahan adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang
mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa
proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu (Asriningrum 2002). Geomorfologi
merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences) yang mempelajari
tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan. Menurut van Zuidam (1985)
geomorfologi adalah studi yang mendeskripsikan bentuklahan dan proses-proses
geomorfik yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-
balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangannya.
Kajian geomorfologi merupakan suatu deskripsi dan penjelasan bentuklahan yang
mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis
(proses endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta
batuan (lithology) penyusunnya.
Aspek morfologi mencakup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri.
Morfografi mendeskripsikan bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar
seperti pegunungan, gunungapi, dataran maupun yang berukuran kecil seperti
bukit, lembah, dan kipas aluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran
bentuklahan seperti kemiringan lereng, elevasi, arah lereng, dan yang lainnya.
Aspek morfogenesis mencakup kajian terhadap proses geomorfik atau proses
geomorfologis yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang yang membentuk
bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi waktu dan
tahapan pembentukan berbagai bentuklahan dan proses yang terjadi di dalamnya,
sedangkan aspek batuan mengkaji mengenai struktur geologi/material-
material/jenis batuan penyusun bentuk permukaan bumi (Dwiyanti 2009).
Dalam mempelajari bentuklahan, proses geomorfik mempunyai peran
penting karena melalui proses ini dapat menyingkap sejarah terbentuknya
bentuklahan aktual. Proses geomorfik dipahami sebagai semua perubahan baik
fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Adapun
perubahan bentuk muka bumi itu sendiri tidak terlepas dari peran agen geomorfik,
yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan
bumi (Wiradisastra et al. 2002).
6

Analisis geomorfologi diperlukan untuk mengetahui sebaran bentuklahan


(landform) dari suatu bentanglahan (landscape), seperti dataran, bukit,
pegunungan, lembah, dan sebagainya sehingga dapat memberikan pemahaman
mengenai karakteristik alam dan pembentukannya dari bentanglahan tersebut.
Karakteristik bentuklahan umumnya banyak berkorelasi dengan tipe penggunaan
lahan karena jenis penutup/penggunaan lahan umumnya menyesuaikan dengan
karakteristik bentuklahan. Jika suatu penggunaan lahan dipaksakan untuk
diterapkan padahal tidak sesuai dengan daya dukung dan karakteristik
bentuklahannya, maka dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang
dapat melahirkan bencana, seperti banjir, kekeringan, longsor, dan sebagainya.
Dengan demikian, peranan geomorfologi untuk kajian potensi sumberdaya alam,
termasuk sumberdaya air sangat penting, khususnya untuk mengkaji wilayah yang
berpotensi dalam menyimpan air melalui karakteristik bentuklahannya.

2.2.1 Kelompok Utama Bentuklahan


Jenis-jenis bentuklahan berdasarkan morfogenesisnya dapat dibagi
menjadi 9 jenis (van Zuidam 1985), yakni:
1. Bentuklahan asal proses struktural (S)
Bentuklahan yang terbentuk akibat dari adanya proses endogenetik
(tenaga/gerakan dari dalam bumi). Contoh: patahan, pegunungan lipatan.
2. Bentuklahan asal proses vulkanik (V)
Bentuklahan yang terbentuk akibat terjadinya proses endogenetik dan
aktifitas hydrothermal. Contoh: kerucut gunungapi, kaldera.
3. Bentuklahan asal proses denudasional (D)
Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga
denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Denudasi
cenderung akan menurunkan bagian permukaan bumi yang positif hingga
mencapai bentuk permukaan bumi yang hampir datar (peneplains).
Bentuklahan ini terbentuk akibat oleh proses eksogenetik (pelapukan, erosi,
dan sedimentasi). Contoh: plateau, pegunungan/perbukitan yang telah
mengalami erosi.
4. Bentuklahan asal proses marin (M)
7

Bentuklahan yang terbentuk akibat pengaruh gelombang laut, arus


sepanjang pantai, dan proses pasang-surut air laut. Contoh: laguna, teluk.
5. Bentuklahan asal proses fluvial (F)
Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya aktifitas aliran air. Contoh:
dataran banjir, kipas aluvial.
6. Bentuklahan asal proses gleitser (G)
Bentuklahan yang terbentuk sebagai akibat dari aktifitas di puncak
pegunungan atau es kontinental.
7. Bentuklahan asal proses aeolian (A)
Bentuklahan yang terjadi akibat hembusan angin yang mengikis batuan-
batuan dan memindahkan hasil kikisannya ke tempat lain. Contoh: sand
dunes.
8. Bentuklahan asal proses pelarutan atau karst (K)
Bentuklahan yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan oleh air
terhadap batuan yang mudah larut. Contoh: sinkhole, conical karst.
9. Bentuklahan asal proses biologik (B)
Bentuklahan yang terbentuk akibat proses biologis dan aktivitas organisme.
Contoh: lahan gambut, koral.

2.3 Penutupan/Penggunaan Lahan


Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan
manusia pada bidang lahan tersebut (Lillesand dan Kiefer 1990). Informasi
tentang penutupan lahan pada umumnya dapat dikenali dengan mudah pada citra
penginderaan jauh. Untuk menafsir penggunaan lahan pada citra penginderaan
jauh dapat didasarkan pada informasi penutupan lahannya (Fakultas Geografi
UGM-Bakosurtanal 2000). Contoh penutupan/penggunaan lahan adalah hutan,
semak belukar, persawahan, permukiman, dan lain sebagainya.
Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokkan
penutupan/penggunaan lahan melalui citra penginderaan jauh untuk disajikan
dalam bentuk spasial. Menurut Suharyadi (1996), secara teoritis klasifikasi
penutupan/penggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa
8

kriteria, yaitu tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang
digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya.

2.4 Topographic Wetness Index (TWI)


Sorensen dan Seibert (2007) mengemukakan bahwa Topographic Wetness
Index (TWI) pertama kali diperkenalkan oleh Beven dan Kirkby pada tahun 1979
sebagai bagian dari model runoff TOPMODEL dan mungkin merupakan indeks
topografi yang paling sering diterapkan. TWI diformulasikan sebagai ln (/tan ),
dimana tan adalah lereng dari dasar permukaan dan disebut specific upslope
area yang dihitung dengan rumus = A/L, dimana A [m2] adalah upslope area
dan L [m] adalah panjang lereng. Dengan demikian, suatu lokasi yang mempunyai
lereng yang curam akan mempunyai nilai indeks TWI yang rendah, sehingga
mudah untuk meloloskan air dan potensinya rendah dalam menggenangkan air.
Sebaliknya, suatu lokasi yang mempunyai lereng yang landai akan mempunyai
nilai indeks TWI yang tinggi, sehingga berpotensi tinggi untuk menampung dan
menyimpan air atau potensinya untuk menggenangkan air.
TWI menghitung tingkat akumulasi air dalam sebuah area tangkapan
(DAS). Area tangkapan (DAS) menghitung area dari lahan tangkapan air ke suatu
tempat dimana kemiringan lereng mengindikasikan kemampuan dari tempat itu
untuk menyimpan/menggenangkan air. Faktor lain yang mempengaruhi akumulasi
air (penggunaan lahan dan tanah di area tangkapan) dan nilai simpanan/genangan
air (transmisivitas tanah), sehingga indeks ini hanya mengukur komponen
topografi dari variasi spasial dalam kebasahan. Nilai-nilai TWI umumnya berkisar
mulai dari <5 pada bagian atas lereng sampai >20 pada bagian-bagian yang
datar/cekungan (Yesilnacar and Suzen 2006).
TWI dapat dipahami sebagai pengukuran relatif kondisi hidrologis pada
suatu tempat dari suatu bentanglahan. Nilai TWI didasarkan pada beberapa asumsi,
dimana lereng permukaan diasumsikan mewakili kemiringan muka air tanah,
sementara konduktivitas hidrolik tanah dan presipitasi diasumsikan seragam
dalam suatu bentanglahan. Nilai indeks TWI yang kecil biasanya ditemukan di
bagian atas lereng, sedangkan nilai indeks TWI yang besar biasanya terdapat di
9

daerah cekungan yang berasosiasi dengan tanah yang mempunyai konduktivitas


hidrolik rendah.
Indeks topografi biasanya dihitung dari data grid elevasi dengan
mempertimbangkan resolusi gridnya karena besarnya grid mempengaruhi hasil
nilai indeks yang dihitung. Wolock dan Prince (1994) menyatakan bahwa ketika
dua resolusi dibandingkan, antara grid 30 m dan grid 90 m, maka rata-rata dari
upslope area terpengaruh. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam ukuran grid dan
isi informasi dalam DEM. Zhang dan Montgomery (1994) berdasarkan hasil
penelitiannya menyatakan bahwa untuk bentanglahan dengan ukuran grid 10 m
cukup baik untuk pemodelan hidrologi, namun demikian jika resolusi ditingkatkan
misalnya menjadi 2-4 m, maka ternyata hasilnya tidak memberikan informasi
tambahan yang berarti.

2.5 Digital Elevation Model (DEM)


Digital Elevation Model (DEM) adalah data digital yang menggambarkan
geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan
titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang
mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat. DEM
khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan (terrain). DEM
merupakan gambaran relief permukaan bumi tiga dimensi yang menyerupai
keadaan sebenarnya di dunia nyata divisualisasikan dengan bantuan teknologi
komputer grafis dan teknologi virtual reality. Sehingga DEM merupakan suatu
sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, memproses, dan
menyajikan informasi suatu medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili
distribusi spasial dari karakteristik medan diwakili oleh nilai-nilai pada sistem
koordinat horizontal XY, sedangkan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian
medan dalam sistem koordinat Z (Rosytha dan Taufik 2011).

2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS)


Secara umum, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu
wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung
(igir-igir) yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
10

menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Faktor-faktor yang mempengaruhi


DAS adalah iklim, jenis tanah, topografi, geologi, morfologi, dan tata guna lahan
(Asdak 2010). DAS sebagai suatu sistem hidrologi dalam satuan wilayah dapat
dikenali melalui bentuk dan ukuran luasnya secara geografis, sehingga bentuk dan
ukuran DAS dapat berbeda antara DAS yang satu dengan DAS lainnya.
Strahler mengklasifikasikan sungai berdasarkan tingkat percabangan anak-
anak sungainya (Gambar 1).

Gambar 1. Klasifikasi Order Sungai Menurut Strahler

Jaringan sungai yang tidak memiliki anak sungai disebut order 1, jaringan
sungai yang menerima aliran dari dua sungai order 1 disebut order 2, jaringan
sungai yang menerima aliran dari dua sungai order 2 disebut order 3, dan begitu
seterusnya, sehingga setiap jaringan sungai yang memiliki order sama dan
bertemu maka akan menghasilkan order baru untuk aliran di bawahnya dengan
urutan angka setingkat di atas order yang lama. Dengan demikian, semakin besar
urutan order sungai maka akan semakin luas wilayah tangkapannya (DAS) dan
juga akan semakin banyak percabangan sungai di atasnya (Agustina 2007).
Sub-DAS adalah bagian dari DAS yang berukuran lebih besar dimana air
hujan yang diterima akan dialirkan melalui anak sungai menuju ke sungai utama,
sehingga setiap DAS terbagi ke dalam masing-masing sub-DAS. Keterkaitan
antara sub-DAS satu dengan lainnya akan membentuk sebuah sistem yang terdiri
dari anak-anak sungai yang dapat dianggap sebagai sebuah kesatuan yang disebut
ekosistem DAS (Manan 1979).
11

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


DAS Cimadur, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah
penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan
Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari 2011
hingga Maret 2012, sedangkan pengamatan lapang dilakukan pada bulan Februari
dan Juli 2011 di Sungai Ciambulawung yang merupakan salah satu anak Sungai
Cimadur. Pengamatan lapang difokuskan pada pengukuran debit sungai, observasi
terhadap jenis-jenis bentuklahan, dan obyek-obyek di atasnya, seperti penggunaan
lahan dan lereng.

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

3.2 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian beserta sumbernya disajikan pada
Tabel 1. Data yang digunakan adalah data spasial berupa kontur dan jaringan
12

sungai yang diperoleh dari peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) digital skala
1:25.000, peta geologi digital skala 1:100.000, citra Google Earth tahun 2011,
citra ALOS AVNIR-2 tahun 2009, dan citra SRTM tahun 2000.

Tabel 1. Jenis Data Penelitian dan Sumbernya


No. Data Sumber Data Keterangan
1 Peta Kontur digital Bakosurtanal Untuk membuat batas DAS Cimadur,
RBI skala 1:25.000 Banten
2 Peta Jaringan Sungai Bakosurtanal Untuk membuat batas DAS Cimadur,
digital RBI 1:25.000 Banten
3 Citra Google Earth Google Earth Untuk membuat peta penggunaan lahan
tahun 2011 DAS Cimadur, Banten
4 Citra ALOS AVNIR- Japan Aerospace Sebagai citra komposit apabila citra
2 tahun 2009 Exploration Agency Google Earth tertutup awan
(JAXA)-ALOS PP2
IPB
5 Peta Geologi digital Puslitbang Geologi Untuk membuat peta bentuklahan DAS
skala 1:100.000 Cimadur, Banten

6 Citra SRTM tahun CGIAR SRTM Untuk membuat peta bentuklahan DAS
2000 Cimadur, Banten

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahapan-tahapan
penelitian secara umum terdiri dari: (1) tahap persiapan dan pengumpulan data,
(2) tahap interpretasi citra, (3) tahap pengecekan lapang, (4) tahap analisis data,
dan (5) tahap penyajian hasil. Tahapan-tahapan penelitian berdasarkan tujuan,
jenis data, teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 2. Keluaran
yang diharapkan dari penelitian ini adalah teridentifikasinya bentuklahan,
penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI yang ada di DAS Cimadur
terkait dengan potensinya dalam menyimpan air. Program yang digunakan untuk
mengolah data spasial adalah ArcView 3.3 dengan tools tambahan Terrain
Analysis, ArcGIS 9.3, ENVI 4.5, dan Global Mapper v.12, sedangkan untuk
mengolah data atribut digunakan Ms. Office Excel 2007 (Tabel 3).
13

Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis Data, Teknik Analisis, dan Keluaran


No Tujuan Jenis Data Teknik Analisis Keluaran
Penelitan
1 Mengidentifikasi - Citra SRTM - Tumpangtindih citra SRTM, Peta
satuan - Peta Batas DAS peta batas DAS, peta kontur, Bentuklahan
bentuklahan Cimadur dan peta geologi DAS DAS
DAS Cimadur - Peta Kontur DAS Cimadur Cimadur
Cimadur - Interpretasi visual dan
- Peta Geologi DAS digitasi citra untuk jenis
Cimadur bentuklahan
- Tabulasi data luas tiap
bentuklahan
2 Mengidentifikasi - Citra Google Earth - Interpretasi visual dan Peta
penggunaan - Citra ALOS AVNIR- digitasi citra untuk jenis Penggunaan
lahan DAS 2 penggunaan lahan lahan DAS
Cimadur - Peta Batas DAS - Tabulasi data luas tiap Cimadur
Cimadur penggunaan lahan
3 Mengidentifikasi - Peta Batas DAS - Konversi peta kontur ke Peta
kemiringan Cimadur TIN Kemiringan
lereng DAS - Peta Kontur DAS - Klasifikasi kelas kemiringan Lereng DAS
Cimadur Cimadur lereng Cimadur
4 Menganalisis - Peta Kontur DAS - Konversi data kontur ke Peta Kelas
TWI DAS Cimadur data titik tinggi TWI DAS
Cimadur - Peta Batas DAS - Interpolasi IDW Cimadur
Cimadur - Klasifikasi kelas TWI
- Peta Sungai Cimadur - Tabulasi data panjang
- Peta Batas sub-DAS segmen sungai
Cimadur
5 Menganalisis - Peta Kemiringan - Tumpangtindih peta Penentuan
ekologi Lereng DAS kemiringan lereng dan Potensi
bentanglahan Cimadur bentuklahan DAS Cimadur Sumberdaya
DAS Cimadur - Peta Bentuklahan - Tumpangtindih peta Air DAS
DAS Cimadur penggunaan lahan dan Cimadur
- Peta Penggunaan bentuklahan DAS Cimadur
lahan DAS Cimadur - Tumpangtindih peta kelas
- Peta Kelas TWI DAS TWI dan bentuklahan DAS
Cimadur Cimadur
14

Tabel 3. Perangkat Lunak yang digunakan untuk Analisis Data


No Perangkat Lunak Keterangan
1 ArcView 3.3 dengan tools tambahan Mengolah data spasial (analisis TWI)
Terrain Analysis
2 ArcGIS 9.3 Mengolah data spasial (Peta dan Citra)
3 ENVI 4.5 Mengolah data spasial (Peta dan Citra)
4 Global Mapper v.12 Mengolah data spasial (Peta dan Citra)
5 Google Earth Mengolah data spasial (Peta dan Citra)
6 Ms. Office Excel 2007 Tabulasi data

3.4 Tahapan Penelitian

3.4.1 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data


Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka dan pengumpulan data, baik
yang berasal dari penelitian sebelumnya maupun data penunjang untuk memahami
metode yang telah berkembang berkaitan dengan penelitian ini. Data penunjang
yang diperlukan antara lain: berbagai jurnal ilmiah, prosiding seminar, artikel
ilmiah, dan buku teks yang berkaitan dengan penelitian. Selain itu, dilakukan
eksplorasi perangkat lunak seperti: ArcGIS 9.3, Global Mapper v.12, Envi 4.5,
dan Google Earth.

3.4.2 Tahap Interpretasi Citra


3.4.2.1 Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur
Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 9.3 dengan mempertimbangkan garis-garis kontur dan sungai utama serta
anak-anak sungainya yang mengalir pada wilayah DAS Cimadur. Melalui pola-
pola garis kontur, diperhatikan batas-batas topografi yang terdapat di sekitar
sungai utama tersebut. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan definisi DAS yang
merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas
topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen,
dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada
sungai utama ke laut atau danau (Asdak 2010).
15

Peta batas dari tiap sub-DAS yang ada di dalam DAS Cimadur juga dibuat
dengan menggunakan ArcGIS 9.3 dengan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi
terhadap order sungai yang mengalir di DAS tersebut, yaitu dimulai dari order 3, 4,
dan seterusnya hingga order terbesar untuk Sungai Cimadur. Klasifikasi order
sungai yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi Strahler,
seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada Bab Tinjauan Pustaka. Selanjutnya,
peta batas sub-DAS yang dihasilkan digunakan untuk analisis hubungan antara
order sungai dan kelas TWI.

3.4.2.2 Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur


Peta penggunaan lahan dibuat dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 9.3 dengan melakukan interpretasi visual dan digitasi terhadap citra
Google Earth, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 berfungsi sebagai citra komposit
apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan. Hasil klasifikasi yang
dilakukan dari digitasi citra tersebut kemudian dicek di lapang agar memberikan
ketepatan antara kenampakan yang ada pada citra dan kondisi yang sebenarnya di
lapangan.

3.4.2.3 Pembuatan Peta Bentuklahan DAS Cimadur


Peta bentuklahan DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan perangkat
lunak Global Mapper v.12 dan ArcGIS 9.3. Citra SRTM Provinsi Banten yang
telah dibuka menggunakan Global Mapper v.12 ditumpangtindihkan (overlay)
dengan peta batas DAS Cimadur sebagai batas wilayah penelitian. Perangkat
lunak Global Mapper v.12 digunakan untuk menampilkan citra secara 3 dimensi,
sehingga morfologi permukaan bumi dapat terlihat dengan jelas, untuk
memudahkan menginterpretasi bentuklahan. Sebelum memulai identifikasi
bentuklahan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat keadaan di sekitar
wilayah penelitian, baik dari aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi,
maupun litologinya. Kondisi morfologi wilayah penelitian yang tampak pada citra,
kemudian didelineasi sesuai dengan bentuk morfologi termasuk kerapatan kontur,
serta kondisi geologi yang menyusun wilayah penelitian. Klasifikasi umum
16

bentuklahan ditentukan berdasarkan kriteria geomorfologi yang dikemukakan oleh


van Zuidam (1985).

3.4.2.4 Pembuatan Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur


Peta kemiringan lereng DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan
perangkat lunak ArcGIS 9.3. Peta kontur digital RBI skala 1:25.000 dikonversi ke
TIN (Triangulated Irregular Network). TIN adalah struktur data vektor tiga
dimensi yang mempresentasikan permukaan bumi dengan membangun jejaring
segitiga. Selanjutnya, data TIN dikonversi ke data raster. Data yang dihasilkan
dari proses ini adalah data elevasi digital dalam format raster yang berisi sel-sel
dengan ukuran tertentu dimana setiap nilai sel menunjukkan angka ketinggian.
Setelah itu, dilakukan konversi dari data ketinggian menjadi data kemiringan
lereng yang ada pada menu 3D Analyst. Data yang dihasilkan dari proses ini
adalah data dalam format raster yang belum diklasifikasi. Peta kemiringan lereng
biasanya dinyatakan dalam interval kelas, sehingga langkah selanjutnya adalah
melakukan klasifikasi kelas lereng.

3.4.3 Tahap Pengecekan Lapang


Tahap pengecekan lapang dilakukan 2 kali, yakni di bulan Februari dan
Juli tahun 2011. Pada tahap ini dilakukan pengambilan beberapa lokasi piksel/titik
(x,y) untuk menentukan daerah kajian penelitian dengan menggunakan perangkat
GPS. Pengamatan lapang difokuskan pada pengukuran debit sungai, observasi
terhadap jenis-jenis bentuklahan dan obyek-obyek di atasnya, yakni penggunaan
lahan dan lereng.

3.4.4 Tahap Analisis Data


3.4.4.1 Analisis Topographic Wetness Index (TWI) DAS Cimadur
Analisis TWI dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3
dengan tools tambahan Terrain Analysis. Data dasar untuk analisis TWI adalah
Peta kontur digital RBI skala 1:25.000. Peta ini kemudian dipotong dengan peta
batas DAS Cimadur dan diubah menjadi titik-titik ketinggian untuk selanjutnya
dilakukan interpolasi. Interpolasi merupakan proses estimasi nilai pada wilayah
17

yang tidak diukur, sehingga dapat dihasilkan sebaran nilai pada seluruh wilayah.
Dalam penelitian ini digunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighted
(IDW). Metode IDW merupakan metode deterministik yang sederhana dengan
mempertimbangkan titik di sekitarnya. Asumsi dari metode ini adalah bahwa nilai
interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh.
Bobot (weight) akan berubah secara linier sesuai dengan jaraknya terhadap data
sampel. Dalam proses ini data yang dihasilkan merupakan data baru dalam bentuk
grid (raster), sehingga data ini dapat digunakan untuk analisis TWI.
Data dalam bentuk grid ini menghasilkan 9 data TWI yang bersifat kontinu
(continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan
interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas TWI rendah (= kelas 1)
dengan selang kelas nilai TWI <5, kelas TWI sedang (= kelas 2) dengan selang
kelas nilai TWI 5-10, dan kelas TWI tinggi (= kelas 3) dengan selang kelas nilai
TWI >10. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa referensi awal
mengingat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan. Pengkelasan ini
digunakan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan konsentrasi air.
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan delineasi masing-masing kelas
TWI yang sudah diklasifikasi agar keluaran akhir yang dihasilkan berbentuk data
vektor.

3.4.4.2 Analisis Ekologi Bentanglahan DAS Cimadur


Analisis ekologi bentanglahan dimulai dengan melihat hubungan antara
komponen-komponen bentanglahan, seperti penggunaan lahan, kemiringan lereng,
dan kelas TWI yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuklahan sebagai unit
analisisnya untuk menentukan daerah yang berpotensi menyimpan air. Analisis
dilakukan dengan metode tumpangtindih (overlay) dengan perangkat lunak
ArcGIS 9.3 atau ArcView 3.3.

3.4.5 Tahap Penyajian Hasil


Penyajian hasil adalah penyajian secara tertulis tentang hasil klasifikasi
dan analisis (peta dan citra), serta penyajiannya dalam bentuk peta-peta sehingga
18

terbentuk sebuah laporan yang disajikan dalam bentuk skripsi. Rangkaian metode
penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 3.
19

Citra SRTM, Peta Topografi Citra Google Earth,


Peta Geologi DEM digital Peta titik tinggi Citra ALOS AVNIR-2,
digital 1:25.000 cek lapang
1:100.000

Peta Kemiringan Peta Batas


lereng Cimadur DAS Cimadur Peta Penggunaan
lahan Cimadur
Interpolasi IDW

Peta Bentuklahan Klasifikasi order sungai


Cimadur (metode Strahler)

Peta Batas Peta Kelas TWI


sub-DAS Cimadur Cimadur

Analisis ekologi bentanglahan untuk


penentuan
Gambar daerah yang potensial
3. Diagram menyimpan air
Alir Penelitian

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian


20

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis Daerah Penelitian (DAS Cimadur, Banten)


Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di
provinsi Banten dengan Ibukota di Rangkasbitung. Secara geografis, Kabupaten
Lebak terletak antara 618-700 Lintang Selatan dan 10525-10630 Bujur
Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha (3.044,72 Km2) yang terdiri dari 28
Kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Berikut merupakan batas
administratif Kabupaten Lebak:
Sebelah Utara : Kabupaten Serang dan Tangerang
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Sebelah Barat : Kabupaten Pandeglang
Sebelah Timur : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi
DAS Cimadur merupakan salah satu DAS utama yang mengalir di
Kabupaten Lebak. DAS ini terletak antara 640-655 Lintang Selatan dan
10614-10625 Bujur Timur yang mempunyai luas kurang lebih 21.022 Ha.

4.2 Kondisi Topografi Daerah Penelitian


Kabupaten Lebak secara topografi memiliki 3 (tiga) karakteristik
ketinggian dari permukaan laut, yaitu:
1. 0 300 meter, untuk wilayah sepanjang Pantai Selatan
2. 300 500 meter, untuk wilayah Lebak Tengah
3. >500 meter, untuk wilayah Lebak Timur dengan puncaknya yaitu Gn.
Sanggabuana dan Gn. Halimun
DAS Cimadur terletak mulai dari wilayah Lebak Timur sampai Lebak
Selatan. Pada DAS bagian Utara didominasi oleh topografi pegunungan dengan
ketinggian hingga 1500 m dpl, pada DAS bagian tengah didominasi oleh topografi
pegunungan dan perbukitan yang mempunyai ketinggian antara 300-900 m dpl,
sedangkan untuk DAS bagian Selatan didominasi oleh topografi perbukitan dan
lembah dengan ketinggian mulai dari 0-300 m dpl. Mengingat topografi DAS
Cimadur lebih didominasi oleh pegunungan dan perbukitan, maka daerah ini
memiliki kemiringan lereng dari datar hingga sangat curam.
21

4.3 Kondisi Iklim Daerah Penelitian


Iklim di wilayah Lebak dipengaruhi oleh Angin Monsoon dan gelombang
La Nina. Cuaca didominasi oleh Angin Barat dari Samudera Indonesia dan Angin
Asia di musim penghujan, serta Angin Timur pada musim kemarau. Curah hujan
rata-rata per tahun mencapai 2.000-4.000 mm, dengan suhu udara berkisar antara
24.5C-29.9C (http://lebakkab.bps.go.id).
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, DAS
Cimadur termasuk dalam kategori iklim C yang mempunyai nilai rasio Q berkisar
antara 33,3-60%, dengan ciri mempunyai hutan berdaun lebar/jarum, cenderung
homogen, intensitas penyinaran sedang (http://www.bp4k kuningan.web.id).

4.4 Kondisi Hidrologi Daerah Penelitian


DAS Cimadur merupakan salah satu sungai utama yang mengalir dari
kompleks Gunung Salak-Halimun ke Samudera Hindia dengan arah aliran secara
umum mengalir dari Utara ke Selatan. DAS ini mempunyai pola aliran paralel di
bagian Utara dengan anak-anak sungai saling sejajar atau hampir sejajar yang
bermuara pada sungai utama, hal ini sangat erat kaitannya dengan letaknya atau
berkembang di atas morfologi tebing dengan lereng curam. Pola aliran trellis
mendominasi wilayah DAS bagian Selatan, terlihat dari bentuk percabangan anak
sungai dan sungai utama yang hampir tegak lurus karena tersusun oleh batuan
yang berselang-seling antara batuan lunak (batuliat) dan resisten (batupasir) serta
struktur geologi lipatan. Pola aliran yang mendominasi DAS bagian tengah adalah
pola dendritik, dengan bentuk menyerupai percabangan pohon, tidak teratur,
dengan arah dan sudut yang beragam. Hal ini disebabkan karena sungai yang
berkembang di wilayah ini tersusun oleh batuan yang relatif homogen, yakni
batuan yang berasal dari proses vulkanik.

4.5 Kondisi Demografi, Sosial, dan Ekonomi Daerah Penelitian


Kabupaten Lebak terdiri dari 28 kecamatan, dua diantaranya yakni:
Kecamatan Bayah dan Cibeber terliput di dalam DAS Cimadur. Jumlah penduduk
yang menempati dua Kecamatan ini adalah 98.737 orang atau 7,84% dari total
populasi Kabupaten Lebak (1.258.893 orang). Di kabupaten ini sektor pertanian
22

merupakan sektor utama yang menunjang perekonomian kabupaten dengan


jumlah persentase tertinggi, yakni sebesar 55,31% dibandingkan dengan sektor-
sektor lain, seperti perdagangan, jasa, dan industri (http://lebakkab.bps.go.id).

4.6 Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian


Daerah penelitian (DAS Cimadur) tersusun oleh beberapa Formasi geologi
berdasarkan Peta Geologi Digital yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Formasi yang dimaksud adalah Formasi Cimapag (Tmc)
dan Formasi Tufa Citorek (Tpv) berumur Miosen hingga Pliosen yang tersebar di
DAS bagian Utara, membentuk geomorfologi pegunungan yang telah mengalami
denudasi. Di bagian tengah DAS tersusun oleh Formasi Cikotok (Temv), Formasi
Cicarucup (Tet), dan Formasi Anggota Batugamping (Tojl) dengan kisaran umur
Eosen sampai Miosen. Pada bagian tengah ini, geomorfologi yang terbentuk
berupa pegunungan yang tampak terdenudasi lebih lanjut. Di bagian Selatan DAS,
umumnya disusun oleh Formasi Limestone Member (Tebm), Formasi Anggota
Batugamping (Tojl), dan Formasi Anggota Konglomerat (Teb) dengan umur
berkisar Eosen sampai Miosen, membentuk geomorfologi perbukitan struktural
yang telah mengalami denudasi lanjut.

4.7 Penutupan/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian


Pada daerah penelitian, penggunaan lahan yang umum dijumpai adalah
kebun campuran, hutan, dan sawah. Penggunaan lahan kebun campuran terletak
menyebar di seluruh bagian DAS mulai dari bagian Utara sampai Selatan DAS.
Penggunaan lahan hutan tersebar di DAS bagian Utara dan tengah. Persawahan
terletak sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS terutama pada kemiringan lereng
yang landai, sedangkan untuk penggunaan lahan permukiman terletak menyebar,
namun secara dominan lokasinya mengikuti alur sungai dan pada lereng yang
datar.
23

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian


Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah
geologi yang berkembang di wilayah tersebut, dimana proses-proses
geomorfologis endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanik, dan
denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal
ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan
kenampakan morfologi yang ada secara aktual.
Berdasarkan jenis batuan dan umurnya seperti tersebut di sub-Bab Kondisi
Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, maka secara umum dapat dikatakan
bahwa bentuklahan pegunungan yang terbentuk di bagian hulu daerah penelitian,
tersusun oleh batuan vulkanik, mempunyai umur yang relatif lebih muda
dibandingkan dengan bentuklahan pegunungan yang ada di bagian tengah daerah
penelitian, meskipun kedua bentuklahan tersebut tersusun oleh jenis batuan yang
sama, yakni batuan vulkanik Tersier. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
vulkanisme masa lalu di wilayah penelitian dan sekitarnya secara bertahap
mengalami pergerakan dari Selatan ke Utara dan meninggalkan bentuklahan
pegunungan yang pada saat ini telah mengalami proses denudasi yang telah lanjut.
Proses yang belakangan ini ditunjukkan oleh banyaknya lembah-lembah hasil
proses pengikisan erosi maupun longsor dan tidak menyisakan lagi bentuk kerucut
gunungapi yang umumnya terbentuk di kompleks gunungapi Kuarter.
Aspek-aspek bentuklahan dan geomorfologi daerah penelitian yang
diuraikan berikut ini mencakup morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan
litologi (batuan).

5.1.1 Morfologi
Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan
morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang
ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari
suatu bentuklahan, seperti lereng (kemiringan, bentuk, panjang, arah) dan
ketinggian. Morfografi daerah penelitian terdiri atas daerah dataran, perbukitan,
24

pegunungan, tebing, dan lembah sungai. Gambaran morfografi ini dan


persebarannya dapat dilihat pada Gambar 4, yang menunjukkan bahwa morfografi
perbukitan dan pegunungan tampak paling dominan.
Gambaran morfometri daerah penelitian dapat dilihat dari aspek
kemiringan lereng dan ketinggian bentuklahan yang masing-masing disajikan
dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 5) dan peta ketinggian (Gambar 6).
Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8%
(landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS, kemiringan
lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS,
sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di seluruh wilayah
DAS. Adapun kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di bagian tengah
dan sedikit di bagian Utara DAS.
Melihat persebaran kelas lereng di atas dan luasannya (Tabel 4)
memastikan bahwa daerah penelitian terletak di daerah atas (upland areas) yang
berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga cukup wajar jika proses denudasi
menjadi lebih dominan bekerja di atas batuan yang berumur Tersier dan tidak
terdapat lagi aktivitas vulkanik yang baru.

Tabel 4. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur


No Kemiringan Keterangan Luas Area
Lereng Ha %
1 0-3% Datar 1822 8,67
2 3-8% Landai 3359 15,98
3 8-15% Agak curam 2640 12,56
4 15-30% Curam 8534 40,60
5 >30% Sangat curam 4667 22,20
Luas Total 21022 100

Untuk aspek ketinggian (Gambar 6), terlihat bahwa semakin ke arah Utara
DAS angka ketinggian tampak semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
wilayah pegunungan dan perbukitan ini secara umum mempunyai kemiringan dari
Utara ke Selatan sesuai dengan aliran sungai Cimadur yang mengalir atau
bermuara ke Laut Selatan Jawa.
25

Samudera
Indonesia

Gambar 4. Gambaran morfologi DAS Cimadur dari Citra SRTM


26

Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur


27

Gambar 6. Peta Ketinggian DAS Cimadur


28

Secara spasial morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak tersebar


di bagian Utara daripada di bagian Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena
terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang
curam. Jika dilihat lebih rinci morfologinya, maka pada daerah ini dijumpai suatu
cekungan besar, berbentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dibatasi oleh
tebing, dan tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa
endapan abu-batu apung merupakan hasil letusan vulkanik tipe Plinian atau
letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera Bromo-
Tengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan sebagainya.
Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter sebagai hasil
proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur magma,
sehingga kaldera secara morfologis dibatasi oleh dinding yang terjal berbentuk
melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga bahwa
bentuklahan tebing yang berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf U
(Gambar 4) dapat diinterpretasikan sebagai suatu tebing kaldera hasil letusan
gunungapi pada zaman Tersier, dimana hipotesis ini diperkuat oleh adanya
endapan abu-batuapung (ignimbrite) di sekitarnya atau di tengah kaldera yang
membentuk morfologi dataran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kompleks pegunungan di wilayah ini dahulunya merupakan suatu kompleks
gunungapi, meskipun pada saat sekarang morfologi vulkanik seperti bentuk-
bentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi, hal ini disebabkan proses eksogenik
denudasi telah berjalan cukup lama, sejak jaman Tersier, atau sejak terhentinya
aktivitas vulkanik di wilayah ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di
bagian tengah DAS dapat dikatakan merupakan bagian lereng bawah dari
kompleks gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan
sedimen dimungkinkan sebagai batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh
gunungapi yang tumbuh di atasnya pada zaman Tersier.
Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil
merupakan bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi) dan merupakan
bentuklahan termuda karena terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan dengan
umur morfologi-morfologi lain yang telah disebutkan sebelumnya.
29

5.1.2 Morfogenesis
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa morfogenesis
bentuklahan di daerah penelitian lebih didominasi oleh proses denudasional
terhadap morfologi yang dihasilkan oleh proses geomorfik sebelumnya, seperti
pengangkatan, baik yang berbatuan vulkanik maupun sedimen. Oleh karena itu
nama-nama bentuklahan sebagian besar berupa bentuklahan denudasional
vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional struktural dan bentuklahan
fluvial.
Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah
ke hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional
struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan
yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang
menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir (Anggota Batupasir),
konglomerat (Anggota Konglomerat), batukapur (Limestone Member), dan
batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat umumnya lebih
resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan,
sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit namun sebagian yang
lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan batulempung karena lebih
lunak maka cenderung membentuk morfologi lembah-lembah. Bentuklahan asal
proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah penelitian, memiliki relief datar
dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan menempati elevasi terendah (0-300
m dpl) sebagai wilayah yang lebih didominasi oleh proses-proses deposisi.

5.1.3 Morfokronologi
Berdasarkan Peta Geologi yang disajikan dalam Gambar 7, maka semua
bentuklahan di daerah penelitian terbentuk pada zaman Tersier (Eosen, Oligosen,
Miosen, dan Pliosen), hanya bentuklahan Lembah sungai (F) yang terbentuk pada
zaman Kuarter (Holosen). Secara spasial dapat diperhatikan pula bahwa wilayah
DAS bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik yang terbentuk pada zaman
Tersier: Miosen-Pliosen, pada wilayah DAS bagian tengah tersusun oleh batuan
vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan wilayah DAS
30

Gambar 7. Peta Geologi DAS Cimadur


31

bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil proses
pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya dapat
disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah
penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara seiring dengan kondisi
morfometrinya berupa elevasi yang semakin meningkat.

5.1.4 Litologi (batuan)


Berdasarkan Peta Geologi (Gambar 7) dan seperti diuraikan pada sub-Bab
Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, jenis batuan induk di
daerah penelitian terdiri dari 10 Formasi berumur Tersier, yakni: Formasi
Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv), Anggota
Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj), Formasi
Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping (Tmtl),
Anggota Konglomerat (Teb), dan 1 Formasi berumur Kuarter, yaitu Aluvial (Qa).
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Formasi Cimapag (Tmc)
Batuan Sedimen Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik,
breksi, koarsa yang berasal dari endapan vulkanik.
2. Tufa Citorek (Tpv)
Batuan Gunungapi Pliosen: tuf, tuf berbatu apung, tuf breksi,
batupasir, dan batulempung tufan.
3. Formasi Cikotok (Temv)
Batuan Gunungapi Eosen-Miosen: disusun oleh batuan ektrusif
intermedier, lava yang berasal dari endapan vulkanik.
4. Anggota Batugamping (Tojl)
Batuan Karbonat Oligosen: berasal dari endapan sedimen yang
disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur).
5. Formasi Cicarucup (Tet)
Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa,
batulempung, serpih, batusabak yang berasal dari endapan sedimen.
6. Anggota Batupasir (Toj)
32

Batuan Sedimen Oligosen: batupasir, konglomerat, tuf dan bersisipan


batulempung, berasal dari endapan sedimen.
7. Anggota Batugamping (Tmtl)
Batuan Karbonat Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik,
limestone (batukapur), berasal dari endapan sedimen.
8. Anggota Konglomerat (Teb)
Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa,
batulempung, serpih, batu sabak yang berasal dari endapan sedimen.
9. Aluvial (Qa)
Batuan Sedimen Holosen: disusun oleh batuan yang berbahan aluvium
yang diendapkan di lingkungan sungai.
10. Formasi Cimanceuri (Tpm)
Batuan Pliosen Akhir: bercirikan sedimen klastika yang kaya akan
fosil molusca, kuarsa dan konglomerat.
11. Limestone Member (Tebm)
Batuan Karbonat Eosen: disusun oleh batuan sedimen klastik.

5.2 Identifikasi Bentuklahan di Daerah Penelitian


Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas
dan hasil interpretasi citra, bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat
diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan
denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua
(DV2), Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3), Tebing denudasional
vulkanik (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Perbukitan
denudasional struktural dewasa (DS1), dan Perbukitan denudasional struktural tua
(DS2) seperti yang disajikan pada Gambar 8, sedangkan untuk gambaran dan
interpretasi bentuklahan dari Citra SRTM dapat dilihat pada Gambar 9. Luas dari
masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 5.
33

Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Cimadur


34

Samudera
Indonesia

Gambar 9. Gambaran dan interpretasi bentuklahan DAS Cimadur dari Citra SRTM
35

Tabel 5. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur


No Simbol Bentuklahan Luas Area
Ha %
1 F Lembah sungai 61 0,29
2 DV1 Pegunungan denudasional vulkanik dewasa 5837 27,76
3 DV2 Pegunungan denudasional vulkanik tua 4209 20,02
4 DV3 Perbukitan denudasional vulkanik tua 2641 12,56
5 DV4 Tebing denudasional vulkanik 3941 18,75
6 DV5 Dataran vulkanik bermaterial tufa 1406 6,69
7 DS1 Perbukitan denudasional struktural dewasa 1334 6,35
8 DS2 Perbukitan denudasional struktural tua 1593 7,58
Luas Total 21022 100

Lembah sungai (F). Bentuklahan ini terletak di bagian ujung Selatan


daerah penelitian yang mempunyai morfologi lembah dengan kemiringan lereng
0-3% (datar) dan 3-8% (landai). Batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah
Aluvium (Qa), suatu batuan sedimen klastik yang diendapkan di lingkungan
sungai. Bentuklahan ini merupakan bentuklahan paling muda di daerah penelitian
yang terbentuk pada zaman Kuarter berumur Holosen. Bentuklahan ini
mempunyai luasan 61 Ha dengan persentase 0,29% dari total luas daerah
penelitian.
Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Bentuklahan ini
terletak di bagian Utara dan tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi
pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam).
Batuan yang menyusun DV1 adalah sebagai basement rock yang terdiri dari
Formasi Cimapag (Tmc), atau batuan sedimen yang terbentuk pada zaman Tersier
berumur Miosen Awal dan Formasi Tufa Citorek (Tpv), batuan gunungapi zaman
Tersier berumur Pliosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi hampir
tidak tampak lagi karena sudah mengalami erosi yang sangat lanjut. DV1
merupakan bentuklahan paling luas dengan total luasan sebesar 5.837 Ha atau
menempati 27,76% dari total luas daerah penelitian.
Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2). Bentuklahan ini terletak
di bagian tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan
dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan
36

penyusunnya terdiri dari: Formasi Cikotok (Temv), atau batuan gunungapi zaman
Tersier berumur Eosen sampai Miosen; Formasi Cicarucup (Tet) atau basement
rock berbatuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen, dan Anggota
Batugamping (Tojl) yang berupa batuan karbonat zaman Tersier berumur
Oligosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi juga sudah tidak
tampak lagi, hanya berupa tebing-tebing dengan lereng yang curam karena telah
mengalami erosi lanjut seperti yang dibuktikan dengan banyaknya torehan-
torehan memanjang yang tampak pada citra SRTM. Bentuklahan ini menempati
luasan sebesar 4.209 Ha atau 20,02% dari total luas daerah penelitian.
Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3). Bentuklahan ini terletak
di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya di bawah bentuklahan Pegunungan
denudasional vulkanik tua (DV2) dan di atas Perbukitan denudasional struktural
dewasa dan tua (DS1 dan DS2). Bentuklahan DV3 ini mempunyai morfologi
perbukitan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam).
Tersusun dari Formasi Cikotok (Temv) berbatuan vulkanik dan Anggota
Batugamping (Tojl) yang keduanya dari zaman Tersier berumur Eosen sampai
Miosen. Bentuklahan ini mempunyai luas 2.641 Ha atau menempati 12,56% dari
total luas daerah penelitian.
Tebing denudasional vulkanik (DV4). Bentuklahan ini terletak di bagian
Utara daerah penelitian berupa tebing (kaldera) yang curam yang telah mengalami
erosi lanjut dan berbentuk melingkar seperti tapal kuda atau huruf U. DV4
mengelilingi Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang berada di bawahnya.
Bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30%
(sangat curam) serta mempunyai batuan yang keras seperti lava atau perselingan
lava dan piroklastik, namun dalam peta geologi dimasukkan ke dalam Formasi
Cimapag (Tmc), terdiri dari batuan sedimen klastik, breksi, dan kuarsa yang
berasal dari endapan vulkanik berumur Miosen Awal. Bentuklahan ini
mempunyai luas sebesar 3.941 Ha atau menempati 18,75% dari total luas daerah
penelitian.
Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Bentuklahan ini terletak di
bagian Utara daerah penelitian, mempunyai kenampakan morfologi datar
berombak seperti terlihat dari citra SRTM, atau secara umum berupa
37

cekungan/kawah dengan bentuk lingkaran sangat besar, berdiameter 8000 meter,


dan kemiringan lereng 0-3% (datar). Formasi batuan yang menyusun bentuklahan
ini adalah Tufa Citorek (Tpv), merupakan batuan gunungapi berumur Pliosen atau
termuda untuk zaman Tersier. Material penyusun utama dari bentuklahan ini
adalah tuf berbatuapung, atau material hasil letusan gunungapi yang besar, yang
sering menghasilkan kaldera (tipe plinian). Dengan demikian dapat diduga bahwa
DV5 sebenarnya merupakan dasar dari suatu kaldera gunungapi tua. Bentuklahan
ini mempunyai luas 1.406 Ha yang menempati 6,69% dari total luas daerah
penelitian.
Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1). Bentuklahan ini
terletak di bagian Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi
perbukitan dengan kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam).
DS1 sudah tidak menunjukkan lagi topografi struktur lipatan seperti tahap awal,
karena telah mengalami erosi yang lanjut yang dicirikan dengan adanya kontrol
struktural dan kekerasan batuan yang tercermin dari detil topografi. Batuan-batuan
dengan tingkat kekerasan yang tinggi seperti batupasir dan konglomerat umumnya
lebih resisten terhadap erosi menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan,
sedangkan batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah seperti
batulempung cenderung tererosi dan membentuk bentuklahan lembah-lembah.
Batukapur mempunyai kekerasan tinggi tetapi mudah larut oleh air sehingga
sebagian membentuk igir dan sebagian lagi membentuk lembah atau cekungan
akibat proses pelarutan oleh air hujan dan air aliran permukaan. Secara umum
batuan yang menyusun bentuklahan ini terdiri dari Formasi: Anggota
Batugamping (Tojl) dari zaman Tersier berumur Oligosen, Limestone Member
(Tebm) Neogene berbahan batugamping terumbu yang terbentuk pada zaman
Tersier berumur Miosen Akhir sampai Pliosen Awal, dan Formasi Cimanceuri
(Tpm) berupa batuan sedimen klastik yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan
konglomerat yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Pliosen Akhir.
Bentuklahan ini mempunyai luas 1.334 Ha atau menempati 6,35% dari total luas
daerah penelitian.
Perbukitan denudasional struktural tua (DS2). Bentuklahan ini terletak
di bagian Selatan daerah penelitian, mempunyai morfologi perbukitan dengan
38

kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). Batuan yang
menyusun DS2 adalah dari Formasi: Anggota Batupasir (Toj) yaitu batuan
sedimen zaman Tersier berumur Oligosen, kemudian Anggota Batugamping
(Tmtl) yang merupakan batuan karbonat zaman Tersier berumur Miosen Awal,
dan Anggota Konglomerat (Teb) yang merupakan batuan sedimen zaman Tersier
berumur Eosen yang sering dijumpai pada struktur lipatan. Bentuklahan ini
mempunyai luasan 1.593 Ha yang menempati 7,58% dari total luas daerah
penelitian.

5.3 Identifikasi Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian


Peta penutupan/penggunaan lahan dibuat melalui perangkat lunak ArcGIS
9.3 dengan melakukan interpretasi visual terhadap citra Google Earth tahun 2011
dan citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tahun 2009. Citra yang terakhir
ini berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth
tertutup awan, kemudian disesuaikan dengan hasil pengamatan lapang agar
memberikan tingkat ketepatan yang lebih baik terhadap peta
penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil interpretasi dan
cek lapangan, penutupan/penggunaan lahan di daerah penelitian dapat
diklasifikasikan menjadi 6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan,
kebun campuran, hutan, dan tanah terbuka serta selebihnya adalah sungai. Peta
penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan disajikan pada Gambar 10,
sedangkan ilustrasi kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra Google Earth
dan kondisi di lapang dapat dilihat dalam Tabel 6.
39

Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimadur


40

Tabel 6. Kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra dan kondisi di lapang
beserta luas tiap penggunaan lahan di DAS Cimadur
No Jenis Kenampakan Pada Kondisi di Lapang Luas Luas
Penggunaan Citra (Ha) (%)
Lahan
1 Hutan 7284 34,65

2 Sungai 90 0,43

3 Permukiman 221 1,05

4 Sawah 3691 17,56

5 Kebun 8952 42,58


campuran
41

6 Semak/tegal 744 3,54


an

7 Tanah 40 0,19
terbuka

Luas Total 21022 100

Hutan (H). Pada citra dicirikan oleh teksturnya yang kasar, berwarna
hijau tua, dan bentuk yang homogen. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah
daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam) yang
mempunyai luas sebesar 7.284 Ha atau menempati 34,65% dari total luas daerah
penelitian.
Kebun campuran (Kc). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada
citra dapat dilihat dari bentuknya yang bergerombol dengan pola yang tidak
teratur dan memiliki warna hijau tua dengan tekstur yang agak kasar sampai kasar
yang biasanya berasosiasi dengan permukiman. Penggunaan lahan ini
mendominasi bagian tengah dan Selatan daerah penelitian dengan luas sebesar
8.952 Ha atau menempati 42,58% dari total luas daerah penelitian. Penggunaan
lahan ini secara dominan tersebar pada kemiringan lereng 15-30% (curam).
Permukiman (P). Pada citra dapat dilihat dengan bentuknya yang
mengelompok, tekstur halus, pola yang tidak teratur, memiliki warna merah tua,
biasanya berasosiasi dengan jalan atau sungai. Permukiman tersebar di bagian
Utara dan Selatan daerah penelitian yang mempunyai kemiringan lereng dominan
0-3% (datar) dengan luas sebesar 221 Ha atau 1,05% dari total luas daerah
penelitian.
Sawah (Sa). Penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan bentuk
petak-petak segi empat dan setiap petaknya dipisah oleh kenampakan garis
pematang yang polanya teratur. Warna sawah terlihat hijau tua (untuk sawah yang
berair atau baru tanam), hijau keabu-abuan, serta cokelat (untuk sawah yang baru
42

dipanen) dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini terletak di bagian Utara dan
Selatan daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar).
Penggunaan lahan ini mempunyai luas sebesar 3.691 Ha atau menempati 17,56%
dari total luas daerah penelitian.
Semak/tegalan (Se). Pada citra memiliki kenampakan rona yang cerah,
berwarna hijau muda dengan tekstur agak kasar sampai kasar, dan pola yang tidak
teratur. Semak/tegalan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian
dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luasan 744
Ha atau menempati 3,54% dari total luas daerah penelitian.
Sungai (Su). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dicirikan
dengan pola aliran yang berkelak-kelok pada wilayah yang datar, berwarna putih
atau krem, serta memiliki tekstur yang halus. Penggunaan lahan ini mempunyai
kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luasan 90 Ha atau menempati
0,43% dari total luas daerah penelitian.
Tanah terbuka (Tb). Pada citra dicirikan dengan kenampakan pantulan
tanahnya yang berwarna cokelat dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini
sedikit sekali penyebarannya karena daerah penelitian merupakan kawasan
konservasi yang dilindungi oleh Pemerintah, dengan kemiringan lereng dominan
15-30% (curam) yang mempunyai luas sebesar 40 Ha atau menempati 0,19% dari
total luas daerah penelitian.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
penutupan/penggunaan lahan kebun campuran merupakan tipe yang paling
dominan di DAS Cimadur dengan total luasan sebesar 8.952 Ha. Fenomena ini
dapat dipahami mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai
kendala terhadap morfologi, sehingga dapat berkembang pada berbagai
bentuklahan dan kemiringan lereng, dan didukung dengan akses jalan yang ada di
daerah penelitian yang memungkinkan manusia untuk mengintervensi lahan.
Sebaliknya, tanah terbuka merupakan tipe penggunaan lahan terkecil atau sebesar
40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan
Taman Nasional yang dilindungi oleh Pemerintah.
43

5.4 Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian


Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat
kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas
dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI
rendah jika nilai TWI <5, kelas 2 atau nilai TWI sedang jika nilai TWI antara 5
hingga 10, dan kelas 3 atau nilai TWI tinggi jika nilai TWI >10. Sistem
pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada referensi awal. Hal ini
disebabkan oleh sangat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan untuk
reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri dimaksudkan untuk memudahkan
mengetahui titik-titik dugaan dari permukaan lahan yang mempunyai konsentrasi
air. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1) menggambarkan suatu wilayah
dengan potensi genangan air yang rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa
pada wilayah ini potensi untuk menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas
TWI tinggi (= kelas 3), menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan
air yang tinggi, sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang
tinggi untuk terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun
untuk kelas TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di
antaranya, atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang
sedang, artinya jumlah genangan air pada wilayah ini masih tergolong tidak
rendah dan tidak pula tinggi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pada
wilayah ini potensi untuk menyimpan air masih dapat diharapkan. Hasil pemetaan
sebaran kelas TWI untuk daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.
Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran
permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu pula dikaji hubungannya
dengan order dari setiap jaringan sungai seperti yang sudah diklasifikasikan
dengan menggunakan metode Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS
Cimadur dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi
Sungai Cimadur adalah order 6. Untuk melihat keterkaitan nilai TWI dengan
order sungai, maka dalam penelitian ini order 3 ditetapkan sebagai order terendah
karena mempertimbangkan banyaknya percabangan sungai di DAS Cimadur,
sedangkan order 6 ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai
yang mengalir pada order 6 merupakan aliran sungai utama di dalam DAS
44

Cimadur. Gambar 12 di bawah menunjukkan hasil tumpangtindih antara kelas


TWI dan order sungai di DAS Cimadur.
Jika dalam Gambar 11 terlihat bahwa kelas TWI yang persebarannya
paling dominan adalah kelas sedang (= kelas 2), maka pada Gambar 12 terlihat
pula bahwa kelas TWI kelas sedang ini terdapat di semua sub-DAS order sungai,
mulai dari sub-DAS order 3, 4, 5, hingga 6. Untuk Kelas TWI tinggi (= kelas 3)
persebarannya hampir merata juga di sub-DAS order sungai 3, 4, 5, dan 6, namun
sedikit agak dominan di sub-DAS order 3. Sedangkan untuk kelas TWI rendah (=
kelas 1) persebarannya hanya di beberapa titik di bagian tengah, yaitu pada sub-
DAS order sungai 3 dan 4, meskipun secara dominan berada di sub-DAS order 3.
Hal ini cukup wajar yang disebabkan sub-DAS order 3 umumnya selalu berada
pada elevasi yang lebih tinggi daripada sub-DAS order yang lebih besar dan
umumnya mempunyai kemiringan lereng yang lebih besar pula.
Namun menarik untuk disimak pula apabila dapat dilihat hubungan antara
kelas TWI dengan panjang total segmen sungai dari masing-masing order (Tabel
7). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa panjang total segmen sungai pada
setiap kelas TWI yang terbesar adalah berada pada sub-DAS order sungai 3, hal
ini mungkin disebabkan sub-DAS order sungai 3 ini meliputi juga sub-DAS order
sungai-sungai yang lebih kecil, yaitu order 1 dan order 2, sehingga pada sub-DAS
order sungai 3 ini mempunyai lebih banyak variasi kemiringan lereng.
45

Gambar 11. Peta Kelas TWI DAS Cimadur


46

Gambar 12. Peta Hasil Kelas TWI dan Order Sungai Cimadur
47

Tabel 7. Klasifikasi Kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai
di DAS Cimadur
No Kelas TWI Order sungai Total panjang segmen
sungai (m)
1 1 3 39
2 4 13
3 2 3 336.806
4 4 251.612
5 5 297.179
6 6 235.917
7 3 3 2.479
8 4 1.987
9 5 1.011
10 6 1.712

Gambaran yang bisa diambil pada Tabel 7 ini adalah bahwa sub-DAS
sungai-sungai order 3 ini sesungguhnya perlu mendapat perhatian khusus atau
perlu mendapat pengelolaan yang baik, karena sub-DAS sungai-sungai order 3 ini
berpotensi tinggi untuk dapat menahan atau menyimpan air. Potensi menyimpan
air yang tinggi juga dapat diartikan berpotensi melahirkan suatu gangguan atau
bencana, seperti banjir atau kekeringan di daerah hilirnya atau yang terkait dengan
pemanfaatan air sungai, baik di hulu maupun di hilir. Sebagai contoh, untuk kasus
di daerah penelitian adalah pemanfaatan air sungai untuk pembangkit listrik
tenaga mikrohidro (PLTMH).
Gambar 13.a berikut adalah instalasi mikrohidro yang ada di dalam DAS
Cimadur, tepatnya berada di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah,
Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Lebih rincinya, mikrohidro ini
digerakkan oleh aliran Sungai Ciambulawung yang mempunyai luas sub-DAS
sebesar 554 Ha dengan penutupan/penggunaan lahan yang bervariasi di dalam
sub-DAS tersebut, namun utamanya adalah hutan (Gambar 13.b), kebun
campuran, dan sebagian digunakan sebagai areal persawahan (Gambar 13.c).
48

a). Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro

b). Hutan c). Areal Persawahan


Gambar 13. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (a), penggunaan lahan hutan
(b) dan areal persawahan (c) di Sungai Ciambulawung, Banten

Debit sungai merupakan salah satu faktor utama dalam pengoperasian


mikrohidro. Dengan semakin besar debit sungai yang mengalir maka semakin
stabil energi yang dihasilkan untuk memutar turbin mikrohidro tersebut. Namun
demikian, kendala utama dalam pengoperasian mikrohidro di wilayah ini adalah
pada saat musim kemarau dimana debit aliran sungai menjadi sangat kecil (Tabel
8). Kecilnya debit pada musim kemarau ini banyak menghambat aktivitas
pertanian berupa pengairan irigasi pada areal persawahan sehingga menyebabkan
tanah pada areal persawahan ini menjadi kering dan berimbas pada gagalnya
panen. Hal lainnya adalah matinya listrik karena tidak berfungsinya mikrohidro
sehingga menghambat aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sehari-
hari.
49

Tabel 8. Perbandingan nilai debit musim hujan dan musim kemarau di Sungai
Ciambulawung berdasarkan pengukuran di lapangan
Titik Koordinat Geografis Ketinggian Lebar Sungai (m) Debit Air (l/s)
x y (m) Hujan Kemarau Hujan Kemarau
A 650748 9249837 537 7,00 4,63 242,71 36,10
B 650696 9249880 552 4,27 3,65 153,60 28,54
C 650765 9249874 582 7,00 7,06 39,45 16,20
D 651123 9249875 574 4,40 4,09 66,15 15,96
E 651104 9249814 567 1,90 2,80 26,03 4,55
F 651053 9249858 564 7,00 4,76 39,30 13,05
G 650844 9249890 548 6,12 5,98 118,23 51,38
H 650717 9249972 570 5,70 6,05 206,10 35,21
I 650642 9249939 565 1,20 2,35 112,38 49,25
J 650594 9249899 562 0,72 1,33 30,38 104,73
K 651038 9250542 630 - 5,78 - 72,73
L 651066 9250492 634 - 5,50 - 20,83
M 651011 9250490 629 - 3,24 - 47,64
N 650426 9249871 560 - 17,60 - 47,60

Sub-DAS Ciambulawung jika dikaitkan dengan kelas TWI-nya (Gambar


11 dan 12) maka terlihat berada pada kelas sedang (= kelas 2) yang merupakan
kelas TWI paling dominan di sub-DAS ini. Hal ini berarti bahwa pada daerah ini
potensi untuk menyimpan air berada dalam kondisi cukup/sedang pada order
sungai 3. Jika dilihat dari Peta Bentuklahan (Gambar 8) dan Peta Kemiringan
lereng (Gambar 5), maka daerah ini terletak pada bentuklahan Pegunungan
denudasional vulkanik dewasa (DV1) dan Pegunungan denudasional vulkanik tua
(DV2) dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam), kondisi lereng
seperti ini berimplikasi terhadap kapasitas menahan/menyimpan airnya yang
rendah, sehingga pada musim-musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan.
Oleh karena itu, untuk pembangunan instalasi mikrohidro seperti ini, selain data
kelas TWI dan order sungai, diperlukan juga data penunjang lain seperti
bentuklahan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan data lainnya yang
diperlukan untuk kelangsungan berfungsinya mikrohidro tersebut.
50

5.5 Analisis Ekologi Bentanglahan di Daerah Penelitian


Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah
kaitan antara bentanglahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang
saling terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan
yang mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi bentanglahan dalam hal ini lebih
ditekankan pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya,
sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia
di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan.
Dalam konsep ekologi bentanglahan, semua bentuk aktivitas dan parameter yang
berada di atas suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan, kemiringan lereng,
dan kelas TWI untuk dianalisis dengan mendasarkan pada bentuklahan sebagai
unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang
karakteristik persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk
menyimpan air.

5.5.1 Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan merupakan hasil aktivitas manusia di atas bentuklahan,
oleh sebab itu hubungan antara keduanya perlu dikaji lebih dalam terkait dengan
potensinya dalam menyimpan air. Tabel 9 dan Gambar 14 menunjukkan luasan
penggunaan lahan di atas bentuklahan yang ada di dalam DAS Cimadur.

Tabel 9. Luas penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur


No Bentuklahan Penggunaan Lahan (Ha)
Su H Kc P Sa Se Tb
1 F 9 0 24 3 23 1 1
2 DV1 1 4432 701 0 627 70 6
3 DV2 23 899 2585 26 485 167 23
4 DV3 25 0 2078 62 450 19 9
5 DV4 0 1796 1132 0 694 318 0
6 DV5 0 157 148 43 925 134 0
7 DS1 16 0 961 44 290 23 2
8 DS2 16 0 1323 43 196 13 0
Luas Total 90 7284 8950 221 3690 745 41
51

Gambar 14. Grafik luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur

Pada Tabel 9 dan Gambar 14 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan kebun
campuran merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di daerah
penelitian dengan total luas 8.952 Ha. Kebun campuran tersebar di semua jenis
bentuklahan. Hal ini sangat wajar mengingat penggunaan lahan kebun campuran
tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Keberadaan
kebun campuran terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional
vulkanik tua (DV2), yaitu menempati areal seluas 2.585 Ha. Hal ini disebabkan
oleh bentuklahan ini menempati luasan terbesar kedua di daerah penelitian dengan
akses jalan yang masih memungkinkan untuk manusia dapat mengintervensi lahan.
Penggunaan lahan hutan juga merupakan penggunaan lahan terluas kedua
setelah kebun campuran dengan total luas 7.284 Ha. Hutan tersebar di bagian
Utara dan tengah daerah penelitian, menempati bentuklahan Dataran vulkanik
bermaterial tufa (DV5), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1),
Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), dan Tebing denudasional vulkanik
(DV4). Keberadaan hutan terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan
denudasional vulkanik dewasa (DV1), yang menempati luas 4.432 Ha. Hal ini
52

disebabkan wilayah di atas bentuklahan ini merupakan kawasan Taman Nasional


yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Kawasan Hutan.
Penggunaan lahan sawah menempati urutan terluas ketiga setelah kebun
campuran dan hutan dengan total luas 3.690 Ha. Keberadaan sawah terluas
terletak di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang
mempunyai luasan 925 Ha. Hal ini sangat wajar, mengingat sawah merupakan
jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada daerah dengan relief datar dan
dialiri oleh air yang cukup.
Penggunaan lahan semak/tegalan mempunyai total luasan 745 Ha dan
tersebar di semua jenis bentuklahan dengan bentuklahan terluas adalah pada
Tebing denudasional vulkanik (DV4) seluas 318 Ha. Penggunaan lahan
semak/tegalan ini ditemui tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai
bentuklahan.
Penggunaan lahan permukiman mempunyai total luasan 221 Ha dimana
keberadaannya tersebar pada morfologi dataran dan perbukitan. Hal ini sangat
wajar mengingat daerah permukiman selalu berasosiasi dengan sungai dan jalan
yang terletak pada relief datar sampai landai. Penggunaan lahan sungai dan tanah
terbuka berturut-berturut memiliki total luasan 90 Ha dan 41 Ha.

5.5.2 Hubungan Bentuklahan dan Kemiringan Lereng


Kemiringan lereng merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh
manusia untuk melakukan aktivitas di atas suatu bentuklahan. Hubungan antara
bentuklahan dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 15.

Tabel 10. Luas kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur


No Bentuklahan Kemiringan Lereng (Ha)
0-3% 3-8% 8-15% 15-30% >30%
1 F 34 11 5 9 2
2 DV1 757 46 549 2590 1895
3 DV2 470 11 267 1963 1498
4 DV3 325 28 308 1239 741
5 DV4 584 80 358 1763 1156
6 DV5 798 199 220 168 22
53

7 DS1 339 109 418 384 84


8 DS2 305 62 357 714 154
Luas Total 3612 546 2482 8830 5552

Gambar 15. Grafik luasan kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur

Dalam Tabel 10 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa kemiringan lereng


15-30% (curam) merupakan kemiringan lereng yang paling dominan di daerah
penelitian dan keberadaan terluas pada bentuklahan Pegunungan denudasional
vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng >30% (sangat curam) merupakan
kemiringan lereng terluas kedua yang juga menempati bentuklahan Pegunungan
denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng curam dan sangat
curam merupakan kemiringan lereng yang paling mendominasi di daerah
penelitian, hal ini sangat wajar karena daerah penelitian merupakan bagian dari
kompleks gunungapi yang mempunyai morfologi pegunungan. Selanjutnya,
kemiringan lereng terluas ketiga ditempati oleh kemiringan lereng 0-3% (datar)
yang berada di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5).
Kemiringan lereng 3-8% (landai) dan 8-15% (agak curam) menempati semua
jenis bentuklahan yang ada di daerah penelitian.
54

5.5.3 Hubungan Bentuklahan dan Kelas TWI


TWI merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk analisis
bentuklahan terhadap potensi menyimpan atau genangan air. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada Bab Tinjauan Pustaka bahwa TWI ini sangat erat
kaitannya dengan kemiringan lereng, karena merupakan data turunan yang
dihasilkan dari data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan
menggunakan fungsi akumulasi aliran dan kemiringan lereng. Selain itu lereng
adalah juga bagian terkecil dari permukaan bentuklahan yang relatif seragam.
Oleh karena itu hubungan antara kelas TWI dan bentuklahan serta kelas TWI dan
kemiringan lereng perlu dikaji lebih dalam terkait potensinya dalam menyimpan
air. Tabel 11 dan Gambar 16 menunjukkan luasan kelas TWI di atas bentuklahan
di DAS Cimadur. Tabel 12 dan Gambar 17 menunjukkan luasan kelas TWI dan
kemiringan lereng di DAS Cimadur.

Tabel 11. Luas Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur


No Bentuklahan Kelas TWI (Ha)
1 2 3
1 F 0 60 1
2 DV1 1 5816 8
3 DV2 0 4195 2
4 DV3 0 2633 1
5 DV4 0 3925 16
6 DV5 0 1393 22
7 DS1 0 1329 18
8 DS2 0 1588 14
Luas Total 1 20939 82
55

Gambar 16. Grafik luasan Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur

Tabel 12. Luas Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur
No Kemiringan Kelas TWI (Ha)
Lereng 1 2 3
1 0-3% 0 3549 52
2 3-8% 0 543 24
3 8-15% 0 2465 24
4 15-30% 0 8801 29
5 >30% 1 5525 8
Luas Total 1 20883 137
56

Gambar 17. Grafik luasan Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur

Pada Gambar 11 yang telah disajikan sebelumnya dalam sub-Bab Analisis


Kelas TWI di Daerah Penelitian, terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3)
tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian. Hal ini disebabkan pada
daerah penelitian bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik
bermaterial tufa (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) yang
ditunjukkan dalam Tabel 11 dan 12 di atas, sedangkan pada daerah penelitian
bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional struktural
dewasa (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak curam). Kelas
TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit, yakni di bagian
tengah daerah penelitian, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan denudasional
vulkanik dewasa (DV1) dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam).
Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang paling mendominasi
karena menempati hampir keseluruhan daerah penelitian dari bagian Utara sampai
Selatan dengan bentuklahan yang paling dominan adalah Pegunungan
denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan luas sebesar 5.816 Ha dan
kemiringan lereng 15-30% (curam) yang mempunyai luas 8.801 Ha. Hal ini
berarti daerah penelitian masih termasuk dalam kelas TWI berpotensi genangan
air kondisi aman. Namun demikian, kapasitas dalam menahan/menyimpan air
57

cukup rendah karena terletak pada bentuklahan pegunungan dan kemiringan


lereng yang curam, sehingga saat musim hujan air mudah untuk diloloskan dan
saat musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan.
58

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Geomorfologi daerah penelitian didominasi oleh morfologi pegunungan
dengan total luas 10.046 Ha atau 47,78% berbatuan vulkanik tua (Tersier).
Dengan morfologi ini maka dinamika hidrologi atau pergerakan air
(permukaan dan bawah tanah) di daerah penelitian menjadi sangat besar
akibat besarnya nilai elevasi bentuklahan, kemiringan lereng, dan gravitasi
bumi.
2. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di
daerah penelitian dengan total luas 8.952 Ha atau 42,58% dan
persebarannya melintas di seluruh bentuklahan. Fenomena ini
mengindikasikan bahwa intervensi manusia terhadap bentuklahan cukup
dominan. Sehingga kegiatan manusia di daerah penelitian yang terkait
perubahan penggunaan lahan perlu mendapat pengawasan yang baik agar
tidak merusak kondisi ekologi yang sudah ada.
3. TWI kelas sedang sangat dominan di daerah penelitian (total luas 20.987
Ha atau 99,83%), dimana persebarannya melintas di berbagai bentuklahan
dan berbagai sub-DAS order sungai. Dengan demikian wilayah sub-DAS
teratas atau order 3 perlu mendapat perhatian/pengelolaan tersendiri agar
fungsi sub-DAS dalam menyimpan air dapat berfungsi lebih optimal dan
untuk menjaga ekologi DAS.
4. Ekologi bentanglahan daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan
Pegunungan denudasional vulkanik (VD1 dan VD2), penggunaan lahan
kebun campuran, kemiringan lereng 15-30% (curam), dan kelas TWI
sedang (= kelas 2). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ekologi daerah
penelitian masih dalam ambang batas aman terkait dengan potensi
menyimpan air, namun cukup rentan terhadap perubahan iklim atau
penutupan/penggunaan lahan, karena dinamika aliran air di daerah
penelitian cukup tinggi sehingga pada saat musim hujan air mudah untuk
diloloskan namun pada saat musim kemarau akan berpotensi untuk
mengalami kekeringan.
59

6.2 Saran
1. Klasifikasi kelas TWI perlu dicoba dengan berbagai metode, mengingat
masih belum diperolehnya acuan yang baku terkait dengan klasifikasi TWI.
2. Penelitian lanjutan dapat ditambah untuk melakukan analisis banjir di
DAS Cimadur dengan didukung data-data tambahan, seperti data curah
hujan harian/bulanan, data debit DAS harian/bulanan, data aliran
permukaan, dll.
60

VII. DAFTAR PUSTAKA

Agustina R. 2007. Pemanfaatan Air Pada Bendung Kecil di Sub DAS Ciomas-
DAS Cidanau, Banten. [Skripsi]. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Asriningrum W. 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi
Bentuklahan (Landform) di Daerah Jakarta-Bogor. [Tesis]. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
BP4K Kuningan. 2012. Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson.
http://www.bp4kkuningan.web.id/index.php/component/content/article/36/
98. [27 Juni 2012].
BPS Banten. 2012. Geografi dan Iklim. http://lebakkab.bps.go.id. [27 Juni 2012].
BPS Banten. 2012. Penduduk. http://lebakkab.bps.go.id. [27 Juni 2012].
Dwiyanti E. 2009. Analisis Data Landsat ETM+ untuk Kajian Geomorfologi dan
Penutup/Penggunaan Lahan dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan
Kritis di Kota Cilegon. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Fakultas Geografi UGM-Bakosurtanal. 2000. Pembakuan Spek Metodologi
Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan
Tata Ruang Yogyakarta. Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Proyek
Inventarisasi Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut-Bakosurtanal.
Grabs T, Seibert J, Bishop K, Laudon H. 2009. Modeling spatial patterns of
saturated areas: A comparison og the topographic wetness index and a
dynamic distributed model. Journal of Hydrology. 373: 15-23.
Lillesand T M, R W Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Manan S. 1979. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. [Skripsi].
Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
PPLH. 2010. Laporan Akhir Pekerjaan Jasa Penelitian dan Pemrosesan Model
Desa Mandiri Berbasis Mikro Hidro Di Sekitar Taman Nasional Gunung
61

Halimun-Salak melalui Pembangunan PLTMH Lebakpicung 1 x 10 Kw.


Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian
Bogor.
Rosytha A, M Taufik. 2011. Studi Analisa Banjir dengan Menggunakan
Teknologi SIG di Kabupaten Bojonegoro. Seminar Nasional VII 2011
Teknk Sipil ITS Surabaya. Penanganan Kegagalan Pembangunan dan
Pemeliharaan Infrastruktur.
Samadikun B P. 2009. Tinjauan kondisi bentanglahan kawasan tembalang akibat
perubahan tata guna lahan (landuse). Jurnal Presipitasi Vol. 6 No.1 Maret
2009, ISSN 1907-187X.
Sinaga M, Gunadi, Yusron H, Suwadi M. 1994. Inventarisasi Penggunaan Lahan
di Kecamatan Baturetno Wonogiri Jawa Tengah. Majalah Geografi
Indonesia Th. 6-8, No. 10-13, hal. 69-84.
Sorensen R, J Seibert. 2007. Effects of DEM resolution on the calculation of
topographical indices: TWI and its components. Journal of Hydrology.
347: 79-89.
Sosiawan H, Subagyono K. 2007. Pembagian Air Secara Proporsional untuk
Keberlanjutan Pemanfaatan Air. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol.1 No.4.
Halaman 17-18. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Suara Pembaruan. 2006. Benarkah Indonesia krisis air tawar? tanggal terbit 27
Februari 2006). www.suara pembaruan.com. [8 Januari 2012].
Suharyadi. 1996. Petunjuk Praktek Studi Kota. Jurusan Kartografi dan
Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Wiradisastra U, Tjahjono B, Munibah K. 2002. Geomorfologi dan Analisis
Lanskap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Wolock D M, Prince C V. 1994. Effect of digital elevation model map scale and
data resolution on a topography-based watershed model. Water Resources
Research. 30 (11): 3041-3052.
62

Yesilnacar E, Suzen L. 2006. A land-cover classification for landslide


susceptibility mapping by using feature components. International Journal
of Remote Sensing. Vol 27(2): 253-275.
Zhang W H, Montgomery D R. 1994. Digital elevation model grid size, landscape
representation, and hydrologic simulations. Water Resources Research. 30
(4): 1019-1028.
Zonneveld I S. 1989. The Land Unit, A Fundamental Concept in Landscape
Ecology, SPB Academic Publishing B.V. Vol. 3(2). The Hague.
Zuidam R A V. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. Netherlands: Smith Publisher Hague.
63

LAMPIRAN
64

Lampiran 1. Luas masing-masing Kelas TWI di DAS Cimadur


No. Kelas TWI Luas Area
Ha %
1 1 1 0,007
2 2 20987 99,830
3 3 34 0,163
Luas Total 21022 100

Lampiran 2. Luas Kelas TWI dan order Sungai Cimadur


No Kelas Order sungai Luas Area
TWI Ha %
1 1 3 0,5 0,005
2 4 0,5 0,002
3 2 3 6493 30,885
4 4 4585 21,812
5 5 5417 25,767
6 6 4492 21,366
7 3 3 14 0,068
8 4 7 0,031
9 5 6 0,030
10 6 7 0,033
Luas Total 21022 100

Lampiran 3. Luas kelas ketinggian di DAS Cimadur


No Kelas Luas Area
Ketinggian Ha %
1 0-300 3608 17,16
2 300-600 5740 27,30
3 600-900 9042 43,01
4 900-1200 2165 10,30
5 >1200 467 2,22
Luas Total 21022 100
65

Lampiran 4. Luas kemiringan lereng pada masing-masing penggunaan lahan di


DAS Cimadur
No Penggunaan Kemiringan Lereng (Ha)
Lahan 0-3% 3-8% 8-15% 15-30% >30%
1 Su 65 2 0 8 16
2 H 877 48 468 2847 3044
3 Kc 1268 142 1078 4174 2287
4 P 69 28 60 50 15
5 Sa 1190 312 767 1174 248
6 Se 153 14 107 343 127
7 Tb 5 0 3 22 11
Luas Total 3627 546 2483 8618 5748

Lampiran 5. Hubungan Kelas TWI dan penggunaan lahan di DAS Cimadur


No Penggunaan Kelas TWI (Ha)
Lahan 1 2 3
1 Su 0 89 0
2 H 1 7278 19
3 Kc 0 8930 61
4 P 0 212 1
5 Sa 0 3625 43
6 Se 0 727 1
7 Tb 0 35 0
Luas Total 1 20896 125

Lampiran 6. Penjelasan lanjutan batuan di DAS Cimadur


Jenis batuan induk di daerah penelitian terdiri dari 11 Formasi, yakni:
Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv), Anggota
Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj), Formasi
Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping (Tmtl),
Anggota Konglomerat (Teb), dan Aluvial (Qa). Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Formasi Cimapag (Tmc)
Batuan Sedimen Miosen Awal: breksi aneka bahan, tuf, batupasir,
konglomerat aneka bahan, lava, kayu terkersikkan, batuan terubah dan
66

batulempung. Breksi dan konglomeratnya berkomponen andesit, dasit,


basal, batupasir kuarsa, granodiorit, batu permata (ametis, opal,
turmalin, dsb). Kayu terkersikkan setempat terarangkan berupa ranting,
batang atau akar. Satuan ini tersebar di sekitar Bayah dan Ciletuh,
yang termasuk dalam Formasi Citarate, Formasi Cimapag, dan
sebagian dari Formasi Jampang.
2. Tufa Citorek (Tpv)
Batuan Gunungapi Pliosen: tuf, tuf berbatu apung, tuf breksi,
batupasir, dan batulempung tufan, bersisipan napal. Tuf berbutir
halus-kasar, mengandung kuarsa, felspar, biotit, andesit, dan basal
serta gelas; berlapis baik. Napalnya mengandung fosil foram berumur
Pliosen. Satuan ini tersebar di daerah Muncar dan Kerta yang disebut
Formasi Cipacar.
3. Formasi Cikotok (Temv)
Batuan Gunungapi Eosen-Miosen: breksi gunungapi, tuf, lava, batuan
terubah; mengandung urat-urat kuarsa. Batuannya bersusunan andesit
sampai basal, trakit, dan sienit; batuannya mengandung kuarsa, felspar,
dan kaca gunungapi. Tuf setempat terkersikkan, berlapis baik. Lava
andesitnya berstruktur aliran, trahitik, berlembar, dan vesikular;
terkekarkan dan termineralkan (sulfida dan bijih). Urat kuarsa pengisi
retakan atau rekahan setebal beberapa mm sampai beberapa meter
mengandung mineral kalsit, emas, perak, tembaga, seng, timbal,
turmalin, magnetit, dan pirit. Satuan ini terdapat di sekitar Cikotok,
Bayah dan disebut sebagai Formasi Cikotok, berumur Eosen Akhir
hingga Miosen Awal, mungkin merupakan bagian dari Old Andesit.
4. Anggota Batugamping (Tojl)
Batuan Karbonat Oligosen: batugamping terumbu napal, batulempung
dan batupasir. Batugamping terumbu mengandung foram yang
berumur Oligosen Awal-Oligosen Akhir. Singkapannya terdapat di
daerah Bayah yang disebut sebagai Anggota napal dan Anggota
batugamping Formasi Cijengkol.
5. Formasi Cicarucup (Tet)
67

Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa,


batulempung, serpih, batu sabak, dan tuf; berlapis baik, berstruktur
sedimen lapisan silang-siur; mengandung pula lapisan tipis batubara
dan sisa tumbuhan terarangkan; termalihkan rendah. Setempat
terdapat sisipan grewake dan breksi aneka bahan yang mengandung
bongkahan batugamping dengan fosil foram yang menunjukkan umur
Eosen. Satuan ini tersingkap di selatan Teluk Ciletuh dan di daerah
Bayah sebelah barat Teluk Pelabuhan Ratu dan disebut sebagai
Anggota Konglomerat dan Anggota Batulempung Formasi Bayah atau
Formasi Cicarucup. Satuan ini menjemari dengan batuan Karbonat
Eosen.
6. Anggota Batupasir (Toj)
Batuan Sedimen Oligosen: batupasir, konglomerat, tuf dan bersisipan
batubara, grewake, batulempung, dan napal. Batupasir, gampingan,
banyak mengandung foram dan moluska yang menunjukkan umur
Oligosen. Konglomerat, aneka bahan berkomponen andesit, kuarsa,
batuan malihan, dan rijang radiolaria. Satuan ini menjemari dengan
Batuan Karbonat Oligosen, berumur Oligosen Awal-Akhir. Satuan ini
termasuk Formasi Rajamandalaatau Anggota batupasir Formasi
Cijengkol.
7. Anggota Batugamping (Tmtl)
Batuan Karbonat Miosen Awal: batugamping, napal bersisipan
batupasir dan batulempung. Batugamping berupa batugamping
terumbu, mengandung koral, ganggang, foram dari ekinoid,
gastropoda dan lithothamnium yang menunjukkan umur Miosen Awal.
Satuan ini tersebar di daerah Bayah dan Ciletuh. Yang termasuk
dalam satuan ini adalah Anggota Batugamping Formasi Citarate dan
Anggota Batugamping Formasi Cimapag.
8. Anggota Konglomerat (Teb)
Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa,
batulempung, serpih, batu sabak, dan tuf; berlapis baik, berstruktur
sedimen lapisan silang-siur; mengandung pula lapisan tipis batubara
68

dan sisa tumbuhan terarangkan; termalihkan rendah. Setempat


terdapat sisipan grewake dan breksi aneka bahan yang mengandung
bongkahan batugamping dengan fosil foram yang menunjukkan umur
Eosen. Satuan ini tersingkap di selatan Teluk Ciletuh dan di daerah
Bayah sebelah barat Teluk Pelabuhan Ratu dan disebut sebagai
Anggota Konglomerat dan Anggota Batulempung Formasi Bayah atau
Formasi Cicarucup. Satuan ini menjemari dengan batuan Karbonat
Eosen.
9. Aluvial (Qa)
Batuan Sedimen Holosen: disusun oleh batuan yang berbahan aluvium
yang diendapkan di lingkungan sungai.
10. Formasi Cimanceuri (Tpm)
Berumur Pliosen Akhir, bercirikan sedimen klastika yang kaya akan
fosil molusca, kuarsa dan konglomerat yang bersisipan dengan
sedimen laut dan terendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai
daratan.
11. Limestone Member (Tebm)
Batuan Karbonat Neogene: batugamping terumbu, pejal sebagian
berlapis, berongga, dan batugamping tufan dan pasiran, berumur
Miosen Akhir-Pliosen Awal. Satuan ini tersebar luas di sekitar
Kalipucang dan disebut Formasi Kalipucang, serta sedikit di daerah
Bayah selatan yang disebut sebagai Formasi Cibodas.

Anda mungkin juga menyukai