Anda di halaman 1dari 9

nak kecil itu duduk sendiri di sudut ranjang sambil melipat seragam warna kuning dan hijau pelan-

pelan. la kemudian menyimpannya ke dalam lemari Ada kekecewaan di matanya yang bening. Besok
ia tidak akan kembali ke sekolahnya di Taman Siswa Batu. Matanya menerawang ke sandal jepit yang
biasa ia pakai ke sekolah. Air matanya menetes. Anak itu, Tinah, harus mengubur harapan untuk
menyelesaikan sekolah. Ia jatuh sakit menjelang ujian akhir kelas 6. Semenjak itu

ia tak pernah kembali ke sekolah. Buat anak perempuan, tidak apa-apa tidak sekolah, kata Mak Gini,
ibunya. Tinah kehilangan harapan.

Tinah akhirnya tinggal di rumah dan membantu Ibu

mengurus lima adiknya. Tiap pagi ia masih pergi ke Taman Siswa. Bukan untuk kembali sekolah tapi
mengantar salah satu adiknya. Semenjak berhenti sekolah Tinah diasuh oleh kakek-neneknya.
Rumah mereka terletak persis di sebelah rumah ibunya.

Ketika menginjak umur 16 tahun Tinah mulai

membantu neneknya, Mbok Pah, berdagang baju bekas di Pasar Batu. Seragam kuning hijau Tinah
kini dipakai oleh adik perempuannya, Sriyati. Tinah jugalah yang

membantu orangtuanya membayar sekolah Sriyati.

"Nah, entar kalau kamu sudah gedhe, kamu yang ngurus kios kecil ini ya," kata Mbok Pah.

Tinah hanya diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Mbok Pah mengajarinya mulai dari cara
membuka kios, melipat baju, sampai tawar-menawar. Tinah cekatan melipat baju, bahkan lebih rapi
dari Mbok Pah, tapi ia

masih canggung dalam tawar-menawar. Baru setahun kemudian Tinah bisa tawar-menawar
dagangan tanpa bantuan Mbok Pah.

Tinah tumbuh menjadi gadis lugu. Ia tidak banyak bergaul di pasar. Rambut panjangnya diikat karet
gelang. Tanpa poni. Anting-anting emas kecil menggantung di telinga, memberikan sedikit
kemewahan di wajahnya yang sederhana. Tinah duduk menemani Mbok Pah berjualan daster batik,
baju sekolah, jarik, sampai sarung. Kulitnya

kuning langsat. Matanya sesegar pagi di kaki Gunung Panderman. Di wajah Tinah ada ketenangan
sepertikabut yang diam-diam menyelinap di sela-sela rumah bambu. Seperti angin pagi yang
membawa kesejukan Seperti awan yang menggumpal di atas Gunung Arjuno Putih. Sebuah keluguan
yang bisa meluluhkan siapa saja yang mengenalnya.

Di sebelah kios Mbok Pah ada penjual tempe, Cak Ali namanya. Matanya tak pernah terlepas dari
Tinah la sering memberi tempe untuk Tinah sebelum menutup kiosnya. Tinah kadang membawakan
sarapan buat Cak Ali. Tempe goreng atau sambal goreng tempe masakannya Tapi Tinah pemalu, ia
jarang sekali berbincang dengan pemuda itu. Ia selalu tenggelam di balik tumpukan baju dagangan
Mbok Pah hingga sore hari. Makan siang pun

di balik tumpukan baju itu. Cak Ali pernah menawarkan untuk mengantar Tinah pulang dengan
sepeda pancal- nya, tapi Tinah memilih pulang berjalan kaki dengan Mbok Pah.

"Nah, kamu sudah 17 tahun sekarang. Wis perawan," kata Mbok Pah sembari memberikan teh
hangat yang ia pesan dari warung sebelah. Uap putih mengepul dari
mulut gelas. "Perawan seusiamu sudah mulai berumah tangga," lanjutnya. "Kamu mau tah aku
jodohin dengan Cak Ali. Dia sudah punya kios sendiri buat jualan tempe, loh. Wis mateng wong-e."

Tinah hanya diam menikmati teh hangatnya

"Temenan Nah, sebelum direbut orang, loh. Tuh,kerjanya sebentar-sebentar memandangmu," canda
Mbok Pah. "Nah ingat ya, dia sudah sering kasih kita tempe, loh! Kamu juga sering bawain sarapan
buat dia gitu."

Muka Tinah memerah.

Pagi yang biasa. Pagi yang ramai di Pasar Batu. Di depan kios Mbok Pah, jajaran angkot mulai
menurunkan penumpang. Sebagian besar adalah ibu-ibu yang akan berbelanja. Hampir semua
memakai sandal jepit dan

menenteng tas kresek kosong. Para sopir angkot dan kenek pun banyak yang turun untuk sarapan.
Salah satunya, anak muda berusia sekitar 23 tahun. Seorang nenek yang telah lebih dari setahun
datang dan pergi

bersama angkotnya di Pasar Batu. Ia terlihat berbeda dari sopir atau nenek lain. Pakaiannya selalu
rapi. Tatapan

matanya melankolis tapi tajam. Badannya tidak tinggi tapi gagah. Gayanya flamboyan. Alisnya tebal
dan bibirnya penuh. la dekat dengan semua orang, dari ibu-ibu sampai preman. Ia dicap sebagai
playboy pasar.

Seperti biasa, playboy pasar.

Seperti biasa, playboy pasar itu mencari sarapan bersama sopir angkotnya. Baju putihnya yang usang
tak mengurangi ketampanannya. Orang bahkan akan

melupakan sandal jepit tipis yang ia kenakan. Jalannya sedikit terburu-buru menuju warung
langganan yang terletak sekitar lima kios dari kios kecil Mbok Pah. Ia menyapa beberapa pedagang
yang dilewatinya termasuk Mbok Pah. Tinah tak terlihat, ia selalu berada di belakang tumpukan baju
bekas. Hanya sesekali ia keluar dari kios kecilnya.

Selesai sarapan, playboy pasar itu keluar dari warung. Keringat menetes di dahinya. Rambutnya
masih klimis. Asap rokok sesekali mengepul dari mulutnya.

"Sim, tunggu aku! Mau ke toilet sebentar," kata sopir angkotnya di depan kios kecil Mbok Pah.

Playboy pasar itu menunggu di depan kios. Mbok Pah entah ke mana. Mungkin mencari sego empok
buat Tinah atau membeli kertas merang buat bungkus baju. Dari balik tumpukan baju, Tinah melihat
kenek angkot

itu sedang menatapnya. Tatapan mata itu membekas di antara tumpukan baju. Sang playboy pasar
terseret keluguan dan kesejukan tatapan Tinah. Tatapan mata

sang kenek angkot diam-diam menyelinap di hati Tinah, menyesakkan dadanya. Menghentikan
waktu yang berputar. Hatinya tiba-tiba penuh! Tinah mengalah, ia menunduk, kembali melipat baju-
baju di hadapannya.

"Ayo, Sim, kita narik lagi!" ajak sopir angkot yang tiba-tiba muncul dan menepuk pundaknya.

Ah, ternyata nama panggilannya Sim. Tinah tercenung.


"Nah, lagi ngelamun apa?" sapa Cak Ali mengagetkan.

Tatapan matanya membusat Tinah menunduk malu.

Sebuah Awal Sebuah Keberanian

Kesokan harinya Sim sarapan di tempat yang sama. Seperti biasa ia menyapa Mbok Pah. Matanya
kembali berbicara dengan mata Tinah.

Ah, mungkin ia hanya menggodaku. Gadis desa yang tidak lulus SD ini, pikir Tinah. Ia mencoba
melupakan Sim. Tinah kemudian melirik Cak Ali yang sedang berjualan tempe. Langganannya
banyak! Tempenya sudah hampir habis.

Namun malam harinya, ya, malam harinya, entah dari mana Sim mendapatkan alamat Tinah,
playboy pasar bernama lengkap Abdul Hasyim itu mengetuk rumah Mbok Pah. Padahal saat itu ia
sudah punya pacar di Malang!

Namanya Suci, dan ia bukan pacar pertama. Betapa raninya! Betapa nekatnya!

"Nahhhh... ada yang cariini" seru Mbok Pah

Tinah keluar dari kamar dengan daster batik. Ia hampir masuk ke kamar lagi! Ah, betapa terkejutnya
ia.

Sim telah duduk di ruang tamu.

"Ayo, Nah... ke sini," bujuk Mbok Pah.

Tinah duduk di kursi rotan dekat Mbok Pah yang segera memberi isyarat agar ia menjabat tangan
Sim.

Keringat dingin Sim menempel di tangan Tinah. Wajah Tinah sedikit memerah. Mulutnya terkunci.

"Le, sudah berapa lama kamu jadi kernet?" tanya Mbok Pah memecah keheningan. Udara malam
memasuki pintu yang masih terbuka. Tak ada radio. Tak ada televisi Hanya suara jangkrik terdengar.
Di luar, Gang Buntu mulai sepi.

"Sejak saya SMP, Mbok. Sekarang lagi belajar nyetir,"

jawab Sim singkat. Matanya kadang melirik Tinah

"Saya bikinin teh hangat ya" usul Tinah mencoba mengawali perbincangan dengan Sim.

Tinah bergegas ke dapur, menyalakan kompor minyak tanah, dan memasak air. Ia masih terkejut dan
batinnya sibuk menerka-nerka maksud kedatangan Sim. Matanya

memandang ke langit malam, lewat jendela dapur yang berwarna biru tua. Bintang-bintang terang-
benderang di atas Kota Batu.

"Ayo, diminum. Sebelum dingin," pinta Tinah sembari meletakkan dua gelas teh hangat buat Mbok
Pah dan tamu istimewanya. la sendiri cukup dengan air putih, Sim langsung mengambil gelasnya.

"Terima kasih ya, Nah," balasnya singkat. Dua teguk ia minum.

Hening kembali menyapa. Kesunyian Batu di malam hari adalah melankoli yang bening. Angin
berembus dari celah jendela, melambai-lambaikan korden cokelat muda di samping kursi Sim. Mbok
Pah meninggalkan ruang
tamu, menyiapkan makan malam untuk suaminya.

Kini hanya Tinah dan playboy pasar berdua. Keduanya tak tahu bagaimana memulai pembicaraan.
Mereka bahkan tak berani menatap mata masing-masing. Sim

kemudian menyalakan rokok. Suara kretek yang terbakar terdengar jelas di tengah keheningan
ruang tamu. Tinah kembali meneguk air putih.

"Mas tinggal di mana?" tanya Tinah memulai perbincangan dengan sedikit gugup.

Aku tinggal di Jalan Darsono, Desa Ngaglik. Sama kakak angkatku, Mbak Gik. Baru empat tahun ini.
Sebelumnya aku di Malang, ikut orangtua angkat. Setelah mereka meninggal, baru ikut kakak
angkatku di Batu," jelas Sim

"Oh," desah Tinah.

"Sekarang aku ikut narik angkot suami kakak

angkatku itu. Sudah beberapa tahun. Sejak aku tidak bisa melanjutkan SMP. Kamu sendiri asli sini?"
tanya Sim balik.

"Oh, aku... aku asli sini. Sejak lahir tinggal di Gang Buntu sini. Tidak pernah ke kota lain. Sehari-hari
aku membantu Mbok Pah jualan baju di pasar. Ya, seperti Mas lihat kemarin. Mau kerja apa lagi? SD
juga nggak

lulus," jawab Tinah, gugup.

"Oh, begitu. Enak kamu bisa dekat sama bapak, ibu, dan kakek nenekmu," balas Sim. Matanya
menerawang la kemudian bercerita tentang hidupnya.

Sim belum pernah melihat wajah orangtua kandungnya yang tinggal Yogya. Ketika berumur 3 bulan
Sim diasuh oleh saudara bapaknya yang di Malang. Ketika kelas dua

SMP, orangtua angkatnya meninggal dunia. Sim tak bisa meneruskan sekolah lagi. Semenjak itu Sim
menjadi kernet angkot untuk menghidupi dirinya. Di usia yang masih belia, Sim sudah mencari
makan sendiri, sudah

mandiri.

"Ayo, minum lagi tehnya," kata Tinah, menarik napas panjang.

Sim menyulut satu batang rokok kretek lagi. Matanya masih memandang langit-langit ruang tamu.
Keheningan kembali datang. Tinah masih memegang gelas air putih.

"Nah, boleh aku ke sini besok?" tanya Sim sebelum berpamitan. Gelas teh telah kosong. Dingin
malam menyapu Kota Batu.

Ada kehangatan yang tertinggal di ruang tamu. Sim ingin mengunjungi Tinah lagi.

Mengenalmu Mencintaimu

Malam berikutnya Sim datang lagi. Ia masih mengenakan baju yang sama. Sandal jepit yang sama.

Celananya saja berbeda dari yang kemarin. Rambutnya klimis. Selalu.

"Nah, ini aku bawain nasi goreng Pak Sidik. Tapi cuma satu bungkus. Bagi ya sama Mbok Pah dan
mbahmu," ujar sang playboy pasar.
Tinah membuatkan teh hangat lagi. Tinah masih belum percaya ia datang lagi. Mereka masih banyak
diam sambil menikmati minuman. Mbok Pah kadang-kadang ikut bergabung, memecah keheningan,
dan bercerita tentang pasar dan anak-anaknya. Tinah dan Sim masih tidak banyak berbicara.

Kabut dingin memasuki pintu dan jendela rumah yang masih terbuka. Bau asap kayu yang terbakar
di perapian dapur mulai tercium sampai ruang tamu. Malam mulai larut.

"Nah, kamu sudah pernah nonton film belum?" tanya Sim sebelum pulang.

Tinah menggelengkan kepala sambil menyenderkarn badan di sudut pintu ruang tamu.

Hari Sabtu aku ke sini lagi ya? Aku jemput jam 5 sore. Kita pergi lihat layar tancep di lapangan Desa
Sisir. Ada film India bagus!" ajak Sim bersemangat.

"Aku tanya Mbok Pah dulu ya. Ati-ati di jalan Mas," jawab Tinah.

Minggu depannya, Sim menjemput Tinah selepas azan Magrib. Untuk pertama kalinya Tinah
memberanikan diri keluar rumah dengan lelaki yang baru saja ia kenal. Mereka berjalan kaki
menerobos jalanan Kota Batu yang mulai sepi dan dingin. Tinah masih malu-malu dan tak banyak
bicara. la bahkan masih segan jalan berdekatan dengan Sim. Malam itu untuk pertama kalinya Tinah
melihat dunia baru. Sebuah layar lebar yang menyuguhkan cerita kehidupan. Kali ini, seperti janji
Sim, film India yang diputar. Mereka tidak tahu apa judulnya. Yang Sim tahu bintang filmnya Amitabh
Bachchan.

"Nah, entar coba lihat. Bintang filmnya mirip aku loh!" canda Sim sambil tersenyum. Beberapa tikar
bambu digelar di sana-sini, menutupi rumput lapangan bola. Beberapa orang malah duduk nyaman
di atas rumput. Asap rokok mengepul dari beberapa sudut. Lampu mulai dipadamkan dan film pun
diputar. Tinah duduk disamping Sim. Sandal jepit mereka berdampingan. Pe-

nonton mulai hening. Tinah terpana bahkan sebelum film diputar. Matanya tak pernah terlepas dari
layar lebar di depan matanya.

Ah, seperti sebuah TV raksasa dengan suara yang besar! Tinah membatin

"Nah, si India tadi mirip aku, kan?" tanya Sim ketika film berakhir. Tinah hanya tersenyum. "Minggu
depan ada filmnya Rhoma Irama. Katanya bagus juga! Nonton lagi ya. Aku traktir lagi," rayu si
playboy pasar.

"Waduh, emang cukup tah uangmu, Mas. Mending ditabung saja," kata Tinah.

Minggu berikutnya, mereka kembali nonton layar

tancap. Mereka berjalan kaki menuju lapangan bola disamping kantor Koramil Batu. Kali ini Tinah
membawa makanan di dalam tas kresek warna hitam. Isinya kacang rebus, pisang goreng, juga teh
hangat yang dibungkus kantong plastik kecil.

Waktu berlalu dengan cepat. Delapan bulan sudah Tinah mengenal kenek angkot itu, sang playboy
pasar yang berambut klimis. Delapan bulan sudah hatinya terkurung untuknya. Demikian juga Sim.
Ada napas baru dalam hidupnya. Hatinya tak lari ke mana-mana lagi.

Sim tak lagi menemui Suci, anak juragannya di Malang. Kini ada gadis desa lugu yang selalu
menghangatkan dan menyegarkan hidup Sim yang sendiri. Cak Ali masih sering memberi tempe
kepada Tinah meskipun ia tahu, sang playboy pasar telah memenangkan hati Tinah.

Cinta membutuhkan sebuah keberanian untuk membuka bintu hati.


Delapan bulan terakhir ini pula Sim telah belajar membawa mobil sendiri. la kini memulai hidup baru
sebagai sopir angkot. Sandal jepitnya pun baru.

"Nah, besok mau ikut aku ke Pujon tah?" tanya Sim la baru saja duduk di ruang tamu rumah Mbok
Pah pada Sabtu malam, seperti biasanya. Ia tak pernah absen mengunjungi Tinah. "Aku sudah bisa
narik angkot sendiri sekarang. Kamu bisa ikut main ke Pujon, kalau

mau!" tawar Sim.

Tinah berpikir sejenak. Selama hidupnya, ia belum pernah naik mobil. la belum pernah keluar dari
Kota Batu. Hidupnya dihabiskan di antara Gang Buntu dan pasar sayur Batu.

'Nanti, kamu bisa duduk di bangku depan dan bisa melihat-lihat pemandangan yang bagus. Kamu
belum pernah kan?" bujuk Sim lagi.

Tinah masih terdiam meski akhirnya bilang, "Aku belum pernah naik mobil. Aku takut muntah."

Sim pun tersenyum. "Kalau duduk di depan, biasanya tidak muntah. Jangan khawatir. Kamu pasti
senang. Kayak kita lihat film dulu," rayu Sim. Ia tak menyerah.

"Aku ingin lihat kamu senang!" kata Sim sebelum meninggalkan Tinah.

Maukah Kau Hidup Susah denganku.

Sore tu, seperti janjinya, sopir angkot baru itu

menunggu Tinah di depan Gang Buntu. Beberapa penumpang di angkotnya juga ikut menunggu. Ada
sekitar tujuh orang langganan Sim di dalam mobil Mitsubishi Colt T tua itu.

Setelah menjemput Tinah, angkot melaju melalui jalanan Kota Batu. Melewati Taman Makam
Pahlawan Desa Sanggrahan, dan Desa Songgokerto. Suasana angkot meriah. Di sepanjang
perjalanan, kenek dan para

penumpang meledek Sim dan Tinah.

"Sim, kamu kapan berani melamar? Sudah mampu tah?" tanya penumpang yang duduk di pojok kiri
belakang.

Sebelum Sim menanggapi, penumpang yang duduk paling depan menimpali, "Nah, sopir angkot tuh
banyak godaannya loh di jalan! Hati-hati!"

Tinah hanya diam. Sesekali ia tersenyum.

"Ah, namanya juga cinta," jawab sang sopir angkot singkat dengan senyumnya, bangga.

Sampai di perbatasan Batu dan Pujon, Tinah mulai mual-mual. Mulutnya ditutup rapat dengan
saputangan yang memang sudah ia persiapkan dari pagi hari.

"Nah, ini kresek, kalau kamu mau muntah," ucap Sim. Mobil berhenti. Tinah tak tahan dan langsung
muntah.

"Maaf ya, jadi begini," ujar Tinah.

"Gak papa, Nah. Aku yang minta maaf. Kamu jadi muntah-muntah begini. Ini minum air putih dulu,"
kata Sim merasa bersalah.
Setelah Sim menurunkan penumpangnya satu demi satu, mobil melaju pulang. Mereka melewati
jalan yang gelap dan sepi.

"Ginilah hidupku, Nah. Tiap hari seperti ini. Dari

pagi sampai malam. Dari Minggu sampai Minggu lagi. Ngangkot terus. Demi hidup," kata Sim pelan.

Saat memasuki Desa Sanggrahan Sim menatap Tinah sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri
meraih tangannya. Telapak tangan Sim yang dingin, menyentuh telapak tangannya. Wajah Tinah
memerah. Keduanya

terdiam sejenak sampai Tinah bilang, "Eh, jangan nyetir pakai tangan satu. Bahaya!"

Angkot pun sampai di depan Gang Buntu. Mereka berjalan menuju rumah Mbok Pah. Tak ada
seorang pun yang berjalan di sana malam itu. Keheningan yang bening. Hanya langkah kaki mereka
berdua yang terdengar.

"Nah, aku tunggu sampai kamu masuk rumah ya," ujar Sim singkat.

Mereka sampai di depan rumah dan pintu sudah terkunci. Mbok Pah dan Mbah Ponimin sudah pulas
tertidur. Tinah mengambil kunci yang ditaruh di bawah keset depan pintu ruang tamu.

"Nah...,"" kata Sim sebelum Tinah memasuki rumah

"Nah..."

"Nah... Kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua..." lanjutnya terbata-bata.

Berlabuh

Nanti malam ada yang mau ketemu kamu,kata

Mbok Pah mengejutkan Tinah pagi itu.

"Wah, siapa nek?" tanya Tinah.

"Gini Nah, sudah lama Mbok Pah mau ngomong ini, tapi ora enak. Sudah beberapa minggu ini ada
yang nanyain kamu terus. Namanya Lek Hari. Mungkin seumuran sama Sim. Dia sudah punya rumah
sendiri di Oro-oro Ombo. sudah punya usaha sendiri. Mencetak

batu bata," jelas Mbok Pah.

Tinah diam sejenak. Ia melirik Mbok Pah yang sedang menggantungkan baju-baju di depan kios.

" Yah... masa' kamu gak mau orang yang sudah mateng dan sebaik dia?" kata Mbok Pah meyakinkan.
"Apa kamu masih pilih Sim itu? Ganteng iya, tapi Mbok rasa dia belum mateng, Nah. Belum siap.
Masa' kamu mau nunggu?"

Tinah terdiam. Mbok Pah merasa kasihan juga melihat cucunya kebingungan. "Gini, Nah, kamu
pikirkan ya. Ini serius. Ini hidupmu. nenek suka sama si Sim tapi nenek juga belum yakin. kalau Hari
entar malam mau ke rumah, mau

nanya ke kamu langsung".

Tinah masih terdiam. la tak berani menyangkal

Mboknya. Ia teringat permintaan Sim setelah pulang dari Pujon kemarin.


Nah... kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua.

"nenek, aku gak mau pilih-pilih," jawab Tinah

akhirnya. "Sim itu hidupnya gak seperti Lek Hari tapi orangnya baik."

Kini justru nenek Pah yang diam. Ia sudah tahu apa yang menjadi pilihan cucunya.

Hari demi hari, Sim berusaha membulatkan tekadnya la ingin segera menanyakan Ngatinah kepada
keluarganya. la ingin meminang Tinah. Orangtua kandung Sim jauh

di Yogya dan ia sendiri belum pernah bertemu mereka.

Sementara, orangtua angkatnya yang tinggal di Malang telah tiada. Sim hanya bisa meminta tolong
kepada kakak angkatnya, Mbak Gik

"Sim, orang berumah tangga itu nggak gampang. Kamu sudah siap tah punya istri dan anak kelak?
Kamu kan baru saja bisa narik angkot sendiri?" tanya Mbak Gik.

"Si Ngatinah iki wonge apikan. Gak macem-macem. Bisa hidup susah seperti aku," jawab Sim.

"Lah! Ya jangan sampai diajak hidup susah Sim..," timpal kak Gik.

"Cari rejeki bareng maksudku. Berjuang bareng. Anaknya gak manja. mau kerja keras juga," jelas Sim.

Bulan berikutnya, Sim bersama keluarga Mbak Gik berjalan dari Jalan Darsono ke Gang Buntu.
Mereka menanyakan Ngatinah kepada keluarganya. Rambut klimis Sim tertutup kopiah hitam.
Seperti Lebaran, ia membeli baju baru, celana baru, juga sandal baru. Abdul

Hasyim tak pernah terlihat segagah dan setampan ini. Ia terlihat seperti pegawai elurahan, bukan
sopir angkot.

Ah, ternyata benar, ia mirip bintang film India itu, pikir Tinah.

Tinah tampak berbeda dari biasanya. Ia memakai bedak yang lebih tebal. Kerudung milik nenek Pah
dipakai untuk menutupi rambutnya. Lamaran berjalan lancar. Tanggal pernikahan pun telah disetujui
kedua pihak keluarga. Bulan depan.

Namun nenek Pah jatuh sakit dua minggu setelah acara lamaran.

Nah, ini ada sedikit rejeki buat membantu

" pernikahanmu nanti," kata nenek Pah yang tergeletak lemas di dipan kayu. "Sebentar lagi kamu
akan menikah, Nah Doakan Mbok bisa menemanimu." Mata Mbok Pah menatap Tinah dalam-dalam.

Itulah pesan terakhir Mbok Pah. Ia tak lagi bisa

mengucapkan sepatah kata pun. Kondisinya semakin lemah. Mbok Pah meninggal seminggu
kemudian.

Tinah kembali memakai kerudung putih milik

nenek Pah, mengantarkan kepergian Mbok tercintanya. Air matanya mengalir. Pernikahannya
tinggal beberapa hari lagi. Tanpa nenek Pah.

Akhirnya, hajatan pertama di keluarga Ngatinah tiba Ijab kabul dilaksanakan di ruang tamu, tempat
mereka pertama kali berbincang. Terob kecil, tempat melempar janur kuning dipasang di depan
rumah nenek
Pah. Mempelai duduk di atas kursi rotan dengan hiasan rangkaian bunga melati yang sederhana dan
harum. Tak ada tenda di depan rumah.

Jas yang dipakai Sim terlihat sedikit kebesaran. Ada mawar putih kecil di saku kirinya. "Ini jas
pemberian Bapak yang tinggal di Jogja," katanya kepada Tinah.

Mbak Gik pernah bercerita kalau bapaknya Sim, Pak Prawiradikrama, senang memakai jas. Meskipun
ia seorang petani, Pak Prawira ini selalu terlihat gaya. Ia bahkan selalu menaruh ballpoint di saku kiri
jasnya agar terlihat lebih intelek. Ketika Pak Prawira meninggal dunia beberapa tahun setelah
pernikahan Sim, orang-orang baru tahu kalau ballpoint yang selama ini tersemat di saku jasnya,
ternyata hanya tutupnya saja. Tidak ada

penanya.

Tinah berdandan sendiri. la membeli bedak Viva malam sebelum pesta pernikahannya di pasar
malam Batu. Gincu merah juga dibeli untuk pertama kali. Ia tak pernah berdandan selama ini. Sepatu
sandalnya warna cokelat tua, didapat dari kiosnya sendiri. Sepatu sandal bekas yang telah dipoles
mengkilat oleh Bapak Mun. Ia memakai sanggul yang biasa dipakai oleh ibu Gini ke Pegadaian. Kata
para tetangga yang hadir di pernikahan itu, Ngatinah seperti Leni Marlina, bintang film yang terkenal
saat itu.

Malam pertama, mereka berada di rumah kakak Gik Tak ada selimut di atas dipan kayu mereka.
Yang ada hanyalah kain jarik batik yang dipakai Tinah pada pesta pernikahan tadi.

Anda mungkin juga menyukai