Anda di halaman 1dari 19

Pukul Delapan

Risma Mufidatul Lailis

Desir angin mengudara. Ketika sang senja mulai berbisik cerita. Tentang apa yang
telah dilewatinya. Tak semua orang bisa berjuang. Namun, semua orang bisa berusaha
agar terus semangat menjalani hidupnya

“Le, tangi. Wes isuk opo gak sekolah,” gertak seorang wanita paruh baya ketika
melihat anaknya masih asyik berkelana dalam buaian bunga tidur.

“Oalah, Buk. Aku iseh ngantuk,” kesalnya membuat diri itu semakin meringkuh ke
dalam selimut. “Mengko disek, Buk.”

Ibunya hanya menggeleng kepala melihat anak lelakinya sangat pemalas seraya
membatin, “Cah jaman saiki. Yen dikandani wong tuwane apik malah ora gelem.”

***

Sastra Angkasa. Pemuda yang kini akan menginjak SMA. Pemuda berbadan
tinggi, tak terlalu tampan, hanya saja pemuda ini mempunyai lesung pipi di kanan, dan
kekar. Namun, satu yang disayangkan. Dia cukup nakal di kalangannya. Suka bermain
malam, terkadang ikut geng berandal setempat. Dan, pernah suatu saat dia terlibat
kontroversi dengan salah satu preman di desa setempat.

“Sa, kamu udah kelarin masalah sama Bang Johan itu,” tanya Aldi-temannya.
Pemuda yang biasa dipanggil Aksa ini hanya tertawa kecil sembari membuka kancing
kemeja teratasnya. Hingga tampaklah kaus putih yang pemuda itu kenakan.

Bukannya membalas, Aksa justru tertawa mengudarakan tawa tanpa rasa takut.
"Harusnya dia dong yang selesaiin. Masa preman kalah sama anak SMA. Aneh kamu, Di.”

Idih, anak ini beneran nggak takut sama tuh preman. Dasar. Batin Aldi sendiri
dalam pikirannya.
“Di, bosen. Kita ke kedai sebelahnya Kang Hadi yuk. Main biliar. Aku bayarin es
teh.” Ditya pun menggeret tangan Aldi cepat.

“Bolos lagi,”

“Halah, palingan juga jam kos.” Ditya membalas dengan santai memperlihatkan
wajah datarnya.

Kemana-mana Ditya dengan Aldi. Biasanya squad mereka ada tiga. Andra, Aldi,
terakhir Ditya. Karena Andra ikut ayahnya keluar kota makanya tinggal mereka berdua.
Dan, sesampai di tempat tujuan yakni, kedai kecil dengan persediaan alat-alat permainan
biliar. Ditya langsung mengambil tongkat kemudian menyusun bolanya di atas papan
meja. Aldi mengikuti langkah Ditya dengan pasrah.

“Kira-kira Andra kapan balik ya,” suara Aldi membuat Ditya tertawa kencang. “Dit,
kamu kenapa. Kesurupan apa, sampai bisa ketawa seserem itu. Jangan-jangan kamu
ketempelan mbak kunti ya.”

Aldi bergidik merinding saat Ditya melototi dirinya dengan tajam. Aldi menelan
ludah keras.

“Kamu kangen Andra. Tumben, biasanya kan sering cari ribut kalau ada dia,”
jawabnya sambil menyodok bolanya dan kaget, “Eh, apa katamu. Enak aja. Tuh mbak
kunti-nya ikutin kamu malahan. Nggak ada angin nggak ada hujan bisa-bisa kangen, kan
aneh. Homo, hahha.”

Aldi mendengus kesal dan menyodok bola di hadapannya kemudian masuk ke


lubang. “Yes”

Ketika mulai lelah, mereka berdua duduk di kursi yang ada.

“Dit,” Ditya mengeryitkan dahi menatap Aldi

“Nggak jadi,” Aldi menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal. “Lupa”

Ditya hanya terkekeh dan mendengus sedikit kesal.


Jam menunjukkan pukul 15:30 waktu setempat, Aldi kembali bersuara dengan
seruannya. “Dit, nggak pulang?”

“Em, ya udah yuk,” gerak Ditya sembari mengambil jaket yang tergantung di paku
salah satunya. “Ntar malem ke base camp, ya,”

“Iya-iya”

Seiring waktu mereka berdua pun berjalan kembali ke rumahnya masing-masing.


Angin masih berhembus normal. Begitupun laku semua orang.

Ditya menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Senja yang mulai terlihat,
membuatnya memperlambat langkah kakinya. Ketika ia melihat isi lapangan penuh, ia
menghentikan langkahnya. “Hm, kira-kira kamu disana ngapain?” Ditya membayangi
wajah ntah siapa. Dalam sekelabat pikirannya, ada sosok yang sangat ia rindukan.
Mungkin bisa jadi teman atau saudara.

“Dit,” panggil seorang yang mungkin sebayanya dari tengah lapangan.

Ditya melambaikan tangannya kembali dan ingin melangkahkan kaki mendekat.


Namun, urung waktu ia juga harus segera pulang. Bentar aja deh. Batinnya sejenak.

“Kon iku lapo nganyer ing tengah dalan, ono masalah?” Tak lain itu adalah suara
Kang Arip.

“Mboten kang,” jawab Ditya menggelengkan kepala. “Nggeh pun kang, kulo
wangsul rumiyen.”

Kang Arip mengangguk mengerti.

Ditya meneruskan langkahnya hingga sampai di rumah kesayangannya.

“Assalamu’alaikum. Buk, aku wangsul,” teriak Ditya sembari memasuki kamarnya


dan kembali menutup pintunya rapat.

“Wa’alaikumsalam”

Ditya merebahkan dirinya di atas kasurnya dengan kasar. Ia kembali pada pundak
benaknya dan memejamkan mata sebentar. Sesekali ia bergumam tak jelas.
***

Terdengar teriakan dua lelaki kecil yang sedang meributkan sesuatu. Begitu lucu
bagi orang tuanya. Hingga sang kedua orang tua hanya bisa menatap dan terkekeh dalam
hati. Tak untuk kedua lelaki itu saja, seorang pemuda yang diatas mereka pun ikut
merasakan kebahagiaannya.

“Ih, Ditya,” rengekan itu terdengar jelas di telinganya. Ditya semakin berputar-putar
tak jelas.

“Ayo, kejar aku kalau bisa,” seraya menjulurkan lidahnya keluar. “Ayo.”

Sang pengejar hanya terus berlari sekuat tenaga mengejar mangsanya yang
begitu kesit. Tak urung niat ia ingin bersembunyi di balik pohon di depan rumahnya untuk
mengelabui mangsa di depannya itu.

“Yey, kamu nggak boleh sembunyi. Harus kejar aku,” seru Ditya ketika melihat
pengejarnya berusaha mengelabui dirinya. “Pokok harus ngejar aku, nggak boleh
sembunyi. Nanti aja petak umpetnya.”

“Sudah-sudah, apa kalian nggak capek?” sang kakak tersebut akhirnya bersiul
untuk kedua adiknya.

“Nggak, dia belum nyerah. Pokok sampai dia nyerah,” sahut Ditya kecil
menodongkan telunjuk ke arah pengejar itu.

“Iya-iya,” dengan sigap pengejar itu memeluk tubuh kecil Ditya dan berseru, “Nah,
Ditya kena. Aku menang.”

Semua tertawa kecuali Ditya. Ia terus menggerutu sambil menendangkan kakinya,


“Nggak, kamu curang. Ini gara-gara abang pokok,”

“Kok jadi abang sih yang disalahin?”

“Biarin. Siapa suruh ngajak Ditya ngomong.”

Kembali, seisi rumah itu tertawa geli mendengar alasan Ditya yang lucu.
“Ya udah, udah sore. Mandi. Jangan lupa kalau kita mau pergi liburan,” pinta
ayahnya kemudian menggandeng putra-putra kecilnya.

Semua kembali pada rumahnya. Beraktivitas sesuai apa yang diinginkan. Tak
terkecuali pemuda kecil Ditya. Ia bergegas lari menuju kamarnya.

Ditya sedang memeriksa kembali isi tasnya sebelum esok liburan. Ditya berjalan-
jalan menyusuri ruang setiap celah rumahnya. Mungkin sedang mencari benda
kesayangannya.

Ditya mengendap-endap langkah dan memperlambat geraknya. Ia memicingkan


kepala dengan mata yang menyipit bagai seorang detektif. Kemudian memperjelas
pendengarannya dengan gerak tangan yang memberi sebuah kode untuk mempertajam
seisinya.

“Iya, besok aku bakal ngejauhin keluarga aku. Kamu tenang aja,” seseorang
menjawab dengan makian penuh kesal.

Suara siapa itu? Ayah telponan sama siapa? Kok marah-marah. Runtuk Ditya
sembari membungkam mulutnya agar tak bicara.

Ayahnya membanting ponsel jadul ke meja kasar. Ditya yang kaget langsung pergi
berlari ke kamarnya. Ia juga membanting pintunya kasar. Sama seperti apa yang
dilakukan oleh ayahnya. Ia juga membanting tubuh kecilnya ke atas ranjang kasur dan
menangis sebisa mungkin, “Kemana ayah akan bawa kita pergi jauh. Aku nggak mau
pergi. Aku nggak mau.”

Air matanya semakin mengalir deras, “Siapa tadi yang telpon ayah. Apa dia orang
jahat?”

Suasana semakin geram. Tangis Ditya tak kunjung usai. Seiring waktu ia
memejamkan matanya kemudian tertidur. Sesekali ia berkata dalam tidurnya dengan
perlahan, “Aku nggak mau pergi”

Lirihnya hanya bertabrakan oleh suara sesenggukannya. Kesunyian kamarnya


hanya diiringi oleh suara jam yang berputar. Dan tiba-tiba,
Ceklekk…

Suara pintu terbuka lembut.

“Ih, dasar pemalas.” Dika berjalan menghampiri saudaranya yang sedang tidur dan
mendapati bercak tangis di wajah saudaranya itu yang mulai sembap. “Dit”

Goyahan tubuh itu tidak menyadarkan Ditya dari mimpinya dan malah ia kembali
mengatakan kata-kata sebelumnya, “Nggak, aku nggak mau.”

Ada apa sih Ditya ini? Batin Dika.

Air mata Ditya kembali mengalir tanpa aba-aba membuat Dika kebingungan, Dit,
kamu kenapa sih? Masa tidur sambil nangis. Dika terus berjalan berpikir dengan otak
keras, mana mungkin tanpa sebab seorang anak bisa menangis dalam tidurnya. “Apa dia
mimpi buruk? Akhhh, kenapa sih ini,” tak tahan dengan apa yang dilihatnya, Dika berlari
membiarkan pintu kamar saudaranya terbuka.

“Bang Rai, sini deh,” panggil Dika seraya melambaikan tangan mungilnya melihat
seisi rumahnya sepi.

Raihan hanya mengernyitkan dahinya tak paham lalu menghampiri adik kecilnya.

Setelah kemudian, Dika menarik tangan Raihan cepat dan membawanya lari
menuju kamar Ditya. “Tuh, Ditya kenapa bang,”

Raihan mendekati adiknya lagi, “Dit,”

Seruan sama yang pernah didapati oleh Dika sebelumnya. “Ih, emang tadi abis
ngapain sama kamu?”

“Ya, nggak taulah Bang. Aku datang udah gini,” jawabnya sambil menunduk.

Raihan kembali menggoyahkan tubuh Ditya lembut, “Dit, bangun”

Ditya mengerjapkan matanya yang sudah sembap oleh air mata, “Ngapain kalian
disini,” runtuknya ketika mata mungilnya sudah terbuka.

“Justru aku yang harusnya tanya. Kamu kenapa,”


“Eng, aku. Aku nggak kenapa-napa,” jawab Ditya gugup dan kikuk.

“Jangan bohong.” Raihan berseru membuat Ditya tertunduk lesu. “Aku nggak
kenapa-napa kok, bang”

“Jujur aja gitu, Dit. Susah amat sih”

Ditya memilih diam dan tak bersuara, hanya sesenggukan sisa air matanya.
Kemudian ia mengumpat dalam hati. Sialan!

Seusai selesai oleh perdebatan di kamarnya, Ditya beranjak dan ke kamar mandi
untuk membersihkan diri. Tak juga dengan yang lainnya.

“Terkadang pendengarann bukan tak sengaja atapun sengaja tengah menjatuhkan


diri sendiri.”

~Adityali

Suara malam kembali merenungi. Dentuman begitu dentuman angin semilir bersiul
indah. Ditya kecil memandang kaca jendelanya yang meneteskan embun malam itu hanya
bergumam. Hingga tak lama seseorang kembali membuka pintu kamarnya.

“Ditya, udah siap apa belum,” tanya seorang perempuan yang tak lain adalah
ibunya.

“Udah, bu,” jawabnya lesu. “Berangkat sekarang,”

“Iya. Dari Jakarta nanti kita mampir di rumah Kakek Hasan yang di Semarang dulu
baru nanti kita liburan di Malang,” jelas ibunya sambil menggandeng putra kecilnya yang
terlihat tak ingin berangkat.

Ditya hanya bisa pasrah setelah melirik jamm dindingnya menunjukkan pukul 8
malam. usianya akan genap 6 tahun di tahun ini. Ya, tepatnya Hari Rabu depan ketika ia
dan keluarganya berlibur di Malang yang asri dengan pegunungannya.
Artinya, Ditya akan menginjak di kelas 1 sekolah dasar. Sama halnya dengan Dika.
Dika adalah kakak kembarnya. Hanya selisih waktu 12 menit. Sikapnya lebih dewasa
dibanding dengan dirinya. Pemilik nama lengkap Andikara Zulfikar Ramadhan penuh
dengan segudang kebijaksanaan sejak kecil. Dibandingkan dengan Dika, Ditya yang lebih
mudah nakal ataupun jahil. Tapi, urusan malas justru ada pada Dika.

Malam itu keluarga kecil Zulfikar akan berlibur. Semua anggota keluarga ikut.
Keluarga Zulfikar cukup dipandang sebagai keluarga yang berada dikalangannya. Dan
memilih untuk membawa mobil pribadi dari Jakarta-Semarang juga Malang. Namun, ada
sopir khusus yang dirumah pun ikut. Karena sopirnya berasal dari Kediri, sehingga ikut
mudik sekalian.

Perjalanan malam menyusuri jalan. Membelah kota Jakarta yang hampir tak
pernah ada kata sepi. Malam pun masih ramai oleh orang yang berlalu lalang. Mau
kendaraan pribadi ataupun angkutan umum, sepertinya masih banyak.

Dari dingin menjadi semakin dingin. Angin semilirnya pun tetap sama hanya saja
mungkin ini efek dalam perjalanan. Lama sudah perjalanan dari tujuan ke tujuan lainnya.
Pertama Ditya ingin sekali ngomong sesuatu tentang yang ia dengar. Namun, niat itu ia
urungkan lagi. Dan pada saat ia sampai di tujuan terakhirnya yakni, tempat wisata
impiannya. Barulah ia membicarakan apa yang ia dengar.

“Yah,” ayahnya hanya menoleh sambil berdeham. “Ditya mau ngomong, boleh?”

Jangan-jangan nih anak tau lagi apa yang aku lakuin kemarin. Anak kecil satu ini
ngerti aja soal yang beginian. Gerutu ayah dalam hati.

“Jangan sekarang ya, nak. Ayah fokus nyetir dulu, ya,” jelasnya lagi.

“T-tapi, yah,” gugup Ditya. “Udah nanti aja, Ditya.” suara Dika terdengar seperti
mengejek.

Tepat ada lampu berwarna merah di perempatan, Ditya kembali menyuarakan isi
hatinya. “Yah, ayah kemarin telpon sama siapa? Siapa yang mau dibawa pergi?”

Deg…
Jantung Zulfikar, sang ayah berdegub kencang. Kok bisa tau sih.

“Yah, jawab Ditya. Ditya bukan anak kecil,” kekehnya.

Zulfikar hanya diam membisu dengan segala alasannya sendiri. Ia meneakn


kembali kemudi mobilnya dan menjalankan lagi. Tak mau menggubris perkataan dari
anaknya.

“Yah, Ditya mau jawab.”

“Yah, siapa yang dimaksud sama Ditya,” tanya ibunya.

“Kok jadi percaya sih sama perkataan anak kecil,” geramnya.

“Lah, kok jadi Ditya yang disalahin?”

“Lha emang, kamu kan cuma anak kecil. Tau apa kamu ha?”

“Nggak, ayah jahat. Ayah mau bawa kita pergi biar ayah bisa seneng-seneng
sendiri kan,” ketusnya meraung.

“Kok jadi ayah sih yang sewot, kan Ditya cuma tanya. Jangan-jangan emang bener
lagi apa yang dikatakan sama Ditya,” imbuh Raihan yang juga terlihat kesal.

“Siapa suruh jadi anak nggak tau diri.”

“Kok ayah jadi marah-marah sih,” sahut Dika dengan keras.

“Kok pada ribut sih,” decih ibu mengaduhkan tatapan tajam.

“Ditya mau jawaban bukan ributan,” suara itu kembali menggema.

Zulfikar menoleh ke belakang menatap anak-anaknya dengan tatapan sengit,


“Yang ngajak ribut duluan siapa.”

“Ya, Ditya. Emang kenapa? Ditya tanya dan mau jawaban ayah, salah?”

Zulfikar yang kesal tak fokus dengan kemudinya mendengus kesal dan berbelok
kasar. Saat itu juga dihadapannya ada sebuah truk besar tak dilihatnya. Dan, memutar
kembali kemudinya. Terus begitu. “Ayah, awasss”
Bugh,... brakkk,

Mobilnya menghantam sebuah pembatas jalan setelah teriakan terakhir Ditya.


Semua kaget dan tak sadarkan diri. Lirih Ditya menatap ibunya yang sedang menariknya
lemah, “Bangun nak, keluar cepat.”

Terasa sebuah angkatan lembut dari ibunya, dan sesaat kemudian terdengar
ledakan. “Ayah, Dika, Bang Rai,” pekik Ditya dalam pelukan ibunya yang terduduk.

***

Deg…

Ditya terbangun dengan keringat di wajahnya yang bercucuran deras. Napasnya


terasa tercekal bagai sebuah batu menghantam secara tiba-tiba.

Ditya memposisikan duduk dengan benar dan melirik jam kecil diatas mejanya.
“Udah jam segini.”

Ia teringat dengan perkataanya pada Aldi untuk ke base camp biasanya. Kemudian
beranjak dari tempat tidurnya dan ke kamar mandi dengan cepat.

Usai mandi, ia merapikan semuanya dan menangkis jaket jeans-nya cepat. Ia


keluar dengan segera. Kebetulan tempatnya tidak begitu jauh, jadi hanya berjalan kaki.
Tempatnya hanya di ujung jalan dan masuk ke gang kecil di samping perempatan. Lalu
dengan sederhana, seperti sebuah pos kampling lusuh yang tidak diurus oleh penduduk
setempat semenjak adanya pos kampling baru.

Terlihat 2 pemuda sedang duduk dan ada 2 lagi yang tengah berdiri. Yang duduk
nampaknya itu Aldi dan Andra. Sedangkan yang tengah berdiri itu, oh anak desa sebelah.
Ya, dia Reno dan Angga. Sering juga mereka bermain ditempatnya.

Aldi melambaikan tangannya jauh dan dibalas oleh Ditya. Ditya mempercepat
langkahnya dengan sedikit berlari. Tak lama ia bisa menatap langsung wajah teman-
temannya.

“Eh, Andra. Kapan balik?”


“Baru aja nyampek, Dit,” jawabnya sembari menyalami.

Ditya mengangguk paham dan mengambil tempat duduk. “Dit, gimana masalahmu
sama Bang Johan itu,” tanya Reno tak sengaja.

“Ooh, ya gitu-gitu aja. Nggak terlalu juga sih,” kata Ditya enteng.

“Nggak takut, Dit,” cetus Angga menambahkan.

“Ditya takut? Haha, lucu tau nggak,” kekeh Aldi dan semua pun ikut tertawa.
Bahkan Ditya pun ikut tertawa.

“Dit, aku boleh minta bantuan nggak.” Andra memberanikan diri.

Ditya hanya berdeham menatap Andra serius, “Aku ada masalah sama si Adit, tau
kan?”

“Masalah apa lagi, Ndra. Masih gara-gara cewek,” rutuk Aldi dengan seenaknya.

Andra hanya tertunduk dengan wajah memelas, “Aku sayang Dit sama Alisa.”

“Terus aku harus ngapain?”

“Bantuin aku jelasin ke dia kalau Alisa juga nggak mau dipaksa, bantuin ya plis,”
pintanya. “Sebelum aku ke Bandung ikut bapak kemarin, aku sempat bentrok sama dia
gara-gara dia paksa Alisa untuk ikutin maunya. Sedangkan Alisa nggak mau, Dit. Aku
kasihan sama dia.”

Semua orang yang ada nampak berpikir keras dengan posisi Andra.

“Mending gini aja deh, Ndra. Kamu tanya aja sama Alisa-nya dulu. Apa dia ada
kesepakatan apa nggak, nah nanti biar Ditya mancing deh tuh anak,” masukan Angga ada
benernya juga. “Ini cuma saran”

Semuanya mengangguk dan setuju. “Gini aja, aku tambahin. Mending kamu suruh
Alisa yang ngomong sama si Adit, nanti kita awasin dari kejauhan. Kalau dia berani kasar,
nah kita keluar aja.” Timpalan Ditya diterima oleh semuanya.
“Nah, setuju-setuju,” sorak Aldi keras dan mendapat kicingan mata yang kejam.
Sehingga ia urungkan kembali suaranya.

Andra kemudian mengangguk dan mengeluarkan ponselnya. “Coba aku hubungi


Alisa dulu ya, siapa tau bisa cepet.”

Andra menjauh dari teman-temannya sebentar untuk menelpon Alisa. Tak lama
kemudian ia kembali ke teman-temannya. “Kata Alisa, ia ada ketemuan sama Adit habis
UTS 3 hari kedepan. Gimana?”

“Tunggu aja kalau gitu,” hela Ditya. Ia juga baru ingat kalau mulai besok akan ada
UTS di sekolahnya. Namun, ia sama sekali tak tertarik untuk membuka buku pelajarannya.
Ditya hanya menghela napas ketika mendengar kata ujian melewati telinganya. Ia tak
pernah belajar saat ujian. Saat di kelas pun ia jarang mendengar penjelasan guru. Hanya
sesaat dan ketika bosan ia menunduk tidur. Tapi takdir selalu berpihak indah
dihadapannya. Nilainya juga selalu bagus untuk kalangannya. Bahkan ia juga sering
mendapat rangking maupun juara kelas. Sungguh anak yang kini pemalas ternyata pandai
juga.

Semua setuju untuk menunggu aksi dari Adit sendiri. Setelah semua selesai,
mereka mengambil satu permainan dari lemari kecil yang ada. Nah, itu permainan yang
sering mereka mainkan. Ya, itu uno yang menggunakan kartu uno. Mereka bermain
hingga habis dan kembali berputar terus. Seringkali Ditya tampak bosan, tapi dia yang
justru menang banyak dibandingkan temannya.

“Wih, udah jam 10,” seru Angga memecahkan keheningan.

“Iya ih, aku pulang ya,” timpal Reno. “Ngga, yuk cepet!”

“Iya-iya”

Aldi melirik Ditya yang sedari tadi hanya diam usai perbincangan masalah Andra.
Andra membereskan semua kartu permainan. Ia kemudian berpamitan kepada kawannya.
Tinggalah Aldi dan Ditya yang diiringi suara angin malam juga jangkrik yang mengerik.

“Dit, ada masalah?”


Lagi-lagi Ditya hanya mengernyitkan dahi kemudian mengangkat bahunya sembari
menggelengkan kepala. “Beneran, Dit,”

Ditya beranjak dari tempat dan membalikkan badan menatap wajah Aldi, “Iya,
Aldiku sayang.”

“Dih, najis.” Aldi mengerucutkan mulutnya sedang Ditya tertawa geli.

“Aku pulang ya. Jangan rindu ya, Aldiku sayang,” katanya lagi dengan gaya bak
orang banci.

“Dih, astaghfirulloh Ditya. Najis. Amit-amit,” jawabnya seraya mengetukkan kening


dengan tangan ke bangku yang ada.

Ditya semakin geli dengan tingkah Aldi kemudian berlalu pergi.

Aldi menatap pungung para temannya yan sudah berlalu dari pandangannya. Ia
menghela napas panjang dan membersihan base camp-nya.

“Terkadang bungkammu menunjukkan bahwa kau sedang meratapi apa yang


mungkin tak seharusnya kau bungkam. Semua berhak untuk bicara tentang benaknya,
Dit. Tapi, justru engkau membungkam isi mulutmu itu dengan sejuta tingkah lain.”

~Aldira

***

Ditya kembali menapaki jalan yang sama. Namun, ketika berada di perempatan
ujung dia menghentikan langkahnya. Haruskah dia menggebukan kakinya disaat kalut
dalam mimpinya lagi? Hm, pada akhirnya Ditya membelokkan langkah dan terus berjalan.

“Kemana lagi akan kularikan sejenak rasa ini? Bagaimana dengan hati setelah ini?
Apakah hari juga tak lagi memberikan jalan?”
~Adityali

Secercah bintang membuyar di langit. Ditya melihat hamparan lapangan desa


tampak sepi. Ia menghela napas dan duduk dengan rerumputan hijau. Kemudian ia
membaringkan tubuhnya luruh menatap hamparan bintang. Hampir semua berkelip
dengan indah. Secercah air matanya terjatuh tanpa pamit. Dengusan dan juga rintikan
membaur.

“Andaikan masih ada. Pasti malam tidak sesepi ini,” gumamnya.

Aldi yang tak sengaja menguntit dari belakang melihat Ditya tak tega. “Dit, dengan
sikapmu yang penuh dengan bodo amat ternyata menyimpan banyak uraian air mata.
Salut aku sama kamu. Tapi, kenakalanmu itu terkadang menjadikan pelampias yang
membuat orang mungkin risi. Namun, tetap aja kamu cuek. Dit, andaikan kamu bisa
terbuka mungkin dunia lebih berwarna.”

Aldi menatap dibalik pohon dengan sejuta kata-kata yan tak bisa ia ungkapkan.

“Akhh, aku rindu kalian,” teriak Ditya kencang seakan ia melepas semua
bebannya.

Aldi membelalakkan matanya tak paham. Tak lama kemudian, ada sorotan cahaya
begitu banyak membuat Ditya terbangun cepat. Dan Aldi mundur menjauh ke warung
kosong yang ada di samping lapangan. Aldi mengendap-endap penuh kehatian agar tak
kena sorotan cahaya. Ia melirik lewat lubang dinding yang terbuat dari kayu tersebut. Dari
riuh suara juga cukup jelas jadi ia bisa leluasa.

“Hai, Adityali Zulfikar Ramadhan. Apa kabar,” tanya salah satu orang. Ya, dia yang
dimaksud oleh orang banyak. Dia Bang Johan. Seorang preman brutal yang begitu cukup
terkenal dikalangan. Ia sering datang dari geng ke geng lain.

Ditya hanya diam dan bersikap seolah tak tahu apapun. “Bisu, Dit?”

Semua temannya tertawa keras.


Aldi yang melihatnya geram dan ingin mendatanginya. Namun, ia tak memiliki
cukup keberanian seperti Ditya. Dulu Ditya pernah mabuk sekali dan menantang duel
kepada Bang Johan. Saat itu Bang Johan hanya sendirian pulang memalak pasar daerah.
Ditya sudah mengetahui sejak lama jika di pasar ada orang suka bikin onar. Nah, secara
tak sengaja saat dia dalam kondisi mabuk dia berpapasan dengan Bang Johan. Disaat
itulah Ditya beradu tanpa diketahui oleh orang disekitarnya. Ditya terlihat begitu risi saat
itu. Akhirnya mereka terlibat bentrok sebentar. Dan, Bang Johan berjanji tidak akan lagi
membuat kerusuhan di pasar. Ternyata kenakalan Ditya masih ada baiknya juga. Dan
sampai saat ini pasar jadi tidak ada kabar pemalakan liar lagi seperti dulu.

Bang johan menatap Ditya kikuk. “Dit, udah nggak mabuk lagi?”

Ditya hanya tersenyum miris dengan tikaman mata yang tajam. Bang Johan
menelan ludah dalam melihat tatapan mematikan dari Ditya. Ditya terlihat dingin. Namun,
ia bisa kapan saja menyerang orang didepannya tanpa harus memakai kode satu dua
maupun tiga.

“Ada masalah apa, Bang,” suara Ditya seraya berjalan mendekati Bang Johan.

“Nggak, kita Cuma lewat aja. Eh, ada kamu.”

Ditya kemudian membalas ber-oh ria. Namun, matanya masih terlihat menandakan
ketajaman agar tidak ada lagi yang berulah.

“Nggak ikut geng motor lagi, Dit,” tanya salah satu orang.

“Kepo”

Semua terlihat gelagapan dengan sikap Ditya. Emang dulunya Ditya anak Geng
Brokar. Geng motor gabungan desa sebelah juga. Ditya keluar dari geng setelah tau
bahwa ketuanya pernah terjerat kasus narkoba. Dan dulu dia pun saat masih berada di
geng itu sering mabuk. Disaat itulah awal pertemuannya dengan Bang Johan. Seminggu
setelah bentrok, Ditya mengetahui kenyataan itu lalu mengundurkan diri. Ia memilih
berteman dengan Aldi, Andra, Reno, dan juga Angga. Ia hanya menjadikan base camp
untuk berkumpul, bersenda gurau, juga bermain. Namun, tak lagi berurusan dengan
kekerasan. Mungkin lelah.
“Dit, aku kesini bawa teman mau minta maaf atas apa yang dulu pernah aku
lakuin. Aku udah nggak malak lagi di pasar itu,” tunduknya iba.

Ditya menatap manik mata dari sosokyang dulu terkenal berengsek menjadi sedikit
kalem. Ditya menatap binar itu penuh penyesalan.

“Em, iya udah, Bang. Yang udah berlalu biarlah berlalu,” jawabnya memperlihatkan
senyum kecil tulus. Aku jauh lebih berengsek daripada kamu, Bang Johan.

Sorakan semua orang tampak bahagia. Aldi menyaksikan semuanya terharu


penuh air mata. Ternyata dugaanku salah Dit. Batinnya sejenak.

Ditya tersenyum sambil menatap lurus ada sosok kecil yang sedang tersenyum
bahagia. Ditya membuka matanya lagi lalu mengembalikan senyum itu pada sosok kecil
yang tak lain adalah Dika. Dan di seberang ada kakaknya. Bang, Dik. Aku yakin aku bisa
berubah lebih dari ini.

Hingga tak sadar air matanya terjatuh begitu saja membuat orang di depannya
bertanya-tanya. “Ditya ternyata bisa nangis.”

Semua pun tertawa. Tak terkecuali Ditya, “Ih, nggak ya. Cuma kelilipan ini mah,”

Aldi pun keluar dari persembunyiannya dan menyodok perut Ditya. “Nangis aja,
Dit.”

Ditya mendengus kesal pada Aldi.

Malam yang sungguh berarti. Tentang kenakalan seorang Ditya. Tentang cerita
seribu balok es seorang Ditya. Pemuda kekar akan kehilangan. Dan ya, ia pernah
kehilangan

Ini hari akan terlihat baru. Di bawah langit malam ini. Dimana bintang bertaburan
banyak bagai sebuah titik di luasnya samudera. Dan, disinilah ini menjadi saksi bahwa
kenakanal zaman bukan berarti nakal benaran. Mungkin sebuah jalan kebaikan.

Dan inilah cerita tentang renungan hati. Renungan hati seorang Ditya. Ditya yang
kehilangan seorang paling berharganya. Cerita tentang perginya sang ayah, kakak, dan
juga kembarannya. Sikap dinginnya menjadi pelampias ketika dia sedang merindu. Sikap
bodo amat menjadi sikap dimana hati terkadang sesak oleh sebuah ingatan. Dan satu hal,
penyesalan. Penyesalan yang dulu pernah singgah. Semua melebur dalam cerita Ditya.
Dengan sebuah kesabaran. Lewat teman. Bersama tiang keyakinan, semua bisa
terlewatkan. Ya, itulah “Renungan Hati Seorang Adityali Zulfikar Ramadhan”

“Bukan sebuah kehidupan bila ‘tak ada permasalahan. Bukan pula kesempurnaan
bila ‘tak ada keretakan. Semua menjadi peleburan yang bisa berakhir kebahagiaan
ataupun kesedihan. Dan ini adalah sebuah rencana Tuhan.”

~Adityali

***

Hari dimana akan ada sebuah aksi antara Andra, Alisa, juga Adit. Setelah pulang
sekolah mereka akan bertemu di taman belakang sekolah mereka. Semua rencana
tersusun rapi bak sebuah buku tertata dalam perpustakaan. Demi perjuangan lagi dan ini
adalah taruhannya.

“Lis, siap kan?” Suara Andra, “Siap dong.”

Dan satu, dua, tiga… Rencana kan dimulai!!!

Desah langkah menderu di sepanjang taman. Terlihat Alisa sedang menunggu


seseorang di salah satu bangku taman yang ada. Hanya seorang diri. Dan, tak lama
kemudian datang sesosok pemuda. Ya, itu adalah Adit.

Adit menghampiri Alisa. Kemudian entah berbicara apa. Dan terlihat Adit tampak
mengotot. Aldi dari kejauhan bersiap untuk maju. Dan itu benar. Kode selanjutnya dalah
keluar dari persembunyiannya.

“Hai, Adit. Seorang pecundang yang hanya bisa mainin perasaan perempuan,”
rentetan kata dari mulut Andra yang sangat geram.

Adit hanya kikuk ketika melihat Ditya melangkah dibalik badan Andra dan Aldi.
Adit terus melangkah mundur dengan perasaan takutnya.

“Lis, jujur. Bilang apa dia sama kamu,” imbuh Aldi.

“Dia maksa pacaran,” jawab Alisa tertunduk dengan rasa takut pula.

Adit hanya terdiam seribu rasa takut.

Ditya menghampiri Adit. “Kamu nggak pernah sayang sama ibu ya?”

“Aku sayang sama ibu,” jawab Adit lebih gugup.

“Nah, itu tau. Kok berani main sama perempuan. Kita tau kebusukanmu itu kayak
apa Adit Suharjono,” geram Ditya semakin mendekat. “Ndra, maju.”

Andra maju membawa ponsel kecilnya dan memutarkan sebuah video. Direkaman
itu terlihat Adit sedang berduaan dengan seorang perempuan lain dan di tempat yang
sama. Iya, taman ini. Anak itu siapa? Itu adalah Riska. Anak kelas 11-IPS 2. Alias sangat
terkejut dan menampar pipi Adit kasar.

“Kapan itu semua,” tanya Alisa kecewa. Tanpa basa-basi, Andra memperlihatkan
keterangan dari video tersebut. Dan, kejadiannya 2 hari yang lalu.

Adit yang tak bisa apa-apa hanya terus menunduk dengan mata yang ingin
menangis.

“Kita nggak bakalan ngapa-ngapain kamu kok. Kamu minta maaf sama Alisa aja
udah cukup. Dan biarin Alisa bebas,” seru Aldi.

Adit mengangguk paham dan mendekati Alisa, “Lis, aku minta maaf, ya.”

Alisa tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke


arah Andra berdiri.

Semua usai. Cerita telah selesai. Jika memang itu yang terbaik pasti kan berakhir
baik pula. Ditya merekahkan senyumnya kembali.
“Bukan bualan juga bukan khayalan. Ini memang kenyataan. Hubungan hanya
paksaan pasti berakhir menyakitkan.”

~Adityali

Sepucuk awan telah mengembang. Merekah semua senyuman. Menjalankan jalan


yang sesuai dengan taksirannya. Tak pandang surya maupun rembulan. Tetap sama ‘kan
menyinari isi dunia. Sama seperti kehidupan sekarang. Bila ‘tak ada tonggak keyakinan
sulit pula untuk sebuah perjalanan.

Seiring waktu dan senja pun mulai tenggelam di ufuk barat dengan meninggalkan
goresan mega kemerahan.

Anda mungkin juga menyukai