Anda di halaman 1dari 4

ADIKKU, SAYANG

“Ma..., kaosku mana ?”, teriak Dimas dari kamarnya. “Topiku juga... “.
“Emangnya kamu simpan di mana ?”
“Itulah Dimas, kamu sembrono “, sahut mama dari dapur.
“Ah mama, bantuin dong... , udah telat nih “,teriaknya lagi sambil mengaduk- aduk isi lemari dan
kamarnya.
“Dimas, bisa diam gak sih, ni masih waktu tidur, tau !”, aku berteriak dari kamarku.
“Intan, lihat gak topi adikmu ?”, kudengar suara mama pelan dari balik pintu.
“Ah suruh cari sendiri, Ma “, jawabku ketus.
Jengkelku mulai naik lagi. Soalnya Dimas, adikku itu paling tidak bisa meletakkan sesuatu
pada tempatnya. Biarpun aku dan seisi rumah sudah mengingatkannya beratus bahkan mungkin
beribu kali. Setiap kali pulang sekolah, di mana saja membuka sepatu, kaos, topi, seragam dan
tasnya, maka di situlah ia meninggalkannya. Tidak peduki di ruang tamu, depan TV, di dapur, di
lantai, pokoknya di mana saja. Dan esoknya ketika akan berangkat sekolah, jadilah seperti pagi ini.
Untungnya ketika kuteriaki tadi, dia tidak menyahut. Sebab kalau iya, sekali saja, bakalan heboh lagi
suasana rumah sepagi ini. Bukan sekali aku mengomel pada mama, agar jangan membantunya
mencari barang- barangnya yang hilang itu, biar dia jera. Tapi nyatanya tidak. Mama memang
perempuan yang sabar, yang penuh kasih pada anak- anaknya. Dengan sepenuh- penuh
kesabarannya, ia membantu mencari kaos dan topi yang hilang itu, sampai dapat. Membuatku
semakin dongkol dan tetap melingkar di bawah selimutku. Meski tidak tidur lagi, hanya menunggu
adikku itu berangkat sekolah, dengan deru motornya yang membuat gendang telingaku berdenging.
Bahkan kadang timbul juga usilku, bila aku capek menasihatinya dan dia acuh tak acuh.
Sengaja aku menyembunyikan salah satu keperluan sekolahnya yang tidak bisa tidak, harus dia pakai
hari itu. Sampai- sampai dia pernah terlambat gara- gara keusilanku itu, dan tentu saja ia dihukum.
Kukira itu membuatnya sedikit sadar. Ternyata tidak. Gilirannya, aku yang semakin dongkol. Karena
tugasku merapikan rumah, maka akulah yang harus meletakkan semua barang- barangnya yang
terhambur itu ke tempatnya. Dan rupanya, adikku itu senang sekali memanggilku “pembantu”. Satu
kata yang amat kubenci dan selalu kuhubung- hubungkan dengan harga diri sebagai perempuan.
Dimas tahu kelemahanku.
Aku berpikir, “Apa susahnya sih, membuka sepatu dan kaos kaki di teras lalu menyimpannya
di rak sepatu atau membuka seragam di kamar lalu mengaitkannya di gantungan baju ?”.
Tapi ya Dimas memang childish banget. Mandinya saja masih diingatkan, padahal sudah di
kelas tiga SMU loh. Apalagi soal belajar, tak usah dikatakan lagi, buku- bukunya disiapkan nanti pagi-
pagi, akan berangkat sekolah.
Tapi gak usah heran dulu, Dimas idola loh di sekolahan. Karena selain jago basket, wajahnya
juga memang mirip aktor laga “CHOKY ANDRIANO”.

Sebulan kemudian.
Menjelang matahari sampai ke titik kulminasi, aku selesai siaran. Aku berkemas hendak ke
kampus. Tapi tiba- tiba, ponselku berdering. Ya apes deh, Mas Andi tidak bisa menjemputku.
Kurogoh sakuku, hanya ada selembar ribuan, sisa dari alat- alat kosmetik yang kuborong tadi. Aku
gak bisa sampai kampus dengan seribu perak itu, apalagi ke rumah. Untuk sejenak aku manyun, sesal
merasuk.
Aku cepat- cepat berjalan melintasi angkot yang berseliweran memenuhi jalan raya,
berharap Dimas masih ada di sekolahnya. Aku menunggu di halaman. Tapi sampai sekolah tutup,
Dimas tidak ada.
“Oh... rupanya bolos anak itu “, batinku geram. Aku melangkah pulang bersama anak- anak
SMU itu, sambil berjanji akan memberinya pelajaran di rumah kelak, “awas !”.
“Mbak Intan... “, seseorang menepuk pundakku.
“Hei, Ririn...,” sapaku terkejut
“ Mbak, Dimas kemana ya ?
“Lho, setiap hari ke sekolah kok, tadi juga, tapi justru mbak mau nanya sama kamu, Dimas
masuk apa gak hari ini, soalnya Mbak tungguin tapi gak ada”.
Ririn menggeleng. “Sudah hampir sebulan Dimas gak masuk, mbak. Dia aneh. Padahal...”
Aku menghentikan langkahku sambil menatap wajah imutnya.
“Padahal, kenapa... ?”
“Boleh aku bicara serius, Mbak?”
“Pengen ngomong apa, Rin, ngomong ajalah”, sahutku ringan lalu menariknya berteduh di
bawah sebatang pohon pelindung di sepanjang jalan itu. Memang sih lumayan jauh juga jarak
sekolah dengan jalan raya, mungkin sekitar 1 km.

“Gak mungkin, Rin. Gak mungkin...”. Tanpa sadar aku telah menangis. Aku terkejut bukan
kepalang mendengar pengakuan Ririn.
“Semula aku ingin mengatakannya pada Dimas, Mbak. Dia mesti tanggung jawab. Tapi dia
gak mau ketemu aku, makanya untung aku ketemu Mbak di sini”.
“Keterlaluan”, hanya itu yang terucap dari bibirku.

Satu minggu lamanya aku seperti orang linglung. Aku benar- benar takut bilang ke mama dan
papa. Sementara tidak bisa tidak, aku harus percaya pada Ririn. Dia telah periksa ke dokter dan...
positif !Ririn benar- benar hamil, kalau dibiarkan kandungannya akan semakin besar. Tidak...! Mesti
ada yang tanggung jawab.
Diam- diam aku selalu memperhatikan tingkah adikku. Ketika ke sekolah katanya, aku
menyelinap ke kamarnya. Aku tidak heran dengan pemandangan di kamar itu. Persis kapal pecah !
seprei, sarung bantal, pembungkus rokok, beberapa keping kaset VCD, beberapa botol kosong dan
pakaian kotor, bercampur jadi satu. Hampir sejam aku membenahinya. Dan ya ampun, tanganku
gemetar begitu mendapatkan beberapa bungkus bubuk morphin di bawah tumpukan baju adikku.
Aku terhenyak di tempat tidur, sesaat ingatanku melayang pada Ririn.
“Malang benar, adikku”.

Tidak. Bukan kami yang salah. Keluarga kami, yang walaupun tidak bisa disebut mewah tapi
juga masih mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau soal kasih sayang, aku juga merasa tidak
kekurangan kok. Hanya adikku yang salah pergaulan. Hatiku merentak. Dimas adikku yang semata
wayang, seluruh kasih sayangku sebagai kakak hanya kucurahkan kepadanya, lupakan dulu soal
pertengkaran- pertengkaran kami setiap paginya. Tapi apa yang terjadi sekarang?
Tiga hari berturut- turut aku menggeledah kamar adikku, dan tiga hari pula kutemukan
barang- barang laknat itu. Hari terakhir, yaitu selasa pagi. Aku masih termenung di kamar Dimas,
ketika aku dikejutkan jerit mama dari ruang tamu. Begitu tiba di dekat mama, mama langsung
memelukku.
“Adikmu jadi buronan polisi, Tan...”, kata mama terisak. Kabar itu tidak mengejutkan aku,
malah sebenarnya ada kabar yang lebih buruk. Tapi aku menjaga kondisi mama, paling tidak untuk
saat ini. Mama sangat labil.
Tapi apa yang kupendam ternyata tidak bertahan lama. Karena sesudah sholat maghrib, ada
telepon dari rumah sakit yang mengabarkan, kalau adik manjaku, Dimas, kini terbaring di sana. Dia
tabrakan setelah mabuk dan over dosis. Mama sudah tidak mampu berucap apa- apa. Kami semua
berkemas menjenguk Dimas, tapi sebuah jeep Toyota berhenti depan rumah. Lalu turun beberapa
orang, yang terakhir turun itulah yang kukenali. Seorang gadis imut bertampang babyface. Yap tidak
salah lagi, Ririn dan keluarganya.
Tanpa mereka menyampaikan maksudnya pun aku sudah tahu. Apalagi kalau bukan meminta
pertanggungjawaban kami.
“Akh...Dimas”, keluhku, entah kenapa rasanya nyaliku menciut dengan kenyataan yang
serba tiba- tiba ini.

Yang kukhawatirkan mama, dan benar saja kekhawatiranku terbukti. Setelah mama Ririn
menguraikan panjang lebar disertai isak tangis Ririn, mama pun terkulai lemas, pingsan!
Malam itu juga mama di bawa ke rumah sakit. Untungnya cepat sadar dan bisa segera bertemu
Dimas. Tapi kami sepakat tidak memberitahu Dimas dulu karena memang kondisi adikku itu agak
parah.
“Biarlah, tunggu aja sampai Dimas sembuh dulu”, begitu kata papanya Ririn, bijak.
Sambil menjalani masa penyembuhan di rumah sakit, adikku Dimas telah resmi menjadi
tahanan kepolisian, meskipun keputusan penjaranya belum dikeluarkan. Kami semua pasrah. Setiap
malam, aku dan Ririn bergantian menjaganya. Sampai suatu pagi, terjadi sesuatu di luar dugaan
kami. Ririn tersambar sepeda motor yang melaju kencang ketika dia keluar membeli buah untuk
Dimas, di depan rumah sakit itu. Kejadiannya begitu cepat. Nyawanya tak tertolong, karena otak
bagian belakang pecah. Kejadian itu juga ternyata memperburuk kondisi adikku.

Waktu itu malam sabtu, memasuki minggu kedua kepergian Ririn. Dimas memanggilku.
“Kak Intan...”, panggilnya begitu lemah.
“Iya, Dimas, kenapa?”, kataku mendekat.
“Maafin Dimas, Kak. Selama ini nyusahin aja. Gak pernah nyenengin kakak, mama, papa,
Ririn, semuanya”.
Aku membelai rambutnya, sangat sayang.
“Sudahlah, Dimas, yang penting sekarang kamu cepat sembuh, kakak sayang banget sama
kamu”.
“Tapi Kak, semalam Ririn memanggil aku, dia menangis”.
Meskipun terkejut, aku berusaha tetap tenang. Entah kenapa dadaku berdebar- debar
setelah itu.
“Ririn sudah tenang sayang, jadi gak usah pikirin dia, ya. Ririn juga pasti mau kamu cepat
sembuh”.
Aku mencoba tersenyum. Kulihat Dimas menatapku tenang sekali. Lagi- lagi dadaku
berdebar. “Sekarang kamu tidur ya, sebentar lagi mama datang”.
Dimas mengangguk. Aku lalu mencium keningnya. Kubetulkan letak selimutnya. “Cepat
sembuh, sayang”, do’a itu terucap begitu saja dalam hatiku. Aku gak mau kehilangan adik semata
wayangku itu.
Pukul 21.00 WITA. Mama dan papa datang. Seperti biasa, mama langsung menciumnya dan
bermaksud hendak menggenggam tangannya. Tapi... dingin! Lalu kakinya, juga sama, dingin !!!
“Tidak, Tuhan...!!!”
Mama menjerit histeris mengguncang tubuh adikku yang telah terbujur kaku itu. Mama pingsan lagi.
Aku jatuh terduduk di sisi pembaringan dimas. Air mataku mengalir deras dengan detak jantung
memburu. Tidak kusangka sama sekali, ketika aku menyuruhnya istrahat tadi, ternyata dia benar-
benar istrahat buat selamanya.
“Dimas, adikku...”

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai