Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

EKONOMI PEMBANGUNAN

OLEH

NAMA : MARTILDE RENSIANA

NIM : 1903010009

SEMESTER/KELAS : III/A

DOSEN WALI : DR. HENDRIK TODA S.SOS, M.SI

JURUSAN ILMU ADMINSTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
Cerita rakyat yang berkaitan dengan gotong royong dan kebersamaan dari Maumere,
Kabupaten Sikka.
Bahasa Indonesia
DU’A NALU PARE
Pada jaman dahulu, di sebuah desa di Kabupaten Sikka, terjadi musim kemarau yang
panjang atau musim paceklik. Masyarakat di desa tersebut ditimpa bencana kelaparan, karena
persediaan pangan di desa tersebut telah menipis dan bahkan ada beberapa rumah yang telah
habis pangannya. Masyarakat di desa tersebut pun bingung untuk menemukan solusi dalam
mengatasi bencana kelaparan yang menimpa desa mereka.
Pada suatu hari, seorang bapak yang merupakan salah satu warga di desa tersebut
bermimpi. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh seorang kakek tua. Kakek tua tersebut
berpesan kepada sang bapak bahwa, jika ia ingin menolong warga di desa tersebut dari
bencana kelaparan tersebut, ia harus mengorbankan seorang gadis untuk dijadikan tumbal
untuk mengatasi bencana tersebut. Anak gadis itu harus dikurbankan dengan cara dipotong
potong atau dicincang dan disebarkan dagingnya di tanah luas atau kebun mereka.  Adapun
bapak tersebut memiliki seorang anak gadis, namun ia sangat menyayangi anaknya itu,
karena ia adalah anak tunggalnya. Maka, bapak tersebut membicarakan tentang mimpinya itu
kepada warga desa lainnya dan meminta solusi. Namun sayangnya, tidak seorang pun dari
warga desa yang mau mengorbankan anak gadis mereka. Maka, dengan berat hati, bapak
tersebut mengorbankan anak gadis kesayangannya itu.
Keesokan harinya, ia mengajak anaknya, ke kebun dengan alas an untuk mencari kayu
bakar. Akhirnya, ia dan anaknya pun pergi. Sesampainya di kebun, mereka bersama-sama
mencari kayu bakar. Setelah selesai mencari kayu bakar, bapak tersebut berpesan kepada
anaknya untuk menunggu sebentar, karena ia ingin mencari sesuatu. Akhirnya, ia
meninggalkan anaknya sendirian. Ternyata, bapak itu pergi untuk mengambil parangnya, dan
akhirnya ia pun datang dan langsung menghunus leher anaknya. Ia kemudian mencincang-
cincang anaknya sendiri dan mulai menyebarkan cincangan tersebut ke tanah gersang di
kebunnya tersebut. Ia sangat bersedih karena telah melakukan hal tersebut, namun dalam
hatinya, ia juga ingin membantu masyarakat desa. Akhirnya ia pun pulang.
Ketika ia tiba di rumahnya, ia ditanyai oleh istrinya mengenai keberadaan anaknya. Ia
hanya bisa mengatakan bahwa anak mereka akan pulang sebentar lagi. Akhirnya, istrinya pun
menunggu kedatangan anak mereka. Namun, hari mulai malam dan anaknya pun tak kunjung
datang, istrinya pun bertanya lagi dan ia hanya terdiam. Keesokan harinya, anaknya pun tak
kunjung datang, akhirnya istrinya bertanya lagi, ia pun tak tahan lagi melihat kegelisahan
istrinya, dan ia pun mengatakan bahwa anak mereka telah meninggal, istrinya sangat bersedih
dan berteriak histeris, namun apalah daya, semuanya telah terjadi.
Setelah seminggu, kakek yang datang dalam mimpi bapak tersebut datang lagi,
namun, dalam mimpi tersebut, kakek itu berpesan kepada sang bapak agar pergi dan melihat
kebunnya. Keesokan harinya, bapak tersebut mengajak istrinya untuk pergi ke kebun mereka.
Akhirnya, ia dan istrinya pun pergi. Sesampainya mereka di kebun, betapa terkejutnya
mereka, bahwa kebun mereka telah ditumbuhi padi yang dalam bahasa Sikka disebut “pare”
atau makanan berbiji. Mereka pun memanggil seluruh warga desa untuk bersama-sama
memanen hasil pangan tersebut. Padi-padi tersebut pun dibagikan kepada seluruh warga desa
dan dimasak menjadi bahan pangan mereka. Akhirnya, desa tersebut pun terselamatkan dari
bencana kelaparan. Bapak tersebut pun menceritakan bahwa padi yang dipanen warga desa
tersebut adalah hail kurban dari anaknya sendiri. Warga desa sangat berterima kasih kepada
bapak tersebut dan mereka menyebut padi tersebut dengan sebutan Du’a Nalu Pare yang
artinya beras yang berasal dari seorang putri atau gadis.  Oleh karena itu, warga masyarakat
Kabupaten Sikka pada jaman dahulu sangat menghargai sebiji nasi karena cerita tersebut.
Mereka sangat menghargai perempuan, karena perempuanlah yang memberi kehidupan awal
bagi mereka.

Bahasa Daerah Sikka


DU’A NALU PARE
Noran nulun ia, ei natar Sikka noran nian dara ha eo henang-henang. Rimu yang teri
ian baut morun mate ran sawe loning poi eo noran makanan yang tena rimu ea. Rimu sawe-
sawe huk tota eo toman meha.
Noran leron ha, moan yang deri ei natar ia mipin. Nimu mipin moan blupur ha mai
pesan ei nimu, raik ganu nimu gai lakang bian ha teri ei natar ia nimu naha kurban le’u men
nimun ha du’a. Moan blupur beta, men du’a ia naha te bati le maten sawe tebon nimun naha
pati le etan-etan gu wehak ei tana rimun ia. Moan ia noran me du’a wa poi te nimu megu
buno no men du’a ia. Jadi nimu bano na regang win no ata bian yang teri ei natar tena kula
babong hama-hama tota solusi. Rimu yang teri ei natar eon noran bia ha yang gai kurban le
men du’a rimun. Nora waten berat, moan ena na kurban leu men du’a nimun.
Luat nimun, moan ena na leta men du’a nimun ra bano ei uma dena tota a’i du’ur.
Da’a ei uma rimu ruan ra tota a’i du’ur. Tota le sawe moan ena kiring ei men du’a dena bui
doi ha loning poi nimu gai na tota kena wa. Moan ena bano na nala ba te poron nimun sawe
na bati le men du’a nimun ei boir. Nimu bati le men du’a ena etan-etan sawe na wehak ei uma
nimun. Nimu sedih ko poi huk walong gai lakang ata bian natar na nimu ikhlas poi sawe
balong nan.
Moan ena balong ei orin nimun. Da’a ei orin nimun, Du’a nimun pla ba te men du’a
ena. Nimu beta bui kesa doi ha men du’a rimun odi balong nan. Da’a guman men du’a enah
eo balong-balong. Du’a enah pla balong ei moan poi te moan enah bile poi. Luat nimun, men
du’a enah eo balong-balong moan enah rehi tahang ba’a ileng du’a nimun ha waten halan,
jadi nimu na kiring beta men du’a rimun ena mate le ba. Du’a nimun geri gata buno, poi te
dadi le ganu ia ba na u’a rehi ba.
Da’a minggu ha, moan blupur enah mai walong ei moan ena mipin nimun, poi te
moan blupur enah beta ma lako oti huma miun ia. Luat kawu nimun, moan ena no du’an
nimun ra lako ba’a te huma rimun ia. Da’a ei huma, moan enah no du’an nimun bego loning
poi huma rimun pare tawa le ba’a. Rimu ruan ra topo ba’a te ata bian natar sawe dena mai
gita ba’a te pare enah. Rimu hama-hama ra poru pare enah tena ea. Moan enah na bagi-bagi
le pare nimun ia ei ata natar tena hering a. Rimu di eo morun mara ba loning poi te moan
enah. Moan ena na cerita ba’a te e ata natar ia beta pare yang rimu a ia adalah men du’a
nimun. Ata bian natar weta epang gawang buno no moan ena jadi rimu topo le Du’a Nalu
Pare ha boumai ei du’a enah. Loning poi ganu ia, ata bian natar Sikka nulun ia tabe buno no
pare loning poi te nao noan ia. Rimu tabe buno no ata du’a loning poi ata du’a yang weli rimu
ea.
Komentar tentang cerita diatas:
Dari cerita diatas, menurut saya masyarakat Sikka pada zaman dahulu sudah mulai
saling membantu satu sama lain dan menanamkan nilai gotong royong. Dilihat dari cerita
diatas masyarakat Sikka zaman dahulu sudah saling bekerja sama untuk menyelesaikan
masalah yang ada dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka juga secara bersama-
sama memanen padi untuk dibagi-bagikan kepada penduduk kampung Sikka agar bisa
bertahan hidup. Adapun seorang bapak yang rela mengorbankan anak perempuannya demi
kepentingan orang banyak. Dari cerita diatas kita juga mendapat pelajaran bahwa kita harus
selalu menumbuhkan rasa kebersamaan dalam hidup kita. Sebagai manusia yang selalu hidup
berdampingan kita tidak boleh mementingkan kepentingan kita sendiri, tetapi harus dapat
mementingkan kepentingan orang banyak.
Walaupun begitu jika dilihat dari sisi negatif, masyarakat Sikka zaman dahulu terlalu
mementingkan kepentingan pribadi. Mereka tidak rela mengorbankan anak perempuan
mereka untuk bisa bertahan hidup dalam bencana kelaparan yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai