Anda di halaman 1dari 12

Cerpen anak

PENGEMBALA YANG SUKA BERBOHONG

Di sebuah desa hidup seorang bocah lelaki yang ceria dengan ayah. Ayah anak lelaki
itu memberitahu dia bahwa dia sudah cukup umur untuk mengwasi domba ketika
mereka merumput diladang.
Setiap hari, ia harus membawa domba-domba itu ke ladang berumput untuk
mengawainya saat mereka merumput. Namun, bocah itu tidak bahagia dan tidak
ingin membawa domba ke ladang.
Dia ingin berlari dan bermain, tidak menonton domba yang membosankan di
lapangan. Jadi, dia memutuskan untuk bersenang-senang.
Dia berteriak, “Serigala! Seriga!” dan, sekali lagi, penduduk desa mencari kesana
untuk mengusir serigala.
Bocah itu menertawakan ketakutan yang disebabkannya. Kali ini, penduduk desa
pergi dngan marah.
Hari ketiga, ketika anak laki-laki itu naik ke bukit kecil, tiba-tiba dia melihat serigala
menyerang domba-dombanya.
Dia berteriak sekeras yang dia bisa, “Serigala! Serigala! Serigala!”, tetapi tidak ada
satupun penduduk desa yang datang untuk membantunya.
Penduduk desa berpikir bahwa dia mncoba membodohi mereka lagi dan tidak datang
untuk menyelamatkannya atau domba-dombanya. Bocah itu kehilangan banyak
domba pada hari it, semua karena kejahilan dan sifat suka berbohong.
KEGAGALAN RUBAH

Suatu hari, seekor ubah menjadi sangat lapar saat dia pergi mencari makanan.

Ia mencari-cari, mulai dari tempat yang tinggi hingga rendah.

Akan tetapi, ia tidak dapat menemukan sesuatu yang bisa dimakan.

Akhirnya, saat perutnya keroncongan, ia tersandung tembok petani.

Di bagian atas dinding, ia melihat anggur terbesar dan terlezat, yang baru pertama
kali ia temukan dalam hidupnya.

Anggur itu memiliki warna ungu yang bersinar. Hal ini semakin menggugah nafsu
makan sang Rubah.

Untuk mencapai buah anggur, rubah harus melompat tinggi di udara.

Saat melompat, ia membuka mulutnya agar bisa langsung mengonsumsi buah


anggur.

Sayangnya, ia malah meleset. Rubah mencoba lagi, tetapi gagal. Percobaannya ini
sudah dilakukan berulang kali.

Akhirnya, rubah memutuskan untuk menyerah dan pulang kerumah.

Sambil berjalan, ia bergumam, “Aku yakin anggur itu asam”.

Cerpen remaja
TERBALIK

Gadis itu terpaku. Matanya sinis terhadap apa yang ia lihat. Ia melihat sosok gadis
seumuran dengannya bermanja ria dengan orang tuanya duduk di resto. Ia yang
melihat pemandangan dari luar cafe itu hanya bisa berdiam.

“Kamu kenapa, Ri?,” sapaan temannya menghentikan lamunannya.

“Gak apa-apa, ayo kita ke rumah Jihan!” Riri ceria kembali dan menyembunyikannya
dari teman-temannya.

Gadis berusia 15 tahun itu menguncir rambutnya sambil jalan. Sifatnya yang ceria
membuat siapa pun senang berteman dengannya.

Ia pun disegani guru-guru karena pintar dan sopan. Tapi, tanpa orang orang sadari, ia
memiliki lubang hitam dihatinya yang belum terlihat oleh siapa pun.

Jarak antara SMP dan sumah Jihan hanya beberapa meter. Alhasil mereka hanya
halan dan masuk ke kompleks rumah. Pada saat perjalanan pulang, Jihan yang
berjalan di depan menghentikan langkah.

“Ri! Ri! Itu bapak kamu kan?”Jihan menunjuk mobil yang ditumpangi bapaknya Riri.
Terlihat juga ada seorang wanita muda yang duduk di jok sampingnya.

Riri berdiam lalu kembali berlari ke arah sekolah. Ia tak mau melewati mobil ayahnya
yang sedang bersama wanita selingkuhan.

Sontak teman-temannya pun mengejar dan merasa kebingungan. Mereka


memanggil-manggil Riri, tapi tak digubris.

Sampai akhirnya di taman sekolah yang sudah sepi, mereka menemukan Riri
tersungkur dipojok dinding taman.

“Tenang ya, Ri,” ujar Hana.

“Kita bakal bantu kamu kok apa pun yang terjadi,” ujar Jihan sambil memeluk Riri.

Pada hari itu, menjadi hal yang akan diingat oleh Riri. Bahwa masa mudanya tidak
selalu berjalan mulus.

Akan selalu ada kepedihan yang akan diingat. Satu di antaranya ialah masalah
keluarganya. Untungnya teman-teman Riri bisa diandalkan. Riri pun menjadi tenang
kembali.
JONO DAN KEPALA SEKOLAH

Lelaki bertubuh agak gempal itu sering kali memasuki sekolah tanpa atribut lengkap.
Ditambah selalu mengeluarkan baju seragamnya. Ia pun berteman dengan anak-anak
nakal yang terkadang suka rusuh disekolah. Tetapi, ia pintar bukan kepalang. Semua
orang mengetahuinya saat pertama kali MPLS di SMP ku. Pasalnya, ialah orang yang
berani bersuara tentang kebijakan MPLS.

“Maaf kak, saya izin bertanya. Untuk apa ya kami disuruh bawa semua barang ini?
Apalagi barang-barang ini cukup banyak dan harganya diatas Rp.10.000. Kalau ada
orang yang kurang beruntung, bagaimana?

Kakak-kakak OSIS itu mencoba menjelaskan sedetail mungkin, tetapi tetap saja suara
riuh peserta MPLS membuat OSIS juga terbungkam. Alhasil, barang-barang yang
tadinya dikatakan akan dijadikan hadiah bagi para peserta didik terbaik, menjadi
tidak wajib untuk dibawa oleh peserta. Hanya peserta yang mampu saja yang
diwajibkan untuk membelinya.

Ialah Jono yang berani mempertanyakan kebijakan itu. Selama MPLS, ia tetap
mengikuti peraturan sekolah, hanya saja ia berani mengeluarkan unek-uneknya
secara langsung didepan panitia. Setelah seminggu, akhirnya MPLS pun selesai. Saat
upacara penutupan, Jono dipanggil kedepan lapangan oleh kepala sekolah.

“Ananda bernama Jono Laksono, silahkan keluar dari barisan. Dan ke depan”

Sontak semua peserta, panitia, dan guru-guru pun saling berpandang. Awalnya Jono
ragu untuk mendatangi kepala sekolah di depan halaman, Namun akhirnya ia
memberanikan diri. Orang-orang menyangka, Jono akan ditegur atau dihukum
karena membantah pada saatMPLS. Tapi, ternyata...

“Terima kasih, Jono. Kamu sudah mengkritik beberapa hal yang tidak etis saat adanya
MPLS ini.” Pak kepala sekolah justru mengucapkan terima kasih di depan semua
orang dan sehabis itu menyalami Jono.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba terdapat tepuk tangan lalu menjadi riuh. Aku
ingat saat itu Jono sangat senang. Sampai saat ini, ketika ia berdiri dilapangan lagi
karena memenangkan lomba sains, aku tersenyum. Aku mengingat obrolan
dengannya waktu pertama kali bertemu saat MPLS.

“Jangan terlalu menilai dari kulitnya. Tidak ada yang tahu, isinya arang atau emas”
Ujar Jono kala aku menyempatkan diri untuk berkenalan dengannya.

Cerpen dewasa

PERNIKAHAN MARYAM
Malam saya ditandai dengan kepulangan para tamu beberapa waktu lalu. Kusaksikan
Ayah ikut membantu sanak-saudara dan memindahkan kursi untuk dimasukkan ke
mobil pick-up. Ibu yang suka bekerja dengan tulang itu masih sibuk
menghampirinya.Sepertinya Ibu melihat Ayah agar beristirahat, membasuh
punggungnya. Ibu lalu melihat ke arahku lalu menarikku agar tak mendekat.Dia ingin
masuk rumah kembali dan tidur.

Aku masuk rumah dan beberapa pekerjaan yang belum selesai, hal itu baki-baki
lamaran ke meja dan ke atas lemari.Adikku, Maryam, yang telah menjalankan ijab
qabul selepas Isya tadi, dan melakukan resepsi pernikahan telah naik ke loteng
bersama Jono suaminya. Sedang adik-adikku yang lain tiduran dengan kasur di kasur
depan pesawat televisi. Pesawat televisi tak pernah bisa menarik perhatianku kecuali
siaran sepak bola dan pertandingan bulutangkis.

Beberapa menit kemudian ayah membuka pintu dan melepas jas yang dipinjamnya
dari paman. Pamanku seorang pegawai kecamatan dua hari lalu menitipkan
bungkusan kepadaku saat aku bertandang ke rumahnya menyampaikan hantaran
berupa masakan Ibu. Ayah langsung merebah di kursi panjang yang terletak di depan
lemari kayu, sebagai pembatas tempat tidurku dan adik-adik.

Ibu menyusul masuk rumah dan kerudung yang menutupi wajah lembut dan
cantiknya yang memudar karena kelelahan. Pintu kamar dengan engsel yang telah
lepas berhasil dibuka setelah meminta pertolonganku,membuka paksa dengan
sedikit tambahan tenaga. Ah, ternyata rumah kecil ini bertambah masalah saja dari
hari ke hari.

Sungguh, tak terasa aku telah berhasil di ambin Ibu.Jika saja tak dibangunkan bahwa
waktu subuh telah memanggil, mungkin aku akan terlambat bangun. Padahal cucian
piring dan gelas sisa perjamuan semalam belum selesai kubersihkan. Begitu bangun,
telah kusaksikan piring-piring dan gelas-gelas telah rapi berada di raknya. Pasti Ibu
yang telah mengerjakan semuanya.

Dugaanku salah.

Kugapai pundak Ibu dan kukerlingkan senyum sambil kulirik deret piring dan
gelas. Ibu membalas kepada, lalu arah matanya dia lempar Tanto, adik
Maryam. Tanto anak ketiga, sedang Maryam anak kedua. Aku anak sulung dan masih
ada lagi beruntun, Jupri dan Ilham serta Sidik. Tanto mengacungkan jempol ke arah
gerakan yang berubah untuk berubah seperti gerakan yang ingin dipijit. Dia
pekerjaan atas pekerjaan. Lalu kujewer telinga kirinya, tanpa bermaksud melukainya.

Tidak tega juga merasakan melihat Tanto kelelahan, karena kemarin kemarin dialah
yang membantu Ayah menata kursi-kursi serta memesan segala sesuatu ubo rampe ,
keperluan resepsi pernikahan Maryam. Di depan pesawat televisi, Tanto aku pijit-pijit
punggung dan pundaknya. Televisi sedang menyiarkan berita duka cita, sebuah
bencana banjir bandang yang menelan banyak korban. Lalu kepada Tanto aku loteng
rumah, aku bilang kepadanya jika untung rumah kita sudah ada loteng jadi jika banjir
tahunan yang melanda kampung kami datang, Ayah dan Ibu tidak susah-susah untuk
mengungsi. paling tidak benda-benda berharga seperti televisi, kasur dan pakaian
kami tidak basah.

Tanto mengangguk-angguk tanda mengiyakan.

Beberapa minggu lalu, datanglah tamu dan rombongannya ke rumah. Tak ada yang
aku kenal kecuali Jono, laki-laki muda yang sering bertandang ke rumah setiap hari
sabtu malam, selepas dia bekerja. Ibu bilang padaku jika Jono adalah calon suami
Maryam. Saat kutanya, apa pekerjaan Jono,Ibu menjawab jika Jono seorang guru,
sama profesi dengan Maryam.

Kemudian suatu malam, saya dipanggil Ayah dan Ibu serta Maryam untuk
didudukkan dalam pembicaraan serius. Ayah berkata-kata, lalu kemudian Ibu
juga. Sampai akhirnya Maryam menyentuh tangan dan menciumnya. Lalu diciumnya
kedua pipiku dan dia menangis. Aku tahu maksudnya, ya, aku tahu tujuan
Maryam. Dia pasti sedang meminta restuku untuk acara pernikahannya. Teman
seumuran Maryam sudah ada yang hasilkan bayi usia tiga tahun. Adikku sudah
waktunya menikah.

Dia akan melangkahiku, sebagai kakak. Kemudian dia berkata lagi kalimat seperti ini,
“Mbak Muji ingin aku beri hadiah apa?” Aku goyang dan kuulas senyum. Aku
membalas pelukannya dan kuacungkan jempol.“Aku beliin baju baru ya?” kemudian
dia memegang baju yang kupakai. Kembali kugelengkan kepala. Kupikir, dia akan
memerlukan banyak biaya untuk pernikahannya nanti. Tak baik merepotkannya.

Ayah berkata-kata lagi. Kusaksikan sebentuk kebahagiaan di wajah Ayah. Laki-laki


yang giat bekerja sebagai petugas kebersihan di kampung kami ini bakal mantu . Dia
tidak pernah mengeluhkan kekurangan fisik yang disandangnya. Hanya sebelah mata
ayah yang bekerja dengan baik dan bisa untuk melihat. Gerobak sampah yang selalu
menemaninya bekerja menjadi saksi seorang ayah yang kuat, yang mampu
menyekolahkan anak-anak setidaknya hingga bangku SMA, kecuali aku.

Aku menolak makanan dan lebih memilih membantu Ibu menjual di mulut gang,
tempat kami tinggal.

Malam itu juga, kuambil tabunganku berupa celengan plastik yang selama ini aku
sembunyikan dibalik tumpukan pakaian di dalam lemari. Di depan Ayah, Ibu dan
Maryam, aku buka benda itu lalu kuhitung lembar demi lembar. Kususun dengan
rapi, sesuai gambar kemudian uang itu aku serahkan Ibu. Ibu menerimanya dengan
berat hati. Kusaksikan agar air mata yang ditahan agar tidak jatuh ke pipi.

Maryam menolak, dan meminta ibu mengembalikan uangku. Namun aku


menghalaunya. Kugelengkan kepala. Mereka mungkin kaget, saat aku kembali
membuka lemari kayu dan dompet yang berisi beberapa perhiasanku; sepasang
anting, sebentuk cincin dan seuntai kalung.Kusodorkan kepada Maryam. Kali ini
Maryam benar-benar menolak. Dia lalu memakai semua perhiasan itu ke
tubuhku. “Buat kamu pakai, Mbak Muji,” dia berisyarat.

Kursus menjahit yang ditawarkan oleh BLK telah membuat saya merasa percaya diri
untuk menerima jahitan dari tetangga dan teman. Kugantungkan gaun pengantin
dengan potongan leher sabrina seperti yang diperbandingkan oleh Maryam. Hiasan
berupa payet mengatasi ujung lengan dan bagian bawah kebaya. Maryam memilih
warna kuning gading, senada dengan baju pengantin yang bakal dikenakan oleh Jono.

Dua hari sebelum lebaran, tiba-tiba datanglah kabar itu. Ayah mengalami kecelakaan
saat bekerja. Gerobak sampahnya tersenggol mobil yang melaju kencang dan Ayah
terjatuh. Ibu belum membolehkan Ayah bekerja, setidaknya sampai Maryam selesai
menjalani prosesi pernikahan tiga hari lagi. Namun Ayahnya. Katanya, siapa lagi
petugas yang akan membuang sampah warga. Ayah sampai membuka lebar lebar
kedua tanganku di depanku.

Dengan dibantu oleh beberapa warga, Ayah dibawa ke klinik pengobatan tak jauh
dari rumah. Untung lukanya hanya lecet-lecet dan memerlukan perawatan khusus
apalagi opname. Kedua kaki kurusnya semakin tampak ringkih. Kusaksikan Ayah
turun dari becak dan melangkah dengan pincang, menyentuh pintu rumah. Aku
termangu.

Tepat pukul tujuh malam, Maryam dan Jono mengucap prosesi pernikahan. Kulihat
Ibu tampak, juga Ayah. Sekilas Maryam memandangku lalu kulempar senyum
kepadanya. Dia tampak cantik sekali dengan dandanan yang sungguh anggun. Kebaya
yang aku jahit, pas menempel di tubuhnya yang tinggi semampai.

Tanto yang sudah bekerja dan bisa sedikit-sedikit membantu Ibu memberi jatah uang
untuk membeli beras. Tanto baik, maka tak heran jika ada beberapa teman
perempuannya yang suka bertandang ke rumah. Kupikir dalam hati, pasti Kemana
lagi Tanto akan menikah  menyusul Maryam .
“Muji, kapan kamu menikah?” pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang kerabat
seraya menunjuk ke pengantin berdua yang tengah duduk di pelaminan. Aku
membalasnya dengan tangan.

“Aku doakan Mbak Muji segera menikah jika jodoh sudah, Aamiin”, kata fasilitator
yang kuundang di acara resepsi pernikahan dalam bahasa pendukung. Aku merasa
dia punya rasa suka padaku dan sebagian hatiku turut dibawanya.

BUKAN PERNIKAHAN YANG KUINGINKAN


Gista membuka album lama yang tersimpan di lemarinya. Album itu adalah kenangan
terindahnya bersama mantan terbaiknya. Mantan yang mengajarkan banyak hal,
yang tak bisa diajarkan oleh pacarnya saat ini. Yaitu perjuangan hidup.

Setiap pasangan yang akan menikah pasti akan bahagia. Karena pada akhirnya,
penantian mereka akan berakhir di pelaminan. Tetapi tidak dengan gista. Menjelang
pernikahannya, dia malah teringat dengan mantanya yang bernama rio. Bagi gista
pernikahan adalah kebahagiaan dan cinta. Itulah yang belum dia dapatkan dari ega.
Hatinya sungguh bimbang memikirkan jalan hidup mana yang akan dia pilih.

Sudah dua jam gista mengurung dirinya di dalam kamar sambil melihat-lihat foto rio.
Sungguh hatinya ingin bertemu dengan rio sekali saja. Agar dia bisa memilih jalan
hidupnya kedepan.

Air matanya mengalir sangat deras hingga gista lupa kalau dia sudah ada janji dengan
ega. Gista pun bersiap-siap dan bergegas pergi ke sebuah kafe.

Sesampainya di kafe, gista melihat-lihat kesana dan kemari. Tetapi dia tidak
menemukan ega. Akhirnya gista mencoba untuk menghubungi ega.

“hallo sayang” ucap Gista


“iya ya sayang, ada apa?” tanya Ega sambil memilah-milah dokumennya
“kamu di mana? bukannya kita ada janji hari ini” ucap Gista mengingatkan
“janji (mengingat-ingat). Astaga maaf sayang, Ega lupa kalau ada janji sama kamu.
Kita cancel aja ya..” ucap Ega masih memilah-milah dokumennya
“terserah lah..!!” teriak Gista sambil mematikan handphonenya

Itulah yang membuat Gista hilang rasa dengan Ega. Ega selalu mementingkan
pekerjaannya dibandingkan hubungannya dengan Gista. Bagi Ega pekerjaan itu
nomor satu, dan Gista nomor 2. Prinsip itulah yang membuat Gista merasa tidak
cocok dengan Ega. Padahal mereka sudah menjalani hubungan selama empat tahun
lamanya.

Gista pun pergi dari kafe dengan perasaan kecewa. Ini bukan kali pertama Ega
melupakan janjinya hanya untuk pekerjaan dan bukan kali pertama Ega meng cancel
pertemuan mereka secara tiba-tiba. Gista pun menaiki sebuah taksi yang sedang
terparkir di pinggir jalan dan menuju ke sebuah taman yang indah. Taman dimana
Gista dan Rio dipertemukan dan dipisahkan oleh waktu. Setiap dirinya merasa sedih,
Gista selalu pergi ke taman ini. Bagi Gista, walaupun saat ini dirinya dan Rio tidak
bersama. Namun, dia yakin suatu hari nanti Rio akan datang ke taman ini. Untuk
mengingat masa lalu mereka berdua.
Gista hanya bisa menghirup udara segar di taman ini sambil melihat foto-foto dirinya
dan Rio. Betapa bahagiannya dirinya saat itu. Saat dimana Gista dan Rio menjadi
pasangan terpopuler semasa sekolah.

Tak beberapa lama gista duduk sambil mengenang masa lalunya. Tiba-tiba saja ada
seorang laki-laki yang mengagetkan Gista. Bibirnya terkatup dan matannya tak
berkedip. hatinya terasa sedang berada di dunia lain. Laki-laki yang selama ini dia
tunggu akhirnya ada di depan matanya.

“Gis, ista” panggil Rio

Gista hanya tetap terdiam sambil menatap Rio dengan tajam. Dia benar-benar tidak
bisa berkata apa-apa.

“Apakah ini sebuah mimpi, yaa tuhan jika ini mimpi tolong bangunkan diriku dari
mimpi yang indah ini. Mimpi ini akan membuat hatiku semakin sakit tuhan” teriak
Gista di dalam hatinya sambil memejamkan matanya.

“Gista ini aku Rio” ucap Rio sambil memegang erat tangan Gista

Tanpa berkata apa-apa Gista langsung memeluk Rio dengan sangat erat.
Penantiannya selama beberapa tahun untuk mengunjungi taman ini secara rutin
tidak sia-sia. Akhirnya, sebelum ia benar-benar menjadi milik Ega. Dia bisa bertemu
dengan Rio.

“Rio, kenapa kamu tinggalin aku?” tanya Gista sambil menatap tajam Rio

“Hidup ini penuh dengan pilihan. Meninggalkanmu adalah pilihan yang terbaik untuk
kita berdua Gista” jawab Rio

“Apa yang membuat itu menjadi pilihan terbaik untuk kita berdua?” tanya Gista
sambil meneteskan air matanya

“Gista, kamu ingat waktu aku berjanji akan menemui kamu malam itu juga. kalau
hujan” ucap Rio mengingatkan

“Iya, aku ingat” ucap Gista


“Aku datang malam itu Gista. Tetapi sayang, orang tuamu tidak mengizinkan kita
bertemu. Mereka bilang aku tidak pantas untuk menjadi kekasih dari anak mereka.
Aku mengerti mengapa orangtua kamu berkata seperti itu. Akhirnya, aku
memutuskan untuk mengambil beasiswa ke jepang dan berjanji akan kembali untuk
menemui kamu setelah aku sukses” jelas Rio sambil meneteskan air matanya.

“Kenapa kamu gak bilang sama aku Rio, kenapa? kalau kamu bilang, aku pasti akan
tunggu kamu. Rio, sekarang sudah terlambat. Aku akan menjadi milik orang lain. Itu
semua salah kamu!” teriak Gista dan pergi.

Rio hanya bisa tertunduk sambil menangis melihat gista berlari. Perjuangannya untuk
meraih kesuksesan ternyata sia-sia. Perempuan yang dia perjuangkan akan menjadi
milik orang lain.

Seminggu kemudian,

Akhirnya, pernikahan Gista dan Ega pun tiba. Gista hanya bisa menahan semua
kesedihan di dalam hatinya tanpa bisa berkata apa-apa. Dirinya hanya mengikuti alur
kemana kakinya akan melangkah. Tanpa cinta dan kebahagiaan. Ini bukanlah
pernikahan yang Gista inginkan.
Tetapi Gista tak punya pilihan lain. Selain menjalani pernikahan ini dan mencoba
untuk mencintai Ega lagi. Walau di dalam hatinya selalu tersimpan satu nama yang
tak mungkin bisa hilang yaitu, Rio.

Anda mungkin juga menyukai