Anda di halaman 1dari 41

Prolog

Angin bertiup cukup kencang. Suara dengan lolongan anjing liar. Kabut tipis
menyelimuti setiap sudut permakaman, tempat yang konon menurut warga sangat angker.
Daun-daun pohon pohon kamboja kamboja dan beringin bergoyang-goyang mengikuti arah
angin yang mengempasnya. Bau kemenyan dan kembang tujuh rupa menyeruak.
Malam ini seorang wanita tua duduk di sebuah gundukan tanah selepas tujuh hari
kematiannya. Ya, dia memang sedang menangisi kematiannya dengan tangisan yang
menyayat hati, di makamnya sendiri
Wanita tua itu terisak dan tersedu-sedu. Menggaruk-garuk gundukan makam seakan
ingin menggali dan mengeluarkan jasad yang ada di dalamnya.
Mendung mulai menutup bulan. separuh tatkala malam merangkak naik. Bintang-
bintang lenyap dari langit desa itu. Membuat pemakaman umum desa itu gelap gulita.
Seorang pria yang sudah bertahun tahun mencari tokek di sekitar pemakaman pun
dibuat terpaku, mendapati kenyataan melihat penampakan yang tak biasa. Dia tahu itu nyata,
bentuknya tampak jelas saat senter yang dibawa menyorot pada tubuh wanita itu.
Dia mencoba mendekat perlahan untuk memastikan yang dilihatnya. Karena
bagaimana pun juga, pria lajang yang usianya sudah kepala empat ini bukanlah seorang
penakut. Dia sudah sering melihat penampakan sepanjang hidupnya, tetapi itu hanya sekilas.
Setelah beberapa saat pasti akan lenyap, hilang ditelan kegelapan malam.
Seperti penampakan tempo hari saat sesosok pocong berdiri di salah satu sudut
pemakaman itu Sebelumnya juga dia pernah menjumpai penampakan kuntilanak duduk diatas
pohon. Sama seperti penampakan lainnya, beberapa detik kemudian hilang dari
pandangannya. Akan tetapi, yang dia temui malam ini sungguh berbeda,sosok itu tak kunjung
menghilang saat dia dekati.
Semakin dekat dia melangkah sosok itu semakin jelas. Doa-doa pun sudah dibacakan
saat tadi. Sosok itu tetap saja masih berada di tempatnya. Wanita paruh baya itu tetap
menunduk dengan rambut menutupi wajahnya. Dari tangannya terdapat segenggam bunga
yang ia taburkan ke makamnya sendiri. Angin semakin kencang. Rambut wanita itu berkibas-
kibas.
Namun, Prayit masih belum jelas dengan wajah dari sosok misterius yang sadari tadi
terus menunduk itu. Tidak seperti malam biasanya, Prayit malam ini diliputi ketakutan.
Ditambah keranda dari bambu yang berada tidak jauh dari pemakaman itu sedikit bergerak.
Terdengar ramai gumaman orang orang penghuni pemakaman. Prayit berhenti sejenak.
Kepalanya merasakan pusing dan pandangannya sedikit remang remang. Prayit menghela
napas, kembali melangkah maju dengan pelan. Membuang jauh-jauh rasa takut yang ada
dalam dirinya. Tiba-tiba! Mata dari pemilik wajah ketus itu mendongak, balik memandang
dengan tatapan tajam kearah pria kurus yang sedari tadi mendelik karena ingin memastikan
apa yang dilihatnya.
Prayit pun tersentak. "Sul... Sulastri!" teriak Prayit, kemudian berbalik badan dan lari
terbirit-birit mencoba meninggalkan pemakaman desa itu. Saat itu sebenarnya belum terlalu
malam karena azan isya baru saja berkumandang setengah jam yang lalu. Akan tetapi berbeda
dengan suasana di pemakaman umum desa, suasananya sangat mencekam. Tidak seperti
biasanya, Prayit mencari tokek selepas Maghrib tadi. Padahal biasanya pria jarang menyisir
rambutnya itu mencari setelah waktu isya. Membuat Prayit harus menerima kenyataan,
mendapati penampakan yang tak biasa.
Prayit berusaha meninggalkan pemakaman dengan jatuh bangun saat berkali-kali
menabrak nisan dari kayu. Sulastri kini tertawa terbahak-bahak sat melihat Prayit berusaha
kabur darinya. Suara yang membuat siapa saja yang mendengarnya akan bergidik dibuatnya.
Seorang Prayit yang sudah terbiasa melihat penampakan saja, malam ini dibuat lari karena
ketakutan. Pakaian daster kotor dengan motif bunga yang dikenakan Sulastri, sama persis
dengan yang dikenakan saat dia meregang nyawa.
Angin kencang seketika berhenti saat Sulastri bangkit dari duduknya. Semua suara
suara dari gagak dan anjing liar pun seketika lenyap. Gerimis perlahan turun. Sulastri pun
kembali tertawa yang memekakkan telinga. Angin semakin bertiup kencang. Gerimis
berganti hujan. Hujan semakin menderas. Halilintar menyambar-nyambar. Kilatan cahaya
sekejap menerangi seisi pemakaman itu. Sosok Sulastri kini lenyap entah kemana.
Prayit masih terus berusaha berlari menuju desanya. Sepanjang pelariannya terus
berteriak, tak peduli meski tak ada satu pun orang yang mendengarnya.
“Sulastri! Sulastri bangkit lagi...” Prayit keluar dari pemakaman umum desa.
Jalan sempit yang memisahkan sawah yang ada di kanan kirinya sudah basah karena
air hujan. Prayit berkali kali terjatuh dan terpeleset. Prayit merunduk, menutup telinganya
saat halilintar terdengar keras menyambar memekakan telinga. Pria itu berlari dengan rasa
ketakutan.
Kini bukan hanya bergidik, tetapi tubuhnya juga menggigil. Prayit sangat ingin
meninggalkan tempat itu, karena pemakaman masih terlihat dari tempatnya berdiri saat itu.
Akan tetapi, petir yang masih saja terus menyambar dan menggelegar, membuat Prayit tak
berani melanjutkan langkahnya di bawah guyuran hujan. Sesosok wanita tua terlihat jalan
tergopoh saat kilatan demi kilatan menimbulkan efek cahaya.
Prayit tahu betul itu sosok yang ditemuinya di pemakaman tadi. Prayit diam sesaat,
sebelum tiba-tiba tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Semakin dekat, kini keduanya sudah
saling berhadapan. Prayit kelu tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Wanita tua itu
mengangkat wajahnya,menyeringai. Posisi Prayit sekarang hanya berjarak dua langkah
dengan sosok Sulastri.
Prayit berusaha sekuattenaga menutup matanya ,namun sia-sia. Tangan Sulastri
mengusap matanya, jarinya menyongkel masuk ke dalam kelopak mata. Kemudian bola mata
sebelah kanan pun terlepas. Sulastri menyodorkan tangannya kepada Prayit. Darah keluar
dengan deras dari kelopak yang sudah tidak ada bola matanya itu.
Sulastri sedikit menggoyangkan tangannya tanda agar Prayit segera menerima bola
mata itu.
“Ambil! Sebagai kenang-kenangan...”
Halilintar kembali menyambar. Tubuh Prayit bergetar dengan hebat. Tak lama Prayit
roboh tak sadarkan diri lagi. Sulastri kembali lenyap. Meninggalkan Prayit yang berbaring
sendiri di bawah pohon randu, diguyur hujan lebat malam itu.
Beberapa hari sebelum kematian Sulastri, Dina terlihat sedang berbincang serius
dengan Andi di beranda rumah. Andi adalah anak adopsi dari Sulastri yang menikah dua
tahun lalu. Sedangkan Dina seorang anak dari pemilik rental mobil dimana Andi bekerja
sebelumnya.
Sepasang suami istri ini sedang membicarakan hal yang sangat penting. Perihal masa
depan ekonomi keluarganya yang masih sangat kekurangan, meski keduanya lahir dari
keluarga yang berkecukupan. Mereka berdua baru sebulan tinggal di rumah Sulastri,
sebelumnya tinggal di rumah kedua orang tua Dina.
keduanya tidak ada satupun yang bekerja, mereka harus menggantungkan hidupnya
pada kedua orangtuanya masing-masing. Sementara saat ini, Dina sedang hamil tiga bulan.
Membuat mereka berpikir keras bagaimana caranya agar bisa mendapat uang untuk
persalinannya kelak.
“ Mas ! Papahku tidak mau lagi memberi uang bulanan kepadaku, kecuali kita mau
tinggal di rumah mereka lagi”, ucap Dina sedikit merengut.
“ Iya, tapi tahu sendiri, ibu di sini tinggal sendiri. Kasihan kalau ibu nggak ada yang
nemenin,” ujar Andi sembari menatap ibunya yang sekarang duduk di depan kursi halaman
depan.
“ Percuma tinggal di sini, setelah ibu tiada semua rumah dan tanahnya akan dijual dan
disumbangkan pada panti asuhan di mana dulu waktu kecil ibu tinggal!” seru Dina sembari
manyun pada Andi.
“ Tapi, Dek.. mas lagu berusaha untuk berbicara baik-baik sama ibu. Bagaimanapun
juga, mas harus dapat warisan. meski mas hanya anak angkatnya.” Andi masih terus
mengawasi ibunya yang duduk dengan membelakangi mereka berdua. Jaraknya lumayan
jauh, sehingga Jakarta akan bisa didengar Sulastri.
“ Itu harus, mas! Percuma aku ninggalin mama dan papa, kalau kita hidup “Kalau mas
masih saja bersikap Dian sama ibu, aku memilih pulang ke rumah orang tuaku!.” pekik Dina
kesal dengan sikap tak tegas suaminya.
Perbincangan malam itu membuat Andi dilanda dilema, terus memikirkan cara apa
yang harus dilakukan. karena Sulastri ibu angkatnya, bersikeras tetap tidak mau memberikan
warisan pada anak dan menantunya itu.
“Terus adek maunya gimana?” tanya Andi yang kini duduk semakin merapat pada
Dina.
Dina mengajak Andi untuk membahas permasalahan tersebut di dalam kamar. mereka
pun berjalan menuju ruang tamu. Setelah beberapa langkah tidak disangka Sulastri sudah
duduk di kursi mesin jahitnya. padahal mereka yakin benar, kalau tadi mereka berdua melihat
Sulastri masih duduk di kursi halaman.
Sekeika Sulastri melirik menantunya itu dengan sinis. Seakan ada rasa tidak suka
dalam dirinya yang begitu besar. Seperti ada dendam yang begitu dalam, yang belum sempat
terbalaskan. Sulastri kemudian mendongak ke atas tembok, tempat di mana lukisan keranda
mayat dipasang. Alasan ibunya memasak lukisan itu agar selalu mengingat kematian.
Kematian yang akan datang mengintai pada siapa saja dan kapan saja.
Dina pun dibuat ketakutan dengan tingkah laku aneh mertuanya itu. Dia pun
kemudian menarik tangan Andi agar lekas segera masuk ke kamar.
“ Mas ibu kok semakin aneh sih?” tanya Dena berbisik-bisik, setelah mereka sudah
berada di dalam kamar.
“Entahlah, apa karena lukisan itu ibu jadi aneh? sampai tidak mau sedikitpun
mewarisi harta nya?” Andi balik bertanya.
Sepasang suami istri ini saling memandang. Tanda mereka sedang kebingungan atas
segala pertanyaan dan rahasia yang menyelimuti mereka selama ini. Malam pun semakin
larut, saat Dina dan Andi mulai terlelap dalam tidurnya. Sementara Sulastri, masih duduk di
kursi mesin jahitnya sembari terus memandangi lukisan keranda mayat itu.
Siang itu, di salah satu desa Indramayu. sepasang suami istri itu terlihat mendatangi
sebuah gubuk berdinding pagar anyaman bambu. Suasananya jauh dari keramaian, membuat
siapa saja yang datang ke tempat itu akan aman dari sepengetahuan warga lainnya.
“Mas pokonya ibu harus segera kita singkirkan, aku tak mau nanti kita hidup dalam
kemiskinan!” seru Dina di depan rumah Ki Carsan.
“Mas akan berusaha bicara pada ibu, agar tidak semua hartanya disumbangkan pada
panti asuhan itu,” terang Andi
“ Mas, kita sudah sampai di sini, gak ada lagi pembicaraan baik-baik dengan ibu!”
dari dinas sembari melotot pada pria berkacamata itu.
“Ada apa ini ribut-ribut? kalau ada masalah jangan bicara di luar! Bahaya kalau
sampai ada yang melihat” sewot ki Carsan sembari bertolak pinggang.
Andi sedikit terkejut dengan kemunculan tiba-tiba dokumen yang sudah sangat
dipercaya oleh keluarganya itu. Ki Carsan memerintahkan kedua orang yang sudah
dikenalnya itu masuk ke gubuknya.
Andi dan Dina duduk setelah dukun yang terkenal sakti mandraguna itu sudah bersila
di atas kain putih. Konon katanya itu adalah kain kafan yang dicurinya dari jasad yang
meninggal pada Jumat Kliwon.
“Kalian serius akan menyingkirkan ibu dan mertua kalian?” tanya Ki Carsan sembari
sedikit melotot.
“i..iya Ki.Ki Carsan bisa bantu kan? Kok Ki Casran bisa tahu?”
Andi sebenarnya sedikit takut , karena bagaimanapun juga, Sulastri itu adalah murid
Ki Carsan juga. Andi juga berjanji jika dia akan memberikan bagian yang tidak sedikit bagi
Ki Carsan jika berhasil menyingkirkan ibunya itu. Ki Carsan pun menyanggupinya.
“Kalian tahu sendiri, semua harta yang dia raih sekarang ini atas bantuanku, namun
Sulastri itu jika memberi sesuatu tidak sebesar yang kalian berikan.”
Ki Carsan manggut-manggut seperti sedang menyusun rencana selanjutnya. Suasana
dalam gubuk itu sejenak hening. Tak ada sepatah kata pun dari mereka bertiga.
“Baiklah, sekarang kalian silahkan pergi dari tempat ini, tapi jangan pulang ke
rumah!” ucap Ki Carsan.
“Kalian harus mencari kembang tujuh rupa, air dari tujuh sumur dan tanah dari tujuh
pemakaman. Tidak boleh mengambil hanya dari satu pemakaman, ingat itu!” perintah Ki
Carsan sembari telunjuknya menuding ke arah pintu, agar Andi dan Dina segera pergi dari
tempat itu.
“Iya Ki, kami pamit,” ujar Andi sembari mencium tangan Ki Carsan, begitu pula Dina
selanjutnya.
Sore itu disekitar gubuk Ki Carsan terlihat lengang seperti biasanya. Hanya ada suara
lolongan anjing yang memang selalu terdengar di tempat itu setiap saat. Ki carsan berdiri
diambang pintu, memandang kebun mangga yang tumbuh subur di tempat itu. Pohon mangga
yang menjulang tinggi itu didominasi pohon yang sudah berusia tua. Tidak jauh dari gubuk
Ki Carsan terdapat makam tua tak bertuan.
Konon katanya, itu adalah makam sesepuh pendiri dari desa tersebut. Namun, tak ada
satupun orang yang tahu siapa nama yang dimakamkan di tempat itu. Setiap malam Jum’at
Kliwon, banyak warga yang datang sekedar mencari berkah. Beberapa warga bahkan sempat
ingin bertapa di tempat itu, tetapi Ki Carsan selaku kuncen tidak pernah sekalipun
mengizinkan.
Dari salah satu sudut kebun, Ki Carsan melihat seorang lelaki yang sedang mencari
rumput untuk makan kambing milik kepala desa. Tentu Ki Carsan sudah hafal dengan lekuk
tubuh pria tersebut.
“Prayit sini!” panggil Ki Carsan dari depan gubuknya.
Prayit yang saat itu sedang mencari rumput sedikit terkejut. Tidak biasanya dukun
yang terkenal sakti dan terpandang itu memanggilnya. Padahal selama ini Prayit dipandang
sebelah mata oleh warga lain.
“ A a ada apa Ki?” tanya Prayit terbata.
“Kamu bisa aku suruh panggil Sulastri kesini? tapi ingat, jangan sampai ada orang
yang tahu, apalagi anak dan menantunya!,” ujar Ki Carsan sembari bertolak pinggang.
“Memang ada apa dengan Sulastri suruh ke sini, Ki?” tanya Prayit polos.
“ Kamu jangan ikut-ikutan panggil namanya saja! Kamu tetap harus panggil dia Bu
Sulastri!” bentak Ki Carsan yang membuat Prayit sedikit mundur. Prayit pun bergegas pergi
dan meninggalkan Ki Carsan.
Prayit terus berlari menuju rumah Sulastri. Melewati jalan setapak sebelum kemudian
masuk ke dalam jalan gang sempit. Setelah napasnya hampir habis, Prayit akhirnya sampai
didepan pintu rumah janda kepala lima itu.
“ Sul... Sulastri!” panggil Prayit dengan badan terengah engah.
“ Ada apa?” Jawab Sulastri yang sudah berdiri di belakang Prayit.
“ Sul dipanggil Ki Carsan,” ucap Prayit sedikit membungkuk dan kedua tangannya
memegang lutut.
“ Kamu itu emang bocah gendeng! Sama yang lebih tua kok Cuma manggil namanya.
Sana pergi! Sehabis magrib aku kesana!” seru Sulastri dengan nada tinggi.
Prayit pun meninggalkan Sulastri tanpa berkata apa pun lagi. Setelah beberapa
langkah, Prayit berhenti sejenak.
“ Janda galah, pantasnggak laku lagi,” gerutunya sembari menengok ke belakang,
tetapi Sulastri sudah tidak ada di tempat itu lagi. Prayit mengarahkan pandangannya ke segala
arah. Namun sosok Sulastri tetap tidak dia temukan. Untuk kedua kalinya Prayit merasakan
ada yang aneh pada diri Sulastri.
Setelah Prayit kembali mengarahkan pandangannya ke depan, tiba-tiba Sulastri sudah
ada di depannya. Membuat Prayit kembali tersentak.
“Ada apa?” tanya Sulastri ketus.
Kini wajah Sulastri terlihat sedikit pucat. Prayit pun berlari tanpa menjawab sepatah
kata pun Tanpa berani lagi menengok ke belakang. Dirinya sudah dilanda kengerian yang
begitu hebat.
Di dalam rumah, Sulastri masih terus memandangi lukisan keranda mayat yang
menempel di dinding. Dalam heningnya rumah itu, dirinya seakan mendapatkan bisikan-
bisikan.
“ Aku tak akan mewarisi harta kekayaan ku sedikit pun,” lirihnya, sebelum kemudian
dia tiba tiba tertawa terbahak-bahak.
Setelah memandangi lukisan itu cukup lama, Sulastri keluar meninggalkan rumahnya
tanpa menutup pintu. Tepat di langkah ke tujuh, pintu itu tertutup dengan sendirinya.
Menimbulkan efek suara seperti pintu yang dibanting Sulastri melangkah sendirian saat gelap
sudah menyelimuti desa.
Suara-suara dari burung hantu dan gagak menemaninya saat menuju gubuk Ki Carsan.
Anjing terus menyalak tatkala disebuah pohon mangga yang menjulang tinggi itu.
Terlihat seorang wanita yang terbujur kaku dengan seutas tali menjerat lehernya.
Sulastri memfokuskan kedua matanya karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sulastri sejenak menutup matanya, kemudian membukanya kembali secara perlahan. Sosok
itu kini lenyap, bersamaan dengan sekelebat sosok yang terbang dari atas pohon itu. Sulastri
tidak merasa ketakutan.
Setelah menyusuri jalan setapak selama setengah jam, Sulastri sampai di depan gubuk
KI Carsan. Bau kemenyan mulai tercium dari luar gubuk yang hanya beratap jerami itu.
“ Masuk!” pekik Ki Carsan dari dalam gubuk.
Sulastri tidak kaget dengan hal ini, karena dia sendiri sudah tahu kalau Ki Carsan
memang memiliki kemampuan melihat sejauh mata memandang. Meski terhalang oleh sekat-
sekat pagar gubuk dari anyaman bambu itu. Sulastri membuka pintu yang sudah reyot.
Kemudian masuk dan duduk di depan Ki Carsan. Mata dari dukun berkulit hitam pekat itu
masih terpejam.
Setelah berbincang didalam gubuk Ki Carsan, Sulastri kembali ke kediamannya. Dia
sendiri masih diliputi dengan pertanyaan tentang kejadian malam kemarin, saat dia duduk di
halaman, tiba-tiba dia sudah duduk di kursi mesin jahitnya. Juga tentang kejadian sore tadi,
saat ia bisa lenyap dan kemudian muncul secara tiba-tiba dihadapan Prayit. Sulastri tidak
mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Apakah itu kemampuan tersembunyi yang
dimilikinya, atau hal lain.
Sulastri tidak tidur semalaman. Dirinya seakan terhipnotis untuk terus memandang
lukisan pemberian dari Ki Carsan itu. Lukisan itu seakan punya daya magis yang
membuatnya seperti bukan manusia lagi. Lukisan yang seakan haus akan darah dan
merindukan kematian dari siapa saja yang menatap dan berada di sekitar lukisan keranda itu.

Sulastri sangat yakin betul, ada yang tak beres dengan dirinya sekarang. Namun, dia
sama sekali tidak bisa menolak atau membantah perintah dari guru spiritualnya. Membuat
lukisan yang penuh aura negatif itu terpaksa terpajang di rumahnya.
BAB 1
Niat Jahat

Malam begitu hening tatkala Andi dan Dina berada di gubuk Ki Carsan. Mereka
berdua hendak menjadi saksi dari hebatnya santet dukun sakti itu. Mereka pun sudah
membawa syarat-syarat Yang tempo hari sudah Ki Carsan sebutkan.
“ Kamu sudah dapat kembang tujuh rupa, air tujuh sumur, dan tanah tujuh
pemakaman?” tanya Ki Carsan.
“ Sudah Ki,” jawab Dina sembari menyodorkan plastik berwarna hitam pada Ki
Carsan.
“ Kalian yakin persyaratannya sudah lengkap?” tanya Ki Carsan lagi.
“Ya.. yakin, Ki,” sahut Andi terlihat gugup.
Ki Carsan masih berkomat-kamit disaksikan oleh Andi dan Dina. Keris pusaka yang
dia curi dari Mbah Sastro guru Ki carsan pun dikeluarkan. Sebuah boneka yang terbuat dari
jerami pun diambil dengan tangan kirinya. Keris pusaka itu ditaruhnya tepat di atas asap
kemenyan yang dibakar dengan bara kayu. Disusul dengan boneka dari jerami itu.
mulutnya masih terus komat-kamit dan matanya masih terpejam. garis itu mulai
ditusukkan di beberapa bagian boneka jerami itu berulang kali. Beberapa saat kemudian,
tergambar jelas senyum dari bibir hitamnya. Ki Carsan membuka matanya.
“ Kalian jangan khawatir, ini santet paling ampuh yang aku miliki,” ujar Ki Carsan.
“ Terimakasih ya Ki. Kami percaya kok,” ujar Dina sembari membalas senyum dukun
ilmu hitam itu
Sementara itu di rumah Sulastri, janda yang tidak memiliki anak Biologis logis itu
sedang mengerang kesakitan karena santet yang dikirim oleh Ki Carsan. Prayit yang waktu
kemarin merasa aneh dengan tingkah laku Sulastri, akhirnya nekat mengendap-ngendap di
rumah janda kaya itu.
tari Bali celah gorden kamar yang sedikit tersingkap, dirinya mengintip. Prayit
tersentak mendapati kejadian bahwa Sulastri sedang berguling-guling, seakan sedang
merasakan siksaan yang sangat pedih. Sulastri terjatuh dari ranjangnya, sebelum kemudian
merangkak keluar dari kamar itu. Sulastri kini lenyap dari pengawasan mata Prayit yang
sedang mengintip.
Prayit tertegun sejenak sebelum akhirnya memutuskan meninggalkan tempat itu.
Sulastri terus merangkak menuju kamar mandi. Dalam tubuhnya merasakan panas yang
begitu mendera. Tubuhnya masih terus terasa terbakar. Mengerang dengan suara yang
semakin keras. Sebelum kemudian terbaring tak bergerak di kamar mandi itu.
Prayit melangkah meninggalkan tempat itu dengan seribu pertanyaan. Selama ini
bertemu dengan Sulastri, menyaksikan kejadian yang tidak biasa. Di pertigaan jalan desa, ***
duduk sembari kedua tangannya memeluk kakinya. Dagunya yang hanya ditumbuhi beberapa
helai jenggot, dia tempelkan pada lututnya. Prayit pun melamun.
“ Yit, Prayit !” panggil seorang lelaki yang sudah Prayit kenal betul.
“ Eh pak kades Hendrik. Mau kemana pak?” tanya Prayit berusaha menyembunyikan
kegelisahannya.
“ Mau kerumah Bu Sulastri, mau mengurus surat-surat tanah dan rumahnya. Katanya
mau dijual,” jawab Kepala Desa yang sekilas mirip Fedi Nuril itu.
“ Jangan! Disana angker pak!” pekik Prayit dengan tubuhnya yang sedikit gemetar.
Pak kades Hendrik Masih belum paham betul apa yang dikatakan***. ***
mengatakan jika Sulastri itu adalah setan. Prayit menceritakan apa yang dilihatnya selama
ini.
“ Tadi saya melihat dia berguling-guling dan kulitnya berubah jadi merah pak Kades,”
lirih *** masih dengan posisi duduknya.
“ Kamu itu ngomong apa sih?” Kades Hendrik semakin kesal.
Sementara itu di gubuk Ki Carsan, Dina tersenyum puas setelah mendengar
mertuanya sudah meregang nyawa. Sendangkan Andi hanya diam seribu bahasa,
kegelisahannya semakin terasa.
“ Kamu kenapa mas?” tanya Dina.
“ Ibu Sudah meninggal?” Andi balik bertanya.
“ Iya mas. Sekarang mas adalah pemilik satu-satunya harta ibu. Sekarang kita kaya
mas.” Dina sumringah dengan keberhasilan rencananya.
Ki Carsan menyuruh keduanya untuk meninggalkan gubuknya dan melarangnya
untuk pulang kerumah. Ki Carsan juga memerintahkan agar menyiapkan sandiwara saat Andi
dan Dina menemukan tubuh Sulastri yang tidak bernyawa itu.
“ Terimakasih banyak Ki, kami pamit,” ucap Dina sembari menarik lengan Andi yang
sedang melamun.
Tegah malam selepas kematian Sulastri yang tragis. Ki Carsan akan datang ke rumah
janda itu sambil membawa kantong plastik berwarna hitam. Dia berjalan memutar melalui
kebun kebun pisang yang tumbuh di belakang desa. Seekor gagak hitam terbang diatas kepala
ki Carsan. Terus-menerus siapa saja yang mendengar suaranya.
Burung gagak itu terus menemani Ki Carsan untuk melakukan suatu hal yang tidak
diketahui oleh Andi dan Dina. Semak belukar menyambut Ki Carsan saat dia sudah sampai di
belakang rumah Sulastri. Dengan tergesa-gesa, dia mulai menggali lubang tanah dengan
cangkul kecil yang di bawanya. Plastik berwarna hitam itu pun segera di benamkan di dalam
lubang itu. Secepat kilat Ki Carsan kemudian menutupnya kembali.
“ Jadilah sosok yang menyerupai Sulastri! Buatlah para warga luput pandangannya!”
setelah itu Ki Carsan menyiram gundukan kecil itu dengan air tujuh sumur yang dibawa oleh
Andi dan Dina.
“ Gagak hitam, tetaplah di sini sampai jasad Sulastri itu dikuburkan!” perintah Ki
Carsan pada gagak yang menempel pada punggungnya.
Sementara itu di rumah kates Hendrik. Tubuh ** bergetar dan menggigil saat
menceritakan semua kejadian yang disaksikannya.
“ Bukannya kamu tidak takut setan Yit ?” tanya Kades Hendrik menatap lekat lekat
keponakan sahabatnya, Wartono mantan kepala desa terpilih yang meninggal ditusuk oleh Ki
Carsan
“ iya pak Kades saya nggak takut setan. Tapi ini beda entah kenapa dari sorot matanya
terlihat seperti harus akan darah, haus akan kematian. setan yang selama ini saya temui hanya
sekilas nampak, kemudian hilang begitu saja,” Jawab Prayit
Ki Carsan kini bukan hanya mewarisi ilmu dari Mbah Sastro. Bahkan, dia jauh lebih
hebat dan sakti dari gurunya itu. setelah melakukan perjanjian dengan raja pocong. Ki
Carsan hanya mau membantu orang yang mau melakukan pesugihan ludah pocong pada
orang luar daerah saja. membuat raja pocong pun sepakat dengan keputusan Ki Carsan.
Ki Carsan kembali ke desa itu setelah sepuluh tahun bertanya seorang diri di hutan
angker di atas bukit. kasus terdahulunya lepas begitu saja, tak ada warga yang berani
mengungkitnya kembali.
Sementara itu Sulastri mengerang kesakitan saat santet yang dikirim oleh Ki Carsan
itu mulai bekerja. Tubuhnya menggelinjang kesana-kemari akibat menahan siksaan yang
menderanya. nafas tersengal dan kedua matanya melotot seperti ingin keluar. Sebelum
akhirnya tergeletak seakan tak bernyawa lagi. Jin-jin suruhan dari Ki Carsan bukanlah jin
sembarangan.
Jin taklukkannya itu bisa menjelma menjadi siapa saja sesuai perintah majikannya. Jin
yang ditaklukkan Ki Carsan dari hutan angker di atas bukit itu, sekarang sedang menjelma
dengan wujud Sulastri. Mencoba menipu mata Prayit yang saat itu sedang mengintip di
kamar Sulastri. Jin yang saat itu sedang mengintip di kamar Sulastri. Jin yang sedang menjadi
sosok Sulastri itu tidak benar-benar sedang disantet oleh Ki Carsan. Itu semua hanya tipu
muslihatnya saja.
Ki Carsan fokus menjalankan semedinya selama bertahun-tahun semenjak ditinggal
sahabatnya, pocong Mahesa. Bahkan bukan hanya ilmu dari kitab milik Mbah Sastro, ia juga
berhasil menguasai ilmu hasil ciptaannya sendiri. Sementara Andi dan Dina sedikitpun belum
mengetahui akal bulus dari dukun yang dipercaya itu.
Mereka masih mengira, Sulastri berhasil dilenyapkan oleh Ki Carsan. Andi dan Dina
pun masih mengira Ki Carsan ada di pihak mereka. Mereka berdua sama sekali tak curiga
kalau Ki Carsan telah berkhianat.
Tengah malam itu di rumah Kades Hendrik, Prayit masih terus dihujani banyak
pertanyaan dari kepala desa itu. Kades Hendrik begitu bingung dengan tingkah Prayit. Prayit
yang tiba tiba takut dengan hal mistis. Padahal selama ini, dia memang sudah terkenal sangat
pemberani.
“Yit, maksud dari Bu Sulastri jadi setan itu gimana?” tanya Kades Hendrik.
“ Sulastri tubuhnya merah, matanya melotot, dan dia juga memergokiku saat
mengintip pak,” jelasnya masih dengan rasa gigil yang sangat.
“ Kamu ngintip Yit ? Jangan kurang ajar kamu!” bentak Kades Hendrik.
“ Saya menyelidiki pak.” Lanjutnya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
“ Menyelidiki apa? Kamu bukan Polisi! Itu perbuatan tidak baik Prayit!” omel Kased
Hendrik semenjak menggebrak meja di depannya.
Prayit pun meminta maaf dengan apa yang telah dia perbuat. Kades Hendrik
memeringatkan Prayit agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Malam itu Kades Hendrik dan Prayit tidak tidur hingga pagi tiba. Mereka berdua terus
berbicara tentang hal-hal yang Prayit saksikan tentang Sulastri. Kades Hendrik yakin Prayit
tidak Berbohong. Karena bagaimanapun juga dia sudah tahu, kalau Prayit selain polis juga
orang yang jujur.
Matahari mulai menampakkan sinarnya, saat Andi dan Dina terbangun dari tidur. Di
penginapan inilah mereka kini berada. Menginap sejak semalam tadi karena perintah Ki
Carsan. Andi yang kemarin masih merasakan gelisah akibat menyetujui saran Dina untuk
melenyapkan ibunya, kini mulai merasa tenang dan menyakini itu keputusan yang tepat.
Dalam pikirannya kini begitu sangat bahagia, bisa menguasai dan bersenang-senang dengan
harta dari Sulastri itu kelak.
“ Dek, mas janji akan menuruti segala keinginanmu. Apa pun yang kamu mau beli,
pasti mas turutin,” ungkap Andi duduk di samping ranjang.
“ Makasih ya mas, aku seneng sebentar lagi kita jadi orang kaya,” Dina begitu
berkaca-kaca mendapati sebentar lagi akan menjadi orang kaya. Tanpa lagi meminta kepada
orang tuannya, dimana keduanya smemang sejak awal tidak setuju dengan pernikahannya.
“ Tapi, mama papah kok masih nggak suka sama mas ya?” tanya Andi.
“ Sebentar lagi juga kita dapat restu dari papah mama mas.” Ujar Dina.
Mereka menikah tanpa restu dari kedua orang tua Dina. Keduanya pun terpaksa
dinikahkan setelah Dina mengaku telah hamil. Membuat kedua keluarga dari Andi dan Dina
tidak bisa akur sama sekali.
Saat tengah hari tiba, matahari bersinar sangat terik, Andi dan Dina memutuskan
untuk kembali kerumah Sulastri. Mereka berdua sudah menyusun rencana saat nanti
menemukan Sulastri yang sudah tidak bernyawa lagi. Agar tidak ada satupun warga yang
tahu tentang kejadian sebenarnya. Di jalan desa yang sedikit berlubang, Andi mengendarai
sepeda motor dengan istrinya.
Saat baru memasuki desa, laju sepeda motornya dihentikan oleh salah satu orang yang
dikenalnya.
“ Darimana mas Andi?” tanya kades Hendrik.
“ Oh, ada urusan sama mertua,” jawab Andi setelah sepeda motornya sudah berhenti.
“ Tadi malam, saya kedok rumah ibu Sulastri berkali-kali, tetapi tak ada jawaban
sama sekali,” ujar Kades Hendrik.
“ Mungkin ibu ketiduran. Emang ada keperluan apa pak?” tanya Andi.
Andi khawatir sandiwaranya akan terbongkar. Kades Hendrik memberitahu
keperluannya jika ia akan mengurus surat-surat rumah Sulastri yang akan dijual. Andi
berpura-pura kebingungan.
“ Wah nggak tahu juga ya, ibu nggak pernah bilang kalau rumahnya akan dijual.”
Andi sedikit menggaruk kepalanya.
“ Wah kok bisa ya? Tanah dan rumahnya mau dijual, anak sendiri tidak diberitahu
sama sekali.” Kata Kades Hendrik.
“ Itulah ibuk pak. Mungkin karena saya bukan anak kandung.” Andi menunduk pura-
pura bersedih.
Kades Hendrik berusaha menguatkan keadaan Andi, padahal itu semua hanya
sandiwara Andi. Andi pun mengajak Kades Hendrik menuju rumah Sulastri. Rumah bergaya
jaman kolonial yang Sulastri beli dari salah satu keluarga yang semuanya meninggal secara
tragis. Sesampainya di rumah itu, Andi mengetuk pintu dan memanggil-manggil ibunya.
Namun, tak ada jawaban sama sekali.
Andi kemudian melangkah ke pintu belakang. Kaca dari kamar mandi juga terletak di
situ. Dengan menggunakan tangga kayu, Andi naik dan menyelidik melalui celah-celah
gorden. Andi tersentak dan berteriak. Membuat kades Hendrik dan Dina yang berada di
depan segera berlari ke belakang rumah. Andi menangis. lemas akibat mendapati ibunya kini
terbujur kaku di kamar mandi itu secara mengenaskan.
“ Ibu Dek,... Ibu Pak Kades! Ibu meninggal!” lirihnya sembari sesenggukan.
“ Ibu kenapa mas?” tanya Dina histeris.
kadas Hendrik pun langsung mengambil tindakan mendobrak pintu belakang.
kemudian melangkah ke arah kiri tempat di mana kamar mandi berada.
“ Benar yang dikatakan prayit.” ucap Kades Hendrik pelan setelah menemukan
Sulastri yang sudah terbujur kaku.
Kabar meninggalnya Sulastri akibat disantet tersebar cepat di desa itu. Beberapa
orang bergunjing tentang siapa yang mengirimkan santet pada Sulastri. Para pelayat mulai
berdatangan sekedar untuk berduka cita atau mengurus prosesi pemakaman Sulastri. Mereka
yang datang pun merasakan hal yang tidak biasa di rumah Sulastri.
Sulastri dimata warga bukanlah orang jahat, meski ada satu sifat yang tidak disukai,
yaitu sifat pelitnya. Namun, Sulastri beranggapan itu bukan pelit, tetapi irit. Beberapa warga
berada di pemakaman untuk menggali liang kubur untuk Sulastri. Mereka mendapati
keanehan saat menggali liang makam itu. Sebelum warga datang, burung gagak yang tadi
malam berada di rumah Sulastri, sudah berada diatas pohon dekat tanah yang akan warga
gali.
Burung gagak misterius itu seperti sedang menyambut kedatangan mereka di
pemakaman. Selain itu, burung gagak seakan tahu dimana letak kelak Sulastri akan
dimakamkan. Sehingga sudah menunggu diatas pohon randu tua itu. Suara gagak itu tak ada
henti-hentinya. Membuat warga yang bertugas menggali makam pun mengalami kengerian.
Beberapa kali warga melihat gagak itu juga seperti terus mengawasi mereka.
“ Gagak ini kok dari tadi nggak pergi pergi. Apa ini semua karena kematian Sulastri
yang tragis ya?” guman salah satu penggali kubur.
Sementara itu di rumah Sulastri, Andi dan Dina terus menangis tersedu-sedu. Mereka
seakan ingin memberikan kesan pada warga, kalau mereka sedang mengalami duka yang
mendalam. Pun ketika ada warga yang baru datang, Andi dan Dina akan menangis meraung-
raung. Sandiwara yang membuat para warga percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tubuh Sulastri kini tidak lagi memerah. Tubuhnya sekarang dipenuhi oleh bintik-
bintik hitam. Bau amis tercium memenuhi ruangan di mana jasad Sulastri dibaringkan. Bukan
hanya mata yang melotot, bahkan mulutnya juga menganga. Lidah menjulur begitu panjang.
Dari kepalanya muncul dua benjolan cukup besar. Menyerupai tanduk yang baru tumbuh.
Para warga yang ingin mengaji sejak pagi tadi dilarang oleh Andi. Katanya, cukup
amal ibunya saja yang menjadi bekalnya. Membuat warga curiga pada Andi sedang
memendam dendam, karena Sulastri tidak mau memberi warisan pada anak yang diadopsinya
sejak berusia 7 tahun itu.
“ Aneh, kenapa jasa Sulastri enggak mau terpejam. Aku yang memandikan jadi takut
bukan palang,” Kata pemandi jenazah itu.
setelah dimandikan, Andi bersikeras agar jasad ibunya ini tidak disalatkan layaknya
orang meninggal kebanyakan. Alasannya, itu adalah wasiat dari ibunya. Kades Hendrik yang
mendengar ucapan Andi pun sama sekali tidak percaya. Mana mungkin ada orang yang
berwasiat seperti itu.
Namun demi menghindari keributan, akhirnya Kades Hendrik mengalah dan
menurutiya. Tentu saja Kades Hendrik sedikit curiga dengan masalah ini. Hingga dalam
benaknya meyakini kalau Sulastri dan keluarga menganut ilmu yang dilarang oleh agama.
Sebelum waktu Zuhur, jasad Sulastri dibawa ke pemakaman desa. ada keanehan yang
dirasakan warga saat mengangkat keranda itu. sepanjang jalan, keranda dari bambu terus
bergoyang. Membuat warga hampir menjatuhkan keranda itu. Akhirnya semua warga kini
ikut mengangkat keranda agar stabil dalam perjalanan. Sesampainya di pemakaman burung
gagak itu menyambut dengan cara hinggap di atas keranda. Membuat warga semakin dilanda
kekeringan. Mereka segera menurunkan keranda yang dipikulnya.
kemudian mengeluarkan jasa Sulastri yang sudah dibalut kain kafan untuk
dimasukkan ke liang lahat. Karena Andi tidak ikut mengantarkan ke pemakaman, maka
tetangganya lah yang melakukan azan di prosesi pemakaman Sulastri.
“ Arghhh...” baru saja adzan dikumandangkan, terdengar suara geraman dari jasad
Sulastri.
Membuat orang yang mengesankan tersentak dan kembali naik dari liang lahat itu.
“ Sudah.. sudah. Kita segera tutup saja lubangnya. Firasat saya tak enak, takut terjadi
apa-apa,” perintah dari kardus Hendrik itu segera dilakukan warga lain.
sebelum harga meninggalkan pemakaman itu, kembali terdengar teriakan yang entah
datangnya dari mana. Warga kembali mendapati keanehan demi keanehan dari meninggalnya
Sulastri itu.
Sore itu di tempat lain, prayit masih bersama kades Hendrik. Berusaha mengeluarkan
dan menyembuhkan efek negatif dari tubuh prayit.
“ Yit, kamu kena aura negatif dari ilmu hitam. Kamu harus diruqyah, agar kamu tidak
merasa takut lagi,” ujar Kades Hendrik menenangkan.
“ Iya pak. Makasih,” jawabnya datar.
Kades Hendrik lalu mengambil air botol kemasan, kemudian membacakan doa-doa
pada air tersebut. Setelah kematian Wartono, kata sendok mulai belajar ilmu kebatinan pada
guru dari sahabatnya itu. Kades Hendrik tidak mau lagi ada kejahatan ilmu hitam yang
merenggut nyawa orang-orang tersayangnya lagi.
“ Minum air putih ini,” ucap Kades Hendrik sembari menyodorkan botol air kemasan
itu.
Prayit mewarisi keberanian dari Wartono. Kenekatan bertemu makhluk-makhluk
astral pun sama. Namun, apa yang dihadapinya saat ini sungguh berbeda. Aura negatif dari
ilmu hitam Ki Carsan sungguh luar biasa. Ilmu hitam yang dimilikinya pun satu tingkat diatas
Mbah Sastro gurunya.
“ Akhhh!” tiba-tiba Prayit memekik.
“ Yit.. kenapa Yit?” tanya kades Hendrik.
Tubuh Prayit mengejang, sebelum akhirnya lemas tak berdaya. Beberapa detik
kemudian Prayit mulai merasakan terlepas dari belenggu gaib.
“ Gapapa Pak Kades. sekarang tubuhku kok berasa enteng. Nggak seperti
sebelumnya,” ungkap prayit sembari menggeliat, meregangkan tulang-tulang punggungnya.
“ Alhamdulillah, kamu sudah kembali seperti semula, Yit.” Kades Hendrik sembari
tersenyum.
“ Terimakasih ya pak Kades.”
“ Sama sama Yit. Kamu masih mau nyari tokek di kuburan lagi Yit?” tanya Kades
Hendrik memastikan.
Prayit menjawab, jika ia tetap bertekad untuk mencari tokek. Prayit mengatakan jika
ia lebih takut ilmu hitam daripada setan. Kades Hendrik berpesan kepada Prayit agar berhati-
hati, karrna firasat Kades Hendrik tidak enak.
“ Iya, kata Pak Kades kan kalau kita harus meminta pertolongan pada tuhan. Cuma
saat bertemu Sulastri aku lupa pak kades eheh,” ujar Prayit.
Kades Hendrik dan Prayit kini tertawa. Prayit memang banyak mewarisi sifat-sifat
Wartono, bahkan dalam hal bercanda pun keduanya sangat mirip.
“ Yit, kamu tahu tidak? Firasatku yang dikubur itu bukan jasad Sulastri, tapi gedebog
pisang,” Tanya kades Hendrik dengan penuh penasaran. Keduanya pun terus berbincang
bincang.

Bab 2
Bangkit

Di malam ke tujuh kematiannya, Sulastri tertawa lepas saat melihat Prayit yang kini
tepat di depannya tak sadarkan diri karena ketakutan. Dia pun kembali meletakkan bola mata
yang tadi dicongkel dan menaruh kembali pada tempatnya, setelah Prayit menolak
pemberiannya. Sementara itu, darah yang mengalir dari pelupuk mata, seakan tak mau
berhenti mengalir. Membasahi hampir seluruh wajah.
Wajah Sulastri kini semakin menyeramkan. Rahang yang patah membuat mulutnya
menganga. Kedua matanya kini seakan menonjol keluar seperti ingin terlepas kembali.
Sulastri meninggalkan Prayit dan terus berjalan perlahan sembari menyeret salah satu
kakinya yang pincang. Rambut panjang menutupi seluruh wajahnya. Hanya dagu yang
terlihat menggantung seperti akan jatuh ke bawah.
Entah sejak kapan Sulastri mencabut nisan dari kayu itu. Kini Sulastri berjalan
menuju rumahnya, sembari membopong nisan kayu yang tertulis nama dirinya. Hujan masih
turun dengan sangat lebat. Membuat Sulastri basah kuyup saat melewati jalanan kecil desa. Ia
sama sekali tidak merasa kedinginan. Sesekali tertawa terbahak-bahak. Menikmati perjalanan
pulang kembali ke rumahnya.
Di rumah Sulastri, sudah cukup ramai dengan para warga yang datang untuk
menghadiri selamatan mitung dino atau tahlil hari ketujuh. Beberapa orang masih berbisik-
bisik tentang penyebab kematiannya.
Hujan tiba-tiba Mengguyur desa. Angin yang bertiup kencang berimbas air
membasahi teras, membuat warga yang duduk di tempat itu masuk ke dalam rumah Sulastri.
Berjubel diruang tamu. Halilintar terdengar menggelegar. Kilatan cahaya seakan menyambar
desa yang sedang gempar dengan simpang siurnya kabar penyebab kematian Sulastri. Warga
masih yakin kalau kematian Sulastri ini karena disantet. Entah oleh siapa
“ Prayit kemana ya? Katanya dia mau datang ke tahlilan mitung dino ini. Kok belum
dateng juga ya?” gumam salah satu temannya.
“ Mungkin dia sedang berteduh, atau juga dia sudah sampai di rumah, tidak jadi
datang karena hujan turun sangat lebat,” kata Kades Hendrik.
Salah satu warga menjelaskan jika Prayit sedang mencari tokek sehabis magrib agar
selepas isya bisa ikut tahlilan. Kades Hendrik sedikit kaget, karena pamali datang ke
pemakaman waktu magrib. Takut terjadi sesuatu yang buruk dan tidak diinginkan.
Deg! Tiba-tibalistrik padam di desa itu. Suasana terang pun berganti menjadi gelap.
Membuat warga yang sudah duduk berjubel didalam rumah Sulastri pun kaget bukan
kepalang. Beberapa warga mengalami kengerian.
“ Aduh pake acara mati lampu segala,” pekik Kades Hendrik.
Tiba-tiba bau kembang tujuh rupa tercium di segala penjuru ruangan. Bau tanah
tercium di tengah ruang tamu itu, tempat yang biasanya dikosongkan saat tahlilan. Terlihat
samar-samar sesosok wanita tua saat kilatan demi kilatan menerangi ruangan itu. Beberapa
warga mulai menyadari kalau sudah kedatangan tamu tak diundang. Akan tetapi, tak ada satu
pun yang tahu kalau sosok itu adalah Sulastri. Sosok pemilik rumah yang baru saja bangkit
dari kuburnya.
Tidak lama kemudian, warga mulai menyadari pakaian yang dikenakan oleh sosok itu
sama dengan yang dikenakan Sulastri saat meregang nyawa. Warga pun semakin diliputi rasa
ketakutan.
“ Kalian semua itu kurang ajar!” Sulastri berteriak membuat para warga terlonjak dari
posisi duduknya. Sejurus kemudian lampu kembali menyala. Sulastri mengangkat wajahnya
dan menyibak rambut yang menutupinya. Tak ada sedikitpun yang aneh dari wajah itu.
Namum, kebangkitannya dari kubur tetap saja membuat para warga sangat ketakutan.
“ Sul... Sulastri!” teriak Kades Hendrik.
“ Ada apa Pak Kades?” tanya Sulastri.
“ Ka-kamu Sulastri? tanya Kades Hendrik gugup.
“ Iya! Kenapa kalian harus takut? Harusnya kalian senang aku kembali!” pekik
Sulastri sembari mengedarkan pandangannya ke para warga.
“ Ta-tapi kamu...” Kades Hendrik tak bisa melanjutkan ucapannya. Pikirannya masih
belum percaya dengan kejadian malam itu.
“ Ibu!” seketika Dina berlari dan kemudian memeluk Sulastri, mertuanya.
“ Tidak usah berpura-pura, Nak!” ucap Sulastri sinis.
“ Maafin aku Bu..” lirih Dina.
Tak ada jawaban dari Sulastri. warga yang berada di tempat itu tidak ada satu pun
yang berani bicara. Semua seakan terkesima dengan kejadian yang masih belum bisa diterima
oleh akal mereka. Selain itu, mereka masih belum mengerti tentang kejadian sebenarnya
antara Sulastri dan menantunya.
Andi yang sedari tadi hanya mematung, kini dengan segera mendekati ibunya.
Mencium kakinya sebagai tanda minta maaf karena telah melakukan kesalahan besar.
Sementara warga masih belum tahu betul kesalahan apa yang dibuat oleh sepasang suami istri
ini. Warga pun diliputi ribuan pertanyaan.
“ Kamu itu anak bodoh mudah dipengaruhi oleh istrimu! kamu juga sengaja
menguburkan ibu ini hidup-hidup, hah!” sewot Sulastri.
Makan yang sudah ditinggalkan Sulastri tiba-tiba meledak. Membuat tanah gundukan
itu berserakan di mana-mana. Meninggalkan bekas lubang seperti tanah galian. Dari dalam
makam, gedebog pisang yang dibalut kain kafan itu terlihat jelas saat kilatan halilintar terus
menyambar. Dedaunan berterbangan kesana kemari diem pas angin kencang.
Terrbongkarnya makam Sulastri akibat meledak, kelak akan membuat para warga
semakin geger dengan kabar dari keluarga Sulastri itu. Belum habis pertanyaan dan belum
juga mendapatkan jawaban dari meninggalnya Sulastri, kini harus dihadapkan dengan
kejadian yang tak biasa diterima akal. Warga masih ingat betul ketika melihat Sulastri
terbujur kaku. Seluruh tubuhnya memerah. Kedua matanya melotot dan lidah pun terjulur
keluar.
Tentu saja membuat warga curiga dan menduga, kalau Sulastri benar-benar
meninggal karena disantet. Seminggu yang lalu tak ada satupun warga yang tahu kalau yang
dikuburkan itu bukan jasad Sulastri. Warga tak bisa membedakan mana jasad asli dan yang
bukan. Ada benteng gaib yang membuat mata warga seakan tertutup. Membuat kejadian ini
penuh dengan misteri.
keesokan harinya, Andi dan Dina mendapati ibunya tengah duduk di belakang rumah.
Matanya tertuju pada sebuah pohon tua. Tatapannya kosong, seperti sedang membayangkan
sesuatu.
“ Mas, lihat ibu,” bisik Dina.
“iya dek ada apa?” jawab Andi.
Andi dan Dina merasakan hal janggal pada ibunya. Mereka merasakan jika itu bukan
seperti ibunya. Andi pun menatap ibunya itu dengan tatapan menyelidik. tiba-tiba sepasang
suami istri itu terkejut, saat Sulastri Bali memandangnya dengan tatapan penuh amarah.
“ Ada apa? Kenapa kalian mencuri-curi pandang pada ibu?” pekik Sulastri yang kini
mulai beranjak dari tempat duduknya.
Sulastri kini melangkah menuju Andi dan Dina yang terlihat kikuk karena ketahuan
sedang menyelidikinya. Dina kini merasakan hal yang tak biasa. Ada sesuatu yang tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata. Seketika wajah Sulastri berubah begitu menyeramkan.
“ Mas!” teriak Dina saat Sulastri sudah semakin mendekat.
“ Ada apa dek?” tanya Andi
“ Wajah ibu!” bisik Dina.
Sementara Andi tak merasakan ada perubahan sedikitpun pada wajah ibunya.
“ Ibu mau kemana?” tanya Andi menunduk tak berani balik menatap ibunya.
“ Apa peduli kalian? Sulastri menyeringai, membuat Dina yang tadi sempat melirik
kembali membenamkan wajah di pelukan suaminya.
Sosok dengan wajah menyeramkan itu terus menatap Dina yang masih enggan
melihatnya.
Tiba-tiba ada yang memanggil suara Andi. Suara tersebut adalah pak Kades Hendrik.
Andi menyuruh Dina untuk menemani ibunya karena Andi mau kedepan karena ada urusan
penting dengan Kades Hendrik. Dina merengek untuk ikut Andi karena takut melihat ibu
mertuanya.
“ Dasar menantu tak tahu diri!” omel Sulastri sambil bertolak pinggang.
Mereka berdua pun akhirnya melangkah ke pintu untuk menemui Kades Hendrik,
meninggalkan Sulastri yang tiba tiba lenyap dari tempat itu. Membuat Dina yang sempat
menengok kebelakang semakin diliputi ketakutan.
Saat itu tiba-tiba udara tak wajar mengusap tengkuknya. Rasa pusing di kepala,
ditambah pandangan yang mulai kabur membuat Dina menarik bahu suaminya. Dina terlihat
memegang kepalanya sembari terpejam. Andi mengentikan langkahnya, kemudian berbalik
badan. Refleks Andi langsung menahan tubuh Dina yang sudah sempoyongan.
“ Kamu kenapa dek?” tanya Andi.
“ I-Ibu, mas ....” seketika Dina pun tak sadarkan diri lagi.
“ Pak Kades masuk! Tolong pak!” teriak Andi dari dalam rumah.
Pintu depan yang tidak tertutup, membuat Kades Hendrik segera mendekat ke arah
suara berasal.
“ Bu Dina kenapa mas!” tanya Kades Hendrik.
“ Sedang tidak enak badan, pak. Ada keperluan apa ya pak?” tanya Andi masih
dengan menahan tubuh Dina.
“ Sebaiknya kita bawa dulu Bu Dina ke kamar terlebih dahulu,” ujar Kades Hendrik.

Bab 3
Keanehan Sulastri
Setelah membawa Dina ke kamar, Andi dan Kades Hendrik menuju ruang tamu.
Membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat penting.
“ Makam Bu Sulastri seperti meledak mas. Bentuknya seakan seperti digali. Namun,
anehnya tanah galian itu tersebar kemana-mana,” pungkas Kades Hendrik.
“ Siapa yang pertama kali melihat makam ibu meledak?” tanya Andi sembari
menautkan kedua alisnya.
“ Warga tak melihat kejadiannya langsung, kemungkinan besar terjadi malam tadi
saat hujan deras disertai petir yang terus menggelegar di desa kita,” terang Kades Hendrik.
“Apa makam ibu meledak karena tersambar petir?” Andi jelas merasa heran dan
bingung dengan kejadian ini.
Kades Hendrik juga kebingungan, dan ia memaparkan jika terdapat Prayit yang
pingsan tidak jauh dari area pemakaman itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk melihat
keadaan makam Sulastri setelah semalam bangkit dari kematiannya. Andi masih belum
percaya betul dengan semua kejadian saat itu.
Sepasang mata dengan lingkar di sekitar mata hitam, menatap lekat-lekat Kades
Hendrik. Seakan tidak menyukai dengan apa yang ingin mereka lakukan.
“ Lah bukannya tadi ibu ada di belakang?” tanya Andi.
“ Kalian mau ke mana?” tanya Sulastri lirih.
“ Mau lihat makam ibu,” jawab Andi datar.
“ Untuk apa?” tanya Sulastri dengan napas kencang.
“ Memastikan saja, kalau kabar ini benar. Apa ibu waktu keluar dari situ, makamnya
meledak?” tanya Andi hati-hati.
“Bukan urusanmu!” bentak Sulastri.
Angin dingin tiba-tiba bertiup pelan membelai tubuh Dina yang sedang tertidur di
kamarnya. Sebelum Andi pergi, suaminya itu sudah memastikan kalau Dina sudah sadar dari
pingsannya. Andi tidak izin untuk pergi melihat makam Sulastri yang meledak. Dia hanya
bilang mau membicarakan hal penting dengan Kades Hendrik.
Tidur Dina terganggu, seakan angin lembut itu membelai sekujur tubuhnya. Membuat
bulu kuduknya pun merinding. Dina belum sadar betul dari tidurnya. Namun, dia tahu ada
sesuatu yang aneh di sekitarnya. Ada sesuatu yang akan terjadi pada dirinya.
Dina mulai membuka matanya perlahan. Samar-samar terlihat wanita yang sedang
berdiri memperhatikan dirinya yang sedang terbaring. Dina menatap dengan serius pakaian
yang dikenakan oleh sosok wanita itu. Dina sekarang ingat, itu pakaian yang dikenakan
Sulastri. Sosok berwajah menyeramkan yang membuatnya pingsan tadi.
Dina tahu betul sosok itu adalah mertuanya. Namun, sejak kebangkitan dari
kematiannya, tentu membuat siapa saja akan merasa takut. Terlebih dia pernah berusaha
melenyapkan Sulastri.
Sulastri semakin mendekat. Sekarang duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan
menantunya yang tak bisa bergerak lagi. Tubuh Dina gemetar, saat wajah Sulastri yang sudah
berubah menyeramkan itu semakin dekat dengan wajahnya. Wajah lonjong dengan mulut
menganga dan dagu yang patah itu menyeringai.
“ Aaakkhhhh!” Dina tersentak.
“ Kikkk! Kikkk! Kikkk!” Sulastri memekik. Suara cekikan memenuhi kamar tidur itu.
Sementara itu, di pemakaman sudah ramai oleh orang-orang yang penasaran dengan
meledaknya makam Sulastri. Di dalam makam itu, mereka menemukan seonggok gedebog
pisang yang dibalut kain kafan.
“ Ternyata benar firasatku,” lirih Kades Hendrik tepat di depan liang lahat makam
Sulastri.
“ Maksudnya, Pak Kades?” tanya Andi sembari menengok kearah Kades Hendrik
yang berdiri di sampingnya.
Sehabis pulang dari pemakaman, Kades Hendrik kembali ikut ke rumah Sulastri. Dia
bermaksud sedikit menanyakan kronologi Sulastri bisa bangkit dari kuburnya. Karena
bagaimanapun juga , kebangkitannya dari kubur sudah menjadi isu hangat di desa itu.
Menjadikan warga mulai beropini dan berasumsi secara liar.
Sulastri duduk di kursi mesin jahitnya. Kembali menatap lekat-lekat lukisan keranda
mayat yang selalu membuatnya penasaran. Sekarang Sulastri begitu mencintai lukisan itu.
bahkan dalam benaknya yakin, kalau lukisan itu juga mencintai keluarganya. Cinta yang telah
akan menyeret keluarga ini dalam kematian yang tragis.
“ Pak Kades, aku mau lihat Dinda dulu di kamar,” Andi pamit pada kades Hendrik
yang sekarang sedang mendapati keanehan di depannya.
“ Iya silahkan, Mas Andi.” Mata kades Hendrik masih menatap lekat pada Sulastri
yang seakan sedang menikmati setiap goresan lukisan keranda mayat itu.
Kades Hendrik mendekati Sulastri saat Andi sudah masuk ke kamarnya. Ikut
menikmati lukisan itu. Hingga tiba-tiba dia sadar. Ada dorongan dari lukisan itu agar
mengagumi lukisan itu lebih dalam lagi. Kades Hendrik tentu menolak.
Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lukisan itu bernyawa. Haus
akan darah.
“ Bagaimana cara Bu Sulastri bisa keluar dari makam itu? Ini sesuatu yang mustahil.”
Kades Hendrik berdiri di belakang Sulastri yang masih menikmati lukisan beraura negatif itu.
“ Bukan urusanmu!” teriak Sulastri sembari menengok, tak peduli lagu kalau sedang
berbicara dengan kepala desa.
Sulastri melotot. Napasnya tersengal-sengal, duduk menyusul. Seperti menahan
amarah sangat besar. Sulastri berdiri dari tempat duduknya. Sekarang mereka berdua saling
berhadapan.
Andi yang sedang berada di kamarnya begitu terkejut melihat kondisi istrinya.
Bagaimana bisa kondisi Dina semakin parah, hanya karena ditinggal sebentar melihat
kuburan Sulastri yang meledak.
“ Dek!” panggil Andi penuh rasa khawatir.
“ Mas tubuhku tidak bisa bergerak...” lirih Dina diatas ranjangnya.
“ Kenapa kamu bisa begini?” tanya Andi yang duduk di sisi ranjang.
Tidak berselang lama. Ada yang berubah pada tubuh Dina. Tubuh Dina bisa
digerakkan, tetapi seperti sedang merasakan siksaan.
“ Ibu.. mas ...” Dina menggelinjang. Seperti sedang merasakan sakit yang sangat amat
sakit.
“ Kenapa dengan ibu?” tanya Andi. Pikirannya kacau mendapati istrinya sekarang
dalam kondisi dan situasi tidak biasa.
“ Akhhh...” Dina memekik.
“ Pak Kades tolong!” teriak Andi dari dalam kamarnya.
Kades Hendrik yang masih mencari informasi atas kebangkitan Sulastri dari kubur,
segera meninggalkan Sulastri yang semakin diliputi oleh amarah.
“ Ada apa?” tanya Kades Hendrik khawatir.
“ Dina... Pak Kades.” Air mata Andi jatuh juga melihat orang yang paling disayang
nya mengalami hal seperti ini.
“ Dina kenapa?” tanya Kades Hendrik lagi.
Andi belum menjawab pertanyaan Kades Hendrik, ketika Sulastri tiba-tiba sudah ada
di kamar. Mereka tidak tahu sejak kapan Sulastri masuk ke kamar itu.
“ Menantu tak tahu diri!” pekik Sulastri.
“ Ibu, kenapa dengan Dina?” tanya Andi menengok ke arah belakang.
“ Harusnya kalian akui saja, ini akibat ulah kalian sendiri!” seru Sulastri masih
dengan berkacak pinggang. Puas dengan kondisi menantunya yang tersiksa.
“ Maafkan kami,Bu. Maafkan...” Dina dengan suara tersedu-sedu.
“ Akui dulu kejahatan kalian! Baru setelah itu meminta maaf!” bentak Sulastri, seakan
tidak ada rasa iba sama sekali terhadap menantunya yang sedang setengah sekarat itu.
Sejenak hening. Tak ada lagi kata yang terucap. Sementara kades Hendrik masih
menerka-nerka situasi. Terlalu banyak rahasia yang belum terungkap.
“ Baiklah kami mengaku, Bu. Kami telah menyuruh Ki Carsan untuk menyantet ibu.”
Andi bersimpuh mengangkupkan kedua telapak tangannya.
“ Anak dan menantu tak tahu diuntung! Hanya demi harta, kalian ingin melenyapkan
ibu!” kedua bola mata Sulastri semakin membesar.
“ Hah! Apa ini memang karena harta?” tanya Kades Hendrik.
“ Jangan ikut campur Kades Hendrik!” Kembali Sulastri membentak kepala desa itu.
Sorot mata Sulastri berubah. Tinggal putih matanya saja. Ligkar di sekitar matanya
menghitam.
“ Ampun ibu...” Andi kini diliputi ketakutan akan kematian.
“ Kalian berdua harus mati!” ancam Sulastri sembari menunjuk wajah ke arah anak
dan menantunya.
Kades Hendrik yang mengatakan bahwa yang berhak memutuskan mati itu adalah
Tuhan. Mendengar perkataan Kades Hendrik, Sulastri merasa terganggu.
“ Jangan sebut nama itu. Atau kalian semua mati sekarang juga!” pekik Sulastri.
Kades Hendrik tak melihat ke arah Sulastri. Ada berapa perubahan dalam tubuhnya.
Ada sesuatu yang lain sedang merasuki dan menguasainya. Tubuhnya kini terlihat sedikit
membiru. Wajahnya terlihat pucat, seperti mayat hidup.
“ Aku bacakan Yasin, ya Mas Andi. Juga beberapa surat-surat lainnya.”
“ Hentikan!” teriak Sulastri.
Mata Kades Hendrik terpejam. Terus membacakan surat-surat dari kitab suci dan juga
doa-doa. sementara Andi terus menemani istrinya yang semakin sekarat dalam
pembaringannya.
“ Hentikan!”
Sulastri menutup telinganya. Terus mengerang agar Kades Hendrik segera
menghentikan bacaannya. Namun, Kades Hendrik tak peduli lagi pada permintaan Sulastri.
“ Hentikan Kades Hendrik!”
Tak lama kemudian Sulastri pingsan. Sulastri yang sudah tertidur beberapa hari pun
tiba-tiba bangun. Matanya diliputi oleh amarah. Tergambar jelas rasa tidak suka di raut
wajahnya.
“ Pak Kades! Ibu bangun.” Andi begitu bahagia melihat kondisi ibunya.
“ Iya Pak Kades.” Senyum Dina.
“ Alhamdulillah.” Kades Hendrik membuka matanya kembali.
Bab 4
Amarah Sulastri
Misteri meninggalnya Sulastri karena santet, hanya rekayasa belaka dari Ki Carsan.
Perihal keanehan yang dialami Sulastri, tidak lebih karena lukisan keranda mayat yang
terpajang di rumahnya.
Lukisan yang haus darah dan kematian itu didiami oleh siluman gagak Hitam. Burung
gagak yang terus mengawasi waktu pemakaman Sulastri yang ternyata hanya gedebog
pisang. siluman dalam lukisan itu pula yang sering memasuki Sulastri. Hingga membuat
Sulastri tidak seperti manusia lagi. Terjerat perjanjian dengan siluman gagak Hitam.
“ Kamu akan aku selamatkan, Sulastri” ucap Ki Carsan.
“ Terimakasih Ki. Ki Carsan memang guruku yang paling baik. Mau
menyelamatkanku dari serakahnya anak dan menantu ku. Ki Carsan juga mau berpura-pura
menyantet ku, padahal Ki Carsan sebenarnya menyelamatkan dan menyembunyikanku, agar
mereka merasa telah menang.” Sulastri mencium tangan Ki Carsan tanda penghormatan pada
gurunya.
“ Sama-sama. Nanti kamu bersembunyi di rumah Sumaidah, dia selain muridku juga
simpananku.” Senyum Ki Carsan, tergambar jelas dari bibirnya yang hitam pekat.
“ Sumaidah yang dulu pernah tinggal di desa ini, Ki?” tanya Sulastri menautkan
kedua alisnya.
“ Ya, dua belas tahun lebih yang lalu.” Ki Carsan mengangguk-angguk, seperti
biasanya sembari mengembuskan asap rokok kretek dari mulutnya.
Sulastri pun mematuhi segala perintah yang diberi oleh Ki Carsan kepadanya.
Malam itu suasana mistis begitu terasa. Diawali sejak kedatangan Sulastri yang
menjumpai sesosok wanita yang tergantung di seutas tali. Kemudian menghilang tatkala
sosok itu menjelma sekelebat kuntilanak yang terbang di antara kebun mangga itu.
"Nanti tepat di malam kamu pura-pura disantet, aku akan mendatangi rumahmu.
Kembang tujuh rupa, air dari tujuh sumur, dan tanah dari tujuh permakaman itu sebenarnya
bukan syarat santet. Tapi untuk aku tanam di belakang rumah kamu, agar warga luput
penglihatannya. Sehingga gedebog pisang itu mereka kira jasad kamu, Sulastri," pungkas Ki
Carsan menatap lekat-lekat muridnya itu.
"Iya, Ki, siap. Aku akan melaksanakan perintah ini dengan baik."
Alasan Ki Carsan menyuruh Andi dan Dina agar tidak pulang juga bagian dari siasat
Ki Carsan. Agar dengan mudah dukun itu menanam bunga tujuh rupa dan tanah dari tujuh
permakaman di belakang rumah Sulastri.
Saat bangkit dari kubur, Sulastri memang sedang dirasuki oleh siluman gagak hitam
itu. Membuat dirinya seperti bukan manusia lagi. Bisa menjelma dalam bentuk apa pun.
Sehingga membuat Prayit yang saat itu sedang mencari tokek, dibuat kalang kabut.
Di malam ketujuh kematiannya. Sulastri benar-benar tidak sadar saat dirasuki oleh
siluman gagak hitam. Saat hujan deras mengguyur desa itu. Ketika dirinya datang di tahlilan
mitung dino
Bahkan hingga keesokan harinya, saat Sulastri duduk di bawah pohon dan kemudian
membuat Dina pingsan. Dirinya benar-benar telah dikuasai oleh kekuatan besar dari siluman
gagak hitam itu.
"Ingat! Tepat di hari ketujuh kematian, kamu harus segera ke makammu. Agar
seakan-akan kau memang baru bangkit dari kubur." Siasat demi siasat memang sudah
dipersiapkan oleh Ki Carsan.
"Iya, Ki."
"Aku tidak meminta apa-apa dari kamu. Ini semua karena aku sudah menganggapmu
murid nomor satu."
"Terus ... apa yang harus aku lakukan lagi, Ki?" tanya Sulastri.
"Mereka berdua telah berencana menyantet kamu, Sulastri. Bisa jadi, dia akan
meminta bantuan pada dukun lain. Dan dukun lain belum tentu akan menyelamatkanmu." Ki
Carsan coba memengaruhi Sulastri.
"Apa aku harus menyantet anak dan menantuku?" tanya Sulastri lagi.
"Sebelum kamu disingkirkan oleh mereka. Singkirkanlah dulu mereka. Agar kamu
aman dari gangguan orang-orang yang akan berbuat jahat terhadapmu." Sorot mata
kemengan tersirat dari dukun yang sebenarnya masih berusia 32 tahun itu.
Panggilan Ki adalah panggilan kehormatan dari para warga sekitar dan murid-
muridnya. Bukan karena usianya sudah tua atau lebih tua dari yang lainnya.
Malam semakin larut. Saat tiba-tiba tubuh Sulastri sudah dirasuki siluman Gagak
Hitam itu. Tertawa di antara lolongan anjing yang saling bersahutan. Beberapa saat
kemudian, Sulastri mulai sadar kembali. Sulastri pun mulai bisa menguasai tingkah laku aneh
yang terjadi pada dirinya.
"Ki, kenapa aku sering bertingkah laku aneh?" tanya Sulastri sembari menunduk.
"Itu tandanya kamu telah menyatu dengan Siluman Gagak Hitam, Sulastri! Bukankah
semua harta yang kamu dapat itu dari Siluman Gagak Hitam yang telah menjadi suamimu?"
Ki Carsan dengan tatapan tajam.
"Iya, Ki. Semua hartaku hasil dari Siluman Gagak Hitam, suamiku."ujar Sulastri.
Sudah sepuluh hari Sulastri tertidur dan tak pernah sekali pun bangun. Andi dan Dina
terus menangis disamping ibunya. Sudah berkali-kali Ki Carsan berusaha menyadarkannya.
Namun, itu sia-sia belaka. Tak ada perkembangan sama sekali.
Andi dan Dina sebenarnya pernah memanggil dokter, tetapi setelah pemeriksaan tak
ditemukan satu penyakit pun. Jalan terakhir, mereka akhirnya tetap percaya pada semua yang
dikatakan oleh Ki Carsan. Akan tetapi, Andi tetap curiga pada satu hal yang membuat ibunya
bisa seperti ini. Tidak lebih karena lukisan yang terpajang di rumah itu. Mereka yakin semua
yang terjadi masih ada kaitannya dengan Ki Carsan.
"Jangan copot lukisan itu. Karena itu bisa berbahaya," ucap Ki Carsan.
"Bahaya kenapa, Ki? Justru sejak ada lukisan itu, Ibu jadi semakin aneh, Ki!" Andi
terus menerka-nerka masalah yang terjadi dalam keluarganya.
"Itu pemberianku," jawab Ki Carsan enteng.
"Aku tahu, Ki. Tapi kalau berefek buruk untuk apa?"
tanya Andi sembari menatap Ki Carsan yang masih berpura-pura berusaha
membangunkan ibunya.
"Untuk menarik rezeki!" jawab ki Carsan tegas.
"Mana bisa rezeki ditarik oleh lukisan, Ki!" bantah Andi yang kini sudah semakin
tidak percaya padadukun itu.
"Kamu tidak mengerti, kamu tahu dari mana semua harta ini?" tanya Ki Carsan sinis.
"Dari Tuhan, Ki!"
"Terserah kalian saja! Aku pamit."
ki Carsan pulang dengan membawa rasa kesal terhadap Andi dan Dina. Rencana yang
sudah berjalan mulus, kini harus mendapat sedikit halangan dan tentangan.
"Dek, mas mau ke rumah Kades Hendrik dulu, ya. Siapa tahu mas bisa dapat solusi."
Andi sambil membelai rambut istrinya itu.
"Jangan lama-lama, Mas. Kalau bisa segera ke sini dan ajak Kades Hendrik juga,"
usul Dina sembari tersenyum.
"Baik, Dek."
Andi pun melangkah meninggalkan Dina yang sekarang menemani Sulastri di kamar.
Baru sampai diambang pintu depan, Kades Hendrik datang berkunjung.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Pak Kades. Baru juga aku mau ke rumah Pak Kades."
"Wah, kebetulan sekali. Kalau boleh tahu ada apa, ya,Mas?" tanya Kades Hendrik
penasaran.
"Ibu... Pak Kades. Sudah sepuluh hari ini tidur dan tidak bangun-bangun."
Selama sepuluh hari ini, tidak ada satu pun tetangga atau warga yang menjenguk atau
menengok keadaan Sulastri. Sifat pelit sekaligus pekerjaannya sebagai rentenir membuat
orang-orang di desa itu acuh padanya.
"Boleh aku lihat?" Hendrik sambil berjongkok dan membuka sepatunya.
"Silakan, Pak."
Kades Hendrik memasuki rumah itu. Belum juga sampai di depan pintu kamar
Sulastri, Kades yang baru menikah dua tahun yang lalu itu menghentikan langkahnya.
"Lukisan ini seharusnya tidak boleh terpajang dirumah ini. Ada kekuatan besar yang
mendiami lukisan itu," bisik Kades Hendrik, masih menatap lekat-lekat lukisan keranda
mayat itu.
"Sama dengan dugaanku, Pak Kades."
"Itu lukisan terpajang di sini untuk apa?"
"Itu pemberian Ki Carsan, katanya buat menarik rezeki. Tapi, kata Ibu itu untuk agar
dia selalu mengingat kematian."
"Nanti copot! Tak ada satu pun kejahatan yang sempurna. Contohnya, ada dua
keterangan yang berbeda antara Ki Carsan dan Bu Sulastri."
"Siap, Pak. Ayo masuk ke kamar Ibu sekarang, Pak.Kasihan istriku kalau ditinggal
terlalu lama, seringmenemui keanehan di rumah ini, Pak," pungkas Andi sembari jempolnya
menunjuk ke arah pintu kamar ibunya.
Setelah berada di kamar Sulastri, Kades Hendrik merasakan ada kekuatan besar yang
sedang
menguasai tubuh Sulastri. Kades Hendrik juga yakin, sosok itu adalah penunggu dari
lukisan keranda mayat itu.
"Bisa ambilkan lukisan keranda mayat itu, jitu ambilkan air putih dan korek api,"
perintah Kades Hendrik pada Andi dan Dina.
"Baik, Pak Kades." Keduanya pun meninggalkanKades Hendrik yang sekarang hanya
berdua dengan Sulastri di kamar itu.
Tidak lama kemudian, Andi dan Dina kembali masuk ke kamar Sulastri dengan
membawa sesuai yang diperintahkan Kades Hendrik tadi.
"Keluarkan lukisan itu dari bingkainya."tiba bangun. Matanya diliputi oleh amarah.
Tergambar jelas rasa tidak suka di raut wajahnya.
"Pak Kades! Ibu bangun." Andi begitu bahagia melihatkondisi ibunya.
"Iya, Pak Kades." Senyum Dina mengembang.
"Alhamdulillah." Kades Hendrik membuka matanya
"Ada apa ini?" tanya Sulastri ketus.
"Keluarlah! Sebelum aku musnahkan dari muka bumi ini," ucap Kades Hendrik pelan.
"Baik, Pak Kades."
"Bantu ikut membaca surat-surat pendek." Kata Kades Hendrik pada Andi dan Dina.
Kades Hendrik mulai membacakan ayat-ayat dan surat-surat dari kitab suci. Tubuh
Sulastri yang sudah beberapa hari ini diam tak bergerak, kini menggelinjang dan meronta.
"Bakar lukisan itu!" perintah Hendrik pada Andi. Sementara dirinya memercikan air
putih itu pada tubuh Sulastri.
"Arghhh!"
Terdengar suara geraman dari kamar itu. Kades Hendrik kembali menutup matanya
dan terus membacakan ayat-ayat suci. Sulastri yang sudah tertidur beberapa hari pun tiba
kembali.
"Alhamdulillah Ibu udah sadar, Bu," jawab Dina ramah.
"Apa maksudnya?" tanya Sulastri masih belum sadar betul dengan yang terjadi
padanya.
"Ibu sudah tidur selama sepuluh hari dan baru sekarang bangun, Bu," ucap Andi
begitu semringah.
"Ini pasti akal-akalan kalian saja! Kalian pasti menyuruh dukun lain, setelah gagal
meminta bantuan pada Ki Carsan!" seru Sulastri.
"Ibu ngomong apa, sih? Justru karena Ki Carsan lah Ibu jadi begini. Semua harta yang
Ibu dapatkan itu tidak baik, Bu."
"Jangan banyak alasan! Bilang saja kalian mau merebut semua harta ibu, kan?"
"Sumpah demi Tuhan, Bu. Aku tidak butuh harta Ibu sedikit pun. Aku malah ingin
Ibu kembali ke jalan yang benar."
"Buktinya kalian mau menyantet Ibu! Kalian minta bantuan Ki Carsan, kan?"
"Maksudnya?" Andi, Dina, dan Kades Hendrik pun saling berpandangan. Tidak
mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Sulastri.
BAB 5
Dendam Sulastri
Keesokan harinya, Sulastri masih memendam amarah pada anak dan menantunya.
Sulastri belum sadar betul kalau yang dirasakannya dalam mimpi, hanyalah siasat dari Ki
Carsan. Petunjuk yang didapatkan mimpinya tak lebih petunjuk salah dari yang bertujuan
untuk menyesatkan Sulastri. Menjadikan anak dan menantunya terlihat seperti orang yang
jahat di mata Sulastri.
Sedari matahari belum menampakan sinarnya, Sulastri sudah marah-marah pada Andi
dan Dina. Bahkan, keduanya kini sudah diusir dari rumah itu. Sulastri sudah benar-benar
dikuasai oleh siasat dukun ilmu hitam itu.
"Ibu tahu apa yang mau kalian lakukan pada Ibu!" omel Sulastri sembari berkacak
pinggang.
"Maksud lembut kalian mau menyantet dan ingin menguasai harta Ibu, kan? Ibu tahu
dari mimpi Ibu!" Napas wanita tua itu tersengal-sengal menahan amarah.
"Ya, Tuhan, Ibu. Malah kami berdua berusaha menyadarkan Ibu dari tidur bagaimana
bisa kami ada niat buat melenyapkan, Ibu." Andi sembari menggelengkan kepalanya.
"Ibu tidak percaya kalian semua."Sulastri melotot pada Dina yang sejak tadi hanya
bisa terisak.
"Ibu tidak boleh begitu," bujuk Andi berusaha menenangkan emosi ibunya.
"Sekarang kalian berdua pergi dari sini sekarang juga!" usir Sulastri.
"Ibu mengusir kami? Ibu tega telah mengusir anak dan menantu sendiri?" tanya Andi
lirih.
"Maafin aku kalau selama ini tidak bisa menjadi menantu yang Ibu inginkan. Tapi,
kami sayang Ibu. Mana mungkin kami berniat mencelakakan, Ibu." Dina akhirnya tak bisa
menahan tangisnya.
Tak ada jawaban dari Sulastri. Andi dan Dina pun meninggalkan rumah itu dengan
berlinang air mata. Sementara Sulastri merasa telah menang atas anak dan menantunya. Andi
dan Dina tidak membawa semua pakaiannya, hanya beberapa setel pakaian saja. Mereka
beralasan, suatu saat nanti Sulastri akan sadar. Mereka yakin kelak Sulastri akan meminta
keduanya kembali.
Semua yang dirasakan Sulastri selama ini hanya mimpi belaka. Mimpi dari tidurnya
yang selama sepuluh hari itu akibat ulah dari Ki Carsan, melalui perantara Siluman Gagak
Hitam yang mendiami lukisan keranda mayat itu.
“Ibu apa?" tanya Andi

Menjelang sore, Sulastri sudah berada di gubuk Ki Carsan. Dia hendak menceritakan
semua yang dirasakannya selama ini. Sulastri juga melaporkan perbuatan Kades Hendrik
yang membakar lukisan keranda mayat itu. Sehingga Ki Carsan berniat membuat perhitungan
dengannya.
"Ki Carsan, dalam mimpiku, anak dan menantuku ingin menyantet dan menguasai
hartaku." Sulastri berkaca-kaca.
"Syukurlah kalau lewat mimpi itu kamu bisa mengetahui keburukan anak dan
menantumu. Waktu aku ingin membangunkanmu dari tidur, aku malah diusir oleh bocah
teng!k itu. Andi memang anak yang keterlaluan." Ki Carsan dengan entengnya memfitnah
Andi.
"Apa? Dia berani mengusir Ki Carsan?" Emosi dan rasa Andi Sulastri semakin
memuncak.
"Bukan hanya mengusir, dia juga memfitnah aku jadi penyabab kamu tidur selama
sepuluh hari." Ki Carsan terus memanas-manasi Sulastri.
"Dasar anak kurang ajar! Tapi aku sudah mengusirnya, Ki.”
"Bagus." Jawab Ki Carsan
"Aku juga bermimpi telah menjadi istri dari Siluman Gagak Hitam, penghuni lukisan
keranda mayat itu. Apakah aku benar telah melakukan perjanjian pernikahan dengan siluman
itu, Ki?" tanya Sulastri penasaran.
"Tidak sama sekali, Sulastri. Lukisan itu hanya sebagai penarik rezeki. Kalau
penunggu lukisan itu jatuh cinta sama kamu, itu bagus. Karena semakin banyak harta yang
akan kamu dapat dari Siluman Gagak Hitam itu," pungkas dukun berambut keriting itu.
"Apa Siluman Gagak Hitam itu jatuh cinta sama aku, Ki?" tanya Sulastri lagi.
"Sepertinya begitu. Sudah jangan bahas itu dulu. Kita fokus pada Andi dan Dina yang
sudah berniat melenyapkan kamu."
Sulastri juga menceritakan dalam mimpinya disantet Andi dan Dina, kemudian
bangkit dari kubur selepas tujuh hari kematiannya. Bahkan sampai sekarang Sulastri masih
bingung membedakan yang nyata dan hanya mimpi.
"Terus aku harus bagaimana, Ki?" tanya Sulastri bingung.
"Terserah kamu. Mau disingkirkan apa mau menyingkirkan mereka," tawar Ki Carsan
pada muridnya itu.
"Baiklah, Ki. Aku mau menyingkirkan mereka. Bantu aku santet mereka,Ki."
"Baiklah."
"Kapan, Ki?" tanya Sulastri antusias.
"Besok malam ke sini lagi, kita santet mereka di malam Jumat. Kamu bawa ke sini
dua pakaian mereka. Baju dan celana," ujar Ki Carsan dengan senyum sinisnya.
Sementara itu di rumah Kades Hendrik sedang ada Andi dan Dina selepas diusir oleh
Sulastri. Keduanya menceritakan perihal Sulastri yang berubah setelah mengenal dan berguru
pada Ki Carsan.
"Dulu sekali, di desa ini juga ada kesesatan pesugihan. Dan itu akibat berguru pada
Mbah Sastro, guru dari Ki Carsan. Kabarnya, Mbah Sastro meninggal dalam penjara.
Mungkin sekarang Ki Carsan penggantinya, sudah mewarisi semua ilmu dari Mbah Sastro,"
pungkas Kades Hendrik.
"Oh, seperti itu."
"Ibumu salah berguru dan memilih jalan. Jalan Tuhan itu memang tidak mudah, dan
terlihat tidak seindah jalan kesesatan." Kades Hendrik sembari menatap Andi yang masih
bersedih.
"Begitulah, Pak. Ibu sekarang jadi aneh. Apalagi semenjak lukisan keranda mayat itu
terpajang di rumah,” ungkap Andi sembari menunduk.
"Lukisan itu memang yang membuat Ibu kalian tertidur selama sepuluh hari. Tadi
malam aku bermimpi...." Kades Hendrik tak melanjutkan ucapannya karena sedikit ragu.
"Mimpi apa Pak Kades?" tanya Andi.
"Meski lukisan itu sudah musnah, tapi cepat atau lambat orang-orang yang dulu
tinggal dekat dengan lukisan itu akan kehilangan nyawa." Raut sedih terlihat jelas di wajah
kepala desa tampan itu.
"Maksudnya kami?" tanya Dina tiba tiba ikut dalam obrolan.
"Mungkin juga termasuk Ibu kalian." Hendrik menatap sejenak keduanya. "Tapi,
kalian harus tetap meminta pertolongan pada Tuhan."
"Iya, Pak Kades," jawab Andi dan Dina tak serempak.
Malam pun mulai menyapa desa itu, tatkala Kades Hendrik dan Andi duduk di
beranda rumah, kembali membicarakan tentang Sulastri.
"Pak Kades, kami minta maaf, ya. Takut tidak ada kesempatan buat minta maaf."
"Iya, Mas Andi. Aku juga minta maaf kalau ada salah."
"Kami juga sangat berterima kasih pada Pak Kades. Titip Ibu, ya, Pak Kades."
"Kalian benar mau pergi? Pergi ke mana?" tanya Kades Hendrik.
"Jauh, Pak Kades," jawab Andi lesu.
Malam itu lolongan anjing tak terdengar seperti biasanya. Beberapa kali lolongannya
terdengar menyayat hati, menyiratkan kesedihan mendalam. Saat perjalanan menuju gubuk
Ki Carsan. Di tengah perjalanan, di sekitar kebun mangga itu, Sulastri menjumpai sepasang
pocong pria dan wanita menghalangi jalan setapak itu.
Sulastri tidak menggubris sekali sepasang pocong itu. Dia sama sedikit turun dari
jalan setapak itu agar bisa lewat dan melanjutkan perjalanan menuju gubuk Ki Carsan. Tidak
sampai di situ saja penampakan di malam Jumat Kliwon ini. Setelah beberapa langkah, dia
melihat penampakan wanita. tergantung di seutas tali. Mirip dengan yang ada dalam
mimpinya.
Sulastri mulai gemetar. Bukan karena takut terhadap penampakan itu, tetapi entah
tiba-tiba dalam dirinya tumbuh keyakinan, bahwa kelak dirinya akan bernasib seperti wanita
itu. Firasatnya terlalu kuat. Sulastri menepis pikirannya. Namun, itu sia-sia saja.
Keyakinan akan berhasil menyingkirkan anak dan menantunya, sama besar dengan
keyakinan bahwa hidup dirinya akan berakhir di seutas tali yang menjerat lehernya.
Lamat-lamat terdengar rintihan dari sepasang suami istri. Sulastri yakin betul suara itu
sangat mirip dengan anak dan menantunya. Namun, sekali lagi Sulastri tak percaya dengan
apa yang didengarnya.
Dalam benaknya bertanya, ‘Mana mungkin Andi dan Dina sudah menjadi hantu?'
Sementara rencana pembunuhan terhadap keduanya baru saja akan dilaksanakan malam ini.
Sulastri kini sudah berada di gubuk Ki Carsan. Malam ini dirinya sudah yakin akan
menyantet anak dan menantunya itu. Tak peduli lagi dengan hubungan keluarga yang sudah
terjalin selama ini.
"Ki, bagaimana rencana kita? Aku lihat anak dan menantuku ada di rumah Kades
Hendrik. Dia sekarang lumayan punya ilmu kebatinan, Ki."
Sulastri memberi laporan pada Ki Carsan. Bagaimana pun juga dia tahu, kalau Kades
Hendrik menguasai beberapa ilmu yang mungkin saja bisa menjadi halangan rencananya
malam itu.
"Kamu takut sama Kades Hendrik?" tanya Ki Carsan terlihat kesal.
"Tidak, Ki."
"Kamu menyepelekan kemampuanku, Sulastri." Ki Carsan terlihat tersinggung.
Karena seakan-akan Sulastri sudah meremehkan kemampuannya, yang dia dapat setelah
puluhan tahun bersemedi di hutan di atas bukit desa itu.
"Maaf, Ki." Sulastri mengeluarkan dua pasang pakaian milik Andi dan Dina daril
dalam kantong plastik hitam. Kemudian memberikannya pada Ki Carsan yang sudah
mengeluarkan keris sakti yang dia curi dari gurunya itu.
"Malam ini Andi dan Dina harus mitu di tanganku. Agar kau yakin kalau aku benar-
benar sakti, Sulastri!" seru Ki Carsan sangat serius.
Sementara itu di rumah Kades Hendrik, Andi dan Dina terlihat gelisah. Keduanya
seperti sudah merasakan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kades Hendrik yang
melihat tingkah aneh mereka pun mulai curiga.
"Kalian kenapa?" tanya Kades Hendrik yang duduk di depan mereka berdua.
"Nggak apa-apa, Pak Kades. Aku rindu Ibu." Suara Andi bergetar.
Sementara Dina sedari tadi hanya. terdiam dengan wajah murung. Wanita yang sangat
baik ini pun kelak harus menjadi korban dari rencana jahat Ki Carsan.
"Benar tidak ada apa-apa? Apa perlu aku ke rumah Bu Sulastri jadi penengah kalian?
Siapa tahu masalah ini cepat selesai." Kades Hendrik memberi tawaran mediasi.
"Terima kasih, Pak Kades."
"Sama-sama. Tidak usah sungkan." Kades Hendrik menengok ke arah samping,
tempat Prayit duduk lumayan jauh.
"Yit! Sini."
"Iya, Pak Kades. Ada apa?" tanya pencari rumput dan tokek itu.
"Kamu jangan ke mana-mana, ya..Temenin Mas Andi dan Mbak Dina."
"Siap, Pak Kades."
"Aku mau ke rumah Bu Sulastri sebentar."
"Jangan ke rumah Sulastri, Pak Kades. Di sana angker."
"Prayit!" teriak Kades Hendrik menggebrak meja di depannya yang membuat Andi
dan Dina terkejut.
Mata Ki Carsan terpejam sembari membaca mantra-mantra. Keris pusakanya sudah
dia asapi di atas kemenyan yang dibakar dengan bara kayu. Sejurus kemudian, keris itu dia
tusuk ke pakaian milik Andi dan Dina.
Di rumah Kades Hendrik, Prayit mulai mendapati keanehan dalam diri Andi dan
Dina. Sepasang suami istri ini seperti sedang merasakan sakit yang begitu sangat.
"Andi Dina... kalian kenapa?" Prayit tersentak melihat kejadian di depannya.

"Akkhhh!" Teriak Andi sembari memegang dadanya.


"Mas tolong!" lirih Dina menggelinjang di atas lantai.
Prayit tak tahu harus berbuat apa. Dia terlihat sangat kebingungan. Sementara Kades
Hendrik sedang dalam perjalanan menuju rumah Sulastri. Prayit mendekat, sebelum akhirnya
menjerit sekencang kencangnya.
Warga sekitar sekitar yang mendengar teriakan Prayit, segera mendatangi rumah
Kades Hendrik. Mereka begitu terkejut mendapati sepasang suami istri itu sudah tak
bernyawa lagi.
Prayit duduk di salah satu sudut ruangan. Mendekap kedua kakinya sembari dagunya
dia tempelkan di lututnya. Prayit bergetar hebat. Dalam tubuh Andi dan Dina ditemukan
beberapa luka dalam.
Tubuhnya membiru seperti mayat yang sudah meninggal beberapa hari. Kedua
matanya melotot, dan lidah sepasang suami istri ini menjulur ke luar.
"Pak Kades ke mana, Yit?" tanya salah satu warga.
"Sulastri..." jawabnya parau dwarga tubuh yang masih bergetar dan menggigil.
Warga pun segera berlari mencari keberadaan Kades Hendrik. Setelah beberapa saat,
akhirnya warga menemukan Kades Hendrik sedang berada di depan rumah Sulastri.
Menunggu dibukakan pintu.
"Pak Kades!" panggil warga dari halaman rumah Sulastri.
"Eh, ada apa?" tanya Kades Hendrik sedikit bingung melihat warga itu tergesa-gesa.
"Mas Andi dan Mbak Dina meninggal!" seru warga itu.
"Innalilahi... firasatku benar." Kades Hendrik tertunduk lesu. Merasa menyesal telah
meninggalkan sepasang suami istri ini.
Dukun ilmu hitam itu tertawa lepas setelah mengetahui targetnya berhasil tewas
secara tragis. Kemudian Ki Carsan menatap Sulastri yang berada di depannya.
"Andi dan Dina telah tewas secara mengenaskan!" pekik Ki Carsan dilanjutkan
dengan tertawa kembali.
"Astaghfirullah," lirih Sulastri lemas.Tak sadar mengucapkan kalimat suci itu.
"Apa maksud kamu?" Ki Carsan sedikit membentak.
"Aku telah membunuh anak dan menantuku hanya karena sebuah mimpi Terlihat
gurat sesal diwajah Sulastri.
"Persetan dengan mereka, Sulastri!" pekik Ki Carsan melotot.
"Aku pamit, Ki." Sulastri menangis sesenggukan.

Sulastri akhirnya tersadar juga, bahwa yang dilakukannya adalah salah. Namun,
semua sudah terlambat. Anak dan menantunya yang sebenernya orang baik, sudah menjadi
korban dari siasat jahat Ki Carsan.
Sepanjang jalan Sulastri terus menangis. Tak peduli lagi pada gangguan mistis yang
menemaninya sepanjang jalan. Hingga pada sebuah pohon tua yang menjulang tinggi, dia
kembali mendapati sesosok wanita yang tergantung di seutas tali.
Mendung semakin pekat menutupi langit desa malam itu. Kilatan demi kilatan
membuat kebun mangga itu terang dalam sekejap. Sulastri menatap lekat-lekat sesosok
wanita tergantung di pohon itu. Dia baru sadar, kalau sosok yang tergantung itu sangat mirip
dengannya.
Penampakan sesosok wanita yang tergantung di seutas tali itu,membuat Sulastri kini
meratapinya dengan kesedihan yang begitu dalam. Angin kencang mengibas-ngibaskan
rambut panjang sosok itu.
Kilatan demi kilatan kembali menerangi segala sudut kebun mangga. Wajah sosok itu
terlihat memelas. Kemudian menyeringai pada Sulastri yang sedang menatapnya lekat-lekat.
Sulastri mematung. Ada kekuatan besar yang mencoba menguasainya. Tubuhnya kini
bergetar. Sulastri sudah tidak bisa menguasai tubuhnya lagi. Sejurus kemudian Sulastri
menjerit. Bukan karena rasa takutnya terhadap sosok misterius itu, tetapi itu semua karena
dirinya semakin yakin akan tergantung di seutas tali di sebuahpohon.
Sosok yang sedang menyerupai Sulastri adalah pertanda bahwa cepat atau lambat,
dirinya akan bernasib seperti sosok yang sedang disaksikannya malam itu. Sulastri berjalan
terhuyung saat menapaki jalan setapak yang memisahkan persawahan yang ada di kanan-
kirinya.
Batinnya tiba-tiba hancur mendapati dirinya telah berbuat jahat pada orang yang tidak
bersalah. Terlebih, itu pada anak dan menantunya. Hujan mulai turun saat Sulastri mulai
memasuki desa. Orang-orang yang berada di depan rumah dibuat bertanya-tanya dengan yang
terjadi pada diri Sulastri.
Sepanjang jalan Sulastri terus menangis dan tertawa secara bergantian. Kejiwaannya
kini dalam kondisi tidak baik-baik saja. Sulastri kehilangan akal sehatnya.
Sesampainya di halaman rumah, Sulastri berhenti sejenak. Dia masih ingat betul
dengan nasihat Kades Hendrik agar tidak membeli rumah itu. Namun, dia tetap bersikukuh
membelinya dan mengabaikan firasat Kades Hendrik.
Sulastri juga sebenarnya masih ingat dengan kejadian tragis yang menimpa keluarga
pemilik rumah itu. Semuanya meninggal tidak wajar. Membuat banyak warga yakin, kalau
rumah itu adalah rumah kutukan.
Sulastri melangkah gontai menuju belakang rumahnya. Hujan masih turun dengan
cukup deras, saat tiba tiba muncul gagak hitam yang terbang di sekitarnya. Sulastri
mengabaikan gagak hitam.kiriman Ki Carsan itu. Dalam dirinya sudah tidak ada lagi rasa
takut, yang dia inginkan hanya satu, bisa menebus dosa pada anak dan menantunya.
Sulastri duduk termenung di belakang rumahnya. Memandang pohon tua itu dengan
tatapan kosong. Seakan hidupnya kini tak ada gunanya lagi. Menyisakan sesal yang
menguasai pikirannya.
"Kenapa aku harus percaya pada Ki Carsan, lirih Sulastri di sela-sela tangisnya.
Sulastri mulai memikirkan hal-hal yang tidak wajar. Entah datangnya dari mana, tiba-
tiba datang keinginan untuk melakukan bunuh diri. Dengan cara gantung diri, sama dengan
yang dilihatnya di kebun mangga itu. Di atas pohon, gagak hitam itu terus mengawasi
Sulastri. Memberi bisikan-bisikan agar Sulastri segera mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri.
BAB 6
Dendam Sang Dukun

Keesokan harinya Sulastri masih duduk di tempat yang sama. Malam tadi, Sulastri
sama sekali tidak tidur. Tidak juga beranjak dari tempat itu barang sejenak. Sulastri terus
diam tanpa sepatah kata pun. Sementara di rumahnya sudah ramai para warga yang datang
untuk berduka cita dan mengurus prosesi pemakaman Andi.
Jasad Dina yang sedang hamil, sudah sejak tadi diambil oleh keluarganya. Orang tua
Dina yang datang bahkan sempat memaki-maki Sulastri. Namun, Sulastri hanya diam seribu
bahasa.
"Kasihan ibunya Mbak Dina, dia pasti sangat bersedih kehilangan anak semata
wayangnya. Aku masih ingat betul, ketika orang tua Mbak Dina tidak setuju dan merestui
pernikahan anaknya dengan Mas Andi," kata salah satu tetangga.
"Iya. Semoga Mas Andi dan Mbak Dina tenang di alam sana. Daripada harus hidup
bersama Sulastri si nenek lampir itu," umpat salah satu warga.
"Huss!"
Jasad Andi akhirnya dibawa ke permakaman untuk dikebumikan. Sulastri sama sekali
tidak ikut mengantar. Dirinya kini semakin dipengaruhi oleh gagak hitam yang sampai
sekarang terus mengawasinya.
"Kasihan Mas Andi. Harus meninggal secara tragis karena santet," gumam Prayit
yang berdiri dekat dengan Kades Hendrik.
Liang lahat sudah ditutup kembali. Prayit melirik Kades Hendrik, tidak ada respons
sama sekali. Beberapa warga juga menduga kalau Andi memang meninggal karena disantet.
Setelah selesai pemakaman Andi, warga pulang ke rumahnya masing-masing. Tak ada satu
pun yang berniat menemani Sulastri di rumahnya. Semua sudah muakdengan sikap dan sifat
Sulastri.
Sore itu di rumah Kades Hendrik, Prayit duduk di beranda rumah menemani
majikannya. Sudah sejam lebih, tak ada pembicaraan sama sekali di antara mereka.
"Pak Kades... Andi dan Dina itu disantet Sulastri," ucap Prayit.
Tak ada jawaban dari Kades Hendrik. Dirinya masih terus iba jika mengingat jasad
sepasang suami istri yang membiru dan meninggal secara tragis itu. Kades Hendrik begitu
sangat menyesal karena tidak bisa mencegah kejahatan itu terjadi. Tidak bisa menyelamatkan
sepasang suami istri yang di matanya sangat baik.
"Pak Kades... Andi dan Dina itu disantet Sulastri," ucap Prayit mengulanginya lagi.
"Aku menyesal, Yit... aku merasa bersalah." Air mata Kades Hendrik jatuh juga.
"Pak Kades tidak boleh bilang begitu, Pak Kades sama sekali tidak bersalah."
Hingga malam tiba, tidak banyak obrolan di antara mereka berdua. Keduanya pun kini
hanyut dalam pikirannya masing-masing. Hingga kemudian, Prayit mengajak Kades Hendrik
keluar untuk sekadar minum kopi di salah satu warung.
Gelap mulai menyelimuti desa tatkala Sulastri menaiki pohon itu dengan Di
tangannya menggenggam seutas tambang yang sudah dia persiapkan. sebuah tangga.
"Maafin ibu, Nak." Gurat penyesalan dan kesedihan yang begitu dalam tergambar
jelas di wajah Sulastri.
Gerimis tipis-tipis mulai turun, begitu pula gerimis di pipinya. Sulastri ingin menebus
kesalahannya menghilangkan nyawa anak dan menantunya, dengan menghilangkan
nyawanya sendiri.
"Ibu tahu ini tidak bisa menebus kesalahan ibu. Tapi ini jauh lebih baik, agar dosa ini
tidak ibu tanggung terus dalam hidup," lirihnya sembari terisak.
Tambang yang dia bawa sudah terpasang di pohon itu. Kemudian jerat tambang itu
diikatkan pada lehernya sendiri. Sulastri semakin terisak. 'Aku akan kembali untuk membalas
dendam’, batinnya pada Ki Carsan yang sedang menyaksikannya tergantung di pohon itu.
"Kembalilah jika kamu bisa, Sulastri! Balaslah dendammu padaku. Apa kamu lupa?
Dulu pernah menuduhku mencuri? Hah!" pekik Ki Carsan pada jasad Sulastri yang
tergantung sudah tak bernyawa lagi.
Ki Carsan tahu apa yang ada di hati Sulastri, Dukun ilmu hitam itu bukanlah dukun
sembarangan. Sedangkan Ki Carsan tidak ingin membunuh Sulastri cepat-cepat.
Ki Carsan begitu bahagia melihat keluarga Sulastri hancur. Dengan cara mengadu
domba Sulastri dengan anak dan menantunya, setelah itu menyingkirkan mereka satu persatu.
Membuat dirinya semakin puas karena berhasil membuat mereka masuk perangkapnya.
Siluman Gagak Hitam yang merasuki tubuh Sulastri, sudah keluar sejak seutas tali itu
sudah menjerat leher Sulastri. Sekarang Siluman Gagak Hitam itu terbang ke sana-ke mari di
sekitar rumah Sulastri.

Siluman Gagak Hitam itu terus bersuara hingga memekakan telinga siapa saja yang
mendengarnya. Malam itu pun para warga desa dicekam ketakutan. Terlebih meninggalnya
Andi dan Dina karena disantet, sudah menyebar dengan cepat.
"Kok, suara gagak itu terus bersuara di atas rumah Sulastri. Ada apa, ya?" tanya
seorang istri pada suaminya. Rumahnya tepat di depan rumah Sulastri. Sementara itu di
tempat lain, beberapa warga sedang berkumpul dengan kepala desa.
"Sulastri itu gendeng... harusnya hari ini tahlil hari pertama anak dan menantunya. Eh,
dia malah tidak ada di rumah," gerutu Prayit.
"Yit! Sama yang lebih tua jangan panggil namanya saja. Yang sopan kamu!" omel
Kades Hendrik.
"Iya, Pak Kades. Tapi, Sulastri itu jahat”, sanggah Prayit.
"Kamu itu kalau dikasih tahu suka ngeyel!" Kades Hendrik semakin kesal pada
Prayit.
"Iya, tadi aku lewat depan rumahnya, gelap dan sepi. Apa Bu Sulastri itu sedang
pergi, ya?" tanya warga lainnya.
"Firasatku, dia ada di rumah," jawab Kades Hendrik.
"Apa kita cek ke rumahnya Pak Kades?" tanya salah satu sesepuh desa itu.
"Ayo, sekarang kita cek!" ajak Kades Hendrik,
Setelah sampai di rumah Sulastri. Beberapa warga mulai menyelidik ke segala jendela
yang tidak sempat ditutup. Mereka menggunakan senter untuk menerangi rumah yang tidak
gelap itu. Hingga beberapa saat kemudian, Prayit menemukan Sulastri di belakang rumahnya
sudah meregang nyawa.
"Pak Kades! Sulastri mati! Sulastri mati, Pak Kades!" teriak Badrun. Para warga dan
Kades Hendrik pun berlari ke arah belakang rumah Sulastri. Mereka menemukan Sulastri kini
sudah meninggal secara tragis. Sama seperti pemilik rumah itu tempo dulu.
"Sulastri sudah aku peringatkan jangan membeli rumah ini," gumam. Kades Hendrik.
Sulastri yang meninggal bunuh diri di belakang rumahnya, sudah dimakamkan
seminggu yang lalu dengan prosesi yang sangat sederhana. Kini dirinya pun kembali bangkit
selepas tujuh hari kematiaannya untuk membalas dendam.
Sulastri yang meninggal secara tragis, membuat arwahnya penasaran dan gentayangan
di dunia yang harusnya sudah dirinya tinggalkan. Tepat di malam Jumat kliwon, saat. Prayit
ingin mengambil aritnya yang ketinggalan di dekat permakaman waktu mencari rumput.
Dirinya mendapati penampakan seorang wanita di sebuah makam baru.
Tubuh sosok wanita itu terbalut kain putih kotor. Wajahnya menghitam dan kedua
matanya merah menyala. Membuat Prayit yang tidak jauh dari tempat itu melihat dengan
jelas. Prayit saat itu datang ke permakaman menjelang waktu isya.
Bulan sedang menerangi malam itu dengan sempurna. Menjadikan suasana
permakaman itu ada sedikit sumber cahaya. Prayit memicingkan kedua matanya. Kemudian
mengerjapkan matanya berulang kali. Prayit masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sosok itu semakin jelas. Satu ikatan di kepalanya yang terlepas, semakin jelas bahwa itu
adalah sosok seorang wanita. Rambut terurai panjang menutupi sebagian wajah hitamnya.
"Drun! Tolong ikatkan tali pocong dd kepalaku ini, Drun! pinta sosok pocong itu.
Prayit mematung. Sosok itu menghilang dalam sekejap, dan kemudian muncul
kembali semakin mendekat. Begitu terus menerus hingga beberapa kali. Jarak Prayit dengan
pocong Sulastri itu kini hanya tinggal beberapa langkah saja.
Prayit terus membaca doa apa saja yang dihafalnya. Sebelum semakin mendekat,
sosok itu tak lagi muncul. Hilang ditelan heningnya malam di permakaman itu.
"Alhamdulillah, Sulastri sudah pergi,"gumam Prayit sembari mengelus dadanya.
Angin tak wajar pelan membelail tengkuknya. Prayit merasakan ada hal aneh di
sekitarnya lagi. Prayit mengedarkan pandangan ke segala sudut permakaman itu. Namun,
sosok itu memang sudah tak ada lagi.
"Mending aku pulang saja. Nggak apa-apa arit nggak ketemu juga," gumam Prayit
lagi.
"Kamu cari ini, Drun?" tanya Sulastri sembari menggigit gagang arit yang sedari tadi
dicari oleh Badrun.
Sulastri menjatuhkan arit itu. Menyeringai pada Prayit yang gemetar mendapati tiba-
tiba penampakan kembali muncul di depannya. Prayit kini sudah tak sadarkan diri. Pocong
itu kemudian menghilang, meninggalkan Prayit di permakaman itu seorang diri.
Suara ketukan pintu terus terdengar di gubuk Ki Carsan. Suara ketukan itu suara yang
dihasilkan dari sebuah tangan, tetapi dengan kepala.
"Tidak usah menerorku seperti itu, Sulastri! Silakan masuk!" seru Ki Carsan dari
dalam gubuk.
Pintu gubuk Ki Carsan tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Embusan angin kencang
menerpa wajah Ki Carsan yang saat ini sudah berdiri. Angin mulai membawa dedaunan
masuk ke dalam gubuk itu.
"Sesuai janjiku! Aku bangkit selepas tujuh hari kematian untuk membalas dendam!"
Suara pocong tanpa ikatan di kepala itu terdengar menggema.
"Sudah aku tunggu, Sulastri! Bunuhlah aku jika kami bisa!" Ki Carsan tertawa dengan
sinis. Pocong itu mendongak. WWaja hitamnya penuh dengan amarah.
"Kau harus mati malam ini juga, Carsan!"
"Kamu memang pantas mati, Sulastri. Apa kamu tidak ingat dulu pernah
memfitnahku mencuri?" tanya Ki Carsan.
"Carsan! Jadi hanya gara-gara masalah waktu dulu, kamu tega. menghancurkan
keluargaku?" Sulastri semakin diliputi amarah.
"Ternyata kamu benar-benar bangkit, Sulastri! Nada suara Ki Carsan mengejek.
"Sesuai yang kamu mau dan sama dengan yang ada di mimpiku!"
Ki Carsan mengambil keris pusakanya. Kemudian mengarahkan keris itu ke arah
depan, Sulastri memekik. Pocong tanpa ikatan dikepala itu tertunduk. Sujud di kaki ki
Carsan.
"Akan aku buka semua tali pocong itu, Sulastri! Agar kamu jadi pocong tanpa kain
kafan!" Ki Carsan tertawa terbahak-bahak. Sulastri pun akhirnya menjadi budak Ki Carsan.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai