Anda di halaman 1dari 4

Masa Depan Sempurna

BAB 1

Krik krik krik. Krik krik krik.

Alunan suara jangkrik malam ini sungguh membuat heningku semakin mencekam. Sedari tadi
Harumi hanya diam membisu. Sepertinya pikirannya berkecamuk. Terlintas dalam anganku, pikirannya
sedang beradu untuk memenangkan hatinya sendiri. Dia masih saja menunduk. Mematung tak
bergeming. Posisinya tepat membelakangi punggungku. Sampai pada akhirnya lirikan matanya berhenti
di salah satu bunga hias di depannya. Apakah dia sangat kecewa denganku? Sampai-sampai dia tak
menghiraukan tatapan hampaku ini.

“Rumi. Yuk masuk ke dalam. Udara sudah semakin dingin nih,” bujukku padanya yang kesekian
kalinya. Tanganku masih dengan posisi saling menyilang di bahu. Sungguh, kenapa malam ini terasa
begitu dingin? Apakah karena Rumi menambah dinginnya malam ini dengan kedinginan hatinya itu? Aku
sudah mengajaknya berkali-kali untuk masuk rumah, tetapi kornea matanya tak sedikitpun melirikku.
Dia memilih setia duduk di bebatuan di taman samping rumah ini.

“Ya udah. Aku tidur dulu aja ya, Rum. Mataku udah sepet banget,” kataku sambil berlalu menuju
pintu dapur. Langkah kakiku perlahan menjauh dari tempat duduk Harumi.

“Iya, Mas Sandi. Aku gak papa,” balasnya singkat dengan suara lirih.

“Nanti kalau sudah jam sebelas, kamu segera tidur ya, Rum,” tambahku sambil menahan kantuk.

Berat sebenarnya kaki ini melangkah. Tetapi, mungkin Rumi butuh ketenangan ‘tanpa aku’.
Sudah tiga hari ini dia bersikap diam padaku. Maksudku, dia hanya akan mengucap sesuatu kepadaku
seperlunya saja. Berbeda sekali dengan sifat aslinya yang sudah lima tahun ini ku ketahui. Harumi
Sesillia, dialah wanita cantik idaman banyak pria kala itu. Tapi, sungguh keberuntungan lebih berpihak
padaku. Dengan kemapanan dan ketampananku, aku berhasil merebut hati wanita putih bersih
berhidung mancung ini. Dia berasal dari keturunan ningrat. Bapaknya merupakan seorang pemilik kebun
kelapa sawit di tempatku. Sedangkan aku? Akulah pemilik Sandi Estate Group, sebuah grup
pengembangan bisnis properti. Hidup bergelimang harta sudah aku janjikan padanya sejak awal kami
mengikatkan hubungan. Dulu, aku pun sering menggombalinya. Aku samakan namanya itu, Harumi,
dengan harumnya melati, harumnya mawar, harumnya wewangian di seluruh dunia. Aku meyakinkan
dia bahwa dialah bunga paling harum di hatiku. Diciptakan khusus hanya untukku. Sayangnya, Harumi
hanya menanggapinya dengan senyum tersipu malu. Mungkinkah dia berpikir bahwa akulah pembual
sejati dalam hidupnya?

Kini keadaan kami sudah berubah. Entah kenapa di tahun ini kian hari kami justru kian merosot
pendapatannya. Pada awal tahun ini saja, bisnis propertiku mengalami saldo minus. Sungguh, itulah
yang pertama kalinya terjadi! Aku sampai tak percaya. Aku cek ulang data tiap-tiap transaksi, siapa tahu
ada kekeliruan. Sampai akhirnya aku menemukan beberapa transaksi yang janggal menurutku. Ternyata
aku ditipu puluhan milyar rupiah. Oh God! Ternyata pembeli propertiku telah memalsukan dokumennya.
Bukti transfernya pun ternyata hasil edit. Kenapa David—pegawaiku-- bisa seceroboh ini? Dasar tak ada
guna! Aku mengucek kedua mataku berulang kali. Aku berharap ini hanyalah mimpi di siang bolong.
Atau setidaknya ini hanyalah gangguan jin dalam nyenyaknya malamku. Namun nyatanya, inilah
kenyataan pahit yang harus aku hadapi bersama Harumi. Dan semenjak peristiwa itu, David langsung
aku pecat dan aku juga memotong gajinya untuk sedikit meringankan kerugian yang harus aku telan.

Hari berganti hari, bisnis propertiku seperti sudah berubah menjadi bubur. Seperti sudah hilang
bentuknya. Telepon dari teller bank menjadi lebih sering berdering. Terkadang Rumi yang mengangkat
telponnya ketika aku sibuk bermain dengan Alia, putri kecil kesayanganku. Aku lebih memilih bermain
dengan anak empat tahunku ini daripada harus mendengarkan celoteh baku seorang teller bank.
Walaupun sebenarnya suaranya memang terdengar lembut dan gurih di telinga, tetapi entah kenapa
otak ini seperti mendapat sinyal bahwa aku akan mendapatkan berita penambah laraku lagi. Ya, apalagi
kalau bukan tentang penyitaan rumah oleh bank. Hutang lima puluh milyar itu masih belum aku lunasi,
jadi lebih baik telingaku menghindar. Aku takut hatiku tambah tenggelam dalam rasa sedih ini. Aku tak
mau mati mendadak karena serangan jantung dan malah menyisakan hutang untuk anak istriku.

“Kapan kita bisa hidup tenang, Mas?” tanya Rumi sesaat setelah mengobrol pendek dengan
teller bank lewat telpon. Aku tak menjawab pertanyaannya. Ku tatap jernih matanya itu, tanpa kata. Aku
berusaha menenangkan batinku sendiri yang sedang kalut. Dan tepat di depanku, Alia yang awalnya
riang bermain dokter-dokteran pun ikut melirikku. Sungguh, Nak. Kamu tak perlu tahu apa yang ayah
dan bundamu pikirkan dalam nasib yang sedang terhimpit ini.

Hingga hari ini, rumah megahku itu sudah disita selama satu bulan oleh bank. Karena kedua
orang tuaku sudah tiada, maka atas ide Rumi, kami pindah tempat tinggal ke tempat ibu. Lebih tepatnya
ibu mertuaku yang sudah tiga tahun hidup menjanda. Saban hari aku harus menerima sikap tidak
sukanya. Sering kali ketika aku mencoba menegur sapa, justru air muka jutek yang nampak. Sebetulnya
aku sudah mengajak Rumi untuk mengontrak saja daripada harus menumpang di rumah ibunya. Namun,
Rumi menolak dengan dalih keuangan kami akan semakin membengkak bila kami memilih hidup
ngontrak. Eman-eman katanya. Kami harus berusaha hidup hemat dengan cara meminimalisir
pengeluaran. Katanya, dia sekalian ingin berbakti pada ibunya sebelum ajal menjemput. Saat bapak
mertuaku meninggal, Rumi belum sempat berbakti pada bapak. Maka dari itu, untuk kali ini dia tidak
akan melewatkan sisa-sisa waktu lagi. Dia berusaha sebaik mungkin untuk menjadi anak yang berbakti.
Aku yang saat ini belum menemukan celah bagaimana memperbaiki keadaan finansial kami kini hanya
bisa mengiyakan permintaannya itu. Biarlah diri ini menahan lara hati karena gerutu mertua. Aku akan
berusaha tegar untukmu, Rum.

Setelah tadi malam ku tinggal sendiri di taman rumah, pagi ini kulihat seutas senyum Harumi
yang ceria nan menawan. Aku merasa agak aneh. Aku pindai mukanya sekali lagi. Ternyata, kedua
matanya sudah sembab. Pantaslah tadi malam dia membelakangiku. Rupanya dia menyembunyikan
rintik air matanya. Kenapa kamu menangis, Rum? Apakah aku telah menghilangkan kebahagiannmu?
Mungkin dia hanya ingin melepas gundukan emosi yang membebani pikiran dan hatinya. Dan kini, ku
yakin dia sudah lega dan cukup kuat untuk menerima realita kisahnya. Buktinya, pagi-pagi benar dia
sudah membuatkan aku secangkir kopi dan menggoreng sepiring pisang goreng. Tak lupa, dia juga
membuat dua cangkir teh, untuknya dan ibunya. Lalu dia menyajikan semuanya di atas meja kecil di
depan teras rumah. Kami bertiga menyantap bersama sambil menyambut mentari terbit yang diiringi
kicauan kawanan burung di langit.

“Kamu apa gak nyari kerja aja, San?” tanya ibu mertuaku penuh selidik. Sekilas aku melihat alis
matanya ikut terangkat.

“Aku udah kirim banyak lamaran kerja, Bu. Tapi belum ada panggilan interview,” jawabku
sekenanya karena mulutku masih mengunyah pisang goreng.

“Ya usaha apa gitu untuk menambah penghasilanmu. Bosan sekali tiap hari liat mantu enak-
enakan aja di rumah,” tambah Ibu dengan nada kesal.

Belum selesai aku menelan pisang gorengnya, aku langsung tertegun. Ku lirik Harumi di sebelah
kananku. Harumi hanya diam sambil menikmati teh hangat. Dia tidak menanggapi ocehan ibunya.
Sungguh, aku dibuat kikuk dengan kata-kata itu. Tapi, aku tak berani membela diri atas perkataan ibu.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengalihkan perhatian.

“Insya Allah saya akan usaha terus, Bu. Oh ya, Alia apa udah bangun, Rum? Aku bangunin Alia
dulu ya, biar bisa sarapan pisang goreng sama-sama,” ucapku menutupi kesalku.

Aku langsung mengayunkan kakiku cepat-cepat menuju kamar Alia. Syukurlah, aku selamat dari
serangan Mak Lampir itu. Ups, ibuku maksudnya. Ibu mertua juga termasuk ibuku, kan?

“Rum, itu suamimu mau sampai kapan nganggur terus? Ngabisin stok beras aja bisanya,” kesal
Ibu yang kudengar sayup-sayup dari kamar Alia.

“Bu, beri Mas Sandi waktu ya. Aku pun kalau boleh memilih, aku tidak ingin hidup susah seperti
ini. Tapi aku harus memahami, beban Mas Sandi terlalu berat,” jawab Rumi melemah.

“Kamu itu bodoh atau bagaimana ta, Rum? Apa yang ibu tawarkan itu akan jauh lebih membuat
bahagia kamu, Alia, Ibu juga,” timpal Ibu.

Deg.

Detak jantungku tiba-tiba memacu dengan cepat. Memangnya, apa yang telah ibu tawarkan ke
Harumi?

BAB 2

“Aku akan menjualnya untuk modal usaha. Bolehkan, Rum?” tanyaku dengan nada memaksa.

“Apa Mas yakin? Aku tidak ingin kita ceroboh lagi, Mas,” cemas Rumi. Manik matanya
memperlihatkan ketidak-ikhlasannya menjual perhiasannya. Terlebih lagi itu adalah mas kawin kami
dulu. Sangat berharga dan penuh kenangan. Simbol .cinta, simbol sayang, simbol ikatan kami.

“Percayalah, Rum. Setiap hari aku berdo’a kepada Tuhan agar selalu memberkahi langkah kita.
Kita mulai dari awal lagi, ya. Mulai dari setapak demi setapak agar menjadi ribuan langkah,” kataku
menyemangati istri terkasihku.
“Baik lah, Mas. Semoga rencana kita bisa berjalan lancar, ya.” Rumi tersenyum penuh harap.
Aku segera mengaminkan do’anya lalu mengusap rambut hitamnya. Ahh. Terima kasih, Rum. Kamu
sangat amat sabar ketika cobaan berat datang.

Sehabis menjual perhiasan di toko emas, aku langsung bergegas ke pasar tradisional.

Anda mungkin juga menyukai