Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI

Perbandingan Peraturan dalam Aspek K3, Ketenagakerjaan dan


Pelelangan di Negara Indonesia dan Malaysia.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah K3 dan Aspek Hukum dalam
Konstruksi

Dosen Pengampu:

1. Dr. Bambang Endroyo, S.E, M.Pd, M.T


2. Ir. Agung Sutarto, M.T

Diusulkan oleh:
Mufita Aulia Zelin 5113415006 / 2015

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2017
Daftar Isi

Judul

Daftar Isi…………………………………………………………………………………..1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..2


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………….3
1.3 Tujuan……………………………………………………………………...…3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hukum Dalam Konstruksi……………………………………….…………..4


2.2 Aspek K3……………………………………………………….……………7
2.3 Aspek Ketenagakerjaan……………………………………….…………….14
2.4 Aspek Pelelangan…………………………………………………….……..18

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….20
3.2 Saran………………………………………………………………………...20

Lampiran ………………………………………………………………………………..21

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………...22

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 1


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam pelaksanaan konstruksi aspek K3 ( Keselamatan dan Kesehatan Kerja ),
ketenagakerjaan, pelelangan, menjadi aspek penting yang sangat diperhatikan dan diatur
dalam peraturan perundang-undangan RI.
Di Indonesia, masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum masih
sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.
Sektor jasa konstruksi merupakan sektor yang paling berisiko terhadap kecelakan kerja.
Perlu adanya kesadaran mengenai keselamatan kerja karena pada kenyataannya tidak
sedikit pelaku konstruksi yang belum menyadari pentingnya keselamatan kerja. Selain
dari faktor pelaku konstruksi, ternyata masih banyak pekerja yang tidak memakai alat
pelindung diri (APD) dalam kerja dengan alasan faktor kenyamanan alat. Meskipun
demikian, tidak sedikit pula perusahaan yang tetap mengedepankan keselamatan dan
kesehtan kerja bagi para pekerja proyek konstruksi. Pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang bertujuan untuk
melindungi tenaga kerja dan orang lain yang ada di tempat kerja.
Tidak hanya aspek K3 saja yang harus diutamakan namun juga aspek lain seperti
ketenagakerjaan dan proses lelang sebelum konstruksi. Tenaga kerja merupakan salah
satu factor utama dalam pelaksanaan konstruksi dimana tingkat kesejahteraan pekerja
mempengaruhi akan mempengaruhi kinerjanya. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia
diatur dalam UU no 13 Tahun 2003. Pada hukum ketenagakerjaan diatur hak dan
kewajiban pekerja khususnya dalam bidang konstruksi. Dari hasil survey dengan pihak
tenaga kerja, diketahui belum terlaksananya hubungan kontrak kerja secara tertulis
antara pekerja dan perusahaan konstruksi. Di Indonesia banyak pekerja harian lepas yang
tidak dilengkapi kontrak kerja dan kualifikasi yang memadai sehingga hal tersebut dapat
mempengaruhi kinerja mereka. Tidak seperti di negara lain, tenaga kerja dan perusahaan
konstruksi dilengkapi dengan kontrak bahan ada pelatihan sebelum pekerja mulai
bekerja. Pelaksanaan konstruksi tidak bisa berjalan sebelum adanya proses lelang dari
perusahaan konstruksi. Pelelangan dilakukan untuk mendapatkan jasa konstruksi yang
terbaik dalam melakukan pelaksanaan pembangunan proyek konstruksi. Peraturan-
peraturan K3, ketenagakerjaan dan proses lelang dalam setiap negara pastinya berbeda.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 2


Ada kelebihan dan kekurangan dalam setiap aspeknya. Oleh karena itu untuk
mengetahui perbandingan tersebut dilakukan analisis peraturan yang ada di Indonesia
dan Malaysia dalam aspek K3, ketenagakerjaan dan pelelangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja aspek hukum dalam konstruksi.
2. Bagaimana perbandingan peraturan dan pelaksanaan K3 di Indonesia dan Malaysia.
3. Bagaimana perbandingan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia dan Malaysia.
4. Bagaimana perbandingan pelelangan proyek konstruksi di Indonesia dan Malaysia.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui aspek hukum dalam konstruksi.
2. Mengetahui perbandingan peraturan dan pelaksanaan K3 di Indonesia dan Malaysia.
3. Mengetahui perbandingan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia dan Malaysia.
4. Mengetahui perbandingan pelelangan proyek konstruksi di Indonesia dan Malaysia.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 3


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Aspek Hukum Dalam Konstruksi.


Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan
pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna
jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang
perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan
berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya
dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi
sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar
dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan
oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang
dipersamakan.
Aspek-Aspek Hukum Konstruksi
1. Perizinan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi
Penyedia jasa konstruksi yang berbentuk badan usaha harus memenuhi ketentuan
perizinan usaha di bidang jasa konstruksi dan memiliki sertifikat, klasifikasi, dan
kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja
adalah pengakuan tingkat keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing
yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui
ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk melaksanakan tugas-
tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui
kegiatan registrasi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan
demikian, hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk
bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.
Berkenaan dengan izin usaha jasa konstruksi, telah diatur lebih lanjut dalam Pasal
14 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat
Jasa Konstruksi (PP 28/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas PP 28/2000 (PP 4/2010) dan Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah Nomor 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha
Jasa Konstruksi Nasional.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 4


2. Pengikatan Suatu Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip
persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum
atau terbatas, dan dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan
dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung. Pemilihan penyedia jasa
harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan
beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki oleh satu atau
kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh
mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Berkenaan
dengan tata cara pemilihan penyedia jasa ini, telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP
29/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP
29/2000.
3. Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus
dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat dalam
bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka
dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian
mengenai
1. para pihak.
2. rumusan pekerjaan
3. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan.
4. tenaga ahli
5. hak dan kewajiban para pihak.
6. tata cara pembayaran.
7. cidera janji.
8. penyelesaian perselisihan.
9. pemutusan kontrak kerja konstruksi.
10. keadaan memaksa (force majeure).
11. kegagalan bangunan.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 5


12. perlindungan pekerja.
13. aspek lingkungan. Sehubungan dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan
perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Uraian mengenai rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan
batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi :
a. volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan.
b. persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak
dalam mengadakan interaksi.
c. persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh
penyedia jasa.
d. pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain
untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga
kerja dan masyarakat.
e. laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang
dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni
mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk
pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah
jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk
masa pemeliharaan.
4. Sanksi
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran UU Jasa Konstruksi
adalah berupa:
1. peringatan tertulis.
2. penghentian sementara pekerjaan konstruksi.
3. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi.
4. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi (khusus bagi
pengguna jasa).
5. pembekuan izin usaha dan/atau profesi.
6. pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Selain sanksi administratif tersebut,
penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenakan denda paling banyak
sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak atau pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 6


2.2 Perbandinggan Dalam Aspek Pelaksanaan K3.
K3 adalah singkatan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Occupational Health
and Safety). K3 adalah kondisi yang harus diwujudkan di tempat kerja dengan segala
daya upaya berdasarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran mendalam guna melindungi
tenaga kerja, manusia serta karya dan budayanya melalui penerapan teknologi
pencegahan kecelakaan yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan peraturan
perundangan dan standar yang berlaku. Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
yang memadahi merupakan salah satu persyaratan yang harus terpenuhi dalam pekerjaan
konstruksi guna tercapainya sebuah pekerjaan yang aman dan nyaman.
Di Indonesia pelaksaan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) diatur
dalam :
▪ UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
▪ PERMENAKER No. PER.05/MEN/1996 Tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
▪ PERMENAKERTRANS No.PER.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
Di Malaysia semua hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja
diatur dalam DOSH ( Department of Occupational Safety and Health ). Dalam DOSH
dibagi lagi menjadi beberapa department yaitu Safety Alert, Fatal Accident Case,
Prosecution, Occupational Health, Chemical Management, Construction Safety, Small
& Medium Enterprise, Petroleum Safety dan Industrial Hygiene & Ergonomic. Dalam
pelaksanaan aspek K3 hanya akan dibandingkan pada aspek Safety Alert, Fatal Accident
Case dan Construction Safety.
1. Safety Alert ( Peringatan Keselamatan )
Lokasi pekerjaan konstruksi menjadi tempat yang penuh resiko terjadinya
kecelakaan. Untuk menghindari dan mengurangi resiko kecelakaan kerja, salah satu
hal yang dapat dilakukan adalah pemberian tanda peringatan di area pekerjaan.
Peringatan keselamatan di Indonesia dan Malaysia relatif sama yaitu dengan
memasang rambu-rambu peringatan keselamatan pada lokasi konstruksi.
Tujuan pemberian tanda peringatan keselamatan yaitu :

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 7


1. Pekerja supaya memakai perlengkapan keselamatan kerja, misalnya helm
pengaman, baju standad kerja, pemakaian sepatu dan pemakaian
perlengkapan lainnya yang diisyaratkan.
2. Pekerja menggunakan peralatan yang berhubungan dengan mesin supaya
mengikuti prosedure yang diisyaratkan.
3. Pekerja ataupun orang yang lain yang ada di sekitar lokasi kerja mengikuti
larangan larangan yang diisyartkan, misalnya dilarang merokok, dilarang
masuk ataupun larangan larangan lainnya.
4. Supaya pekerja atau orang yang melintas berhati hati terhadap suatu tempat
yang dianggap berbahaya misalnya adanya lobang ataupun adanya
pemasangan peralatan diatas jalan yang dilintasi.

2. Fatal Accident Case ( Kasus Kecelakaan Fatal )


Menurut Teori Tiga Faktor Utama disebutkan bahwa ada tiga faktor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketiga faktor tersebut dapat diuraikan
menjadi :
a. Faktor Manusia
a. Umur
Umur harus mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik,
mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Umur pekerja juga
diatur oleh Undang-Undang Perburuhan yaitu Undang-Undang tanggal 6
Januari 1951 No.1 Pasal 1. Karyawan muda umumnya mempunyai fisik yang
lebih kuat, dinamis, dan kreatif, tetapi cepat bosan, kurang bertanggung jawab,
cenderung absensi, dan turnover-nya rendah. Umum mengetahui bahwa
beberapa kapasitas fisik, seperti penglihatan, pendengaran dan kecepatan
reaksi, menurun sesudah usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka lebih
berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan bahaya dari pada
tenaga kerja usia muda. Efek menjadi tua terhadap terjadinya kecelakaan masih
terus ditelaah. Namun begitu terdapat kecenderungan bahwa beberapa jenis
kecelakaan kerja seperti terjatuh lebih sering terjadi pada tenaga kerja usia 30
tahun atau lebih dari pada tenaga kerja berusia sedang atau muda.
b. Jenis Kelamin

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 8


Jenis pekerjaan antara pria dan wanita sangatlah berbeda. Pembagian kerja
secara sosial antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan terjadinya paparan
yang diterima orang, sehingga penyakit yang dialami berbeda pula. Kasus
wanita lebih banyak daripada pria (Juli Soemirat, 2000:57). Secara anatomis,
fisiologis, dan psikologis tubuh wanita dan pria memiliki perbedaan sehingga
dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian dalam beban dan kebijakan kerja,
diantaranya yaitu hamil dan haid. Dua peristiwa alami wanita itu memerlukan
penyesuaian kebijakan yang khusus.
c. Masa kerja
Masa kerja adalah sesuatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja
disuatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun
negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila dengan semakin lamanya
masa kerja personal semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya.
Sebaliknya, akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya
masa kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait
dengan pekerjaan yang bersifat monoton atau berulang-ulang. Masa kerja
dikategorikan menjadi tiga yaitu: 1. Masa Kerja baru : < 6 tahun 2. Masa Kerja
sedang : 6 – 10 tahun 3. Masa Kerja lama : < 10 tahun (MA. Tulus, 1992:121).
d. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diri yaitu penggunaan seperangkat alat yang
digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari
adanya potensi bahaya atau kecelakaan kerja. APD tidak secara sempurna dapat
melindungi tubuhnya, tetapi akan dapat mengurangi tingkat keparahan yang
mungkin terjadi. Penggunaan alat pelindung diri dapat mencegah kecelakaan
kerja sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan praktek pekerja dalam
penggunaan alat pelindung diri.

e. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan
bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup,
proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang
terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan
kemampuan individu yang optimal (Achmad Munib, dkk., 2004:33).
K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 9
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang
lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa
yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka mereka cenderung untuk menghindari potensi bahaya yang
dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
f. Perilaku
Variabel perilaku adalah salah satu di antara faktor individual yang
mempengaruhi tingkat kecelakaan. Sikap terhadap kondisi kerja, kecelakaan
dan praktik kerja yang aman bisa menjadi hal yang penting karena ternyata
lebih banyak persoalan yang disebabkan oleh pekerja yang ceroboh
dibandingkan dengan mesin-mesin atau karena ketidakpedulian karyawan.
Pada satu waktu, pekerja yang tidak puas dengan pekerjaannya dianggap
memiliki tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi. Namun demikian, asumsi
ini telah dipertanyakan selama beberapa tahun terakhir. Meskipun kepribadian,
sikap karyawan, dan karakteristik individual karyawan tampaknya berpengaruh
pada kecelakaan kerja, namun hubungan sebab akibat masih sulit dipastikan.
g. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk
memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang
berlaku dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan metode yang lebih
mengutamakan praktek daripada teori, dalam hal ini yang dimaksud adalah
pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Timbulnya kecelakaan bekerja
biasanya sebagai akibat atas kelalaian tenaga kerja atau perusahaan. Adapun
kerusakan-kerusakan yang timbul, misalnya kerusakan mesin atau kerusakan
produk, sering tidak diharapkan perusahaan maupun tenaga kerja. Namun tidak
mudah menghindari kemungkinan timbulnya risiko kecelakaan dan kerusakan.
Apabila sering timbul hal tersebut, tindakan yang paling tepat dan harus
dilakukakan manajemen tenaga kerja adalah melakukan pelatihan.
Penyelenggaraan pelatihan dimaksudkan agar pemeliharaan terhadap alat-alat
kerja dapat ditingkatkan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah
mengurangi timbulnya kecelakaan kerja, kerusakan, dan peningkatan
pemeliharaan terhadap alat-alat kerja.
h. Peraturan K3

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 10


Peraturan perundangan adalah ketentuan-ketentuan yang mewajibkan
mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan
dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan industri,
tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis, P3K dan perawatan
medis. Ada tidaknya peraturan K3 sangat berpengaruh dengan kejadian
kecelakaan kerja. Untuk itu, sebaiknya peraturan dibuat dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya untuk mencegah dan mengurangi terjadinya
kecelakaan.

b. Faktor lingkungan
a. Kebisingan

Bising adalah suara/bunyi yang tidak diinginkan . Kebisingan pada tenaga kerja
dapat mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu
komunikasi/percakapan antar pekerja, mengurangi konsentrasi, menurunkan
daya dengar dan tuli akibat kebisingan. Sesuai dengan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor: KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika di Tempat Kerja, Intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA
untuk 8 jam kerja.

b. Suhu Udara

Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja manusia


akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24°C- 27°C.
Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku dan kurangnya
koordinasi otot. Suhu panas terutama berakibat menurunkan prestasi kerja
pekerja, mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu
pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu
koordinasi syaraf perasa dan motoris, serta memudahkan untuk dirangsang.

c. Penerangan

Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi
benda-benda di tempat kerja. Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan
kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 11


menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Penerangan yang baik
memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat
dan tanpa upaya-upaya tidak perlu. Penerangan adalah penting sebagai suatu
faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa penyelidikan
mengenai hubungan antara produksi dan penerangan telah memperlihatkan
bahwa penerangan yang cukup dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan yang
harus dilakukan secara tidak langsung dapat mengurangi banyaknya
kecelakaan. Faktor penerangan yang berperan pada kecelakaan antara lain
kilauan cahaya langsung pantulan benda mengkilap dan bayang-bayang gelap.
Selain itu pencahayaan yang kurang memadai atau menyilaukan akan
melelahkan mata. Kelelahan mata akan menimbulkan rasa kantuk dan hal ini
berbahaya bila karyawan mengoperasikan mesin-mesin berbahaya sehingga
dapat menyebabkan kecelakaan.

c. Faktor peralatan

a. Kondisi mesin
Dengan mesin dan alat mekanik, produksi dan produktivitas dapat ditingkatkan.
Selain itu, beban kerja faktor manusia dikurangi dan pekerjaan dapat lebih
maksimal. Apabila keadaan mesin rusak, dan tidak segera diantisipasi dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketersediaan alat pengaman mesin
Mesin dan alat mekanik terutama diamankan dengan pemasangan pagar dan
perlengkapan pengamanan mesin ata disebut pengaman mesin. Dapat
ditekannya angka kecelakaan kerja oleh mesin adalah akibat dari secara
meluasnya dipergunakan pengaman tersebut. Penerapan tersebut adalah
pencerminan kewajiban perundang-undangan, pengertian dari pihak yang
bersangkutan, dan sebagainya.
b. Letak mesin
Terdapat hubungan yang timbal balik antara manusia dan mesin. Fungsi
manusia dalam hubungan manusia mesin dalam rangkaian produksi adalah
sebagai pengendali jalannya mesin tersebut. Mesin dan alat diatur sehingga
cukup aman dan efisien untuk melakukan pekerjaan dan mudah (AM. Sugeng
Budiono, 2003:65). Termasuk juga dalam tata letak dalam menempatkan posisi
mesin. Semakin jauh letak mesin dengan pekerja, maka potensi bahaya yang

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 12


menyebabkan kecelakaan akan lebih kecil. Sehingga dapat mengurangi jumlah
kecelakaan yang mungkin terjadi.
3. Construction Safety ( Keselamatan Konstruksi )

Untuk menjaga keselamatan di lokasi konstruksi pekerja wajib mengenakan alat


pelindung diri (APD). Alat-alat demikian harus memenuhi persyaratan tidak
mengganggu kerja dan memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya. Alat
Pelindung Diri yang disediakan oleh pengusaha dan dipakai oleh tenaga kerja harus
memenuhi syarat pembuatan, pengujian dan sertifikat. Tenaga kerja berhak menolak
untuk memakainya jika APD yang disediakan jika tidak memenuhi syarat. Alat
Pelindung diri berperan penting terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja, serta
mencegah berguna untuk mencegah pekerja dari kecelakaan seperti: Tertimpa benda
keras dan berat, tertusuk atau terpotong benda tajam, terjatuh dari tempat tinggi, terbakar
atau terkena aliran listrik, terkena zat kimia berbahaya pada kulit atau melalui
pernafasan, pendengaran menjadi rusak karena suara kebisingan, penglihatan menjadi
rusak diakibatkan intensitas cahaya yang tinggi, terkena radiasi dan gangguan lainnya.

Macam alat pelindung diri antara lain adalah :


1. Topi
Topi pengaman (helmet) adalah salah satu alat pelindung diri yang
digunakan oleh para pekerja dari kecelakaan yang ditimbulkan akibat adanya benda
jatuh atau melayang atau benda-benda lain yang bergerak.
2. Rompi
Rompi adalah alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi para
pekerja dari hal-hal yang berpengaruh terhadap kesehatan badan tenaga kerja.
Rompi ini juga berfungsi sebagai identitas pekerja.
3. Sepatu
Sepatu adalah salah satu alat pelindung diri yang digunakan untuk
melindungi kaki tenaga kerja dari kecelakaan-kecelakaan yang disebabkan oleh
beban berat yang menimpa kaki, atau paku-paku dan benda tajam lain yang
mungkin bisa terinjak dan menyebabkan luka.
4. Body Hanger

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 13


Sabuk pengaman yang digunakan oleh para pekerja yang melakukan
pekerjaan di ketinggian tertentu, alat pelindung diri ini berfungsi untutk membantu
para pekerja dari jatuh akibat ketinggian.
5. Kacamata pelindung
Kacamata pengaman digunakan untuk melindungi mata dari debu kayu,
batu, atau serpihan besi yang berterbangan di tiup angin. Mengingat partikel-
partikel debu berukuran sangat kecil dan halus yang terkadang tidak terlihat oleh
kasat mata. Pada bagian mata perlu mendapat perhatian dan diberikan perlindungan
dengan alat pelindung mata, biasanya pekerjaan yang membutuhkan kacamata
yaitu pekerjaan mengelas atau pekerjaan yang lainnya.
6. Sarung Tangan
Adalah alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi tangan para
pekerja pada saat memegang maupun mengangkat material. Sehingga tangan para
pekerja dapat terhindar dari luka.
7. Masker
Masker adalah salaah satu alat pelindung diri yang biasanya digunakan
pada tempat kerja yang mengandung debu, asap, racun, gas CO2 dll.

Penggunaan alat pelindung diri di Indonesia dan Malaysia untuk pekerja konstruksi
hampir sama. Di Malaysia penggunaan safety sudah ditekankan di perkuliahan. Untuk
pekerja konstruksi di Malaysia diadakan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja. Ketika
pekerja sudah lolos kualifikasi maka akan mendapat card hijau sebagai bukti sehingga
pekerja sadar akan pentingnya K3.

2.3 Perbandingan Dalam Aspek Ketenagakerjaan.


1. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia
Di Malaysia Konstitusi merupakan hukum yang berkedudukan paling tinggi.
Meskipun hukum Malaysia sangat dipengaruhi hukum Inggris tetapi dalam banyak
hal ternyata berbeda, misalnya Parlemen Malaysia berbeda dengan Parlemen Inggris,
Parlemen Inggris memegang kekuasaan tertinggi dan tanpa batas sedangkan
parlemen Malaysia tidak memiliki kekuasaan seperti itu. Malaysia merupakan
negara Federal dengan kostitusi tertulis yang kaku. Parlemen memperoleh kekuasaan
dari konstitusi dan dibagi diantara negara federal denga negara-negara bagian.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 14


Makamah di Malaysia banyak mengambil aturan-aturan common law bagi
melaksanakan aspek undang-undang ketenagakerjaan di Malaysia, misalnya untuk
menentukan ujian menentukan dibuat atau tidaknya “kontrak perkhidmatan”
(perjanjian kesepakatan bersama), kewajiban antara majikan dan pekerja, dan
sebagainya. Statute – satatuta ketenagakerjaan di Malaysia sebagai berikut :
1. Akta pekerjaan 1955, dirubah 1989
2. Akta Kesatuan Sekerja 1959, dirubah 1989
3. Akta Perhubungan Perusahaan 1957, dirubah 1980, 1989
4. Akta Keselamatan Sosial Pekerja 1969
5. Akta pekerjaan Anak-Anak dan Orang Muda 1966
Seperti halnya undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara pada
umumnya, undang-undang ketenagakerjaan Malaysia mengatur ketentuan-ketentuan
umum berkaitan perlindungan bagi pekerja dan majikan / perusahaan seperti
perjanjian kerja, hak dan kewajiban buruh/pekerja dan majikan / pengusaha, jam
kerja, upah, cuti / istirahat, cuti bersalin, ketentuan tentang lembur, jaminan social,
hak beribadah, penghentian pekerjaan / PHK, serta pesangaon dan ketentuan-
ketentuannya dan lainlain. Ketenagakerjaan di Malaysia berada di bawah
Kementerian Pengurusan Sumber Manusia di Bawah Perdana Meneteri, sejajar
dengan Kementerian lain, seperti Keimigrasian. Sebagai negara penerima Tenaga
Kerja Indonesia, Malaysia tidak mengatur secara khusus perundang-undangan
berkaitan tenaga Kerja Asing, di Malaysia semua pekerja baik domestic maupun dari
luar negara yang bekerja di Malaysia melalui kontrak kerja yang sah antara pekerja
dengan Malaysia terikat ketentuan dalam Akta Perkerjaan (undang-undang
ketenagakerjaan), kecuali tenaga kerja informal, sama dengan Indonesia, malaysia
tidak mempunyai perundangundangan khusus berkaitan dengan tenaga kerja
informal, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja
informal (buruh kasar/Pembantu Rumah Tangga) tidak tercover dalam perundang-
undangan Malaysia, Tenaga kerja informan Indonesia terikat pada ketentuan aturan
keimigrasian Malaysia sebagai warga negara asing yang berada di Malaysia untuk
batas waktu tertentu. Perjanjian antara pekerja dan majikan melalui agen berkaitan
dengan masa kerja, upah, serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan, negara
Indonesia dalam membuat perjanjian dengan negara Malaysia berupa perjanjian G
to G (government to government) dengan bentuk MoU. Yang selama ini

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 15


ketentuannya lebih berpihak kepada Majikan. MoU antara pemerintah merupakan
legalisasi TKI untuk dapat bekerja di Malaysia sebagai dasar bagi perlindungan hak-
hak dan kewajiban TKI.
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia
berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem
jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah
memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee
provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai
negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi EPF
kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah
mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain itu,
Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang
dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah
federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan langsung
pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif gratis, maka pelayanan
kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di
Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh negara, tidak ada risiko biaya
kesehatan yang berarti bagi semua penduduk Malaysia yang sakit ringan maupun
berat.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun
demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi
peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka
yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan
pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF
secara sukarela. Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan
kelompok penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program
EPF dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah
naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang
terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-
tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi.
2. Sistem KelembagaanKetenagakerjaan Indonesia
Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan tertulis atau
tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sesudah

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 16


tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan
apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana termasuk lembaga-
lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga kerja[2]
Pengertian ketenagakerjan berdasarkan ketentuan UU NO 13 tahun 2003 tentang
adalah sebagai berikut[3] :
Pasal 1 (1) Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
Pasal 1 (2) Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.
Pengertian tenaga kerja menurut UU NO 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja : Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat[4].
Undang-undang lainnya yang masih berhubungan dengan ketenagakerjaan dalam
arti selama bekerja adalah UU NO 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja. Defenisi Jaminan sosial tenaga kerja menurut Pasal 1 (1) Undang-undang ini
: Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang
hilang atau berkurang dan pelayanan akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh
tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, hari tua dan meninggal dunia[8].
Undang-undang yang berhubungan dengan ketenagakerjaa dalan arti sesudah
bekerja diatur dalam UU NO 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Pengertian menurut ketentuan Pasal 1 (1) perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
pendapat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat
pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan[9]. Sebagai peraturan pelaksana dari
Undang-undang terebut diatas diatur dalam Peraturan pemerintah (PP), Peraturan
Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) dan Keputusan menteri tenaga kerja

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 17


2.4 Perbandingan Dalam Aspek Pelelangan.
Pelaksanaan suatu proyek selalu didasari pada suatu kontrak kerja. dimana
sebelumnya suatu suatu proses Pra kontrak. Kegiatan pra kontrak meliputi segala proses
persiapan dan pelaksanaan pengadaan jasa konstruksi (Tender) baik melalui Pelelangan
umum dan pelelangan terbatas.
a. Pemilik Proyek
Adalah Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili Pemerintah daerah propinsi.
b. Pemimpin Proyek
Adalah pejabat yang ditunjuk dengan surat keputusan Gubernur yang mewakili dan
bertindak untuk dan atas nama Pemerintah daerah tingkat I, untuk mengendalikan
pekerjaan yang tercantum dalam dokumen kontrak.
c. Proyek
Adalah suatu rangkaian kegiatan yang menggunakan berbagai sumber daya yang
dibatasi dimensi waktu dan biaya untuk mewujudkan gagasan serta tujuan yang telah
ditetapkan.
d. Peserta lelang
Adalah rekanan yang bergerak dalam bidang jasa pemborongan, yang berhak
mengikuti dan hadir pada saat pelelangan.
e. Rekanan
Adalah badan hukum yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi yang berhak
mengikuti prakualifikasi dan pelelangan.
f. Kontraktor
Adalah badan hukum yang mengajukan penawaran harga pekerjaan yang telah
ditunjuk oleh pemilik atau pemimpin proyek dan telah menandatangani kontrak
untuk melaksanakan pekerjaan.
g. Kontrak
Adalah suatu perikatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis dan isi kontrak
telah disepakati oleh pemberi kerja dan mitra kerja, setelah ditanda tangani
merupakan hukum bagi kedua belah pihak yang menandatangani.
h. Dokumen kontrak
Adalah suatu dokumen yang memuat persyaratan-persyaratan dan ketentuan-
ketentuan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan pekerjaan yang diperjanjikan,
sesuai dengan dokumen pengadaannya.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 18


i. Dokumen Pengadaan
Adalah suatu dokumen yang memuat persyaratan-persyaratan dan ketentuan-
ketentuan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan pekerjaan yang terdiri dari :
a. Rencana kerja dan syarat-syarat (RKS)
b. Gambar-gambar pekerjaan
c. Perubahan-perubahan RKS dan gambar-gambar pekerjaan
d. Berita acara penjelasan pekerjaan dan peninjauan lapangan berupa perubahan-
perubahannya.
j. Dokumen Pelelangan
Adalah dokumen pengadaan yang digunakan dalam suatu pelelangan pekerjaan yang
diterbitkan oleh pemilik.
k. Penawar
Adalah peserta lelang yang telah diundang oleh pemilik untuk mengajukan
penawaran berdasarkan ketentuan pelelangan yang berlaku.

l. Engginer’s Estimate (EE) atau Estimasi Perencanaan


Adalah perkiraan biaya pekerjaan proyek / bagian proyek yang dibuat oleh
perencana dan atau konsultan.
m. Owner’s Estimate (OE) atau estimasi pemilik.
Adalah perkiraan biaya pekerjaan proyek / bagian proyek yang dibuat oleh panitia
yang merupakan peninjauan kembali Engineer’s Estimate (EE) disahkan oleh
pemimpin proyek.
Di Malaysia ada empat Lembaga yang menyediakan jasa kontrak konstruksi yaitu :
1. The Institution of Engineers Malaysia ( IEM ).
2. Pertubuhan Arkitek Malaysia (PAM)
3. Constrution Industry Development Board (CIDB)
4. Jabatan Kerja Raya ( JKR ).
Proses tender konstruksi di Malaysia relatif sama seperti di Indonesia.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 19


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan perbandingan hukum konstruksi
dalam aspek pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja, ketenagakerjaan dan
pelelangan tidak jauh berbeda. Setiap negara mempunyai perundangan-undangan yang
mengatur aspek aspek tersebut.
Di Indonesia keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam:
▪ UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
▪ PERMENAKER No. PER.05/MEN/1996 Tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
▪ PERMENAKERTRANS No.PER.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
Di Malaysia semua hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja diatur
dalam DOSH ( Department of Occupational Safety and Health ).
Perbedaan yang cukup banyak antara Indonesia dan Malaysia yaitu pada system
ketenagakerjaan. Jaminan social tenaga kerja di Malaysia sangat dijamin oleh
kementrian Malaysia. Di Indonesia juga sudah ada peraturan yang mengatur jaminan
social tenaga kerja namun dalam kenyataanya jaminan kesejahteraan pekerja belum
maksimal sebagaimana adanya buruh lepas yang tidak ada kontrak kerja.
Dalam aspek pelelangan atau construction tender, negara Indonesia dan Malaysia
memiiki metode yang relative sama.
3.2 Saran
Saran untuk pemerintah dan penyedia jasa konstruksi untuk lebih memperhatikan
dan melakukan pemantauan lebih keselamatan dan kesehatan selama pekerjaan
berlangsung sehingga pekerja lebih memahami pentingnya safety dan dapat mengurangi
resiko kecelakaan. Banyak pekerja terutama pekerja harian lepas yang bekerja tanpa
memakai alat pelindung diri. Penyedia jasa konstruksi juga bisa melakukan pelatihan
K3 kepada pekerja seperti di negara Malaysia. Penyedia jasa konstruksi juga harus
melakukan kosntark kerja dengan semua pekerja termasuk pekerja harian lepas
sehingga pekerja merasa terjamin keamanannya.

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 20


Lampiran

Kartu bukti pelatihan sebelum memasuki area konstruksi

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 21


DAFTAR PUSTAKA

http://indraadnan92.blogspot.my/2011/08/aspek-hukum-dalam-konstruksi.html

https://unsika.ac.id/sites/default/files/upload/Perbandingan%20Sistem%20Hukum%20Ket
enagakerjaan%20Negara%20Malaysia%20dan%20Indonesia.pdf

https://www.academia.edu/5460337/Sistem_Ketenagakerjaan_dan_Jaminan_Sosial_di_Ma
laysia

K3 DAN ASPEK HUKUM DALAM KONSTRUKSI 22

Anda mungkin juga menyukai