Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PROYEK

PENGADILAN DAN ARBITRASE

DOSEN PENGAMPU:

RAHMA RAMADHANI, S.Sd.,M.Pd

DISUSUN OLEH:

Eka Karunia Ruladilah 1894094006

PROGRM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARY
TEBUIRENG JOMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat dan nikmatnya yang telah
dilimpahkan kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Aspek Hukum
Dalam Pelaksanaan Proyek ini dengan baik.

Tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang memberikan
dukungannya kepada saya. Juga kepada Ibu Rahma Ramadhani, S.Sd.,M.Pd yang selaku
dosen pengampu telah membimbing saya menyelesaikan makalah ini. Dan kepada teman-
teman teknik sipil serta kepada orang tua yang selalu mendoakan saya yang terbaik.

Kami sadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, namun saya harap makalah
ini dapat menjadi bahan pembelajaran kedepannya tentang mata kuliah Aspek Hukum Dalam
Pelaksanaan Proyek. Mohon maaf bila ada salah penulisan dan salah kata dalam penulisan
makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat saya butuhkan sebagai pembelajaran
ke depan, terima kasih.

Jombang, 5 Juni 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................2
2.1 Pengadilan.....................................................................................................2
2.2 Arbitrase........................................................................................................7
2.3 Keterkaitan Antara Arbitrase Dan Pengadilan..............................................10

BAB III
PENUTUP............................................................................................................14
3.1 Kesimpulan....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sengketa konstruksi (construction dispute) adalah sengketa yang terjadi
sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para yang tersebut
dalam suatu kontrak konstruksi. Sengketa konstruksi terjadi karena adanya perbedaan
pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan antar berbagai pihak yang
terlibat dalam pekerjaan konstruksi. Jika hal ini dibiarkan akan berakibat pada penurunan
kinerja secara keseluruhan pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, perbedaan
pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan sehubungan dengan pekerjaan
konstruksi tersebut harus diselesaikan secepatnya dengan hasil akhir yang memuaskan
semua pihak yang terlibat didalamnya (Nazarkhan Yasin. 2004).

Terdapat 3 (tiga) pilihan dalam menyelesaikan sengketa pekerjaan konstruksi,


antara lain melalui Badan Peradilan (Pengadilan) atau Arbitrase (Lembaga Ad Hoc) atau
Negosiasi, Mediasi serta Konsiliasi. Pilihan penyelesaian sengketa harus secara tegas
dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksudkan adalah sengketa
perdata bukan pidana.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penyelesaian sengketea proyek dengan pengadilan?
2. Bagaimaa penyelesaian sengketa proyek dengan arbitrase?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan penyelesaian sengketea proyek dengan pengadilan
2. Untuk mengetahui pengertian dan penyelesaian sengketa proyek dengan arbitrase

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengadilan

Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan biasanya merupakan pilihan terakhir


dari para pihak karena tidak tercapainya kata sepakat atas sengketa yang terjadi. Pada
umumnya, sebelum mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan para pihak akan
memperingatkan pihak lainnnya melalui surat tertulis atau yang kita kenal dengan
SOMASI untuk memperingatkan pihak lainnya agar memenuhi suatu prestasi, somasi
biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dengan jangka waktu tertentu dan apabila pihak
yang diberi peringatan tidak melakukan apa yang diminta maka tuntutan atau gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang. Sebelum melakukan suatu tuntutan
atau gugatan melalui pengadilan atas perselisihan konstruksi yang terjadi ada baiknya
dimulai dengan melakukan analisa secara mendalam mengenai prosedur hukum acara
yang ditempuh agar tuntutan atau gugatan yang akan kita lakukan tidak menjadi sia sia.
Tahapan-tahapan yang harus dilakukan adalah tahapan persiapan, proses persidangan dan
proses eksekusi putusan (Modul 7, 2/39 ”Fasilitas Penyelesaian Sengketa Kontrak
Konstruksi)

2.1.1 Tahap Persiapan


Berikut ini adalah tahapan persiapan pra gugatan antara lain:
1. Tentukan pengadilan mana yang akan dituju untuk mendaftarkan gugatan
apabila dalam kontrak telah dipilih secara tegas.
2. Persiapkan mengenai syarat formal maupun materiil gugatan
3. Tentukan posita gugatan atau dalil yang mendasari dilakukannnya gugatan,
mendalilkan sesuatu tuntutan dalam gugatan merupakan hal yang sangat penting
dengan didukung oleh bukti-bukti otentik baik bukti tertulis, bukti saksi maupun
bukti lainnya dan didukung pula oleh dalil hukum yang mengatur baik itu
hukum yang mengatur secara umum maupun hukum yang mengatur secara
khusus antara para pihak yang bersengketa yang diatur dalam kontrak.
4. Tentukan petitum gugatan atau tuntutan apa yang akan kita tuntut dalam
melakukan gugatan tuntutan harus berdasarkan dalil yang telah kita dalilkan
karena biasanya majelis hakim pada pengadilan negeri tidak akan mengabulkan
tuntutan melebihi dari apa yang dimohonkan atau dituntut.

2
Setelah mempersiapkan hal tersebut diatas kita harus segera menyiapkan
surat gugatan yang dapat disimpulkan secara sederhana oleh penulis adalah satu
dari permohonan yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang,
isinya memuat tanggal surat gugatan, nama dan alamat penggugat dan tergugat,
dalil yang mendasari gugatan, hal hal yang dimintakan oleh penggugat untuk
dikabulkan pengadilan, dimaterai secukupnya dan ditandatangani oleh penggugat
atau kuasanya (Modul 7, 2/38 ”Fasilitas Penyelesaian Sengketa Kontrak
Konstruksi).
Dalam mempersiapkan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan negeri
untuk perkara tuntutan atas pembayaran sejumlah uang ada baiknya dalam surat
gugatan kita menyampaikan permohonan sita jaminan terhadap harta benda dari
tergugat untuk menjamin gugatan yang kita ajukan tidak menjadi sia sia dan hanya
menang di atas kertas dan apabila permohonan sita jaminan yang kita ajukan
dikabulkan maka akan keluar sutu penetapan tertulis dari pengadilan negeri;
Adakalanya sita jaminan ini merupakan hal yang dapat menjadi daya tekan yang
cukup bagus untuk memaksa pihak tergugat melaksanakan kewajibannya karena
bisaanya sita jaminan ini memiliki efek yang panjang atau serius bagi tergugat.

2.1.2 Proses persidangan


Selanjutnya setelah surat gugatan dibuat dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri yang berwenang dan telah ditentukan majelis hakim yang akan
mengadili maka acara selanjutnya adalah pemanggilan para pihak oleh majelis
hakim yang akan mengadili sengketa dimaksud dan apabila para pihak menghadiri
panggilan dimaksud proses acara sidang pertama menjadi suatu kewajiban bagi
majelis hakim untuk mendamaikan para pihak dan diberi waktu untuk saling
melakukan proses perdamaian dengan ditunjuk hakim mediasi apabila terjadi
perdamaian maka persidangan dihentikan dan segera dibuat akta perdamaian atau
banding

Apabila perdamaian dimaksud tidak tercapai maka acara selanjutnya adalah


masuk dalam proses persidangan sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu proses
jawab menjawab, pembuktian, pengajuan kesimpulan oleh masing masing pihak
untuk selanjutnya diambil sebuah keputusan oleh majelis hakim yang mengadili
perkara dimaksud proses diatas adalah proses normal dimana para pihak

3
menghadiri persidangan dimaksud namun apabila salah satu pihak tidak
menghadiri persidangan maka tetap dapat diambil keputusan oleh majelis hakim
dengan jenis putusan Verstek atau putusan yang diambil akibat dari tidak hadirnya
salah satu pihak dan upaya hukum atas putusan verstek adalah upaya
hukum verzet dan upaya hukum luar biasanya adalah Derden Verzet.

Setelah putusan dibacakan apabila salah satu pihak tidak menerima hasil
keputusan dimaksud dapat melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding
dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari sejak keputusan tingkat pertama
dibacakan atau diterima oleh para pihak secara resmi ) dan kasasi dalam jangka
waktu 14 (empat belas hari setelah putusan pada tingkat pengadilan tinggi diterima
oleh para pihak secara resmi) serta upaya hukum luar bisaa yaitu peninjauan
kembali apabila ditemukan bukti baru setelah upaya kasasi ditempuh.

Apabila salah satu pihak yang dikalahkan dalam suatu sengketa di pengadilan
negeri menerima putusan dimaksud dengan tidak melakukan upaya hukum apapun
maka putusan dimaksud telah memiliki kekuatan hukum tetap atau INKRACHT
dan acara selanjutnya berlanjut pada prosedur Eksekusi setelah putusan memiliki
kekuatan hukum yang tetap.

2.1.3 Proses Eksekusi Putusan


Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah
pimpinan ketua pengadilan negeri, bahwa eksekusi itu haruslah diperintahkan
secara resmi oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang, sebagai pelaksanaan
atas suatu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap atau atas putusan yang
dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun belum ada putusan yang
berkekuatan hukum yang tetap.

Eksekusi tidak sama dengan tindakan main hakim sendiri, seperti penarikan
barang barang yang dijual dengan sewa beli oleh kreditur kepada debiturnya yang
kemudian ditarik dengan berbagai cara seperti ancaman kekerasan, menakut nakuti
atau merampas barang itu dari debiturnya. Cara ini bisaa juga dilakukan dengan
menggunakan Debt Collector. Perbuatan demikian bukanlah eksekusi, tetapi
tindakan metha legal dan dapat dikategorikan melawan hukum. Eksekusi diatur
dalam pasal 195 HIR/206 R.Bg. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
eksekusi adalah menjalankan keputusan pengadilan atas perintah dan dengan

4
dipimpin oleh ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa
perkara itu, menurut cara yang diatur oleh hukum.

Tahapan selanjutnya adalah tahapan awal proses eksekusi yaitu teguran atau
AANMANING yang dilakukan oleh ketua pengadilan negeri secara tertulis pada
tereksekusi atau pihak yang dinyatakan kalah dengan memberikan batas waktu
pemenuhan keputusan yang disebut masa peringatan dan maa peringatan tidak
boleh lebih dari delapan hari sebagaimana yang ditentukan dalam HIR pasal
197/207 RBG. Apabila tereksekusi memenuhi apa yang disampaikan dalam
peringatan oleh ketua pengadilan maka proses eksekusi maka proses eksekusi
berhenti disini sehingga timbullah pemenuhan eksekusi secara sukarela namun
apabila tereksekusi tidak memenuhi peringatan pelaksanaan eksekusi maka
dilanjutkan dengan proses SITA EKSEKUSI atau EXECUTRIALE BESLAG.

Makna sita eksekusi dapat dijelaskan dengan cara menghubungkan ketentuan


pasal 197 ayat (1) HIR dengan pasal 200 ayat (1) HIR atau pasal 208 ayat (1) RBG
dengan pasal 215 ayat (1) RBG makna sita eksekusi dapat dirangkum sebagai
berikut “sita eksekusi adalah penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah)
setelah dilampaui masa peringatan”. “Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin
jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat dan cara untuk
melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta
kekayaan tergugat yang telah disita“ (Yahya Harahap, 2013)

Selanjutnya ada baiknya setelah kita mengetahui makna dan pengertian


eksekusi atas putusan yang dapat dieksekusi kami sampaikan pula hal hal yang
menghambat proses eksekusi sebagai berikut: Dalam praktek dilapangan dan
sebagaimana pengalaman penyusun makalah ini bahwa dalam pelaksanaan
eksekusi ternyata banyak sekali rintangan rintangan yang dapat menghambat
pelaksanaan eksekusi, mulai dari adanya Derden Verzet atau perlawanan dari pihak
ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, bantahan atau bahkan
peninjauan kembali serta gugatan baru yang kemudian dijadikan alas an untuk
menunda pelaksanaan eksekusi.

Disamping itu sering pula ditemui bahwa eksekusi itu dihambat oleh adanya
intervensi dari lembaga peradilan itu sendiri misalnya adanya surat perintah
penghentian dari ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi atau ketua/wakil

5
ketua Mahkama Agung. Bahkan di lapangan sering dijumpai pelaksanaan eksekusi
yang dihalangi atau mendpat perlawanan dengan kekerasan dari pihak tereksekusi
atau preman preman sewaannya (megha legal tactic).

Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan (Pengadilan) memiliki


kelebihan dan kelemahannya. Dan berikut merupakan kelebihan dan kelemahan
pengadilah:

Kelebihan Pengadilan:
1. Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku (HIR, Rv)
2. Yang berlaku mutlak adalah system hukum dari Negara tempat sengketa
diperiksa
3. Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh administrasi pengadilan
4. Putusan pengadilan ditentukan administrasi pengadilan
5. Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
6. Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose

Kelemahan pengadilan:
1. Biaya perkara relative murah dan telah ditentukan oleh MARI
2. Tidak adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang
memeriksa perkara
3. Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
4. Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang
kalah dalam perkara
5. Eksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti dapat
dilaksanakan meskipun kemudian ada bantahan atau verzet

6
2.2 Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk,
yaitu:

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo)
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal
615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1)
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan (Budhy Budiman, 2013)

2.2.1 Objek Arbitrase


Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:


perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan
negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

2.2.2 Jenis-jenis Arbitrase


Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase
melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan
berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase,

7
misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya
arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan
penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh
para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah
klausul arbitrase (Gatot Soemartono, hal.27, 2006).

Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh


berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan
sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh
badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules
dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan
sistem arbitrase sendiri-sendiri (Budhy Budiman, 2013).

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar


klausularbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari
perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase
BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang
bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar
klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational
Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau
tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan
prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan
melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”

Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama


kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau
tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan
diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja
klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul (Budhy
Budiman, 2013).

8
2.2.3 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum
Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, keunggulan itu adalah:
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin
2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif dapat dihindari
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya
5. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
6. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak
melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga
memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia,
kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan
arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional
maupun internasional sudah cukup jelas. Berikut merupakan kelemahan
Arbitrase:
1. Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative mahal, tolok
ukur jumlah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa).
Apabila biaya ditolak atau dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang
lain wajib membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh
arbiter
2. Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase
Ad hoc
3. Tidak memiliki juru sita sendiri sehinggga menghambat penetapan
prosedur dan mekanisme apabila Arbitrase secara efektif

9
4. Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif dan sangat
bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan
sukarela
5. Eksekusi putusan Arbitrase cenderung mudah untuk diintervansi
pihak yang kalah melalui lembaga peradilan (Bantahan, verzet)
sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative
bertambah lama.
6. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengeta untuk
membawanya ke badan Arbitrase tidaklah mudah, kedua pihak harus
sepakat.
7. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, saat
ini di banyak Negara masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan
arbitrase asing masih menjadi persoalan yang sulit.

2.3 Keterkaitan Antara Arbitrase Dan Pengadilan


2.3.1 Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan,
misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa
lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk
menaati putusannya.

Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase


antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak
tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase
nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem
peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan
autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.

2.3.2 Pelaksanaan Putusan Arbitrase


A. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64
UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan
putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
10
pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan
lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter
atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat


(seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga
Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU
No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal
4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak
memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

B. Putusan Arbitrase Internasional


Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing
di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan
pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut
menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia
telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di
Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah
Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990
tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma
tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing

11
di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-
kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing (Gatot
Soemartono, 2006).

2.3.3 Perbandingan Arbitrase dan Pengadilan


Perbandingan kelebihan dan kelemahan antara Arbitrase dan
Pengadilan menurut Ir. H. Nazarkhan Yasin, 2004 dalam tabel berikut ini.

Tabel Kelebihan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan


ARBITRASE PENGADILAN
Bebas dan otonom menentukan rules dan Mutlak terikat pada hukum
institusi arbitrase acara yang berlaku
Menghindari ketidakpastian (uncertainty) Yang berlaku mutlak
akibat perbedaan sistem hukum dengan adalah sistem hukum dari
negara tempat sengketa diperiksa, maupun Negara tempat sengketa
kemungkinan adanya keputusan Hakim yang diperiksa
kurang unfair dengan maksud apa pun,
termasuk melindungi kepentingan domestik
yang terlibat sengketa
Keleluasan memilih arbiter profesional, pakar Majelis Hakim Pengadilan
(expert) dalam bidang yang menjadi objek ditentukan oleh
sengketa, dan independen dalam memeriksa Administrasi Pengadilan
sengketa.
Waktu prosedur dan biaya arbiter lebih Putusan pengadilan
efisien. Putusan bersifat final dan binding, ditentukan oleh
dan tertutup untuk upaya hukum banding atau Administrasi pengadilan
kasasi;
Persidangan tertutup (non-publicity) dan Terbuka untuk umum
karenanya memberi perlindungan untuk (kecuali kasus cerai)
informasi atau data usaha yang bersifat
rahasia atau tidak boleh diketahui umum.
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan Pola pertimbangan
aspek privat dengan win-win solution Pengadilan dan Putusan
hakim adalah win loose 12
Dan berikut merupakan tabel perbandingan kelemahan arbitrase
dengan pengadilan:

Tabel Kelemahan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan

ARBITRASE PENGADILAN
Honorarium arbiter, panitera, dan Biaya perkara relatif murah dan
administrasi relatif mahal. Tolok ukur telah ditentukan oleh MARI
jumlah umumnya ditentukan oleh nilai
klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak
atau tidak dibayar oleh salah satu pihak,
pihak yang lain wajib membayarnya
lebih   dulu agar sengketa diperiksa
oleh arbitrase
Relatif sulit untuk membentuk Majelis Tidak ada hambatan berarti dalam
Arbitrase Ad Hoc pembentukan Majelis Hakim yang
memiksa perkara
Tidak memiliki juru sita sendiri Majelis juru sita dan atau sarana
sehingga menghambat penerapan pelaksanaan prosedur hukum acara
prosedur dan mekanisme Arbitrase
secara efektif
Putusan arbitrase tidak memiliki daya Pelaksanaan putusan dapat
paksa yang efektif, dan sangat dipaksakan secara efektif terhadap
bergantung kepada Pengadilan   jika pihak yang kalah dalam perkara
putusan tidak dijalankan dengan
sukarela
Eksekusi Putusan Arbitrase cenderung Eksekusi Putusan yang telah
mudah dan diintervensi pihak yang memiliki kekuatan hukum yang
kalah melalui lembaga peradilan pasti, dapat dilaksanakan meskipun
(Bantahan, Verzet) sehingga waktu kemudian ada bantahan atau Verzet
realisasi pembayaran ganti rugi menjadi
relative bertambah lama

BAB III
PENUTUP

13
3.1 Kesimpulan

1. Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan


putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan
pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase
itu melanggar ketertiban umum.
2. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam
pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk
arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
3. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa
berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari
pengadilan negeri.

14
DAFTAR PUSTAKA
Yasin Nazarkhan, “Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi”,
Gramedia Pustaka Utama, 2004
Harahap Yahya, “Hukum Perseroan Terbatas”, Sinar Grafika, 2013
Modul 7/2017 ”Fasilitas Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi”
Budhy Budhiman, “Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik
Peradilan Perdata Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1000”. Diakses 15 Juni 2013
Gatot Soemartono, “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia”. Gramedia Pustaka Utama, 2006
Ir. H. Nazarkhan Yasin, “Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa
Konstruksi”. Gramedia Pustaka Utama, 2004

15

Anda mungkin juga menyukai