Anda di halaman 1dari 3

Seekor burung pipit terbang rendah.

Mengeja kata membentuk kepakan berirama untuk menuju


sarang. Di sarang, beberapa anaknya telah membuat sebuah penantian dengan mulut menganga,
tanda lapar. Tangis anak pipit takkan terdengar. Apa lagi di tengah guyur hujan ketika Dinu
merujuk. Ia memang kerap seperti itu. Mengkhayali entah. Mendekap ibunya dalam pelukan di
balik jendela. Berdua, mereka menatap burung pipit yang terbang rendah tadi. Lalu, masuk ke
sebuah semak dan tidak kembali.

Dinu masih saja memperhatikan semak itu, sementara sang ibu melakukan hal lain. hal yang
tidak pernah Dinu tahu dengan jelas. Keinginan yang coba diajukan di tolak Ibu mentah-mentah.
Ia sadar. Tiada mungkin, Ibu mengijinkannya keluar dalam rinai hujan, membawa payung yang
hasilnya percuma. Tidak menghindari basah dari tubuhnya. Paling-paling Ibunya akan
mengatakan di sana ada Kucing, atau Beruang. Dua hal yang paling ditakutkan Dinu.
“Ibu, apa itu di balik semak? Bulung tadi di makan om yang besal.” Teriak Dinu pada ibunya.
“Dinu sayang, itu cuma beruang, makanya jangan keluar. Nanti Dinu di makan.” Sahut ibu
dengan ketus. Beberapa saat berselang, Dinu kembali memulai debutnya. “Ibu beluang tadi
masih di cana, malah ada lagi beluang lain. Lebih kecil. Bajunya putih bu, lambutnya panjang.
Itu beluang apa bu?” Ibu yang sedang memasak makan malam tentu risih mendengar anak
semata wayangnya yang tiada henti mengeja tanya dari balik jendela. Tiada jawaban dari sang
Ibu, si Dinu kembali ke ruang makan sementara Ibunya menutup toko di depan rumah karena
senja terus merangkak naik. Malam akan segera bersambut nyata.

Seperti biasa, keluarga Dinu akan menyantap makan malam bersama. Melepas lelah sambil
berbincang riuh menjaga kebersamaan yang semu. Semua begitu mengharukan. Canda ayah pada
anak, Ibu pada anak, dan ayah pada Ibu. Semua begitu indah terlihat secara kasat mata. “Ayah,
tadi Dinu melihat Beluang dan anaknya yang kecil tapi lambutnya panjang. Lebih panjang dali
ibu dan Dinu. Meleka jahat. Bulung pipit dan ayam kita di makan. Padahal Dinu juga suka
ayam.” Rujuk Dinu pada ayahnya. Sang ayah hanya menggelang senang lalu memeluk putri
kesayangannya. “Biasa pa anak kecil. Tadi mama asal bilang aja. Mama bilang itu Beruang sama
Kucing. Biar dia tidak keluar waktu hujan.” Kata Ibu Dinu memberi alibi pada suaminya.

Keesokan paginya, Dinu melihat tempat di mana Beruang dan Kucing itu keluar. Tempat itu di
belakang rumahnya. Didapatilah beberapa ekor ayam milik ayahnya mati dan sebuah kotak
misterius tergeletak. Dinu menangis sejadi-jadinya. Kontan saja Ibunya langsung berlari
melawan rasa lelah yang menggerogoti IRT secara umumnya. Ibu Dinu terkejut melihat bangkai
ayam dan anaknya yang telah menangis di tambah sebuah kotak misterius yang terus di genggam
anaknya. Sang Ibu tidak sempat menanyakan rimba ayam-ayamnya dan memilih menenangkan
sang anak yang menangis bagai orang kesurupan.

Beberapa saat, tangisan Dinu terhenti. Ia bercerita bahwa ia sedih ayam-ayamnya telah mati. Di
makan beruang dan Kucing tempo hari. Ibunya pun hanya menggeleng bingung dan kembali
duduk melayani pelanggan toko yang akhir-akhir ini sangat sepi. Anehnya, baru saja Ibu Dinu
sampai di teras toko, belasan pelanggan telah menjejali tepat itu. Tidak seperti biasanya. Dalam
sekejap, dagangannya ludes terjual dengan sempurna. Masih sempat-sempatnya Ibu Dinu
memelototi dagangan itu dengan perasaan tidak percaya. Heran, kalut, senang. Sungguh perasaan
yang tak terdefinisi kata. Atau jiwa yang tak percaya dengan mukjizat. Mukjizatkah? Atau
berhubungan dengan kotak misterius yang di taruh Dinu di toko itu? Entahlah.
Tidak seperti biasanya, makan malam selanjutnya berubah mewah. Semewah hotel berbintang
lima. Ibu Dinu tidak bosan-bosannya menceritakan hal itu kepada suaminya. Sesaat, keluarga
tersebut diselimuti suka-cita dibanjiri pelanggan. Sungguh surga dunia. Dinu yang ikut-ikutan
tertawa, angkat bicara. “Ayah, Ibu, Dinu lihat om beluang ama tante kucing lagi tadi sole.
Meleka main di deket lumah kita. Meleka juga Dinu lihat ke lumah Yanu.” Sambil menunju arah
rumah temannya yang hanya beberapa meter. “Dinu, mungkin om Beruang sama tante Kucing
lagi pengen jalan-jalan. Makanya jangan keluar malem, nanti Dinu di makan.” Kata ayahnya
mencoba mengikuti jalan pikiran anaknya. Tanpa sadar, sebuah mind-set perlahan menyeruak
untuk jadi ideologi.

Keesokan harinya, Yanu menghilang dari rumah. Orang tuanya khawatir minta ampun. Begitu
pula dengan Dinu. Tapi tidak bagi Ibu Dinu yang terlanjur sibuk mengurusi pelanggan yang kian
membeludak jumlahnya. Sangat banyak. Segelintir kabarpun cuma di anggap lalu oleh Ibu Dinu.

Efek kotak ajaib itu dipercaya oleh orang tua Dinu sebagai pembawa mukjizat bagi tokonya.
Padahal kotak itu kecil, terbuat dari kayu yang di cat merah-putih-hitam melintang. Sebuah pintu
kecil mengundang ingin tuk membukanya. Tapi, Dinu melarang niat kedua orangnya. Entah
mengapa.

Dari hari ke hari, Dinu semakin sering membicarakan Beruang dan Kucing yang katanya selalu
mengunjunginya. Tentu saja Ayah dan Ibu Dinu terus memberikan pengalihan perhatian. Sebab,
kelogisan pernyataan anak mereka sangat jauh dari realita. Tentu tidak mungkin adanya. Tapi,
mereka percaya kelogisan yang jauh dari realita lain. yaitu, jumlah pelanggan yang hingga
membuat antrian panjang. Sangat panjang untuk sebuah toko kecil di depan rumah.

Rasa penasaran tentu membelenggu raga mereka untuk melihat isi kotak tersebut. Kotak yang
saat ini masih tergeletak di atas kulkas di toko mereka. Kotak itukah penyebabnya? Tiada yang
tahu. Maka, rasa penasaran mendorong mereka membukanya saat Dinu tidur. Betapa terkejutnya
mereka setelah mendapati kotak tersebut berisi sebuah. Bukan sebuah, tapi beberapa buah
hampa, yang berarti tidak berisi apa-apa. Segera mereka tempatkan kotak itu di posisi awalnya
seperti sedia kala, berharap tidak akan terjadi apa-apa.

Pagi hari yang cerah, Ibu dinu membuka toko lebih awal. Tengah hari sudah, tiada seorangpun
pelanggan yang singgah. Aneh, pasca dibukanya kotak itu, tiada batang hidung yang nampak.
Tidak seperti hari-hari kemarin. Bingung sang Ibu semakin dilapisi rasa bersalah akan penasaran
yang telah membuka kotak misterius itu. Berbuah sesuatu yang ada di dalamnya, hampa. Dinu
juga belum keluar dari kamarnya. Dalam tubuh yang tergontaikan angin, sang Ibu hendak
melihat buah cinta yang paling ia sayangi.

Betapa terkejutnya ia setelah menemukan hampa lain. Hampa akan anaknya yang tiada tampak.
Seisi kamar di babat habis dalam kegalauan yang tiada tara. Semua keluarga besar diberitahu.
Juga polisi, juga pemadam kebakaran dan banyak lagi. Akhirnya, sebuah surat yang di tulis
anaknya dengan tulisan yang agak sulit terbaca menjawab semua. “Yah, Ibu, Dinu di ajak main
sama om Beluang dan tante Kucing. Mereka tadi ke cini lewat tembok belakang lumah. Dada.”
Seketika tubuh ibu terjatuh ke lantai dan hanya melihat hampa.

Anda mungkin juga menyukai