Anda di halaman 1dari 4

Sukreni Telah Menelan Biji Mata Ayahnya

(Oleh Anjrah Lelono Broto

dimuat di rubrik Serambi Budaya-Radar Mojokerto (Jawa Pos Group),


Edisi Minggu, 16 Februari 2020

“Sejak kapan menjadi perempuan itu salah?”


“Hmm, apakah menjadi perempuan itu masalah?”
“Sukreni seperti ayahnya. Tegas! Bijak! Cerdas! Mengayomi!”
“Aku lihat caranya menengahi persoalan warisan keluarga Suta. Aku melihat ayahnya
menjelma pada Sukreni,”
“Betul, bukankah Sukreni lebih baik daripada kakak-kakaknya?”
“Semprul semua! Tidak bisa menjaga wibawa keluarga!”
“Tapi ingat, Sukreni itu perempuan!”
Suara percakapan di pos ronda itu lalu berhenti. Tak terdengar lagi isi kepala dari
para lelaki yang berjaga malam itu. Sukreni pun menyapa mereka; “Selamat malam,
bapak-bapak…”
Kedatangan Sukreni mengagetkan mereka. Tergopoh mereka berebut membalas
salam. Tangan-tangan mereka berebut jabat tangan perempuan kepala kampung itu.
Sukreni menerimanya dengan dingin. Satu per satu pun berbasa-basi menyambut. Tapi
dingin udara malam itu masih sedingin wajah Sukreni menanggapinya. Perempuan itu
hanya memelihara paras senyum memaksa. Percakapan mereka baru saja masih
meninggalkan bongkahan es batu di antara dadanya.
Lalu, Sukreni beberapa kali merapatkan jaketnya. Dia juga berusaha menutupi
dadanya. Tatapan mata lelaki-lelaki di malam itu masih serupa tatapan mereka saat
melihat tikus dalam kegiatan gropyok tikus siang tadi.
Wak Karta mencoba menghangatkan udara dengan beberapa linting rokok dari balik
sarungnya. Lelaki paruh baya itu tidak hanya mampu mendampingi ‘perjalanan dinas
malam’ seorang kepala kampung perempuan, dirinya juga bijak mendampingi malam
itu sendiri. Dinding udara malam kemudian dihiasi dengan kepulan demi kepulan asap
rokok. Beberapa batuk terdengar namun suara tawa lebih berlipat jumlahnya.

***
Sukreni menatap bayangan dirinya di cermin. Dia masih mencari-cari apa yang
kurang dari paras bulan miliknya. Saputan bedaknya telah berkali dia tambahkan.
Warna hitam alis matanya juga telah beberapa kali dibenahi. Perona merah di pipinya
pun demikian kisahnya. Tapi mengapa, Sukreni masih merasa ada yang kurang dari
dirinya.
Apa karena dirinya terlahir sebagai perempuan?
Pertanyaan ini sebenarnya telah lama berputar menggelepar di hatinya. Sejak dirinya
mencalonkan diri sebagai kepala kampung ini sebenarnya pertanyaan itu telah pula ada.
Namun pertanyaan itu dapat dipupus, tenggelam, bahkan tak timbul setelah melewati
beberapa warsa. Tetapi percakapan yang didengarnya tanpa sengaja di pos ronda pada
malam itu seakan menghidupkannya kembali.
Jika saja ayahnya memiliki anak laki-laki semua. Jika saja dirinya terlahir sebagai laki-
laki dan kakak-kakak lelakinya justru yang terlahir sebagai perempuan. Jika saja
ayahnya tidak menjadi tokoh yang sangat dihormati di kampung ini. Jika saja dirinya
tidak terlahir sebagai keturunan ayahnya. Jika saja. Jika saja. Jika saja. Pengandaian
demi pengandaian kemudian mengikuti kecamuk pertanyaan yang hidup kembali itu
lagi.
“Ah, lahir dengan garis sejarah hebat itu berat, terutama terlahir sebagai
perempuan,” gumamnya kalut jauh di palung hati.
“Bu, sudah ditunggu Wak Karta sejak tadi. Mengapa kamu suka sekali membuat orang
menunggu, Bu?” suara suaminya terdengar berat di belakangnya. Sukreni membalikkan
badan. Dia lalu menyudahi ritus rutinnya di depan cermin itu. Pipi bayi di gendongan
suaminya dicubit kecil. “Bu, nanti bangun, dia baru saja bisa tidur,”
“Tapi kamu bisa menidurkannya lagi kan?” Bibirnya yang juga baru dipulas beberapa
kali mendarat di pipi bayi berusia tiga bulanan itu. Suaminya merengut tanda tak
berterima. “Kakaknya tadi sudah berangkat? Sudah sarapankah? Kau masak apa?
Jangan-jangan dia tidak sarapan lagi lalu mencegatku di balai kampung untuk tambah
uang saku seperti kemarin? Coba kalau cerpenmu itu laku?!”
Lelaki berambut sepunggung itu tidak menjawab. Dia justru berusaha menjauh.
Nampaknya dia benar tidak ingin suara lantang Sukreni membangunkan bayi di
ayunannya. Dia telah berupaya keras menidurkan bayi itu sejak terbit matahari tadi
tadi. Dia ingin segera menaruh gendongannya. Rasa ngilu telah lama menjangkiti
pundaknya.
Kata-kata pedas lalu meluncur dari bibir Sukreni. Dia menyebut lelaki yang menikah
dengannya lebih dari dari dua dasa warsa itu sebagai lelaki yang kurang bertanggung
jawab. Di pedas kata Sukreni juga terbetik bahwa keadaan kantong suaminyalah yang
membuatnya memilih ambil bagian dalam pesta demokrasi di kampungnya.
Level pedas dalam kata-kata Sukreni terus naik, terus naik, dan terus naik. Terlebih
ketika dirinya mempertanyakan mengapa lelaki itu masih saja menjadi cerpenis
sementara honorarium pemuatan cerpen hanya tak senilai beras sepuluh liter?
Mengapa lelaki itu tidak banting setir menjadi petani, pedagang, atau makelar saja?
Bukankah penghasilannya lebih manusiawi?
Tak secuil pun kata terdengar berlawan arah. Lelaki itu masih diam. Bayi di
ayunannya bergerak-gerak. Dia hanya bergerak semakin menjauh ke belakang rumah.
Setia lelaki itu mencoba agar kata-kata Sukreni tak membangunkan buah hati mereka.
“Begitu, kalau aku mulai menyinggung jalan pilihanmu, kau selalu menghindari!!”
“Wak Karta sudah lama menunggu, Bu,” suara lelaki itu pecah menyahut, akhirnya.

***
Balai kampung nampak riuh. Seperti terminal, terlihat sebagian warga kampung itu
duduk berbaris-baris seperti berjajarnya bis. Beberapa kendaraan dinas terparkir di
halaman. Sukreni berdiri di menghadap ke arah warganya dengan anggun paras
bulannya. Dua orang pejabat setingkat kecamatan, seorang lagi pejabat setingkat
kabupaten, duduk di meja searah dengannya. Sebuah ritus sosialisasi program apalah-
apalah tengah berlangsung.
“Jika pelaksanaan program ini bergulir bulan depan, alamat saya akan sering
begadang lagi, Pak,” seru Sukreni saat acara ramah tamah.
“Program ini bagus, namun menuntut kawalan ekstra dari kepala kampung,”pejabat
setingkat kabupaten itu menimpali.
“Saya nanti juga minta kawalan ekstra dari Wak Karta,” lelaki separuh umur itu
membalas dengan mengangguk menenangkan.
“Susah ya menjadi perempuan?” pandangan matan pejabat setingkat kabupaten itu
menumbuk ke dada Sukreni. Keras dan berkali.
Sukreni mengangguk. Senyum menghiasi paras bulannya. Kedua tangannya yang
menggenggam gelas minuman diangkat ke depan melindungi dadanya. "Andai saja saya
tidak terlahir sebagai perempuan,”
Suara perempuan yang tengah melagu tiba-tiba berhenti. Suara musik yang mengalun
juga berhenti. Terdengar nama Sukreni disebut, sebuah permintaan agar dirinya
menyumbangkan suara emasnya tengah diusung. Pias tergambar di paras bulan
Sukreni. Dia pun memberi tanda untuk menolak. Tetapi permintaan itu dengan
pelantang itu tak juga surut. Ini pasti ulah para lelaki yang ingin melihatnya sebagai
perempuan panggung, kutuk Sukreni di dalam hati.
Dan, Sukreni berkali pun berkali memberi tanda penolakan. Dia tidak ingin warga
kampungnya terpesona dengan suara emasnya. Biduanita adalah masa lalu, kepala
kampung adalah sekarang dan masa depan.
***
Perempuan berparas bulan itu lama mematung. Mungkin telah delapan kali
peminuman teh perempuan itu berdiri di sana. Di depan sebuah makam ayahnya.
Perempuan itu tidak duduk di tepi makam sebagaimana peziarah dari waktu ke waktu.
Dirinya tidak menaburkan bunga atau membaca doa-doa. Sukreni tidak sedang
mematung di sana untuk itu semua.
Dia hanya membawa secawan pengaduan. Air dalam cawan telah tuntas
ditumpahkannya di tanah lahat itu. Sukreni telah mengadukan kegelisahannya.
“Sukreni telah menjadi pemimpin istimewa. Kampung ini jauh lebih istimewa sejak
ditinggal Ayah. Tapi mengapa orang-orang tidak menyanjungku seperti mereka
menyanjung Ayah? Mengapa orang-orang sekarang mencibirku sebagai orang yang
tidak sayang keluarga? Menjadi laki-laki memang istimewa. Mereka bisa menjadi apa
saja tanpa beban dada dan air susunya. Orang-orang menghujatku hanya karena
sauamiku yang lebih sering menggendong dari pada aku,” air mata Sukreni terhambur.
Sedu sedan terlihat kemudian. “Lihat Ayah, orang-orang masih menyanjung Ayah
padahal anak dan istri Ayah berceceran di sana-sini. Sedangkan perempuan, Sukreni
bisa dicap sundal jika melakukannya. Apa karena aku perempuan yang tidak memiliki
mata lelaki Ayah?!!”
Lalu suasana hening mengisi ceruk-ceruk area pemakaman itu.
Perempuan itu masih berdiri mematung.
Kegemparan kemudian merebak di kampung itu keesokan harinya. Kedua biji mata
patung ayah Sukreni di pelataran depan makam itu telah raib. Sukreni pun
memproklamirkan diri bahwa dirinyalah yang mengambilnya dan telah usai
menelannya. Besar harapannya, dirinya memiliki mata lelaki ayahnya, dia bisa
memandang-berpikir-bertindak seperti lelaki. Tapi kegemparan itu reda kemudian,
ketika sebuah ambulan mengusung Sukreni di dalamnya ke rumah sakit di kota
kabupaten.
“Bu Sukreni sakit?”
“Perempuan itu lebih pantas keracunan ketimbang lelaki,”
“Sakit apa keracunan?”
“Apa Bu Sukreni tidak mampu membawa mata ayahnya di tubuhnya?”
“Tidak, dia diracun suaminya,”
--- oo0oo ---
Bumi Setrawulan, 2019

Tentang Penulis
Aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Di antaranya Media
Indonesia, Lampung Post, Riau Pos, Radar Mojokerto, Radar Surabaya, Harian Surya,
Harian Bhirawa, Banjarmasin Post, Surabaya Post, Surabaya Pagi, Malang Post, Duta
Masyarakat, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Pikiran Rakyat, Nusantaranews,
Jendela Sastra, IdeIde, Litera, Kawaca, Pojok Seni, Galeri Buku Jakarta, Roemah Cikal,
Travesia, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Kidung (DKJT), dll. Beberapa puisinya masuk
dalam buku antologi bersama Pasewakan (Kongres Sastra Jawa III, 2011), Malam Seribu
Bulan (antologi puisi Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2015), Margasatwa
Indonesia (Lumbung Puisi IV, 2016), Klungkung Dalam Puisi (Dewan Kesenian
Klungkung, 2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Sang Perawi Laut
(2018), Tamasya Warna (2018), Kunanti di Kampar Kiri (Hari Puisi Indonesia-HPI Riau,
2018), When The Days Were Raining (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019),
dll. Karya tunggalnya adalah Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010),
Orasi Jenderal Markus (naskah monolog, 2011), Emak, Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak
(antologi cerkak, 2015), “Nampan Pencakan (Himpunan Puisi, 2017), dan Permintaan
Hujan Jingga (antologi puisi, 2019). Terundang dalam agenda Muktamar Sastra
(Situbondo, 2018), dan karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam
Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra
Setrawulan (LISSTRA) dan dapat disapa di e-mail: anantaanandswami@gmail.com, FB:
anjrahlelonobroto, IG: anjrahlelonobroto, dan Whatssapp: 085854274197.

Anda mungkin juga menyukai