Anda di halaman 1dari 49

TART DI BULAN HUJAN

Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak, kata Sum kepada lakinya, Uncok.
Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat? bertanya suaminya.
Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yang diberi
gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu. Roti itu besar,
cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu,
Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia menarik rokok sebatang dari
bungkusnya dan mencoba menyalakan korek.
Ngerokok lagi, tiba-tiba Sum sedikit membentak. Apa enggak bisa uangnya sedikit
disimpan untuk tambahan beli roti.
Beli roti bagaimana? Uncok gantian membentak. Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja susah,
kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para
koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal. Kamu itu mimpi. Lakinya
menegaskan.
Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali
menggebyar. Rumah kita masih bocor, kata Uncok lagi sambil mendongak. Belum bisa beli
plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, buat kita, harganya triliunan
rupiah. Edan kau itu!
Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jelas:
tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak
yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi
mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar
biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.
Kurang beberapa hari lagi, Pak, kata Sum memecah kesunyian.
Apanya yang kurang beberapa hari lagi? Uncok membentak. Kiamatnya apa gimana? Kita
memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR nyolong
semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa
kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur
dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu.
Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. Kita bisa naik bus Trans Yogya
Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati-hati bawa tart sangat
istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget. Kalau dia bisa seneng, alangkah
bahagia diriku.
Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik
Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia lalu menutup
wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis.
Matanya terasa basah.
Kemudian hujan pun rintik-rintik. Naaah, mau hujan, kata lakinya. Pindah-pindahin bantal-
bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras. Uncok memberi komando. Sum tenang
saja.
Biarkan tiris membasahi rumah, kata Sum. Itu rezeki kita: air, sahut Sum.
Uncok tak tahan. Kamu kok semakin edan, lakinya membentak. Malam merambat larut.
Tidak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak.
***
Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. Dua
tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di
Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia
teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memanggil taksi dan
meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday
dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai,
melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya.
Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti, gumamnya.
Berapa harganya, Bu? tanya Sum.
Tiga ratus lima puluh ribu, jawabnya.
Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kalau ada
tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga
ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang sopir bus, tak selalu
bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memenuhi jalanan. Sering macet.
Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjang. Artinya bensin boros, padahal bahan
bakar mesti dibeli sendiri.
Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bulan hujan. Ia
bakal senang. Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang. Tuhan, perkenankan
ia senang menerima persembahan roti dari saya, gumamnya lagi. Tuhan, saya butuh sekali
bahagia dengan melihat si bocah bahagia.
Di mana tokonya, Bu, tanya Sum lagi.
O, deket toko onderdil motor itu, jawab Bu Somyang, Kamu mau beli? tanyanya.
Sum mengangguk.
Anakmu ulang tahun? desak Bu Somyang.
Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa, jawab Sum.
Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut? Bu Somyang mendesak.
Bukan, enggak, jawab Sum.
Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan, ya
enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti bocongan atau roti
teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas cendolnya lima belas atau
enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makan-minum yang mewah-mewah, kurang
baik. Bisa tuman, ketagihan.
Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketidaktahuan.
Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkhotbah di gereja.
Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu, hina dan sakit orang yang
tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengung kembali di telinganya ketika ia
menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan.
Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi, gumam Sum. Apa pun komentar orang
aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Selama
bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang
membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yang datang
sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah pikiran orang-orang
itu.
Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung.
Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi,
Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para
nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertanggung jawab.
Oooo, gitu, kata Sum, Lalu, enaknya gimana, ya? Pak Karta tidak menjawab.
Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan
uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, setahun,
kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh ribu. Horeeeee! Dua
tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa sepuluh ribu. Hatinya bersorak-
sorai.
Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak
sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, tart yang
dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Dan pandangannya
berkunang-kunang.
Ada apa Bu, sakit? tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Punggung
terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali.
Ibu mau beli roti? desak pelayan toko.
Ya, jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk.
Mau beli, pelayan mendesak.
Iyaa, jawab Sum. Pelan sekali.
Yang mana?
Sum menuding tart mahal itu.
Haaah? Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum.
Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan.
Tapi tidak sekarang, Sum menegaskan.
Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu? Sum menggeleng.
Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.
Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia menggiring Sum
ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar.
Masih ada waktu, gumamnya. Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera.
Pokoknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin sekali merasakan
bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku
lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dianggap keliru oleh sidang malaikat dan
aku harus masuk neraka ya enggak papa. Aku tetap bahagia di neraka. Ya, mati dengan
bahagia sekali karena sudah bisa mempersembahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu
hujan. Di malam hujan, gumamnya.
Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dalam
lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghitung uang
receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. Tapi kalau aku
berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak
Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang
pelit banget dan tukang mempermainkan orang. Sum menunduk. Tuhan, biarkan saya
percaya bisa membeli tart untuk si bocah.
***
Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungannya,
warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja banyak
pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Alasan ibu-
ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di
samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas duduk sama rendah berdiri sama
tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yang tempatnya di pinggiran.
Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan cara
kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambahan, bahkan
boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, di tangannya sudah ada
uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga luar biasa perhatiannya. Sekali ia
memanggilnya ke rumah.
Kamu mau pesta apa pada natalan nanti.
Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart, jawab Sum.
Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu? Bu Jentera kaget dan bertanya setengah
mencecar. Tapi Sum tetap tenang.
Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa, jawab Sum.
Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal pelit itu?
Bu Jentera bertanya lagi.
Enggak, bukan dia anak baik-baik, sangat baik cantik sekali, pandangan matanya
menggetarkan, jawab Sum.
Ah, aku tak paham, kata Bu Jentera.
Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum.
Tapi baiklah, kata Bu Jentera lagi, kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian,
sambungnya.
Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati.
Nih, aku ngiur dua ratus ribu, kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuhan,
apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum
menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari sepeda-
an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istrinya tentang
rencana Sum.
O, bagus, bagus, kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku
belakang.
Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, rame-
rame. Nih, ada tambahan tiga ratus, katanya dengan tenang. Sum hampir tak memercayai
telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum.
Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan rencananya.
Hujan pun turun, menderas.
Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung
Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. Pastor paroki akan
tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus itu menurut ayat Kitab Suci
yang mana, teologinya apa.
Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, menemui
suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum tentang Bapak
Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus berbela rasa dengan
istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat
rokok. Uncok, kemudian, mendekap istrinya.
Selepas dari toko, pulang dulu, kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya
terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah tiba-tiba.
Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah, kata suaminya, Pulangnya mampir ke rumah dulu
sebelum ke gereja.
Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak percaya Sum
punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu.
Tidak masuk akal, kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya mengeluarkan
uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya.
Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa dengan
Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Patung kecil-kecil
itu rupanya dipinjam dari asrama para suster.
Mereka memperkenankan aku memakai ini semua, kata suaminya. Sum tak bisa berkata-
kata apa-apa. Kegembiraan meluap.
Taruhlah tart di sini, kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. Nanti
malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya.
Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang umurnya, panjang
umurnya serta mulia. Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah rumah kita kotor, tapi
ada senyum dan tawa meriah.
Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan
sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh
rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahak-bahak sambil
berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri mencolek tart yang dibalut
gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kanak-Kanak Yesus menatap mereka
dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak-anak langsung menyerbu rumah
Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja.
Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya pun
disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar biasa.
Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, seperti
bersinar Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu karena haru
dan bahagia.

DI PERSIMPANGAN PANTURA
Tak pernah sekalipun aku tampil dengan rok mini dan paha mengundang apalagi bahu
terbuka dan dada menantang, tapi mengapa nasib tak berpihak juga?

Namaku Limbuk, asal Dukuh Menjangan. Hidupku isinya cuma kesedihan. Keceriaan adalah
hal yang absurd bagiku. Lagipula tak ada yang aneh dengan kesedihan di negeri ini bukan?
Namun aku selalu ingat kata simbok dulu, hidup ini memang sekadar mampir ngombe,
singgah untuk minum.

Tak pernah aku mengerti arti perawan sampai suatu hari simbok bilang aku tak perawan lagi.
Padahal hanya sedikit noda darah pada celana dalam, tapi mengapa nasibku jadi berputar
seratus delapan puluh derajat? Sebelas tahun usiaku waktu itu, ketika dengan kejamnya Lik
Sol mengenalkan arti perih sesungguhnya. Ego yang berbalut nafsu itu biang keladinya.

Untung kamu masih bau kencur Istri Lik Sol ketus memarahiku sambil panjatkan seribu
syukur. Benih suaminya tak bisa membuahiku. Bibirnya mencang-mencong tak mengerti apa
yang menarik dari tubuh kurus keringku.
Perempuan-perempuan muda penumbuk padi jadi aneh memandangiku. Tatapan mereka
seperti menelanjangi dari kepala sampai kaki. Alu besar tetap dihunjamkan ke dalam
lumpang, tapi lirikan dan bisikan mereka tak bisa mengelabuiku. Pemuda-pemuda desa
menggodaku dengan kata-kata kotor. Mata mereka isyaratkan birahi.

Tak tahu aku ada kesepakatan apa antara simbok dengan keluarga Lik Sol, tapi sejak saat itu
tak pernah lagi aku melihat Lik Sol berkeliaran di desa. Kata orang, ia mengadu nasib di kota
dan kadang-kadang pulang tengah malam. Esok hari pagi-pagi buta, ia telah menghilang.
Istrinya tak peduli asal dapurnya bisa tetap berasap.

Aku tak mau lagi pergi bermain, keluar rumah hanya untuk sekolah atau disuruh simbok ke
warung. Limbuk kecil makin terpuruk tak tahu bagaimana bersihkan lumpur yang melekat.
Aku ingat selalu mandi berlama-lama karena merasa tak pernah bisa bersih lagi. Tidur bagai
kepompong, berbalut seprai putih sambil berharap tak bangun lagi esok pagi. Godaan untuk
bunuh diri bukan tak ada, sayang uang jajanku tak pernah cukup untuk beli obat serangga.
Gantung diri jelas tak menarik minat. Pasti sakit sekali mati dengan cara seperti itu.

Ketika tawaran Yu Silam datang, aku seperti kejatuhan bintang. Ia mengajak ke kota untuk
sekadar bantu-bantu di rumahnya. Aku tahu simbok berat hati melepasku. Apa daya
bayangan uang kirimanku kelak begitu menggodanya. Apalagi bapak sudah lama lari dengan
perempuan nakal. Penghasilan simbok sebagai buruh tani tentu jauh untuk dikatakan layak.

Mungkin saja simbok lega dengan kepergianku, tak ada lagi aib yang ditutupi. Aku tahu, ia
sering menangis diam-diam ketika mengelus-elus kepalaku di tengah malam. Tentu ia paham
penderitaanku, bukankah selama sembilan bulan kami pernah berada pada raga yang sama?

Ternyata bayangan kota di benakku selama ini amat jauh dengan kenyataannya. Meski
rumah-rumah di sana lebih bagus daripada di desa, tapi tak ada gedung bertingkat dan
Monas seperti di buku pelajaran.

Ini bukan Jakarta, bodoh! Ini Patokbeusi, negeri seribu impian sergah Yu Silam memotong
tanya ini dan ituku.

Patokbeusi ini kota, Yu Silam?

Ssssttt jangan pernah panggil aku dengan nama itu di sini!! bentaknya. Aku Ningce.

Ia melangkah pongah dengan dagu terangkat. Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya


dengan senyum dikulum. Nama yang aneh, apa nama kota memang aneh-aneh begitu?

Ini daerah pantura, pantai utara Jawa, jelasnya tak sabar.

Kenapa belum terlihat pantainya?


Yu Silam mendengus.

Ternyata yang dimaksud bantu-bantu itu mengurusi Yu Silam. Menyiapkan air mandi, masak,
termasuk menyediakan minuman hangat sepulang kerja. Yu Silam pulang kerja menjelang
pagi. Berangkatnya waktu Isya dijemput ojek langganan. Aku tak berani tanya-tanya lagi
karena matanya melotot waktu kutanya kantornya di mana.

Lama-lama aku mulai menduga-duga Yu Silam kerja apa. Pantas saja ia harus bergincu begitu
rupa dengan bahu terbuka. Aku tak mau ambil pusing selama ia rajin mengirimi uang kepada
simbok sebagai bayaran tenagaku. Untuk diriku, cukuplah uang jajan ala kadarnya. Toh aku
selalu makan kenyang di rumahnya. Kadang-kadang Yu Silam pulang membawa fuyunghai.
Nama yang aneh untuk masakan telor dadar dengan isi macam-macam. Enaknya luar biasa,
simbok pasti belum pernah ketemu makanan seperti ini seumur hidupnya.

Dua tahun berlalu, Yu Silam mengeluh tak sekuat dulu lagi. Ia mulai sering masuk angin. Aku
sudah hafal saat ia mulai sibuk mencari duit benggol untuk kerokan. Kudengar ia berkata
kepada temannya kalau pelanggannya tak sebanyak dulu.

Ganti namamu, tak ada Limbuk yang sekurus tubuhmu. Gurau Yu Silam.

Aku terkekeh. Mungkin waktu aku lahir, bapak berharap aku semontok Limbuk, tokoh
punakawan. Ternyata tak ada yang berubah. Yu Silam terus saja memanggil nama asliku.

Apa kamu ndak mau jadi seperti aku tho, Mbuk?

Coba kamu ingat-ingat siapa yang rumahnya paling mentereng di desa kita selain Pak
Lurah?

Aku cuma termangu dan membisu. Jangan takut, kalau kau rajin suntik tidak akan apa-apa.
Yu Silam tersenyum manis sekali.

Aku masih diam saja. Tak tahu harus bicara apa.

Toh kamu sudah pernah disentuh laki-laki. Tak ada nada cemooh dalam suara Yu Silam, tapi
hatiku serasa disilet-silet. Pedih dan perih.

Demikianlah akhirnya aku terbawa masuk lingkungan warung remang-remang itu. Jadi ini
memang kantornya Yu Silam. Untung saja Mami di situ masih punya nurani, ataukah memang
usiaku yang masih belum cukup? Mungkin saja memang seperti itu jenjang yang harus
ditempuh untuk menjadi dongdot 1). Jadi aku cuma bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih.
Kadang-kadang juga bantu keperluan perempuan-perempuan di situ.
Di siang hari aku bisa bernapas lebih lega, sebab malam hari telingaku tersiksa mendengar
tawa mereka yang berubah seperti ringkik kuda. Makin malam makin ramai pesanan
makanan dan minuman. Musik dangdut berdentum keras. Truk besar banyak diparkir di luar.
Sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat sejenak melepas lelah, dikelilingi gelak dan
bisik undangan syahwat. Beberapa dari mereka kemudian menghilang ke kamar-kamar di
belakang. Tak tahu pasti aku, mereka sekadar melepas lelah ataukah sejenak melupakan
beban hidup?

Kupikir jadi dongdot di sini bukan hanya karena terimpit kemiskinan, tapi sudah jadi gengsi.
Ada yang menganggap sebutan jablay sebagai kebanggaan. Kebanyakan mereka berasal dari
daerah tak jauh dari sini. Kakak beradik bisa bekerja di satu warung bahkan kabarnya ada
yang seizin orangtua. Kelihatannya hanya Yu Silam yang satu-satunya pendatang. Pasti ada
seseorang yang membawanya ke sini dulu.

Jangan melamun saja, nanti piringnya pecah. Mami menepuk bahuku perlahan.

Aku tersenyum malu, ketahuan bekerja tak sepenuh hati.

Kamu mesti sabar dan tekun sampai tiba nanti saatnya senang-senang.

Senyumku terhenti di tenggorokan.

Ia melangkah keluar dapur sambil berbisik di telingaku, Jangan mau digoda tamu, bilang
Mami kalau ada apa-apa

Duh Gusti, perempuan setengah baya ini dari luar tampak perhatian dan penuh kasih.
Sesungguhnya ia hanya mengincar keperawananku yang punya harga tinggi di sini.
Seandainya ia tahu kisah sedihku.

Mami memang perhatian kepada anak-anak asuhnya. Tak bosan-bosan mengingatkan mereka
kapan waktunya suntik. Kadang-kadang juga menegur cara berdandan dan berpakaian. Ada
yang bilang Mami juga dosen alias dongdot senior yang masih menerima tamu sewaktu-
waktu jika dibutuhkan. Aku tak yakin, apa benar masih ada tamu dengan selera seperti itu.
Sebab jadi primadona di sini tak bisa lama-lama, selalu saja ada yang baru datang, dan lebih
segar.

***

Empat bulan aku di sini, Yu Silam jarang kerja lagi karena sakit-sakitan sampai suatu hari
berhenti sama sekali. Aku tak tahu ia sakit apa sebab banyak sekali keluhannya. Ia rutin pergi
berobat entah ke mana. Tempatnya pasti jauh karena pergi pagi dan pulang malam hari,
malah kadang-kadang tak pulang dua hari. Pulangnya selalu dengan obat satu tas keresek.
Suatu hari Mami memberiku baju baru dan mengajari dandan. Besok malam, mulailah
belajar menemani tamu di meja. Ia diam sejenak sambil menggerak-gerakkan kuas kecil di
pipiku. Jangan mau diajak ke kamar dulu ya! suaranya tetap rendah tapi tegas.

Malam berikutnya, seperti kerbau dicocok hidung aku didorong Mami bergabung dengan
kelompok kecil di sudut ruangan. Ada dua orang lelaki di sana yang menyambut dengan
senyum penuh arti. Beberapa perempuan di sana ikut juga tersenyum, ada yang tulus ada
juga yang dengan bibir setengah terangkat. Biasa itu, anak baru diterima sebagai teman juga
sebagai pesaing.

Jarum jam seperti lambat bergerak menunggu malam usai. Satu tamu pergi datang tamu
lainnya. Tubuhku sudah lelah dan betisku pegal-pegal karena sepatu berhak tinggi. Mulutku
juga pegal tersenyum dari tadi, meski aku lebih banyak berdiam diri.

Kamu baru ya? lelaki di samping menyenggolku dengan sikutnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Ngapain kamu di sini? Mending jadi istriku saja. Senyumnya lebar seperti senyum keledai.

Untung Mami keburu menyelamatkanku. Ia pura-pura menarikku ke meja lain. Mungkin lelaki
itu sudah terkenal buaya di sini. Paling buaya di dunia buaya.

Selama seminggu itu aku cuma menemani tamu minum-minum. Minggu depan tak mungkin
tugasku masih sama. Kudengar beberapa tamu berbisik keras di telinga Mami sambil
memandangiku, Berapa? Jantungku berdetak sekeras musik di situ. Mami menggeleng
dengan senyum menggoda, kelihatannya ia punya rencana tersembunyi.

***

Dua orang tamu datang ke rumah. Katanya mereka dari tempat Yu Silam biasa berobat. Tanpa
basa-basi ajarkan bagaimana mencegah penularan penyakitnya.

Lho, memangnya Yu sakit apa?

Pokoknya aku tinggal menunggu mati, sergah Yu Silam kasar, memotong maksud tamu itu
untuk menjelaskan. Percumalah aku bertanya jenis penyakitnya, paling-paling pakai bahasa
asing yang tak kupahami.
Kemudian semua anjuran dua orang tamu tempo hari kujalani sungguh-sungguh. Kalaupun
aku harus tertular, itu pasti kersaning Gusti Allah 2). Yu Silam kelihatan lega aku tak tanya-
tanya soal penyakitnya. Sama leganya waktu ia tahu aku mulai menemani tamu minum di
warung Mami.

Tanpa kesepakatan, pelan-pelan kuambil alih biaya pengeluaran di rumah Yu Silam. Biaya
berobat masih ditanggungnya sendiri dari sisa uang tabungannya. Sisa bayaran dari Mami
masih ada sedikit untuk pegangan dan dikirim ke simbok. Namun, aku harus bicara jujur pada
Yu Silam.

Yu, aku mau jadi buruh cuci saja.

Yu Silam terbelalak. Pisang goreng yang sedang dimakannya seperti menyangkut di


tenggorokan.

Takut-takut aku melanjutkan, Aku ndak bisa Yu, kerja macam itu.

Kamu mau tinggalkan aku kan?? Kamu mau balik ke desa ya?? Yu Silam meradang.

Aku tak berani menatap matanya. Bagaimana menjelaskannya? Sudah kucoba. Sudah
kucoba Yu, tapi aku ndak bisa. Jeritku dalam hati.

Pergilah sejauh yang kau suka. Biarkan aku membusuk di sini!!! teriaknya parau.

Kupeluk ia dengan air mata, Tidak Yu tidak kalaupun Yu harus mati akan kurawat dirimu
baik-baik.

Tak bisa kujelaskan dengan kalimat bahwa ia adalah malaikat penyelamatku. Aku tak bisa
kembali ke desa lagi. Biarlah simbok hidup dengan adik lelakiku. Suatu hari akan kutinggalkan
tempat ini untuk memulai hidup baru bersama Yu Silam. Di tempat yang benar-benar baru,
bukan di desa. Aku tak bisa kembali ke sana. Pandangan perempuan-perempuan penumbuk
padi itu tak pernah pergi dari benakku. Juga pandangan mata penuh birahi pemuda-pemuda
desa.

Mereka tak pernah menganggapku manusia lagi sejak musibah itu. Sesuatu yang terpaksa
kulakukan karena ancaman Lik Sol. Tak sanggup kuhadapi mereka nanti bila kulakukan
perbuatan atas nama kelamin yang berkesadaran. Aku tak mau jadi dongdot.

***

Mami terbelalak waktu kuutarakan keinginan untuk tetap kerja di bagian dapur.
Memangnya kau tak ingin uang banyak? Atau ada anak sini yang menjahatimu? tanyanya
beruntun.

Aku menggeleng cepat-cepat, Saya hanya ingin bantu bersih-bersih saja di sini. Jadi tukang
cuci juga saya mau.

Mami ikut menggeleng-geleng. Tubuhnya yang tak lagi langsing bergoyang-goyang. Tapi
kenapa? Kenapaaa?? kedua tangannya terbuka lebar.

Aku menggeleng juga sambil tersenyum. Mami kelihatan tak puas, mungkin tak rela harga
perawanku melayang terbang.

Sayasaya saya sudah tak perawan lagi, Mi bisikku pelan.

Perempuan setengah baya itu terbelalak, seperti ingin bertanya sesuatu tapi tak jadi.

Saya korban perkosaan, lanjutku lirih. Rasanya malu mengakui itu tapi di hati terasa lega
luar biasa.

Mulut Mami terbuka dan bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Ia mengangguk
lemah. Dengan latar belakang segelap itu, mungkin dipikirnya aku tak cukup sehat mental
untuk melayani tamu-tamu di sini.

Aku melangkah dengan pasti menuju dapur. Aku siap kembali ke tugas lama, bersih-bersih,
cuci piring, dan membuang sampah-sampah. Tapi setidaknya aku bukan sampah dan aku tak
mau jadi sampah.

Panggilan lembut Mami menghentikan langkahku. Bibir Mami bergetar, suaranya mirip seperti
erangan hewan yang terluka, Nasibmu sama seperti diriku dulu, Mbuk

Pamulang, Agustus 2011

Catatan :

1) Dongdot = PSK

2) Kersaning Gusti Allah = kehendak Allah SWT


SEHELAI KAIN KAFAN

1/
Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari mata kaki.
Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke
kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan
kanannya mengapit sisi bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.

Tukang bendring datang.

Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan.
Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami
membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara
kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti
biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung
menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan
wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.

Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat bapak-bapak kami
sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang istimewa, yang selalu kami tunggu
kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi ibuku.

Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap mendengar
suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi
ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu
khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali.

Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang,
ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang bepergian. Kadang, ibu
segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan
sudah lama ditinggal bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya
saat berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau
bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan kepalanya yang lebih
panjang dan lebar.

Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar
utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk
menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang
bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di
depan pintu ibu berdiri dengan gelisah.

Ibu mau ke mana? tanyaku.

Menunggu tukang bendring, jawabnya tegas.

Ibu punya uang?

Tidak.

Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring itu
sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera
bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai
mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega, sontak
mengajakku masuk.

Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada
mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian lantang. Dengan muka
pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.

Ju, utangmu!
Sialan, umpat ibu.

Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.

Kenapa, Bu?

Baju lebaranmu belum lunas.

Ju, buka pintu, teriaknya lagi.

Ketika ia sudah berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir kalau-kalau para tetangga
lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan mencibir. Untuk menghindari semua itu, dengan
malu-malu ibu terpaksa membukakan pintu. Dan ia, dengan galak, membentak. Melampiaskan
kekecewaannya, yang barangkali sudah memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk.

2/

Dan kini, sebagaimana dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki jalan setapak. Kemudian
masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu memasuki pekarangan rumah seseorang.
Sekilas sungging senyum terkembang.

Di halaman, orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di tempat yang lain, di
beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik rambut. Dan ia? Perempuan dengan
bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu segera masuk.

Baju baru, teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak perempuan-perempuan itu


menyambutnya.

Harga?

Dijamin.

Mata perempuan yang berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju baru tergelar di
depannya. Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting, alasan tak ada uang. Toh, perempuan
yang kini menyajikan baju-baju baru itu dengan gayanya yang khas memberi mereka kelonggaran,
bayaran bisa dicicil seminggu sekali. Meski tak pasti.

Murah. Intonasi suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara para perempuan itu, segera
mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya, Lastri melirik kepada para ibu, seakan minta
pendapat perihal baju yang dipegangnya hingga membuat mereka heran. Bagaimana mungkin.
Bukannya diam-diam belakangan Lastri juga menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling?

Las, bukannya.

Ini, Bu. Harganya? Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan harga.

Itu baju sudah ada yang pesan. Sepasang matanya kembali menatap catatan-catatan tagihan yang
belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri belum melunasi utang-utang baju sebelumnya. Orang-
orang melirik tak senang.

Sudahlah. Sesama pedagang, berapa harga baju ini? ketus Lastri. Perempuan itu tak menjawab. Ia
tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring, meski tidak di kampungnya sendiri.
Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan bahwa diam-diam Lastri tak keberatan jika ada seorang
lelaki ingin membayar tubuhnya daripada baju dagangannya.

3/

Ini hanya cerita, bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela. Lastri, dan tukang bendring
yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya, Nak? tanya Ibu.
Markoya, jawabku.

Ya, Markoya.

Ia, tukang bendring itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika kami masih asik bermain di
belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami sambil menunggunya datang. Tentu, yang tak
dapat kulupa sampai sekarang, sejak dua puluh dua tahun silamaku meninggalkan kampung
halaman. Sepulang dari berkeliling sebagai pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-
oleh jajanan pasar, kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh kami pulang,
agar tidak telat pergi mengaji.

Besok lagi mainnya. Sebentar lagi petang, begitu katanya. Ah, alangkah bijaknya perempuan itu.

***

Dan kini, bersama ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak tergesa-gesa. Melewati
jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh. Barangkali kesal dengan sikap Lastri, yang
sudah berjanji akan melunasi utang bendring. Atau dengan ibuku?

Tak sembarang orang sekarang boleh mengambil barang dagangannya.

Termasuk Lastri? Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah mulai menjauh. Kenapa
dengan Lastri, Bu?

Senok. Astaga, desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri. Tidak percaya di kampungku
yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah sejak kapan. Tiba-tiba tanpa ditanya ibu
menambahkan.

Sudah lama ia berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring, tapi tidak di sini.

Lantaran?

Senok!

Dan Markoya itu tak mau ngasih utang kepada senok?

Mungkin ia takut, bajunya dipakai ngelonte.

Ya, rasanya sulit dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu. Bagaimana mungkin, dalam
tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan itu Lastri, teman sepermainanku dulu.
Bukannya ia juga pedagang baju?

***

Sudah setengah hari Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak perkampungan, yang kondisi
tanahnya kelewat gersang. Lelehan keringat tak membuatnya merasa gerah, namun sebaliknya, ia
umpamakan lelehan keringat itu sebagai air peneduh setelah berjam-jam berkeliling dari kampung ke
kampung. Berkunjung dari rumah ke rumah.

Sebagai tukang bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak membuatnya putus asa.
Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu ia menjawab setiap pertanyaan orang
tentang pekerjaannya.

Dagang hanya sampingan, ujarnya sambil mengikat antara ujung kain.

Hari sudah menjelang sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak rumah mesti ia kunjungi.
Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain kafan. Kasihan, desisnya, sambil
memelankan langkahnya. Setelah melewati perbatasan kampung. Kini, ia tiba di sebuah pekarangan
rumah Lastri. Ia pun tak heran ketika di beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore?
Maka, sebagaimana sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang, ia berucap salam, lalu
tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju langgar yang terletak di ujung barat,
samping rumah utama.

Markoya duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama berselang, Lastri dengan tubuh
hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada. Tampak pada lekuk-lekuk tubuhnya pasir putih masih
melekat, begitu saja datang menyamperi Markoya. Dan Markoya, dengan berat hati menyambutnya
dengan senyum. Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh seorang pedagang.

Baju baru? tanyanya.

Beberapa. Lastri mengambil salah satu baju, bermotif batik.

Utangmu belum lunas. Markoya membuka buku catatan.

Minggu depan, ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri muncul dengan membawa
secangkir kopi. Minum dulu. Markoya tersenyum simpul. Sudah ketemu Ke Brudin? Markoya
menyeduh kopi hangat. Tadi Ke Brudin pesan, kalau sampean datang suruh ke sana.

Guru mengaji itu? tanya Markoya.

Ya. Beliau ingin pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan, bajunya cuma satu.

Ke Brudin juga pesan kain kafan, desisnya lirih.

Dengan apa ia akan membayar?

Dengan doa.

Ngawur. Doa tak membuat orang kenyang.

Buktinya, Ke Brudin sampai sekarang masih segar bugar. Seketika Markoya tercengang. Diam-diam ia
membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa janggal. Dalam bimbang ia terusik.
Bagaimana mungkin, bisiknya.

Kenapa?

Ke Brudin, desisnya.

Sudah tua. Tak mungkin gitu-gituan.

Maksudmu, Las?

Ngamar, selorohnya.

Mulutmu.

Lalu?

Kain kafan, suara Markoya, serak dan serasa berat.

Sore hari di halaman. Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur seperti malas berayun. Selarik
cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat celah-celah bilik langgar tempat ia duduk bersandar
pada tiangnya, yang miring. Sesekali cahaya senja bergetar samar, sesamar gerakan kedipan matanya.
Dan tak lama berselang, sebuah bisikan tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada sesosok lelaki tua
renta. Ke Brudin, desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk anak-anak, mengajari mengaji,
ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga menjemputku.
Ah, sudah lama, saya tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar mengaji kepada Ke
Brudin.

Betul, spontan Lastri menyahut.

Saya harus segera ke sana, lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan segera bergegas. Tapi sesaat
ia kembali dan bertanya.

Baju koko?

Baju koko untuk shalat, Lastri menahan tawa.

Ya. Saya segera ke sana. Utangmu minggu depan. Dan Lastri. Entah, seperti mukjizat lain muncul
mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang di pekarangan, tiba-tiba Lastri merasakan
sesuatu yang aneh, dan teringat, pernah menjanjikan Ke Bruddin kain kafan.

Yogyakarta,
Desember 2008-2011

KIMPUL
Awan hitam merangkak pelan. Awan seperti itu setiap hari mengancam pada musim hujan dan
merupakan isyarat tak lama lagi hujan akan mencurah deras. Curah hujan belakangan ini memang
tinggi. Banjir dan genangan air kemudian menyusul di beberapa tempat.

Kimpul belum bergerak dari tempat duduknya. Sejak pukul delapan pagi hingga pukul dua belas tengah
hari itu belum seorang pun singgah dan meminta jasanya. Biasanya, ia baru bergerak setelah hujan
rintik-rintik turun dan berlari jika rintik-rintik air itu bertambah besar. Terkadang ia terpaksa siap untuk
basah kuyup karena hujan deras mendadak turun tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk
berlindung di tempat berteduh.

Tempat berteduh yang nyaman bagi Kimpul adalah Stasiun Besar di seberang jalan raya yang jaraknya
kira-kira tiga puluh meter dari tempatnya bekerja. Ke sanalah ia berlari dan berlindung selama hujan
mencurah. Berlari dan berlindung seperti itu setiap hari harus dilakukannya selama musim hujan. Jika
hujan tidak lagi berderai Kimpul kembali ke tempatnya semula, menunggu siapa saja yang
membutuhkan jasanya.
Kimpul masih menunggu dan berharap. Mudah-mudahan ada orang yang singgah ke tempatnya
walaupun hanya satu orang karena selama dua hari belakangan ini tidak seorang pun menyapanya dan
duduk di kursi di depannya. Ia menatap toko-toko buku baru dan buku bekas yang berjejer tidak jauh di
depannya, toko-toko yang menghambat pemandangan ke lapangan di belakangnya. Dulu, semua toko
buku itu tidak ada dan setiap orang yang berada di Stasiun Besar, yang sedang melangkah atau
berkendaraan di jalan raya atau berdiri di tempat Kimpul duduk saat itu, dengan leluasa dapat melihat
lapangan di belakang toko-toko buku itu.

Di keempat sisi lapangan rumput itu terdapat parit yang membatasi lapangan dengan lahan kosong
yang lebarnya lima belas meter di sekeliling lapangan. Tidak sedikit orang lalu lalang di lahan kosong
ini, karena di sana banyak gerobak yang menjual makanan dan minuman. Para penumpang kereta api
dari luar kota yang turun di Stasiun Besar umumnya makan dan minum di lahan kosong ini.

Pada tengah hari, para penjual obat kaki lima berteriak-teriak berkampanye di lahan kosong yang
teduh di bawah kerimbunan pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun berdiri di sana. Semua
penjual obat berlomba memamerkan kehebatan mereka berorasi agar pengunjung yang melingkar di
sekitar mereka mau membeli obat yang mereka jajakan. Dan, setiap orasi pastilah memuji
kemujaraban obat. Begitu orasi selesai biasanya ada saja pengunjung yang langsung membeli obat
mereka.

Masih erat melekat dalam ingatan Kimpul bahwa seorang penjual obat kaki lima itu berhasil
meningkatkan diri menjadi bintang film. Semula ia hanya menjadi figuran dalam film Lewat Jam
Malam yang disutradarai Usmar Ismail. Ia kelihatan beberapa detik di layar putih, karena hanya
berperan sebagai orang yang harus berjalan kaki dari sebuah pintu ke pintu lain yang jaraknya hanya
tujuh meter. Tapi, setelah itu ia muncul dalam beberapa film lain sebagai pemeran utama. Hebat si
Djoni, ujar Kimpul kepada dirinya sendiri.

Begitu cepatnya keadaan berubah, Kimpul membatin. Dulu, lapangan luas itu selalu digunakan untuk
tempat berbagai rapat umum dan upacara peringatan hari kemerdekaan sambil mendengarkan pidato
Bung Karno. Ribuan murid sekolah SMP dan SMA diwajibkan hadir di sana untuk mendengarkan pidato
berapi-api Pemimpin Besar Revolusi yang gagah itu.

Di selatan lapangan rumput itu terdapat hotel megah peninggalan penjajah Belanda. Kini hotel itu tidak
kelihatan lagi karena telah berganti dengan gedung milik sebuah bank dengan lapangan parkir yang
luas. Di utara lapangan, di Jalan Rumah Bola, terdapat sebuah tempat pertemuan orang-orang Belanda
yang setelah kemerdekaan diberi nama Balai Prajurit. Balai itu sirna sudah karena di lokasi itu telah
dibangun sebuah pusat perbelanjaan yang senantiasa rampai pengunjung.

Kimpul merasa perubahan terjadi begitu cepat tanpa menyadari bahwa ia telah empat puluh tahun
menjual jasanya di pinggir lapangan itu sejak berusia dua puluh lima tahun. Karena kondisi yang
berubah ini, nasib Kimpul turut berubah. Kalau dulu banyak orang yang satu profesi dengan Kimpul
bekerja di bawah pohon rindang di pinggir lapangan, kini hanya dia dan seorang lagi yang masih
menawarkan jasa di sana. Kalau dulu tanah kosong yang mengelilingi lapangan terasa teduh karena
beberapa pohon rimbun berdiri kukuh di sana, kini tanah kosong itu lenyap sudah karena seluruhnya
ditelan ruko-ruko yang beroperasi hingga malam hari. Cahaya matahari langsung jatuh di toko-toko
buku itu, karena sebagian pohon telah ditebang.

Sekarang, lahan kosong pun semakin sempit. Di lahan kosong yang sempit itulah Kimpul dan seorang
temannya membuka praktik sebagai pemotong rambut yang lazim disebut tukang pangkas. Dengan
hanya bermodalkan sebuah kursi lipat, sebuah cermin yang diikatkan ke sebuah tiang, seperangkat alat
pemotong rambut yang dibawanya di sebuah tas kecil yang kumuh dan sebotol air, ia siap melayani
siapa saja. hingga menjelang magrib.

Awan hitam yang merangkak tidak lagi kelihatan. Hujan juga tidak jadi berkunjung. Hari kembali cerah
hingga sore hari. Kimpul masih menunggu. Ternyata tidak ada orang yang ingin meminta jasanya untuk
memangkas rambut. Ketika magrib memperlihatkan wajahnya, Kimpul mengambil cermin dari tiang
yang dipancangnya, mencabut tiang itu, melipat kursi yang sejak pagi didudukinya, mengambil tas
kumuh yang berisi alat-alat cukur dan membuang air yang tersimpan dalam botol. Setelah itu dengan
mengayuh sepeda ia pulang tanpa memperoleh uang sepeser pun seperti dua hari sebelumnya.

***

Ketika Kimpul terangguk-angguk karena mengantuk, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ia


segera membuka mata dan berdiri. Seorang lelaki muda berusia sekitar tiga puluh lima tahun berdiri di
depannya sambil tersenyum. Ia menyilakan laki-laki itu duduk di kursi lipat yang sebelumnya
didudukinya. Kimpul menduga laki-laki itu akan memotong rambut. Laki-laki itu menolak dengan sopan
dan tetap berdiri.

Pak Kimpul, kan? kata lelaki muda itu bertanya.

Benar, saya Kimpul.

Masih kenal saya, Pak?

Kimpul menatap laki-laki itu, memperhatikannya dan mencoba menggali ingatannya. Ia tidak berhasil.
Karena itu ia menggeleng dengan sopan.

Saya Dasuki.

Dasuki? Kimpul kembali mencoba membangunkan memorinya. Sekali lagi ia tidak berhasil.

Tidak apa-apa, Pak, kalau tidak ingat. Maklum peristiwanya sudah lama sekali. Lima tahun. Cukup
lama memang.

Kimpul semakin tidak mengerti semua yang diucapkan laki-laki itu. Jangan-jangan dia salah alamat.
Mungkin saja yang dicarinya memang Kimpul, tapi Kimpul yang lain. Laki-laki yang menyebut namanya
Dasuki itu tidak ingin melihat wajah Kimpul yang bengong seperti itu.

Lima tahun lalu saya pangkas di sini. Pak Kimpul yang memotong rambut saya. Ketika Bapak akan
mencukur janggut, kumis dan cambang saya, tiba-tiba turun hujan deras. Saya menyambar sepeda
motor dan segera memacunya ke stasiun itu untuk berteduh, katanya sambil menunjuk ke arah
Stasiun Besar. Kimpul mendengarkan dengan serius.

Saya melihat Pak Kimpul berkemas dan membawa semua peralatan Bapak ke stasiun. Cuma, karena
banyak orang di sana, saya benar-benar tidak tahu di mana persisnya Pak Kimpul berteduh. Hingga
hujan berhenti dan semua orang meninggalkan emper stasiun, saya juga tidak melihat Pak Kimpul.
Karena saya harus segera kembali ke kantor, saya tidak kembali lagi ke tempat Bapak bekerja. Saya
langsung pergi dengan janggut, kumis dan cambang yang belum dicukur. Saya buru-buru karena
mempersiapkan kepindahan saya ke Jakarta dua hari setelah itu.

Kimpul masih dengan tekun mendengarkan penjelasan orang yang bernama Dasuki itu.

Lima tahun saya terganggu karena belum membayar ongkos pangkas rambut itu. Karena itu hari ini
saya sempatkan ke sini, pada saat saya sedang bertugas ke kota ini. Saya ingin membayar utang saya
itu.

Begitu selesai mengucapkan kalimat itu ia mengambil uang dari sakunya dan menyerahkan Rp 100.000
kepada Kimpul. Karena Kimpul masih tidak memahami cerita laki-laki itu, ia diam saja dan tidak berani
menerima uang yang diulurkan kepadanya. Dasuki memberikan uang itu ke tangan Kimpul dan
menggenggamkannya.

Permisi, Pak Kimpul, saya harus pergi sekarang untuk rapat. Kalau sempat saya akan datang lagi,
kata orang yang bernama Dasuki itu sambil melangkah pergi.

Kimpul merasa uang yang tergenggam di tangannya itu bukan miliknya. Ia pasti salah alamat, pikir
Kimpul. Karena itu Kimpul buru-buru berjalan ke arah laki-laki itu pergi. Setelah itu ia berlari-lari kecil di
keempat sisi lapangan, namun laki-laki tidak ditemukannya. Ia kembali ke tempatnya bekerja dengan
napas tersengal-sengal. Kimpul benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan uang Rp
100.000 di tangannya itu.

Ia berpikir keras dan menggedor ingatannya. Akhirnya ia sampai kepada kesimpulan bahwa semua
yang diungkapkan laki-laki itu tidak benar dan tidak pernah terjadi. Ingatannya cukup kuat untuk
mengetahui semua itu. Lalu mengapa ia memberikan Rp 100.000 sedangkan biaya pangkas lima tahun
lalu cuma Rp 5.000. Kimpul bergumam, dari mana pula orang bernama Dasuki itu tahu namaku,
padahal aku tidak pernah menyebutkan namaku kepada pelanggan karena memang tidak ada yang
pernah bertanya.

***

Bagaimana Das? Ketemu dengan orang yang kamu cari?

Tidak, sahut Dasuki menjawab pertanyaan istrinya.

Lalu bagaimana?

Aku mengelilingi lapangan itu. Hanya dua orang tukang pangkas yang aku temukan. Yang satu masih
muda dan yang seorang lagi, aku rasa berusia lebih dari enam puluh tahun. Mungkin sekitar enam
puluh lima tahun. Sebelum aku menghampiri orang tua itu aku bertanya dulu kepada penjaga toko
buku bekas yang kumasuki sebelumnya. Dialah yang memberikan nama Kimpul itu kepadaku.

Dasuki menunggu reaksi istrinya. Istri Dasuki menunggu kelanjutan cerita suaminya.

Lalu aku datangi orang tua itu dan kuberikan Rp 100.000. Aku ceritakan alasan mengapa aku
memberikan uang itu. Dia bengong dan mulanya tidak mau menerima uang itu. Tapi aku berikan uang
itu kepadanya dengan menggenggamkannya. Setelah itu aku pergi dan berjanji akan datang lagi kalau
aku masih punya waktu luang.

Kamu yakin bukan itu orang yang kamu cari?

Aku belum lupa wajah orang yang dulu memangkas rambutku. Pipinya kempot, kepalanya botak dan
tubuhnya ceking. Aku melihatnya begitu aku selesai makan gado-gado yang enak di pinggir lapangan
itu. Karena kasihan aku segera menghampirinya, duduk di kursi kayunya dan memintanya memotong
rambutku. Padahal sebelumnya aku berniat memotong rambut di barber shop di sebelah kantorku.
Hanya karena aku ingin makan gado-gado dulu makanya aku pergi ke pinggir lapangan itu, bertemu
dengan orang tua itu, jatuh kasihan dan memintanya memangkas rambutku.
Melihat Dasuki menceritakan hal itu dengan lancar istrinya tersenyum dan tidak bertanya apa pun.
Dasuki yang merasa perlu memberikan penjelasan lebih lanjut.

Orang yang kuberi Rp 100.000 itu berambut lebat, beruban dan tidak kurus. Tapi dengan memberikan
uang itu aku merasa utangku telah terbayar.

Kamu yakin akan merasa tenang setelah membayar utang itu walaupun bukan kepada orang yang
berhak menerimanya?

Lama Dasuki menunduk dan terdiam. Kemudian ia menengadah dan menatap istrinya.

Aku tidak tahu. Aku harapkan begitu.

Jakarta, 20 Juni 2011

MUDIK
Ayah adalah ayah dan kita tahu orang tua tidak berubah. Ia bangun untuk melakukan shalat subuh.
Selesai mandi, ayah akan duduk di beranda. Di atas meja rotan dekat vas berisi kembang plastik,
sudah tersedia segelas kopi. Setelah minum seteguk, ayah akan mengeluarkan skuternya dari garasi
dan menghidupkannya.

Demikian ritual yang dijalankan ayah tiap pagi sejak dua puluh-tiga puluh tahun lalu sampai saat kita
mudik kali ini. Kacamata ayah adalah yang ia pakai ketika meminang ibu. Setiap tahun kita
membelikannya sarung tetapi ia menyimpannya di lemari. Ayah memakai sandal yang ia pakai tahun
lalu, dua tahun lalu, tiga tahun lalu, bahkan kita tidak pernah ingat melihatnya berganti sandal baru.
Tatkala kita memberinya sepasang Crocs warna ungu Lebaran lalu, ia seperti tersinggung alih-alih
tersanjung, apalagi terharu.

Ibu rajin bin tabah. Bangun pagi-pagi, mendidihkan air, menyeduh kopi, mencuci pakaian, menyiapkan
sarapan, dan kita tidak ingat kapan ibu pernah tidak begitu, termasuk hari minggu, hari libur, atau
Lebaran seperti sekarang. Ibu pula yang menyapu, mengepel, menanak nasi, memasak, menjahit,
memberi makan kucing, dan menyiram tanaman. Ibu tidak mengomel soal uang belanja layaknya istri
kita merecoki kita. Ibu tidak pernah meminta ayah keluar malam-malam seperti istri kita menyuruh kita
membelikannya martabak pada pukul sebelas malam. Ibulah yang melarang kita mengajak anak gadis
orang nonton bioskop sebelum yakin hendak menikahinya. Ibu mengajari kita agar membawa jeruk bila
mengunjungi orang sakit. Dari ibu kita tahu riwayat sanak saudara dan tetangga-tetangga.
Kakak ada kalanya bersikap manis tetapi lebih sering sinis. Ia hanya menjajani kita bila hendak
meminta tolong kita membantunya mengerjakan sesuatu atau membujuk kita merahasiakan
kesalahannya. Bila datang bulan, ia menjadikan kita bulan-bulanannya. Kakak malas, sejak dulu sampai
sekarang, tetapi ia dapat disebut berhasil dalam sekolah serta kariernya dan kita tahu pasti itu berkat
doa ayah-ibu selain bahwa ia memang tidak bodoh. Pulang mudik bersama suaminya, mereka masih
tidur meskipun matahari sudah tinggi dan baru bangun menjelang siang.

Adik selalu merongrong. Minta uang. Tahun ini ia akan lulus SMA dan uang yang ia minta semakin
banyak. Sama seperti semua remaja yang mulai berjerawat, adik berpacaran. Cinta monyet. Kita cemas
ia tidak mau meneruskan sekolah dan memilih menikah muda. Soalnya ia sudah memperkenalkan
pacarnya, seorang entah gadis entah tidak lagi, yang menindik hidung, puser, dan lidahnya. Saat
bertemu, kita juga melihat anak itu menyemir rambutnya, mengenakan sepatu bot, dan memakai
maskara hijau. Kita pikir adik sudah gila atau kena guna-guna. Namun, pacar adik itu cukup sopan,
bahkan untuk ukuran ayah dan ibu. Hanya penampilannya menjengahkan dan bisa membuat orang
salah menilainya. Mungkin itu disebut sensasi mengekspresikan diri.

***

Dahlan sekarang sudah menjadi orang. Tahun ini ia pulang mudik membawa Honda CRV edisi terbaru.
Ke mana-mana ia membagikan kartu nama. Ia sudah menjabat direktur sebuah BUMN dan suka main
golf. Di Aliyah dulu, Dahlan siswa yang jorok. Setelah menjadi pejabat pun ia tidak pandai berpakaian.
Bila mengenakan kemeja batik, kancing pada bagian perutnya sering lepas mempertontonkan
pusernya karena ia tidak juga mengenakan singlet. Tak jarang ia lupa menaikkan retsleting celananya
pula, persis saat masih sekolah. Untuk itu kini ia memiliki asisten yang senantiasa mengingatkannya.
Padahal, ia cukup menyiasati kemungkinan keteledorannya dengan mengenakan baju yang lebih
longgar dan panjang. Nasib orang tidak ada yang tahu. Orangtua Dahlan sangat bahagia dan suka
bercerita mengenai anak mereka.
Sumarni menjadi perancang program komputer. Ia mampu memecahkan semua masalah teknis pelik.
Dulu ia menolak dikawinkan setelah lulus kuliah dan bersikeras melanjutkan pendidikan ke Jepang.
Pulang dari Jepang ia pergi menuntut ilmu ke Swiss. Kembali dari Swiss ia berangkat lagi mencari
pengalaman ke Massachusetts. Ia tidak jelek, hanya tidak terlalu suka bergaul. Ia tidak pernah punya
inisiatif memulai pertemanan sehingga orang menganggapnya tertutup dan menjaga jarak dengannya,
baik pria maupun wanita. Bila orang mulai bicara soal cowok, gaya berdandan, dan seks, Sumarni
biasanya langsung menyingkir. Kini Sumarni pulang membawa sejumlah gelar, termasuk S-4.
Rambutnya sudah beruban dan kacamatanya menebal. Tahun ini orangtuanya berancang-ancang
menjodohkannya dengan seorang peternak sapi.

Joko, di zamannya siswa paling ganteng di kelas, sekarang menjadi koruptor. Ia mudik untuk meminta
maaf kepada ayah-bundanya dan memohon didoakan agar diberkahi rezeki. Ternyata koruptor selama
ini menganggap kesempatan yang diperolehnya merupakan limpahan rezeki berkat doa-doanya dan
doa orangtuanya. Itu sudah rezeki gue, kenapa sirik? cetus Joko membela diri. Arlojinya kini Rolex
Perpetual berantai emas 22 karat. Ia siap membantu warga kampung. Pak RT menerima Rp 10 juta
untuk membangun rumah Mak Icih yang hampir roboh. Pak Lurah mendapat Rp 25 juta untuk
membantu petani membeli pupuk. Pak Camat konon memperoleh sampai Rp 40 juta entah untuk apa.
Semua orang, kecuali KPK, melihat Joko tokoh yang sukses dan murah hati. Joko tidak korupsi. Ia
mendapat semuanya karena rajin berdoa, kata Ustaz Jamil.

Kita tidak bisa melupakan Santi. Alisnya, matanya, bibirnya, lehernya, jemarinya, dadanya,
pinggangnya, pinggulnya, betisnya, pernah membuat jiwa dan raga kita meradang menerjang. Dulu,
melihat atap rumahnya saja kita sudah senang bukan alang kepalang. Sampai mudik ke berapa pun,
Santi terlihat cantik dan bersih. Santi telah menikah tiga tahun lalu dengan juragan tahu asal
Sukabumi. Kita merasa jengkel dan menyesal, padahal punya banyak peluang menyatakan cinta
kepada Santi. Kita malu menjadi pengecut. Setiap kali mudik kita mencari tahu kabar Santi. Tahun ini
kita tahu Santi telah diboyong suaminya ke Ciamis. Sepertinya usaha suaminya berhasil dan kita hanya
bisa berharap Santi menikmati hidupnya sebagai istri juragan. Cinta memang kadang-kadang tidak
mudah. Perlu keberanian untuk membawa cinta keluar dari sekolah. Namun, banyak cinta kehilangan
sihir dan sarinya setelah meninggalkan halaman Aliyah.

***

Sekolah merupakan monumen masa lampau. Kita pasti mampir ke sana. Halaman rumputnya terlihat
sudah mengering dan menciut skalanya. Sebagian lahan telah dibangun kelas-kelas baru di atasnya.
Tak tersisa cukup tempat untuk bermain alip-alipan lagi. Maka, anak-anak sekarang bermain bola
melalui PlayStation. Pohon beringin di tengah pekarangan sekolah sudah ditebang dan bekasnya
dipasangi paving block. Lonceng yang dipukul sudah diganti dengan bel listrik yang diatur otomatis
berbunyi pada waktu tertentu. Pak Maman sudah dipecat sebab tidak dibutuhkan lagi orang untuk
memukul lonceng dan memotong rumput. Pak Silitonga, guru fisika, sudah wafat akibat TBC. Ibu
Jumilah yang mengajar geografi telah pensiun dan kini sakit-sakitan. Kehidupan guru, entah mengapa,
selalu tragis. Setiap kali mudik dan mampir ke sekolah, kita tidak dapat menahan air mata yang tahu-
tahu sudah berlinang.

Toko kitab Pak Wongso masih buka. Masih menjual buku mewarnai, komik terbitan lokal, beberapa jilid
buku memasak dan menjahit, serta novel-novel lama seperti Cintaku di Kampus Biru dan Hamlet,
Pangeran Denmark. Semuanya buku lama atau buku yang asalnya baru tetapi jadi lusuh lantaran lama
tak laku-laku. Tak ada buku pelajaran dijual di sini sebab sudah diatur penyalurannya melalui sekolah
yang bekerja sama dengan penerbit buku. Kalau Pak Wongso tidak keras kepala, anaknya sudah
menutup toko buku ini dan membuka kafe di sini. Pak Wongso tidak mengenal kita lagi tetapi kita
mengenalinya. Ia sudah uzur sekali dan kini tidak memiliki gigi. Ajaibnya, ia masih terlihat memakai
kacamata kulit kura-kura yang sama yang mungkin akan dikenakannya hingga akhir hayatnya.

Pasar Lama masih bertahan. Kotornya dan baunya juga. Becak-becak yang menutupi sebagian jalur
jalan di depan pasar pun ikut bertahan. Tukang-tukang becaknya mengingatkan kita kepada waktu
yang berlalu bergegas. Mbok Umi masih berjualan gado-gado dan harganya masih tiga ribu. Bila harga
sayur-mayur, tahu, dan kacang naik, Mbok Umi mengurangi porsinya sehingga harga jualnya tetap.
Pembeli bertambah sejak Mbok Umi berjualan didampingi putrinya yang saban hari mengenakan tank-
top dan jins low-waist. Jika sedang berdampingan, kita dapat mempelajari perubahan zaman dari sosok
Mbok Umi dan putrinya. Wak Alang, penjual ikan asin yang suka berkata jorok menggoda ibu-ibu, masih
berjualan. Sekarang dia tidak banyak ngomong lagi sejak sering sesak napas belakangan ini. Barangkali
sebentar lagi Wak Alang akan mati.

Kantor pos, PLN, PDAM, dan Telkom masih melayani dari gedung yang sama, bahkan pegawainya masih
yang dulu-dulu juga. Kiranya suasananya tidak sesibuk dulu. Orang sekarang bisa memilih membayar
rekening listrik dan tagihan PAM atau telepon melalui ATM dan tidak perlu mengunjungi fasilitas
pelayanan di gedung-gedung tua yang menyeramkan. Ke kantor pos? Untuk apa? Bukankah sejak
sepuluh tahun terakhir ini kita tidak pernah berkirim-kirim surat lagi? Waktu seperti berhenti di sini.
Mudik seperti kembali ke masa lampau. Bersyukurlah bahwa kita masih sempat mudik untuk menikmati
dan menghormati masa silam.

Bandung, 5 Agustus 2011

BURUNG API SITI


Burung-burung api itu melesat dan menembus jantung para pembantai. Para pembunuh terbakar.
Tubuh mereka menyala. Siti bertanya, Mengapa bangau-bangau ini jadi ganas semua?

Tak ada keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang bercumbu. Dan Siti menatap takjub
beratus-ratus pasangan bangau yang sedang berkencan itu. Burung-burung itu serempak
mencericitkan kicau mirip tangisan paling pedih yang memekakkan telinga tetapi pada saat sama
mereka bergerak mirip penari keraton. Mereka mengayunkan sayap dalam gerak yang kadang-kadang
lamban, kadang-kadang cepat, kadang-kadang ritmis, kadang-kadang sembarangan. Mereka juga
melompat, berlari, melompat lagi, dan berlari lagi. Dan yang membuat lelaki kencur 10 tahun itu lebih
takjub, bangau-bangau itu berdiri tegap saling menatap dengan paruh menusuk ke langit. Ia tak tahu
kenapa sang pejantan hanya mengeluarkan suara sekali dan para betina berkali-kali.

Itulah pemandangan yang berulang-ulang dilihat oleh Siti dan berulang-ulang pula membuat dia
kehilangan cara untuk mengungkapkan ketakjuban. Akan tetapi, hari itu, pada Oktober 1965 saat angin
laut begitu asin dan amis, burung-burung bangau itu nyaris tidak melakukan gerak apa pun. Isya sudah
usai menghampiri kampung di ujung tanjung itu tetapi satwa-satwa tropis ini tetap saja membisu. Siti
menduga ada ratusan ular raksasa yang menelan mereka. Dan dalam benak lelaki kencur itu hewan
melata yang menjijikkan itu mula-mula menyambar sayap, lalu menghajar, dan meng-kremus kepala-
kepala mereka.

Karena penasaran, Siti yang dari masjid hendak bergegas ke rumah, tiba-tiba berbalik arah menuju ke
tanah lapang yang dikelilingi hutan bakau tak jauh dari makam yang dikeramatkan. Dari tanah lapang
itulah, ia akan bisa dengan seksama melihat segala yang terjadi pada burung-burung bangau yang
berkerumun di tanah becek, di antara pohon-pohon bakau. Tentu jika memang benar ular-ular raksasa
itu melahap secara sembarangan burung-burung bangau kesayangan, dengan oncor (1) yang terus
menyala Siti akan mengusir binatang-binatang menyeramkan itu.
Kalian tak boleh menyakiti temantemanku, kata Siti sambil mengacung-acungkan oncor kepada ular-
ular yang ia bayangkan sangat ganas itu.

Ternyata tidak ada yang mencurigakan. Tak ada ular-ular raksasa yang berkeliaran. Tak ada satu pun
bangkai bangau yang berdarah-darah. Ratusan bangau itu justru nyekukruk (2) meskipun tetap
mencericitkan suara-suara kacau yang memekakkan.
Mengapa kalian tak menari?

Tak ada jawaban. Siti sama sekali tidak tahu sesungguhnya alam punya cara merahasiakan segala
peristiwa buruk kepada anak-anak. Bangau-bangau dan pohon-pohon bakau itu malam itu seakan-akan
menjadi benteng kokoh yang tidak bisa ditembus oleh mata lemah Siti. Saking rapat mereka
menyembunyikan segala hal yang terjadi di balik gerumbul bakau dan benteng bangau, Siti hanya
melihat semacam dinding tebal hitam memisahkan tanah lapang dari ujung tanjung. Akibat air
menyurut ujung tanjung itu berubah menjadi alun-alun penuh pasir, selongsong siput, dan aneka
kerang.

Ayolah, mengapa kalian tidak menari? teriak Siti sekali lagi.

Tetap tak ada jawaban. Tetap hanya angin amis yang menampar-nampar tubuh Siti yang terlalu rapuh
untuk berhadapan dengan amuk malam.

***

Apa yang disembunyikan oleh bangau-bangau dan pohon bakau? Jika saja telinga Siti tidak ditulikan
oleh kicauan bangau, sesungguhnya ada jerit panjang terakhir yang menyayat dari sebelas perempuan
dan laki-laki dewasa yang lehernya dipancung oleh para pembantai dari kampung sebelah. Para
pembantai itu meneriakkan nama Allah berulang-ulang sebelum dengan hati dingin mengayunkan
parang, sebelum dengan kegembiraan bukan alang kepalang menusukkan bayonet ke lambung.
Kami harus membunuh mereka karena sebelumnya mereka akan membunuh kami, kata seorang
serdadu.

Kami harus membantai orang-orang yang menistakan agama ini karena mereka telah membunuh para
jenderal terlebih dulu, kata seorang pemuda berjubah serbaputih.

Apa yang disembunyikan oleh bangau-bangau dan pohon bakau? Jika saja mata Siti tidak dibutakan
oleh ratusan bangau yang membentuk semacam dinding pembatas, sesungguhnya ada puluhan
perempuan dan laki-laki dewasa, serta anak-anak kecil dari kampung sebelah mengarak sebelas
makhluk malang dibelit tali ke ujung tanjung. Para makhluk yang dianggap manusia paling laknat dan
bersekutu dengan setan itu, dipaksa untuk menggali kubur bagi dirinya sendiri di tanah lapang
berpasir. Setelah semuanya selesai orang-orang yang merasa paling suci menusukkan bayonet dan
mengayunkan parang sesuka hati ke leher atau ke punggung ringkih.

Jangan menganggap kami kejam.Jika sekarang mereka tak mati, pada masa depan mereka akan
membantai seluruh keturunan kami, desis seorang perempuan nyaris tak terdengar oleh orang lain.

Ia berbicara untuk dirinya sendiri.

Ini tugas negara. Tak perlu kalian anggap ini sebagai kekejaman yang tak terampuni, desis seorang
serdadu nyaris tak terdengar oleh serdadu lain.

Ia berbicara untuk dirinya sendiri.

Apa yang juga tak didengar dan dilihat oleh Siti? Tangis bangau dan jerit pohon bakau. Mereka gigrik
menyaksikan segala peristiwa yang terjadi saat itu karena Allah tidak menyembunyikan sorak-sorai dan
tarian suka cita para pembantai setelah makhluk bantaian terbunuh kepada mereka.

Lalu makin malam laut kian pasang. Para pembantai telah kembali ke rumah. Sorak-sorai menghilang.
Tanah lapang di ujung tanjung telah tenggelam. Pasir yang semula digenangi darah dengan cepat
terhapus. Segalanya sunyi diam. Segalanya dilupakan oleh para pembantai dan saksi mata
pembunuhan kejam itu.

***

Akan tetapi Oktober yang kian panas dan ganas tetap saja tak memiliki cara lembut untuk
memperkenalkan kematian kepada Siti. Para pembantai yang dari bisik-bisik di kampung sebelah
telah dirasuki arwah para jenderal yang dibunuh di kota yang jauhsepanjang siang sepanjang malam
mencari siapa pun yang dianggap sebagai para pemuja iblis, yakni iblis-iblis yang senantiasa mengibar-
ngibarkan bendera palu arit dan menari-nari sambil bernyanyi-nyanyi saat menghajar para jenderal dan
para pemeluk teguh.

Azwar, ayah Siti, hanya karena tidak pernah mau bergabung dengan para serdadu dan orang-orang
yang mengaku paling suci, kali ini tak terhindarkan harus menjadi makhluk buruan paling dibenci.

Puluhan orang dari kampung sebelahtentu bersama para serdadu dan lelaki beringas berjubah
serbaputihmenyerbu kampung di ujung tanjung setelah Isya yang sangat tenang itu. Mereka
mengasah amarah sambil menjulur-julurkan lidah, mengacung-acungkan parang, dan meneriakkan
kebesaran Allah berulang-ulang agar segala tindakan tersucikan dari kesalahan.

Untuk membantai Azwar, kau tahu, seharusnya cukup seorang serdadu menusukkan bayonet ke
lambung. Tetapi mengutus serdadu yang ringih tidaklah mungkin. Warga kampung di ujung tanjung
sangat mencintai Azwar. Membunuh lelaki kencana yang senantiasa menjadi suluh kampung dalam
segala tindakan akan membuat warga kalap. Karena itu agar bisa meredam kemarahan para pemuja
Azwar, tidak ada cara lain puluhan pembantai harus disiagakan.

Bunuh, Azwar! Selamatkan warga kampung dari iblis laknat ini!

Bunuh, pembela para pembenci Allah ini!

Bunuh dia!

Bunuh dia!
Siti yang saat itu sedang mengaji dan mempercakapkan dengan Azwar tentang perbedaan burung-
burung bangau di tanjung dari burung-burung ababil yang menghajar tentara gajah, terperanjat
mendengar teriakan-teriakan itu.

Setelah ia bertanya, Apakah para bangau bisa menjadi burung api? dan dijawab Azwar, Semuanya
bisa terjadi jika Allah mengizinkan. Siti lalu mengintip dari lubang jendela dan mendapatkan puluhan
orang mengacung-acungkan parang dan mengacungkan bayonet. Ia juga melihat puluhan warga
kampung dengan gagang pendayung sampan mencoba menghalau para pembantai.

Lalu teriakan pun berbalas teriakan. Acungan parang dan bayonet pun berbalas acungan gagang
pendayung. Pertumpahan darah akan segera terjadi jika tak seorang pun berusaha mencegah
pertempuran pada malam yang hanya disinari oleh separo bulan itu.

Pada situasi yang semacam itu, di luar dugaan Siti, Azwar membuka pintu dan dengan langkah yang
sangat tenang menyibak kerumunan. Warga kampung menghalang-halangi, tetapi Azwar tetap
berusaha membelah kerumunan dan bergegas menghadapi para pembantai yang berteriak-teriak tak
keruan.

Bunuhlah aku jika kalian anggap dengan membunuhku hidup kalian lepas dari iblis paling laknat,
Azwar berteriak membelah malam.

Tak ada jawaban. Sebuah parang mengayun di punggung Azwar.

Bunuhlah aku jika kalian anggap dengan membunuhku kalian akan jadi manusia-manusia paling suci!

Tak ada jawaban. Sebuah bayonet ditusukkan ke lambung Azwar.

Tentu saja warga kampung di ujung tanjung tak bisa membiarkan Azwar dibantai di depan mata
mereka. Karena itu sebelum leher Azwar dipancung, sebelum tubuh Azwar diseret dan dibuang ke laut,
warga kampung melakukan perlawanan.

Lalu parang-parang dan bayonet pun beradu dengan gagang pendayung. Beberapa orang tertebas
parang, beberapa orang tertusuk bayonet, beberapa orang terhantam gagang pendayung sampan.

Di mana Siti? Siti tidak melihat pemandangan mengerikan itu. Pada saat sama burung-burung bangau
yang menghuni hutan bakau di kampung itu terbang bersama-sama dan mengepung orang-orang yang
sedang bertikai. Tak ada celah sekecil apa pun yang memungkinkan Siti melihat darah yang mengucur
dari lambung atau bacokan parang di punggung. Bangau-bangau tetap tak menginginkan kekejaman
dan kekerasan diendus oleh anak-anak sekencur Siti.

Akan tetapi Oktober yang kian panas dan ganas tetap saja tak memiliki cara lembut untuk
memperkenalkan kematian kepada Siti. Teriakan-teriakan para pembantai kian keras. Teriakan-teriakan
yang dibantai juga tak kalah keras. Darah mengucur. Tanah berpasir di tanjung pun memerah hingga ke
ujung, hingga ke relung-relung cangkang siput dan kerang murung.

Tak ada cara lain untuk menghentikan pertempuran sia-sia itu, kecuali burung-burung bangau di ujung
tanjung itu harus mengulang peristiwa bertahun-tahun lalu yang pernah dilakukan oleh nenek moyang
mereka. Atas izin Allah, bangau-bangau yang riuh mencericitkan semacam zikir itu lalu meliuk-liuk ke
arah pembantai dan setiap liuknya menebarkan api. Bangau-bangau itu sebagaimana burung ababil
menjatuhkan batu-batu sijil dari neraka ke tubuh para pembantai. Batu-batu api itu bergesek dengan
udara, menembus dada para pembantai sehingga tubuh-tubuh para pembunuh itu terbakar. Dan
karena para pembantai itu berlarian tak keruandan alhamdulillah Allah mengizinkan dan tak berhasrat
membunuhnyadari kejauhan tampak seperti panah-panah api yang melesat menembus kegelapan
malam.

Saat itulah Siti melihat segala peristiwa yang mengerikan itu. Melihat tubuh para pembunuh menyala,
Siti bertanya, Mengapa bangau-bangau ini jadi ganas semua?

Tak ada jawaban. Siti hanya melihat Azwar tertatih-tatihdengan luka di lambung dan leher yang terus
mengucurkan darahberjalan ke arah masjid dan sisa-sisa kilatan api para bangau yang terus riuh
mencericitkan semacam zikir menggores langit Oktober yang perih. Siti hanya tahu kampung pada
akhirnya jadi sunyi kembali seperti tak pernah terjadi kekejaman agung yang tak tepermanai.

Siti hanya

Semarang, 7 Agustus 2011


BATAS TIDUR
Jika hendak tamasya, kami akan pergi ke batas tidur, tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun
seringan kapas. Benda-benda, gedung, gunung, laut, pohon, dan ternak terangkat, namun tetap
terpegang erat di tempatnya. Kicau burung, suara serangga, dan desau angin, jernih dan jelas
sumbernya. Bisikan-bisikan menjadi percakapan nan merdu.

Sebelum berangkat kami akan berkumpul di lembah Astungkara, di hamparan yang kami sebut
campuhan, terbentuk oleh pertemuan dua sungai: Tukad Telagawaja dan Tukad Tugtugan. Orang-orang
memercayai, campuhan adalah lembah suci, tempat mencari keheningan dan pelepasan. Seorang guru
akan membimbing kami, menyodorkan ajakan dan kepastian, ke wilayah mana kami akan tamasya.

Tak seorang pun tahu asal Sang Guru. Kami mengenalnya begitu kami mulai berkumpul di lembah
Astungkara, kemudian memanggilnya Guru Tung, yang sehari-hari sibuk mengurus kebun, beristirahat
di gubuk beratap alang-alang, dengan tiang-tiang dan sekat bilik dari kayu. Orang-orang kemudian
menyebut tempat itu sebagai pedukuhan Astungkara.
Jika hendak tamasya, di pedukuhan itu kami berbaring terlentang menatap angkasa, memusatkan
lamunan pada bintang-bintang dengan rentang sekian juta tahun cahaya. Beberapa tergolek nyaman di
bawah pohon wani, jambu, mangga, atau durian. Yang lain terbaring begitu saja di atas rumput
sehingga sekujur tubuh berselimut embun. Ada yang nyaman telentang dalam bilik atau di emperan
pondok yang menghadap ke sungai. Jika sudah siap, Guru Tung memberi aba-aba dengan helaan napas
supaya kami bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bersua dengan kosong sejati.

Dalam kosong kami bisa mendengar detik-detik terakhir kami di bumi, saat berada persis pada batas
gelap dan terang, pada sekat tipis wilayah gemuruh dan sunyi. Batas-batas itu oleh Guru Tung
diajarkan kepada kami sebagai peralihan antara terjaga dan tidur. Semua orang bisa memilih saat
hendak istirahat tidur. Tapi, tak seorang tahu detik ketika ia tertidur, ujar Guru. Siapa pun yang bisa
meraih detik ketika tertidur, ia akan tetap terjaga, rohnya melayang bisa melihat raga sendiri. Niscaya
ia bisa memilih saat melepas roh dari raga untuk mati.

Kami pun dibimbing untuk menguasai aji batas tidur, ilmu sederhana tapi bukan main sulit
mendapatkannya. Kami diminta memejamkan mata, mengintip dengan perasaan dan khayalan, saat-
saat menjelang tidur, sehingga bisa menyadari detik terakhir terjaga. Tapi, yang sering terjadi justru
kami terlelap tanpa tahu jam dan detik berapa kami tertidur.

Kendati kami belum menguasai ilmu batas tidur, Guru Tung selalu dengan senang hati membantu kami
melepas roh dari raga, sehingga kami bisa tamasya melayang-layang seringan kapas. Raga yang kami
tinggalkan di bawah pohon, dalam bilik, di hamparan rumput, tak boleh dipindahkan dari
kedudukannya. Jika digeser, roh tak bisa kembali memasuki raga, matilah orang itu. Biasanya kami
meminta bantuan satu atau beberapa orang untuk tidak ikut tamasya, bertugas menjaga ketetapan
posisi jasad kami, karena siapa tahu tiba-tiba ada yang berkunjung, bingung melihat kami terserak
ketiduran, lalu menggoyang-goyang dan menggeser raga kami untuk membangunkan.

Guru Tung bercita-cita menciptakan rumus aji batas tidur agar mudah dikuasai dan dihayati kapan pun
oleh siapa saja. Seperti rumus Phytagoras yang memudahkan orang membuat sudut sembilan puluh
derajat setelah membuat kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-siku. Menurut Guru
Tung, karena kematian adalah kepastian, ia bisa dijabarkan dengan matematika.

Jika banyak orang menguasai aji batas tidur, orang sakit parah tak tersembuhkan tak perlu sengsara
karena bisa memilih hari kematian yang diinginkan tinimbang minum obat mahal tak kunjung
menyembuhkan dan terus memiskinkan. Tak akan ada orang digencet sakit hati dan putus asa tewas
gantung diri atau menenggak racun, karena ia akan memilih mati teduh lewat batas tidur. Kematian
bukan lagi maut yang seram menakutkan dan merepotkan, namun sebuah pilihan yang kapan pun bisa
diselesaikan sesuai keinginan, bisa dihitung seperti bilangan.
Pedukuhan Astungkara pun jadi terkenal, dikunjungi banyak orang dari berbagai benua dan pelosok
negeri, datang belajar untuk mati dengan pertolongan ilmu batas tidur. Bule-bule banyak di sini,
membuat iri para pemilik wisata spiritual di hotel dan vila dengan menu tapa-yoga-semadi, karena
ditinggalkan peminat. Tapi, sedikit orang asing yang bisa ikut tamasya dengan bimbingan Guru Tung
karena sebagai pelancong, waktu mereka sempit, tergesa-gesa, tak pernah sanggup bersujud pada
sepi, gagal memohon pada sunyi dan hening, untuk masuk ke dalam kosong. Di antara kami yang
berhasil adalah Dingkling, seorang terpidana mati yang divonis tujuh tahun lalu. Karena berkelakuan
sangat baik, ia sering diizinkan bermalam di pedukuhan Astungkara, dibimbing Guru Tung ikut tamasya
bersama ke batas tidur.
Tadi malam Dingkling datang ke pedukuhan, dan akan menjadi malamnya yang terakhir karena dini
hari ia akan berhadapan dengan regu tembak. Ketika ditanya permintaan terakhir sebelum dieksekusi,
dengan gembira ia menjawab, Izinkan saya mampir ke pedukuhan Astungkar, untuk mendapat doa
restu Guru Tung dan murid-muridnya.

Kami merayakan perpisahan itu dengan tamasya bersama ke batas tidur. Dingkling memilih berbaring
menatap angkasa raya di bawah pohon leci, di antara rentang akar-akar yang menyembul ke atas
tanah. Dua sipir siaga menjaganya penuh awas. Kami yang menemani Dingkling tamasya segera
masuk ke dalam kosong. Tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas, benda-benda
terangkat mengambang.

Menjelang dini hari, dua sipir itu membangunkan Dingkling, menggoyang-goyang tubuhnya. Ketika
Dingkling tak juga bergerak, sipir itu panik. Kita angkat ke dalam, ayo! teriak sipir yang kurus,
setengah menyeret tubuh diam itu.

Kami terjaga, secepatnya kembali dari tamasya. Bergegas kami bangkit dari tempat masing-masing di
atas rumput dan bawah pohon, menghambur ke dalam bilik. Guru menatap tubuh Dingkling yang
lunglai di ubin. Kami saling pandang karena tahu Dingkling tak bakal kembali. Ia meninggal dalam
tamasya batas tidur karena sipir memindahkan raganya dari bawah pohon leci ke dalam bilik.
Ikhlaskan, mari kita berdoa, Dingkling sudah pergi dengan damai, ujar Guru. Dua orang sipir itu
ternganga, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada komandan karena kelalaian mereka
membuat regu tembak yang sudah siaga urung bertugas.

Berita terpidana hukuman mati tewas di pedukuhan Astungkara beberapa jam menjelang eksekusi
menjadi berita besar, disiarkan televisi berulang-ulang, merambat cepat lewat pesan singkat telepon
seluler. Menjelang petang, gerombolan orang riuh di depan pedukuhan. Beberapa orang
mengacungkan kelewang, selebihnya menggenggam batu yang diambil dari sungai, siap dilempar ke
pondok. Ada yang mengacung-acungkan obor. Bakarrrrr! Bunuhhhhh! jerit mereka galak
berulang-ulang.

Kami gemetar, namun pasrah dan mencoba tenang. Sudah sejak lama berembus kabar, penghuni
pedukuhan Astungkara tengah menekuni ajaran sesat. Orang-orang sangat meyakini itu karena yang
datang ke tempat kami adalah kaum terbuang, manusia-manusia yang dikucilkan karena depresi
menderita sakit tak tersembuhkan. Banyak yang dikenal sebagai pemadat, mantan preman, pemakai
narkoba yang kemudian mengidap AIDS, sengsara menunggu ajal. Sekarang, para penuduh itu punya
kesempatan melampiaskan amarah, berdesak-desak hiruk-pikuk sampai di tepi sungai, berteriak-teriak
kasar menantang dan mengumbar bermacam tuduhan. Empat pemimpin mereka berdiri di pintu pagar
pepohonan. Kami masuk bilik menemui guru yang duduk bersila di lantai.

Biarkan mereka masuk, sekarang saat menunjukkan siapa kita, ujar Guru lembut, tenang, dan
bersahaja.

Empat pemimpin itu memasuki halaman, kami menyongsong mereka dengan memaksakan keberanian.

Mana Pak Pektung?! teriak pemimpin yang mengenakan destar melecehkan nama Guru, dengan bibir
sinis menyeringai. Seingat kami, dia salah seorang tokoh yang punya vila dengan wisata spiritual tapa-
yoga-semadi.

Katakan pada gurumu, jangan memelihara iblis dan setan! seru pemimpin yang bersarung.

Dosa besar kalau gurumu mengajarkan tentang semesta kepada kalian, namun tak menyebut-nyebut
kebesaran Tuhan, ujar pemimpin yang mengenakan jas dan berdasi.

Pemimpin yang berkepala gundul menghampiri kami sembari berujar dengan datar, Gurumu boleh-
boleh saja jadi pemimpin, tapi jangan menyesatkan umat.

Tapi, pengikut empat pemimpin ini sungguh sangar dan berlumur dengki. Bakarrrrr! Bunuhhhhh!
teriak mereka sengit merangsek maju menerobos pagar tanaman. Nyala obor yang diacung-acungkan
kian terang karena petang akan sempurna, hari sebentar lagi malam. Kami masuk ke pondok diikuti
empat pemimpin itu. Di dalam, kami tercengang, guru tak ada lagi. Kami hanya menemukan onggokan
abu di tempat Guru tadi bersila.

Lelaki berdestar dan pemimpin bersarung tertawa terbahak menyaksikan onggokan abu itu. Mungkin
mereka menduga itu abu sisa pemujaan. Mereka berdua maju dan menendang gundukan abu itu
berulang-ulang sembari terus terbahak. Lengking tawa bercampur gulungan debu beterbangan
memenuhi bilik. Abu terserak ke mana-mana.
Tiba-tiba cahaya terang benderang menyilaukan menyergap, seperti usai gemuruh dentuman ledakan
bom. Kami terperangkap dalam kilatan dahsyat cahaya, tak sanggup melihat apa pun, harus
secepatnya memejamkan mata karena silau cahaya benderang itu akan merusak kornea. Kami tahu
yang seharusnya kami lakukan: segera telentang di lantai, tangan bersedekap di dada, menghadap ke
atap, mencoba masuk ke dalam kosong, agar segera melayang masuk angkasa. Kami melihat Guru
berdiri. Sekarang mereka tahu siapa kita, ujar Guru pelan.

Guru Tung pernah bercerita, seseorang yang sempurna menguasai aji batas tidur, jika memilih saat
untuk mati, ia akan mengeluarkan energi panas membakar raga sendiri jadi abu. Setelah itu, ia akan
menjadi seberkas cahaya yang bisa menampakkan diri, sanggup bercakap-cakap dengan siapa saja,
kapan pun ia mau. Kami mengerti, Guru Tung telah menjadi cahaya, moksa. Aji batas tidur adalah jalan
pelepasan, menuju pembebasan yang sempurna, hidup kekal abadi. Dan yang tidak paham ketika
berhadapan dengan peristiwa pelepasan akan terbakar, seperti empat pemimpin itu. Mereka menjerit-
jerit keluar halaman pedukuhan, menggelepar-gelepar menahan panas pada mata, buta, karena kornea
mereka binasa oleh sergapan kilatan benderang cahaya. Telinga mereka mendenging, tuli.
Kerongkongan tercekat oleh hawa panas, akan membuat mereka gagap dan terbata-bata kalau bicara.

Setelah peristiwa petang itu, jika hendak bertemu Guru Tung, kami akan telentang menatap angkasa,
memusatkan lamunan pada bintang-bintang jutaan tahun cahaya, bersujud pada sunyi, memohon pada
hening dan sepi, agar bisa bersua dengan kosong sejati. Kami akan terus di campuhan ini, meresapi aji
batas tidur, agar bisa memilih sendiri hari mati.

Denpasar, September 2011

EPITAPH BAGI SEBUAH ALIBI


Jam meja memekik-mekik membangunkan Flayya. Tangannya yang selicin pualam itu bergerak spontan
hendak mematikan alarm, melanjutkan kembara mimpi dari ranjang kamar apartemennya yang asri.
Namun sel-sel otaknya mengingatkan ada pergantian jadwal siaran, sehingga dia harus siap di studio
dalam waktu 60 menit ke depan. Badan lampainya melayang turun menuju kamar mandi, sembari
menanggalkan secuil busana yang masih tersangkut di ranum raga.

Astaga! pekik Fla saat melihat lidahnya di cermin. Daging lembut merah muda itu dipenuhi
kerumunan ulat yang menggeliat. Isi perutnya bergolak, memberontak dalam semburan brutal yang
mengubur wastafel putih gading di depannya menjadi entah apa warnanya. Dibukanya keran air panas
sebesar-besarnya untuk mengusir anyir. Dipandanginya lagi cermin. Jumlah ulat tak berkurang di
mulutnya, terus menggeliat. Disambarnya jubah mandi. Kedua kaki lancipnya berlari menuju klinik 24
jam di lingkungan apartemen.

Di tempat lain, setengah jam bermobil jauhnya dari klinik, Romero sang legislator sudah semalaman
begadang menyempurnakan daftar pertanyaan dengar pendapat yang akan ditayangkan langsung
televisi swasta tempat Flayya bekerja. Sebagai anggota dewan yang lebih sering tampil di
layar infotainment ketimbang menghadiri rapat komisi, Rom sangat paham bahwa acara ini sebuah
kesempatan emas untuk menyepuh popularitas.
Tiba-tiba ujung matanya menangkap gerakan aneh di bibir cangkir kopi. Kedut seekor ulat tengah
berjuang mengangkat tubuhnya yang gendut. Tak percaya, Rom melongok isi cangkir kopi luwak itu.

Badannya sontak menggigil: isi cangkir tak ubahnya sauna ulat. Rom memasukkan jari telunjuk ke
dalam mulutnya, baru menyadari ada kedutan yang sama di sana. Dengan panik diambilnya ponsel,
menekan tombol panggilan cepat. Tak ada jawaban yang diharapkan dari seberang. Rom mengetik
pesan pendek, dengan degup jantung melebihi kecepatan mobil dinasnya melesat di jalan tol.

***

Dokter jaga tak bisa memberikan diagnosis akurat penyakit Fla, selain menebar sejumlah dugaan.
Penyebabnya bisa dari makanan, infeksi lingkungan, atau akibat kontak mulut dengan orang lain yang
sedang terjangkit, katanya seperti mengutip buku teks. Kalimat itu sudah cukup membuat Fla
melakukan kalkulasi, (1) Dari makanan jelas mustahil. Semalam dia makan bersama tiga narasumber
tayangan talk show yang dipandunya di studio, dan tak ada kabar mereka sakit. (2) Terjangkit infeksi
lingkungan juga tak mungkin, sebab sehabis siaran dia langsung pulang. Atau lebih tepatnya, diantar
pulang tanpa mampir ke mana pun.
Jadi mungkinkah?
Dada mancung Fla bergemuruh. Pandangannya menyusuri layar ponsel, menemukan notifikasi pesan
pendek yang belum sempat dibacanya: dari Rom.

Luv, kauy ta akn percya. Tem ui ku @ Medici Intl hosptl. Soon!


Sebuah pesan pendek yang hancur lebur dan meledakkan cemas: Mungkinkah Rom juga terjangkit?
Atau justru dirinya yang terinfeksi oleh lelaki beranak dua dari dua istri berbeda itu? Mereka memang
sempat bertukar saliva dalam beberapa menit yang bergelora sebelum berpisah, ketika Rom mengelus
perutnya semalam.

Ponselnya kembali berdenting memberitahu pesan masuk yang baru. Dari Sekretariat Redaksi
tempatnya bekerja:

Mbak Fla, pak Muiz terkena infeksi mulut serius. Juga mas Gazi & mbak Aline. Pemred bilang mbak
segera check-up. Ambil cuti dulu.
Sinting! Muiz adalah Produser Eksekutif dan Gazi juru kamera. Dengan keduanya Fla tak pernah
memiliki hubungan asmara. Lalu, bagaimana pula Aline, asisten produser yang jarang bicara, bisa
terjangkit penyakit serupa?

Dua jam kemudian televisi berlomba-lomba memberitakan stop press yang tak lazim: penyakit
misterius menyerang mulut warga.
Ada yang memberitakan heboh di sebuah TK, ketika para bocah yang antre makan menjerit ngeri
melihat tempat makan mereka dipenuhi ulat yang sempat mereka kira potongan cakwe. Tak satu pun
dari mereka yang tahu bahwa bencana pagi itu dimulai dari rumah Bagas, anak Muiz, yang sempat tak
mau sarapan kecuali disuapi sang ayah.

Kanal TV lain mewartakan kegemparan di sebuah kampus ketika dari mulut pengajar Filsafat Politik
berhamburan ulat yang membuat banyak mahasiswi pingsan ketakutan. Saluran televisi tempat Fla
bekerja menyajikan tayangan paling mencekam: Guru Kalip sekarat di ranjang rumah sakit. Padahal
semalam, Guru Kalip masih bersemangat dalam acara talk show berjudul Mengupas Akar Korupsi
Massal dan Erosi Moral yang dipandu Flayya.
Merosotnya kesehatan Guru Kalip membuat seluruh saluran televisi membatalkan acara yang sudah
mereka programkan. Tak ada siaran langsung dengar pendapat dari gedung Parlemen, karena Guru
Kalip adalah guru dari semua guru yang pernah mengajar anggota Dewan. Ketika konflik sosial pecah di
beragam tempat, Guru Kalip juga yang menjadi tumpuan akhir banyak pihak, hingga tak sedikit yang
menjulukinya sebagai Mercusuar Nurani Bangsa.

Awak media massa berlomba-lomba mewawancarai lusinan dokter ahli untuk mendapatkan informasi
akurat tentang penyakit Guru Kalip. Apalagi setelah dari menit ke menit, rumah sakit terus kebanjiran
pasien dengan gejala serupa di bagian mulut.

Dua jam sebelum mentari bertengger di pucuk hari, muncul keterangan resmi dari Wali Negeri bahwa
bencana nasional sedang terjadi. Warga dianjurkan tetap di rumah, mengikuti perkembangan keadaan
melalui televisi dan sebuah situs web.

Keadaan Guru Kalip kian memburuk. Lidahnya sudah membusuk sampai ke pangkal. Tim dokter
memutuskan, lidah itu harus dibuang. Guru Kalip menolak dengan alasan yang membuat alis para
dokter melengkung keheranan. Ulat-ulat itu juga hamba Tuhan yang harus disayangi dengan cinta
sejati. Mereka tak boleh dibunuh semena-mena. Pasti ada alasan mengapa Tuhan menempatkannya di
lidah saya, seperti Tuhan pernah menempatkan mereka bertahun-tahun di kulit Ayub manusia mulia.

Apa maksudnya? tanya wartawan yang merekam wajah Sang Guru dari kejauhan, karena jijik dan
mual melihat gerombolan ulat yang seakan tak ada habisnya di dalam mulut tua yang, anehnya, selalu
tersenyum itu.

Kebenaran akan mengungkapkan dirinya sendiri, ujar Guru Kalip. Sesaat kemudian jiwanya bercerai
dari badan.

Kepanikan langsung menggila karena dokter terahli pun masih belum tahu wabah yang terjadi.
Wartawan yang mewawancarai istri Guru Kalip hanya mendapatkan jawaban singkat Ulat-ulat itu baru
muncul kemarin, setelah pagi harinya Guru Kalip bertemu empat mata dengan Wali Negeri, jawab
sang istri.

Tiga jam berikutnya pemakaman Guru Kalip dimulai dengan tembakan salvo dan rangkaian acara
kenegaraan. Wali Negeri menyampaikan belasungkawa yang disiarkan langsung oleh seluruh saluran
televisi. Hari ini kita kehilangan sosok luar biasa yang selalu jujur dalam bicara dan bertindak. Negeri
kita karam dalam duka mendadak yang lebih perih dari segala pedih penyebab sedih, katanya dengan
ekspresi seperti sedang berdeklamasi.

Yang membuat saya, Wali Negeri, lebih bersedih hati adalah karena munculnya desas-desus bahwa
penyakit misterius Guru Kalip muncul beberapa saat setelah Guru bertemu empat mata dengan saya.
Akibatnya, muncul tuduhan-tuduhan tak bertanggung jawab bahwa sayalah yang sebenarnya membuat
Guru Kalip jatuh sakit. Saya nyatakan itu tidak benar! ujar Wali Negeri dengan suara menggelegar. Itu
fitnah tak bertanggung jawab!

Flayya yang sudah tergolek lemah di ranjang rumah sakit terbelalak ketika melihat seekor ulat
melayang dari mulut Wali Negeri yang sedang merintih sedih, Baiklah saya ungkapkan di sini, di
hadapan rakyat yang saya cintai, bahwa yang saya sampaikan kepada Guru Kalip hanyalah imbauan
agar selalu menyampaikan kebenaran setiap saat, di setiap tempat.

Tiga ekor ulat mendadak nemplok di layar televisi. Mengira dirinya berhalusinasi, Fla memindahkan
saluran ke kanal berbeda dan melihat Wali Negeri sedang mengepalkan tangan dengan suara
membahana. Hal terpenting yang saya sampaikan kepada Guru Kalip adalah untuk terus
mengingatkan masyarakat bahwa hukum dan keadilan harus dijunjung tinggi, meski harus
mengorbankan keluarga dan orang yang kita cintai!
Puluhan ulat berukuran besar dan kecil terus beterbangan dari mulut Wali Negeri selama dia bicara,
semakin memenuhi layar televisi yang hanya menyisakan sedikit bidang bersih.

Marah dan jijik melihat ulat-ulat terus menggeliat ke mana pun dia memindahkan saluran, Fla hampir
mematikan televisi ketika melihat sebaris teks berjalan: Legislator Romero meninggal dunia dengan
gejala yang sama seperti dialami Guru Kalip.

Mata perempuan seindah mutiara itu langsung membasah, hatinya berdarah. Ingin rasanya dia
berteriak menuntut kepada Tuhan agar kekasihnya kembali dihidupkan. Tetapi ulat-ulat laknat di dalam
mulutnya yang terus menggeliat sudah mengunyah lebih dari separuh lidahnya. Dia tak bisa lagi
berkata-kata mesti begitu ingin.

Dicobanya lagi untuk mengeluarkan suara. Namun yang datang hanyalah kenangan saat Romero
mengelus perutnya semalam. Setelah anak kita ini lahir Fla, hanya kau satu-satunya perempuan yang
tercatat dalam akta nikahku. Guru Kalip akan memimpin pernikahan kita, dan Wali Negeri sudah
bersedia menjadi saksi. Tidakkah itu menjadikanmu sebagai perempuan paling berbahagia di muka
bumi ini, Cinta?

Entikong-Jakarta, 2011

KARANGAN BUNGA DARI MENTERI


Belum pernah Siti begitu empet seperti hari ini.

Pokoknya gue empet ngerti nggak? Empeeeeeeet banget!

Kenape emang? Tanya Ira, sohibnya.

Empeeeeeeeeeetttt banget!!

Ah elu! Empat-empet-empat-empet aje dari tadi! Empet kenape Sit?

Di tengah pesta nikah putrinya, di gedung pertemuan termewah di Jakarta, Siti merasa perutnya mual.
Tadi pun belum-belum ia sudah tampak seperti mau muntah di wastafel.

Emang elu bunting Sit? Ira main ceplos aje ketika melihatnya.
Bunting pale lu botak! Gue ude limapulu, tau?

Yeeeeeee! Mane tau elu termasuk keajaiban dunie!

Usia 50, hmm, 25 tahun perkawinan, seperti baru sekarang ia mengenal sisi yang membuatnya bikin
muntah dari suaminya.

Bikin muntah?

Yo-i! Bikin muntah.


Hueeeeeekkk!

Perutnya mual, begitu mual, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih mual. Meski sebegitu jauh tiada
sesuatu pun yang bisa dimuntahkannya.

Bagaimana tidak bikin muntah coba!

Nah! Pegimane?

***

Waktu masih SMU, Siti pernah diajari caranya menulis naskah sandiwara dalam eks-kul, jadi sedikit-
sedikit ia bisa menggambarkan adegan di kantor seorang menteri seperti berikut.

Seorang sekretaris tua, seorang perempuan dengan seragam pegawai negeri yang seperti sudah
waktunya pensiun, membawa tumpukan surat yang sudah dipilahnya ke ruangan menteri.

Ia belum lagi membuka mulut, ketika menteri yang rambutnya tak boleh tertiup angin itu sudah berujar
dengan kesal melihat tumpukan surat tersebut.

Hmmmhh! Lagi-lagi undangan kawin?

Kan musim kawin Pak, sahut sekretaris tua itu dengan cuek. Sudah lima menteri silih berganti
memanfaatkan pengalamannya, sehingga ada kalanya ia memang seperti ngelunjak.

Musim kawin? Jaing kali!

Namanya juga menteri reformasi, doi sudah empet dengan basa-basi. Ia terus saja mengomel sambil
menengok tumpukan kartu undangan yang diserahkan itu. Satu per satu dilemparkannya dengan kesal.

Heran, bukan sanak bukan saudara, bukan sahabat apalagi kerabat, cuma kenal gitu-gitu aja, kite-kite
disuru dateng setiap kali ada yang anaknya kawin. Ngepet bener. Mereka pikir gue kagak punya kerjaan
apa ya? Memang acaranya selalu malam, tapi justru waktu malam itulah sebenarnya gue bisa
ngelembur dengan agak kurang gangguan. Negeri kayak gini, kalau menteri-menterinya nggak kerja
lembur, kapan bisa mengejar Jepang?

Perempuan tua itu tersenyum dingin sembari memungut kartu-kartu undangan pernikahan yang
berserakan di mana-mana.

Ah, Bapak itu seperti pura-pura tidak tahu saja.

Belum habis tumpukan kartu undangan itu ditengok, sang menteri menaruhnya seperti setengah
melempar ke mejanya yang besar dan penuh tumpukan berkas proyek, yang tentu saja tidak bisa
berjalan jika tidak ditandatanganinya.

Tidak tahu apa?

Menteri itu memang seperti bertanya, tapi wajahnya tak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak
diketahuinya.

Masa Bapak tidak tahu?

Coba Ibu saja yang bilang!

Perempuan berseragam pegawai negeri itu hanya tersenyum bijak dan menggeleng. Pengalaman
melayani lima menteri sejak zaman Orde Baru, membuatnya cukup paham perilaku manusia di sekitar
para menteri. Baginya, menteri reformasi ini pun tentunya tahu belaka, mengapa sebuah acara
keluarga seperti pernikahan itu begitu perlunya dihadiri seorang menteri, bahkan kalau perlu bukan
hanya seorang, melainkan beberapa menteri!

Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi menteri itu sudah bergegas lari ke toilet pribadinya. Dari luar
perempuan berseragam pegawai negeri itu seperti mendengar suara orang muntah.

Hueeeeeeekkkk!!!

Perempuan itu masih tetap berada di sana ketika menteri tersebut muncul kembali dengan mata berair.
Bapak muntah?

Menteri yang kini rambutnya seperti baru tertiup angin kencang, meski hanya ada angin dari pendingin
udara di ruangan itu, membasuh air di matanya dengan tissue.

Sayang sekali tidak, jawabnya, kok masih di sini Bu?

Kan Bapak belum bilang mau menghadiri undangan yang mana.

Hadir? Untuk apa? Cuma foto bersama terus pergi lagi begitu, kata menteri itu seperti ngedumel lagi.

Jadi, seperti biasanya? Kirim karangan bunga saja?

Iyalah.

Bapak tidak ingin tahu siapa-siapa saja yang mengundang?

Huh!

Sekretaris tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu menggeleng-gelengkan kepala tak
habis mengerti. Kadang-kadang orang yang mengawinkan anak ini tak cukup hanya mengirim
undangan, melainkan datang sendiri melalui segala saluran dan berbagai cara, demi perjuangan untuk
mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak menteri yang terhormat sudi datang ke acara
pernikahan anak mereka.

Apakah pengantin itu yang telah memohon kepada orangtuanya, agar pokoknya ada seorang menteri
menghadiri pernikahan mereka?

Jelas tidak!

Menteri itu terkejut mendengar suaranya sendiri. Ia merasa bersyukur karena sekretaris tua yang tiba-
tiba muncul lagi itu tidak mendengarnya.

Apa lagi Bu?

Karangan-karangan bunga untuk semua undangan tadi.

Ya kenapa?

Menteri itu melihat sekilas senyum merendahkan dari perempuan berseragam pegawai negeri tersebut.

Mau menggunakan dana apa?

Menteri itu menggertakkan gerahamnya.

Pake nanya lagi!

***

Seperti penulis skenario film, Siti bisa membayangkan adegan-adegan selanjutnya.

Pertama tentu pesanan kepada pembuat karangan bunga. Karangan bunga? Hmm. Maksudnya tentu
bukan ikebana yang artistik karena sentuhan rasa, yang sepintas lalu sederhana, tetapi mengarahkan
pembayangan secara luar biasa. Bukan. Ini karangan bunga tanpa karangan. Tetap sahih meskipun
buruk rupa, karena yang penting adalah tulisan dengan aksara besar sebagai ucapan selamat dari
siapa, dan dari siapa lagi jika bukan dari Menteri Negara Urusan Kemajuan Negara Bapak Sarjana Pa.B
(Pokoknya Asal Bergelar), yang berbunyi SELAMAT & SUCCESS ATAS PERNIKAHAN PAIMO & TULKIYEM,
putra-putri Bapak Pengoloran Sa.L (Sarjana Asal Lulus) Direktur PT Sogok bin Komisi & Co.

Lantas karangan bunga empat persegi panjang yang besar, memble, hanya mengotor-ngotori dan
memakan tempat, boros sekaligus mubazir, dalam jumlah yang banyak dari segala arah, berbarengan,
beriringan, maupun berurutan, akan berdatangan dengan derap langkah maju tak gentar diiringi
genderang penjilatan, genderang ketakutan untuk disalahkan, dan genderang basa-basi seperti
karangan bunga yang datang dari para menteri, memasuki halaman gedung pernikahan yang telah
menjadi saksi segala kepalsuan, kebohongan, dan kesemuan dunia dari hari ke hari sejak berfungsi
secara resmi.
Satu per satu karangan bunga itu akan diurutkan di depan atau di samping kiri dan kanan pintu masuk
sesuai urutan kedatangan, agar para tamu resepsi bisa ikut mengetahui siapa sajakah kiranya yang
berada dalam jaringan pergaulan sang pengundang.

Bukan ikut mengetahui, pikir Siti, tapi diarahkan untuk mengetahui. Tepatnya dipameri. Ya, pamer.
Karangan bunga untuk pamer.

Siti jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para tamu melihat sendiri, bahwa
memang ada karangan bunga dari menteri. Ini juga berarti para pengundang seperti berjudi, tanpa
risiko kalah sama sekali, karena meski yang diundang adalah sang menteri, yang datang karangan
bunganya pun jadi!

Begitulah, saat karangan-karangan bunga itu datang, Siti telah mengaturnya sesuai urutan
kedatangan. Ia mencatat dari siapa saja karangan bunga itu datang, karena ia merasa sepantasnyalah
kelak membalasnya dengan ucapan terima kasih, atau mengusahakan datang jika diundang pihak yang
mengirim karangan bunga, atau setidaknya mengirimkan karangan bunga yang sama-sama buruk dan
sama-sama mengotori seperti itu.

Ah, dari Sinta!

Ternyata ada juga yang tulus. Mengirim karangan bunga karena merasa dekat dan betul-betul tidak
bisa datang. Sinta, sahabat Siti semasa SMU, mengirim karangan bunga seperti itu. Dengan terharu,
Siti menaruh karangan bunga dari Sinta di dekat pintu, antara lain juga karena tiba paling awal. Di sana
memang hanya tertulis: dari Sinta; bukan nama-nama dengan embel-embel jabatan, nama perusahaan
atau kementerian dan gelar berderet.

Tiga karangan bunga dari menteri, karena datangnya cukup siang, berada jauh di urutan belakang,
nyaris di dekat pintu masuk ke tempat parkir di lantai dasar. Siti tentu saja tahu suaminya telah
mengundang tiga orang menteri, yang proyek-proyek kementeriannya sedang ditangani perusahaan
suaminya itu. Suaminya hanya kenal baik dengan para pembantu menteri tersebut, meski hanya tanda
tangan menteri dapat membuat proyeknya menggelinding. Tentu pernah juga mereka berdua berada
dalam suatu rapat bersama orang-orang lain, tetapi sudah jelas bahwa menteri yang mana pun
bukanlah kawan apalagi sahabat dari suaminya itu. Sama sekali bukan.

Maka, dalam pesta pernikahan putri mereka, bagi Siti pun karangan bunga dari menteri itu tidak harus
lebih istimewa dari karangan bunga lainnya.

Namun ketika suaminya datang memeriksa, Siti terpana melihat perilakunya.

Itulah, setelah 25 tahun pernikahan, masih ada yang ternyata belum dikenalnya.

Suaminya, yang agak gusar melihat tiga karangan bunga dari tiga menteri saling terpencar dan berada
jauh dari pintu masuk, memerintahkan sejumlah pekerja untuk mengambilnya. Ia mengawasi sendiri,
agar terjamin bahwa ketika melewati pintu masuk, setiap tamu yang datang akan menyaksikan betapa
terdapat kiriman karangan bunga dari tiga menteri.

Yang ini ditaruh di mana Pak?

Siti melihat seorang pekerja bertanya tentang karangan bunga dari Sinta, sahabatnya yang sederhana,
cukup sederhana untuk mengira karangan bunga empat persegi panjang seperti itu indah, dan pasti
telah menyisihkan uang belanja agar dapat mengirimkan karangan bunga itu kepadanya.

Terserahlah di mana! Pokoknya jangan di sini!

Siti melihat suaminya dari jauh. Suaminya juga minta dipotret di depan ketiga karangan bunga itu!

Ia merasa mau muntah.

Hueeeeeeeeeekkkk!!!

***

Itulah yang terjadi saat Ira bertanya.

Emang elu bunting, Sit?


Kampung Utan, Sabtu 3 September 2011. 08:30.
Iklan

SALAWAT DEDAUNAN
Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera
tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, jendelanya tak berdaunhanya lubang
segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. Begitu juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya
menggunakan keramik putihkuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa
dijumpai di toko-toko material.

Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjemaah.

Namun, halaman masjid itu cukup luas. Dan di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon trembesi
yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin saja si pembangun masjid ini
dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini di siang hari karena dinaungi pohon trembesi.
Mungkin saja begitu.

Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala arah,
membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi
trembesi. Cantik sekali.
Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjemaah, itu pun pengurus
semua. Maghrib, masih lumayan, bisa mencapai dua saf. Isya hanya paling banyak lima orang. Begitu
setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.

Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk
menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45
orang. Pernah terpikirkan untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari
sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya
sebagaimana dilakukan banyak orang. Seperti pengemis saja, gumamnya. Seiring dengan
berjalannya waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu tinggal sebagai impian saja. Kas
masjid nyaris berdebu karena kosong melompong. Dan itu pula sebabnya masjid itu tak bisa
memasang listrik, cukup dengan lampu minyak.

Daun-daun trembesi berguguran setiap hari, seperti taburan bunga para peziarah makam. Buah-
buahnya yang tua berserakan di halaman. Satu-dua anak memungutnya, mengeluarkan biji-bijinya
yang lebih kecil daripada kedelai itu, menjemurnya, menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di
sore hari. Jelas tak ada orang yang secara khusus menyapu halaman setiap hari.

Terlalu luas untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji Brahim.

***

Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim
dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid. Haji Brahim masih berzikir sementara
dua orang itu tengah menghitung uang amal yang masuk hari itu.

Tiga puluh ribu, Pak, ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.

Alhamdulilah.

Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.

Ya, sudah nanti kan cukup, ujar Haji Brahim tenang.

Sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah
menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih
mendekat.

Alaikum salam nek, jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an.

Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.

Ada apa? tanya Haji Brahim, seraya mendekat.

Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.


Sesaat ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. Satu dua
buahnya gemelatak di atap.

Silakan nenek ambil wudu dan shalat, ujar Haji Brahim sambil tersenyum.

Nenek itu diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak
di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh,
yang tadi dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke
kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya.

Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek
melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek
berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun
permukaan halaman itu.

Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi.

Jangan jangan pakai sapu lidi dan biarkan saya sendiri melakukan ini.

Tapi nanti nenek lelah.

Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa? ujar si nenek seperti bergumam.

Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya.

Dilihatnya si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan, demi
mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis.

Dari bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi Muhammad.
Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan Gusti, mugi paringa
aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi. Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.

Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi
di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.

***

Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris tak beranjak, memunguti
dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman. Tubuh tuanya yang kusut basah oleh keringat.
Napasnya terengah-engah. Ketiga orang itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya. Ketika maghrib
tiba, dan orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja memunguti dedaunan.

Siapa dia? bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka meninggalkan masjid. Tentu
saja tak ada jawaban, selain entah.

Nek, istirahatlah ini sudah malam.

Kalau bapak mau pulang, silakan saja biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.

Nek, mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?

Tidak. Saya tidak menyiksa diri. Ini mungkin bahkan belum cukup untuk sebuah ampunan, ucapnya
sambil menghapus air matanya.

Haji Brahim terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek di masa lalunya.

***

Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus
masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum
lagi lima menit Haji Brahim pergi, dia diam-diam pulang.

Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo yang akan
azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama. Udara begitu dingin.
Beberapa kali si nenek terbatuk.
***

Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka berdatangan ke masjid.
Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi begitu bertepatan waktu shalat masuk,
mereka melakukan shalat berjemaah. Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang
datang berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan,
semuanya selalu berjemaah di masjid.

Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan
meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah
mengapa tak jadi.

Hari itu juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si nenek, akhirnya diputuskan
si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid.

Ketika semua orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi menyergapnya. Dia
menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang berserak itu lenyap. Halaman masjid
bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti disapu, dan daun yang gugur ditahan oleh jaring raksasa
hingga tak mencapai tanah.

Sudut mata Haji Brahim membasah. Semoga kau temukan jalanmu, nek, gumamnya.

Dan ketika semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan menemukan apa yang
dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin halaman masjid bisa sebersih seperti
itu.

***

Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku,
nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. Mungkin juga dia memang berdosa besarsesuai
pengakuannya kepada saya, ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. Dan dia melakukan
semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin
begitu saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.

Pasti banyak yang mau menyapu halaman, godaku.

Iya ha-ha-ha benar.

Memangnya bisa begitu, Ji?

Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika Dia
berkenan, masak tidak dikabulkan? ucap Haji Brahim tenang.

Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke
hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.

Pinang 982

TUNGGU!
Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali
pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.

Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu
senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya.
Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar
harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.

Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena
setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh?

Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang
memabukkan.
Hah?!
Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat.
Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang
pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu
baru cinta bisa dicerna?

Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama
yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi,
begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang
kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa
tak sampai hati.

Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka
sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan
di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-
orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus
kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu
mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang
merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.

Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya
saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana
pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu
ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa
mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa.

Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang


terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka
sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli?

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.

Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya
melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus.
Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.

Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang
saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun
sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.

Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan
jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya
yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya
memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.

Kamu

Hah?!

Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena.
Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki.
Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.

Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama
pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni
serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak
merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata,

Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang
memabukkan.

Tapi di manakah sekarang ia?

Hah?!

Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang.


Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?

Hah?!

Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran.
Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke
seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak
teman tak terkecuali perempuan?

Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?

Saya menatapnya.

Maaf, ada yang saya tunggu.

Waktu?

Waktu menunjuk pukul tujuh.

Jakarta, 19 Agustus 2011 10:14 AM

CASCISCUS
Rapat dibuka bakda Isya ketika gerimis tiris dan langit malam menghamparkan warna abu-abu pucat.
Sekitar 15 kepala keluarga Cibaresah berkumpul di rumah Munar. Mereka mau memenuhi undangan
lantaran pengundangnya sesepuh desa. Sebagian dengan perasaan terpaksa dan masygul. Sebagian
lagi cari angin. Sebagian karena ingin ngerumpi. Cuma Casmidi yang tidak hadir. Karena dia tidak
diundang. Karena dialah yang membuat sesepuh desa bernama Munar menggelar rapat pada hari itu.
Tapi, istri dan anaknya ada di sana.

Munar, sang sesepuh desa, berusia hampir 70-an. Meskipun kulit tubuhnya dipenuhi keriput sekujurnya,
kegesitannya belum banyak tergerus. Meskipun juga tidak jelas apa mata pencahariannya, Munar
mampu memberi makan empat istri dengan masing-masingnya memiliki tiga hingga lima anak.
Cucunya belasan. Namun, ini memang bukan cerita tentang Munar yangmeskipun sepuh tapi
matanya masih selalu menyemburkan api bila melihat wanita muda dan cantik. Ini soal Casmidi
semata. Laki-laki yang sudah memberi Cisminah seorang anak laki-laki yang diberinya nama
Cusdamato.

Munar sangat disegani karenanya. Karena pertama, dia tertua di dusun itu. Karena kedua, dia dianggap
bijak bestari. Karena ketiga, dia berilmu lahir dan batin. Setelah itu, orang lain suka atau tidak, bininya
empat dan akur satu sama lain. Tak ada laki-laki senekat Munar. Karenanya, begitu dia melangkah
mantap menaiki podium, semua mulut hadirin terkatup rapat. Diam menunggu. Cuma gesekan
dedaunan rumpun bambu yang terdengar karena embusan angin.
Sebelum membuka mulutnya, Munar menandai penghargaannya atas kehadiran warga dengan
menyapukan pandangan kepada seluruh tamunya dengan senyumnya. Tak lupa anggukan-anggukan
takzimnya.

Sesaat kemudian, setelah membuka acara dengan sejumlah kalimat dan bacaan-bacaan sebagaimana
mestinya, Munar menyilakan Cisminah naik ke podium untuk mengurai persoalan hidup yang tengah
dihadapinyameskipun dia tahu Cis pasti kian tersiksa karenanya.

Cis yang sangat memahami persoalan hidup yang tengah membelit hidup dan rumah tangganya,
Munar berucap seraya menancapkan pandang matanya kepada perempuan 40-an tahun yang duduk
dengan kepala tertunduk. Ayo, Cis, silakan. Munar melangkah mundur dari podium.

Para undangan menunggu. Seluruh pandang mata tertuju kepada Cisminah. Perempuan itu duduk
sambil terus menggenggam tangan Cusdamato. Para undangan menakar-nakar dan menduga-duga
keberanian Cis untuk maju dan berdiri di podium, membuka katup mulutnya, menceritakan laku
suaminya belakangan. Cis memandang Cus. Seperti meminta dukungan. Cus menunduk tanpa reaksi.
Membiarkan waktu merambat dan rambut jojosnya digoyang embusan angin yang menelusup dari
sela-sela rumpun bambu.

Cis, suara Munar memecah sepi, setengah berbisik.


Tanpa perlu diingatkan kedua kalinya, Cis mengangkat pantatnya. Para undangan berdebar menunggu
sambil terus mengikuti langkah satu-dua Cis menuju podium.

Hening lagi. Cis berdiri bagai onggok kayu. Membiarkan kepalanya merunduk dan waktu terus mengalir.

Cis, Munar mengingatkan.

Cis bergeming. Dua tiga kali tetap begitu.

Munar membawa langkahnya mendekati Cis. Menyisi. Cis jadi tampak imut karena ujung rambut bagian
atas kepalanya tak lebih tinggi dari punggung Munar. Dia mendehem, seolah membuang sumbat dalam
lubang rongga kerongkongannya.

Baiklah, Munar memulai. Izinkan aku yang bicara, Cis. Memutar leher ke Cis yang masih merunduk.
Lalu, beralih menebar pandang kepada tamu-tamu yang masih duduk diam di hadapannya.

Cas, kata Munar menyebut nama Casmidi, Sikapnya aneh, benar-benar aneh, tidak kita bisa
mengerti, semenjak seminggu yang lalu. Berhenti sesaat oleh suara batuk tertahan salah satu
undangan. Pada kepala orang-orang itu berseliweran sosok Cas. Tinggi sekitar 170 cm. Kepala agak
lonjong. Bibir kebiruan. Mata cekung dengan alis hitam pekat. Dahinya lebar. Sebagian rambut
memutih. Warna kulit putih pucat.

Munar kemudian mengurai keanehan-keanehan Cas seperti yang sebagian besar sebenarnya juga
sudah diketahui warga.

dua minggu lalu Cas menguras tabungannya. Membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia
anggap sangat membutuhkan bantuan dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan keluarganya
untuk sekali makan

Diam sejenak. Berdehem satu kali. Lalu melanjutkan:

Cas sekarang selalu keluar dari rumahnya pada pagi hari. Menjelang siang dia pulang dan memberi
uang atau apa pun yang didapatkannya untuk makan keluarganya siang itu. Untuk makan keluarganya
di sore hari, Cas berangkat lagi dari rumahnya entah ke mana dan baru kembali menjelang sore untuk
memberikan pendapatannya kepada keluarganya

Munar mengatur sengalnya.

seminggu lalu, Cas menjual barang-barang di rumahnya. Televisi, radio, sepeda Cas melepas lima
burung perkututnya, melepasnya begitu saja. Burung-burung klangenan itu beterbangan tak karuan.
Ada yang kembali ditangkap tetangga. Cas diam saja. Membiarkan. Seperti tidak tahu

Munar kembali mengatur napas. Cis terduduk serupa patung. Cus di kursinya menatap ruang kosong.
Tanpa reaksi.

Cas juga membagi-bagikan pakaian-pakaiannya dan pakaian-pakaian anak dan istrinya yang masih
layak pakai. Menyisakan satu dua potong belaka. Isi rumahnya hampir melompong

Munar mendongak seperti memikirkan sesuatu. Lalu katanya lagi:

Cis kemarin mendatangi saya. Menangis terisak. Katanya Cas sudah menjual sepetak sawahnya.
Uangnya tidak dibawa pulang. Diserahkan kepada amil masjid. Amal jariah katanya. Selain tanah dan
rumah yang kini ditempati, Cas tak punya apa-apa lagi.

itu mungkin baru sebagian yang kita sama-sama tahu. Kita belum tahu apa saja yang sudah
dilakukan Cas, laku aneh yang tidak kita mengerti

Munar terdiam sesaat. Seperti menunggu reaksi 15-an orang yang duduk di hadapannya tanpa suara.
Karena tidak ada yang berani membuka suara, Munar melanjutkan:

ada yang bertanya? dia bertanya. Ada yang bertanya mengapa Cas melakukan hal itu? Tidak ada.
Kalau begitu, baiklah saya jelaskan saja garis besarnya.

Bagi Cas, Munar memulai lagi, Manusia bisa mati kapan saja. Bisa sekarang, satu menit kemudian,
satu jam kemudian, satu hari kemudian, satu minggu, satu bulan, satu tahun kapan saja. Karena itu,
Cas merasa ndak perlu punya tabungan atau simpanan makanan atau uang bahkan untuk besok pagi,
untuk sore hari, untuk besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Semua simpanan kita,
uang, makanan, pakaian, kendaraan, rumah, tanah, tidak ada artinya bila kita tiba-tiba semaput dan
mati. Semuanya akan kita tinggalkan. Yang kita bawa cuma raga kita dan amal kita
Mulai terdengar bisik-bisik. Seperti suara lalat. Munar membiarkan.

Coba tenang, Munar memulai lagi. Cis menangis kepada saya, meminta saya mencarikannya jalan
keluar. Apa sebaiknya yang harus dia lakukan? Saya memberinya beberapa pilihan. Pertama ikut saja
apa kata dan laku Cas yang penting setiap hari bisa makan, bisa pakai baju, tidak
kelaparan, ndak kedinginan karena Cis mengaku masih cinta sama Cas. Yang kedua, ini bukan anjuran,
ini cuma pilihan jalan keluar, yaitu bercerai saja dari Cas. Berpisah. Memilih jalan hidup masing-masing.
Sudah tentu pilihan itu ditolak Cis karena Cis masih cintrong sama Cas. Cas, kata Cis, hebat di Munar
menahan senyum.
Para undangan pun senyum-senyum sembari bersidakep. Malam terus merayap. Bulan mulai ngintip
dari langit pucat. Gerimis menyisakan dingin.

Sudara-sudara karenanya saya minta berkumpul di sini. Untuk membantu Cis mencari jalan keluar.
Makin banyak kepala makin banyak ide. Juga pikiran. Siapa tahu di antara kita yang ternyata sangat
pintar sehingga punyalah pilihan jalan keluar.

Munar berhenti. Menunggu.

Coba, siapa yang mungkin bisa membantu? Angkat tangan, kata Munar karena tak ada yang berani
angkat suara.

Mungkin Tasmin, Munar menatap Tasmin, Atau Amri, Nazar, Suyag, Tanta, Fudin, Haripur, Amsai,
Zali, Bidin, Zubir, Akhyar, Dayus, Hayat, Anas Munar menyebut semua nama tamunya. Lalu
tersenyum. Siapa saja boleh membantu. Membantu orang yang dalam kesulitan itu berpahala

Zubir mengangkat tangan. Wajah Munar sumringah. Nah, lihat, Zubir mengangkat tangannya. Mari
kita dengar apa bentuk sarannya. Mudah-mudahan sesuatu yang cerdas. Silakan, Bir.

Zubir berdiri. Tanpa memandang ke kiri dan kanan, dia memulai. Maaf, menurut saya, ternyata tidak
ada gunanya kita berkumpul di sini. Apa yang dilakukan Cas itu benar. Benar sebenar-benarnya. Bahwa
tidak ada gunanya kita memenuhi lemari dengan pakaian yang belum tentu kita pakai semuanya. Tidak
ada gunanya kita menumpuk harta, uang, makanan, yang belum tentu bisa kita belanjakan, belum
tentu kita makan. Jadi, Cas, sekali lagi, benar sebenar-benarnya

Cukup, Bir, Munar coba memotong.

Zubir menutup mulutnya. Duduk. Namun, sejurus kemudian, suasananya jadi riuh. Oleh bisik-bisik. Kian
lama kian keras. Tak bisa dikendalikan.

Diam! Diam! Munar berteriak nyaring.

Namun, tak ada yang peduli. Satu per satu tamu-tamunya bangkit. Meninggalkan tempat itu.

Hei! Tunggu! Tunggu! Pertemuan belum ditutup! Munar terus berteriak. Lalu menyambar tangan
Akhyar. Pada mau ke mana kalian?

Ke rumah Cas, Akhyar menjawab. Mantap. Kami ingin seperti dia. Dia benar sebenar-benarnya.

Bidin mendekati Munar. Mulutnya menempel ke kuping Munar. Lalu berbisik. Cas ituwali.

Cis menyorotkan tajam matanya kepada Munar. Juga Cus. Munar gelagapan.*

* Tn Kusir, Juni 2011

KUNANG-KUNANG DI LANGIT JAKARTA


Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan
musim panas di Pulau Galapagosmeski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan
karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura
yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia
sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia
botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya
keturunan.

Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist.
Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.
Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang
langka ketimbang perempuan berambut pirang. Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila
menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka
seperti itu.

Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan
peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang
menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies
baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC
Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang
misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat
memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.

Setiap saat ada kesempatan mereka bertemusaat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit
dengan bercintakekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di
Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai
Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwivadan
entah nama-nama aneh apa lagisampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang
diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard
Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan
Newfoundland St James.

Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk
Caf Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia
bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada
kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.
Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez
pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-
mu itu
Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita
kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.

***

Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?

Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-
buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah
melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-
kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.

Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat
percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa.
Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit
muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. Percayalah, di sana,
nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang. Lalu suaranya nyaris
lembut, Dan kita bercinta di bawahnya.

Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia
memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati
kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.

Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter
membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan
rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. Di gedung-gedung gosong itulah
para kunang-kunang itu berkembang biak, ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan
tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti
abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari
ranselnya.

Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-
gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung
kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam
manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat
kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.

Lihat, Peter menepuk pundaknya. Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu.

Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan
kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang
rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang
kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang
terbang berkitaran mendekatinya.

Pejamkan matamu, dan dengarkan, bisik Peter. Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya
padamu.

Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan
hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling
rendahmenurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu.
Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti
kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di
telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam,
mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus
tertimbun reruntuhan.

Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang
melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah.
Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap
hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur
mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk
ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.

Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya.

Mereka begitu beringas!

Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.

Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang.

Lihatlah lihatlah.

Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di
kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan
tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.

Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami.

Jane!!

Ia dengar teriakan cemas.

Jane!!

Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, Jane! Kamu tak apa-
apa?! Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam
hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian
jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang
takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong,
seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi
langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan
menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut;
seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.

Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak
akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-
kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.

***

Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah
kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama,
kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun.
Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh
perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya,
kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-
kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang
terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.

Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. Sering kali ilmu pengetahuan tak
mampu menjelaskan semua rahasia, kata Peter, bisa menebak keraguannya. Bisakah kau
menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?

Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu
padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan
dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema,
mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-
kunang dan kenangan.

Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma
hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati
kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang
itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan
panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.

Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-
kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu.

Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi
kenangan.

***

Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia.
Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian
gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu
mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran
kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu.
Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan
fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.

Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-
kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian
menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat
jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosongpemerintah daerah
kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisatabanyak sekali
turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara
tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan,
sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan
bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit
kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.

Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan
kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu
membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika
seorang pengunjung di sampingnya berkata, Keindahan memang sering membuat kita sedih.

Jane tersenyum. Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah
Anda ingat peristiwa itu?

Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat
peristiwa kerusuhan itu.

Jakarta, 2010-2011

ULAR RANDU ALAS


Tersembunyi kisah rahasia pada sebatang pohon randu alas tua. Tak seorang pun berani menebangnya.
Seabad sudah pohon randu alas itu berumur. Aku menduga, pohon randu alas yang menjulang kokoh di
tepi jalan pertigaan menuju perumahan tempat tinggalku berumur lebih dari seabad.

Sejak aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh sebesar sekarangempat rentangan tangan orang
dewasarindang dan menggugurkan daun-daun kering kekuningan pada musim kemarau. Umurku kini
enam puluh dua, sudah beberapa tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak,
rimbun dedaunan, dan dianggap angker.

Seekor ular bersarang di rongga lapuk pangkal pohon randu alas yang menganga serupa gua. Bila
diintip ke dalam gelap rongga pangkal pohon itu, tampak sepasang mata ular berkilau mengancam.
Sepasang mata seekor ular yang siap mematukku, suatu saat bila aku terlena.
Sebatang pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon randu alasmungkin sisa hutan jambu yang
ditebang habis untuk lahan perumahan. Dari dua cabang pohon jambu terjulur beberapa ranting dan
bergelantungan buah-buah yang selalu ranum. Tak jauh dari pohon jambu, tumbuh pohon melati liar,
bermekaran bunga-bunga putih mungil. Tercium lembut wangi tiap pagi.

Untuk cucu kesayanganku, Aini, kupetik buah-buah jambu ranum kesukaannya dan bunga-bunga melati
yang dijadikannya sebagai mainan. Menjelang siang ia pulang sekolah taman kanak-kanak bersama
teman-temannya, beramai-ramai makan buah jambu, dan bermain-main kembang-kembang melati
yang kupetik.

Berada di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa cemas. Dalam mimpiku enam tahun silam,
seorang nenek keriput dengan tongkat kepala ular, mengutukku, Kau tega melukai ular penunggu
randu alas. Tiba waktunya nanti, pada umurmu yang ke-62, ular itu akan mematukmu!

***

Gairah untuk memetiki buah-buah jambu yang ranum, dengan merenggut ujung ranting dan
menjulurkan tangan meraih buah-buah itu, menggetarkan tubuhku. Kutukan perempuan tua penunggu
randu alas itu, yang datang dalam mimpi, sudah saatnya terjadi. Aku mesti menjemput takdirku. Bila
memang harus mati dipatuk ular, biarlah aku merasakan sakit patukan ular yang dulu pernah
kucederai, dan melata ke arah rongga pangkal randu alas, dengan ceceran darah di rerumputan.

Aku tak sengaja melukai ular itu. Cangkul yang kuayunkan untuk membersihkan rerumputan di bawah
pohon randu alas dan meratakan tanah tak kusadari merobek daging seekor ular. Ular itu melata ke
arah rongga pangkal pohon randu alas. Aku merasa tak bersalah. Kuteruskan mengayunkan cangkul,
membersihkan rerumputan dan meratakan tanah.

Pohon jambu biji kubiarkan tumbuh di bawah pohon randu alas. Ada pula pohon melati yang masih
kecil, yang tak kucabut. Kubiarkan tumbuh liar. Kuratakan tanah dan terus kutimbuni agar lebih tinggi.
Akan kuundang tukang batu untuk mendirikan sebuah kios sederhana. Di kios itu aku akan menjual
barang-barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari.

Malam harinya aku bermimpi, nenek bertongkat kepala ular, menatapku dengan murka. Wajahnya
bengis, sepasang matanya mengancam. Ia mengutukku. Ular penunggu pohon randu itu bakal
mematukku pada ulang tahun ke-62. Begitu tegas kutukan nenek bertongkat kepala ular, seperti hadir
dalam kehidupan sehari-hari dan bukan terjadi dalam mimpi.
Mimpi burukku tak menghentikan pembuatan kios kelontong. Tiap pagi aku membuka kios, melayani
pembeli, hingga malam larut. Mula-mula jarang orang berbelanja ke kiosku. Tapi lama-kelamaan,
berdatangan pula orang-orang berbelanja.

Kau tak takut akan digigit ular penunggu pohon randu? tanya Lik Man, lelaki setengah baya, pencari
rumput untuk kambing-kambingnya. Ia dulu menjual ladang jambu miliknya, yang didirikan perumahan,
dan memilih pindah ke daerah perkampungan, dengan tanah yang luas. Di rumah baru, ia masih bisa
bercocok tanam dan memelihara kambing. Ia paling sering mencari rumput di bawah pohon randu alas.
Di sini rerumputan tumbuh subur, dan dalam waktu sebentar, ia sudah memanggul segulung rumput,
yang diikat erat, diletakkan di bawah pohon jambu. Ia meneguk kopi di warung Yu Warso dan membeli
rokok di kiosku. Di warung Yu Warso itu ia biasa ngobrol dan baru pulang menjelang siang.
Kau selalu merumput di bawah pohon randu. Tak takut digigit ular?

Sejak muda dulu aku selalu mencari rumput di sini. Tak pernah kulihat ular itu. Yang selalu kutemukan
cuma kulit ular, menjalar di rerumputan. Kau pernah melihat ular itu?

Aku pernah melukainya dengan cangkulku.

Hati-hatilah! Lik Man meninggalkanku.

***

Tak seorang pun melihat Lik Man. Menjelang siang ia membawa sabit ke bawah pohon randu dengan
rokok mengepul di bibirnya. Matahari sudah bergeser dari puncak pohon randu alas. Biasanya Lik Man
meninggalkan bawah pohon randu alas, memanggul gulungan rumputnya pulang, setelah minum kopi
dan makan pisang goreng di warung Yu Warso. Anak lelaki Lik Man mulai mencari ayahnya. Ia sempat
menyapaku, sebelum menyusup ke dalam semak-semak.

Dari bawah pohon randu alas, kudengar ia memekik, Ayah meninggal!

Kudapati Lik Man terbujur kaku, masih menggenggam sabit. Mulutnya berbusa. Kaki kirinya melepuh
biru kehitaman darah beku. Terlihat dua titik bekas patukan ular. Darah ular berceceran di rerumputan,
lenyap di rongga keropos pangkal pohon randu alas. Sabit Lik Man, secara tak sengaja, mungkin telah
melukai ular penunggu pohon randu alas dan ular itu menggigitnya.

***

Melintasi pertokoan senja hari, di trotoar, sepulang dari belanja untuk keperluan kios kelontong,
kulewati seorang penjual obat oles yang menggelar tikar, dengan ular dalam kotak kayu. Sama sekali
orang lalu lalang tak menghiraukannya. Ia menawarkan obat oles untuk menyembuhkan penyakit kulit.
Tak seorang pun datang mendekat. Lelaki setengah baya bersorban putih, berjenggot, masih duduk
dengan tenang. Aku sempat memandanginya, sambil menanti bus kota di halte.

Lelaki setengah baya bersorban itu melambai ke arahku.

Kemarilah! panggilnya.

Aku bimbang untuk mendekat. Sepasang matanya seperti menuntunku untuk menghampiri dan
berjongkok di depannya. Dia memintaku untuk menjulurkan tangan kiri dan membuka telapak tangan.
Ia baca garis telapak tangan itu.

Kau perlu kekebalan, kata lelaki penjual obat bersorban, sambil mengelus jenggotnya. Suatu hari
kelak kau akan dipatuk ular.

Teringat ular penunggu randu alas yang pernah kulukai, kutukan perempuan tua bertongkat ular dalam
mimpi, dan kematian Lik Man yang dipatuk ular, aku merasakan degup dada yang mengencang.

Kau dapat memberiku kekebalan?

Kalau kau yakin, insya Allah, tubuhmu akan kebal dipatuk ular, lelaki setengah baya berjenggot itu
meyakinkan. Aku mengangguk. Meminum segelas air putih darinya. Pergelangan kaki kananku diolesi
minyak dan seekor ular dari dalam kotak kayu dikeluarkannya. Aku memejamkan mata. Begitu cepat
terasa patukan dua gigi ular pada pergelangan kaki.

Kau akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu mengejang, sulit digerakkan. Tak lama. Kau akan
segera pulih seperti sediakala.
***

Berjingkat-jingkat aku meraih buah-buah jambu. Masih kuingat kutukan perempuan tua bertongkat
kepala ular. Pada hari kelahiranku yang ke-62, seekor ular akan mematukku. Aku sama sekali tak takut
dengan patukan ular itu. Mungkin aku akan benar-benar dipatuk ular, sebagaimana enam tahun silam
perempuan tua berambut memutih dengan mata murka itu mengutukiku dalam mimpi. Aku tak perlu
ragu memetiki buah jambu yang ranum. Juga nanti akan kupetiki kembang-kembang melati untuk Aini.

Kalaupun seekor ular mematukku, tukang obat di trotoar pertokoan itu telah memberiku kekebalan.
Gigitan ular tukang obat yang tak kukenal itu memang menyebabkan pandanganku berkunang-kunang,
kaki kanan mengejang kaku. Darah seperti membeku. Tapi tak lama. Pandanganku kembali terang dan
kaki kananku segera dapat kugerakkan. Kuberikan selembar uang dari dompetku, yang diterimanya
dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Tiap kali aku berbelanja untuk keperluan kios kelontongku,
selalu kucari dia. Tapi tempat ia menggelar tikar, obat-obat oles, dan kotak ular selalu kosong.

Harus kusambut hari ini, pagi ke-62 umurku, saat kutukan perempuan tua dalam mimpi itu akan terjadi.
Kalau benar seekor ular itu mematukku pagi ini, mungkin seperti kata lelaki setengah baya bersorban
penjual obat, aku akan kebal. Tubuhku hanya merasakan sengatan patukan ular itu, mata berkunang-
kunang, bagian yang dipatuk akan terasa mengejang. Tak lama. Setelah itu aku akan leluasa bergerak
seperti sediakala. Tapi kalau penjual obat itu berdusta, ketika ular penunggu pohon randu alas
mematukku, tubuhku akan segera kaku seperti Lik Man.

Buah-buah jambu yang ranum terus kupetiki. Teringat aku pada cucuku, Aini, yang tinggal serumah
denganku, akan pulang sekolah, aku bergairah memetiki buah-buah jambu. Ia suka membagi-bagikan
buah jambu pada teman-temannya dan bahagia dipuji sebagai putri yang baik hati.

Aku meraih ujung ranting pohon jambu, meloncat, agar dapat menarik ranting itu dan memetik
beberapa buah jambu ranum. Kakiku menginjak seekor ular. Ular itu menggeliat, mematuk kaki
kananku. Aku tak sempat memekik. Terjatuh. Merasakan patukan ular yang menyengat. Mataku
berkunang-kunang. Kaki kananku mengejang.

Mungkin aku akan segera bangkit dengan tubuh segar bugar seperti sediakala, tanpa luka dan rasa
sakit. Mungkin tubuhku akan segera terbujur kaku, tergeletak di rerumputan, di bawah pohon randu
alas, pohon jambu, dan bunga melati. Tapi, aneh, dalam pandanganku yang berkunang-kunang, kulihat
Lik Man sedang merumput. Wajahnya bahagia sekali. Di seberangnya kulihat lelaki setengah baya
bersorban penjual obat. Wajahnya tenang, penuh keyakinan, dan sepasang matanya teduh.

Dari jauh, samar-samar kudengar suara Aini memanggil-manggilku dengan suara yang riang, penuh
harapan, Kakek, mana buah-buah jambuku? Petikkan juga bunga-bunga melati untukku!

Pandana Merdeka, April 2011

PAKIAH DARI PARIANGAN


Bagi orang-orang di kampung itu, cerita tentang pakiah sudah jadi masa lalu. Ia tertinggal dalam surau-
surau tua, di tebal debu kitab-kitab kuning yang berhampar-serak, dalam bilik-bilik garin yang daun-
daun pintunya telah somplak.

Bagi orang-orang yang datang ke kampung itu, ia akan didengar dari mulut orang-orang tua atau
tukang cerita, berbaur-biluh dengan kisah para pendekar yang dalam bahasa mereka disebut pandeka.

Pakiah dan pandeka, bagi mereka orang-orang Sitalang, memang hampir tak bisa dipisahkan. Bahkan
tak jarang, untuk tak mengatakan hampir selalu, dua sebutan itu berada dalam tubuh yang sama.
Seseorang menjadi pakiah ketika remaja, menjelma jadi pandeka atau pendekar ketika dewasa. Tentu
saja pakiah bisa langsung dikenali, sementara pandeka, orang-orang yang berkemampuan silek (silat)
tinggi itu, sering-sering bersembunyi di dalam diri.
Tentang bersembunyi di dalam diri, menurut Nek Minah, mereka sebetulnya juga serupa. Hanya karena
tugasnya, pakiah harus berkeliling meminta sedekah dengan penampilan sama: memakai sarung, atau
celana dasar, dengan baju koko. Berpeci, dengan buntie (buntal) atau kantung beras di tangannya.
Siapa pun akan langsung mengenali bahwa itu pakiah. Akan tetapi, pandeka?

Jangan terkecoh oleh tampak luar, begitu kata Nek Minah kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya.
Seperti halnya pandeka, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-minta bukan untuk
mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan sesuatu dalam diri
mereka. Kerendahhatian. Kesabaran. Kalian bayangkan, coba, bagaimana perasaan kalian bila suatu
kali orang bukan memasukkan beras, melainkan abu, ke kantong beras kalian?

Dan lalu, Nek Minah akan melayangkan pandang ke mulut jalan, ke arah dari mana dulu saat ia kanak-
kanak melihat pakiah itu muncul-datang, pergi-pulang, tetap dengan wajah tenang, bahkan seperti
terang, walau tak mendapat sedekah apa-apa dari rumahnya. Mulut jalan itu, yang dulu kecil saja
karena cuma jalan setapak, kini telah menjelma jadi mulut jalan besar yang langsung disambut oleh
pekan (pasar) Sitalang. Betapa Nek Minah tak menyangka, rumahnya yang pada masa lalu adalah
pinggir kampung dengan ladang dan belukar di mana-mana, kini menjelma jadi daerah cukup ramai
dengan Jorong Sitalang pusat pekan-nya.

Dan, di pusat pekan atau pasar kampung itu, cerita tentang pakiah kembali bermula. Tetapi, siapa pula
bakal menyangka, cerita itu, pada akhirnya, lebih jadi milik para pengemis?

***

Seperti biasa, setiap tahun bila Ramadhan tiba, pekan Sitalang akan mencapai puncak ramainya.
Sayur-mayur atau palawija apa pun dari kampung sekitar, seakan hanya dibawa ke sana. Begitu pun
pakaian, barang-barang sandang yang sebelumnya tak ada, tiba-tiba muncul dengan pedagang-
pedagang bertenda. Mungkin karena terletak di antara dua kota, barang apa pun seperti singgah,
seolah mencoba peruntungan Lebaran sebelum dibawa ke kota lainnya.

Di pusat pekan kampung semacam itu, keramaian kadang bisa tak terkira. Segala macam orang bisa
ada, tak ubahnya seperti di terminal atau pasar induk di kota-kota. Mulai dari tauke, pedagang eceran,
sampai pedagang tiban yang mengambil barang di sana dan menjualnya juga di sana. Mulai dari kuli
angkat, tukang ojek motor, sampai preman pekan tukang palak, pun pencopet. Para perantau yang
mudik atau pulang, juga sejenak berhenti di sana. Dan tentu, yang dari hari ke hari Ramadhan terus
bertambah, adalah para pengemis.

Para pengemis ini, dari manakah mereka datang? Hanya dua-tiga orang yang bisa dikenali sebagai
penduduk sekitar Sitalang, selebihnya tentu berasal dari kampung yang jauh. Bila mereka berasal dari
kampung-kampung yang jauh, pukul berapakah mereka berangkat dari kampung mereka karena pagi
sekali mereka sudah berada di Pekan Sitalang? Bila mereka berangkat malam sebelumnya atau sangat
dini, kenapa mereka tak tampak lelah? Kecuali mimik memelas dan pakaian yang lusuh dan kumal, tak
tampak masalah apa-apa pada diri mereka. Bahkan, galib kejadian, mereka bisa berkelahi dengan
preman pekan tukang palak, walau selalu kalah.

Di tengah para pengemis seperti itu, munculnya dua pengemis remaja berpakaian sama, jadi tampak
sangat mencolok. Pakaian mereka: celana dasar warna coklat dengan baju koko hijau muda. Berpeci
hitam dengan buntalan dijinjing atau kadang disampir di pundak mereka. Ya, dua orang pakiah. Sudah
dua hari ini mereka muncul di Pekan Sitalang. Tetapi ya, seperti Anda tahu, pakiah sudah jadi masa lalu.
Maka orang-orang hanya heran tentang pakaian, tentang kerapian, dan tentang wajah yang bukan
memelas, melainkan, walau terkesan lembut dan lemah, tampak bersih dan tenang.

Tetapi pula, tentu tak semua orang di Pekan Sitalang sudah tak kenal pakiah. Beberapa orangtua asli
Sitalang yang berjualan di pasar itu adalah pengecualian. Dan di antara mereka yang tetap kenal ini,
ada juga yang samar-samar mendengar bahwa di kampung tua bernama Pariangan, kampung yang
dulu dipercaya sebagai tempat asal-usul nenek moyang mereka, telah sejak setahun ini berdiri sebuah
pesantren. Dan, di antara yang samar-samar mendengar ini, ada yang kemudian samar-samar pula
mendengar pendiri pesantren itu Inyiak Pakiah Babanso. Siapakah Inyiak Pakiah Babanso? Dulu, dulu
sekali, bila Anda mendengar namanya, maka Anda akan menggigil.

***

Inyiak Pakiah Babanso adalah pendekar tanpa tanding. Pada masanya, tak seorang pun pandeka yang
mau mencari gara-gara dengannya. Ia menguasai silek tuo dan sitaralak, dua aliran silat yang sangat
efisien. Tak banyak gerak, tetapi mematikan. Ia juga tak tertanding dalam kecepatan kobek (ikat),
tangkok (tangkap), dan kunci (mengunci sendi dan engsel), yakni kemampuan dasar yang menjadi
gelek atau gerakan refleks dalam silat. Bila ada yang bertanya bagaimana Inyiak Pakiah Babanso bisa
bergerak secepat itu, orang lain akan segera bilang, Hanya Tuhan yang tahu.

Tetapi, entah bagaimana kemudian, orang-orang mendengar Inyiak Pakiah Babanso menghilang dari
dunia silat. Samar-samar orang kemudian tahu, ia kecewa pada Orde Baru yang menjelmakan silek jadi
tarian. Bukan soal tariannya, tetapi kepada sesuatu yang sengaja dipertunjukkan. Jadi, bila sekarang
Inyiak Pakiah Babanso kembali muncul dan mendirikan pesantren di kampung tua Pariangan, itu sangat
masuk akal. Otonomi daerah yang mengembalikan pemerintahantak terkecuali pendidikanke
lembaga-lembaga lokal, telah menjadikan pesantren sebagai pilihan.

Di situlah, di pesantren tradisional, surau dan sasaran (gelanggang) silek menjadi dua hal utama. Siang
hari para murid belajar kitab-kitab kuning seperti Nahu, Syaraf, Tafsir, Bayan, Maani, dan lain-lain di
surau, sementara pada malam harinya mereka belajar silek di sasaran. Di antara itu, mereka menjadi
pakiah, minta sedekah ke kampung-kampung. Menjadi pakiah, atau mereka sebut mamakiah, adalah
kurikulum mental mendidik para murid menjadi orang yang sabar, tabah, papa, tiada.

Entah pada hari ketujuh, atau hari kedelapan munculnya dua pengemis remaja di Pekan Sitalang,
terjadi kegemparan. Orang-orang mendengar preman pekan tukang palak kembali berkelahi dengan
para pengemis. Karena sering terjadi, peristiwa itu mestinya hanya merupakan peristiwa biasa. Ia
menjelma jadi heboh dan menggemparkan karena yang kalah kali ini adalah para preman tukang
palak! Dan, sebetulnya, perkelahian itu, bukan pula antara preman pekan tukang palak dan para
pengemis. Melainkan hanya antara preman tukang palak dan dua pengemis remaja. Begitulah sebuah
peristiwa, di tengah pasar yang gaduh dan dengan begitu banyak mulut, tak lagi sampai sebagaimana
kejadian sebenarnya.

Dan, kejadian yang sebenarnya itu, sebenarnya pula, sangat sederhana. Seorang preman tukang palak,
dengan lebih dulu menggertak, merogoh buntal si salah seorang pengemis remaja. Tetapi, begitu
tangan si preman tukang palak itu masuk ke buntal, mulut si preman segera terpekik. Di dalam buntal
itu, entah bagaimana caranya, tangan si preman tukang palak telah dikunci oleh tangan si pengemis
remaja. Si preman tukang palak itu melolong-lolong, tubuhnya tertekuk-tekuk, sampai terbungkuk-
bungkuk, memohon-mohon meminta ampun agar tangannya dilepaskan. Hanya begitu saja
kejadiannya. Tak lebih. Tetapi, kata orang-orang:

Dua pengemis itu mengobrak-abrik kelompok Si Patai.

Si Patai sampai menyembah-nyembah agar dibiarkan pergi.

Pengemis super sakti!

Dari manakah para pengemis itu datang?

Padahal bukan para, karena cuma dua orang. Dan dua orang remaja itu bukan pengemis, melainkan
pakiah. Seperti Anda sudah tahu, tentu bukan tak ada orang yang tak kenal pakiah di Pekan Sitalang.
Dan juga bukannya tak ada orang yang tak tahu bahwa pakiah itu datang dari Pariangan. Tetapi
soalnya, orang-orang yang tak tahu jauh lebih banyak, dan mereka yang tak tahu ini lebih ingin, dan
senang, mendapati kenyataan ada pengemis yang begitu sakti, dan mereka lalu dengan rela
memberikan apa pun untuk para pengemis ini. Maka, kemudian, bila Anda jeli mengamati apa yang
terjadi di Pekan Sitalang, pemandangan ini akan sangat mungkin Anda dapati:

Seorang pengemis datang entah dari mana, masuk ke toilet umum atau mengendap-endap menyelinap
ke dalam belukar, sejenak kemudian kembali muncul dengan pakaian beda: bercelana dasar dengan
baju koko, berpeci dengan buntalan dijinjing atau disampir di pundaknya.

***

Begitulah Nek Minah jadi sering duduk di jendela. Dari rumahnya, memandang ke mulut jalan besar
yang langsung disambut oleh Pekan Sitalang, Nek Minah bisa melihat bagaimana pakiah-pakiah itu
datang, kembali muncul dari masa lalu. Seperti dalam ingatannya, dan seperti yang sering ia katakan
kepada kanak-kanak atau cucu-cucunya, pakiah itu orang yang bisa menahan diri. Mereka meminta-
minta bukan untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, melainkan untuk melatih dan menemukan
sesuatu dalam diri mereka. Kerendahhatian. Kesabaran.

Nek Minah tersenyum. Senyum yang kian lebar, kian cerah saat melihat pakiah-pakiah itu semakin
banyak. Sampai hari ini, tiga hari menjelang Lebaran, pakiah-pakiah itu bahkan tak lagi minta sedekah
hanya di Pekan Sitalang, melainkan juga merambah ke rumah-rumah sekitar, dan satu-dua orang
melangkah menuju rumah Nek Minah. ***

Payakumbuh, 13 Agustus 2011

LUKISAN KEMATIAN
Di kampung kami ada seorang pelukis yang unik. Dia hanya akan melukis wajah manusia yang telah
sampai pada ajalnya. Orang kampung kami menyebut lukisannya: lukisan kematian. Ada juga yang
menyebutnya: lukisan keabadian. Ada juga yang menyebutnya: lukisan kenangan. Sedang aku lebih
suka menyebutnya: lukisan misteri kematian.

Dua hari yang lalu, seorang perempuan setengah baya memintanya membuat lukisan seorang lelaki
yang sudah cukup tua, berkumis tebal, mengenakan kopiah warna hitam dengan ornamen tambahan
yang mengantarnya menemui ajalnya. Ornamen itu berupa sebuah mobil yang ringsek sebab tertabrak
truk tronton. Mobil itu berdiri gagah di samping lelaki yang tampak sedang tersenyum kecut. Senyum
yang seolah-olah telah memisahkannya dengan perempuan setengah baya itu: istrinya.

Pada hari ketiga setelah lusa, perempuan setengah baya itu datang kembali, mengambil lukisan yang
dipesannya. Dia gembira sekali sebab di dalam lukisan itu, suaminya tampak gagah seperti masa
mudanya, laksana seorang laksmana. Berdiri di puncak kariernya menjadi manajer perusahaan di
samping mobil dinasnya.
Lukisan ini akan menjadi catatan sejarah bagi kehidupan dan juga akhir kejadian kematian suamiku,
katanya kepada pelukis itu. Pelukis itu tersenyum.

Lho, tapi Mas, kok.! Perempuan itu kaget. Tiba-tiba seperti sadar dengan apa yang dilihatnya
pada lukisan. Ini kok, mobilnya utuh? Pelukis itu hanya diam. Saya kan memesan lukisan suami saya
setelah kejadian. Sebab kecelakaan itu, mobilnya ringsek dan suamiku mati. Lukisan wajah suami saya
yang gagah itu, benar, tetapi, ornamen mobilnya? Harusnya sudah ringsek.

Dengan tenang, pelukis itu menjawab. Mudah kok, Bu. Kalau Ibu mau melihat ornamen mobil yang
ringsek, pandang saja mobil itu, ringsek. Imajinasikan pikiran Ibu akan peristiwa kecelakaan itu, maka,
mobil itu akan kelihatan ringsek sendiri. Tentunya, ya, dalam kacamata kenangan.

Apa cukup semudah itu?

Coba saja! Sekarang, enyahlah agak jauh dari lukisan! Lalu, pikiran Ibu harus difokuskan pada
peristiwa kecelakaan itu.

Setelah menjauh dari lukisan, perempuan itu tersenyum. Ornamen mobil itu dilihatnya ringsek betulan.
Sebab imajinasinya yang tajam, atau keunikan lukisan? Entahlah. Yang pasti, pelukis itu telah
membuatnya tersenyum, tanda puas.

Dua hari berikutnya, seorang lelaki datang padanya untuk mengambil lukisan pesanannya. Di dalam
lukisan itu, ada seorang kakek yang berdiri gagah di sawah. Sebuah cangkul dipegangnya. Akunya,
sawah dan cangkul adalah tempat terakhir yang dikunjungi kakek itu. Dan, kakek yang dipanggilnya
ayah itu, menemui ajalnya di kamar, di kamar mandi, sepulangnya dari sawah.

Parmin, Ayah mau mandi, lantas istirahat. Itu nanti, sawah diteruskan nyangkulnya, ya, pintanya.

Eh, setelah itu, lama tak keluar-keluar, pintu didobraknya. Hatinya tersentak. Ditemuinya, Ayahnya
telah tiada.

Kenapa kamu mau mengabadikan gambar ayahmu? tanya si pelukis.

Ayahku adalah pahlawan dalam hidupku.

Ibumu?

Sejak kecil, aku tak punya ibu. Jadi, ibu hanya pahlawan dalam angan-angan, katanya, lalu pergi.

Beberapa hari berikutnya, semakin sibuk ia melayani pesanannya. Bagaimana tidak? Lukisannya
sangat mengagumkan. Lukisannya berkesan seperti nyata. Lukisannya menjadi kenangan yang
terabadikan. Apalagi, ongkos pembuatan lukisan itu terbilang tidak mahal. Ia hanya ingin membagi apa
yang bisa ia kerjakan, kepada sesamanya. Baginya, ya, dengan melukis. Ia tidak memasang tarif untuk
sebuah lukisan yang telah diselesaikannya. Baginya melukis adalah sarana penyaluran imajinasi yang
bercampur baur dengan carut-marut kehidupan. Seakan-akan ia mengerti apa yang diinginkan
pemesannya. Meskipun begitu, justru, tak jarang, ia menerima uang lebih dari pemesannya. Mereka
tampak merasakan kepuasan tersendiri atas garapannya yang mengagumkan.

Sebagai teman sebayanya, sering pula aku bermain ke rumahnya. Aku pun mengagumi
kecanggihannya dalam melukis. Lukisan yang digarapnya berlatar belakang kematian. Memang, setiap
kali ia melukis, lukisannya seperti nyata dan seolah-olah menyimpan sejarah yang bermakna.
Suatu waktu, aku berkesempatan untuk bertanya kepadanya. Lukisannya tampak hidup dan bugar.
Mengagumkan. Seakan-akan, wajah-wajah kematian yang dilukisnya, hidup kembali. Ada ruh di
dalamnya, menggetarkan jiwa setiap orang yang melihatnya. Maka, tak khayal kalau hanya dalam
waktu beberapa bulan, reputasinya sebagai pelukis handal, mencuat sampai ke luar daerah. Bahkan,
sampai lingkup antarkota. Namanya banyak dikenal massa.

Sarjo. Begitu, aku memanggilnya. Dulu, kami satu kelas, ketika belajar di bangku sekolah dasar.
Menginjak lanjutan, ia merantau. Ketika aku mulai kuliah, ia pulang. Sejak itu, ia mulai berkecimpung
dalam dunia lukis. Kabarnya, dari perantauan itu, ia belajar melukis. Ketika aku dilantik sarjana, orang
tua satu-satunya; ayahnya, meninggal. Ia mengabadikan wajah ayahnya dalam lukisan. Ibunya,
hanyalah angan-angan yang tak pernah bisa terungkapkan keberadaannya.

Kenapa kamu tidak melukis keindahan alam saja?

Aku tak suka bersaingan dengan Tuhan. Biarkan orang itu melihat kenyataan saja. Alam yang
diciptakan Tuhan itu lebih indah dan mampu mendekatkan hati seseorang kepada-Nya.

Tapi, kamu malah melukis wajah-wajah kematian?

Kenapa, emang? Aku diam.

Kuabadikan ayah dalam lukisan. Aku selalu mengingatnya, bagaimana laut itu membekukan darah
dalam tubuhnya.

Aku diam saja. Terharu.

Kamu tahu? tanyanya. Aku menggelengkan kepala. Lukisan itu adalah pusara ayah. Aku selalu
berziarah padanya. Aku kirimkan surat Al Fatihah kepadanya. Lukisan itu, pengganti pusara ayah di
laut.

Hampir, air mataku copot dan meleleh dari kebekuannya.

Lalu bagaimana dengan ibumu?

Aku tak pernah mengerti bagaimana wajah ibu. Ayah hanya pernah bercerita, kalau aku ini anak jadah.
Dan ayah tak pernah menjelaskan apa maksud anak jadah itu. Akhirnya, kukatakan kalau ibuku tak
pernah ada. Ibuku sendiri adalah ayah. Dia yang mengasuhku sejak kecil. Maka, di dalam lukisan itu,
ada ibuku juga. Ibu yang tampak hanya dari wilayah imaji rasa. Ketika aku mendoakan ayah, artinya
aku pun mendoakan ibu.

Sebab tak tahan, airmataku menetes. Sembab. Aku bersyukur, aku masih punya ibu. Masih punya ayah.

Mengapa kamu menangis? tanyanya heran. Aku diam saja. Lidahku kelu.

Sudahlah. Aku telah terbiasa dengan itu. Makanya, aku suka melukis wajah-wajah kematian.
Alasannya mudah saja. Aku ingin lukisan-lukisanku, menjadi pusara juga bagi mereka, mengingatkan
mereka akan misteri kematian. Dan mereka akan banyak berziarah atau sekadar mengirimkan surat Al
Fatihah, serta doa-doa kepada sosok di balik lukisan.

Mulia sekali niatmu.

Jangan memuji. Ini tak lebih indah dari mengorek sampah.

Maksudmu?

Tak ada nilainya.| Aku tersenyum. Dia pun tersenyum.

Banyak sekali pesananmu sekarang?

Seperti yang kau lihat.

Boleh, aku melihatnya? Dia mengangguk.

Lukisan-lukisan itu kulihat satu-satu. Lukisan pertama, seorang lelaki muda sedang duduk di taman,
bersama seorang perempuan sebayanya. Lelaki itu memegang sebilah pisau. Dari kejauhan, aku
melihat misteri kejadian kematian lelaki. Ditusukkannya pisau itu tepat ke jantungnya sendiri.
Perempuan itu berbicara samar-samar. Bahkan, dia membiarkan kematian si lelaki. Pikirku, itu kisah
cinta gila, di mana perempuannya sama gilanya dengan lelaki, lelaki yang rela mati hanya untuk
pembuktian cintanya.

Lukisan kedua, lukisan ketiga, lalu lukisan keempat, kulihat sebentar saja. Hanya dari dekat. Sebab,
tiba-tiba aku merasa muak dengan kisah sejarah di balik gambar dalam lukisan. Pikirku, segala misteri
dalam lukisan itu, semuanya memiriskan. Aku terlalu takut dan trauma.

Mendapati lukisan lain, aku tercengang. Lukisan itu dibungkus kain putih serupa kafan. Wajah dalam
lukisan itu sendiri, seperti, aku telah mengenalnya. Warna kulitnya saja yang tampak terlalu putih,
seolah-olah tak ada merah darah di dalamnya. Serupa jenazah. Kutatap lekat lukisan itu. Seperti sketsa
lukisan yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya ada wajahnya dan wajah laut. Aku ingat, lukisan itu
seperti sebuah lukisan yang dianggap pusara olehnya. Lukisan ayahnya. Lukisan yang berlatar
belakang laut. Apa artinya?

Kulihat sekeliling ruangan, dia telah tiada. Kupanggil dia, tak ada suara. Aku keluar ruangan. Keluar dari
rumahnya. Berjalan menuju laut yang jaraknya terbilang dekat. Sepuluh menit aku sampai. Tak ada
apa-apa. Laut sepi. Aku pulang ke rumah.

Aku menjadi khawatir sekali kepadanya. Jangan-jangan? Banyak tanda tanya berloncat-loncatan dalam
pikiran.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kudengar ada berita menggemparkan dari laut. Aku berlarian
menuju laut. Ada kerumunan orang di laut. Aku masuk ke dalamnya. Ada mayat. Ada mayat. Kulitnya
putih sekali. Kulihat wajahnya. Aku tak sempat berpikir, semua akan berakhir di sini. Wajahnya? Oh,
tidak..!

Aku ingat sebuah lukisan. Lukisan itu seperti lukisan ayahnya. Lukisan itu pusara dirinya. Kuambil
lukisan itu dan kupajang di kamar. Seperti yang pernah dikatakannya, ia sering mengirimkan surat Al
Fatihah kepada ayahnya. Maka, aku pun demikian, akan menirunya.

Yogyakarta, 3 April 2011

Anda mungkin juga menyukai