Anda di halaman 1dari 17

Kumpulan Cerpen Kompas arsip cerita pendek kompas minggu Tart di Bulan Hujan dengan 52 komentar

i 14 suara Quantcast Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak, ya, Uncok. Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal amat? kata Sum kepada lakin

bertanya suaminya.

Lho, musim hujan tahun lewat dan sebelumnya juga, kan, saya bilang, Pak, roti yan g diberi gula yang berbentuk bunga mawar itu harganya tiga ratus lima puluh ribu . Roti itu besar, cukup untuk satu keluarga dengan beberapa tamu. Tapi, sekarang naik dua puluh lima ribu, Sum mencoba menjelaskan. Lakinya tetap tak paham. Ia m enarik rokok sebatang dari bungkusnya dan mencoba menyalakan korek. Ngerokok lagi, tiba-tiba Sum sedikit membentak. Apa enggak bisa uangnya sedikit dis impan untuk tambahan beli roti. Beli roti bagaimana? Uncok gantian membentak. Kau ini edan, ya. Nyediain nasi aja s usah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal . Kamu itu mimpi . Lakin ya menegaskan. Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat ses ekali menggebyar. Rumah kita masih bocor, kata Uncok lagi sambil mendongak. Belum b isa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, buat kita , harganya triliunan rupiah. Edan kau itu! Sum diam. Tak mendengarkan omelan suaminya. Bayangan di depan matanya sangat jel as: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagia nya anak yang diberi hadiah itu. Sum sendiri belum pernah mendapat hadiah sepert i itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan s esuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya. Kurang beberapa hari lagi, Pak, kata Sum memecah kesunyian.

Apanya yang kurang beberapa hari lagi? Uncok membentak. Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart lima triliun. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu . Sum tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. Kita bisa naik bus Tr ans Yogya Pak, aman. Enggak ada copet. Pulangnya naik becak aja. Kita harus hati -hati bawa tart sangat istimewa itu, Pak. Ah, si bocah itu pasti seneng banget. K alau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.

Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisi k Sum, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun si anak miskin itu. Ia la lu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah. Kemudian hujan pun rintik-rintik. Naaah, mau hujan, kata lakinya. Pindah-pindahin b antal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras . Uncok memberi komando. S um tenang saja. Biarkan tiris membasahi rumah, kata Sum. Itu rezeki kita: air, sahut Sum.

Uncok tak tahan. Kamu kok semakin edan, lakinya membentak. Malam merambat larut. T idak diketahui dengan pasti apakah malam itu jadi hujan atau tidak. *** Gagasan beli tart dengan bunga-bunga mawar itu sudah lama muncul di benak Sum. D ua tahun lalu. Waktu itu Bu Somyang Kapoyos, rumahnya di Surabaya, menginap lima hari di Yogyakarta karena urusan disertasi. Ia membawa putranya. Dan tepat satu hari kemudian, ia teringat ulang tahun anaknya. Cepat-cepat ia berganti pakaian , memanggil taksi dan meluncur ke toko roti Oberlin. Ia pun membeli tart ulang t ahun dengan tulisan Happy Birthday dengan lima lilin menyala. Ketika kembali ke home stay, Sum, yang sedang menyapu lantai, melihat roti itu. Tergetar. Astaga, indahnya. Lilinnya menyala, seperti menyala dalam hatinya. Aku harus beli tart itu, buat si bocah, saat ulang tahunnya di bulan hujan nanti , gumamnya. Berapa harganya, Bu? tanya Sum. jawabnya.

Tiga ratus lima puluh ribu,

Astaga! Gaji Sum kerja di home stay hanya dua ratus lima puluh ribu sebulan. Kal au ada tamu, ia memang sering mendapat tip, tetapi cuma cukup buat beli soto Pak Gareng tiga ribuan. Ia masih harus memikirkan seragam anaknya. Suaminya, yang s opir bus, tak selalu bisa bawa uang cukup. Jalan makin padat. Motor jutaan memen uhi jalanan. Sering macet. Kadang harus cari jalan lain. Perjalanan makin panjan g. Artinya bensin boros, padahal bahan bakar mesti dibeli sendiri. Tapi aku harus beli tart itu, gumamnya. Buat si bocah. Di ulang tahunnya di bula n hujan. Ia bakal senang. Oh, enggak begitu mikirnya. Tapi gini: semoga ia senang . Tuhan, perkenankan ia senang menerima persembahan roti dari saya, gumamnya lagi . Tuhan, saya butuh sekali bahagia dengan melihat si bocah bahagia. Di mana tokonya, Bu, tanya Sum lagi. Kamu mau beli? tanyanya.

O, deket toko onderdil motor itu, jawab Bu Somyang, Sum mengangguk. Anakmu ulang tahun? desak Bu Somyang.

Buuukan anak saya, tapi kalau dianggap anak saya, ya enggak papa, jawab Sum. Oooo, anak yatim piatu di panti asuhan yang kamu pungut? Bukan, enggak, jawab Sum. Bu Somyang mendesak.

Ah, Sum aku tak paham. Tapi, aku ingin ingatkan kalau untuk anak-anak gelandangan

, ya enggak usah tart kayak gini. Cukup beberapa potong roti santen apa roti boc ongan atau roti teles yang seribuan ditambah minuman dawet. Itu pun tiap gelas c endolnya lima belas atau enam belas biji saja. Kalau anak-anak dibiasakan makanminum yang mewah-mewah, kurang baik. Bisa tuman, ketagihan. Sum diam. Jantungnya terasa tertusuk oleh kata-kata yang diucapkan karena ketida ktahuan. Sum menunduk. Beberapa tahun silam pernah seorang penyair diminta berkh otbah di gereja. Ia berkata, malanglah dia orang yang tak tahu kalau ia tak tahu , hina dan sakit orang yang tak paham kalau ia tak paham. Kata-kata itu mendengu ng kembali di telinganya ketika ia menatap mulut Bu Somyang yang mengerikan. Aku harus membeli tart itu, apa pun yang terjadi, gumam Sum. Apa pun komentar orang aku tidak peduli. Aku hanya ingin si bocah bahagia pada hari ulang tahunnya. Se lama bertahun-tahun aku menyaksikan perayaan ulang tahun si kecil, belum pernah ada yang membawa tart. Padahal, kalau mau, mereka bisa beli. Kebanyakan tamu yan g datang sedikitnya naik motor, malah ada yang naik mobil. Heran! Bagaimanakah p ikiran orang-orang itu. Dua minggu setelah menyaksikan tart yang menggetarkan, Sum memutuskan menabung. Ketika dikonsultasikan, Ketua Lingkungan menyarankan agar Sum menabung di bank. Tapi, Pak Karta Wedang memberi tahu bahwa bank kadang-kadang tak bisa dipercaya. Uang para nasabah dibawa lari oleh petugas bank sendiri dan bank tidak bertangg ung jawab. Oooo, gitu , kata Sum, Lalu, enaknya gimana, ya? Pak Karta tidak menjawab. Akhirnya, Sum memutuskan menabung di rumah sendiri. Ia merencanakan menyisihkan uangnya lima belas ribu setiap bulan. Kalau ia sukses lebih menekan kebutuhan, s etahun, kan, seratus delapan puluh ribu. Dua tahun, kan, tiga ratus enam puluh r ibu. Horeeeee! Dua tahun lagi, aku bisa beli tart buat si kecil. Dan masih sisa s epuluh ribu. Hatinya bersorak-sorai . Dan pada bulan hujan tahun ini, kegiatan menabungnya hampir genap dua tahun. Ia tak sabar lagi. Tapi, alangkah kecewa ketika ia menengok di toko roti Oberlin, t art yang dibayangkan sudah naik harganya. Ia sedikit lemas. Ia menjadi pucat. Da n pandangannya berkunang-kunang. Ada apa Bu, sakit? tanya pelayan toko. Sum menggeleng. Ia berkeringat dingin. Pung gung terasa sedikit basah, tetapi keleknya terasa basah sekali. Ibu mau beli roti? Ya, desak pelayan toko.

jawab Sum sangat pelan hampir tak terdengar. Apalagi lalu lintas hiruk-pikuk.

Mau beli, pelayan mendesak. Iyaa, jawab Sum. Pelan sekali. Yang mana? Sum menuding tart mahal itu. Haaah? Pelayan toko kaget sambil memandangi penampilan Sum.

Sum lemas. Bagaimanapun masih ada kekuatan. Tapi tidak sekarang, Sum menegaskan. Sum menggeleng.

Oooo, kamu disuruh majikanmu lihat-lihat harganya, begitu?

Saya mau beli sendiri. Saya sudah menabung. Tart itu untuk si bocah.

Pelayan toko tak paham, dan mulai curiga. Karena itu, dengan cara halus, ia meng giring Sum ke luar toko. Perempuan itu melangkah ke luar. Masih ada waktu, gumamnya. Aku akan buruh nyuci di kos-kosannya Pak Nur Jentera. Po koknya, bulan hujan tahun ini aku harus beli tart untuk si kecil. Aku ingin seka li merasakan bahagia ketika bocah itu bahagia. Kalau aku sudah berhasil membeli tart untuk si bocah, aku lega banget. Aku rela mati. Kalau yang aku lakukan dian ggap keliru oleh sidang malaikat dan aku harus masuk neraka ya enggak papa. Aku t etap bahagia di neraka. Ya, mati dengan bahagia sekali karena sudah bisa mempers embahkan roti tart di bulan hujan. Di minggu hujan. Di malam hujan, gumamnya. Tiba di rumah, ia langsung mengambil uang tabungannya yang disembunyikan di dala m lemari, di bawah pakaian. Kurang empat puluh lima ribu, gumamnya sambil menghi tung uang receh. Ia ingat, ia harus membeli nasi buat anaknya, si Domble. Tapi ka lau aku berhasil nyuci pakaian di kos-kosan Pak Nur Jentera, semua bakal beres. Slamet bilang, Pak Jentera baik banget sama orang duafa. Beda banget dengan Wak Zettep yang pelit banget dan tukang mempermainkan orang. Sum menunduk. Tuhan, biar kan saya percaya bisa membeli tart untuk si bocah. *** Esoknya sudah mulai memasuki bulan hujan. Ia pun menghitung hari. Di lingkungann ya, warga sudah sering kumpul-kumpul menyiapkan pesta ulang tahun. Di gereja ban yak pengumuman tentang kegiatan menyongsong pesta itu. Sum tak pernah diajak. Al asan ibu-ibu kaya, Sum, kan, sibuk bantu rumah tangga sana-sini. Mana ada waktu buat gini-gini. Di samping itu, kalau ia diajak, Sum selalu merasa tak pantas du duk sama rendah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya ora ng duafa yang tempatnya di pinggiran. Dengan senang Pak Jentera menerima Sum. Tampaknya, lelaki itu terpesona dengan c ara kerjanya yang cekatan. Karena itu, tak ragu-ragu ia memberi Sum upah tambaha n, bahkan boleh dikatakan setiap hari. Maka, sebelum saat pembelian tart tiba, d i tangannya sudah ada uang cukup. Bahkan lebih. Sementara itu, Bu Jentera juga l uar biasa perhatiannya. Sekali ia memanggilnya ke rumah. Kamu mau pesta apa pada natalan nanti. Ah, enggak pesta kok, Bu, cuma mau beli tart, jawab Sum. Tart? Tart? Siapa yang ulang tahun? Anakmu? mencecar. Tapi Sum tetap tenang. Bu Jentera kaget dan bertanya setengah jawab Sum.

Bukan anak saya Bu, tapi kalau dibilang anak saya, ya enggak papa,

Ooooooooo, anak pungut? Di panti asuhan dekat rumah Wak Zettep yang terkenal peli t itu? Bu Jentera bertanya lagi. Enggak, bukan dia anak baik-baik, sangat baik getarkan, jawab Sum. Ah, aku tak paham, kata Bu Jentera. cantik sekali, pandangan matanya meng

Lho, kata-kata Bu Somyang di ulang di sini, gumam Sum. Tapi baiklah, kata Bu Jentera lagi, bungnya. kalau mau beli tart, ya, yang baik sekalian, sam

Wuuuah, luar biasa ibu ini, kata Sum dalam hati. Nih, aku ngiur dua ratus ribu, kata Bu Jentera sambil senyum sangat manis. Ya Tuha

n, apakah Bu Jentera ini malaikat utusanmu, kata Sum dalam hati. Dengan gemetar Sum menerima uang itu. Tepat pada saat itu, Pak Nur Jentera tiba di rumah dari s epeda-an bersama persekutuannya. Ia langsung duduk dan mendengarkan cerita istri nya tentang rencana Sum. O, bagus, bagus, kata Pak Jentera. Ia berdiri lalu tangan kanannya merogoh dompet di saku belakang. Mbak Sum mesti beli roti lain untuk tambahan. Kan anak-anak pasti akan datang, ra me-rame. Nih, ada tambahan tiga ratus, katanya dengan tenang. Sum hampir tak meme rcayai telinganya. Ya Tuhan, engkau begitu dermawan, jerit gembira hati Sum. Hatinya bersorak-sorai. Ia pun lari ke Bapak Ketua Lingkungan menceritakan renca nanya. Hujan pun turun, menderas. Apa boleh Bu Sum membawa tart masuk gereja, apalagi meletakkan tart itu di depan patung Kanak-Kanak Yesus di dalam Goa? Pak Koster pasti takut gerejanya kotor. P astor paroki akan tanya, perayaan Natal dengan tart di depan Kanak-Kanak Yesus i tu menurut ayat Kitab Suci yang mana, teologinya apa . Tanpa menggubris, Sum berangkat ke toko roti. Sebelumnya mampir ke rumah dulu, m enemui suaminya, yang kebetulan tak nyopir. Uncok terdiam mendengar cerita Sum t entang Bapak Lingkungan. Sepi. Lama. Hati Uncok trenyuh. Laki itu merasa harus b erbela rasa dengan istrinya. Apalagi ia membawa uang berlebih untuk beli seragam si Domble. Juga uang buat rokok. Uncok, kemudian, mendekap istrinya. Selepas dari toko, pulang dulu, kata lakinya. Sum tak bisa berkata apa-apa. Mulutn ya terkunci. Keharuan mendesak paru-paru dan tenggorokannya. Suaminya berubah ti ba-tiba. Tuhaaan, hebatnya dikau. Berangkatlah, u sebelum ke gereja. kata suaminya, Pulangnya mampir ke rumah dul

Di toko roti, pelayan-pelayannya memandang dengan sebelah mata. Mereka tak perca ya Sum punya uang untuk beli tart hampir empat ratus ribu. Tidak masuk akal, kata Tanpoting, pemilik toko roti itu. Ketika Sum akhirnya menge luarkan uang lebih dari harga tart, baru mereka percaya. Pukul setengah empat sore Sum tiba di rumah. Alangkah kagetnya dia melihat goa d engan Kanak-Kanak Yesus di dalamnya sudah disiapkan lakinya di tengah rumah. Pat ung kecil-kecil itu rupanya dipinjam dari asrama para suster. Mereka memperkenankan aku memakai ini semua, ata apa-apa. Kegembiraan meluap. kata suaminya. Sum tak bisa berkata-k

Taruhlah tart di sini, kata Uncok, persis di depan Kanak-Kanak Yesus terbaring. Nan ti malam, selesai Misa Natal, anak-anak kita undang ke rumah ini merayakan ulang tahunnya. Tak perlu di gereja. Mereka akan menyanyi panjang umurnya, panjang um urnya, panjang umurnya serta mulia . Lalu anak-anak akan menyantap tart. Biarlah r umah kita kotor, tapi ada senyum dan tawa meriah. Sum memeluk suaminya. Air matanya menetes karena haru. Persis hujan turun dengan sangat deras dan rumah sepasang merpati itu tiris di sana-sini, kecuali di atas tart. Seluruh rumah basah, lambah-lambah. Tapi, Sum dan Uncok tertawa terbahakbahak sambil berpelukan. Si Domble pun ikut menari-nari sambil sesekali nyuri me ncolek tart yang dibalut gula-mentega-cokelat yang lezat luar biasa. Patung Kana k-Kanak Yesus menatap mereka dengan senyum. Menjelang pukul sembilan malam, anak -anak langsung menyerbu rumah Sum dan Uncok selepas dari misa di gereja.

Mereka menari-nari di depan patung Kanak-Kanak Yesus dan tart. Kue-kue lainnya p un disiapkan. Anak-anak berebut membersihkan rumah yang basah dan kotor luar bia sa. Diam-diam Sum menatap pandangan mata anak-anak yang datang. Seperti bersinar, se perti bersinar Sum berjongkok dan memeluk mereka satu demi satu. Sum tersedu kare na haru dan bahagia . * * * * More * * * * * Digg * Like this: Suka 5 bloggers like this post. * * * * * ahmararria2011 cobalihataku dikdikanggap postingcerpen imutdisturber

Ditulis oleh tukang kliping 18 Desember 2011 pada 13:30 Ditulis dalam Cerpen Dikaitkatakan dengan Bakdi Soemanto Di Persimpangan Pantura 52 Tanggapan Berlangganan komentar dengan RSS. 1. biarlah RUMAH kita kotor yang penting disana ada kebahagiaan mati muda 18 Desember 2011 pada 14:08 Balas 2. Bagus, cerita yg sulit ditebak.. Hanya kurang greget.. Watu lembu 18 Desember 2011 pada 14:26 Balas *

Barangkali Pak Bakdi sedang mengangkat kembali tradisi lisan Jawa ren geng-rengeng , semacam senandung lirih atau gumaman pelan. Jadi memang alurnya ten ang, diksinya berasal dari khasanah keseharian, dan tak ada artikulasi yang gega p-gempita. (Mungkin seperti impressionism dalam seni rupa?) Seperti kata sasmita ( sekitar paragraf 6), cerpen ini bolehjadi adalah sasmita itu sendiri. peanut muffin 25 Desember 2011 pada 18:23 3. Beginilah yang sebenarnya membuat cerpen; sebuah cerita yg sederhana tapi cara pegungkapannya mampu mengaduk-aduk perasaan pembacanya . Maturnuwun Pak Bakdi, sy banyak belajar dari cerpen ini .baik isi cerpennya maupun cara menceritakan cerpennya .Selamat merayakan Natal RBM 18 Desember 2011 pada 14:35 Balas 4. Bagus ceritanya lusia dini 18 Desember 2011 pada 17:38 Balas 5. bagus,,, zuifa 18 Desember 2011 pada 20:04 Balas 6. Ceritanya lumayan bagus, tokoh Sum selalu merasa tak pantas duduk sama ren dah berdiri sama tinggi dengan mereka. Sum selalu merasa dirinya orang duafa yan g tempatnya di pinggiran. sedangkan Tuhan Yesus tidak pernah membedakan tingkata nnya atau martabat manusia. pengorbanan Sum bisa menjadi contoh pembaca untuk sa ling peduli dengan lingkungan sekitar atau tetangga yang kurang mampu terutama a nak yatim piatu. karena Tuhan tidak akan membiarkan umatnya terjatuh, Dia selalu memberi saat kita inginkan meskipun terkadang tidak seperti yang kita inginkan. GBU ALL helda ardamis 18 Desember 2011 pada 20:19 Balas 7. Maksudnya udah bagus, tpi cara penyampaiannya kurang menusuk :) Otong 18 Desember 2011 pada 20:35

Balas 8. Aku suka cerpennya bagus.. divamama123 18 Desember 2011 pada 20:58 Balas 9. Tema lama sebenarnya. Saya pikir cara bertuturlah yang menjadi kunci cerpe n ini, sehingga di dalamnya menjadi kisah yang kaya akan berbagai makna. Saya su ka. :D ariosasongko 18 Desember 2011 pada 21:26 Balas * Ya memang tema lama karena sekian puluh tahun yang lalu Kompas Mingg u pernah memuat cerpen dengan tema yang sama oleh pengarang yang sama judulnya : Taart .taarrt .taarrtt . mulyonodulrahman 3 Januari 2012 pada 09:14 10. Sebagai orang awam, cerpen ini bisa lebih bagus lagi. Bagian-bagian pesan moral kurang dipertajam deskripsinya (seperti ttg menabung 2 tahun, niatan, dsb) . Kurang ada kejutan. Beralur seperti yang diduga. Tapi terimakasih atas inspira sinya. Saya jelas tak mampu menulis lebih baik dari ini mohmikir 18 Desember 2011 pada 22:56 Balas 11. Memang, penulis berhasil membuat sy penasaran ingin segera tahu endingnya seperti apa. Penulis berhasil menyeret sy dari mula hingga ujung, dgn pertanyaan ; siapa sih yg akan d kasih kue tart itu? Namun, sependapat dgn mas Otong, pemapa rannya kurang menusuk. O'nol 18 Desember 2011 pada 23:08 Balas 12. Sum berhasil menyampaikan pesan bahwa memberi dan berbagi tidak melulu dil akukan orang mampu. Siapapun jika mau, bisa berbagi dengan cara masing-masing. D alam kasus Sum, ia begitu gigih berjuang untuk berbagi dengan yang lain dan memb uat yang lain bahagia. Suatu sindiran buat saya yang hanya memikirkan kepentinga n sendiri dengan dalih saya kurang cukup mampu. Sangat suka cerita ini. Dikemas dari ide yang sederhana dengan tujuan yang luar biasa.

ratu masrana 19 Desember 2011 pada 05:15 Balas 13. namanya tokohnya lucu2, terasa banget rasa mengejar-ngejar harapannya, mes ki bahasanya terkesan sederhana, dan endingnya manis seperti kue tart. manis sek ali :) itaita 19 Desember 2011 pada 08:41 Balas 14. Tuhan pasti berikan yg terbaik ..bagi yg berseru kepadanya..Amin Gbu all Boin Silalahi 19 Desember 2011 pada 11:31 Balas 15. goodddd ngali mahfud 19 Desember 2011 pada 14:57 Balas 16. aih indahnya :) nathalia 19 Desember 2011 pada 15:17 Balas 17. hmm, sweet juga meski pun dg tema yang, yaa . biasa2 saja dan selalu berulan g di setiap mas. Manis. semanis tartnya. ASIHDEWA 19 Desember 2011 pada 15:22 Balas 18. Mantafff sebuah cerpen yg menarik hati sy trima kasih kompas kau memberikan ta rt cerpen ini disore yang sejuk ini robay 19 Desember 2011 pada 17:53 Balas 19. Salut untuk semangat Pak Bakdi. Yang muda, yang lebih muda, harus lebih be rsemangat

Aba Mardjani 19 Desember 2011 pada 19:42 Balas 20. ah sampe nangis bacanya :( terharuu..makna moralnya dalem banget,,tokoh Su m dgn kesabaran,keuletan&ketidakputusasaan mampu membuat hati suaminya terketuk. .^^ iya crita yg maniz tuk menyambut natal..thx bwt penulis..sukses!! rosondang 19 Desember 2011 pada 23:47 Balas 21. Cerita sederhana tapi dikemas luar biasa, terima kasih inspirasinya maya dewi kurnia 20 Desember 2011 pada 10:56 Balas 22. bagus pardan 20 Desember 2011 pada 14:14 Balas 23. Excelent, cerita penuh makna, banyak mengandung amanat tersirat. Cerita in i mmberi motivasi bagi saya semakin menguatkan dimana ada kemauan d situ ada jal an Hilda hayati 20 Desember 2011 pada 19:22 Balas 24. Cukup menggigit dalam suasana Natal. Mungkin ada yang terharu dan menetesk an air mata. Budi Susetyo 21 Desember 2011 pada 07:17 Balas 25. pribadi sum yg rela berkorban demi kebahagiaan org lain, kisah ny sngat mn yentuh, mrinding deh ngebaca ini hahaha :D Angga Robooth 21 Desember 2011 pada 07:52 Balas 26.

Ceritanya super sekali ,,, Ismi 21 Desember 2011 pada 13:57 Balas 27. cap cus! okelah Puska Tanjung 21 Desember 2011 pada 20:41 Balas 28. BAGUSSSSSSS pak pus 22 Desember 2011 pada 09:44 Balas 29. Terimakasih buanyak kagem Pak Bakdi atas kemauan dan kemampuan panjenengan bercerita dan menceritakan cerita ini. Buat Tukang Kliping makasih juga. Pesan yang saya tangkap dari cerita ini, fokus pada mimpi yang dikejar den gan sepenuh hati akan membuahkan keindahan dan kebahagiaan, tapi memang kebahagi aan itu mahal harganya, karena tidak semua orang mendapatkan anugerah kebahagiaa n ini. Selamat menikmati dan mengalami Natal Damai dan bahagia Natal melingkupi semua makhluk di bumi ~dit~ kriwulan 22 Desember 2011 pada 20:46 Balas 30. baaagguuuuusssss sekali bapa bakdi anda memang berkualitas mulyonodulrahman 23 Desember 2011 pada 08:15 Balas 31. Bagus dan Selamat atas dimuatnya. t4070ba 23 Desember 2011 pada 11:38 Balas 32. .

lumayan deh cahya fajar 23 Desember 2011 pada 18:49 Balas 33. Ceritanya bagus Khaerul Imam 24 Desember 2011 pada 12:57 Balas 34. cerpen ini sangat bagus,karena penulis mampu mendeskripsikan masalah-masal ah dalam cerita ini dengan suatu keadaan yang selalu kita temui dalam lingkungan masyarakat.sehingga kita berharap agar masyarakat pada umumnya dan pembaca pada khususnya untuk saling menyayangi,menghargai,serta saling membantu. sardi 24 Desember 2011 pada 13:58 Balas 35. Bulan hujan? Ulang tahun anak? Kue tart mahal? Outbound 25 Desember 2011 pada 03:24 Balas 36. Penyembunyian karakter bocah cukup menarik pembaca untuk trs membaca. Cerita ketika sum mdadak mendapat rejeki dr bpk ibu jentera cukup menggetarkan hati. N amun sayang penyampaian di akhir ceritanya kurang greget. Penggambaran siapa boca h itu sebenarnya, kurang mengena di kepala saya*ya mungkin krn saya msh sgt awam* . Tp overall bagus!!terutama buat pembelajaran saya dalam membuat tulisan..t hanks ida silvia 25 Desember 2011 pada 03:26 Balas 37. Ah, Bakdi Soemanto, sudah lama HeruLS 25 Desember 2011 pada 13:49 Balas 38. Bagus. Hampir sempurna dalam menyembunyikan identitas si bocah. Namun saya menemukannya ditengah-tengah cerita. dan indah sekali

Beda Saja 25 Desember 2011 pada 15:58 Balas 39. Ceritanya bagus, tentang perjuangan seorang wanita yang ingin memberikan h adia kue tart ulang tahun seorang anak pada saat natal, gaya bahasa pengarangnya mudah dipahami, dan memberikan makna tersendiri agar seseorang mau untuk berbag i dengan sesamanya. cerita yang menarik semoga dapat menginspirasi kita semua. FITA WULANDARI 25 Desember 2011 pada 17:18 Balas 40. Cerpen yang istimewa, bener-benar hidup, dan nyata..tks pak Bakdi.. andi sunardi 26 Desember 2011 pada 06:36 Balas 41. Wah ..Natal !!! Toba 28 Desember 2011 pada 12:03 Balas * enak dibaca. asria ali 31 Desember 2011 pada 19:57 42. cerpen ini menyejukkan hati, meestinya para pemimpin kita selalu berkaca p ada rang orang kecil,yang jauh kdbih berwibawa menangkap kenyataan iqbal baraas 1 Januari 2012 pada 19:08 Balas 43. sebenarnya siapa bocah itu? Tapi aku suka ceritanya, jadi terharu. TOP bua t P Bakdi Soemanto hanii 2 Januari 2012 pada 13:39 Balas 44. Bahasanya sederhana, ceritanya sederhana, latarnya sederhana, sungguh tepa t bagi bayi yang dilahirkan mengusungkan kerendahan hati. Sangat indah.

bonny john rizaldi 3 Januari 2012 pada 08:15 Balas 45. cerrtanya sangat menarik,perjuangan seorang wanita terhadap seorang bocah, meskipun dengan keadaan ekonomi yang sangat pas-pasan,akan tetapi tokoh yang ber peran sebagai ibu sum ini pantang menyerah sampai akhirnya keinginannya ingin me mbahagiakan anak-anak pun terwujud,cerpen ini sangat bagus,penulis dapat menggam barkan kondisi ekonomi rakyat yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Ranidewi 3 Januari 2012 pada 10:59 Balas 46. Selamat tahun baru 2012 -Kompas,ditunggu cerpen berikutnya .. Richan 3 Januari 2012 pada 11:33 Balas 47. serasa reaksi berantai dari bom atom perasaan yang meluluhlantakkan .GBU versatilevictory 4 Januari 2012 pada 08:21 Balas 48. Suka dan senang sebuah cerita yg mengajari pengorbanan,memberi dari kekura ngan,byk org memberi dari kelebihannya,pernahkah anda memberi dari kekurangan? Edi hermanto,S.Pd 5 Januari 2012 pada 11:08 Balas 49. kalau pengen jadi penulis di kompas gimana? pengeeeen :D anggiazainur 6 Januari 2012 pada 20:16 Balas Tinggalkan Balasan Cancel reply Enter your comment here... Fill in your details below or click an icon to log in: * * *

* Gravatar Email (wajib) (Belum diterbitkan) Nama (wajib) Situs web WordPress.com Logo Please log in to WordPress.com to post a comment to your blog. Twitter picture You are commenting using your Twitter account. ( Log Out / Ubah ) Facebook photo You are commenting using your Facebook account. ( Log Out / Ubah ) Batal Connecting to %s Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik. Beritahu saya tulisan baru lewat surat elektronik. Pencarian untuk: Berlangganan via Email Bergabunglah dengan 1.033 pengikut lainnya. Halaman * About Penulis Populer Aba Mardjani Adek Alwi Agus Noor Beni Setia Bre Redana Damhuri Muhammad Danarto Djenar Maesa Ayu Dwicipta Eep Saefulloh Fatah Eka Kurniawan Farizal Sikumbang Fr ansisca Dewi Ria Utari Gde Aryantha Soethama GM Sudarta Gus tf Sakai Hamsad Rang kuti Harris Effendi Thahar Hasan Al Banna Indra Tranggono Isbedy Stiawan ZS Iyut Fitra Kurnia Effendi Martin Aleida M Dawam Rahardjo Ni Komang Ariani Noviana Ku sumawardhani Puthut EA Putu Fajar Arcana Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim S eno Gumira Ajidarma Soeprijadi Tomodihardjo Sori Siregar S Prasetyo Utomo Sunary ono Basuki Ks Sungging Raga Timbul Nadeak Triyanto Triwikromo Ugoran Prasad Veve n Sp Wardhana Wayan Sunarta Wilson Nadeak Yanusa Nugroho Yusrizal KW Arsip * * * * * * * * * * * * * * * * Desember 2011 November 2011 Oktober 2011 September 2011 Agustus 2011 Juli 2011 Juni 2011 Mei 2011 April 2011 Maret 2011 Februari 2011 Januari 2011 Desember 2010 November 2010 Oktober 2010 September 2010

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Agustus 2010 Juli 2010 Juni 2010 Mei 2010 April 2010 Maret 2010 Februari 2010 Januari 2010 Desember 2009 November 2009 Oktober 2009 September 2009 Agustus 2009 Juli 2009 Juni 2009 Mei 2009 April 2009 Maret 2009 Februari 2009 Januari 2009 Desember 2008 November 2008 Oktober 2008 September 2008 Agustus 2008 Juli 2008 Juni 2008 Mei 2008 April 2008 Maret 2008 Februari 2008 Januari 2008 Desember 2007 November 2007 Oktober 2007 September 2007 Agustus 2007 Juli 2007 Juni 2007 Mei 2007 April 2007 Maret 2007 Februari 2007 Januari 2007 Desember 2006 November 2006 Oktober 2006 September 2006 Agustus 2006 Juli 2006 Juni 2006 Mei 2006 April 2006 Maret 2006 Februari 2006 Januari 2006 Desember 2005 November 2005 Oktober 2005 September 2005

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Agustus 2005 Juli 2005 Juni 2005 Mei 2005 April 2005 Maret 2005 Februari 2005 Januari 2005 Desember 2004 November 2004 Oktober 2004 September 2004 Agustus 2004 Juli 2004 Juni 2004 Mei 2004 April 2004 Maret 2004 Februari 2004 Januari 2004 Desember 2003 November 2003 Oktober 2003 September 2003 Agustus 2003 Juli 2003 Juni 2003 Mei 2003 April 2003

Blog pada WordPress.com. Theme: The Journalist v1.9 by Lucian E. Marin. Fonts on this blog. Ikuti Follow Kumpulan Cerpen Kompas Get every new post delivered to your Inbox. Bergabunglah dengan 1.033 pengikut lainnya. Powered by WordPress.com

Anda mungkin juga menyukai