Anda di halaman 1dari 2

Bahasa Daerah Untuk Memperkaya Khazanah

Bahasa menunjukkan martabat bangsa, demikian yang menjadi spirit mendasar jati diri
kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Pun begitu dengan Bahasa Indonesia. Entitas
linguistic yang pertama diungkapkan dalam Kongres Pemuda II dalam butir Sumpah Pemuda
di tahun 1928 ini menempatkannya tidak hanya sebagai media komunikasi antar suku, etnik,
dan budaya di tanah air. Namun, bahasa Indonesia juga menjadi media penjaga
kebermartabatan warga bangsa dalam percaturan dunia internasional.
Lalu, apakah keberadaan bahasa Indonesia justru menghilangkan eksistensi bahasa
daerah?
Anjrah Lelono Broto, seorang sastrawan kelahiran Jombang yang kini bermukim di
Trowulan, Mojokerto, menilai anggapan bahwa keberadaan bahasa Indonesia menghilangkan
eksistensi bahasa daerah tersebut terlalu berlebihan. Pribadi yang dikenal rendah hati dan
mampu melahirkan karya sastra dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ini
menyebut bahwa bahasa Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan nasional sejatinya
merupakan puncak dari kebudayaan-kebudayaan lokal.
“Justru eksistensi bahasa Indonesia itu diperkuat dengan keberadaan bahasa-bahasa
daerah, termasuk bahasa Jawa. Karena bahasa merupakan salah satu produk kebudayaan yang
terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban penggunanya, khazanah diksi
bahasa Indonesia pun kian diperkaya dengan kosakata dari bahasa Jawa, bahasa Betawi,
bahasa Sunda, maupun bahasa-bahasa asing,” terangnya.
Namun, raut wajahnya berubah masam ketika menyinggung pembelajaran bahasa Jawa di
sekolah-sekolah. Keberadaan bahasa Jawa yang hanya menjadi muatan lokal (mulok) dalam
kurikulum pendidikan kita melahirkan sejumlah masalah. Di antaranya, minimnya jam tatap
muka, kurang tersedianya tenaga pendidik dengan kesesuaian latar belakang akademik,
kurangnya fasilitas pendukung pembelajaran, dll.
“Akibatnya, adanya program penggunaan bahasa Jawa pada hari-hari tertentu, lebih mirip
kebijakan populis yang jauh dari punjer masalah. Bagaimana mungkin mengajak siswa
menggunakan bahasa Jawa jika kurikulum kita mengajarkan bahasa sebagai pengetahuan,
bukan sebagai pembiasaan, apakah satu hari bisa membuat anak-anak kita terbiasa
menggunakan bahasa Jawa? Saya rasa, itu berat. Padahal, penerapan bahasa Jawa dalam
kegiatan pembelajaran setiap hari dapat membangun budi pekerti siswa. Ngoko, krama,
krama inggil, jika terbiasa digunakan akan membantu siswa mengenal unggah-ungguh
berkomunikasi, membantu membedakan empan dan papan berkomunikasi dengan kawan,
guru, hingga penjaga sekolah,” ujar sastrawan yang minggu kemarin menghadiri acara Temu
Karya Sastra yang diperhelatkan Dinas Kebudayaan DIY ini.
Dengan menunjuk beberapa remaja yang melintas di jalan raya, dirinya mengingatkan
betapa dewasa ini susah membedakan remaja di tanah air dengan remaja di Korea, Eropa,
ataupun Turki. Hal ini tidak semata karena derasnya arus globalisasi, namun karena dari
generasi ke generasi kita sendiri tidak merasa bangga dengan bahasa dan budaya kita sendiri.
“Menjadi penting untuk belajar bahasa Jawa, agar jelas bahwa kita adalah orang Jawa. Bukan
orang Korea, Amerika, ataupun Arab. Agak ngeri juga juga ketika ada di sekitar kita yang
mengajarkan panggilan Abi-Umi, bukan Ayah-Bunda, atau Bapak-Ibu, kepada anak-anaknya.
Padahal, dirinya orang Jawa, orang Indonesia,”
Sementara, bahasa Indonesia sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi bahasa
internasional. Jikalau sejak dini kita tanamkan kepada anak-anak kita untuk menggunakan
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Serta didukung dengan regulasi dari
pemerintah di sektor pendidikan, ekonomi kreatif, serta literasi, besar kemungkinan bahasa
Jawa akan menjadi landasan berpikir dan berperilaku orang Jawa sendiri dan bahasa
Indonesia mampu menjadi media komunikasi internasional. Minimal, diawali dari lingkungan
ASEAN terlebih dahulu,” tambahnya optimis.
Sembari membubuhkan tanda tangan di buku karyanya yang mempergunakan bahasa
Jawa, lalu memberikannya pada saya, dirinya menandaskan bahwa relevansi penggunaan
bahasa daerah dengan bahasa nasional tidak bijak jika dianggap akan mencederai satu sama
lain. “Karena bahasa daerah sebenarnya justru menjadi piranti pengaya bahasa Indonesia
sehingga bahasa ini senantiasa relevan digunakan oleh semua warga bangsa,” pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai