Anda di halaman 1dari 8

BANJIR BANDANG, 2008

NAYANIKA GENTARI

“Para kakak-kakak dan adik-adik, ayo main di luar!” teriak Aksan dari
arah ruang tamu.

Kalandra masih berada di dapur, ia masih mencuci piring adik-adiknya. Ia


membantu pekerjaan ibunya agar cepat selesai. Sangat berbahaya jika
ibunya melakukan pekerjaan rumah tangga, karena ibunya masih dalam
pemulihan dari masa melahirkan. Sedangkan ayahnya berada di teras
rumah, sedang menyeruput kopi sembari membaca koran.

Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, Kalandra langsung menghampiri


adiknya yang berada di ruang tamu. Tapi di saat Kalandra berjalan
menyusuri 7 kamar sang adik, manik matanya tertuju pada kamar Hildan.

Cklek

Kalandra melihat Hildan yang sedang merebahkan diri tubuhnya di atas


kasur, dan jari tangannya bergerak memainkan ponselnya. Ia heran dengan
adiknya satu ini, tidak ada kerjaan selain memainkan ponsel.

“Hildan, yuk main sama adik-adik kita, mau ngga?” celetuk Kalandra.

Lima menit telah berlalu, Hildan masih tidak merespon pertanyaan


Kalandra. Ia baru menyadari jika Hildan sedang memakai headphone,
pantas saja ia tidak mendengarnya. Karena emosi Kalandra sudah
memuncak, akhirnya ia mendekati Hildan dan berteriak di telinga nya.

“Lo denger ga sih gue ngomong apa? Makanya tuh telinga jangan
disumpel pakai headphone, biar kalau ada yang panggil tuh terdengar.”
Hildan terkejut karena headphone yang ia pakai tiba-tiba dilepas paksa
oleh Kalandra. Ia sedikit mengerucutkan bibirnya, ia takut kalau
headphone nya rusak.

“Mas, pelan-pelan dong lepas headphone nya … mahal itu loh,” Hildan
menunjuk ke arah headphone miliknya yag masih dipegang Kalandra.

Kalandra menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Hildan. Ia menunjuk ke arah


headphone miliknya yang masih Kalandra pegang.

“Maaf, nih headphone nya, lain kali kalau ga terlalu penting jangan pakai
headphone ya? Oh iya … kamu mau main ke halaman depan? Yuk taruh
dulu hp nya, kita refreshing sebentar.” Belum sempat meletakkan
ponselnya, tangan Hildan sudah ditarik oleh Kalandra. Sehingga badannya
sedikit terhuyung karena tarikannya lumanyan kuat untuk ukuran
tubuhnya yang kecil.

“Anak-anak, makan siang dulu sebelum main!” teriak sang ibu dari arah
ruang makan.

Mereka hendak melangkahkan kakinya keluar rumah, namun harus


terhenti karena ibunya memanggil mereka untuk makan siang terlebih
dahulu.

Kalandra menghampiri ibunya, “Ada yang perlu aku bantu, ibu?

“Ada, tolong bawakan masakan ibu ke meja ya,” perintah.

“Siap ibu, tunggu sebentar ya!” Kalandra melesat ke dapur untuk


mengambil masakan ibunya yang belum dibawa ke meja makan.

Sang ayah, ibunya, Hildan, Arzan, Yovie, Aksan, Gifari, Ale dan Jordan
kecil sudah duduk manis menanti si sulung yang masih ada di dapur.
Beberapa menit kemudian, si sulung pun membawakan masakan yang
diperintahkan oleh ibunya tadi.
Kalandra meletakkan masakan yang ia bawa di meja makan. “Wah …
sudah berkumpul saja kalian ini, nah sekarang kita makan. Pelan-pelan ya
ambil nasi dan lauknya, dan kalau makan tidak boleh mengobrol.”

Mereka pun makan sore bersama-sama di ruang tamu yang suasananya


sangat teramat hangat. Sang ibu yang semakin cantik karena harus
merawat diri setelah adik bungsunya telah lahir.

Beberapa menit telah berlalu, ayahnya telah menyelesaikan makan


sorenya. Hanya selisih beberapa menit, diluar sana telah turun hujan yang
sangat lebat. Mereka kecewa, niat mereka untuk bermain sepak bola
digagalkan karena hujan yang tiba-tiba turun sangat lebat.

“Yah … tidak jadi main sepak bola dong? Hujannya sangat lebat begitu …
watashi sangat kecewa. Tapi ga masalah, setidaknya watashi bisa marathon
anime.” Protes Ghifari pada hujan yang tidak mempunyai salah apapun
padanya.

“Lu tau nya anime mulu Ghi, sekali-sekali sama kita gitu di ruang
keluarga.” Celetuk Hildan dengan nada ketus.

Ghifari berdecak, ia merasa kesal dengan sang kakak. padahal menonton


anime itu hobi yang paling disenangi. Daripada ia marah-marah tidak jelas
pada kakaknya, lebih baik dirinya menonton anime di kamarnya.

Kalandra yang melihat pertengkaran antara kakak dan adik itu, hanya bisa
geleng-geleng kepala. Baginya sudah tidak asing dengan pertengkaran
seperti ini. Bagi mereka, jika tidak bertengkar sehari saja seperti ada yang
kurang.

Kring kring kring

Telepon rumah tiba-tiba berbunyi, entah siapa yang malam-malam seperti


ini menelpon. Yang mendengar bunyi itu Jordan kecil, ia sedikit berjinjit
untuk mengambil gagang teleponnya.

“Hawo … ciapa ini? Peyyu cama ciapa?” tanyanya.


Valerio sedikit terkejut, karena yang mengangkat teleponnya bukan sang
kakak, tapi anaknya. “Eh halo Jordan, ini om Valerio. Om bisa ngomong
sama ibu kamu/’

Jordan mengangguk-anggukkan kepalanya, walaupun pamannya tidak bisa


melihat dirinya yang sedang menganggukkan kepala.

“Boyeh, tundu cebental ya!” Jordan sedikit menjauhkan telepon dari


telinganya, “ibuuuu, ada teyepon dali om io!”

Vida langsung berlari ke arah anaknya yang sedari tadi masih berdiri di
depan telepon rumahnya. Ia mengambil gagang telepon itu lalu
mendekatkannya di telinganya.

“Sana kamu main sama mas mu dulu. Assalamualaikum Rio, iya ada
apa? Kenapa telepon malam-malam gini?”

“Aku dapat kabar dari temanku yang ada di Situbondo, katanya air
sungai yang di kilometer itu sudah ada kenaikan. Amankan anak-
anak mu mbak, jangan sampai ada yang hilang.”

“Oh itu, iya mbak juga sudah tau tentang berita itu, ini aja lagi hujan
deras.”

“Pokoknya hati-hati aja ya mbak. Soalnya anakmu banyak, perlu


diperingati satu-satu. Yaudah aku tutup ya mbak,
wassalamualaikum.”

“Waalaikumsalam”

Panggilan yang berdurasi sekitar 1-5 menit itu telah berakhir. Dia melihat
ke arah tempat anaknya berdiri tadi, tapi anak itu tidak ada disana. Ia
dimana? Mungkin anak itu sedang bersama ayahnya.
Pada pukul 18.30 WIB, hujan tidak kunjung berhenti dan air sudah
semakin naik. Mau tidak mau Vida harus memberitahu semua anaknya
agar mereka bersiap siaga dari sekarang.

Vida segera berlari ke kamar anaknya, dia mengetok pintunya satu-satu.


”Kala, Hildan, Arzan, Yovie, Aksan, Ghifari, Ale kalian siap-siap. Barang-
barang kalian semuanya diamankan ke tempat yang lebih tinggi ya! I uke
kamar dulu bangunin adik kalian.”

Setelah Vida memberitahu semua anaknya, dia harus segera pergi ke


kamar si bungsu. Karena dia masih tertidur lelap.

"Adik kecil, bangun dulu yuk? Ayah bangun, jagain Jordan dulu. Aku mau
amankan barang-barang kita, di luar air sudah mulai naik."

"Iya, yuk Jordan sama ayah dulu." Rizal beranjak dari kasurnya lalu
menggendong si bungsu.

Semua anaknya membantu kecuali Jordan, dia digendong oleh ayahnya.


Neneknya sedang duduk menonton televisi sejak tadi, dan kakeknya masih
sedang makan malam.

Air di luar rumah yang semula masih berada di tangga pertama, kini sudah
mulai memasuki teras rumah. Ravin mengecek kondisi di halaman
sebelah, seberapa airnya telah naik.

"Dek, ini Jordan kamu gendong dulu. Aku mau pasang penghalang air di
sebelah, sudah hampir masuk." Rizal memberikan anaknya pada ibunya
agar digendong sebentar.

"Ibu, athu tatut .... " rengeknya, "cup cup sayang, tidak akan. Tuh lihat,
sudah ayah pasang kan?"

Jordan menyembunyikan kepalanya di ceruk leher ibunya, dia takut


dengan air. Sebenarnya tidak takut, hanya saja takut tenggelam katanya.
Sedikit demi sedikit air mulai masuk ke dalam rumah, penghalang air yang
dipasang oleh Rizal sia-sia. Untung saja barang-barangnya sudah berada di
tempat yang tinggi dan tentunya aman.

"ARZAN BANGUN WOY! DILUAR UDAH BANJIR NOH, LO MAU


HANYUT GITU? BANGUN BURUAN ANJIR!!!" Hildan menggoyang-
goyangkan pundak sang adik agar terbangun dari tidurnya.

Karena masih belum terbangun, akhirnya Hildan berlari ke kamar adiknya,


Ghifari. Dia menyuruh untuk menggendong Arzan ke atas kasurnya.
Percuma saja dibangunkan, Arzan saja sulit dibangunkan.

"Dek, buruan ke kamarnya Arzan! Bantuin mas, gendong dia ke atas


kasurnya. Dia masih tidur, ayo!" Hildan menarik tangan Ghifari agar
bergegas ikut dengannya.

Ghifari ingin protes karena tangannya ditarik sangat kuat oleh kakaknya.
Tapi untuk sekarang, keselamatan kakaknya yang terpenting.

Cklek

Hildan dan Ghifari mendekat ke ranjang tidurnya, lalu mereka


menggendong Arzan dan membawanya keatas kasurnya. Karena sewaktu
mereka berdua baru masuk ke kamarnya, Arzan tidur di lantai.

Air mulai masuk ke pusat kota sekitar pukul 22.00 WIB, Jumat (8/2/2008)
dengan ketinggian yang terus bertambah hingga Sabtu (9/2/2008) pukul
00.01 WIB. Ada 4 kecamatan yang terendam banjir, di Kecamatan Kota
yakni Panarukan, Panji, Kapongan. Sedangkan dua kecamatan lain yang
dilanda banjir diakibatkan luapan Sungai Palelangan yakni kecamatan
Mlandingan dan kecamatan Bungatan.

"Mas, kamu gendong Jordan ya? Anak-anak yang lain biar sama aku
ngungsinya. Kamu kuat kan gendong Jordan?" Tanyanya.

"Aku kuat kok! Sini sayang, sama ayah dulu." Rizal mengambil alih
gendongan dari sang ibu.
Sementara 7 kakaknya sedang panik dan untung saja mereka semua bisa
berenang. Jika tidak bisa berenang sangat bahaya. Tapi ibu Vida
bagaimana? Apakah beliau bisa berenang? Mau tidak mau Ravin juga
harus membantu mertuanya.

"Ibu kemari, akan saya gendong. Bahaya jika ibu tidak diselamatkan
dahulu. Jordan di depan ya? Biar nenek di belakang."

Kemudian Rizal merendahkan tubuhnya untuk menggendong sang mertua


di punggung, sedangkan anak bungsunya berada di depannya.

Mereka semua akan mengungsi ke tempat yang lumayan tinggi, lebih


tepatnya di panti asuhan asrama laki-laki. Disana tempatnya lumayan
cukup besar untuk menampung warga yang terkena banjir selain mereka.

Vida baru menyadari bahwa sang kakak tidak menampakkan diri, "mas,
mas Edwin kemana? Atau jangan-jangan dia ...."

Pikiran Vida sudah kalang kabut dikala itu, bagaimana kondisi sang
kakak? Apakah dia selamat atau justru tidak?

Disisi lain anak-anaknya masih sibuk menggendong saudaranya yang


tidak bisa berenang. Mereka saling membantu satu sama lain agar
semuanya terselamatkan.

Vida mengecek satu persatu anaknya, apakah anaknya lengkap? Satu ...
dua ... tiga ... hitungan terhenti di hitungan ke enam, kemana satu anaknya
lagi?

"Hildan, adik kamu kemana? Kok Arzan sama Ghifari tidak ada disini?"
Tanyanya.

Hildan menghitung lagi para adik-adiknya secara teliti. Namun hitungan


sang ibu ternyata benar, ada satu adiknya yang tidak bersama mereka yaitu
Arzan dan Ghifari.
"Loh? Ibu, Arzan dan Ghifari kemana? Bukannya tadi sama kita ya,
Kala?" Hildan menoleh ke arah Kalandra untuk mendapatkan jawaban dari
pertanyaan yang baru saja ia tanyakan.

"Aku juga tidak tau, Hildan. Kita berdoa saja semoga mereka berdua dan
om Edwin baik-baik saja." Kalandra menghembuskan nafasnya dengan
kasar.

Semoga Edwin, Arzan dan Ghifari diberi keselamatan dari peristiwa banjir
yang sedang melanda kota Situbondo.

Bionarasi Penulis
Nayanika Gentari atau yang lebih sering disapa Naya merupakan seorang
penulis muda kelahiran Bondowoso, 2 Februari 2004. Menulis cerpen
merupakan hobinya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Hobi menulis cerpen yang dimilikinya semakin berkembang ketika dirinya
memasuki dunia perkuliahan.

Kala itu, Naya kerap menulis cerpen dikarenakan dia ini merasa sangat
bosan tidak melakukan apapun ketika berdiam diri. Cerpen miliknya
berjudul Two Bestfriends dan Banjir Bandang, 2008 yang Naya unggah di
platform Wattpad pada 13 Juli 2023 dan.

Untuk saat ini Naya masih mengalami Writer’s Block, namun dia masih
berkeinginan untuk melanjutkan kembali hobi menulisnya ini. Untuk
mengetahui berbagai kegiatan dan cerpen baru yang akan segera Naya
lakukan, bisa dilihat di akun Instagram @nayanika_g2223

Anda mungkin juga menyukai