Anda di halaman 1dari 7

MESIN WAKTU

Dwi Kurniawati

Suasana pemakaman tampak sepi. Orang-orang sudah


meninggalkan pemakaman, hanya beberapa saja yang masih tinggal
sekedar menguatkan seorang pria yang berduka. Di belakangnya,
berdiri seorang tinggi gagah berjas rapi, menangkupkan tangannya
sebagai bentuk bela sungkawa.

"Sudahlah, Dir. Kamu pulang saja, aku tidak apa-apa. Aku


masih ingin di sini," Ucap si pria dengan mata sembap di dekat
pusara ibunya. "Santai saja, lagi pula kau masih tampak
menyedihkan, seperti habis dikeroyok orang," balasnya. Si pria acuh
tak acuh, kembali menangisi kepergian ibunya, ia nampak seperti
manusia paling menyedihkan di bumi ditambah badannya yang kini
kurus kering.

Sepulang dari pemakaman, dua pria itu kembali ke


apartemen mereka. Si pria yang ditinggal ibunya masih nampak
lusuh, lalu segera beranjak untuk membasahi tubuhnya dengan air
segar. Ia tampak lebih 'hidup' dan enak dilihat setelahnya.

"Aku turut berbela sungkawa atas kepergian ibumu, Ar.


Aku tahu, ibu segalanya bagimu. Tapi kau harus ingat, pekerjaanmu

1
masih menumpuk untuk diselesaikan. Aku tidak suka menunggu,
cepatlah pulih dan mari kita bekerja kembali,"

Si pria hanya menunduk, diam. Tak menjawab ataupun


bereaksi layaknya orang diajak bicara. "Dirga BagaskaraBagaskara.
Di kantor, hubungan kita memang bos dan karyawan, tapi sekarang,
aku ingin bicara sebagai sahabat karib. Aku ingin ambil cuti
beberapa hari untuk menenangkan diriku, itupun jika kau bersedia.
Kau tahu kan, kehilangan ibu adalah hal yang berat bagiku. Aku
harap kau bisa memahaminya,"

Dirga tak menjawab, ia pura-pura memainkan gawainya.


Tak ingin menyinggung topik itu. Baginya, hidup sukses adalah
pencapaian terbesar dari kerja kerasnya.

"Aku lelah, aku ingin tidur sebentar. Makanlah, kau sudah


seperti mayat hidup." Dirga melenggang masuk ke kamarnya dan
mulai tertidur seiring bunyi jam dinding yang terpasang di
kamarnya.

Detak jam berbunyi teratur, mengiringi dengkuran halus


Dirga di atas kasurnya yang nyaman. Seketika bunyi memekakkan
telinga seperti ledakan terdengar dari arah jam dinding. Dirga
tersentak dan segera bangkit dari kasurnya. Seketika ia berada di
tempat lain. Kasur yang ia tempati sudah tak senyaman kasur
apartemennya, berganti menjadi kasur kapuk keras berukuran kecil
yang sangat tak nyaman di punggungnya. Dirga bangkit, heran
dengan apa yang ia lihat dan rasakan.

Lantai yang ia pijak kini menjadi lantai ubin hitam kotor dan
agak lembap, dinding di sekitarnya berubah menjadi dinding kayu
yang basah terkena air hujan. Semua perabot mewah milik Dirga,
AC, koleksi jam tangan, raib dan digantikan dengan meja tua yang
usang dan berjamur. Ia masih tak tahu apa yang terjadi ketika suara
wanita terdengar dari luar ruangan. "Baskara, eh, ayo bangun, nak!
Matahari sudah mulai terbit. Kamu kan harus sekolah! Ayo, ayam
tetangga sudah berkokok!" Suaranya yang lembut dan
menenangkan menyadarkan Dirga. Seketika, ia terperanjat melihat
seorang anak kecil lusuh dan kumal bangkit dari kasur yang tadi ia
tempati.

Anak itu, ia mengenalinya. Bocah kumal, lusuh, berbadan


pendek, berkaos tipis warna merah pudar itu adalah dirinya ketika
kecil. Sedangkan seorang wanita yang membangunkan Dirga kecil
adalah ibunya dengan versi lebih muda. Keluarga itu merupakan
keluarga miskin, ibunya tak punya jam dinding untuk melihat waktu,
beliau hanya mengandalkan posisi matahari dan suara-suara
tertentu.

Dirga menyaksikan ibunya masuk ke kamar, merapikan


tempat tidur nya dengan senyum terkembang di wajah. Bahkan
merapikan tempat tidur anaknya saja beliau sangat bahagia. Dirga
3
tak pernah melihat hal ini sejak ia kecil, hal sederhana yang menjadi
sebab senyum ibunya.

Ledakan memekakkan telinga kembali mengagetkannya. Ia


tersedot ke dalam masa lain, di tempat yang sama, waktu mulai
berubah. Ibunya nampak beruban di beberapa helai rambutnya.
Beliau tengah menangis sambil memegang sebuah buku kusam.
Dirga melihat lebih dekat, ia mengenali buku itu sebagai buku
hariannya.

"Duh, Gusti. Kasihan anakku, harus terjebak dalam


kemiskinan ini bersamaku. Bahkan impiannya cuma ingin dibelikan
jam tangan seperti teman-temannya. Mudahkanlah, Gusti Kang
Maha Agung,"

Ledakkan kembali terjadi, kini ia melihat adegan saat ia


kabur dari rumah karena sudah tak tahan hidup miskin. Ibunya
menangis, kecewa, kenapa anak yang ia besarkan sepenuh hati
justru meninggalkan dirinya karena alasan tersebut. Dirga
menyaksikan kekecewaan ibunya yang teramat sangat. Betapa
beliau terpukul, anak semata wayang yang ia banggakan justru tega
meninggalkannya begitu saja.

Waktu demi waktu Dirga jelajahi. Batinnya menjerit, ia tak


pernah tahu, setiap hari ibunya menunggu di depan rumah,
berharap anaknya pulang. Meminjam telepon genggam tetangga,
menunggu panggilan dari anaknya. Tidak ada yang lebih diharapkan
beliau kecuali kepulangan anaknya.

Di malam hari, Dirga mendapati ibunya tengah berdoa


setelah shalatnya. "Ya Allah, lindungilah selalu anakku dari
kesuliatan hidup di luar sana. Jadikanlah ia anak yang sukses,
menjadi orang yang berhasil. Dan jika boleh hamba meminta,
berikanlah hamba rezeki untuk bisa membeli mesin waktu seperti
yang ia minta. Bawalah Baskara kembali ke pangkuan hamba,,"

Dirga jatuh terduduk, kesombongannya runtuh. Ia bisa


sukses seperti sekarang karena doa-doa yang dipanjatkan ibunya . Ia
mendekat, bersungkur di kaki ibunya, memohon agar memaafkan
kesalahannya. Tapi percuma, ibu Dirga tak sekalipun menyadari
keberadaan putranya. Ia cuma menangis dan menangis, meratapi
nasib yang akan menimpa anaknya.

Dirga yang masih tersungkur tiba-tiba tersedot begitu saja


karena ledakkan jam kembali terjadi. Kini ia berada di sebuah
pemakaman desa di sekitar tempat tinggalnya. Sambil terus
menangis ia berteriak, marah, mengutuki perbuatan pada ibunya
selama ini. Ia terseok, hingga akhirnya terjatuh di atas sebuah
makam. Kusam, seperti tidak dirawat. Tangisnya semakin pecah
kala membaca nama tertera di pusara tersebut, nama ibunya. Di
atas tanah makam tersebut nampak sebuah surat yang ditindih
dengan batu, banyak bekas injakan di atasnya.
5
Anakku den bagus, ibu menunggu kamu pulang. Ibu janji
akan belikan kamu mesin waktu yang kamu minta, tapi pulang
dulu, ya, nak..

"Ibu, Dirga janji akan pulang, Bu. Ibu tunggu Dirga, tunggu
Dirga, Bu. Dirga sayang ibu, maafkan Dirga, bu," Raungnya tak
terkendali, tapi apa bisa dibuat, kini ibunya telah tiada. Ia meraih
sebongkah tanah, menggenggamnya keras hingga rapuh. Seperti
jiwanya kini, rapuh, ego nya luluh lantak.

Satu ledakkan keras kembali mengguncangnya. Kini ia


kembali berada di atas kasur apartemennya. Tubuhnya basah oleh
keringat. Di pipinya ada bekas air mata yang mengering. Dirga
bangkit, memikirkan apa yang terjadi barusan. Ia langsung keluar
Arya yang masih sembap, menatapnya heran.

"Ar, berkemaslah, temani aku pulang. Ibu, Ar," Arya yang


langsung paham dengan sigap menuruti permintaan sahabatnya.

★★★

Dan di sinilah Dirga, manusia lemah tanpa


kesombongannya. Di depan rumah dengan pagar kayu lembap, di
atas kursi bambu yang sudah mulai amblas, malaikat itu, malaikat
tak bersayap yang selalu mendoakan dirinya, masih menunggunya
pulang. Di tangan keriputnya tergenggam benda berdetik warna
hitam, persis seperti yang Dirga inginkan, 'mesin waktu' impiannya
sedari dulu. Ibu, tidak pernah lupa rupanya, batin Dirga

"Ibu, Dirga pulang," ucapnya sambil tersungkur bersujud,


menangis meraung di kaki ibunya.

Anda mungkin juga menyukai