Anda di halaman 1dari 5

BANJIR BANDANG 2008

15 tahun silam.

"Para kakak dan adik-adik, ayo main di luar!" Teriak Aksan dari ruang tamu.

Kalandra masih berada di dapur, dia masih mencuci piring adik-adiknya. Dia membantu pekerjaan
ibunya agar cepat selesai. Sangat berbahaya jika ibunya melakukan pekerjaan rumah tangga, karena
ibunya masih dalam pemulihan dari masa melahirkan. Sedangkan ayahnya berada di teras rumah,
sedang meminum kopi sembari membaca koran.

Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, Kalandra langsung menghampiri adiknya yang berada di ruang
tamu. Tapi di saat Kalandra berjalan menyusuri 7 kamar sang adik, manik matanya tertuju pada
kamar Hildan.

Cklek.

Kalandra melihat Hildan yang sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur, dan tangannya bergerak
memainkan ponselnya. Dia heran dengan adiknya satu ini, tidak ada kerjaan selain memainkan
ponsel.

"Hildan, yuk main sama adik-adik kita, mau?" tanya Kalandra.

Lima menit telah berlalu, Hildan tidak merespon pertanyaan Kalandra. Dia baru menyadari jika
Hildan sedang memakai headphone, pantas saja dia tidak mendengarnya. Karena emosi Kalandra
sudah memuncak, akhirnya dia mendekati Hildan dan berteriak di telinga nya.

"Lo denger ga sih gue ngomong apa? Makanya tuh telinga jangan disumpel pakai headphone, biar
kalau ada yang panggil tuh terdengar." kata Kalandra

Hildan terkejut karena headphone yang dia pakai tiba-tiba dilepas oleh Kalandra. Dia sedikit
mengerucutkan bibirnya, dia takut kalau headphone nya rusak.

"Mas, pelan-pelan dong lepas headphone nya ... mahal itu loh," kata Hildan sembari menunjuk ke
arah headphone miliknya yang masih dipegang Kalandra.

Kalandra menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Hildan. Dia menunjuk ke arah headphone miliknya
yang masih dia pegang.

"Maaf, nih headphone nya, lain kali kalau ga terlalu penting jangan pakai headphone ya? Oh iya ...
kamu mau main ke halaman depan? Yuk taruh dulu hp nya, kita refreshing sebentar." kata Kalandra
Belum sempat meletakkan ponselnya, tangan Hildan sudah ditarik oleh Kalandra. Sehingga badannya
sedikit terhuyung karena tarikannya lumayan kuat baginya.

"Anak-anak, makan siang dulu sebelum main!" Teriak sang ibu dari arah ruang makan.

Mereka hendak melangkahkan kakinya keluar rumah, namun harus terhenti karena ibunya
memanggil mereka untuk makan siang terlebih dahulu.

Kalandra menghampiri ibunya, "ada yang perlu aku bantu, ibu?" tanya Kalandra.

"Ada, tolong bawakan masakan ibu ke meja ya," perintah Vida pada Kalandra.
"Siap ibu, tunggu sebentar ya!" kata Kalandra, lalu ia melesat ke dapur untuk mengambil masakan
ibunya yang belum dibawa ke meja makan.

Sang ayah, ibunya, Hildan, Yunanda, Yovie, Aksan, Ghifari, Ale dan Jordan kecil sudah duduk manis
menanti si sulung yang masih ada di dapur. Beberapa menit kemudian, si sulung pun membawakan
masakan yang diperintahkan oleh ibunya.

Kalandra meletakkan masakan yang di bawanya di meja makan. "Wah ... sudah berkumpul saja
kalian ini, nah sekarang kita makan. Pelan-pelan ya ambil nasi dan lauknya, dan kalau makan tidak
boleh mengobrol."

Mereka pun makan sore bersama-sama di ruang tamu yang suasananya sangat teramat hangat. Sang
ibu yang semakin cantik karena harus merawat diri setelah sang adik lahir.

Beberapa menit telah berlalu, ayahnya telah menyelesaikan makan sorenya. Hanya selisih beberapa
menit, diluar sana telah turun hujan yang sangat lebat. Mereka kecewa, niat mereka untuk bermain
sepak bola digagalkan karena hujan yang tiba-tiba turun sangat lebat.

"Yah ... tidak jadi main sepak bola dong? Hujannya sangat lebat begitu ... watashi sangat kecewa.
Tapi ga masalah, setidaknya watashi bisa marathon anime." Protes Ghifari pada hujan yang tidak
mempunyai salah apapun padanya.

"Lu tau nya anime mulu ghi, sekali-sekali sama kita gitu di ruang keluarga." kata Hildan dengan nada
ketus.

Ghifari berdecak, dia merasa kesal dengan sang kakak. Padahal menonton anime itu hobi yang paling
dia senangi. Daripada dia marah-marah tidak jelas pada kakaknya, lebih baik dirinya menonton
anime di kamarnya.

Kalandra yang melihat pertengkaran antara kakak dan adik itu, hanya bisa geleng-geleng kepala.
Baginya sudah tidak asing dengan pertengkaran seperti ini. Bagi mereka, jika tidak bertengkar sehari
saja seperti ada yang kurang.

Kring kring kring

Telepon rumah tiba-tiba berbunyi, entah siapa yang malam-malam seperti ini menelepon. Yang
mendengar bunyi itu Jordan kecil, dia sedikit berjinjit untuk mengambil gagang teleponnya.

"Hawo ... ciapa ini? Peyyu cama ciapa?" Tanyanya.

Valerio sedikit terkejut, karena yang mengangkat teleponnya bukan sang kakak tapi anaknya. "Eh
halo Jordan, ini om valerio. Om bisa ngomong sama ibu kamu?"

Jordan mengangguk-anggukkan kepalanya, walaupun pamannya tidak bisa melihat dirinya yang
sedang menganggukkan kepala.

"Boyeh, tundu cebental ya!" kata Jordan sedikit menjauhkan telepon dari telinganya, "ibuuuu, ada
teyepon dali om io!"

Vida langsung berlari ke arah anaknya yang sedari tadi masih berdiri di depan telepon rumah. Dia
mengambil gagang telepon itu lalu mendekatkannya di telinganya.

"Sana kamu main sama mas mu dulu. Assalamualaikum Rio, iya ada apa? Kenapa telepon malam-
malam gini?"
"Aku dapat kabar dari temanku yang ada di Situbondo, katanya air sungai yang di kilometer itu
sudah ada kenaikan. Amankan anak-anak mu mbak, jangan sampai ada yang hilang."

"Oh itu, iya mbak juga sudah tau tentang berita itu, ini aja lagi hujan deras." Vida sedikit melirik ke
arah luar rumah.

"Pokoknya hati-hati aja ya mbak. Soalnya anakmu banyak, perlu diperingati satu-satu. Yaudah aku
tutup ya mbak, wassalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam,"

Panggilan yang berdurasi sekitar 1-5 menit itu telah berakhir. Dia melihat ke arah tempat anaknya
berdiri tadi, tapi anak itu tidak ada disana. Dia dimana? Mungkin anak itu sedang bersama ayahnya.

Pada pukul 18.30 WIB, hujan tidak kunjung berhenti dan air sudah semakin naik. Mau tidak mau Vida
harus memberitahu semua anaknya agar mereka bersiap siaga.

Vida segera berlari ke kamar anaknya, dia mengetok pintunya satu-satu. "Kala, Hildan, Yunanda,
Yovie, Aksan, Ghifari, Ale kalian siap-siap. Barang-barang kalian semuanya diamankan ke tempat
yang lebih tinggi ya! Ibu ke kamar dulu bangunin adik kalian."

Setelah Vida memberitahu semua anaknya, dia harus segera pergi ke kamar si bungsu. Karena dia
masih tertidur lelap.

"Adik kecil, bangun dulu yuk? Ayah bangun, jagain Jordan dulu. Aku mau amankan barang-barang
kita, di luar air sudah mulai naik."

"Iya, yuk Jordan sama ayah dulu." Rizal beranjak dari kasurnya lalu menggendong si bungsu.

Semua anaknya membantu kecuali Jordan, dia digendong oleh ayahnya. Neneknya sedang duduk
menonton televisi sejak tadi, dan kakeknya masih sedang makan malam.

Air di luar rumah yang semula masih berada di tangga pertama, kini sudah mulai memasuki teras
rumah. Rizal mengecek kondisi di halaman sebelah, seberapa airnya telah naik.

"Dek, ini Jordan kamu gendong dulu. Aku mau pasang penghalang air di sebelah, sudah hampir
masuk." Rizal memberikan anaknya pada ibunya agar digendong sebentar.

"Ibu, athu tatut .... " rengeknya, "cup cup sayang, tidak akan. Tuh lihat, sudah ayah pasang kan?"

Jordan menyembunyikan kepalanya di ceruk leher ibunya, dia takut dengan air. Sebenarnya tidak
takut, hanya saja takut tenggelam katanya.

Sedikit demi sedikit air mulai masuk ke dalam rumah, penghalang air yang dipasang oleh Rizal sia-sia.
Untung saja barang-barangnya sudah berada di tempat yang tinggi dan tentunya aman.

"YUNAN BANGUN WOY! DILUAR UDAH BANJIR NOH, LO MAU HANYUT GITU? BANGUN BURUAN
ANJIR!!!" Hildan menggoyang-goyangkan pundak sang adik agar terbangun dari tidurnya.

Hildan berlari ke kamar adiknya, Ghifari. Dia menyuruh untuk menggendong Yunanda ke atas
kasurnya. Percuma saja dibangunkan, Yunanda saja sulit dibangunkan.

"Dek, buruan ke kamarnya Yunan! Bantuin mas, gendong dia ke atas kasurnya. Dia masih tidur, ayo!"
kata Hildan menarik tangan Ghifari agar bergegas ikut dengannya.
Ghifari ingin protes karena tangannya ditarik sangat kuat oleh kakaknya. Tapi untuk sekarang,
keselamatan kakaknya yang terpenting.

Cklek

Hildan dan Ghifari mendekat ke ranjang tidurnya, lalu mereka menggendong Yunanda dan
membawanya keatas kasurnya. Karena sewaktu mereka berdua baru masuk ke kamarnya, Yunanda
tidur di lantai.

Air mulai masuk ke pusat kota sekitar pukul 22.00 WIB, Jumat (8/2/2008) dengan ketinggian yang
terus bertambah hingga Sabtu (9/2/2008) pukul 00.01 WIB. Ada 4 kecamatan yang terendam banjir,
di Kecamatan Kota yakni Panarukan, Panji, Kapongan. Sedangkan dua kecamatan lain yang dilanda
banjir diakibatkan luapan Sungai Palelangan yakni kecamatan Mlandingan dan kecamatan Bungatan.

"Mas, kamu gendong Jordan ya? Anak-anak yang lain biar sama aku ngungsinya. Kamu kuat kan
gendong Jordan?" Tanyanya.

"Aku kuat kok! Sini sayang, sama ayah dulu." Rizal mengambil alih gendongan dari sang ibu.

Sementara 7 kakaknya sedang panik dan untung saja mereka semua bisa berenang. Jika tidak bisa
berenang sangat bahaya. Tapi ibu Vida bagaimana? Apakah beliau bisa berenang? Mau tidak mau
Rizal juga harus membantu mertuanya.

"Ibu kemari, akan saya gendong. Bahaya jika ibu tidak diselamatkan dahulu. Jordan di depan ya? Biar
nenek di belakang."

Kemudian Rizal merendahkan tubuhnya untuk menggendong sang mertua di punggung, sedangkan
anak bungsunya berada di depannya.

Mereka semua akan mengungsi ke tempat yang lumayan tinggi, lebih tepatnya di panti asuhan
asrama laki-laki. Disana tempatnya lumayan cukup besar untuk menampung warga yang terkena
banjir selain mereka.

Vida baru menyadari bahwa sang kakak tidak menampakkan diri, "mas, mas Edwin kemana? Atau
jangan-jangan dia ...."

Pikiran Vida sudah kalang kabut dikala itu, bagaimana kondisi sang kakak? Apakah dia selamat atau
justru tidak?

Disisi lain anak-anaknya masih sibuk menggendong saudaranya yang tidak bisa berenang. Mereka
saling membantu satu sama lain agar semuanya terselamatkan.

Vida mengecek satu persatu anaknya, apakah anaknya lengkap? Satu ... dua ... tiga ... hitungan
terhenti di hitungan ke enam, kemana satu anaknya lagi?

"Hildan, adik kamu kemana? Kok Yunan sama Ghifari tidak ada disini?" tanya Vida.

Hildan menghitung lagi para adik-adiknya secara teliti. Namun hitungan sang ibu ternyata benar, ada
satu adiknya yang tidak bersama mereka yaitu Yunanda dan Ghifari.

"Loh? Ibu, Yunan dan Ghifari kemana? Bukannya tadi sama kita ya, Kala?" tanya Hildan, ia menoleh
ke arah Kalandra untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang baru saja ia tanyakan.

"Aku juga tidak tau, Hildan. Kita berdoa saja semoga mereka berdua dan om Edwin baik-baik saja."
Kalandra menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Semoga Edwin, Yunanda dan Ghifari diberi keselamatan dari peristiwa banjir yang sedang melanda
kota Situbondo.

Anda mungkin juga menyukai